NGO: World Bank

  • LPEM FEB UI: Ketimpangan Pendapatan Masyarakat RI Kian Luas

    LPEM FEB UI: Ketimpangan Pendapatan Masyarakat RI Kian Luas

    Bisnis.com, JAKARTA — Distribusi pendapatan di Indonesia semakin timpang dalam beberapa dekade terakhir, yang mengindikasikan kebijakan pemerintah lebih berpihak kepada kelompok terkaya daripada menengah-bawah.

    Hal tersebut terungkap dalam laporan terbaru LPEM FEB UI bertajuk Indonesia Economic Outlook Q2-2025. Dalam laporan tersebut LPEM FEB UI membagi masyarakat berdasarkan pendapatannya dari tahun ke tahun.

    Pertama, ada kelompok 60% tengah yaitu rumah tangga yang pendapatannya lebih tinggi dari 20% terbawah tetapi masih di bawah 20% teratas. Kedua, kelompok 20% teratas yaitu 20% rumah tangga dengan pendapatan tertinggi. Ketiga, kelompok 20% terbawah yaitu 20% rumah tangga dengan pendapatan terendah.

    Mengolah data Bank Dunia (World Bank), LPEM FEB UI menunjukkan bahwa pada 1999, persentase porsi konsumsi kelompok 60% tengah sebesar 50,42%, kelompok 20% teratas sebesar 40,35%, dan kelompok 20% terbawah sebesar 9,22%.

    Kendati demikian, sejak itu porsi konsumsi kelompok 60% tengah terus tergerus. Sementara kelompok 20% terbawah naik-turun. Sebaliknya, kelompok 20% teratas cenderung terus naik.

    Dari 2000 hingga 2019, pangsa konsumsi kelompok 60% tengah mengalami penyusutan sebesar 1,66 poin persentase; sementara kelompok 20% terbawah mengalami penurunan 1,6 poin persentase; sebaliknya kelompok 20% teratas mencatat kenaikan signifikan sebesar 3,36 poin persentase.

    Pada masa pandemi Covid-19 atau 2019—2021, pangsa konsumsi kelompok 60% tengah kembali mengalami penurunan 0,09 poin persentase; kelompok 1% teratas mengalami penurunan 0,25 poin persentase; sebaliknya kelompok 20% terbawah mengalami kenaikan 0,03 poin persentase.

    Pada masa pemulihan pasca pandemi atau 2022—2023, kelompok 60% tengah terus kehilangan 1,3 poin persentase pangsa konsumsinya. Sebaliknya, kelompok 20% terbawah (bertambah 0,21 poin persentase) dan 20% teratas (bertambah 1,09 poin persentase) mengalami peningkatan.

    Total, dari 2000 hingga 2023, pangsa konsumsi kelompok 60% hilang 2,96%; kelompok 20% terbawah hilang 1,36%; dan sebaliknya kelompok 20% teratas bertambah 4,27%.

    LPEM FEB UI pun menyimpulkan hilangnya porsi konsumsi di kelompok tengah itu mencerminkan rapuhnya fondasi pemulihan ekonomi dan memberikan konteks penting di balik kenaikan ketimpangan yang lambat namun terus-menerus.

    Indeks Gini, misalnya, naik perlahan dari 35,3 pada tahun 2020 menjadi 36,1 pada tahun 2023. Meskipun perubahannya terlihat kecil, angka ini menyembunyikan pergeseran yang lebih dalam.

    “Ketimpangan bukan hanya soal jurang antara si kaya dan si miskin, tetapi juga mengenai tekanan yang mengimpit kelompok menengah secara luas,” tulis LPEM FEB UI dalam laporannya, dikutip Minggu (4/5/2025).

    1746360408_5d968318-7cd4-462b-9ada-40b0c8997b67.Sumber: LPEM FEB UI

  • KPPU Segera Sidang Kartel Bunga Pinjol, 97 Fintech Terseret

    KPPU Segera Sidang Kartel Bunga Pinjol, 97 Fintech Terseret

    Jakarta, CNBC Indonesia – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) segera menyidangkan dugaan pelanggaran kartel suku bunga di industri pinjaman online (pinjol) dalam Sidang Majelis Pemeriksaan Pendahuluan yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat.

    KPPU menegaskan langkah ini menandai eskalasi serius atas temuan indikasi pengaturan bunga secara kolektif di kalangan pelaku usaha pinjaman berbasis teknologi.

    Penyelidikan KPPU mengungkap adanya dugaan pelanggaran Pasal 5 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sebanyak 97 penyelenggara layanan pinjaman online yang ditetapkan sebagai Terlapor diduga menetapkan plafon bunga harian yang tinggi secara bersama-sama melalui kesepakatan internal (eksklusif) yang dibuat asosiasi industri, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).

    Ditemukan bahwa mereka menetapkan tingkat bunga pinjaman (yang meliputi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya) yang tidak boleh melebihi suku bunga flat 0,8 % per hari, yang dihitung dari jumlah aktual pinjaman yang diterima oleh penerima pinjaman yang kemudian besaran tersebut diubah menjadi 0,4% per hari pada tahun 2021.

    “Kami menemukan adanya pengaturan bersama mengenai tingkat bunga di kalangan pelaku usaha yang tergabung dalam asosiasi selama tahun 2020 hingga 2023. Ini dapat membatasi ruang kompetisi dan merugikan konsumen,” kata Ketua KPPU M. Fanshurullah Asa, dalam rilis dikutip Minggu (4/5/2025).

    Dalam melakukan penyelidikan, Fanshurullah mengatakan KPPU telah mendalami model bisnis, struktur pasar, hingga pola keterkaitan antar pelaku di industri pinjol. Model bisnis pinjaman online di Indonesia mayoritas menggunakan pola Peer-to-Peer (P2P) Lending, menghubungkan pemberi dan penerima pinjaman melalui platform digital. Berdasarkan regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), seluruh penyelenggara wajib terdaftar dan menjadi anggota asosiasi yang ditunjuk, yaitu AFPI.

    Namun, struktur pasar menunjukkan cukup tingkat konsentrasi tinggi. Per Juli 2023, terdapat 97 penyelenggara aktif, dengan dominasi pasar terpusat pada beberapa pemain utama, antara lain: KreditPintar (13% pangsa pasar), Asetku (11%), Modalku (9%), KrediFazz (7%), EasyCash (6%), dan AdaKami (5%).

    “Sisanya tersebar pada pemain-pemain dengan pangsa minor. Konsentrasi pasar diduga semakin kuat dengan adanya afiliasi kepemilikan atau hubungan mereka dengan platform e-commerce,” ujar Fanshurullah yang akrab dipanggil Ifan.

    Berdasarkan hasil penyelidikan dan pemberkasan, KPPU melalui Rapat Komisi tanggal 25 April 2025 memutuskan untuk menaikkan kasus ini ke tahap Sidang Majelis Pemeriksaan Pendahuluan. Agenda sidang ini bertujuan menyampaikan dan menguji validitas temuan, serta membuka ruang pembuktian lebih lanjut.

    “Jika terbukti melanggar, para pelaku usaha dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda hingga 50% dari keuntungan dari pelanggaran atau hingga 10% dari penjualan di pasar bersangkutan dan selama periode pelanggaran,” tambah Ifan.

    Menurutnya, KPPU menekankan bahwa penanganan kasus ini merupakan bagian dari upaya menjaga ekosistem persaingan usaha yang sehat di sektor keuangan digital. Industri fintech dinilai memiliki peran strategis dalam mendorong inklusi keuangan, sehingga praktik-praktik anti-persaingan harus dihentikan dan dicegah sejak dini karena berdampak luar biasa bagi masyarakat khususnya bagi masyarakat kecil dan menengah.

    Hal tersebut dapat dilihat dari ukuran pasar ini yang cukup signifikan dimana hingga pertengahan bulan 2023 telah tercatat sebanyak 1,38 juta pemberi pinjaman aktif, 125,51 juta akun peminjam terdaftar, dengan akumulasi pinjaman yang telah diberikan mencapai Rp 829,18 triliun.

    Bahkan menurut Bank Dunia, Indonesia memiliki credit gap (kesenjangan kredit) atau kebutuhan pembiayaan yang tidak terpenuhi oleh lembaga keuangan tradisional yang mencapai Rp 1.650 triliun pada tahun 2024. Ini menjadi salah satu faktor yang mendorong pertumbuhan industri pinjaman online di Indonesia. KPPU memperkirakan, eskalasi perkara ini berpotensi membawa konsekuensi besar bagi lanskap pinjaman online di Indonesia.

    “Melalui penegakan hukum ini, KPPU meminta agar regulator dapat memperbaiki revisi standar industri, memperketat kontrol terhadap asosiasi, mengubah pola bisnis pinjol, hingga memicu penurunan bunga pinjaman ke tingkat yang lebih kompetitif. Dari sisi konsumen, penegakan hukum ini menjadi sinyal positif terhadap perlindungan hak peminjam dan efisiensi biaya layanan keuangan digital,” jelas Ifan.

    Adapun, KPPU masih menggagendakan susunan Tim Majelis yang akan memeriksa dan jadwal sidang perdana perkara tersebut.

    (haa/haa)

  • Simak! Ini Beda Hitungan Data Kemiskinan RI Versi BPS & Bank Dunia

    Simak! Ini Beda Hitungan Data Kemiskinan RI Versi BPS & Bank Dunia

    Jakarta, CNBC Indonesia – Terdapat perbedaan angka kemiskinan Indonesia yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia. Namun hitungan keduanya ternyata tidak salah.

    Dalam laporan tahun 2024, Bank Dunia menyebutkan 60,3% penduduk Indonesia atau 171,8 juta jiwa masyarakat Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Sementara jumlah lain disebutkan BPS yakni 8,57% atau 24,06 juta jiwa per September 2024.

    BPS menjelaskan angka keduanya muncul karena perbedaan standar garis kemiskinan yang digunakan dan tujuan yang berbeda. Bank Dunia, misalnya, menggunakan standar yang disesuaikan dengan daya beli (purchasing power parity atau PPP).

    Jadi data yang didapatkan menghitung standar negara upper-middle income, yakni US$6,85 per kapita per hari. “Nilai dollar yang digunakan bukanlah kurs nilai tukar yang berlaku saat ini melainkan paritas daya beli. US$ 1 PPP tahun 2024 setara dengan Rp5.993,03,” ujar BPS dalam keterangan resminya.

    Sementara BPS menghitung berdasarkan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN). Jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar dinyatakan dalam Garis Kemiskinan.

    Garis Kemiskinan dihitung dengan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan. Komponennya minimal 2.100 kilo kalori per orang per hari, terdiri dari beras, telur, tahu, tempe, minyak goreng, dan sayur.

    Untuk komponen non-makanan terkait kebutuhan minimum pada tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian dan transportasi.

    Oleh karenanya, garis kemiskinan yang dihitung oleh BPS dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia. Penghitungan serta rilis angka garis kemiskinan BPS dilakukan secara rinci berdasarkan wilayah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, dengan membedakan antara perkotaan dan perdesaan,” ujar BPS

    Oleh karena itu, BPS mengatakan perlu kehati-hatian membaca angka Garis Kemiskinan. Karena hal itu tidak menghitung karakteristik seperti usia, jenis kelamin atau jenis pekerjaan, dan tidak bisa diartikan untuk batas pengeluaran per orangnya secara mikro.

    Misalnya, garis kemiskinan DKI Jakarta tercatat Rp 846.085 per bulan pada September tahun lalu. Namun menjadi tidak tepat jika satu rumah tangga memiliki pengeluaran yang sama pada ayah dan anak balitanya.

    “Karena konsumsi terjadi dalam satu rumah tangga, pendekatan yang lebih tepat adalah melihat garis kemiskinan rumah tangga. Dalam kasus ini, garis kemiskinan rumah tangga tersebut adalah Rp4.230.425 per bulan. Angka inilah yang lebih representatif untuk memahami kondisi sosial ekonomi rumah tangga tersebut,” kata BPS.

    (npb/haa)

  • Bukan Lagi Silent Pandemic, Pakar Sebut Resistensi Antibiotik Sudah ‘Grand Pandemic’

    Bukan Lagi Silent Pandemic, Pakar Sebut Resistensi Antibiotik Sudah ‘Grand Pandemic’

    Jakarta

    Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama menyebut resisten antibiotik sudah tidak lagi ‘silent pandemic’ atau pandemi yang tersembunyi. Tren yang terus mengkhawatirkan membuat resistensi antimikroba (AMR) kini masuk ka fase ‘Grand Pandemic’.

    “Sudah jadi besar, tidak senyap lagi,” tegas Prof Tjandra, kepada detikcom Sabtu (3/5/2025).

    Ada beberapa alasan di balik kasus AMR kini sudah masuk Grand Pandemic. Pertama, kematian akibat AMR kini sudah mencapai lima juta orang setiap tahun. Angka tersebut menurut Prof Tjandra sudah melampaui catatan kematian akibat HIV-AIDS hingga malaria.

    “Angka lima juta itu juga membuat AMR menjadi penyebab kematian ketiga di dunia,” tandasnya.

    Kedua, AMR kini tidak hanya berdampak pada satu atau dua patogen penyebab penyakit, tetapi mulai ‘merambah’ sejumlah penyakit infeksi.

    “AMR ternyata punya dampak luas pada aspek sosial dan ekonomi pula. Karena berbagai hal itu, maka Bank Dunia pada 2024 yang lalu meluncurkan berbagai program dan kegiatan, yang semuanya terangkum dalam dokumen “Stopping the Grand Pandemic: A Framework for Action Addressing Antimicrobial Resistance through World Bank Operations,” katanya.

    Prof Tjandra menilai Indonesia perlu memiliki upaya dan skema yang kurang lebih sejalan dengan kegiatan Bank Dunia untuk menanggulangi AMR. Hal ini menjadi salah satu strategi penting untuk juga mencapai kesehatan generasi di era Indonesia Emas.

    (naf/kna)

  • Pembangunan Infrastruktur LNG Dinilai Bukan Investasi Strategis, Ini Alasannya!

    Pembangunan Infrastruktur LNG Dinilai Bukan Investasi Strategis, Ini Alasannya!

    Bisnis.com, JAKARTA —Pengembangan infrastruktur gas LNG berpotensi memerangkap Indonesia dalam berbagai konsekuensi, seperti krisis iklim, korupsi, hingga terjerat utang.

    Laporan terbaru dari debtWATCH dan Trend Asia mencatat, tak hanya menghambat Indonesia memenuhi Perjanjian Paris akibat emisi gas rumah kaca yang tinggi dari proyek gas, pengembangan infrastrukturnya menerima pembiayaan tidak langsung maupun dalam bentuk utang.

    Diana Gultom dari debtWATCH Indonesia menilai pengembangan proyek gas yang investasinya mencapai US$32,4 miliar bukan investasi strategis, melainkan skema utang yang membahayakan kedaulatan energi dan ekonomi nasional. 

    Pasalnya beberapa pengembangan proyek gas disokong oleh institusi keuangan dari Multilateral Development Banks (MDBs), seperti seperti Asian Development Bank (ADB), Asia Infrastructure International Bank (AIIB), dan World Bank Group.

    Proyek-proyek gas, seperti infrastruktur Liquified Natural Gas dinilainya justru menjerumuskan Indonesia ke dalam ketergantungan pada skema pembiayaan global yang merugikan. “Kami melihat bahwa pendanaan LNG adalah bagian dari strategi global yang menunda transisi energi sejati dan mempertahankan kontrol korporasi terhadap sumber daya alam Indonesia,” ujarnya melalui keterangan tertulisnya, dikustip Sabtu (3/5/2025).

    Laporan Investasi LNG Indonesia Jalan Mundur Komitmen Iklim menemukan 18 proyek gas, baik LNG maupun PLTG, dengan berbagai tahapan operasional yang tersebar di seluruh Indonesia. Salah satunya, Tangguh LNG di Teluk Bintuni, Papua Barat yang menerima sokongan dana dari ADB, JBIC, dan IFC dengan estimasi US$8 miliar. 

    Secara umum, pengembangan proyek gas itu mencerminkan ambiguitas komitmen iklim bank-bank yang telah menerbitkan kebijakan untuk menyetop pembiayaan proyek berbahan bakar fosil.

    Upaya transisi energi bersih pun terancam sebab gas masih dipromosikan sebagai bentuk transisi energi yang didukung Kebijakan Energi Nasional (KEN), dengan pemanfaatan dalam bauran energi primer akan terus meningkat hingga 2060. 

    Selain itu, pemerintah juga memprioritaskan pendanaan proyek migas dalam gelombang pertama BPI Danantara sebagai langkah mempercepat pelaksanaan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).

    Novita Indri, Juru Kampanye Energi Trend Asia menilai di saat urgensi dunia untuk mencapai Perjanjian Paris dengan bertransisi ke energi terbarukan yang berkeadilan pemerintah malah melakukan sebaliknya, mendorong penggunaan gas hingga berdekade ke depan. “Upaya kita mencapai tujuan tersebut terancam gagal,” katanya.

  • Airlangga Sebut Deregulasi Bakal Perbaiki PMI Manufaktur RI yang Terkontraksi

    Airlangga Sebut Deregulasi Bakal Perbaiki PMI Manufaktur RI yang Terkontraksi

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa upaya pemerintah melakukan deregulasi dapat membantu dunia industri manufaktur bernapas, setelah PMI Manufaktur terkontraksi.

    Pasalnya, data PMI S&P Global Purchasing Managers’Index (PMI) yang rilis pada Jumat (2/5/2025) menunjukkan bahwa indeks manufaktur Indonesia berada di level 46,7. Angka itu turun drastis dari bulan sebelumnya yang sebesar 52,4 sekaligus terjadi kontraksi, karena posisi PMI berada di bawah 50.

    Airlangga melihat anjloknya indikator manufaktur ini lebih akibat perang dagang yang terjadi. 

    “PMI turun kan karena perang dagang. Jadi dunia kan perdagangan shrinking, pertumbuhan Amerika juga negatif. Jadi ini namanya optimisme yang terganggu oleh trade war,” ujarnya kepada wartawan di kantor Kemenko Perekonomian, Jumat (2/5/2025). 

    Terlebih, Bank Dunia atau World Bank memproyeksikan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) industri Tanah Air akan melandai pada tahun ini menjadi 3,8% dari tahun sebelumnya yang sebesar 5,2%. 

    Dalam laporan terbarunya, Macro Poverty Outlook (MPO) for East Asia and Pacific edisi April 2025, Bank Dunia memproyeksikan adanya perlambatan sebesar -1,4% tersebut akibat kebijakan tarif dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mengganggu perdagangan global.  

    Airlangga melihat perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China yang terhenti karena perang dagang memberikan efek negatif ke industri dalam negeri. 

    Di mana Indonesia turut menjadi bagian dari supply chain atau rantai pasok perdagangan global. 

    “Jadi kami lakukan saja ke depan apa-apa yang harus dilakukan agar biaya untuk manufaktur itu tidak ada biaya tinggi, [yakni] deregulasi,” lanjutnya. 

    Ke depan, Airlangga menyampaikan bahwa pemerintah tetap optimistis terhadap industri Tanah Air akan tetap positif. Apalagi, pemerintah telah membuat satgas deregulasi yang akan menyiapkan sejumlah paket kebijakan. 

    Terlebih, Airlangga memandang kawasan regional, alias Asean, relatif aman. Pemerintah juga mendorong percepatan penyelesaian Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa atau Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) untuk mendorong perdagangan dengan Eropa. 

     “Memang sudah waktunya untuk mendiversifikasi pasar ekspor dan menurunkan hambatan tarif. Kalau kita turun, yang lain juga menurunkan, maka produk kita akan lebih kompetitif ke depan,” tuturnya. 

    Sebagaimana diketahui dalam menanggapi tarif Trump, pemerintah sedang dalam pembahasan terkait dengan perizinan impor, terkait dengan Angka Pengenal Impor (API), Online Single Submission (OSS), deregulasi perpajakan dan kepabeanan. 

    Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan hambatan perdagangan dan non-perdagangan saat ini menjadi fokus Pemerintah Indonesia. Secara berkelanjutan, Indonesia melakukan evaluasi terhadap berbagai hambatan perdagangan, baik tarif maupun non-tarif, guna menciptakan iklim perdagangan yang lebih terbuka dan efisien. 

    “Di sisi tarif, sebagian besar tarif Indonesia sebenarnya sangat rendah, tetapi kami akan selalu mengevaluasi dan melihat apakah ada area yang dapat kami tingkatkan di sisi tarif,” ujarnya.

    Terkait hambatan non-tarif, Menkeu mengakui bahwa Indonesia masih memiliki sejumlah mekanisme yang kerap menjadi perhatian karena dianggap mencegah perdagangan.

    “Baik dalam bentuk proses administrasi, misalnya dalam proses bea cukai saat mengimpor barang, atau dalam hal penilaian, prosedur perpajakan, atau karantina untuk produk pertanian,” lanjutnya. 

  • Pendapatan Indonesia Terjun Bebas, Utang Membengkak

    Pendapatan Indonesia Terjun Bebas, Utang Membengkak

    GELORA.CO – Kondisi fiskal Indonesia diproyeksikan menghadapi tekanan berat pada tahun ini dengan penurunan rasio penerimaan negara dan meningkatnya beban utang.

    Dalam laporan Macro Poverty Outlook yang dirilis pada 4 April 2025, Bank Dunia bahkan menyebut rasio penerimaan Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2024 menjadi yang paling rendah di antara negara berpendapatan menengah.

    “Rasio penerimaan Indonesia terhadap PDB pada 2024 sebesar 12,7 persen merupakan yang terendah di antara negara-negara berpendapatan menengah,” tulis Bank Dunia, dikutip Jumat, 2 Mei 2025.

    Penurunan kinerja penerimaan tersebut sebagian besar disebabkan oleh tidak tercapainya target penerimaan pajak. Bank Dunia mencatat, sekitar 6,4 persen dari PDB potensi penerimaan pajak Indonesia gagal terkumpul sepanjang tahun lalu.

    Ke depan, Bank Dunia memperkirakan rasio penerimaan Indonesia akan merosot lebih dalam lagi menjadi 11,9 persen terhadap PDB pada 2025. Angka ini berada di bawah target 12,3 persen yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang APBN 2025. 

    Lembaga internasional itu baru memperkirakan pemulihan rasio penerimaan menjadi 12,3 persen pada 2026, dan naik tipis menjadi 12,4 persen pada 2027.

    Di sisi lain, rasio utang Indonesia juga diperkirakan akan mengalami peningkatan. Menurut proyeksi Bank Dunia, rasio utang akan naik dari 39,2 persen terhadap PDB pada 2024 menjadi 40,1 persen tahun ini. 

    Tren kenaikan ini diprediksi berlanjut hingga mencapai 40,8 persen pada 2026 dan 41,4 persen pada 2027.

    Sementara itu, pemerintah Indonesia dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029 menargetkan rasio utang di angka 39,15 persen terhadap PDB pada 2025. 

    Pemerintah juga menegaskan komitmennya untuk menjaga rasio utang di bawah 40 persen hingga 2029, yakni di kisaran 39,01 hingga 39,10 persen.

  • Bank Dunia Bilang 60% Penduduk Indonesia Miskin, Ini Kata BPS – Page 3

    Bank Dunia Bilang 60% Penduduk Indonesia Miskin, Ini Kata BPS – Page 3

    Sementara, BPS mengukur kemiskinan di Indonesia dengan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN). Jumlah rupiah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar ini dinyatakan dalam Garis Kemiskinan. Garis kemiskinan dihitung berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan.

    Komponen makanan didasarkan pada standar konsumsi minimal 2.100 kilokalori per orang per hari, disusun dari komoditas umum seperti beras, telur, tahu, tempe, minyak goreng, dan sayur, sesuai pola konsumsi rumah tangga Indonesia. Komponen non-makanan mencakup kebutuhan minimum untuk tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi.

    Kemudian, garis kemiskinan dihitung berdasarkan hasil pendataan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang memotret atau mengumpulkan data tentang pengeluaran serta pola konsumsi masyarakat.

    Basis Ukuran Rumah Tangga 

    Susenas dilaksanakan 2 kali dalam setahun. Tahun 2024, Susenas dilaksanakan pada bulan Maret dengan cakupan 345.000 rumah tangga di seluruh Indonesia, dan pada bulan September dengan cakupan 76.310 rumah tangga. Pengukuran dilakukan pada tingkat rumah tangga, bukan individu, karena pengeluaran dan konsumsi dalam kehidupan nyata umumnya terjadi secara kolektif.

    “Oleh karenanya, garis kemiskinan yang dihitung oleh BPS dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia,” ujarnya.

    Menurutnya, penghitungan serta rilis angka garis kemiskinan BPS dilakukan secara rinci berdasarkan wilayah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, dengan membedakan antara perkotaan dan perdesaan. Pada September 2024, garis kemiskinan nasional per kapita tercatat Rp595.242 per bulan.

    “Namun, perlu diperhatikan, konsumsi terjadi dalam konteks rumah tangga, bukan per orang. Rata-rata rumah tangga miskin terdiri dari 4,71 anggota rumah tangga, sehingga garis kemiskinan untuk satu rumah tangga secara rata-rata nasional adalah Rp2.803.590 per bulan,” jelasnya.

     

  • Data Kemiskinan RI Versi Bank Dunia & BPS Berbeda, Ini Penjelasannya!

    Data Kemiskinan RI Versi Bank Dunia & BPS Berbeda, Ini Penjelasannya!

    Jakarta, CNBC Indonesia – Bank Dunia atau World Bank dalam Macro Poverty Outlook menyebutkan bahwa pada tahun 2024 lebih dari 60,3% penduduk Indonesia atau setara dengan 171,8 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan.

    Kendati demikian, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tingkat kemiskinan Indonesia per September 2024 sebesar 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa.

    Dalam keterangan resminya, BPS menjelaskan kedua data dengan angka yang jauh berbeda tersebut tidak saling bertentangan. Namun, perbedaan muncul karena adanya perbedaan standar garis kemiskinan yang digunakan dan untuk tujuan yang berbeda.

    Bank Dunia, menggunakan standar garis kemiskinan global yang disesuaikan dengan daya beli atau purchasing power parity (PPP) dan menilai kemiskinan di Indonesia berdasarkan standar negara upper-middle income. Yakni US$ 6,85 per kapita per hari.

    “Nilai dollar yang digunakan bukanlah kurs nilai tukar yang berlaku saat ini melainkan paritas daya beli. US$ 1 PPP tahun 2024 setara dengan Rp5.993,03,” ujar BPS dalam keterangan resminya dikutip Jumat (2/5/2025).

    Sementara BPS mengukur kemiskinan di Indonesia dengan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN). Jumlah rupiah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar ini dinyatakan dalam Garis Kemiskinan.

    Garis kemiskinan dihitung berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan. Komponen makanan didasarkan pada standar konsumsi minimal 2.100 kilokalori per orang per hari, disusun dari komoditas umum seperti beras, telur, tahu, tempe, minyak goreng, dan sayur, sesuai pola konsumsi rumah tangga Indonesia. Komponen non-makanan mencakup kebutuhan minimum untuk tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi.

    “Oleh karenanya, garis kemiskinan yang dihitung oleh BPS dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia. Penghitungan serta rilis angka garis kemiskinan BPS dilakukan secara rinci berdasarkan wilayah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, dengan membedakan antara perkotaan dan perdesaan,” ujar BPS dalam keterangan resminya dikutip Jumat (2/5/2025).

    BPS mengingatkan perlu kehati-hatian dalam membaca angka garis kemiskinan. Garis kemiskinan adalah angka rata-rata yang tidak memperhitungkan karakteristik individu seperti usia, jenis kelamin, atau jenis pekerjaan. Secara mikro, angka ini tidak bisa langsung diartikan sebagai batas pengeluaran orang per orang.

    Sebagai contoh, di DKI Jakarta, garis kemiskinan per kapita pada September 2024 adalah Rp846.085 per bulan. Jika ada satu rumah tangga dengan lima anggota (ayah, ibu, dan tiga balita) maka tidak tepat jika diasumsikan bahwa kebutuhan atau pengeluaran ayah sama dengan balita.

    “Karena konsumsi terjadi dalam satu rumah tangga, pendekatan yang lebih tepat adalah melihat garis kemiskinan rumah tangga. Dalam kasus ini, garis kemiskinan rumah tangga tersebut adalah Rp4.230.425 per bulan. Angka inilah yang lebih representatif untuk memahami kondisi sosial ekonomi rumah tangga tersebut,” ujarnya.

    (mij/mij)

  • Video: Bank Dunia Sebut 60,3% Penduduk RI Miskin, Ini Kata BPS

    Video: Bank Dunia Sebut 60,3% Penduduk RI Miskin, Ini Kata BPS

    Jakarta, CNBC Indonesia – Badan Pusat Statistik (BPS) menanggapi laporan Bank Dunia yang menyebut penduduk miskin Indonesia mencapai 60,3% dari total 284 juta penduduk Indonesia alias 171 juta orang.

    Selengkapnya dalam program Squawk Box CNBC Indonesia (Jumat, 02/05/2025) berikut ini.