NGO: World Bank

  • Bank Dunia: Garis Kemiskinan Indonesia Rp1,51 Juta per Orang/Bulan

    Bank Dunia: Garis Kemiskinan Indonesia Rp1,51 Juta per Orang/Bulan

    Bisnis.com, JAKARTA — Bank Dunia mengungkapkan ambang batas garis kemiskinan di Indonesia sebesar Rp1.512.000 per orang per bulan, apabila mengikuti standar negara-negara berpenghasilan menengah-atas.

    Dalam publikasi bertajuk The World Bank’s Updated Global Poverty Lines: Indonesia, Bank Dunia menjelaskan bahwa telah menetapkan standar garis kemiskinan yang baru usai mengadopsi basis perhitungan paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP) 2021 (sebelumnya PPP 2017).

    PPP merupakan pengukuran perbandingan biaya yang dibutuhkan untuk membeli suatu barang/jasa antarnegara. Misalnya, US$1 di New York tentu memiliki daya beli yang berbeda dengan US$1 di Jakarta.

    PPP memungkinkan perhitungan keterbandingan tingkat kemiskinan antarnegara yang memiliki tingkat biaya hidup yang berbeda-beda. Untuk Indonesia, Bank Dunia mencatat US$1 PPP 2021 setara sekitar Rp6.071.

    Adapun, Bank Dunia memakai tiga kategori garis kemiskinan yaitu garis kemiskinan ekstrem/negara berpendapatan rendah, garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-bawah, dan garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-atas.

    Usai mengadopsi PPP 2021, kini garis kemiskinan ekstrem/negara berpendapatan rendah naik dari US$2,15 menjadi US$3 per orang per hari (sekitar Rp546.400 per orang per bulan), garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-bawah naik dari US$3,65 menjadi US$4,2 per orang per hari (sekitar Rp765.000 per orang per bulan), dan garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-atas naik dari US$6,85 menjadi US$8,3 per orang per hari (Rp1.512.000 per orang per bulan).

    “Menurut garis kemiskinan ekstrem internasional yang baru, 5,4% penduduk Indonesia miskin pada 2024, 19,9% miskin menurut garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-bawah, dan 68,3% miskin menurut garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-atas,” tulis Bank Dunia, dikutip Sabtu (14/6/2025).

    Bank Dunia telah mengategorikan Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah-atas sejak 2023. Hanya saja, lembaga internasional tersebut menggarisbawahi bahwa pendapatan per kapita Indonesia masih berada di kisaran batas bawah negara-negara pendapatan menengah atas.

    Contohnya dalam kategori negara pendapatan menengah-atas, ada negara yang pendapatan perkapitanya mencapai US$14.005. Angka tersebut hampir tiga kali lipat dari pendapatan per kapita Indonesia yang baru sebesar US$4.810 pada 2023.

    “Statistik kemiskinan untuk ketiga garis kemiskinan internasional relevan bagi Indonesia, tetapi karena negara ini baru saja menjadi negara berpendapatan menengah-atas, perhatian khusus diberikan kepada garis kemiskinan berpendapatan menengah-bawah dan menengah-atas,” jelas Bank Dunia.

    Berbeda dengan BPS

    Garis kemiskinan internasional versi Bank Dunia itu berbeda dengan garis kemiskinan nasional versi Badan Pusat Statistik (BPS).

    Berdasarkan Susenas September 2024, BPS mencatat ambang batas garis kemiskinan nasional senilai Rp595.243 per orang per bulan. Angka tersebut hampir setara dengan standar garis kemiskinan internasional untuk negara pendapatan rendah versi Bank Dunia yaitu Rp546.400 per orang per bulan.

    Padahal, Bank Dunia menggarisbawahi bahwa keadaan di Indonesia lebih mencerminkan standar garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-bawah (Rp765.000 per orang per bulan) dan menengah-atas (Rp1.512.000 per orang per bulan).

    Tak heran apabila jumlah penduduk miskin Indonesia versi BPS berbeda cukup jauh dengan versi Bank Dunia.

    BPS mencatat penduduk miskin Indonesia ‘hanya’ 24,06 juta orang atau setara 8,57% dari total populasi. Sementara Bank Dunia mencatat penduduk miskin Indonesia mencapai 19,9% berdasarkan garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-bawah atau 68,3% berdasarkan garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-atas.

    Lebih dari itu, Bank Dunia mengakui bahwa tujuan garis kemiskinan internasional berbeda dengan garis kemiskinan nasional. Garis kemiskinan internasional digunakan untuk perbandingan antarnegara; sementara garis kemiskinan nasional digunakan untuk menerapkan kebijakan di tingkat nasional, seperti program perlindungan sosial kepada kaum miskin.

    “Untuk pertanyaan tentang kebijakan nasional di Indonesia, garis kemiskinan nasional dan statistik kemiskinan yang diterbitkan oleh BPS adalah yang paling tepat. Garis kemiskinan internasional yang diterbitkan oleh Bank Dunia cocok untuk … membandingkan Indonesia dengan negara lain,” jelas Bank Dunia.

  • Bank Dunia: Garis Kemiskinan versi BPS Cocok untuk Penentuan Kebijakan Nasional

    Bank Dunia: Garis Kemiskinan versi BPS Cocok untuk Penentuan Kebijakan Nasional

    Bisnis.com, JAKARTA — Belakangan muncul banyak perbincangan terkait standar garis kemiskinan di Indonesia. Pemicunya, ada perbedaan besar standar garis kemiskinan internasional versi Bank Dunia dengan garis kemiskinan nasional versi BPS.

    Dalam publikasi bertajuk The World Bank’s Updated Global Poverty Lines: Indonesia, Bank Dunia pun buka suara terkait terkait polemik tersebut.

    Bank Dunia menyatakan bahwa tujuan penggunaan garis kemiskinan internasional berbeda dengan garis kemiskinan nasional. Garis kemiskinan internasional digunakan untuk perbandingan antarnegara; sementara garis kemiskinan nasional digunakan untuk menerapkan kebijakan di tingkat nasional, seperti program perlindungan sosial kepada kaum miskin.

    “Untuk pertanyaan tentang kebijakan nasional di Indonesia, garis kemiskinan nasional dan statistik kemiskinan yang diterbitkan oleh BPS adalah yang paling tepat. Garis kemiskinan internasional yang diterbitkan oleh Bank Dunia sesuai untuk … membandingkan Indonesia dengan negara lain,” jelas Bank Dunia, dikutip Sabtu (14/6/2025).

    Adapun, Bank Dunia memakai tiga kategori garis kemiskinan yaitu garis kemiskinan ekstrem/negara berpendapatan rendah, garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-bawah, dan garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-atas.

    Garis kemiskinan International tersebut dihitung berdasarkan median atau nilai tengah garis kemiskinan nasional masing-masing negara di tiga kategori tersebut, yang kemudian dikonversi ke perhitungan paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP) 2021.

    PPP merupakan pengukuran perbandingan biaya yang dibutuhkan untuk membeli suatu barang/jasa antarnegara. Misalnya, US$1 di New York tentu memiliki daya beli yang berbeda dengan US$1 di Jakarta.

    PPP memungkinkan perhitungan keterbandingan tingkat kemiskinan antarnegara yang memiliki tingkat biaya hidup yang berbeda-beda. Untuk Indonesia, Bank Dunia mencatat US$1 PPP 2021 setara sekitar Rp6.071.

    Hasilnya, Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan negara berpendapatan rendah sebesar US$3 per orang per hari (sekitar Rp546.400 per orang per bulan), garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-bawah US$4,2 per orang per hari (sekitar Rp765.000 per orang per bulan), dan garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-atas US$8,3 per orang per hari (Rp1.512.000 per orang per bulan).

    “Menurut garis kemiskinan ekstrem internasional yang baru, 5,4% penduduk Indonesia miskin pada 2024, 19,9% miskin menurut garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-bawah, dan 68,3% miskin menurut garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-atas,” tulis Bank Dunia.

    Bank Dunia telah mengategorikan Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah-atas sejak 2023. Hanya saja, lembaga internasional tersebut menggarisbawahi bahwa pendapatan per kapita Indonesia masih berada di kisaran batas bawah negara-negara pendapatan menengah atas.

    Contohnya dalam kategori negara pendapatan menengah-atas, ada negara yang pendapatan perkapitanya hingga US$14.005. Angka tersebut hampir tiga kali lipat dari pendapatan per kapita Indonesia yang baru sebesar US$4.810 pada 2023.

    “Statistik kemiskinan untuk ketiga garis kemiskinan internasional relevan bagi Indonesia, tetapi karena negara ini baru saja menjadi negara berpendapatan menengah-atas, perhatian khusus diberikan kepada garis kemiskinan berpendapatan menengah-bawah dan menengah-atas,” jelas Bank Dunia.

    Berbeda dengan BPS

    Masalahnya, banyak yang membandingkan garis kemiskinan internasional versi Bank Dunia itu dengan garis kemiskinan nasional versi BPS.

    Berdasarkan Susenas September 2024, BPS mencatat ambang batas garis kemiskinan nasional senilai Rp595.243 per orang per bulan. Angka tersebut hampir setara dengan standar garis kemiskinan internasional untuk negara berpenghasilan rendah versi Bank Dunia yaitu Rp546.400 per orang per bulan.

    Padahal, Bank Dunia menggarisbawahi bahwa keadaan di Indonesia lebih mencerminkan standar garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-bawah (Rp765.000 per orang per bulan) dan menengah-atas (Rp1.512.000 per orang per bulan).

    Tak heran apabila jumlah penduduk miskin Indonesia versi BPS berbeda cukup jauh dengan versi Bank Dunia.

    BPS mencatat penduduk miskin Indonesia ‘hanya’ 24,06 juta orang atau setara 8,57% dari total populasi. Sementara Bank Dunia mencatat penduduk miskin Indonesia mencapai 19,9% berdasarkan garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-bawah atau 68,3% berdasarkan garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-atas.

    Sebagai gambaran, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar dalam menghitung garis kemiskinan nasional. Kebutuhan dasar tersebut dibagi menjadi dua kategori, yakni komoditas makanan dan komoditas bukan makanan.

    Untuk makanan, BPS memakai standar kebutuhan gizi versi Kementerian Kesehatan yaitu minimum 2.100 kilokalori (kkal) per kapita per hari. BPS pun menggunakan 52 jenis komoditas makanan untuk menentukan kebutuhan 2.100 kkal tersebut seperti beras, kue basah, hingga rokok kretek filter.

    Sementara itu, untuk bukan makanan, BPS menggunakan 51 jenis komoditas di perkotaan dan 47 jenis komoditas di pedesaan yang dirasa diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti perumahan, listrik, hingga pajak kendaraan motor.

    BPS pun mengalkulasi garis kemiskinan sesuai dengan nilai pengeluaran masyarakat untuk membeli komoditas makanan dan bukan makanan tersebut. Kalkulasi garis kemiskinan tersebut dilakukan lewat Susenas yang diadakan dua kali dalam setahun yaitu pada Maret dan September.

  • Tak Ada Penebalan Bansos Meski Garis Kemiskinan Direvisi

    Tak Ada Penebalan Bansos Meski Garis Kemiskinan Direvisi

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah tidak akan mempertebal atau menambah bantuan sosial alias bansos, meskipun jumlah penduduk miskin bisa bertambah akibat adanya revisi garis kemiskinan nasional.

    Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Kependudukan, dan Ketenagakerjaan, Kementerian PPN/Bappenas Maliki menjelaskan bahwa pemerintah sedang menggodok metode perhitungan garis kemiskinan nasional yang baru.

    Maliki mengakui bahwa konsekuensi perbaikan garis kemiskinan adalah peningkatan jumlah penduduk miskin. Dia menekankan bahwa perubahan jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan ini menjadi patokan kebijakan sistem penargetan program bantuan sosial (bansos) dan pemberdayaan. 

    Selama ini target perlindungan sosial tidak hanya untuk penduduk miskin, tetapi juga untuk penduduk rentan miskin. Oleh sebab itu, diyakini penduduk kategori miskin yang bertambah akan tetap terlindungi oleh berbagai program bantuan pemerintah.

    Maliki mencontohkan data BPS menunjukkan penduduk miskin mencapai 8,57% dari total populasi atau setara 24,06 juta orang, sementara penerima bantuan iuran jaminan kesehatan nasional (JKN) sekitar 40% penduduk termiskin. 

    Selain itu, sambungnya, program keluarga harapan (PKH) diterima oleh 10 juta keluarga miskin. Jika satu keluarga miskin rata-rata memiliki 5 anggota maka PKH mencakup 50 juta penduduk.

    Dia menekankan ke depan yang menjadi perhatian adalah akurasi penyaluran program tersebut. Menurutnya, hal itu sudah menjadi fokus utama pemerintah melalui penyusunan DTSEN atau Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional.

    “Program bantuan pemerintah tetap, meskipun ada wacana penebalan, tetapi yang harus kita fokuskan nanti adalah konsolidasi supaya program-program tersebut betul-betul bisa menyasar orang-orang yang tepat dengan manfaat yang lebih optimal,” jelas Maliki kepada Bisnis, dikutip pada Sabtu (14/6/2025).

    Dia menggarisbawahi yang harus menjadi fokus ke depan adalah, apakah berbagai program bansos itu berhasil menekan angka kemiskinan yang dihitung dengan metode terbaru.

    Artinya jika metode perhitungan garis kemiskinan yang baru mulai berlaku pada tahun ini harus mampu konsisten dengan upaya penanggulangan kemiskinan, baik itu melalui bantuan sosial maupun pemberdayaan lainnya. Dengan perubahan metodologi yang tepat, pengukuran kemiskinan tahun depan harus dapat menggambarkan perubahan yang objektif.

    “Jadi sebenarnya masalahnya adalah seberapa efektif sih program yang kita kucurkan, karena uangnya udah cukup besar menurut saya. Jadi itu yang harus menjadi concern [perhatian] kita ke depan,” ungkapnya.

    Senada, Koordinator Bidang Kajian Pengentasan Kemiskinan dan Ketimpangan FEB UGM Wisnu Setiadi Nugroho mengungkapkan bahwa program-program jaminan sosial sudah siap menangkap peningkatan jumlah penduduk kategori miskin apabila metode perhitungan garis kemiskinan diperbaharui.

    Dia pun mengutip pernyataan anggota Dewan Ekonomi Nasional Arief Anshory Yusuf yang mengusulkan Indonesia mengikuti standar garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-bawah versi Bank Dunia sebesar US$4,2 PPP per orang per bulan atau sekitar Rp765.000 per orang per bulan. Dengan standar itu, maka penduduk miskin akan naik dari 8,57% enjadi 20% dari total populasi pada 2024.

    Sementara itu, jaminan sosial sudah mencakup hingga 40% rumah tangga termiskin dengan variasi program dan anggaran. Oleh sebab itu, kenaikan jumlah penduduk kategori miskin tidak akan terlalu berdampak ke bansos.

    “Mungkin yang perlu dicermati untuk memastikan bahwa data yang ada ter-update [diperbaharui] dengan baik sehingga sasaran program lebih akurat dan lebih baik,” ujar Wisnu kepada Bisnis.

    Selain itu, dia mendorong dipikirkan alternatif selain bansos untuk mengurangi angka kemiskinan. Wisnu mengingatkan bahwa bansos hanya sekadar jaringan pengaman yang sifatnya sementara.

    “Sudah mulai harus dipikirkan, [bagaimana] mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan merata sehingga menarik RTSM [rumah tangga sangat miskin] dari garis kemiskinan absolut yang baru,” tutupnya.

    Urgensi Revisi Garis Kemiskinan

    Sementara itu, Maliki mengungkapkan metode perhitungan garis kemiskinan nasional belum pernah diperbaharui sejak 1997. Padahal, sambungnya, selama itu kondisi sosial ekonomi masyarakat sudah banyak berubah.

    Dia mencontohkan pola konsumsi masyarakat sudah sangat berbeda dari dua dekade lalu, misalnya kini orang-orang banyak yang memesan makanan jadi daripada memasak sendiri. Selain itu kondisi kesejahteraan masyarakat juga relatif lebih baik, tercerminkan dari status Indonesia yang saat ini sudah menjadi negara kelas menengah-atas.

    Oleh sebab itu, Bappenas bersama Badan Pusat Statistik (BPS) dan para ahli sepakat merancang metode perhitungan garis kemiskinan yang lebih pas memotret kondisi masyarakat.

    “Amanat untuk perubahan pengukuran [garis kemiskinan nasional] ini sudah ada di dalam RPJMN 2025—2029 dan persiapannya sudah 5 tahun ke belakang,” ujar Maliki.

    Apalagi, sambungnya, banyak negara lain yang sudah merevisi garis kemiskinannya. Hal itu tercermin dari publikasi Bank Dunia yang mengadopsi basis perhitungan paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP) 2021, tak lagi PPP 2017.

    Akibatnya, kini garis kemiskinan negara berpenghasilan rendah naik dari US$2,15 menjadi US$3 per orang per hari, garis kemiskinan negara berpenghasilan menengah-bawah naik dari US$3,65 menjadi US$4,2 per orang per hari, dan garis kemiskinan negara berpenghasilan menengah-atas naik dari US$6,85 menjadi US$8,3 per orang per hari.

    Maliki menerangkan bahwa standar garis kemiskinan Bank Dunia itu ditentukan berdasarkan median atau nilai tengah dari garis kemiskinan negara berpenghasilan rendah, negara berpenghasilan menengah-bawah, dan negara berpenghasilan menengah-atas.

    Artinya, jika terjadi kenaikan garis kemiskinan internasional versi Bank Dunia maka banyak negara yang sudah terlebih dahulu merevisi ke atas garis kemiskinan nasionalnya.

    “Banyak sekali negara-negara itu sudah meng-update [membarui] garis kemiskinan mereka. Jadi hampir kalau tidak salah sekitar 60% negara-negara itu sudah meng-update. Jadi ini sekarang kita harus meng-update, betul-betul harus meng-update,” ujarnya.

  • Tak Ada Penebalan Bansos Meski Garis Kemiskinan Direvisi

    Revisi Garis Kemiskinan Punya ‘Efek Samping’, Ini Strategi Mengatasinya

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah tidak akan mempertebal atau menambah bantuan sosial alias bansos, meskipun jumlah penduduk miskin bisa bertambah akibat adanya revisi garis kemiskinan nasional.

    Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Kependudukan, dan Ketenagakerjaan, Kementerian PPN/Bappenas Maliki menjelaskan bahwa pemerintah sedang menggodok metode perhitungan garis kemiskinan nasional yang baru.

    Maliki mengakui bahwa konsekuensi perbaikan garis kemiskinan adalah peningkatan jumlah penduduk miskin. Dia menekankan bahwa perubahan jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan ini menjadi patokan kebijakan sistem penargetan program bantuan sosial (bansos) dan pemberdayaan. 

    Selama ini target perlindungan sosial tidak hanya untuk penduduk miskin, tetapi juga untuk penduduk rentan miskin. Oleh sebab itu, diyakini penduduk kategori miskin yang bertambah akan tetap terlindungi oleh berbagai program bantuan pemerintah.

    Maliki mencontohkan data BPS menunjukkan penduduk miskin mencapai 8,57% dari total populasi atau setara 24,06 juta orang, sementara penerima bantuan iuran jaminan kesehatan nasional (JKN) sekitar 40% penduduk termiskin. 

    Selain itu, sambungnya, program keluarga harapan (PKH) diterima oleh 10 juta keluarga miskin. Jika satu keluarga miskin rata-rata memiliki 5 anggota maka PKH mencakup 50 juta penduduk.

    Dia menekankan ke depan yang menjadi perhatian adalah akurasi penyaluran program tersebut. Menurutnya, hal itu sudah menjadi fokus utama pemerintah melalui penyusunan DTSEN atau Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional.

    “Program bantuan pemerintah tetap, meskipun ada wacana penebalan, tetapi yang harus kita fokuskan nanti adalah konsolidasi supaya program-program tersebut betul-betul bisa menyasar orang-orang yang tepat dengan manfaat yang lebih optimal,” jelas Maliki kepada Bisnis, dikutip pada Sabtu (14/6/2025).

    Dia menggarisbawahi yang harus menjadi fokus ke depan adalah, apakah berbagai program bansos itu berhasil menekan angka kemiskinan yang dihitung dengan metode terbaru.

    Artinya jika metode perhitungan garis kemiskinan yang baru mulai berlaku pada tahun ini harus mampu konsisten dengan upaya penanggulangan kemiskinan, baik itu melalui bantuan sosial maupun pemberdayaan lainnya. Dengan perubahan metodologi yang tepat, pengukuran kemiskinan tahun depan harus dapat menggambarkan perubahan yang objektif.

    “Jadi sebenarnya masalahnya adalah seberapa efektif sih program yang kita kucurkan, karena uangnya udah cukup besar menurut saya. Jadi itu yang harus menjadi concern [perhatian] kita ke depan,” ungkapnya.

    Senada, Koordinator Bidang Kajian Pengentasan Kemiskinan dan Ketimpangan FEB UGM Wisnu Setiadi Nugroho mengungkapkan bahwa program-program jaminan sosial sudah siap menangkap peningkatan jumlah penduduk kategori miskin apabila metode perhitungan garis kemiskinan diperbaharui.

    Dia pun mengutip pernyataan anggota Dewan Ekonomi Nasional Arief Anshory Yusuf yang mengusulkan Indonesia mengikuti standar garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-bawah versi Bank Dunia sebesar US$4,2 PPP per orang per bulan atau sekitar Rp765.000 per orang per bulan. Dengan standar itu, maka penduduk miskin akan naik dari 8,57% enjadi 20% dari total populasi pada 2024.

    Sementara itu, jaminan sosial sudah mencakup hingga 40% rumah tangga termiskin dengan variasi program dan anggaran. Oleh sebab itu, kenaikan jumlah penduduk kategori miskin tidak akan terlalu berdampak ke bansos.

    “Mungkin yang perlu dicermati untuk memastikan bahwa data yang ada ter-update [diperbaharui] dengan baik sehingga sasaran program lebih akurat dan lebih baik,” ujar Wisnu kepada Bisnis.

    Selain itu, dia mendorong dipikirkan alternatif selain bansos untuk mengurangi angka kemiskinan. Wisnu mengingatkan bahwa bansos hanya sekadar jaringan pengaman yang sifatnya sementara.

    “Sudah mulai harus dipikirkan, [bagaimana] mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan merata sehingga menarik RTSM [rumah tangga sangat miskin] dari garis kemiskinan absolut yang baru,” tutupnya.

    Urgensi Revisi Garis Kemiskinan

    Sementara itu, Maliki mengungkapkan metode perhitungan garis kemiskinan nasional belum pernah diperbaharui sejak 1997. Padahal, sambungnya, selama itu kondisi sosial ekonomi masyarakat sudah banyak berubah.

    Dia mencontohkan pola konsumsi masyarakat sudah sangat berbeda dari dua dekade lalu, misalnya kini orang-orang banyak yang memesan makanan jadi daripada memasak sendiri. Selain itu kondisi kesejahteraan masyarakat juga relatif lebih baik, tercerminkan dari status Indonesia yang saat ini sudah menjadi negara kelas menengah-atas.

    Oleh sebab itu, Bappenas bersama Badan Pusat Statistik (BPS) dan para ahli sepakat merancang metode perhitungan garis kemiskinan yang lebih pas memotret kondisi masyarakat.

    “Amanat untuk perubahan pengukuran [garis kemiskinan nasional] ini sudah ada di dalam RPJMN 2025—2029 dan persiapannya sudah 5 tahun ke belakang,” ujar Maliki.

    Apalagi, sambungnya, banyak negara lain yang sudah merevisi garis kemiskinannya. Hal itu tercermin dari publikasi Bank Dunia yang mengadopsi basis perhitungan paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP) 2021, tak lagi PPP 2017.

    Akibatnya, kini garis kemiskinan negara berpenghasilan rendah naik dari US$2,15 menjadi US$3 per orang per hari, garis kemiskinan negara berpenghasilan menengah-bawah naik dari US$3,65 menjadi US$4,2 per orang per hari, dan garis kemiskinan negara berpenghasilan menengah-atas naik dari US$6,85 menjadi US$8,3 per orang per hari.

    Maliki menerangkan bahwa standar garis kemiskinan Bank Dunia itu ditentukan berdasarkan median atau nilai tengah dari garis kemiskinan negara berpenghasilan rendah, negara berpenghasilan menengah-bawah, dan negara berpenghasilan menengah-atas.

    Artinya, jika terjadi kenaikan garis kemiskinan internasional versi Bank Dunia maka banyak negara yang sudah terlebih dahulu merevisi ke atas garis kemiskinan nasionalnya.

    “Banyak sekali negara-negara itu sudah meng-update [membarui] garis kemiskinan mereka. Jadi hampir kalau tidak salah sekitar 60% negara-negara itu sudah meng-update. Jadi ini sekarang kita harus meng-update, betul-betul harus meng-update,” ujarnya.

  • PCO: 8 Juta Warga Sudah Ikut Program Cek Kesehatan Gratis (CKG)

    PCO: 8 Juta Warga Sudah Ikut Program Cek Kesehatan Gratis (CKG)

    Bisnis.com, JAKARTA — Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) menyampaikan program Cek Kesehatan Gratis (CKG) telah menjangkau lebih dari 8,2 juta warga Indonesia sejak diluncurkan empat bulan lalu.

    Tenaga Ahli Utama Komunikasi Kepresidenan Prita Laura mengatakan bahwa program ini menjadi salah satu inisiatif kesehatan publik terbesar di dunia yang menargetkan 280 juta penduduk dalam lima tahun, dengan 60 juta warga di tahun pertama.

    “CKG dirancang sebagai hadiah ulang tahun dari negara. Setiap warga berhak mendapatkan pemeriksaan kesehatan gratis senilai lebih dari Rp1 juta jika dilakukan secara mandiri,” ujarnya melalui rilis, Jumat (13/6/2025).

    Dia menjelaskan bahwa program ini secara khusus menargetkan penyakit tidak menular seperti hipertensi, diabetes, stroke, dan gagal ginjal yang menyumbang lebih dari 500.000 kematian per tahun.

    Pemeriksaan dilakukan melalui 9.552 puskesmas di 38 provinsi dan mencakup pengukuran tekanan darah, gula darah, pemeriksaan mata, telinga, serta kesehatan jiwa. 

    Berdasarkan data Kementerian Kesehatan mencatatkan bahwa selama pemeriksaan masyarakat, ditemukan bahwa 1 dari 5 peserta mengalami hipertensi dan 5,9% menderita diabetes mellitus. Tak hanya itu, 50% peserta mengalami masalah gigi dan mulut dan obesitas sentral ditemukan pada 50% perempuan dan 25% laki-laki

    “Biaya pengobatan penyakit-penyakit ini sangat besar, melebihi Rp20 triliun per tahun. Anggaran sebesar itu bisa digunakan untuk renovasi 10 ribu sekolah atau revitalisasi lebih dari 60 RSUD di wilayah 3T,” imbuhnya.

    Saat ini, program CKG melibatkan kolaborasi antara puluhan ribu puskesmas, ratusan dinas kesehatan, Kementerian Kesehatan, serta Kabinet Merah Putih. Semua anggota kabinet disebut terlibat aktif dalam mempromosikan CKG di masyarakat.

    Partisipasi tertinggi tercatat di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat, menyumbang sekitar 60% peserta nasional. Keberhasilan Jawa Tengah juga didukung oleh program inovatif daerah “Speling” atau Dokter Spesialis Keliling, yang menghadirkan layanan spesialis ke desa-desa terpencil.

    Namun, CKG juga menunjukkan ketimpangan partisipasi antara laki-laki dan perempuan. Data menunjukkan 62,2% peserta adalah perempuan, sementara laki-laki hanya 37,7%, menunjukkan perlunya peningkatan kesadaran pria terhadap pentingnya deteksi dini kesehatan.

    Program CKG sejalan dengan praktik terbaik global. Di Jepang, pemeriksaan tahunan bagi pekerja diwajibkan. Di Inggris, sistem NHS menyediakan skrining gratis bagi warga usia 40–74 tahun. WHO dan Bank Dunia pun menekankan bahwa deteksi dini jauh lebih murah dibanding pengobatan penyakit kronis. 

    “CKG adalah investasi strategis nasional menyelamatkan nyawa, menjaga produktivitas, dan mengurangi beban ekonomi keluarga dan negara,” pungkas Prita.

  • Investasi Infrastruktur Kini Jadi Prioritas untuk Dongkrak Ekonomi Kreatif

    Investasi Infrastruktur Kini Jadi Prioritas untuk Dongkrak Ekonomi Kreatif

    Jakarta

    Kementerian Ekonomi Kreatif (Kementerian Ekraf) mendukung International Conference on Infrastructure (ICI) 2025 sebagai wadah strategis yang mendorong kolaborasi mewujudkan infrastruktur yang berkelanjutan di Indonesia. Infrastruktur yang kuat, adaptif, dan inovatif tentunya akan menjadi jembatan yang kokoh bagi pertumbuhan ekonomi kreatif.

    Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (Menko Infra) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) selaku tuan rumah mengharapkan konferensi ini bisa mendorong pertukaran ide, memperkuat kolaborasi, dan mempercepat investasi dalam memajukan pembangunan infrastruktur yang menjadi prioritas nasional. AHY juga menekankan ICI 2025 bukan hanya forum diskusi, tetapi juga landasan aksi nyata yang berani untuk memperluas infrastruktur di Indonesia.

    “ICI 2025 mengungkap tema infrastruktur berkelanjutan untuk masa depan, inovasi, dan kolaborasi. Ini akan menjadi forum yang menjadi landasan tindakan transformatif untuk menentukan arah perjalanan Indonesia. Keberhasilan kita akan bergantung pada apa yang kita bangun, bagaimana kita membangunnya, dan yang terpenting untuk siapa kita membangunnya,” kata AHY saat membuka acara yang berlangsung di Jakarta International Convention Center (JICC), Senayan, Jakarta pada Rabu, 11 Juni 2025.

    ICI 2025 yang dimotori Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Kewilayahan (Kemenko Infra) berlangsung pada 11-12 Juni 2025 yang diikuti perwakilan pemerintah pusat dan daerah, lembaga keuangan, sektor swasta (perusahaan multinasional) terkait infrastruktur, organisasi internasional, para ahli, praktisi, serta akademisi. Sesi diskusi panel dan tematik hingga exhibition dari beragam booth diharapkan bisa memperkuat kolaborasi serta memajukan pembangunan infrastruktur di Indonesia.

    Acara itu diikuti hampir 7 ribu peserta dari 26 negara mulai dari Indonesia, Singapura, Jepang, Korea Selatan, Vietnam, Myanmar, Iran, Turki, Uni Emirat Arab, Australia, Kanada, Norwegia, Spanyol, Hungaria, Denmark, Prancis, Inggris, Jerman, Uruguay, Finlandia, Swiss, Azerbaijan, China, Rusia, hingga Amerika Serikat. Selain itu hadir pula berbagai investor dan lembaga pembiayaan terkemuka seperti Macquarie (Australia), GIC (Singapura), World Bank, International Finance Corporation (IFC), Asian Development Bank (ADB), dan The Asia Group.

    “Infrastruktur bukan hanya tentang apa yang kita bangun, tetapi tentang apa yang kita wujudkan. Ini memungkinkan seorang anak belajar dengan aman di sekolah, seorang petani bisa mengairi tanaman mereka dalam iklim yang berubah, sebuah keluarga mampu mengakses air bersih, dan seorang wirausahawan dapat memasarkan ide-ide kreatif mereka. Semoga ICI 2025 menjadi landasan bagi dunia yang lebih baik, lebih terhubung, dan lebih tangguh,” imbuh AHY.

    Menteri Ekonomi Kreatif (Menteri Ekraf) Teuku Riefky Harsya yang turut hadir dalam ICI 2025 menilai infrastruktur penting sebagai fondasi yang mendukung pertumbuhan ekonomi kreatif. Infrastruktur dinilai sangat erat dengan ekonomi kreatif seperti dalam hal aksesibilitas dan distribusi, konektivitas digital, hingga terciptanya ruang kreatif serta inovasi.

    “Kami ingin memastikan infrastruktur yang memadai di Indonesia bisa menjadi fondasi dan akses bagi pengembangan subsektor ekonomi kreatif untuk menciptakan kolaborasi yang produktif dan berkelanjutan,” ujar Menteri Ekraf Teuku Riefky.

    Kementerian Ekraf sebagai salah satu kolaborator turut mengaktivasi booth inovatif mulai dari layanan konsultasi kekayaan intelektual, pameran mini maket ruang kreatif, tur virtual dan video kota-kota kreatif terkait UNESCO Creative Cities Network (UCCN). Selain itu ada juga sosialisasi melalui poster tentang lokasi prioritas pengembangan ekonomi kreatif berbagai daerah di Indonesia.

    “Melalui aktivasi booth dalam konferensi ini, kami ingin memperkenalkan Kementerian Ekonomi Kreatif yang punya layanan konsultasi kekayaan intelektual dan fasilitasi ruang kreatif untuk mendorong konektivitas dan investasi berbagai subsektor ekraf,” ujar Menteri Ekraf Teuku Riefky.

    Dalam pembukaan ICI 2025 hadir pula Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Tamsil Linrung, Menteri Pekerjaan Umum Dody Hanggodo, Menteri Transmigrasi Iftitah Sulaiman Suryanagara, Menteri UMKM Maman Abdurrahman, Wakil Menteri Perhubungan Suntana, dan Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang Indonesia Ossy Dermawan.

    Sedangkan para pejabat Kementerian Ekraf mendampingi Menteri Ekraf Teuku Riefky dalam acara yaitu Deputi Bidang Pengembangan Kebijakan Strategis Ekonomi Kreatif Cecep Rukendi, Staf Khusus Menteri Bidang Isu Strategis dan Antarlembaga Rian Firmansyah, serta Direktur Fasilitasi Infrastruktur Fahmy Akmal.

    (fdl/fdl)

  • Bappenas Pastikan Perhitungan Garis Kemiskinan Sedang Direvisi

    Bappenas Pastikan Perhitungan Garis Kemiskinan Sedang Direvisi

    Bisnis.com, JAKARTA — Badan Perencanaan Pembangunan Nasional alias Bappenas atau Kementerian PPN memastikan terdapat revisi atau pembaruan metode perhitungan garis kemiskinan nasional.

    Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Kependudukan, dan Ketenagakerjaan, Kementerian PPN/Bappenas Maliki mengungkapkan metode perhitungan garis kemiskinan belum pernah diperbaharui sejak 1997. Padahal, sambungnya, selama itu kondisi sosial ekonomi masyarakat sudah banyak berubah.

    Dia mencontohkan pola konsumsi masyarakat sudah sangat berbeda dari dua dekade lalu, misalnya kini orang-orang banyak yang memesan makanan jadi daripada memasak sendiri. Selain itu kondisi kesejahteraan masyarakat juga relatif lebih baik, tercermin dari status Indonesia yang saat ini sudah menjadi negara kelas menengah-atas. 

    Oleh sebab itu, Bappenas bersama Badan Pusat Statistik (BPS) dan para ahli sepakat merancang metode perhitungan garis kemiskinan yang lebih pas memotret kondisi masyarakat.

    “Amanat untuk perubahan pengukuran [garis kemiskinan nasional] ini sudah ada di dalam RPJMN 2025—2029 dan persiapannya sudah 5 tahun ke belakang,” ujar Maliki kepada Bisnis, Kamis (12/6/2025).

    Apalagi, sambungnya, banyak negara lain yang sudah merevisi garis kemiskinannya. Hal itu tampak dari publikasi Bank Dunia yang mengadopsi basis perhitungan paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP) 2021, tak lagi PPP 2017.

    Akibatnya, kini garis kemiskinan negara berpenghasilan rendah naik dari US$2,15 menjadi US$3 per orang per hari, garis kemiskinan negara berpenghasilan menengah-bawah naik dari US$3,65 menjadi US$4,2 per orang per hari, dan garis kemiskinan negara berpenghasilan menengah-atas naik dari US$6,85 menjadi US$8,3 per orang per hari.

    Maliki menerangkan bahwa standar garis kemiskinan Bank Dunia itu ditentukan berdasarkan median atau nilai tengah dari garis kemiskinan negara berpenghasilan rendah, negara berpenghasilan menengah-bawah, dan negara berpenghasilan menengah-atas.

    Artinya, jika terjadi kenaikan garis kemiskinan internasional versi Bank Dunia maka banyak negara yang sudah terlebih dahulu merevisi ke atas garis kemiskinan nasionalnya.

    “Banyak sekali negara-negara itu sudah mengupdate garis kemiskinan mereka. Jadi hampir kalau tidak salah sekitar 60% negara-negara itu sudah meng-update [pembaharui]. Jadi ini sekarang kita harus meng-update, betul-betul harus meng-update,” ujarnya.

    Bansos Harus Lebih Efektif

    Maliki mengakui bahwa konsekuensi perbaikan garis kemiskinan adalah peningkatan jumlah penduduk miskin. Dia menekankan bahwa perubahan jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan ini menjadi patokan kebijakan sistem penargetan program bantuan sosial (bansos) dan pemberdayaan. 

    Selama ini target perlindungan sosial tidak hanya untuk penduduk miskin, tetapi juga untuk penduduk rentan miskin. Oleh sebab itu, diyakini penduduk kategori miskin yang bertambah akan tetap terlindungi oleh berbagai program bantuan pemerintah.

    Maliki mencontohkan data BPS menunjukkan penduduk miskin mencapai 8,57% dari total populasi atau setara 24,06 juta orang, sementara penerima bantuan iuran jaminan kesehatan nasional (JKN) sekitar 40% penduduk termiskin. 

    Selain itu, sambungnya, program keluarga harapan (PKH) diterima oleh 10 juta keluarga miskin. Jika satu keluarga miskin rata-rata memiliki 5 anggota maka PKH mencakup 50 juta penduduk.

    Dia menekankan ke depan yang menjadi perhatian adalah akurasi penyaluran program tersebut. Menurutnya, hal itu sudah menjadi fokus utama pemerintah melalui penyusunan DTSEN atau Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional.

    “Program bantuan pemerintah tetap, meskipun ada wacana penebalan, tetapi yang harus kita fokuskan nanti adalah konsolidasi supaya program-program tersebut betul-betul bisa menyasar orang-orang yang tepat dengan manfaat yang lebih optimal,” jelas Maliki.

    Dia menggarisbawahi yang harus menjadi fokus ke depan adalah, apakah berbagai program bansos itu berhasil menekan angka kemiskinan yang dihitung dengan metode terbaru.

    Artinya jika metode perhitungan garis kemiskinan yang baru mulai berlaku pada tahun ini harus mampu konsisten dengan upaya penanggulangan kemiskinan, baik itu melalui bantuan sosial maupun pemberdayaan lainnya. Dengan perubahan metodologi yang tepat, pengukuran kemiskinan tahun depan harus dapat menggambarkan perubahan yang objektif. 

    “Jadi sebenarnya masalahnya adalah seberapa efektif sih program yang kita kucurkan, karena uangnya udah cukup besar menurut saya. Jadi itu yang harus menjadi concern [perhatian] kita ke depan,” ungkapnya.

  • Sri Mulyani: Butuh Rp 10.000 T Bangun Infrastruktur, Modal Negara Hanya 40% – Page 3

    Sri Mulyani: Butuh Rp 10.000 T Bangun Infrastruktur, Modal Negara Hanya 40% – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan total kebutuhan investasi infrastruktur Indonesia untuk 2025-2029 diperkirakan mencapai USD 625,37 miliar atau sekiyar Rp10,000 triliun.

    Namun, Sri Mulyani mencatat, anggaran pemerintah untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur hanya sekitar 40%. Dengan demikian, anggaran pemerintah hanya mampu memenuhi USD 250,15 miliar atau sekitar Rp4.065 triliun.

    “Total kebutuhan investasi infrastruktur untuk periode 2025 hingga 2029 diperkirakan sekitar USD 625 miliar, anggaran pemerintah yang digabungkan dengan anggaran pemerintah daerah mencakup sekitar 40%” kata Sri Mulyani, dalam kegiatan ICI 2025 di JICC Senayan, Jakarta, Kamis (12/6/2025).

    Kondisi tersebut, Sri Mulyani mengingatkan, Indonesia berisiko mengalami kesenjangan pendanaan. Karena itu, dibutuhkan partisipasi dari sektor swasta dan dukungan dari banyak mitra untuk memungkinkan sumber pendanaan yang luas.

    Sri Mulyani juga menyoroti, tantangan domestik terjadi di tengah meningkatnya tekanan global, yang saat ini dihadapi situasi geopolitik di beberapa kawasan.

    “Dunia saat ini penuh dengan ketegangan geopolitik yang terus-menerus, yang mengakibatkan fragmentasi dan ketidakstabilan di seluruh negara dan kawasan, prospek ekonomi global tidak bagus,” ucap Sri Mulyani.

    Menkeu mengutip proyeksi OECD yang menunjukkan penurunan pertumbuhan ekonomi global hanya mencapai 2,9% pada 2025. 

    Adapun laporan baru Bank Dunia yang mengungkapkan pertumbuhan ekonomi global pada 2025 akan kontraksi 0,4% hingga hanya tumbuh 2,3%.

     

  • Butuh Rp 10.000 T Bangun Infrastruktur, Uang Negara Cuma Cukup 40%

    Butuh Rp 10.000 T Bangun Infrastruktur, Uang Negara Cuma Cukup 40%

    Jakarta

    Total kebutuhan investasi infrastruktur Indonesia periode 2025-2029 diperkirakan mencapai US$ 625,37 miliar atau setara Rp 10.162 triliun (kurs Rp 16.250). Namun anggaran pemerintah hanya cukup untuk memenuhi kebutuhannya sekitar 40%.

    Hal ini disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam acara International Conference on Infrastructure (ICI) 2025. Dengan demikian, anggaran pemerintah hanya mampu memenuhi US$ 250,15 miliar atau sekitar Rp 4.065 triliun.

    “Total kebutuhan investasi infrastruktur untuk periode 2025 hingga 2029 diperkirakan sekitar US$ 625 miliar, anggaran pemerintah yang digabungkan dengan anggaran pemerintah daerah akan mencakup sekitar 40%” kata Sri Mulyani, di Jakarta Convention Center (JCC), Kamis (12/6/2025).

    Atas kondisi tersebut, menurut Sri Mulyani, dapat dipastikan bahwa Indonesia akan mengalami kesenjangan pendanaan. Oleh karena itu, RI membutuhkan partisipasi dari sektor swasta dan juga dukungan dari banyak mitra, serta juga menuntut terciptanya mekanisme pendanaan yang inovatif.

    Sri Mulyani mengatakan, prioritas domestik ini bersinggungan dengan meningkatnya tekanan global, yang saat ini sedang terjadi, mulai dari perang dagang hingga tekanan geopolitik di beberapa kawasan.

    “Dunia saat ini penuh dengan ketegangan geopolitik yang terus-menerus, yang mengakibatkan fragmentasi dan ketidakstabilan di seluruh negara dan kawasan, prospek ekonomi global tidak bagus,” ujarnya.

    Ia pun mengutip perkiraan OECD di mana terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi global, dari pertumbuhan PDB global 3,4% pada tahun 2024 menjadi hanya 2,9% pada tahun 2025. Sedangkan Bank Dunia dalam beberapa hari ini menerima laporan baru bahwa peningkatan ekonomi global pada tahun 2025 akan turun 0,4% hingga hanya 2,3%.

    Tantangan ini dikombinasikan dengan risiko iklim yang semakin intensif sehingga akan memberikan tantangan besar bagi banyak negara untuk merencanakan serta melaksanakan pembangunan infrastruktur. Organisasi Meteorologi Dunia juga menandatangani peningkatan temperatur global akan mencapai rekor tinggi selama lima tahun berikutnya.

    “Jadi dengan peningkatan perubahan iklim membutuhkan level infrastruktur yang baru yaitu resiliensi. Cuaca ekstrem, transisi energi, dan degradasi lingkungan membutuhkan kita untuk melewati pembangunan fisik dan mengintegrasikan kesejahteraan jangka panjang,” ujarnya.

    (shc/fdl)

  • Bank Dunia Pangkas Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia pada 2025 – Page 3

    Bank Dunia Pangkas Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia pada 2025 – Page 3

    Sebelumnya, Bank Dunia memangkas tajam prediksi pertumbuhan ekonomi global pada Selasa, 10 Juni 2025. Bank Dunia menilai gangguan dari ketidakpastian perdagangan mendorongnya memangkas pertumbuhan ekonomi.

    Mengutip CNBC, Rabu (11/6/2025), Bank Dunia kini prediksi ekonomi global akan tumbuh 2,3% pada 2025, turun dari perkiraan sebelumnya sebesar 2,7%.

    “Ini akan menandai tingkat pertumbuhan global paling lambat sejak 2008, selain dari resesi global secara langsung,” kata Bank Dunia dalam laporan prospek ekonomi globalnya.

    Ketidakpastian perdagangan, khususnya, telah membebani prospek, menurut Bank Dunia.

    “Perselisihan internasional, tentang perdagangan, khususnya telah mengubah banyak kepastian kebijakan yang membantu mengurangi kemiskinan ekstrem dan memperluas kemakmuran setelah berakhirnya Perang Dunia II,” kata Senior Vice President and Chief Economist Bank Dunia, Indermit Gill.

    Bank Dunia juga memangkas perkiraan pertumbuhan 2025 untuk AS sebesar 0,9 poin persentase menjadi 1,4%, dan mengurangi ekspektasi PDB zona euro sebesar 0,3 poin persentase menjadi 0,7%.

    Bank Dunia mencatat eskalasi ketegangan perdagangan dapat menekan pertumbuhan lebih rendah lagi, tetapi gambarannya dapat membaik jika negara-negara ekonomi utama mencapai kesepakatan perdagangan yang langgeng.

    “Analisis kami menunjukkan bahwa jika sengketa perdagangan saat ini diselesaikan dengan kesepakatan yang memangkas separuh tarif relatif terhadap levelnya pada akhir Mei 2025, pertumbuhan global dapat lebih kuat sekitar 0,2 poin persentase rata-rata selama tahun 2025 dan 2026,” kata Gill.