NGO: World Bank

  • Misbakhun Yakin Indonesia Masih Aman dari Efek Perang Israel dan Iran

    Misbakhun Yakin Indonesia Masih Aman dari Efek Perang Israel dan Iran

    Jakarta

    Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, meyakini perekonomian Indonesia masih relatif aman dari efek perang Israel vs Iran. Namun legislator Partai Golkar itu meminta pemerintah agar tak menggelontorkan dana untuk hal yang tidak semestinya dilakukan.

    “Semuanya masih aman,” kata Misbakhun dalam diskusi publik bertema ‘Dampak Perang Iran-Israel Terhadap Perekonomian Indonesia’ yang digelar Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) secara daring pada Minggu (29/6/2025) sore.

    Dalam diskusi itu, Misbakhun memaparkan sejumlah indikator untuk memperkuat argumennya. Misalnya, indeks harga saham gabungan (IHSG) masih bertahan dari gejolak.

    “Nilai tukar rupiah terhadap (dolar Amerika Serikat (USD) juga masih stabil,” ucapnya.

    Indikator lainnya yakni harga minyak dunia juga masih di bawah asumsi Indonesian Crude Price (ICP) di APBN 2025 yang dipatok USD 82 per barel. Selama harga minyak dunia masih di bawah patokan ICP, Misbakhun meyakini beban APBN masih aman.

    “Harga minyak masih dalam range moderat, situasi ini harus kita jaga,” ujar Misbakhun.

    “Apakah itu ditanggung pemerintah atau dengan menaikkan harga (BBM). Pasti pemerintah memikirkan ulang. Risiko kenaikan harga BBM pasti ke inflasi,” katanya.

    Meski demikian, Misbakhun mengatakan kenaikan harga minyak dunia juga tidak serta-merta menjadi tekanan bagi Indonesia. Misalnya, kenaikan harga minyak akan diikuti peningkatan harga batu bara dan mineral lainnya.

    Indikator lain yang membuat Misbakhun optimistis ialah pendapatan negara di APBN 2025 per Mei 2025 yang mencapai Rp 995,3 triliun atau 33,1 persen dari target. Jumlah itu bersumber dari pemasukan perpajakan sebesar Rp 806,2 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 188,7 triliun.

    Adapun belanja negara mencapai Rp 1.016,3 triliun. Dengan demikian, defisitnya di angka Rp 21 triliun atau 0,09 persen dari produk domestik bruto (PDB) 2025 yang ditargetkan mencapai Rp 24 ribu triliun.

    “Angka defisitnya masih 0,09 persen dari PDB,” ujarnya.

    Oleh karena itu, Misbakhun menyebut perang Israel vs Iran justru menjadi semacam ujian bagi berbagai skenario dalam menjaga perekonomian nasional. Kalaupun konflik di Timur Tengah yang menyeret AS itu berlanjut, Misbakhun memprediksi efeknya pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

    Namun sepanjang harga minyak terjaga, Misbakhun meyakini APBN masih aman. “Pemerintah tidak perlu memberikan governance financing (tata kelola pembiayaan) yang baru,” katanya.

    Oleh karena itu, Misbakhun menegaskan pentingnya para pembantu Presiden Prabowo Subianto untuk menyodorkan data yang sahih. “Pengelola fiskal harus memberikan data detail kepada Bapak Presiden,” ucapnya.

    Sementara itu, ekonom senior INDEF Tauhid Ahmad mengatakan pemerintah hendaknya juga melakukan penyesuaian-penyesuaian karena lembaga keuangan dunia seperti Dana Motener Internasional (IMF) dan World Bank Dunia MF dan Bank Dunia juga mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 dari sebelumnya sekitar 5,1 persen menjadi 4,7 persen.

    Menurut Tauhid, penyesuaian itu diperlukan agar target di APBN yang realisainya meleset pada kuartal pertama dan kedua bisa tercapai sesuai asumsi.

    “Paling tidak memberikan keyakinan bagi market bahwa prospek kita masih bagus meski ada perlambatan,” ujar Tauhid.

    (fas/fas)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Tips Menyiapkan Dana Pensiun Meski Gaji Pas-pasan

    Tips Menyiapkan Dana Pensiun Meski Gaji Pas-pasan

    Jakarta

    Dana pensiun menjadi salah satu solusi di tengah melambatnya pertumbuhan perekonomian dan minimnya lapangan kerja. Diketahui, pertumbuhan ekonomi Indonesia sendiri melambat pada kuartal I 2025, yakni berada di 4,87% secara tahunan dari 5,11% pada periode yang sama di tahun sebelumnya.

    Bank Dunia (World Bank) bahkan memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi RI menjadi 4,7% pada 2025. Sementara itu, berdasarkan data per awal Januari hingga akhir April 2025, tercatat pemutusan hubungan kerja (PHK) sebanyak 24 ribu.

    Dalam kondisi gonjang-ganjing ini, menyiapkan dana pensiun menjadi salah satu solusi untuk menopang hari-hari tua, baik ASN maupun pekerja dengan gaji pas-pasan.

    Perencana Keuangan dari Finansia Consulting Eko Endarto mengatakan, tanda-tanda seseorang akan susah waktu pensiun dapat terlihat dari beberapa hal seperti masih memiliki tanggungan atau utang saat mendekati hari tua hingga belum memiliki dana tabungan.

    “Kalau misalnya 5 tahun sebelum pensiun dia masih punya utang, berarti dia pasti akan bermasalah. Kedua, kalau dia ketika mendekati pensiun tidak memiliki aset yang cukup, maka kemungkinan dia akan bermasalah juga,” terang Eko kepada detikcom, Kamis (26/6/2025)..

    “Ketiga, ketika mereka mendekati masa pensiun tadi, dia belum memiliki investasi yang bisa dihasilkan, didapatkan di pensiun besok. Nah, itu kemungkinan dia akan bermasalah,” sambung Eko.

    Mengutip dari laman resmi BPJS Ketenagakerjaan, terdapat beberapa tips strategis menyiapkan dana pensiun. Berikut lengkapnya:

    1. Kurangi pengeluaran

    Agar dana pensiun yang direncanakan terkumpul, maka sebaiknya masyarakat mengurangi pengeluaran, utamanya untuk hal yang tidak produktif seperti kebiasaan berbelanja. Baiknya uang tersebut dialokasikan untuk tabungan dan dana pensiun.

    Kemudian, masyarakat juga perlu membuat perencanaan keuangan dan mencatat semua pengeluaran. Utamakan belanja untuk keperluan dan kebutuhan harian.

    2. Lunasi kewajiban utang

    Jika masih memiliki kewajiban utang, baiknya tunggakkan tersebut ditunaikan terlebih dahulu. Dengan melunasi utang, menyiapkan dana pensiun akan lebih tenang tanpa memikirkan harus membayar hal-hal lainnya.

    3. Sisihkan pendapatan bulanan

    Pastikan pendapatan bulanan disisihkan untuk dana pensiun. Alokasi untuk dana pensiun ini dapat dimulai sebesar 10% dari pendapatan bulanan. Kemudian pastikan dana yang disisihkan ini tidak dipakai untuk keperluan lainnya dan hanya diperuntukkan untuk dana pensiun.

    4. Mulai berinvestasi

    Investasi menjadi salah satu langkah strategis untuk menyiapkan dana pensiun. Pasalnya, investasi ini dapat menjadi media untuk menambah passive income. Saat ini terdapat instrumen investasi yang aman bagi semua kalangan, seperti obligasi, reksadana, saham, tanah, hingga properti lainnya.

    (fdl/fdl)

  • Bikin Pusing, Ini Dampak Harga Komoditas Dunia Naik-Turun Ekstrem

    Bikin Pusing, Ini Dampak Harga Komoditas Dunia Naik-Turun Ekstrem

    Jakarta, CNBC Indonesia – Harga komoditas global kini makin tidak stabil. Harga yang naik tajam lalu anjlok dalam waktu singkat membuat para pelaku industri, investor, hingga pemerintah kelimpungan.

    Contoh paling nyata terlihat pada harga minyak dunia. Dalam serial drama “Landman”, tokoh fiksi pekerja migas Tommy Norris yang diperankan oleh Billy Bob Thornton menyebut harga ideal minyak adalah US$78 per barel. Di angka tersebut, produsen bisa meraih untung wajar, tetap berinvestasi untuk eksplorasi, dan konsumen masih bisa membeli tanpa terbebani.

    Namun saat ini, harga minyak mentah Brent justru tertekan di kisaran US$65 per barel. Selain terlalu rendah, harganya juga terlalu fluktuatif.

    Gangguan pada harga minyak, kali ini dipicu oleh perang. Meskipun minyak telah lama menjadi produk yang sulit dikendalikan, riset terbaru dari Bank Dunia menunjukkan bahwa beberapa tahun terakhir kondisinya menjadi jauh lebih buruk. Siklus naik-turun harga saat ini lebih pendek dan lebih ekstrem dibanding masa lalu.

    Dulu, pemicu utama siklus komoditas berasal dari sisi pasokan. Sesuatu harus ditambang dari bumi atau ditanam dari nol. Ini memerlukan waktu panjang dan modal besar.

    Pada kenyataannya, butuh waktu 10 hingga 20 tahun dari penemuan hingga produksi. Karena itu, pasokan sulit merespons sinyal harga, yang menyebabkan investasi berlebihan saat boom dan kelebihan pasokan saat krisis, demikian dikutip dari laporan The Economist, Sabtu (28/6/2025).

    Dinamika persediaan juga memperparah siklus harga komoditas. Dalam banyak kasus, barang tersebut sulit disimpan atau mudah rusak, seperti komoditas pertanian.

    Cadangan yang tipis membuat ketidakseimbangan jangka pendek antara permintaan dan penawaran bisa menyebabkan lonjakan harga besar. Spekulasi finansial turut memperkuat sentimen pasar. Secara umum, permintaan terhadap komoditas sangat terikat pada siklus bisnis global. Dan selalu ada potensi pecahnya perang baru.

    Riset Bank Dunia menemukan bahwa fluktuasi harga ini kini makin sering terjadi. Siklus boom kini hanya berlangsung 24 bulan, sedangkan masa krisis 23 bulan. Ini jauh lebih singkat dibanding periode 1970-2020, di mana satu siklus puncak ke puncak butuh waktu rata-rata 90 bulan. Kini, hanya sekitar 45 bulan.

    Kejadian ini memiliki dampak besar bagi pemerintah di seluruh dunia. Menurut Bank Dunia, dua pertiga dari negara berkembang sangat bergantung pada komoditas untuk ekspor, pendapatan fiskal, dan aktivitas ekonomi mereka.

    Siklus harga yang lebih tidak stabil menjadi tantangan berat bagi para pembuat kebijakan di negara-negara tersebut, dan menurunkan kemungkinan pertumbuhan ekonomi yang solid.

    Ini juga menjadi tantangan bagi bank sentral di negara maju. Secara historis, mereka cenderung mengabaikan pergerakan harga berbasis komoditas dan fokus pada inflasi inti yang mengecualikan energi dan pangan.

    Mengingat bahwa dalam periode 1970-2020 harga biasanya naik dan turun dalam proporsi yang serupa, pendekatan itu masuk akal. Tapi jika kini lonjakan harga lebih besar dibanding penurunannya, seperti yang tampak sekarang, situasinya jadi jauh lebih rumit.

    (fsd/fsd)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Mengapa Banyak Orang di Dunia Ingin Punya Anak Tapi Takut Punya Anak?

    Mengapa Banyak Orang di Dunia Ingin Punya Anak Tapi Takut Punya Anak?

    PIKIRAN RAKYAT Orang-orang di seluruh dunia semakin sedikit yang memiliki anak, dan ini bukan semata-mata karena mereka tidak menginginkannya.

    Menurut temuan PBB, rata-rata tingkat kesuburan global kini turun hingga kurang dari setengah dari tingkatnya pada tahun 1960. Angka ini telah berada di bawah “tingkat pengganti” yang dibutuhkan untuk menjaga kestabilan jumlah penduduk di sebagian besar negara.

    Di tengah penurunan bersejarah tersebut, hampir 20% orang dewasa usia reproduksi dari 14 negara di seluruh dunia menyatakan bahwa mereka kemungkinan tidak akan bisa memiliki jumlah anak yang mereka inginkan, hal ini disampaikan dalam laporan yang dirilis minggu ini oleh United Nations Population Fund (UNFPA), badan PBB yang menangani kesehatan dan hak reproduksi. Namun, bagi sebagian besar dari mereka, penyebabnya bukan karena kemandulan yang menghalangi mereka untuk melakukan hal tersebut. Mereka menyebut berbagai faktor seperti keterbatasan finansial, hambatan dalam akses pelayanan kesehatan terkait kesuburan atau kehamilan, dan kekhawatiran terhadap kondisi dunia saat ini yang menjadi penghalang mereka dalam mewujudkan keputusan mereka sendiri terkait kesuburan dan reproduksi.

    Seperti dilansir TIME, “Ada banyak orang di luar sana yang bersedia memiliki anak —bahkan lebih banyak dari yang mereka miliki saat ini— jika kondisinya memungkinkan. Dan kewajiban pemerintah untuk menyediakan kesejahteraan dan jaminan sosial yang memungkinkan terciptanya keseimbangan kerja dan kehidupan, pekerjaan yang aman, pengurangan hambatan hukum, serta layanan kesehatan yang lebih baik,” kata Shalini Randeria, Presiden Central European University di Wina sekaligus penasihat eksternal senior dalam laporan UNFPA tersebut. Namun, menurut Randeria, kebijakan yang diterapkan sebagian pemerintah—seperti pemangkasan layanan Medicaid di AS atau pembatasan hak atas kesehatan dan otonomi reproduksi—merupakan langkah mundur bagi hak individu, sekaligus “kontraproduktif dari sudut pandang demografis.”

    Dalam laporan tersebut, UNFPA bekerja sama dengan YouGov melakukan survei terhadap responden dari 14 negara di Asia, Eropa, Amerika Utara, Amerika Selatan, dan Afrika—wilayah yang secara keseluruhan mewakili lebih dari sepertiga populasi dunia.

    “Ada kesenjangan antara jumlah anak yang ingin dimiliki seseorang dan jumlah anak yang benar-benar mereka miliki,” kata Randeria. “Bagi kami, penting untuk mencari tahu—dengan bertanya langsung pada mereka—apa yang menyebabkan kesenjangan itu.”

    Faktor Finansial Jadi Hambatan Utama

    Ilustrasi Seorang Pria Tidak Memiliki Uang freepik.com

    Hambatan paling signifikan yang diidentifikasi para responden survei sebagai alasan mereka tidak memiliki jumlah anak yang diinginkan adalah faktor ekonomi: 39% menyebutkan keterbatasan finansial, 19% keterbatasan dalam ketersediaan perumahan, 12% kurangnya layanan pengasuhan anak yang memadai atau berkualitas, dan 21% pengangguran atau ketidakamanan kerja.

    Harga semua jenis barang dan pelayanan telah naik dengan cepat dalam beberapa tahun terakhir. Inflasi global mencapai tingkat tertinggi sejak pertengahan tahun 1990-an pada Juli 2022, menurut World Bank Group. Meskipun kini sudah menurun, level inflasi saat ini masih jauh lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi Covid-19.

    Meningkatnya biaya hidup telah berdampak besar pada perumahan dan pengasuhan anak. Di Amerika Serikat, contohnya, Departemen Keuangan menemukan bahwa harga rumah telah meningkat lebih cepat daripada pendapatan selama dua dekade terakhir, melonjak sekitar 65% sejak tahun 2000 jika disesuaikan dengan inflasi. Riset juga menunjukkan bahwa biaya pengasuhan anak di AS dalam beberapa tahun terakhir bahkan melampaui biaya perumahan atau kuliah bagi banyak keluarga.

    Krisis perumahan saat ini berdampak luas di “semua wilayah dan negara,” menurut laporan Program Pemukiman Manusia PBB (UN-Habitat) tahun lalu, yang memperkirakan bahwa antara 1,6 miliar hingga 3 miliar orang di seluruh dunia tanpa akses perumahan yang layak.   

    Tantangan Akses Reproduksi dan Layanan Kesehatan

    Ilustrasi Wanita Menatap Tes Kehamilan Negatif freepik.com

    Orang-orang mengutip bahwa faktor lain yang menghalangi mereka untuk memiliki jumlah anak yang diinginkan, termasuk hambatan dalam akses terhadap teknologi reproduksi berbantu (seperti IVF, In Vitro Fertilization) dan ibu pengganti (surrogacy)

    Sejumlah negara—termasuk Prancis, Spanyol, Jerman, dan Italia— telah melarang praktik ibu pengganti. Laporan UNFPA juga menunjukkan bahwa banyak negara membatasi atau bahkan melarang akses terhadap reproduksi berbantu dan ibu pengganti bagi pasangan sesama jenis. Di Eropa, contohnya, hanya 17 dari 49 negara yang memperbolehkan inseminasi medis bagi individu, tanpa memandang orientasi seksual atau identitas gender mereka, menurut laporan tersebut.  

    UNFPA mencatat bahwa, di tengah menurunnya angka fertilitas global, beberapa pemerintah mengambil “langkah-langkah drastis untuk mendorong kaum muda mengambil keputusan fertilitas yang sejalan dengan target nasional.” Namun, laporan tersebut menekankan bahwa “krisis yang sebenarnya” adalah “krisis dalam lembaga reproduksi—yaitu kemampuan individu untuk membuat pilihan bebas, terinformasi, dan tidak terkekang dalam segala hal mulai dari berhubungan seks, menggunakan kontrasepsi, hingga memulai sebuah keluarga.”

    Menurut Center for Reproductive Rights, 40% perempuan di usia reproduksi di dunia hidup di bawah hukum aborsi yang ketat. Banyak negara—termasuk Brazil, Filipina, dan Polandia, di antara yang lainnya— memberlakukan pembatasan aborsi. Pada 2022, Mahkamah Agung Amerika Serikat mencabut putusan penting Roe v. Wade, yang menghapuskan hak konstitusional atas aborsi. Sejak saat itu, lebih dari selusin negara bagian di AS telah menerapkan larangan total atau pembatasan aborsi. Ada banyak laporan menyebutkan bahwa perempuan hamil ditolak mendapatkan perawatan kritis karena undang-undang tersebut, dan banyak perempuan mengaku tidak merasa aman untuk hamil di negara bagian yang melarang aborsi.

    Meski semakin banyak perempuan di dunia yang kebutuhan perencanaan keluarganya telah terpenuhi, PBB menemukan bahwa sekitar 164 juta perempuan masih belum mendapatkan akses tersebut hingga tahun 2021, menurut laporan yang dirilis tahun 2022.

    Selain menganggap akses terhadap perencanaan keluarga sebagai hak asasi manusia, PBB juga menekankan bahwa hal ini merupakan kunci dalam upaya pengentasan kemiskinan.

    Ketakutan akan Masa Depan yang Tak Pasti

    Ilustrasi Pasangan Menatap Cakrawala freepik.com

    Sekitar 14% responden dalam laporan UNFPA mengatakan kekhawatiran mereka tentang situasi politik atau sosial, seperti perang dan pandemi, telah atau akan menyebabkan mereka memiliki anak lebih sedikit dari yang diinginkan. Sekitar 9% responden juga menyatakan bahwa kekhawatiran terhadap perubahan iklim atau kerusakan lingkungan telah atau akan mempengaruhi keputusan mereka untuk memiliki lebih sedikit anak dari yang direncanakan.

    Kekerasan dan konflik global meningkat dalam beberapa tahun terakhir.  Periode antara tahun 2021 dan 2023 tercatat sebagai masa paling penuh kekerasan sejak berakhirnya Perang Dingin, menurut World Bank Group. Jumlah korban tewas dalam konflik bersenjata dan jumlah konflik itu sendiri meningkat dalam satu dekade terakhir.

    Kekerasan tersebut turut memicu pada meningkatnya pengungsian global selama bertahun-tahun: Lebih dari 122 juta orang di seluruh dunia terpaksa mengungsi, menurut laporan badan pengungsi PBB pada hari kamis, jumlah tersebut hampir dua kali lipat dari jumlah yang tercatat satu dekade lalu.

    Dampak pandemi global ini semakin terasa, bahkan belum menunjukkan tanda-tanda mereda karena Covid-19 terus menyebar, menghasilkan varian baru, dan berdampak pada jutaan orang dengan masa pemulihan yang bisa berlangsung berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Di luar Covid-19, wabah penyakit menular menjadi semakin umum terjadi—dan para ahli memperkirakan bahwa di tahun-tahun mendatang risiko wabah meningkat menjadi epidemi dan pandemi akan semakin meningkat.

    Dalam survei Program Pembangunan PBB tahun 2024, yang secara statistik mewakili sekitar 87% populasi global, sekitar 56% responden mengatakan mereka memikirkan tentang perubahan iklim harian atau mingguan. Sekitar 53% dari responden juga mengatakan mereka lebih khawatir tentang perubahan iklim sekarang dari tahun sebelumnya. 1/3 dari responden mengatakan bahwa perubahan iklim secara signifikan mempengaruhi keputusan-keputusan besar dalam hidup mereka.

    “Saya ingin punya anak, tapi makin lama makin sulit,” kata seorang perempuan berusia 29 tahun dari Meksiko dalam laporan tersebut. “Hampir mustahil membeli atau menyewa tempat tinggal dengan harga terjangkau di kota saya. Saya juga tidak ingin melahirkan anak di masa perang dan kondisi planet yang memburuk jika itu berarti si anak harus menderita karenanya.” (Naomi Dongoran/PKL Polban) ***

  • Keuangan Negara Era Prabowo Loyo? Utang Tembus Rp8.900 Triliun, Pajak Baru 11,9 Persen dari PDB

    Keuangan Negara Era Prabowo Loyo? Utang Tembus Rp8.900 Triliun, Pajak Baru 11,9 Persen dari PDB

    PIKIRAN RAKYAT – Kondisi keuangan negara di era awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mulai menuai sorotan tajam. Di tengah tekanan global dan beban fiskal yang terus menggunung, utang pemerintah Indonesia dilaporkan telah menembus Rp8.900 triliun hingga Mei 2025.

    Di sisi lain, penerimaan pajak hanya mencapai 11,9 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), terendah di kawasan Asia Tenggara bahkan lebih buruk dibanding Timor Leste.

    Utang Naik Tajam, Defisit Kembali Menghantui

    Kementerian Keuangan melaporkan realisasi pembiayaan utang hingga 31 Mei 2025 telah mencapai Rp349,3 triliun, atau 45 persen dari target APBN sebesar Rp775,9 triliun. Angka ini menjadi yang tertinggi dalam lima tahun terakhir untuk periode yang sama, bahkan mendekati level saat pandemi Covid-19 melanda pada 2020.

    “Pembiayaan non-utang saya rasa perlu digarisbawahi bahwa tidak menambah utang,” ujar Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono dalam konferensi pers APBN KiTa Edisi Juni 2025 di Jakarta.

    Meskipun demikian, defisit fiskal sudah kembali terjadi. Setelah mencetak surplus Rp4,3 triliun pada April, APBN per Mei 2025 kembali defisit Rp21 triliun, setara 0,09 persen dari PDB. Belanja negara naik menjadi Rp1.016,3 triliun, sementara pendapatan negara baru menyentuh Rp995,3 triliun.

    Sektor perpajakan menunjukkan performa yang melemah. Penerimaan pajak per Mei 2025 tercatat Rp683,3 triliun, atau baru 31,2 persen dari target Rp2.189,3 triliun. Jika dibandingkan periode yang sama pada 2024 (Rp760,4 triliun), terjadi penurunan sebesar 10,13 persen secara tahunan (year-on-year).

    “Secara bruto masih positif. Memang netonya ada negatif karena ada kewajiban restitusi yang jatuh tempo,” ujar Wamenkeu Anggito Abimanyu.

    Dia menjelaskan bahwa nilai penerimaan neto tak sepenuhnya mencerminkan kinerja ekonomi.

    Penurunan tajam terjadi pada PPN dan PPnBM yang terkontraksi hingga 15,7 persen, serta PPh non-migas sebesar 5,4 persen. Hal ini disebut sebagai sinyal tekanan konsumsi dan penurunan aktivitas usaha di tengah ketidakpastian ekonomi global.

    Laporan Bank Dunia turut mempertegas kelemahan struktural penerimaan Indonesia. Rasio penerimaan negara terhadap PDB atau revenue ratio Indonesia tahun 2025 hanya 11,9 persen, tertinggal dari semua negara ASEAN—bahkan lebih rendah dari Timor Leste yang mampu mencetak rasio 41,2 persen.

    “Rasio pendapatan terhadap PDB Indonesia merupakan yang terendah di antara negara-negara berpendapatan menengah,” ucap Bank Dunia dalam laporan Macro Poverty Outlook edisi April 2025.

    Ketimpangan Fiskal dan Ancaman Beban Bunga Utang

    Lead Economist Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste, Habib Rab, mengingatkan bahwa meski rasio utang terhadap PDB Indonesia masih di bawah 40 persen, beban bunga utangnya tergolong tinggi.

    “Rasio bunga utang terhadap pendapatan di Indonesia sekitar 20 persen, jauh di atas rata-rata negara berpenghasilan menengah yang hanya 8,5 persen,” kata Habib dalam peluncuran Indonesia Economic Prospects di Jakarta.

    Ia menilai bahwa penerimaan negara yang rendah membuat pembayaran utang menjadi rawan, apalagi di tengah tren naiknya imbal hasil obligasi global akibat ketidakpastian geopolitik.

    Masalah lainnya adalah dangkalnya sistem keuangan domestik, yang membuka celah besar bagi praktik penghindaran pajak oleh korporasi. Ketidakoptimalan sistem perpajakan dinilai turut memperlemah kapasitas fiskal pemerintah dalam membiayai pembangunan dan menjaga stabilitas sosial.

    APBN Masih Punya “Napas Panjang” Meski Defisit

    Di tengah tekanan defisit, Kementerian Keuangan tetap menyoroti adanya surplus keseimbangan primer sebesar Rp192,1 triliun, naik dari Rp173,9 triliun pada April. Ini berarti bahwa dalam hitungan sebelum pembayaran bunga utang, kas negara masih mencatat surplus, yang memberi ruang untuk manuver fiskal jangka pendek.

    “Defisit APBN bertujuan untuk melakukan countercyclical, agar pelemahan ekonomi tidak berdampak signifikan terhadap masyarakat,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

    Namun, sejumlah ekonom menilai ruang fiskal semakin terbatas jika pendapatan negara tak kunjung membaik, sementara belanja dan kebutuhan pembiayaan utang tetap tinggi.

    Bank Dunia Puji Ketahanan Ekonomi, Tapi…

    Di sisi lain, Bank Dunia tetap memberi catatan positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dinilai tangguh. Direktur Divisi Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste, Carolyn Turk, menyebut ekonomi Indonesia tumbuh 4,9 persen pada kuartal I 2025, didukung oleh kebijakan makro yang relatif solid.

    “Performa ekonomi Indonesia mencerminkan fondasi yang kuat dan respons kebijakan yang baik,” ucap Carolyn.

    Namun, dia juga mengingatkan bahwa pertumbuhan belum merata, terutama pada kelompok masyarakat kelas menengah. Konsumsi rumah tangga dari segmen ini justru cenderung melambat, yang bisa berdampak pada basis penerimaan negara dalam jangka panjang.***

  • AMRO Pertahankan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI di Level 5% pada 2025

    AMRO Pertahankan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI di Level 5% pada 2025

    Bisnis.com, JAKARTA — The Asean+3 Macroeconomic Research Office alias AMRO mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada level 5,0% pada 2025, di saat lembaga internasional lain memangkas ke angka yang lebih rendah. 

    Hal itu tercantum dalam laporan terbaru AMRO Annual Consultation Report Indonesia 2025 yang terbit Juni, dan berisi hasil pantauan dan evaluasi lembaga tersebut terkait kondisi makroekonomi dan kesehatan keuangan Indonesia. 

    “Ekonomi diperkirakan akan tumbuh sekitar 5% pada 2025 dalam skenario dasar,” tulis AMRO, dikutip pada Rabu (25/6/2025). 

    Lembaga tersebut menilai keberlanjutan momentum pertumbuhan bergantung pada implementasi yang efektif dari kebijakan-kebijakan pendukung pertumbuhan, termasuk program-program prioritas baru pemerintah. Meski demikian, AMRO melihat prospek jangka pendek Indonesia rentan terhadap dampak eksternal. 

    Selayaknya negara emerging market lainnya, prospek pertumbuhan Indonesia menghadapi risiko dan tantangan yang berasal dari kebijakan perdagangan proteksionis pemerintah AS yang baru dan ketegangan perdagangan global yang meningkatkan ketidakpastian pertumbuhan di mitra dagang utama, terutama China, AS, dan Eropa. 

    Di samping itu, risiko volatilitas aliran modal dan biaya pinjaman yang tinggi tetap ada di tengah kemungkinan pengetatan keuangan global. 

    Selain itu, kondisi fiskal pemerintah diperkirakan memikul beban yang lebih berat, di mana pembiayaan secara bruto diramal bakal mencapai 6,2% dari produk domestik bruto (PDB) pada tahun ini. 

    Kebutuhan pembiayaan bruto pemerintah diperkirakan tetap tinggi dalam jangka menengah, dan kemungkinan akan meningkat lebih lanjut jika pemerintahan baru sepenuhnya menerapkan program pengeluaran yang diusulkan.

    “Mencapai target fiskal jangka menengah mungkin menantang karena defisit anggaran diperkirakan akan melebar akibat meningkatnya kebutuhan belanja dari program prioritas baru,” lanjut AMRO. 

    Adapun, ekonomi Indonesia diperkirakan akan tumbuh tipis setiap tahunnya hingga 2029, di mana pada 2026 diperkirakan tumbuh 5,1% dan meningkat ke 5,2% pada 2027, namun stagnan hingga 2029. 

    Proyeksi dari AMRO ini terpantau berbeda dengan lembaga internasional lainnya, seperti Bank Dunia atau World Bank dan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) yang kompak memangkas pertumbuhan ekonom Indonesia ke angka 4,7% untuk tahun ini. 

    Menyusul kedua lembaga tersebut, Organisation for Economic Co-operation and Development atau OECD bahkan sudah dua kali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025. 

    Mengacu OECD Economic Outlook Interim Report Maret 2025, ekonomi Indonesia direvisi ke bawah dari 5,2% menjadi 4,9%. Kemudian pada OECD Economic Outlook June 2025, kembali dipangkas sebesar 0,2%, menjadi 4,7%. Sementara pemerintah saat ini belum mau mengubah asumsi tersebut dan masih mempertahankan proyeksi ekonomi sebesar 5,2% untuk 2025.

  • Beda dari IMF-WB, Lembaga Asing Ini Ramal Ekonomi RI Tumbuh 5% di 2025

    Beda dari IMF-WB, Lembaga Asing Ini Ramal Ekonomi RI Tumbuh 5% di 2025

    Jakarta, CNBC Indonesia – ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di level 5% pada 2025, berdasarkan laporan terbarunya dalam AMRO Annual Consultation Report: Indonesia-2025.

    Proyeksi ini jauh lebih optimis ketimbang lembaga lainnya, seperti World Bank yang merevisi ke bawah pertumbuhan ekonomi menjadi hanya 4,7% dari sebelumnya 5,1%. Lalu, IMF juga memperkirakan level yang serupa, yakni 4,7% untuk 2025.

    “Pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap kuat,” dikutip dari laporan terbaru AMRO, Rabu (25/6/2025).

    Proyeksi ini AMRO dasari dari kondisi konsumsi rumah tangga Indonesia yang mampu pulih secara bertahap setelah daya beli melemah di segmen berpenghasilan rendah hingga menengah.

    “Permintaan domestik diperkirakan menguat, dipengaruhi penerapan kebijakan pendorong pertumbuhan, termasuk program prioritas pemerintah baru, guna mendukung perekonomian di tengah lingkungan eksternal yang menantang pada 2025,” tulis Amro dalam laporannya.

    Ekspor barang manufaktur, yang sebagian besar terdiri dari furnitur, garmen, dan alas kaki, ke pasar Amerika Serikat dan Eropa mereka perkirakan akan cepat pulih, meskipun ekspor komoditas tetap lesu karena permintaan yang lemah dari China dan produksi beberapa komoditas yang lebih rendah.

    Kedatangan wisatawan internasional yang terus pulih ke tingkat sebelum pandemi dianggap tim ekonom AMRO juga akan menjadi faktor penopang pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun ini. AMRO mencatat jumlah kedatangan wisatawan internasional mencapai 13,9 juta pada 2024, pulih sekitar 87% dari tingkat sebelum pandemi.

    “Ke depannya, keberlanjutan momentum pertumbuhan bergantung pada implementasi kebijakan pendukung pertumbuhan yang efektif, termasuk program prioritas pemerintah yang baru,” tulis AMRO dalam Annual Consultation Report: Indonesia-2025.

    (arj/mij)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Sebab Pajak RI Lesu, Bank Dunia: Ada Pengaruh Coretax & Daya Beli

    Sebab Pajak RI Lesu, Bank Dunia: Ada Pengaruh Coretax & Daya Beli

    Jakarta, CNBC Indonesia – Bank Dunia atau World Bank memperkirakan penerimaan pajak pemerintah Indonesia berpotensi merosot pada tahun ini, dan baru mengalami perbaikan pada 2026-2027.

    Rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) diprediksi hanya akan dikisaran 9,9% pada 2025, dari level 2024 sebesar 10,1%.

    Rasio penerimaan pajak terhadap PDB itu pun konsisten turun. Pada 2022 masih di kisaran 10,4%, dan pada 2023 di level 10,3%. Barulah pada 2026 kembali di level 10,3%, dan naik sedikit menjadi 10,5% dari PDB pada 2027.

    “Pendapatan pajak pun menurun sebesar 0,6% dari PDB pada Mei 2025 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu,” tulis Bank Dunia dalam laporannya rutinnya, Indonesia Economic Prospects edisi Juni 2025, Senin (23/6/2025).

    Penyebab turunnya penerimaan pajak itu menurut Bank Dunia disebabkan sejumlah faktor. Faktor pertama dikategorikan sebagai faktor sementara yang menekan penerimaan pajak. Lalu ada faktor lainnya yang disebabkan masalah struktural.

    Untuk faktor sementara di antaranya dampak dari bermasalahnya penerapan Sistem Inti Administrasi Pajak (CTAS) atau Coretax pada periode awal-awal implementasi per Januari 2025. “Mengakibatkan perpanjangan batas waktu pembayaran.”

    Lalu, sistem tarif baru untuk pemotongan pajak penghasilan pribadi (PPh OP), atau yang dikenal dengan istilah tarif TER juga menjadi dampak sementara, “mengakibatkan kelebihan pembayaran pada 2024 dan pengembalian yang lebih besar pada awal tahun 2025.”

    Adapun untuk faktor lainnya yang berpotensi menekan penerimaan pajak pada tahun ini ialah harga komoditas yang lebih rendah, menandakan aktivitas perekonomian Indonesia masih sangat tergantung oleh ekspor komoditas, bukan barang bernilai tambah tinggi.

    Lalu, ambruknya daya beli masyarakat menurut Bank Dunia menjadi salah satu kontributor melemahnya penerimaan pajak pada tahun ini, yang juga berpotensi shortfall. “Permintaan domestik yang lebih rendah yang berdampak pada penerimaan pajak dan bukan pajak,” kata Bank Dunia.

    Berikutnya ialah efek hilangnya potensi penerimaan negara yang sudah dibukukan dalam APBN 2025 akibat penyesuain kebijakan tarif PPN yang rencananya naik menjadi 12% pada 2025.

    Selain itu, juga hilangnya potensi penerimaan negara akibat dividen BUMN yang langsung masuk Danantara. Dividen BUMN sebagaimana diketahui tercatat dalam penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dalam APBN.

    “Hilangnya penerimaan dari dividen BUMN yang sekarang akan dikumpulkan oleh Danantara diperkirakan sekitar 0,4% dari PDB per tahun. Untuk mengurangi sebagian dampak ini, Pemerintah Indonesia menaikkan tarif royalti pertambangan pada bulan April 2025,” tulis Bank Dunia.

    (arj/haa)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Simak! Ramalan Terbaru Bank Dunia soal Ekonomi dan Investasi RI

    Simak! Ramalan Terbaru Bank Dunia soal Ekonomi dan Investasi RI

    Bisnis.com, JAKARTA — Bank Dunia (World Bank) memprediksi portofolio investasi asing atau foreign direct investment (FDI) di Indonesia bakal terus menunjukkan tren positif. Peningkatan tersebut didorong oleh pelaksanaan program 3 juta rumah hingga implementasi Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara.

    Country Director World Bank Indonesia dan Timor-Leste, Carolyn Turk menjelaskan bahwa proyeksi kenaikan investasi itu bakal membuat fundamental ekonomi Indonesia tetap terjaga. Di mana, Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di level 4,8%.

    “Dalam situasi yang sangat volatil seperti ini atau rentan seperti ini, ekonomi Indonesia menunjukkan ketahanannya. Dan kami telah melihat adanya pertumbuhan PDB yang mungkin lebih rendah dari 5%,” kata Turk dalam Indonesia Economic Prospects Edisi Juni 2025, di Jakarta, Senin (23/6/2025).

    Meski demikian, Carolyn memastikan proyeksi pertumbuhan tersebut masih melampaui rata-rata pertumbuhan ekonomi di negara berpenghasilan menengah yang berada di kawasan Asia Timur dan Pasifik.

    Lebih lanjut, Carolyn juga menjelaskan temuannya yang tertuang dalam laporan IEP Edisi Juni 2025. Dalam laporan tersebut, World Bank menyoroti bahwa sektor properti bakal menjadi salah satu motor pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan. 

    “Sektor konstruksi perumahan merupakan mesin pertumbuhan. Sektor ini menyumbang 10% terhadap PDB Indonesia dan menyediakan 7% dari total lapangan kerja,” ujarnya.

    Target pemerintah untuk membangun 3 juta unit rumah per tahun itu diperkirakan bakal mendatangkan investasi publik sebesar US$3,8 miliar per tahun atau sekitar Rp62,64 triliun (asumsi kurs: Rp16.490).

    Serta menciptakan lebih dari 2,3 juta lapangan kerja dan memobilisasi investasi swasta sebesar US$2,8 miliar atau sekitar Rp46,15 triliun.

    Selain itu, Bank Dunia juga memperkirakan portofolio investasi Indonesia tetap akan meningkat didorong oleh peluncuran BPI Danantara.

    Namun, Bank Dunia juga menyoroti adanya risiko dari tantangan terkait perdagangan global dan fluktuasi harga komoditas yang perlu jadi perhatian pemerintah. Sejalan dengan hal itu, World Bank meminta agar pemerintah dapat segera melakukan deregulasi guna menjaga iklim usaha tetap kondusif. 

    “Seluruh reformasi struktural ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas ekonomi, menciptakan lebih banyak lapangan kerja yang lebih baik, dan memberikan manfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia,” pungkasnya.

  • Bolivia Hadapi Risiko Gagal Bayar Utang Jika Tak Ada Pendanaan Baru – Page 3

    Bolivia Hadapi Risiko Gagal Bayar Utang Jika Tak Ada Pendanaan Baru – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Bolivia yang tengah berjuang melawan krisis ekonomi yang telah menjerumuskannya ke dalam keresahan sosial. Presiden Bolivia, Luis Arce menuturkan, pihaknya berisiko gagal bayar utang jika tidak memperoleh pembiayaan asing baru.

    “Kami berusaha untuk tidak gagal bayar. Kami memiliki niat untuk membayar utang, tetapi bagaimana jika kami tidak memiliki sumber daya?,” ujar dia seperti dikutip dari Yahoo Finance, ditulis Minggu (21/6/2025).

    Utang luar negeri Bolivia mencapai USD 13,3 miliar atau sekitar Rp 218,02 triliun (asumsi kurs dolar AS terhadap rupiah di kisaran 16.393). Kreditor utama adalah the Inter-American Development Bank, the Development Bank of Latin America and the Caribbean (CAF), Bank Dunia dan China.

    Arce tidak dapat meyakinkan parlemen untuk mengizinkannya mencari pinjaman baru USD 1,8 miliar atau sekitar Rp 29,50 triliun dari lembaga multilateral.

    Negara itu membutuhkan USD 2,6 miliar atau Rp 42,62 triliun pada Desember untuk impor bahan bakar dan pembayaran utang luar negeri.

    “Kita membuat kesepakatan terburuk sebagai sebuah negara. Karena ketika seseorang memiliki utang luar negeri, Anda membayar pokok dan bunga kepada kreditor, dan arus keluar dolar AS itu dikompensasi oleh arus masuk pencairan baru dari utang baru yang tidak terjadi,” ujar presiden.

    Utang Bolivia mewakili lebih dari 37 persen dari pendapatan nasional brutonya, menurut Bank Dunia. Terakhir kali negara itu gagal bayar adalah pada tahun 1984.

    Arce telah menolak seruan untuk mundur karena krisis ekonomi yang ditandai dengan kekurangan mata uang asing, bahan bakar, dan kebutuhan pokok lainnya.