NGO: World Bank

  • Jakarta pimpin pertumbuhan pasar bangunan hijau di Indonesia

    Jakarta pimpin pertumbuhan pasar bangunan hijau di Indonesia

    Salah satu gedung dengan konsep bangunan hijau di Jakarta yang telah menerima EDGE Certification dari International Finance Corporation (IFC). ANTARA/HO-IFC

    Jakarta pimpin pertumbuhan pasar bangunan hijau di Indonesia
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Jumat, 25 Juli 2025 – 10:41 WIB

    Elshinta.com – International Finance Corporation (IFC) mencatat bahwa Jakarta menjadi provinsi dengan tingkat pertumbuhan pasar bangunan hijau tertinggi di Indonesia, dengan total 171 bangunan hijau tersertifikasi, selain Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.

    Menurut laporan yang dirilis oleh lembaga yang merupakan bagian dari World Bank tersebut, terdapat 45 bangunan hijau tersertifikasi di Jawa Barat, masing-masing 26 bangunan di Banten dan Jawa Timur, serta 16 bangunan di Jawa Tengah.

    “Dari 38 provinsi di Indonesia, 25 (provinsi) telah memiliki proyek bangunan hijau bersertifikat, yang mencerminkan kemajuan nyata dalam penerapan konstruksi berkelanjutan di berbagai daerah,” catat IFC, seperti dikutip dari laporan tersebut di Jakarta, Jumat.

    Lembaga keuangan internasional tersebut menyatakan wilayah Jawa memiliki jumlah proyek gedung hijau tersertifikasi terbanyak, diikuti dengan Sumatera dan Kalimantan yang juga menunjukkan tren pertumbuhan yang positif. Terdapat empat sertifikasi yang umum digunakan di Indonesia, termasuk Excellence in Design for Greater Efficiencies (EDGE) Certification yang dikeluarkan oleh IFC dan GREENSHIP Certification oleh Green Building Council Indonesia (GBCI).

    Sementara, dua sertifikasi lainnya adalah Leadership in Energy and Environmental Design (LEED) Certification oleh U.S. Green Building Council (USGBC) serta Green Mark Certification oleh Building and Construction Authority (BCA) of Singapore. Hingga 2 Juli 2025, terdapat 200 proyek bangunan hijau tersertifikasi EDGE Certification di seluruh Indonesia, baik bangunan jadi maupun yang masih berupa desain, dengan luas bangunan tersertifikasi 4,33 juta meter persegi (m2), termasuk 27.620 unit rumah.

    Dengan menerapkan prinsip bangunan hijau, proyek-proyek dengan EDGE Certification tersebut dapat memangkas emisi karbon dioksida (CO2) sebesar total 100 ribu ton CO2 (tCO2) per tahun, menghemat energi 120 ribu megawatt hour (MWh) per tahun, serta menghemat air 4,7 juta meter kubik (m3) per tahun.

    Selain itu, terdapat pula 121 proyek bangunan hijau seluas 5,16 juta m2 dengan GREENSHIP Certification, 56 proyek bangunan hijau seluas 1,13 juta m2 dengan LEED Certification, dan 25 proyek bangunan hijau seluas 1,43 juta m2 dengan Green Mark Certification.

    Sumber : Antara

  • Jakarta Teratas dalam Pertumbuhan Bangunan Hijau di Indonesia

    Jakarta Teratas dalam Pertumbuhan Bangunan Hijau di Indonesia

    Jakarta, Beritasatu.com — Jakarta tercatat sebagai wilayah dengan pertumbuhan bangunan hijau tertinggi di Indonesia. Berdasarkan data yang dirilis oleh International Finance Corporation (IFC), total terdapat 171 bangunan hijau bersertifikat di Jakarta, jauh melampaui provinsi lainnya seperti Jawa Barat (45 bangunan), Banten dan Jawa Timur (masing-masing 26 bangunan), serta Jawa Tengah (16 bangunan).

    Laporan lembaga di bawah naungan World Bank Group ini mengungkap bahwa pembangunan ramah lingkungan tidak lagi terbatas di pusat kota besar saja. Dari total 38 provinsi di Indonesia, sebanyak 25 provinsi telah memiliki proyek bangunan hijau tersertifikasi, mencerminkan adopsi luas terhadap konsep konstruksi berkelanjutan di berbagai penjuru negeri.

    “Dari 38 provinsi di Indonesia, 25 (provinsi) telah memiliki proyek bangunan hijau bersertifikat, yang mencerminkan kemajuan nyata dalam penerapan konstruksi berkelanjutan di berbagai daerah,” tulis IFC dalam laporan yang dikutip di Jakarta, Jumat (25/7/2025), dilansir dari Antara.

    Secara regional, Pulau Jawa masih mendominasi dalam jumlah proyek gedung hijau, namun wilayah seperti Sumatera dan Kalimantan juga menunjukkan pertumbuhan yang menjanjikan.

    Terdapat empat jenis sertifikasi bangunan hijau yang umum digunakan di Indonesia, yakni EDGE (Excellence in Design for Greater Efficiencies) dari IFC, GREENSHIP dari Green Building Council Indonesia (GBCI), LEED (Leadership in Energy and Environmental Design) dari US Green Building Council (USGBC) dan Green Mark dari Building and Construction Authority (BCA) of Singapore.

    Hingga 2 Juli 2025, proyek bersertifikasi EDGE telah mencapai 200 proyek di Indonesia — termasuk yang telah selesai maupun masih dalam tahap desain — dengan luas total 4,33 juta meter persegi dan mencakup 27.620 unit rumah.

    Keuntungan dari penerapan prinsip bangunan hijau cukup signifikan. Proyek-proyek EDGE tercatat berhasil:Mengurangi emisi karbon hingga 100 ribu ton CO₂ per tahun,Menghemat energi sebesar 120 ribu megawatt hour (MWh) per tahun,Menghemat konsumsi air hingga 4,7 juta meter kubik (m³) per tahun.

    Sementara itu, proyek dengan sertifikasi lain juga menunjukkan kontribusi besar, misalnya GREENSHIP  121 proyek dengan luas 5,16 juta meter persegi, LEED 56 proyek dengan luas 1,13 juta meter persegi dan Green Mark 25 proyek dengan luas 1,43 juta meter persegi. 

  • RI tekankan urgensi sistem perpajakan internasional yang adil di G20

    RI tekankan urgensi sistem perpajakan internasional yang adil di G20

    Jakarta (ANTARA) – Pemerintah Indonesia, melalui Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati, menekankan pentingnya menciptakan sistem perpajakan internasional yang adil di Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral, Forum G20.

    “Saya menekankan pentingnya menciptakan sistem perpajakan internasional yang adil, efektif, dan stabil,” kata Sri Mulyani dalam Instagram @smindrawati dikutip di Jakarta, Jumat.

    Dia menegaskan sistem perpajakan internasional bukan hanya menyoal fiskal, melainkan soal keadilan global agar seluruh negara bisa tumbuh bersama.

    Negara berkembang, kata dia, mempunyai hak yang setara dalam aktivitas ekonomi lintas batas yang terjadi di wilayah masing-masing.

    “Indonesia mendukung Two-Pillar Solution, dan kita sudah mulai melaksanakannya. Namun, pekerjaan kita belum selesai,” ujar Sri Mulyani.

    Menkeu RI pun menyatakan G20 harus menjadi forum yang memastikan bahwa tidak ada negara yang tertinggal dalam sistem perpajakan global yang makin kompleks.

    Tak hanya G20, Sri Mulyani juga menyoroti pentingnya peran Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk membantu negara-negara berkembang membangun kapasitas dan menjaga kedaulatan fiskalnya.

    “Pajak bukan hanya tentang pendapatan masing-masing negara. Ini tentang membangun masa depan dunia yang setara dan berkelanjutan,” tegas Sri Mulyani.

    Pewarta: Imamatul Silfia
    Editor: Zaenal Abidin
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Bank DBS Indonesia Hadir sebagai Mitra Andal untuk Bisnis yang Terhubung di Asia – Page 3

    Bank DBS Indonesia Hadir sebagai Mitra Andal untuk Bisnis yang Terhubung di Asia – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Pertumbuhan ekonomi Asia yang semakin saling terhubung mendorong kebutuhan akan solusi finansial lintas negara yang cepat, aman, dan efisien. Dalam konteks ini, remitansi berperan krusial sebagai penggerak utama aliran dana lintas batas, baik untuk mendukung kebutuhan keluarga maupun aktivitas bisnis. Menyikapi tantangan tersebut, Bank DBS Indonesia menghadirkan solusi digital inovatif seperti IDEAL RAPID, yang memungkinkan pembayaran real-time secara seamless di seluruh Asia. Inisiatif ini memperkuat konektivitas kawasan dan memberdayakan nasabah dari berbagai sektor.

    Remitansi, Penggerak Konektivitas Ekonomi di Asia

    Remitansi menjadi tulang punggung penting dalam mempererat konektivitas ekonomi lintas negara. ResearchAndMarkets memproyeksikan pasar remitansi internasional ke Indonesia akan tumbuh dengan CAGR sekitar 3% hingga 2028. Sementara itu, Bank Dunia memperkirakan aliran remitansi ke negara-negara berpendapatan rendah dan menengah akan mencapai USD 690 miliar secara global pada 2025.

    Dengan posisi strategis dan tren digitalisasi yang terus berkembang, Indonesia memiliki peluang besar untuk memaksimalkan manfaat remitansi, baik untuk individu maupun sektor bisnis. Dalam konteks ini, Bank DBS Indonesia hadir sebagai mitra strategis dengan menawarkan DBS IDEAL RAPID, platform real-time API yang mendukung pengiriman dana lintas negara secara cepat, transparan, dan efisien. Kehadiran solusi ini tak hanya mempermudah operasional perusahaan, tetapi juga memperkuat inklusi keuangan dan pembangunan ekonomi berkelanjutan di kawasan Asia.

    Revolusi Layanan Remitansi Lintas Negara lewat API

    Salah satu contoh nyata dari transformasi digital remitansi adalah kolaborasi Bank DBS Indonesia dengan Topremit. Melalui integrasi API DBS RAPID, layanan remitansi Topremit kini memungkinkan transfer ke luar negeri secara lebih cepat dan aman, serta didukung oleh tiga fitur utama: konversi FX dengan kurs real-time, transfer telegrafik lintas negara, dan pembayaran domestik real-time.

    Kolaborasi ini memberikan dampak besar: volume transaksi meningkat 227% hanya dalam waktu enam bulan (Q3 2023–Q4 2024), nilai transaksi naik hingga Rp150 miliar, dan efisiensi transaksi meningkat hingga 89,54%. Atas pencapaian ini, Bank DBS Indonesia meraih penghargaan Indonesia Partner Experience of the Year (Banking) dari Asian Experience Awards 2024.

    Perbesar

    Dok. Bank DBS Indonesia…. Selengkapnya

    Menurut Dandy Pandy, Head of Global Transaction Services Bank DBS Indonesia, kolaborasi semacam ini tidak hanya mempercepat operasional nasabah, tapi juga memperluas akses layanan finansial hingga ke pasar global. Teknologi dan kolaborasi diakui sebagai kunci kesuksesan dalam membangun solusi remitansi lintas negara yang unggul.

    Solusi Likuiditas Terintegrasi: Strategi Diversifikasi untuk Perusahaan Tangguh

    Tak hanya fokus pada remitansi, Bank DBS Indonesia juga menjadi pelopor dalam memberikan solusi keuangan yang relevan bagi korporasi yang relevan dan adaptif dengan dinamika pasar. Di tengah ketidakpastian global, Bank DBS Indonesia mendukung ketahanan bisnis nasabah melalui strategi diversifikasi dan berbagai solusi likuiditas yang inovatif. 

    Untuk mendukung ekspansi lintas negara, Bank DBS Indonesia menawarkan nilai tukar valas yang kompetitif, layanan manajemen kas, serta fasilitas modal kerja yang terintegrasi. Transformasi digital terus diperkuat, mulai dari kemudahan akses ke pasar modal bagi investor institusi hingga integrasi API yang menyederhanakan proses kerja dan mempercepat transaksi lintas negara.

    Perbesar

    Dok. Bank DBS Indonesia…. Selengkapnya

    Sebagai bagian dari komitmennya terhadap efisiensi operasional, Bank DBS Indonesia menawarkan solusi Cash Management bagi perusahaan besar maupun menengah. Salah satu fitur utamanya adalah Virtual Account (VA), yang memungkinkan proses rekonsiliasi otomatis dengan nomor VA unik bagi setiap pelanggan. Solusi ini menghemat waktu dan meminimalkan kesalahan pencatatan. Selain itu, QRIS Korporasi juga disediakan sebagai kanal pembayaran digital yang real-time dan aman, ideal untuk transaksi di lapangan.

    Bagi perusahaan yang telah menggunakan sistem Enterprise Resource Planning (ERP), mereka dapat memanfaatkan DBS RAPID, layanan API real-time yang memungkinkan transaksi dan pelaporan terhubung langsung ke sistem internal perusahaan. Untuk pengelolaan kas lintas entitas, Liquidity Management Tools seperti cash pooling juga tersedia guna mengoptimalkan saldo kas dan menekan biaya pendanaan secara keseluruhan.

    Sebagai contoh implementasi, sebuah perusahaan distribusi nasional berhasil menyederhanakan sistem pembayaran dari ribuan outlet menggunakan kombinasi Virtual Account dan QRIS. Data pembayaran tersebut langsung terhubung ke sistem ERP melalui DBS RAPID, sementara saldo kas anak perusahaan digabungkan secara otomatis melalui cash pooling dan dikelola oleh treasury pusat setiap akhir hari.

    Solusi digital terintegrasi yang ditawarkan Bank DBS Indonesia berhasil meraih penghargaan sebagai Indonesia Partner Experience of the Year untuk kategori Banking di ajang Asian Experience Awards 2024. Capaian in dianugerahkan untuk solusi DBS RAPID yang inovatif dan telah sukses mendukung lebih dari 200.000 pengguna. Penghargaan ini merupakan pengakuan atas keberhasilan solusi DBS RAPID dalam meningkatkan layanan pengiriman uang lintas batas dan memberikan pengalaman digital yang unggul. 

    Baru-baru ini, Bank DBS Indonesia juga menerima penghargaan Triple A Treasurise Awards oleh The Asset. Penghargaan Treasurise diberikan untuk kategori Best Cash Management Bank, serta solusi klien terbaik yakni Distribution/Procurement – Best Payments and Collections Solution, sebagai bentuk pengakuan atas inovasi dan keunggulan layanan digital yang mendukung efisiensi dan transformasi bisnis nasabah korporasi. Penghargaan ini memperkuat posisi Bank DBS Indonesia sebagai mitra tepercaya bagi perusahaan yang ingin memperluas jangkauan bisnisnya, termasuk dalam ekspansi lintas negara melalui layanan manajemen kas, nilai tukar valas yang kompetitif, serta fasilitas pembiayaan dan integrasi digital yang menyeluruh.

     

    (*)

  • Ketika Suara Rakyat Ditukar dengan Liter Dolar

    Ketika Suara Rakyat Ditukar dengan Liter Dolar

    OLEH: DENNY JA

    PADA awal Januari 2012, Presiden Goodluck Jonathan mengumumkan penghapusan subsidi bahan bakar bensin. Maka harga yang selama ini sangat murah, sekitar ?65, naik menjadi ?141 per liter. 

    Kenaikan harga ini memicu kemarahan publik. Terutama ibu-ibu dan keluarga miskin protes.  Mereka mengandalkan transportasi murah untuk kebutuhan dasar seperti pergi ke pasar atau ke puskesmas.

    Seorang ibu di Lagos, Antonia Arosanwo, menggambarkan efeknya dengan jelas:

    “Saya marah. Biaya perjalanan saya di bus melambung dua kali lipat sejak subsidi dihapus.”   

    Gerakan ini meluas menjadi protes nasional yang dikenal sebagai Occupy Nigeria (2?”14 Januari 2012). 

    Unjuk rasa besar dilakukan. Bus dihentikan, jalan diblokir. Dan puluhan orang tewas akibat bentrokan dengan aparat  .

    Hanya dalam dua minggu, pemerintah tersentak, mengembalikan harga bensin ke level sekitar ?97 per liter. 

    Ketika pencabutan subsidi menentukan nasib pemimpin, apakah ini jenis demokrasi yang sehat?

    Dalam sejarah negara-negara berkembang, subsidi energi adalah candu politik. Ia menenangkan protes, menekan inflasi, dan membeli loyalitas instan. 

    Di Mesir, revolusi Arab Spring dipicu bukan hanya oleh otoritarianisme, tapi juga pencabutan subsidi bahan pokok. 

    Di Venezuela, rezim Chávez bertahan bertahun-tahun di atas fondasi bensin gratis. Di Indonesia, lebih dari Rp500 triliun anggaran pernah dikucurkan hanya untuk menjaga harga BBM tetap “terasa murah”.

    Padahal, data membongkar ilusi itu. Menurut Bank Dunia, 70% subsidi BBM di Indonesia justru dinikmati oleh 30% kelompok terkaya. 

    Pemilik mobil SUV mendapat porsi lebih besar dibanding pengayuh becak atau nelayan. Subsidi ini bukan keadilan sosial.

    Melainkan ini hadiah politik untuk kelas menengah urban yang paling vokal di media sosial dan paling menentukan di TPS kota.

    Kita dimenangkan hari ini. Tapi esok hari, sekolah anak kita kekurangan guru. Puskesmas tak punya vaksin. Jalan desa tetap berlubang.

    Inilah ironi: energi memberi panas yang cepat, tapi meninggalkan arang yang panjang. Subsidi memang populis. Tapi ia seringkali memiskinkan.

    Jauh di balik kampanye dan baliho, ada sumber uang yang lebih berkuasa daripada rakyat: sumur minyak dan tambang batu bara. 

    Kita hidup di era ketika industri energi bukan sekadar penggerak ekonomi, tapi pendonor utama pesta demokrasi.

    Contoh paling vulgar adalah Brasil: skandal Petrobras menyeret presiden, anggota parlemen, hingga eksekutif top ke penjara. 

    Di Nigeria, “oil bunkering” ilegal melahirkan tentara bayaran yang lebih setia pada pengusaha energi daripada konstitusi.

    Dan Indonesia? Kita punya cerita sendiri: Petral, anak usaha Pertamina yang pernah menjadi ladang mafia impor minyak. 

    Ada juga permainan tender yang membiayai koalisi politik. Surat izin tambang berubah menjadi mata uang politik: siapa mendukung siapa, akan dapat konsesi dimana.

    Banyak suara rakyat ditukar satu kontrak blok migas. Itulah mata uang baru demokrasi.

    Negara yang hidup dari rente minyak kerap menjadi negara yang malas. Pajak tak lagi dikembangkan secara adil. 

    Regulasi tunduk pada pemain besar. Dan pembangunan institusi demokrasi tertunda, karena yang diperlukan bukan sistem meritokrasi, tapi jaringan loyalis yang bisa mengamankan blok eksplorasi.

    Kita bisa belajar dari sejarah: di era Orde Baru, Soeharto membagikan ladang minyak kepada kroni dan militer. Dari sinilah tumbuh kekuatan bisnis-politik yang kini masih bertahan, dengan wajah baru.

    Di Malaysia, Petronas pernah menjadi ATM partai penguasa UMNO. Transparansi hanya menjadi etalase.

    Di Meksiko, selama puluhan tahun, minyak adalah milik negara?”tapi negara hanya milik satu partai.

    Negara tidak lagi rasional. Ia menjadi korporasi raksasa dengan dewan direksi yang dipilih bukan oleh rakyat, tapi oleh pemilik modal.

    Kita tahu kekayaan alam Indonesia melimpah. Tapi siapa yang menikmatinya? Di Aceh, ladang gas Arun mengalir ke Jakarta, tapi desa sekitar tak punya listrik. Konflik bersenjata ikut lahir dari rasa ketidakadilan itu.

    Di Papua, tambang emas dan eksplorasi migas berjalan, tapi kampung-kampung adat hanya menerima debu dan penggusuran. 

    Di sana, suara rakyat tak pernah diukur dalam desibel, hanya dalam meter kubik minyak yang bisa ditambang.

    Inilah luka struktural yang tak kunjung sembuh. Ketika energi tak dibagi secara adil, maka demokrasi tak akan lahir secara utuh.

    Kita tak perlu pesimis. Dunia telah menunjukkan jalan lain. Norwegia, negeri penghasil minyak, justru menjadi salah satu negara paling demokratis. 

    Dana abadi mereka menyimpan ratusan miliar dolar, dikelola secara transparan, dan setiap warga bisa mengakses informasi keuangan negara secara daring.

    Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) jadi standar global. Negara yang mau jujur, akan dihormati pasar dan rakyat sekaligus.

    Bahkan di Afrika, negara seperti Botswana berhasil mengelola kekayaan tambang secara relatif adil?”bukan karena mereka kaya, tapi karena mereka berani.

    Maka pertanyaannya bukan: apakah bisa? Tapi: apakah kita cukup berani?

    Indonesia: Di Persimpangan Sumur dan Suara

    Indonesia kini bukan lagi negara pengekspor minyak. Kita sudah menjadi importir. Tapi mentalitas elite kita masih seperti pemilik sumur raksasa.

    Politik masih didanai oleh bisnis batu bara, kontrak migas, dan rente eksplorasi. Transisi energi dibicarakan, tapi tak sungguh dijalankan, karena para pemilik warisan lama belum rela melepaskan kendali.

    Apakah koperasi energi lokal bisa lahir? Apakah rakyat bisa terlibat dalam tata kelola sumber daya? Apakah kita bisa menciptakan demokrasi yang tak lagi tunduk pada harga bensin?

    Jalan tengah itu masih belum jelas. Tapi sejarah menanti mereka yang berani menulis bab baru.

    Demokrasi bukan hanya pemilu lima tahunan. Ia hidup dari kontrol rakyat atas sumber dayanya. Jika sumur dimiliki rakyat, suara pun tak bisa dibeli.

    Tapi jika energi hanya dikuasai oleh elite yang takut kehilangan kuasa, maka demokrasi kita bukan sedang tumbuh?”melainkan dalam koma yang panjang.

    Apa yang bisa Indonesia pelajari?

    Bahwa kedaulatan energi bukan tentang siapa yang menguasai ladang, tapi siapa yang berani membagi hasilnya secara adil. 

    Bahwa demokrasi bukan soal harga BBM, tapi siapa yang menentukan anggaran negara: suara, atau rente?

    Indonesia wajib membentuk badan independen pengawas energi dengan kewenangan memveto kontrak merugikan. 

    Juga ia mengalokasikan 30% pendapatan migas langsung ke dana desa terpencil.”

    Jika kita ingin demokrasi yang sehat, maka energi harus kembali ke tangan rakyat.

    “(Energi adalah darah negara. Tapi jika darah itu hanya mengalir ke jantung oligarkhi elite, maka demokrasi kita bukan sedang hidup -melainkan koma.”)

  • Bukan Beras, Ketahanan Pangan Takkan Bisa Terwujud Tanpa Ini

    Bukan Beras, Ketahanan Pangan Takkan Bisa Terwujud Tanpa Ini

    Jakarta, CNBC Indonesia – Mantan Menteri Luar Negeri (Menlu) RI yang kini menjabat sebagai Utusan Khusus Sekretaris Jenderal PBB, Retno Marsudi, menyoroti persoalan air dalam kaitannya dengan ketahanan pangan dunia. Dia menekankan bahwa air memegang peran penting dalam sistem pangan dan pertanian.

    “Pada saat kita berbicara mengenai ketahanan pangan, maka tidak dapat dihindari bahwa kita harus berbicara terlebih dahulu mengenai ketahanan air. Karena nexusnya (hubungannya) sangat dekat,” kata Retno dalam KAGAMA Leaders Forum di Kantor Berita RRI, Jakarta, Kamis (17/7/2025).

    Retno memaparkan data, 72% air tawar dunia digunakan untuk pertanian. Ia juga mencontohkan besarnya konsumsi air untuk produksi pangan.

    “Pada saat kita makan nasi, 1 kilo gram (kg) beras memerlukan 2.500 liter air dalam setahun, dan untuk 1 kg jagung diperlukan 900 liter air. Dengan kata lain, diperlukan air yang sangat banyak untuk memproduksi pangan,” jelasnya.

    Dengan kebutuhan yang begitu besar, ia pun mempertanyakan kesiapan dunia dalam menyediakan air.

    “Nah, pada saat kita tahu bahwa ketergantungan pangan terhadap air begitu besar, pertanyaannya adalah bagaimana kondisi air dunia saat ini? sehingga dapat memberikan dukungan terhadap upaya para pemerintah dunia mengenai ketahanan pangan,” ucap dia.

    Retno menyayangkan, dunia saat ini tengah menghadapi krisis air.

    “It is very unfortunate bahwa dunia saat ini sedang menghadapi krisis air. Tantangan terbesar ada tiga, kebanyakan air jadi banjir, terlalu sedikit jadi kekeringan, dan terlalu politik. Ini adalah tiga tantangan terbesar air yang dihadapi oleh dunia,” terang Retno.

    Ia mengungkapkan, satu dari empat orang di dunia sudah menghadapi kekeringan atau kekurangan air.

    “Pada 2050 nanti, perkiraan para saintis mengatakan bahwa kekeringan diperkirakan akan berdampak terhadap 3/4 penduduk dunia. Itu sangat banyak,” sambungnya.

    Selain itu, penduduk dunia juga diperkirakan akan melonjak menjadi 10 miliar pada tahun 2050.

    “Dan di tahun 2050 juga, penduduk dunia diperkirakan akan menjadi 10 miliar, kebutuhan pangan akan meningkat 50%, kebutuhan fresh water akan meningkat 30%. Perubahan iklim memperburuk semua tantangan yang dihadapi oleh air saat ini,” tuturnya.

    Di sisi lain, Retno juga menyoroti tantangan dalam pembangunan infrastruktur air. Katanya, menurut data Bank Dunia, kantong pemerintah untuk mendanai infrastruktur air hanya 1,2% dari total belanja publik. Sementara dari sumber pendanaan yang selama ini terjadi untuk infrastruktur air, 90% masih dikeluarkan dari dana pemerintah, dan partisipasi swasta untuk membangun infrastruktur air baru 2%.

    Ia menyebut perlunya kolaborasi dan kemitraan untuk menjawab tantangan ini.

    “Jadi dengan gambaran ini kita juga tahu bahwa ada tantangan dari sisi financing, supporting financing karena begitu dominannya uang pemerintah, padahal uang pemerintah juga terbatas. Oleh karena itu, selanjutnya yang kita bahas antara lain di dalam konferensi PBB mengenai air adalah bagaimana sebuah kemitraan ini bisa dapat terwujud untuk mendukung ketahanan air,” jelasnya.

    Retno pun mengajak semua pihak untuk bertindak tegas.

    “Pertanyaannya adalah, apa yang dapat kita lakukan saat ini? Pertama, business as usual sudah tidak mungkin kita lakukan lagi. Kita harus bertindak tegas. Karena produksi pangan tergantung air, maka pendekatan yang seimbang antara air dan pangan harus diambil,” kata dia.

    Ia mendorong transformasi sistem pangan. Di mana percepatan transformasi sistem agri-food diperlukan, sehingga menjadi lebih efisien, lebih inklusif, lebih resilient, dan lebih sustainable.

    Poin yang kedua, Retno menilai perlu penerapan prinsip produce more with less, yaitu menghasilkan lebih banyak dengan sumber daya yang lebih sedikit. Dalam konteks pertanian, hal ini berarti mendorong peningkatan hasil panen atau yield dengan penggunaan air yang lebih efisien. Tujuannya agar produktivitas tetap tinggi tanpa membebani ketersediaan air yang semakin terbatas.

    Dia menegaskan, pendekatan berbasis air harus jadi inti sistem pangan.

    “Karena tadi, 72% fresh water dunia terserap untuk agriculture. Artinya kita harus menerapkan integrated water resources management approaches dan juga solusi inovatif lainnya,” ujarnya.

    “Maka pendekatan responsif air memang mau tidak mau harus diletakkan di jantung sistem pertanian dan pangan. Itu memang tidak bisa diingkari dan sebuah political will sangat diperlukan, koordinasi lintas sektoral, koherensi kebijakan di semua tingkatan dan sebagainya,” imbuh dia.

    Retno juga menekankan pentingnya data yang akurat. Sehingga keputusan yang diambil baik di sektor air maupun di sektor pertanian dapat diambil dengan tepat.

    “Karena kita tidak dapat merespon dengan baik kalau data yang kita miliki tidak benar. Disitulah teknologi diperlukan, AI diperlukan, dan sebagainya,” pungkasnya.

    (wia)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Begini Hitung-hitungan RI Gabung BRICS, Untung atau Buntung?

    Begini Hitung-hitungan RI Gabung BRICS, Untung atau Buntung?

    Jakarta, CNBC Indonesia – Di tengah dinamisnya kondisi geopolitik, langkah Indonesia bergabung dengan aliansi BRICS memberikan sejumlah peluang dan juga tantangan.

    Dalam riset terbaru Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat – Universitas Indonesia menilai masuknya Indonesia ke BRICS dapat memperkuat peran geopolitik Indonesia. Pasalnya, BRICS memungkinkan untuk Indonesia mengurangi ketergantungan terhadap negara-negara barat seperti AS, Jepang dan institusi global seperti International Monetary Fund (IMF) dan World Bank.

    “Memperkuat solidaritas selatan-selatan, di mana Indonesia dapat lebih aktif dalam menyuarakan kepentingan negara berkembang dalam isu-isu global seperti perubahan iklim, ketahanan pangan, dan reformasi sistem keuangan internasional,” tulis Trade and Industry Brief LPEM FEB edisi Juli 2025 dikutip Kamis (17/7/2025).

    Bergabungnya Indonesia dengan BRICS pun dinilai dapat memperkuat perekonomian. Karena aliansi tersebut menyumbang 37% terhadap PDB dunia pada tahun 2024, memiliki 46% populasi dunia dan 25% wilayah daratan dunia.

    Selain itu perekonomian negara-negara anggotanya terus tumbuh dan naik lebih dari empat kali lipat dari 1990 sampai 2023, menyumbang 24.2% ekspor dunia pada tahun 2023 dan menyumbang 19.4% impor dunia sepanjang 2023.

    “Akses ke pendanaan alternatif: BRICS memiliki New Development Bank (NDB) yang dapat menjadi sumber pembiayaan alternatif untuk pembangunan,” tulisnya.

    Kendati demikian, LPEM UI mengingatkan bahwa aliansi BRICS belum seefektif G7 atau OECD dalam menghasilkan kebijakan ekonomi konkret. Tidak ada kesepakatan perdagangan bebas, penghapusan tarif, atau harmonisasi kebijakan seperti ASEAN atau RCEP.

    Indonesia pun juga masih mencatat defisit perdagangan dengan beberapa anggota BRICS. Seperti China, Brasil, Rusia, dan Afrika Selatan. Tak hanya itu tantangan non tarif seperti persyaratan sertifikasi, pelabelan, hingga standar teknis juga kerap mempersulit produk RI masuk ke dalam pasar mereka.

    “Beberapa negara BRICS juga mengenakan berbagai hambatan non-tarif seperti sertifikasi, labelling, residu limit dan technical barriers to trade lainnya,” tulisnya.

    Menurut LPEM UI, Indonesia perlu menjaga agar keanggotaan ini tetap dipandang sebagai suatu langkah netral dan bagian dari politik bebas aktif, memastikan dapat menjaga posisi non-blok dan tidak dipandang condong ke blok tertentu.

    (mij/mij)

    [Gambas:Video CNBC]

  • LPEM: Indonesia harus bisa jaga posisi non-blok setelah gabung BRICS

    LPEM: Indonesia harus bisa jaga posisi non-blok setelah gabung BRICS

    Jakarta (ANTARA) – Indonesia harus bisa memastikan keputusan bergabung dengan kelompok ekonomi BRICS tetap menjadi perwujudan politik luar negeri bebas aktif yang senantiasa menjaga posisi non-blok dan tidak condong pada blok kekuatan tertentu.

    Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI dalam analisisnya yang berjudul “Aksesi BRICS: Potensi dan Tantangan bagi Perekonomian Indonesia” yang dikutip di Jakarta, Rabu, menekankan pentingnya mempertahankan posisi non-blok serta memitigasi risiko ketergantungan dan risiko geopolitik setelah bergabung dengan BRICS.

    LPEM FEB UI menegaskan meski telah menjadi anggota tetap BRICS, Indonesia harus terus mendiversifikasi mitra dagang, investor, dan sumber pendanaan, serta kerja sama ekonomi.

    Diversifikasi ini tidak hanya terbatas pada negara-negara anggota BRICS, tetapi juga tetap membuka peluang dengan negara-negara Barat. Langkah ini krusial untuk memastikan Indonesia tidak terlalu bergantung pada satu blok kekuatan, sekaligus menekan potensi risiko geopolitik.

    “BRICS tidak dijadikan solusi alternatif tunggal, tetapi menjadi opsi strategis untuk memperluas diversifikasi pasar dan memperkuat posisi tawar Indonesia di tengah sistem perdagangan multilateral,” katanya.

    Di sisi lain, analisis tersebut juga menggarisbawahi potensi besar peningkatan peran geopolitik dan penguatan ekonomi Indonesia di kancah global melalui BRICS.

    “Peran geopolitik Indonesia akan lebih strategis: Mengurangi ketergantungan terhadap negara Barat dan lembaga internasional yang terafiliasi (IMF, WTO, World Bank, dll),” tulis laporan tersebut.

    Langkah untuk bergabung ke dalam BRICS juga dinilai dapat memperkuat solidaritas Selatan-Selatan, memungkinkan Indonesia untuk lebih aktif menyuarakan kepentingan negara berkembang dalam isu-isu global krusial seperti perubahan iklim, ketahanan pangan, dan reformasi sistem keuangan internasional.

    Meski demikian, analisis LPEM FEB UI menyoroti tantangan yang dihadapi Indonesia dalam BRICS tidaklah mudah apalagi untuk mendapatkan keuntungan ekonomi.

    BRICS dinilai belum seefektif kelompok negara-negara maju G7 atau Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dalam menghasilkan kebijakan ekonomi riil. Bahkan, jika dibandingkan dengan blok perdagangan yang telah diikuti Indonesia seperti ASEAN atau Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), BRICS masih tertinggal.

    LPEM FEB UI menyoroti bahwa BRICS belum memiliki tarif preferensial, penghapusan hambatan non-tarif, dan kerja sama integrasi ekonomi lainnya yang signifikan.

    Untuk memastikan BRICS benar-benar dapat menjadi penyeimbang geopolitik dan geoekonomi dunia, serta memberikan manfaat bagi perekonomian nasional, Indonesia disebut perlu mengambil langkah proaktif.

    Indonesia harus mendorong BRICS untuk benar-benar melakukan kerja sama konkret di bidang perdagangan, bertransformasi menjadi blok perdagangan yang solid, dan kemudian menjadi blok kerja sama ekonomi yang lebih dalam.

    Indonesia juga harus mendorong BRICS untuk membahas pengurangan hambatan tarif dan non-tarif agar Indonesia mendapatkan akses pasar yang lebih baik dan adil ke negara-negara anggota lainnya.

    “Indonesia harus tetap membuka peluang kerja sama dengan negara-negara Blok Barat, sejauh Indonesia mendapat perlakuan yang adil dan setara,” demikian laporan tersebut.

    Pewarta: Shofi Ayudiana
    Editor: Riza Mulyadi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • CITA: Target Pajak Harus Mengacu Kondisi Lapangan, Bukan berdasarkan Tax Ratio

    CITA: Target Pajak Harus Mengacu Kondisi Lapangan, Bukan berdasarkan Tax Ratio

    Bisnis.com, JAKARTA — Center for Indonesia Taxation Analysis atau CITA menilai pemerintah perlu menetapkan target penerimaan pajak secara bottom-up atau berdasarkan kondisi lapangan, bukan melalui pendekatan top-down yang berangkat dari target rasio pajak atau tax ratio terhadap PDB.

    Manajer Riset CITA Fajry Akbar mengingatkan bahwa pengalaman masa lalu menunjukkan risiko besar dari pendekatan top-down, yang mana target tax ratio yang terlalu ambisius justru tidak tercapai dan menimbulkan kegaduhan di sektor usaha.

    “Dulu kita pernah menggunakan pendekatan top-down, dari target tax ratio lalu diturunkan ke target penerimaan pajak tahunan. Namun, realisasinya jauh meleset, hanya 81,5% dari target, padahal sudah dilakukan revisi,” ujar Fajry kepada Bisnis, Selasa (15/7/2025).

    Dia menekankan pentingnya penetapan target penerimaan yang objektif sekaligus realistis, dengan mempertimbangkan kapasitas basis perpajakan dan efektivitas kebijakan yang dijalankan. Menurutnya, pendekatan bottom-up memungkinkan perencanaan yang lebih akurat dan minim risiko politik maupun ekonomi.

    “Pertama, basis penerimaannya seperti apa? lalu program atau kebijakan apa yang bisa digunakan untuk meningkatkan penerimaan, berapa besar potensinya? Lalu diperhitungkan juga feasibility dari kebijakan tersebut terutama dari sisi risiko politik. Barulah kita bicara target tax ratio,” jelasnya.

    Dalam konteks rencana pemerintah menaikkan target tax ratio di atas 11%, Fajry menilai hal tersebut sulit tercapai dalam jangka pendek, terutama untuk tahun depan.

    Menurut Fajry, pengalaman kegagalan penerimaan pajak di masa lalu merupakan pelajaran penting agar penyusunan target fiskal tidak lagi dilakukan secara sepihak atau mengabaikan kondisi riil di lapangan.

    “Saya selalu menolak kalau target tax ratio sebagai ukuran target penerimaan. Kita sudah punya pengalaman buruk di masa lalu,” tegasnya.

    Target Tax Ratio Tembus 11%

    Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bimo Wijayanto mengungkapkan target tax ratio 11% untuk tercapai dalam waktu dekat, yang dia sampaikan dalam peringatan Hari Pajak 2025.

    Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan memperingati Hari Pajak 2025 dengan menggelar upacara nasional secara serentak di seluruh Indonesia pada hari ini, Senin (14/7/2025). Pada kesempatan itu, Bimo menegaskan kembali komitmen terhadap reformasi sistem perpajakan nasional dan penguatan integritas institusi.

    Dia menyerukan komitmen kolektif para pemegang kepentingan untuk menjaga keberlanjutan reformasi dan memperkuat kerja sama lintas sektor demi mewujudkan target tax ratio sebesar 11% dari produk domestik bruto (PDB) dalam waktu dekat.

    Adapun sejak 2014, tax ratio selalu berada di bawah 11%. Bahkan, Bank Dunia mencatat tax ratio Indonesia menjadi salah satu yang terendah di antara negara-negara berkembang lainnya.

    Lebih lanjut, Bimo menegaskan pentingnya menjaga kesinambungan agenda reformasi perpajakan yang telah berjalan sejak 1980-an, termasuk pembangunan sistem inti administrasi perpajakan alias Coretax yang diluncurkan pada awal tahun ini, tetapi wajib pajak masih kerap menemukan keluhan implementasinya.

    Dalam rangka optimalisasi penerimaan dan penguatan tata kelola, sambungnya, Direktorat Jenderal Pajak turut membentuk tim khusus bersama Polri, Kejaksaan, KPK, dan kementerian teknis lainnya. Tim ini diarahkan untuk menyisir sektor-sektor prioritas seperti pertambangan dan perikanan.

    Bimo menyampaikan bahwa Hari Pajak memiliki akar historis dari sidang BPUPKI pada 14 Juli 1945, saat kata “pajak” untuk pertama kalinya dimasukkan ke dalam naskah UUD 1945. Dia mengingatkan bahwa sistem perpajakan merupakan fondasi utama dalam pembiayaan negara.

    “Pajak adalah wujud gotong royong bangsa dalam membiayai kesejahteraan bersama. Kita tidak hanya mengelola penerimaan negara, kita mengelola kepercayaan rakyat,” kata Bimo dalam pidatonya, dikutip dari keterangan resmi Ditjen Pajak pada Senin (14/7/2025).

  • Rasio Pajak Indonesia Kian Tertekan, Pengamat Soroti Kerumitan Sistem

    Rasio Pajak Indonesia Kian Tertekan, Pengamat Soroti Kerumitan Sistem

    Bisnis.com, JAKARTA — Rasio pajak Indonesia yang terus menurun dinilai menjadi tantangan serius bagi upaya pemerintah meningkatkan penerimaan negara dan memperkuat kapasitas fiskal.

    Pengamat ekonomi dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyatakan bahwa rasio pajak Indonesia saat ini baru mencapai 10 persen. Angka ini tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara seperti Thailand dan Vietnam yang sudah mencapai 18 persen, serta Malaysia, Filipina, dan Singapura yang berada di kisaran 12%–14%.

    Jika dibandingkan dengan negara-negara maju, kesenjangannya semakin lebar. Negara-negara Eropa, misalnya, memiliki rasio pajak rata-rata hingga 41%.

    “Dengan penerimaan negara yang terbatas, yang bisa dilakukan oleh negara juga sangat terbatas. Sehingga dalam banyak kesempatan, karena penerimaannya sedikit, pengeluaran negara banyak, negara harus berutang,” ujarnya dalam program Broadcast di kanal YouTube Bisniscom, dikutip Senin (14/7/2025).

    Lebih lanjut, Wijayanto menambahkan bahwa persoalan bukan hanya rendahnya rasio pajak, tetapi juga lamanya durasi waktu untuk membayar pajak. Hal ini menurutnya mencerminkan kerumitan sistem perpajakan di Indonesia.

    Untuk perusahaan kecil dan menengah, survei menunjukkan bahwa butuh waktu sekitar 190 jam per tahun untuk memenuhi kewajiban perpajakan. Angka ini lebih tinggi dibandingkan Singapura (64 jam), Malaysia (180 jam), dan Vietnam (150 jam).

    “Sebenarnya kalau kita lacak ke belakang, Indonesia dari tahun ke tahun ada perbaikan dari sisi durasi itu, walaupun kemudian akhir-akhir ini stagnan. Vietnam melakukan transformasi sistem perpajakan sehingga dalam waktu singkat bisa turun dari 280 jam ke 150 jam,” tambahnya.

    Menurutnya, pemerintah telah berupaya melakukan pembaruan sistem, salah satunya melalui penerapan core tax system atau Cortex. Namun, implementasi sistem ini belum berjalan sesuai harapan. Di masa transisi, justru muncul kompleksitas baru.

    “Kadang-kadang orang mencoba dua cara harusnya, cara lama dan cara yang baru. Jadi duplikasi pekerjaan, walaupun nanti kalau ini sudah berjalan dengan baik, masyarakat akan terbantu,” tuturnya.

    Ia menjelaskan, Cortex masih menemui banyak kendala karena pada dasarnya sistem perpajakan di Indonesia tergolong paling rumit—bukan hanya dari aspek regulasi, tetapi juga karena banyaknya diskresi yang bersifat kasuistis dan ad hoc.

    “Kebetulan Cortex ini, desain awalnya adalah ketika Pak JK [Jusuf Kalla] masih wapres. Saya staf khusus bidang ekonomi. Memang konsultan dari World Bank waktu itu sempat mengusulkan, supaya sebelum bikin Cortex, simplifikasi peraturan pajak. Tapi waktu itu memang kalau harus memperbaiki ini, perlu waktu, ya sudah jalan saja dengan apa adanya,” terangnya.

    Dalam diskusi tersebut, Wijayanto juga menyoroti seretnya penerimaan pajak, yang menurutnya mengkhawatirkan. Pasalnya, kontribusi pajak mencapai sekitar 80%–85% dari total penerimaan negara.

    Dia mengungkapkan bahwa pada 2008 rasio pajak Indonesia sempat berada di angka 13,3%, namun pada 2024 turun menjadi 10%, dan pada 2025 diperkirakan kembali turun ke kisaran 9,9%.

    “Kalau ini hanya turun di tahun ini, barangkali karena ada satu fenomena. Tapi kalau ini merupakan sesuatu yang terus terjadi, ini struktural. Ada something wrong dengan ekonomi kita,” katanya.

    Untuk itu, menurutnya, pemerintah harus mengambil langkah jangka pendek, menengah, dan panjang. Pada jangka menengah dan panjang, salah satu yang perlu dilakukan adalah memperbaiki iklim investasi agar pelaku usaha mau menanamkan modal atau melakukan ekspansi. Dengan demikian, penciptaan lapangan kerja meningkat, yang pada akhirnya berdampak positif pada penerimaan pajak.

    Adapun langkah jangka pendek yang membutuhkan ketegasan adalah mendorong sektor ekonomi bawah tanah (shadow economy), seperti kegiatan penyelundupan, agar bisa masuk ke dalam sistem legal. Dengan begitu, negara bisa memungut pajak dari aktivitas yang sebelumnya tidak tercatat.