NGO: World Bank

  • Tingkat kemiskinan Jakarta naik, Pemprov DKI siapkan tujuh kebijakan

    Tingkat kemiskinan Jakarta naik, Pemprov DKI siapkan tujuh kebijakan

    Jakarta (ANTARA) – Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menyiapkan tujuh kebijakan strategis untuk mengatasi kenaikan angka kemiskinan dan menekan ketimpangan di Jakarta yang tercatat mengalami peningkatan pada Maret 2025.

    “Beban ekonomi makin berat dirasakan oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Kami akan mengambil tujuh langkah cepat untuk mengatasi kemiskinan baru dan menekan ketimpangan,” kata Asisten Perekonomian dan Keuangan Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta, Suharini Eliawati, di Jakarta, Senin.

    Suharini merinci kebijakan strategis ini yakni mengendalikan inflasi pangan dan energi. Pengendalian inflasi dilakukan melalui intervensi harga pasar, subsidi ongkos distribusi, serta memperkuat cadangan pangan strategis.

    Kebijakan selanjutnya, yaitu memperluas dan memperkuat bantuan sosial, dengan menyasar kelompok hampir miskin dan masyarakat yang baru jatuh miskin akibat tekanan ekonomi.

    Berikutnya, mendorong penciptaan kerja formal, termasuk perluasan program padat karya, pelatihan keterampilan digital, penguatan UMKM, dan kemitraan dengan sektor swasta.

    Selanjutnya, meningkatkan akses terhadap hunian dan layanan dasar, dengan menyediakan hunian terjangkau dan subsidi untuk listrik, transportasi publik, serta pendidikan.

    Kebijakan berikutnya, memberikan insentif kepada pelaku usaha yang mempekerjakan kelompok rentan, serta memperluas layanan publik di wilayah padat penduduk.

    Kemudian, membangun fondasi dan menyusun indikator untuk menjawab kebutuhan konkret warga, seperti penyediaan infrastruktur dasar, pengembangan ekonomi hijau, serta penguatan akses terhadap pendidikan dan kesehatan.

    Serta, mewujudkan Jakarta Fund untuk memperkuat investasi yang mendukung perekonomian Jakarta.

    Suharini mengatakan, Pemprov DKI merespons serius kenaikan angka kemiskinan dan ketimpangan berdasarkan laporan terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta.

    Data BPS menunjukkan tingkat kemiskinan di Jakarta per Maret 2025 mencapai 4,28 persen, naik dari 4,14 persen pada September 2024. Kenaikan ini menjadi peningkatan pertama sejak pandemi COVID-19.

    Suharini menyebut kondisi ini mencerminkan pemulihan ekonomi yang belum inklusif. Peningkatan jumlah pekerja informal dan tekanan inflasi turut memperlebar jurang ketimpangan sosial.

    Selain tingkat kemiskinan, laporan BPS juga mencatat proporsi pengeluaran 40 persen masyarakat terbawah hanya sebesar 16,12 persen, menunjukkan ketimpangan tinggi sesuai klasifikasi Bank Dunia.

    Adapun ketimpangan pengeluaran (rasio gini) Jakarta naik dari 0,431 (September 2024) menjadi 0,441 (Maret 2025), tertinggi di Indonesia.

    “Fokus kami bukan hanya menurunkan angka kemiskinan, tetapi juga mempersempit kesenjangan. Kami ingin memastikan pertumbuhan ekonomi Jakarta lebih merata dan adil,” kata dia.

    Suharini menyampaikan, Pemprov DKI Jakarta terus berkomitmen untuk memperkuat sinergi lintas sektor, termasuk dengan pemerintah pusat, lembaga filantropi, dan dunia usaha, guna menciptakan perlindungan sosial yang adaptif dan penciptaan kerja yang berkelanjutan.

    Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
    Editor: Ade irma Junida
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • RI pertahankan kinerja ekonomi yang stabil pada kuartal II 

    RI pertahankan kinerja ekonomi yang stabil pada kuartal II 

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    KSSK: RI pertahankan kinerja ekonomi yang stabil pada kuartal II 
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Senin, 28 Juli 2025 – 19:57 WIB

    Elshinta.com – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan kinerja perekonomian Indonesia tetap bertahan stabil pada kuartal II-2025 meski berada di tengah gejolak global.

    “Dari hasil pertemuan berkala Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang ketiga tahun 2025, stabilitas sistem keuangan triwulan II tahun 2025 tetap terjaga di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers KSSK di Jakarta, Senin.

    Dia menjelaskan ketidakpastian perekonomian global pada triwulan II tetap tinggi akibat kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) dan ketegangan geopolitik di Timur Tengah.

    Kedua gejolak itu menyebabkan perekonomian global diperkirakan melambat, termasuk pemain ekonomi utama AS, Eropa dan Jepang.

    China pun diperkirakan mengalami perlambatan pada triwulan II sebesar 5,2 persen (year-on-year/yoy), lebih rendah dibandingkan kuartal I sebesar 5,4 persen (yoy). Penurunan itu disebabkan oleh menurunnya ekspor China ke AS.

    Dari sisi aliran modal, terjadi pergeseran dari AS ke aset yang dianggap aman, terutama aset keuangan di Eropa dan Jepang serta komoditas emas.

    Pergeseran modal ke negara berkembang juga berdampak pada pelemahan dolar AS terhadap mata uang global.

    Dengan perkembangan itu, Bank Dunia merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang turun dari 3,2 persen menjadi 2,9 persen.

    Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pun menurunkan prediksi dari 3,1 persen menjadi 2,9 persen.

    Meski begitu, KSSK optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II tetap terjaga, seiring dengan konsumsi dan daya beli masyarakat yang masih positif.

    Aktivitas dunia usaha juga disebut tetap tangguh berkat dukungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang berfungsi sebagai countercyclical maupun dalam memperbaiki distribusi dan efektivitas pasar.

    Selain itu, pemerintah juga telah menyediakan bantalan berupa bantuan sosial (bansos) untuk masyarakat rentan serta sektor yang dianggap rentan.

    “Kami dari KSSK akan terus memperkuat koordinasi dan sinergi agar kebijakan antarlembaga dapat terus memastikan terjaganya stabilitas sistem keuangan, namun juga sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi,” ujar Sri Mulyani. 

    Sumber : Antara

  • Pengeluaran di Bawah Rp 20 Ribu Sehari Tak Layak Jadi Patokan Miskin

    Pengeluaran di Bawah Rp 20 Ribu Sehari Tak Layak Jadi Patokan Miskin

    Jakarta

    Angka kemiskinan di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS) mengalami penurunan. Tercatat, angka penduduk miskin di Tanah Air ada sebanyak 23,85 juta orang. Angka ini mengalami penurunan 0,2 juta orang dibandingkan dengan September 2024.

    Dari sisi persentasenya, jumlah penduduk miskin terhadap total populasi atau total penduduk pada Maret 2025 mencapai 8,47%. Jika dibandingkan dengan September 2024 turun sebesar 0,1%.

    Untuk diketahui, penduduk miskin adalah saat pengeluarannya di bawah garis kemiskinan. Adapun garis kemiskinan pada Maret 2025 berdasarkan survei sosial ekonomi nasional (Susenas) sebesar Rp 609.160 per kapita per bulan, atau sebesar Rp 20.305 per hari.

    Menanggapi hal ini, ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, mengatakan standar garis kemiskinan dinilai terlalu rendah. Hal ini berdampak pada angka kemiskinan yang mengalami penurunan.

    “Standarnya ini yang saya rasa terlalu rendah, Rp 20 ribu ya, terlalu rendah. Sehingga angka kemiskinannya turun. Karena itu kan nilai nominalnya, harusnya dihitung nilai realnya. Nilai real-nya untuk membeli itu harusnya lebih besar,” ujarnya kepada detikcom, Sabtu (26/7/2025).

    Selain itu, Tauhid bilang, parameter kemiskinan di Indonesia dinilai lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Menurutnya, pengukuran kemiskinan sudah bisa mengadopsi dari Bank Dunia ataupun lembaga lain yang relevan.

    “Kalau pengukurannya ya menurut saya ya standarnya harusnya sudah bisa diadopsi sebagian yang dari Bank Dunia, ataupun dari lembaga lain lah. Kalau BPS ‘kan masih menggunakan metode yang lama, sehingga pasti akan turun gitu,” tambahnya.

    Tauhid menilai ada pola konsumsi yang berubah yang secara rata-rata terjadi tiap 10 tahun. Kebutuhan makan memang dominan, namun ada kebutuhan lain di luar makanan yang juga perlu disertakan dalam penetapan garis kemiskinan.

    “Sekarang orang miskin itu non-makanannya juga cukup tinggi. Sederhananya, orang miskin sekarang rata-rata punya motor juga. Sekarang orang punya motor, mungkin menggunakan metode BPS, mungkin tidak dianggap orang miskin. Tapi sekarang rata-rata tiap keluarga walaupun orang miskin, tetap ada motor,” bebernya.

    “Misalnya kebutuhan untuk kendaraan, kebutuhan untuk pulsa dan sebagainya. Itu alat penghitungan yang nanti ujung-ujungnya adalah standar Rp 20 ribu itu jadi tidak layak. Ada non-makanannya yang harusnya sudah bisa diubah. Nah, ini yang tidak berubah sejak 1998,” tutupnya.

    (fdl/fdl)

  • Masih 23,85 Juta Orang Terjebak dalam Kemiskinan Ekstrem, Istana Ungkap Target Pemerintah

    Masih 23,85 Juta Orang Terjebak dalam Kemiskinan Ekstrem, Istana Ungkap Target Pemerintah

    Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah menyebut akan berupaya menekan jumlah penduduk yang terjebak dalam kemiskinan esktrem lebih rendah lagi. Pernyataan ini menyusul rilis data Badan Pusat Statistik yang menyebut 23,85 juta orang di Indonesia masih berada dalam kemiskinan ekstrem.

    Meski jumlah ini hampir setara dengan penduduk satu benua Australia, jumlah kemiskinan esktrem ini adalah yang terendah sejak BPS melakukan penghitungan pada 1960 pada level 8,47%. 

    Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menyebut pemerintah tidak berpuas diri dan akan terus bekerja keras untuk mencapai target penghapusan kemiskinan ekstrem selama masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

    “Berkenaan dengan turunnya angka kemiskinan yang sudah disampaikan oleh BPS, tentunya ini sesuatu yang menggembirakan jika dilihat dari sisi penurunan tersebut. Tapi sesungguhnya kami di pemerintah masih terus ingin bekerja keras agar semakin sedikit saudara-saudara kita yang masih tertinggal dalam garis kemiskinan ekstrem,” ujarnya kepada wartawan di kompleks Istana Kepresidenan, Jumat (25/7/2025).

    Lebih lanjut, dia menekankan bahwa upaya pengentasan kemiskinan tidak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah semata. Partisipasi aktif masyarakat, dunia usaha, dan sektor pendidikan juga sangat penting dalam menciptakan ekosistem yang mendukung lahirnya lapangan kerja baru.

    “Mengentaskan kemiskinan tidak bisa menjadi domain pemerintah saja. Pemerintah menyiapkan strategi dan regulasi, tapi masyarakat dan dunia usaha punya peran besar. Kita harus mendorong sebanyak-banyaknya warga negara kita untuk menciptakan lapangan pekerjaan, bukan hanya mencari,” tegasnya.

    Prasetyo juga menyoroti pentingnya perubahan pola pikir, khususnya di kalangan generasi muda, agar tidak hanya terpaku menjadi pencari kerja, melainkan turut menciptakan peluang usaha sendiri.

    “Kita ini masih rendah dari sisi jumlah warga yang menjadi pengusaha. Ini pekerjaan rumah besar: bagaimana mengubah mindset generasi muda untuk lebih banyak jadi pencipta lapangan kerja,” katanya.

    Meskipun optimis terhadap tren penurunan, tetapi Prasetyo menekankan bahwa penghapusan kemiskinan ekstrem hingga 0 persen tetap menjadi target ambisius pemerintah dalam lima tahun ke depan. Dia juga mengakui bahwa masih ada kelompok masyarakat yang secara realistis tetap perlu dukungan langsung dari negara.

    “Ada sebagian warga negara kita yang memang harus ditopang oleh negara. Misalnya saudara-saudara kita yang lanjut usia, hidup sendiri, atau secara fisik sudah tidak mampu bekerja. Dalam kondisi seperti itu, peran negara menjadi penting,” pungkas Prasetyo.

    Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2025 dengan klaim angka kemiskinan Indonesia per Maret 2025 turun menjadi 8,47%. Level kemiskinan ini jadi yang terendah sejak publikasi pertama pada 1960 dengan jumlah orang miskin setara 23,85 juta orang.

    “Maret 2025 jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 23,85 juta, atau turun 0,2 juta orang dibandingkan kondisi September 2024,” ujar Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono dalam konferensi pers di Kantor BPS, Jakarta, Jumat (25/7/2025).

    BPS juga mengungkapkan pihaknya mengadopsi penghitungan baru untuk kemiskinan ekstrem dari Bank Dunia sebagai indikator. Metode tersebut berkaitan dengan penghitungan besaran purchasing power parity (PPP). 

    “Jadi Bank Dunia mengadopsi metode baru untuk penghitungan PPP 2017, dan kami langsung mengkomunikasikan dan mengadopsinya,” jelasnya.

    Dalam indikator ini, BPS mengategorikan penduduk miskin ekstrem bagi mereka yang pengeluarannya per kapita di bawah US$2,15 PPP per hari. Untuk diketahui, BPS menyebut pada Mei 2025 lalu, kurs US$1 PPP berada pada level Rp5.993,03.

    Adapun, PPP merupakan pengukuran perbandingan biaya yang dibutuhkan untuk membeli suatu barang atau jasa di satu negara dengan di Amerika Serikat. Misalnya, US$1 di New York tentu memiliki daya beli yang berbeda dengan US$1 di Jakarta. PPP memungkinkan perhitungan keterbandingan tingkat kemiskinan antarnegara yang memiliki tingkat biaya hidup yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, kurs PPP berbeda untuk setiap negara.

  • 2 Versi Kemiskinan RI, Kok Bisa Beda Jauh?

    2 Versi Kemiskinan RI, Kok Bisa Beda Jauh?

    Jakarta

    Angka kemiskinan Indonesia telah resmi diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Namun, ada perbedaan angka kemiskinan antara versi yang dilaporkan BPS dengan versi Bank Dunia (World Bank).

    Menurut Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, Bank Dunia memperkenalkan standar baru dalam mengukur kemiskinan per Juni 2025. Hal ini termasuk juga dengan menggunakan standar garis kemiskinan ekstrem yang jadi sebesar US$ 3 berdasarkan purchasing power parity (PPP), atau paritas daya beli.

    “Bank Dunia memang memperkenalkan standar baru. Kemiskinan ekstrem untuk negara-negara berpendapatan menengah ke bawah atau lower middle income countries, termasuk Indonesia. Yaitu di bulan Juni ini, World Bank sudah merilis dengan standarnya yaitu US$ 3 PPP per kapita per hari,” ujarnya dalam konferensi pers yang dikutip pada Sabtu (26/7/2025).

    Berdasarkan standar itu, Bank Dunia memperkirakan ada sebanyak 5,44% penduduk Indonesia pada 2023 hidup di bawah garis kemiskinan ekstrem versi teranyar. Persentase ini menunjukkan adanya perbedaan data angka kemiskinan ekstrem versi BPS.

    Ateng juga bilang, saat ini pihaknya belum menggunakan tolok ukur US$ 3 PPP untuk menakar garis kemiskinan ekstrem Indonesia. Tetapi ia bilang, BPS akan tetap mengikuti perkembangan metode global dalam pengukuran kemiskinan esktrem.

    “Bank Dunia memperkirakan 5,44% penduduk Indonesia pada tahun 2023 berada di bawah garis kemiskinan ekstrim versi tersebut. Kemudian, sampai saat ini memang kita belum secara resmi mengadopsi batas US$ 3 PPP tersebut sebagai garis kemiskinan ekstrim nasional. Namun demikian, BPS akan terus mengikuti perkembangan metode global tentang pengukuran terutama kemiskinan ekstrim tersebut,” beber Ateng.

    Ateng juga bilang, BPS sampai saat ini masih mengacu pada standar US$ 2,15 PPP untuk menjaga konsistensi dengan penghitungan di tahun-tahun sebelumnya. Untuk diketahui, angka kemiskinan ekstrem RI per Maret 2024 yaitu sebesar 0,83% mengacu pada US$ 1,9 PPP versi 2011.

    “Kami masih menggunakan US$ 2,15 PPP karena tadi agar memperbandingkan dengan periode atau tahun-tahun sebelumnya. Angka kemiskinan ekstrim pada Maret 2024 sebesar 0,83%, ini mengacu kepada US$ yang direvisi, US$ 1,9 2011 PPP. Angka tersebut diperoleh dari metode penghitungan yang lama,” bebernya.

    “Sementara itu, kemiskinan ekstrem 0,85% yang barusan kami rilis mengacu pada garis kemiskinan US$ 2,15 PPP di 2017, serta dihitung mengadopsi (dengan) jadi Bank Dunia mengeluarkan metode baru yang telah dikomunikasikan kami juga dengan World Bank,” ia menguraikan.

    Ateng bilang, Bank Dunia mengadopsi metode baru untuk penghitungan PPP 2017 yang langsung diadopsi oleh BPS. Kemudian, per Maret 2024 ketika angka kemiskinan ekstrem dihitung dengan metode yang sama, Ateng bilang ada persentasenya sebesar 1,26%.

    “Pada Maret 2024 ketika dihitung dengan metode yang sama, hasilnya 1,26%. Sehingga kemiskinan ekstrem Maret 2025 turun dibandingkan dengan esktrem Maret 2024. Intinya metode baru ini, kita yang lama masih menggunakan pertumbuhan CPI (consumer price index), yang baru ini kita sudah mengadopsi salah satu di PBB, deflator ya, spasial deflator. Itu perbedaannya. Jadi, yang lama hanya digerakkan CPI, sekarang sudah ada namanya spasial deflator,” ungkapnya.

    Kemiskinan Versi Bank Dunia

    Foto: Pradita Utama

    Mengacu pada fact sheet yang dikeluarkan Bank Dunia per 13 Juni 2025, estimasi angka kemiskinan oleh Bank Dunia sengaja dibuat berbeda dengan definisi kemiskinan nasional yang digunakan oleh sebagian besar pemerintah.

    Definisi kemiskinan nasional dan internasional sengaja dibuat berbeda karena digunakan untuk tujuan yang berbeda. Garis kemiskinan nasional ditetapkan oleh pemerintah masing-masing negara, menyesuaikan dengan konteks unik negara tersebut.

    Garis kemiskinan nasional digunakan untuk mengimplementasikan kebijakan di tingkat nasional, seperti penargetan bantuan kepada masyarakat miskin.

    Bank Dunia menjelaskan, tidak ada definisi tunggal kemiskinan yang dapat digunakan untuk semua tujuan, dan inilah alasan mengapa ada perbedaan dalam garis dan metode penghitungan.

    Menurut Bank Dunia, garis kemiskinan nasional dan statistik kemiskinan yang diterbitkan oleh BPS adalah yang paling tepat sebagai tolok ukur. Garis kemiskinan internasional yang diterbitkan oleh Bank Dunia sesuai digunakan untuk memantau kemiskinan global dan membandingkan Indonesia dengan negara lain atau standar global.

  • Beda dari Bank Dunia, Pemerintah Belum Mau Ubah Perhitungan Kemiskinan

    Beda dari Bank Dunia, Pemerintah Belum Mau Ubah Perhitungan Kemiskinan

    Jakarta, CNBC Indonesia – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menegaskan pemerintah belum ada rencana untuk mengubah standar perhitungan angka kemiskinan nasional.

    Pasalnya, Bank Dunia kini meningkatkan standar besaran paritas daya beli atau Parity Purchasing Power (PPP) 2017 menjadi 2022.

    Airlangga menjelaskan bahwa saat ini pemerintah masih mengikuti acuan yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik untuk mengukur garis kemiskinan.Yakni Survei Ekonomi Sosial Nasional atau SUSENAS.

    “Jadi angka kemiskinan kita ikut pada angka statistik BPS dan perhitungan yang kita pakai. Karena tentu data kemiskinan masing-masing negara itu berbeda,” ujar Airlangga kepada wartawan, Jumat (25/7/2025).

    Lebih lanjut, Airlangga menjelaskan bahwa pendekatan PPP tentu menjadi penting dalam pengukuran garis kemiskinan. Namun, hingga saat ini pemerintah belum ada rencana untuk mengubah standar pengukuran garis kemiskinan yang sudah ada.

    “Dan yang paling penting adalah terkait dengan projection power parity. Jadi itulah yang sekarang kita gunakan. Nanti kita lihat ke depannya tetapi saat sekarang pemerintah belum ada rencana untuk mengubah itu,” ujarnya.

    Namun di sisi lain, Badan Pusat Statistik menggunakan PPP untuk menghitung standar garis kemiskinan ekstrem.

    BPS pun telah menggunakan pendekatan baru World Bank dalam penggunaan metode PPP, yakni spasial deflator.

    Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono menjelaskan spasial deflator adalah alat statistik yang memperhitungkan perbedaan harga antarwilayah suatu negara. Di Indonesia, disparitas harga untuk satu kota dengan kota lainnya bahkan antar kabupaten, bisa sangat besar.

    “Jadi spasial deflator itu kan mencerminkan perbedaan harga antarwilayah di Indonesia, bahkan sampai kabupaten, kota. Jadi itu kita mengadopsi untuk kemiskinan ekstrim, karena di sini BPS merilis pertama kalinya,” ujarnya.

    (mij/mij)

    [Gambas:Video CNBC]

  • BPS Catat Ketimpangan si Kaya dan si Miskin di Jakarta Makin Lebar

    BPS Catat Ketimpangan si Kaya dan si Miskin di Jakarta Makin Lebar

    Jakarta, Beritasatu.com – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ketimpangan si Kaya dengan si Miskin di Jakarta semakin meningkat. Pasalnya, indeks pengeluaran (rasio gini) di Jakarta semakin melebar ke 0,441 pada Maret 2025 dibandingkan September 2024 sebesar 0,431.

    Kepala BPS DKI Jakarta Nurul Hasanudin mengatakan, ketimpangan pengeluaran kelas atas dan bawah ini semakin lebar, yang menandakan pertumbuhan ekonomi di Jakarta belum merata di semua kelompok masyarakat.

    “Ini berarti ada gap pengeluaran penduduk kelas atas dan kelas bawah semakin lebar,” kata dia di Jakarta, Jumat (25/7/2025).

    BPS mencatat, distribusi pengeluaran penduduk Maret 2025 menunjukkan kelompok pengeluaran 40% terbawah mengalami penurunan sebesar 0,03% poin menjadi sebesar 16,12% dibandingkan September 2024 sebesar 16,15%.

    Sementara untuk kelompok 20% teratas atau penduduk kelas atas ada kenaikan 1,01% dari semula 51,14% pada September 2024 menjadi 52,45% pada Maret 2025. Menurut kategori Bank Dunia, angka ini menunjukkan ketimpangan pengeluaran penduduk di DKI Jakarta masih berada pada kategori ketimpangan sedang.

    “Distribusi pengeluaran penduduk di Jakarta sangat didominasi oleh kelompok atas, sebanyak 52,45% pengeluaran penduduk Jakarta ini adalah berasal dari kelompok yang 20% teratas,” katanya.

    “Persoalan kemiskinan sekali lagi bukan hanya sekadar jumlah dan persentase penduduk miskinnya, tentu dimensi lain yang perlu juga mendapat perhatian adalah tingkat kedalaman dan juga tingkat keparahan dari kemiskinan tersebut,” tukas dia.

  • Angka Kemiskinan RI Turun ke Level Terendah, Dasco: Itu Tujuan Prabowo

    Angka Kemiskinan RI Turun ke Level Terendah, Dasco: Itu Tujuan Prabowo

    Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menanggapi rilis Badan Pusat Statistik (BPS) soal Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2025 dengan klaim angka kemiskinan Indonesia per Maret 2025 turun menjadi 8,47%.

    Dia mengaku sudah mengetahui sepintas soal rilis itu, tetapi pihaknya tetap akan meminta BPS untuk menjelaskan lebih rinci kepada pimpinan DPR dan komisi terkait, supaya DPR bisa lebih memahami substansi data kemiskinan.

    Kala ditanya soal pemerintahan Prabowo bisa terus menurunkan angka kemiskinan RI, Dasco mengatakan bahwa memang itu adalah tujuan dari Presiden Prabowo.

    “Ya kan memang tujuan dari pemerintahan yang belum lama ini adalah menurunkan tingkat kemiskinan dan upaya-upaya itu terus dilakukan oleh pemerintahan pada saat sekarang,” katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, pada Jumat (25/7/2025).

    Pria yang juga merupakan Ketua Harian Gerindra ini memastikan bahwa DPR mendukung tujuan pemerintahan Prabowo itu. Dia juga menuturkan DPR akan mengkaji secara komprehensif masukan-masukan dari BPS.

    Diberitakan sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2025 dengan klaim angka kemiskinan Indonesia per Maret 2025 turun menjadi 8,47%. Level kemiskinan ini jadi yang terendah sejak publikasi pertama pada 1960 dengan jumlah orang miskin setara 23,85 juta orang.  

    “Maret 2025 jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 23,85 juta, atau turun 0,2 juta orang dibandingkan kondisi September 2024,” ujar Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono dalam konferensi pers di Kantor BPS, Jakarta, Jumat (25/7/2025). 

    BPS juga mengungkapkan pihaknya mengadopsi penghitungan baru untuk kemiskinan ekstrem dari Bank Dunia sebagai indikator. Metode tersebut berkaitan dengan penghitungan besaran Purchasing Power Parity (PPP). 

    “Jadi Bank Dunia mengadopsi metode baru untuk penghitungan PPP 2017, dan kami langsung dikomunikasikan dan adopsi,” jelasnya.

  • Tingkat kemiskinan Jakarta naik, Pemprov DKI siapkan tujuh kebijakan

    Tingkat ketimpangan Jakarta naik, rasio gini capai 0,441 per Maret 2025

    Jakarta (ANTARA) –

    Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ketimpangan pengeluaran (rasio gini) di Jakarta sebesar 0,441 pada Maret 2025, naik dibandingkan September 2024 sebesar 0,431.

    “Ini berarti ada gap pengeluaran penduduk kelas atas dan kelas bawah semakin lebar,” kata Kepala BPS DKI Jakarta Nurul Hasanudin di Jakarta, Jumat.

    Hasanudin mengatakan ketimpangan pengeluaran penduduk kelas atas dan kelas bawah yang semakin lebar ini menandakan manfaat pertumbuhan ekonomi di ibu kota belum merata di semua kelompok masyarakat.

    Distribusi pengeluaran penduduk Maret 2025 menunjukkan kelompok pengeluaran 40 persen terbawah mengalami penurunan sebesar 0,03 persen poin menjadi sebesar 16,12 persen dibandingkan September 2024 (16,15 persen).

    Sementara untuk kelompok 20 persen teratas (penduduk kelas atas) ada kenaikan 1,01 persen dari semula 51,14 persen pada September 2024 menjadi 52,45 persen pada Maret 2025.

    Menurut kategori Bank Dunia, angka ini menunjukkan ketimpangan pengeluaran penduduk di DKI Jakarta masih berada pada kategori ketimpangan sedang.

    “Distribusi pengeluaran penduduk di Jakarta sangat didominasi oleh kelompok atas, sebanyak 52,45 persen pengeluaran penduduk Jakarta ini adalah berasal dari kelompok yang 20 persen teratas (penduduk kelas atas),” katanya.

    Selain soal ketimpangan, Hasanudin juga mengemukakan mengenai indeks kedalaman kemiskinan di Jakarta, yakni ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan.

    “Persoalan kemiskinan sekali lagi bukan hanya sekadar jumlah dan persentase penduduk miskinnya, tentu dimensi lain yang perlu juga mendapat perhatian adalah tingkat kedalaman dan juga tingkat keparahan dari kemiskinan tersebut,” katanya.

    Pada periode September 2024-Maret 2025, indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan mengalami kenaikan.

    Indeks kedalaman kemiskinan Maret 2025 sebesar 0,574 naik dibandingkan September 2024 pada kondisi 0,549. Indeks keparahan kemiskinan Maret 2025 sebesar 0,111, naik dibandingkan September 2024 pada kondisi 0,106.

    BPS DKI menyatakan, kenaikan indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan menunjukkan kondisi kelompok penduduk miskin memburuk.

    “Indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan menggambarkan potret di mana penduduk miskin semakin menjauhi garis kemiskinannya,” kata Hasanudin.

    Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
    Editor: Ade irma Junida
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Jakarta pimpin pertumbuhan pasar bangunan hijau di Indonesia

    Jakarta pimpin pertumbuhan pasar bangunan hijau di Indonesia

    Salah satu gedung dengan konsep bangunan hijau di Jakarta yang telah menerima EDGE Certification dari International Finance Corporation (IFC). ANTARA/HO-IFC

    Jakarta pimpin pertumbuhan pasar bangunan hijau di Indonesia
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Jumat, 25 Juli 2025 – 10:41 WIB

    Elshinta.com – International Finance Corporation (IFC) mencatat bahwa Jakarta menjadi provinsi dengan tingkat pertumbuhan pasar bangunan hijau tertinggi di Indonesia, dengan total 171 bangunan hijau tersertifikasi, selain Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.

    Menurut laporan yang dirilis oleh lembaga yang merupakan bagian dari World Bank tersebut, terdapat 45 bangunan hijau tersertifikasi di Jawa Barat, masing-masing 26 bangunan di Banten dan Jawa Timur, serta 16 bangunan di Jawa Tengah.

    “Dari 38 provinsi di Indonesia, 25 (provinsi) telah memiliki proyek bangunan hijau bersertifikat, yang mencerminkan kemajuan nyata dalam penerapan konstruksi berkelanjutan di berbagai daerah,” catat IFC, seperti dikutip dari laporan tersebut di Jakarta, Jumat.

    Lembaga keuangan internasional tersebut menyatakan wilayah Jawa memiliki jumlah proyek gedung hijau tersertifikasi terbanyak, diikuti dengan Sumatera dan Kalimantan yang juga menunjukkan tren pertumbuhan yang positif. Terdapat empat sertifikasi yang umum digunakan di Indonesia, termasuk Excellence in Design for Greater Efficiencies (EDGE) Certification yang dikeluarkan oleh IFC dan GREENSHIP Certification oleh Green Building Council Indonesia (GBCI).

    Sementara, dua sertifikasi lainnya adalah Leadership in Energy and Environmental Design (LEED) Certification oleh U.S. Green Building Council (USGBC) serta Green Mark Certification oleh Building and Construction Authority (BCA) of Singapore. Hingga 2 Juli 2025, terdapat 200 proyek bangunan hijau tersertifikasi EDGE Certification di seluruh Indonesia, baik bangunan jadi maupun yang masih berupa desain, dengan luas bangunan tersertifikasi 4,33 juta meter persegi (m2), termasuk 27.620 unit rumah.

    Dengan menerapkan prinsip bangunan hijau, proyek-proyek dengan EDGE Certification tersebut dapat memangkas emisi karbon dioksida (CO2) sebesar total 100 ribu ton CO2 (tCO2) per tahun, menghemat energi 120 ribu megawatt hour (MWh) per tahun, serta menghemat air 4,7 juta meter kubik (m3) per tahun.

    Selain itu, terdapat pula 121 proyek bangunan hijau seluas 5,16 juta m2 dengan GREENSHIP Certification, 56 proyek bangunan hijau seluas 1,13 juta m2 dengan LEED Certification, dan 25 proyek bangunan hijau seluas 1,43 juta m2 dengan Green Mark Certification.

    Sumber : Antara