NGO: World Bank

  • Refleksi HUT RI: delapan dekade membangun ekonomi negeri

    Refleksi HUT RI: delapan dekade membangun ekonomi negeri

    Perjalanan ekonomi Indonesia selama 80 tahun adalah kisah tentang daya tahan, adaptasi, dan tekad untuk terus maju

    Jakarta (ANTARA) – Delapan dekade sudah Indonesia merdeka, dan perjalanan panjang dalam membangun ekonomi negeri pun telah dilalui.

    Indonesia yang yang lahir di tengah keterbatasan infrastruktur, teknologi, dan sumber daya manusia terdidik, kini bertransformasi menuju salah satu kekuatan ekonomi terbesar di Asia. Perjalanan panjang ini bukan hanya kisah pembangunan fisik, tetapi juga transformasi struktur ekonomi, kebijakan strategis, dan daya juang masyarakat yang membentuk fondasi menuju cita-cita besar: Indonesia Emas 2045

    Berdasarkan data dari World Bank, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, yang pada tahun 1967 hanya sekitar 7,7 miliar dolar AS, telah melampaui 1,5 triliun dolar AS pada 2024. Tingkat kemiskinan yang pada awal kemerdekaan diperkirakan di atas 70 persen populasi, turun menjadi sekitar 9,36 persen per Maret 2024 (BPS).

    Perjalanan ini menunjukkan transformasi besar dari negara berpendapatan rendah menjadi negara berpendapatan menengah, meski tantangan middle income trap masih membayangi.

    Untuk itu tahun 2025 menjadi momentum refleksi nasional yang penting: delapan dekade perjalanan Indonesia merdeka. Perjalanan panjang ini bukan hanya kisah politik dan sosial, tetapi juga perjalanan ekonomi yang berliku, penuh tantangan, tetapi sarat capaian.

    Selama 80 tahun Indonesia telah melewati fase-fase krusial, dari perekonomian yang porak-poranda akibat perang, menuju tahap pembangunan, krisis, reformasi, hingga era digital dan hilirisasi sumber daya alam.

    Era Pembangunan Ekonomi

    Era fondasi ekonomi (1945–1965) merupakan masa awal kemerdekaan yang diwarnai oleh instabilitas politik dan ekonomi. Perekonomian Indonesia saat itu masih berbasis agraris, dengan infrastruktur terbatas dan inflasi yang sangat tinggi.

    Pada 1965, inflasi bahkan mencapai 650 persen (BPS), akibat dari defisit fiskal besar, pembiayaan melalui pencetakan uang, dan situasi politik yang memanas. Pemerintah pada saat itu fokus pada pembangunan fondasi ekonomi yang terdiri dari nasionalisasi aset-aset Belanda pada awal 1950-an, pembentukan bank sentral (Bank Indonesia pada 1953), dan perencanaan pembangunan lima tahun pertama. Namun, keterbatasan kapasitas fiskal dan lemahnya basis industri membuat pembangunan berjalan lambat. Meski demikian, pada periode ini lahir kesadaran bahwa kemandirian ekonomi adalah bagian integral dari kedaulatan nasional.

    Setelah itu dilanjutkan era Pembangunan Orde Baru (1966–1998) di bawah Pemerintahan Presiden Soeharto, dengan memprioritaskan stabilisasi ekonomi dan pembangunan infrastruktur. Langkah awalnya adalah mengendalikan inflasi, yang berhasil ditekan dari 650 persen pada 1965 menjadi di bawah 20 persen pada awal 1970-an.

    Pemerintah membuka pintu investasi asing melalui UU Penanaman Modal Asing 1967 dan memanfaatkan boom minyak 1970-an untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.

    Pada dekade 1980-an, diversifikasi ekonomi mulai dilakukan seiring jatuhnya harga minyak dunia. Industrialisasi menjadi agenda utama, termasuk pengembangan industri manufaktur dan ekspor non-migas. Pertumbuhan ekonomi pada periode 1989–1996 rata-rata mencapai 7 persen per tahun, menjadikan Indonesia sebagai salah satu “macan Asia” baru. Tingkat kemiskinan turun signifikan dari 40 persen pada 1976 menjadi sekitar 11 persen pada 1996 (BPS).

    Namun, fondasi ekonomi yang rapuh, terutama ketergantungan pada utang luar negeri dan lemahnya regulasi perbankan membuat Indonesia terpukul hebat oleh krisis moneter Asia 1997–1998. Nilai tukar rupiah anjlok dari Rp2.300 per dolar AS menjadi lebih dari Rp 15.000, PDB mengalami kontraksi hingga -13,1 persen pada 1998, dan kemiskinan melonjak menjadi 24 persen.

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Bongkar Pasang APBN Jadi Senjata Pertumbuhan Ekonomi

    Bongkar Pasang APBN Jadi Senjata Pertumbuhan Ekonomi

    Oleh: Zuli Hendriyanto Syahrin
    (Pemerhati Ekonomi, Alumni HMI)

    Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan negara kita yang diamanatkan oleh Pasal 23 UUD 1945. Setiap tahun, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan kementerian terkait, bersama dengan DPR RI melalui Badan Anggaran (Banggar), berkolaborasi untuk membagikan uang negara.

    Sayangnya, pembagiannya kadang terasa kurang optimal dan tidak selalu produktif, seringkali terperangkap dalam rutinitas yang diatur oleh UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, dan UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).

    Banyak yang berpikir bahwa anggaran besar pasti membawa kemajuan. Padahal, dana seringkali dipakai untuk kegiatan rutin yang kurang efisien.

    Menurut saya, sudah saatnya kita mengejar pertumbuhan ekonomi 8% agar Indonesia bisa naik kelas dari negara berpendapatan menengah. Target ini bukan hanya angka, melainkan keinginan strategis untuk memastikan Indonesia menjadi pemain utama di kancah global.

    Data Bank Dunia menunjukkan GNI per kapita kita tahun 2024 sekitar $4.910, masih jauh dari angka minimum negara maju yang mencapai $14.000. Untuk mencapai target ini, APBN harus diubah, tidak hanya sebagai pembagi uang, tetapi sebagai alat strategis.

    Di bawah Kepemimpinan Bapak Presiden Prabowo Subianto, sudah saatnya Pemerintah saat ini melalui Kemenkeu dan Kementerian terkait, bersama DPR RI dan dibantu BPI Danantara, berani mengubah cara pandang lama yang sudah mengakar kuat di UU Nomor 17 Tahun 2003.

  • Tugas Prabowo Paling Berat, Menyatukan Kata dan Perbuatan

    Tugas Prabowo Paling Berat, Menyatukan Kata dan Perbuatan

    GELORA.CO -Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tidak lama lagi memasuki usia satu tahun. Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia mengingatkan tumpukan persoalan bangsa dan negara warisan pemerintahan Joko Widodo.

    “Tugas Prabowo yang paling berat adalah menyatukan kembali kata dan perbuatan yang sudah dibenturkan bahkan dipisahkan oleh Joko Widodo selama 10 tahun berkuasa. Kebiasaan Joko Widodo berbohong membuat rakyat tidak percaya pemerintah, dan sekarang tidak percaya kata-kata Prabowo,” kata Ketua Komite Eksekutif KAMI Adhie M Massardi kepada rmol.id, Senin 11 Agustus 2025.

    Kemudian, sebut Adhie, terjadi ketidakpercayaan terhadap hukum bahkan bagi dunia internasional. Di era Jokowi hukum bukan untuk keadilan tetapi menjadi alat membunuh lawan. Individu yang seharusnya tidak masuk bui justru masuk bui, dan begitu sebaliknya.

    “Kerusakan hukum terjadi mulai dari Mahkamah Agung hingga Pengadilan Negeri. Terkait korupsi, semua indeks korupsi memburuk. Bahkan saking rusaknya orang paling korup di muka bumi menurut OCCRP masih bisa keluyuran di republik ini,” kata Adhie.

    “Prabowo kemarin dengan abolisi dan amnesti mencoba mengembalikan hukum ke ranah yang benar. Tetapi ini jauh dari cukup karena hanya menyelamatkan korban-korban kriminalisasi Jokowi,” tambah Adhie yang juga jurubicara presiden era pemerintahan Abdurahman Wahid.

    Adhie menyampaikan, kerusakan yang diwariskan Jokowi sudah terbuka. Selain soal moral kepemimpinan dan hukum, kerusakan terjadi di bidang ekonomi yang juga menjadi beban pemerintahan Presiden Prabowo.

    “Semua orang tahu bahwa di republik ini kemiskinan tertinggi, terbanyak. Kalau secara persentase memang Zimbabwe tapi Zimbabwe jumlah penduduknya 18 juta. Sedangkan kita yang miskin 62 persen yang berarti jumlahnya sekitar 193 juta dari 280 juta penduduk,” tukas Adhie Massardi menyinggung laporan terbaru Bank Dunia yang menempatkan Indonesia di posisi kedua dalam daftar negara dengan jumlah penduduk miskin ekstrem terbanyak di dunia di bawah Zimbabwe.

    Adhie mengutarakan KAMI akan menyampaikan hasil kajian utuh tentang Indonesia yang diwariskan Jokowi sekaligus rekomendasi kepada pemerintahan Prabowo. Kegiatan ini dalam rangka memperingati hari kelahiran KAMI ke-5 yang direncanakan akan dilaksanakan di Yogyakarta.

    KAMI merupakan gerakan yang dideklarasikan di Tugu Proklamasi Jakarta Pusat pada 18 Agustus 2020. Gerakan ini antara lain digagas mantan Panglima TNI Jenderal Purnawirawan Gatot Nurmantyo, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, pakar politik Rocky Gerung, pakar hukum tata negara Refly Harun, dan aktivis pro-demokrasi Adhie Massardi

  • Kena Tarif AS 19%, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Masih Aman? – Page 3

    Kena Tarif AS 19%, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Masih Aman? – Page 3

    Secara kuartalan, ekonomi tumbuh 4,04%, menunjukkan pemulihan yang cukup solid setelah kontraksi di awal tahun. Sumber pertumbuhan utama berasal dari konsumsi swasta, investasi, serta pemulihan ekspor dan impor.

    “Namun, penting dicatat bahwa peran ekspor dalam struktur PDB Indonesia tidak sebesar negara-negara ASEAN lain, yakni hanya sekitar 18,8%,” ujarnya.

    Dari total ekspor, AS menyumbang 9,9% (sekitar US$26 miliar dari total USUSD264 miliar pada 2024). Surplus perdagangan dengan AS bahkan kurang dari 2% PDB nasional.

    Dalam World Economic Outlook Update IMF Juli 2025, proyeksi pertumbuhan riil Indonesia di angka 4,8% untuk tahun ini, sementara Bank Dunia menilai ekonomi Indonesia relatif resiliensi, dengan potensi pertumbuhan rata-rata 4,8% selama 2025–2027, dan bisa naik hingga 5,5% pada 2027 jika reformasi struktural berjalan.

     

  • Meluruskan Kembali Implementasi Anggaran Pendidikan 20 Persen

    Meluruskan Kembali Implementasi Anggaran Pendidikan 20 Persen

    Jakarta

    Mungkin yang terbayang dalam pikiran para inisiator anggaran pendidikan 20 persen dari APBN adalah dalam beberapa waktu ke depan kualitas pendidikan nasional akan sejajar bahkan mendahului negara-negara ASEAN lainnya. Ketika pemerintah mulai menerapkan kebijakan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN menjadi anggaran wajib (mandatory spending) setiap tahunnya, terbayang menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan alokasi belanja publik untuk pendidikan terbesar di Asia.

    Anggaran pendidikan di Indonesia mulai mencapai 20 persen dari APBN dimulai pada tahun 2009, semenjak Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan UU No 16 Tahun 2008 tentang APBN 2008 bertentangan dengan UUD 1945. Anggaran pendidikan 15,6 persen dalam APBN 2008 dinilai tidak memenuhi amanat konstitusi sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN. Pasca-keputusan MK, anggaran pendidikan 2009 menjadi Rp 208,3 triliun atau sekitar 20,8 persen. Maka semenjak tahun 2009 hingga saat ini, perencanaan anggaran pendidikan selalu mencapai 20 persen.

    Pada saat awal implementasi penerapan anggaran pendidikan menjadi mandatory spending tahun 2009, kualitas pendidikan nasional yang tercermin dari skor keterampilan global (membaca, matematika dan sain) yang diukur dalam survey Programme for International Student Assessment (PISA), Indonesia memiliki skor rata-rata 385 berada pada peringkat ke-57 dari 65 negara. Untuk kategori membaca, Indonesia memperoleh skor 402 (rata-rata OECD 493). Dalam kategori matematika, yakni 371 (rata-rata OECD 496). Sedangkan untuk kategori sains, Indonesia memperoleh skor 383, jauh di bawah rata-rata OECD sebesar 501. Skor ini menjadi baseline untuk mengukur dampak yang ditimbulkan oleh anggaran mandatory tersebut.

    Setelah 16 tahun (2009-2025) implementasi anggaran pendidikan 20 persen dari APBN, apa dampak dan perubahan yang ditimbulkannya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Tidak bisa dipungkiri, adanya mandatory spending tersebut berdampak terhadap membaiknya akses pendidikan. Hal ini ditunjukkan dari angka partisipasi sekolah yang semakin meningkat setiap tahunnya. Namun dari sisi peningkatan mutu pendidikan, belum memberikan hasil yang menggembirakan. Skor PISA, HCI (Human Capital Index), kompetensi guru, dan ketimpangan kualitas pendidikan antardaerah masih memerlukan perhatian serius dari pemerintah.

    Pencapaian skor PISA anak-anak Indonesia bisa menjadi ukuran yang valid. Penilaian terakhir PISA dilakukan pada tahun 2022 yang publikasinya dirilis tahun 2023. Dilihat dari tiga unsur pengetahuan yang dinilai, untuk pengetahuan membaca Indonesia mendapatkan skor 359 poin (rata-rata OECD 476). Selanjutnya, pengetahuan matematika, Indonesia mendapatkan skor 366 poin (rata-rata OECD 472). Terakhir, pengetahuan sains dengan skor 383 poin (rata-rata OECD 485). Dari ketiga penilaian pengetahuan tersebut, jelas bahwa penilaian PISA Indonesia berada di bawah negara-negara OECD bahkan ASEAN.

    Hasil skor PISA 2022 yang didapatkan Indonesia memberikan sejumlah catatan terkait kualitas dan kondisi dunia pendidikan nasional. Secara rata-rata, Indonesia mendapatkan skor PISA 369 poin. Ironisnya, skor PISA 2022 ini merupakan skor terendah Indonesia yang nilainya berada di bawah skor tahun 2009. Artinya selama 16 tahun alokasi anggaran pendidikan 20 persen belum memberikan pengaruh yang signifikan bagi dunia pendidikan. Hal ini tentunya, harus menjadi bahan evaluasi karena adanya penurunan tingkat kualitas pendidikan nasional.

    Meluruskan Anggaran Pendidikan 20 Persen

    Perjalanan panjang anggaran pendidikan dalam 16 tahun terakhir, mengalami banyak distorsi dalam pengalokasinnya, sehingga berdampak terhadap ketercapaian akses, kualitas, dan relevansi pendidikan terhadap kemajuan bangsa dalam fase bonus demografi yang sedang berlangsung. Salah satu bukti nyata adalah semakin menurunnya skor PISA Indonesia dalam dua dekade terakhir. Saat ini, tidak cukup hanya mengevaluasi nilai anggaran pendidikan 20 persen semata, tetapi juga harus melihat pengalokasiannya secara detail dan mendalam.

    Alokasi anggaran pendidikan tahun 2025 mencapai angka Rp 724 triliun. Dari total anggaran tersebut, sebesar Rp 297,2 triliun (41,05%) disalurkan melalui anggaran Belanja Pemerintah Pusat (BPP). Sedangkan alokasi anggaran melalui transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp 347,09 triliun (47,94%). Dari alokasi anggaran BPP, disalurkan melalui Kementerian/Lembaga (K/L) senilai Rp 261,61 triliun (88,03%), sisanya untuk non-K/L sebesar Rp 35,55 triliun (11,96%).

    Alokasi anggaran pendidikan di kementerian yang terkait pendidikan secara langsung, terdapat di Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah sebesar Rp 33,54 triliun (12,82%) dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi Rp 57,68 triliun (22,05%), Kementerian Pendidikan Kebudayaan Rp 2,37 triliun (0,91%), serta Kementerian Agama Rp 65,92 triliun (25,19%). Artinya anggaran pendidikan yang dikelola oleh kementerian terkait pendidikan berkisar Rp 159,51 triliun atau 60,97 persen dari anggaran K/L, sisanya sebesar Rp 102,10 triliun atau 39,02% tersebar di 17 K/L.

    Ketimpangannya terlihat dari besarnya anggaran pendidikan di luar kementerian bidang pendidikan dan agama, jelas dialokasikan untuk pendidikan kedinasan di 17 K/L. Padahal, yang menikmati sekolah kedinasan per tahunnya hanya 13.000 orang. Bandingkan dengan pendidikan formal dari tingkat dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi serta agama, jumlah siswanya mencapai 62 juta di bawah Kementerian Pendidikan dan 12,5 juta di bawah naungan Kementerian Agama. Ketimpangan pengalokasian ini perlu diluruskan kembali.

    Begitu pula dengan anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah sebesar Rp 347,09 triliun (47,94%), efektivitas anggarannya banyak tidak tepat sasaran. Temuan World Bank layak untuk dicermati, terdapat empat aspek masalah alokasi biaya pendidikan melalui transfer ke daerah, yaitu: pembagian kewenangan pemerintah pusat dan daerah, kualitas guru yang belum memadai, akuntabilitas yang rendah serta kualitas monitoring evaluasi yang belum optimal.

    Pemerintah harus segera meluruskan kembali implementasi anggaran pendidikan 20 persen. Terutama untuk memperkuat pendidikan dasar dan menengah yang menjadi fondasi utama kualitas pendidikan di Indonesia. Selain itu, komitmen anggaran tersebut penting untuk meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana setiap sekolah. Membaca kembali hasil PISA 2022 bukan sekadar melihat capaian angka belaka, tetapi perlu untuk menjadi pijakan reflektif untuk memastikan arah transformasi pendidikan nasional benar-benar berada di jalur yang tepat untuk mengoptimalkan bonus demografi dan menyambut Indonesia maju tahun 2045.

    Sejatinya Presiden Prabowo Subianto memiliki momentum dan kesempatan untuk melakukan koreksi dan review terhadap kebijakan pengalokasian anggaran pendidikan 20 persen. Saat ini pemerintah sedang menyusun nota keuangan dan RAPBN 2026 yang akan disampaikan oleh presiden di hadapan sidang paripurna DPR tanggal 16 Agustus 2025. Hal ini mendesak, selain sebagai amanat konstitusi, anggaran pendidikan 20 persen ini menjadi kunci untuk memperbaiki kualitas dan akses pendidikan nasional sesuai dengan harapan dan rencana pemerintah untuk membangun peta jalan menuju Indonesia maju tahun 2045.

    Handi Risza. Wakil Rektor Universitas Paramadina.

    (fas/fas)

  • Biaya Hidup Mahal, Warga di Depok Habiskan Rp 1,4 Juta per Bulan Hanya untuk Transportasi
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        6 Agustus 2025

    Biaya Hidup Mahal, Warga di Depok Habiskan Rp 1,4 Juta per Bulan Hanya untuk Transportasi Megapolitan 6 Agustus 2025

    Biaya Hidup Mahal, Warga di Depok Habiskan Rp 1,4 Juta per Bulan Hanya untuk Transportasi
    Tim Redaksi
    DEPOK, KOMPAS.com –
    Sejumlah warga di Depok harus mengalokasikan dana lebih dari Rp 1 juta setiap bulan untuk biaya transportasi menuju tempat kerja.
    Salah satunya adalah Dira (22), warga Cimanggis, yang setiap bulan menghabiskan sekitar Rp 1,4 juta dari gajinya untuk berangkat ke tempat kerjanya di Ancol, Jakarta Utara.
    “Total ongkos pulang dan pergi dalam sehari tuh sekitar Rp 62.000, itu termasuk naik ojek
    online
    dua kali,” kata Dira kepada
    Kompas.com,
    Rabu (6/8/2025).
    Dira menjelaskan, ongkos harian itu mencakup perjalanan menggunakan ojek
    online
    (ojol) dari rumah ke stasiun, naik KRL Commuter Line, dan mobil kancil menuju tempat kerja.
    Biaya terbesar berasal dari ongkos ojol dari rumah ke stasiun atau sebaliknya, yang bisa mencapai Rp 40.000 per hari.
    “Kan kalau di aplikasi ojol ada high fare gitu ya, nah itu kalo lagi macet dikit bisa Rp 17.000–25.000 buat jarak rumah ke stasiun,” ujar Dira.
    Menurut Dira, tidak ada transportasi umum seperti angkot yang melintasi langsung kawasan tempat tinggalnya. Ia harus berjalan sekitar 1,2 kilometer untuk mencapai Jalan Akses UI, lokasi transportasi umum terdekat.
    Kondisi ini membuat dia sulit mengganti ojol sebagai moda transportasi utama, meski waktu tempuh ke kantor bisa mencapai 90 hingga 100 menit setiap hari.
    Warga lainnya, Sasi (25) dari kawasan Tugu, juga mengalami hal serupa. Ia mengalokasikan anggaran transportasi sebesar Rp 1,4 juta per bulan dari gaji sekitar Rp 5 juta.
    Setiap hari, ia bepergian ke tempat kerjanya di Baranangsiang, Kota Bogor, dan tetap membutuhkan ojol untuk akses ke dan dari stasiun.
    “Transportasi umum sudah ada beberapa pilihan tapi yang masih PR tuh akses ke halte atau stasiun dari rumah,” kata Sasi.
    “Jarak terdekat dari rumah ke halte terdekat itu tuh bisa 1,6 kilometer,” tambahnya.
    Ongkos harian Sasi diperkirakan berkisar antara Rp 48.000 hingga Rp 74.000, tergantung kondisi. Ia juga berupaya menekan pengeluaran dengan menggunakan angkot atau Biskita.
    “Untuk ngirit ongkos ya selalu usahain naik angkot buat ke kantor atau enggak pas pulangnya naik Biskita,” jelasnya.
    Sebelumnya, Kementerian Perhubungan dan Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data yang menunjukkan empat kota di wilayah Jabodetabek masuk dalam daftar 10 kota dengan biaya transportasi tertinggi di Indonesia.
    Berdasarkan persentase terhadap biaya hidup harian, Depok menempati peringkat pertama secara nasional, disusul Bekasi di peringkat kedua, Bogor di peringkat keempat, dan Jakarta di peringkat keenam.
    Berikut rincian datanya:
    Persentase pengeluaran transportasi di empat kota ini telah melebihi batas ideal yang direkomendasikan Bank Dunia, yakni 10 persen dari total biaya hidup.
    Direktur Jenderal Integrasi Transportasi dan Multimoda Kementerian Perhubungan, Risal Wasal, menyebutkan salah satu penyebab mahalnya ongkos transportasi adalah biaya perjalanan awal atau first mile, yaitu dari rumah menuju simpul transportasi umum seperti halte atau stasiun.
    “Naik kereta mungkin hanya Rp 3.500–6.000, tapi ojol bisa Rp 25.000, parkir Rp 10.000. Ini yang kami kaji,” ujar Risal.
    Ia menambahkan, pemerintah saat ini tengah mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan tingginya biaya perjalanan, khususnya dalam tahap awal perjalanan.
    Hal ini dilakukan agar pemerintah dapat merancang kebijakan yang mampu menurunkan total pengeluaran transportasi masyarakat, baik untuk keperluan bekerja, berbelanja, maupun rekreasi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Data BPS Bikin Kaget! Ekonomi RI Tumbuh 5,12%, Melenceng dari Ramalan Ekonom

    Data BPS Bikin Kaget! Ekonomi RI Tumbuh 5,12%, Melenceng dari Ramalan Ekonom

    Jakarta

    Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,12% pada kuartal II-2025. Angka ini cukup mengejutkan karena bertolak belakang dengan proyeksi banyak ekonom. Para ekonom memperkirakan pertumbuhan tak akan sampai angka 5% di periode ini.

    Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada kuartal II tercatat mencapai Rp 5.947 triliun. BPS menyebut pertumbuhan ekonomi secara tahunan (year-on-year/yoy) berada di angka 5,12%. Lalu dibandingkan dengan kuartal sebelumnya tercatat tumbuh 4,04%.

    Ekonom Senior INDEF, Tauhid Ahmad, memproyeksikan angka pertumbuhan di kuartal II tak akan menyentuh 5%. Tauhid cukup kaget ekonomi Indonesia bisa tumbuh 5,12%.

    “Angka pertumbuhan ekonomi ini ya ditetapkan pemerintah 5,12% agak kaget. Di luar perkiraan banyak orang termasuk saya yang memperkirakan di bawah 5%. Bahkan jauh, sekitar 4,8%, 4,9%. Saya sempat perkirakan antara 4,7% sampai 5,0%” ujarnya kepada detikcom, Selasa (5/8/2025).

    Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira yang memperkirakan pertumbuhan kuartal II-2025 hanya berada di kisaran 4,5-4,7% yoy, bahkan lebih rendah dari realisasi kuartal I-2025 yang sebesar 4,87%. Menurutnya, lesunya daya beli masyarakat jadi penyebab utama.

    “Pertumbuhan kuartal II-2025 di kisaran 4,5-4,7% yoy, karena tidak ada lagi pendorong musiman setelah Lebaran, daya beli sedang lesu,” ujar Bhima.

    Lemahnya daya beli ini juga berdampak pada sektor manufaktur. Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia tercatat berada di angka 49,2 pada Juli 2025. Meski membaik dibandingkan bulan sebelumnya yang sempat anjlok ke 46,9, posisi ini masih di bawah ambang batas 50-yang berarti aktivitas manufaktur masih mengalami kontraksi.

    Selain itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal. Ia memprediksi pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 akan berada di bawah 5%, tepatnya pada kisaran 4,7-4,8% yoy. Alasannya serupa: konsumsi rumah tangga yang melemah.

    “CORE memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2025 melambat ke kisaran 4,7-4,8%, turun dari 4,87% pada kuartal I,” ujarnya.

    Faisal juga menilai stimulus pemerintah belum cukup kuat untuk mendorong pertumbuhan. Di sisi lain, kontribusi dari net ekspor pun makin mengecil, karena surplus neraca perdagangan terus menyusut selama kuartal II.

    “Kontribusinya terhadap pertumbuhan jadi lebih rendah. Kami juga prediksi belanja pemerintah masih minus. Di kuartal I minus, dan di kuartal II kami prediksi minus 1%, jadi kontraksi. Itu yang juga memperlambat laju ekonomi,” jelasnya.

    Proyeksi Dipangkas: Lembaga-lembaga Turut Ragu

    Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

    LPEM UI

    Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) dalam riset Trade and Industry Brief Vol VIII No. 2 edisi Juni 2025 juga menyoroti adanya perlambatan ekonomi nasional.

    “Pada awal 2025, Indonesia menunjukkan gejala perlambatan ekonomi yang diakibatkan oleh tergerusnya daya beli, menyusutnya kelas menengah, dan menurunnya produktivitas sektoral yang tercermin dalam dinamika industri dan ketenagakerjaan,” tulis tim peneliti LPEM FEB UI.

    Mereka mencatat, sektor manufaktur-yang selama ini menjadi tulang punggung penyerapan tenaga kerja-mengalami tantangan deindustrialisasi prematur: kontribusinya terhadap PDB menurun, serapan tenaga kerja melemah, dan produktivitas stagnan.

    Sementara sektor pertanian pun belum lepas dari persoalan klasik, mulai dari ketersediaan input, teknologi, logistik, pembiayaan, hingga persaingan dengan produk impor dan praktik perdagangan internasional yang tidak sehat.

    “Indonesia perlu menciptakan lebih banyak lapangan kerja untuk menampung angkatan kerja berpendidikan rendah-menengah agar bisa menekan angka kemiskinan dan menjaga daya beli,” saran LPEM UI.

    OECD

    Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 menjadi 4,7%, dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 4,9%.

    World Bank

    Bank Dunia pun menyampaikan peringatan bahwa perekonomian Indonesia rawan terdampak gejolak global. Ketegangan geopolitik yang meningkat saat ini berisiko mendorong pelemahan ekonomi lebih lanjut.

    Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste, Carolyn Turk, menyampaikan hal ini dalam peluncuran laporan Indonesia Economic Prospects (IEP) edisi Juni 2025.

    Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini hanya 4,7%, dan 4,8% untuk tahun depan. Perkiraan ini mempertegas tren penurunan, setelah di kuartal I-2025 ekonomi RI hanya tumbuh 4,87%-turun dari angka 5% yang sempat tercapai sebelumnya.

    Menurut Carolyn, gejolak global menahan laju penciptaan lapangan kerja dan menghambat upaya penanggulangan kemiskinan ekstrem. Pelemahan kinerja perdagangan dan investasi asing, ditambah arus modal yang labil, menciptakan tekanan luas terhadap stabilitas makroekonomi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

    “Dalam situasi yang sangat rentan ini, ekonomi Indonesia memang menunjukkan ketahanan. Tapi kami melihat pertumbuhan PDB yang lebih rendah dari 5%. Konsumsi pemerintah dan investasi juga menurun tahun ini,” sebut Carolyn.

    Halaman 2 dari 2

    (fdl/fdl)

  • Kompleksitas Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal

    Kompleksitas Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal

    Jakarta

    Sudah lewat satu bulan putusan MK Nomor 135/PUU-XII/2024 dibacakan, pemerintah dan DPR masih belum merespons putusan yang bersifat final dan mengikat tersebut ke dalam sebuah bentuk kebijakan konkret: revisi UU Pemilu dan Pilkada.

    Dalam putusan tersebut, MK memutus pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal: Pemilu nasional untuk memilih presiden dan DPR/DPD, dan pemilu lokal untuk memilih gubernur, walikota/bupati dan DPRD yang diperpanjang paling cepat 2 tahun dan paling lambat 2,5 tahun setelah pemilu nasional selesai dilaksanakan.

    Alasannya sederhana, MK berkaca pada dua peristiwa pemilu serentak sebelumnya (2019 dan 2024); karena pemilih kebingungan ketika disodorkan banyaknya surat suara dan calon; dekatnya jarak waktu antara pemilu dan pilkada yang membuat pemilih jenuh; beratnya beban penyelenggara yang berakibat pada kelelahan hingga kematian.

    Selain itu ada juga alasan sulitnya parpol dalam mempersiapkan kader untuk bertarung; dan yang paling penting karena permasalahan daerah kerapkali tidak mendapat perhatian serius akibat tertimpa isu nasional.

    Kontradiksi Norma dan Pilihan Paling Mungkin

    Apabila dicermati, dalam putusan ini MK tidak bertindak dalam fungsinya sebagai negative legislator (pembatal undang-undang), melainkan sebagai positive legislator (pembentuk undang-undang).

    Meskipun MK masuk ke dalam wilayah teknis penyelenggaraan pemilu yang seharusnya menjadi wewenang pembentuk undang-undang (open legal policy), tetap dapat dibenarkan dan putusannya tetap dianggap sah secara hukum (erga omnes).

    Karena, di tengah rusaknya kualitas demokrasi akibat kartelisasi politik yang kuat seperti sekarang ini, MK dapat melakukan penyelamatan demokrasi melalui judicial activism untuk menjembatani kehendak rakyat yang suaranya seringkali diabaikan di dalam ruang pembentukan kebijakan.

    Namun, akibat campur tangan MK dalam membuat norma baru tersebut, kontradiksi hukum tak dapat dielakkan, khususnya dalam mengatasi permasalahan pemilu lokal yang jadwal pelaksanaannya bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali.

    Dalam pemilu lokal, MK memutus dilaksanakan paling cepat dua tahun dan paling lambat dua setengah tahun setelah pemilu nasional usai dilaksanakan. Konsekuensinya, akan ada kekosongan masa jabatan dalam waktu yang cukup lama (2-2,5 tahun) yang harus dipikirkan oleh pembentuk undang-undang untuk diisi oleh siapa dan bagaimana cara pengisiannya.

    Untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah selama masa transisi, mungkin masih bisa dilakukan penunjukan penjabat (Pj) oleh presiden dan mendagri.

    Meskipun pilihan tersebut bertentangan dengan prinsip yang paling penting di dalam demokrasi, yakni legitimasi, kemungkinan yang paling mungkin dilakukan saat ini adalah demikian. Tapi dengan catatan bahwa masyarakat sipil harus mendesak presiden dan DPR untuk mempersiapkan norma yang membatasi dan mengawasi para Pj tersebut agar tidak menjadi alat politik kekuasaan untuk cawe-cawe memenangkan calon tertentu.

    Sementara, untuk mengisi kekosongan masa jabatan DPRD, belum ada landasan norma yang bisa dijadikan tempat bersandar untuk memperpanjang masa jabatan mereka. Sehingga mau tidak mau harus dibuat aturan mainnya agar tidak terjadi kekosongan jabatan.

    Jika opsi yang dipilih adalah memperpanjang masa jabatan DPRD selama dua tahun, tentu saja kebijakan itu bertentangan dengan konstitusi yang menyatakan bahwa keberadaan lembaga DPRD harus berasal dari mandat rakyat yang dipilih secara sah melalui pemilu.

    Jika pun selama dua tahun itu ditunjuk pelaksana tugas, maka juga bertentangan dengan nilai demokrasi yang mengedepankan legitimasi ketimbang legalitas.

    Di antara kebuntuan itu, pilihan yang paling mungkin untuk dilakukan adalah dengan dibuatnya pemilu sela untuk memilih anggota DPRD yang akan menjabat selama 2 hingga 2,5 tahun sampai dilaksanakannya pemilu lokal di tahun 2032.

    Yang Prosedural dan Yang Substansial

    Jika ditelaah lebih dalam, walaupun putusan tersebut dianggap oleh sebagian pengamat adalah putusan yang progresif, tapi nyatanya, hanya menyentuh persoalan prosedural. Bukan persoalan substansial dari berbagai persoalan pemilu yang sudah-sudah. Mahar politik, politik uang, pengerahan aparat dan birokrat untuk memenangkan calon tertentu, dan lain sebagainya.

    Berharap adanya jeda selama 2 sampai 2,5 tahun agar partai politik bisa bernafas dan mempersiapkan kader secara serius juga adalah sebuah alasan paling utopis yang pernah ada di negeri demokrasi yang mau berumur 80 tahun merdeka ini.

    Dalam Kronik Otoritarianisme Indonesia yang ditulis Zainal Arifin Mochtar dan Muhidin M. Dahlan, Herlambang P. Wiratraman mengatakan, demokrasi di Indonesia cenderung telah didominasi dan difasilitasi oleh sistem politik yang telah terkartelisasi.

    Fenomena ini oleh Richard S Katz dan Peter Mair disebut dengan istilah “partai kartel” yang kenunculannya ditandai dengan hubungan erat antara partai politik dan negara yang saling bekerja sama dalam berkolusi untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Salah satunya berkolusi dalam memenangkan pemilu.

    Tak bisa dipungkiri, demokrasi elektoral kita telah dilumuri politik uang. Biaya politik elektoral yang tinggi membuat partai politik memberi karpet merah kepada pemilik modal untuk ikut serta mengendalikan pemilu dan menjadi bagian di dalam negara. Akibatnya, pemilu hanya menjadi sarana bagi oligarki untuk mengontrol kebijakan negara.

    Untuk dapat berkuasa dan mempertahankan kekuasaannya, partai politik tidak lagi memilih calon legislatif maupun eksekutif berdasarkan standar ideologis. Lebih condong kepada standar pragmatis. Sudah menjadi rahasia umum, mulai dari sejak fase pra pemilu (rekrutmen calon), yang dilihat paling pertama oleh partai politik bukanlah kualitas (kapabilitas), tetapi kuantitas (seberapa besar isi brangkas).

    Alhasil, mengutip laporan ICW (Indonesia Corruption Watch), yang diperoleh dari pemilu berbiaya tinggi tersebut adalah: Dari total 580 anggota DPR periode 2024- 2029, sekitar 354 orang (61%) terafiliasi dengan sektor bisnis. Dengan kata lain, sebagian besar anggota DPR yang memenangkan pemilu dan duduk di parlemen hari-hari ini adalah politisi pebisnis. Bukan ideolog, bukan pula aktivis, atau politisi yang berasal dari beragam latar belakang.

    Dengan besarnya postur politisi pebisnis yang duduk di DPR saat ini, jangan heran apabila mereka abai melaksanakan demokrasi deliberatif dalam pengambilan keputusan politik negara, terutama dalam proses pembentukan undang-undang kontroversial akhir-akhir ini (UU BUMN, UU Minerba, UU TNI).

    Data ini tidak hanya memperburuk kualitas parlemen dan pemerintahan kita, tapi juga akan memperpanjang nasib demokrasi elektoral yang berbiaya tinggi. Apalagi, di tahun 2024, menurut data yang dirilis Bank Dunia, angka kemiskinan masyarakat Indonesia mencapai 194,4 juta jiwa atau setara 68,2% dari total populasi sebanyak 285,1 juta penduduk.

    Kondisi ini tentu saja tidak bisa diselesaikan dengan sekali pukul perubahan jadwal pemilu, tapi juga harus diiringi dengan pembenahan di berbagai sektor: Partai politik, pembiayaan partai politik dan pemilu, hingga sistem pengawasan yang kuat. Jika tidak, kaki-kaki oligarki di dalam tubuh negara akan semakin kokoh, dan pemilu 2029 dan 2032 hanya akan memperluas potensi politik uang yang muaranya akan menghasilkan pemimpin serakah.

    Dengan begitu, mau sistem pemilu seperti apapun, baik serentak ataupun tidak, terpisah antara nasional dan lokal sekalipun, jika tidak diiringi dengan pembenahan lintas sektor, maka pemisahan jadwal pemilu hanya akan memperpanjang peluang oligarki untuk mengontrol kebijakan publik dengan seluruh perangkat yang mereka punya. Uang, media, aparat, dan segenap perangkat lainnya. Pada akhirnya, putusan MK tidak menyumbang apa-apa untuk peningkatan kualitas demokrasi kita.

    Zieyad Alfeiyad Ahfi atau Ziyad Ahfi. Mahasiswa pascasarjana hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta yang tengah mengambil studi Hukum Tata Negara.

    (rdp/rdp)

  • Modus Scam & Spam Kian Variatif, Literasi Digital Jadi Makin Penting

    Modus Scam & Spam Kian Variatif, Literasi Digital Jadi Makin Penting

    Jakarta

    Penipuan dan spam digital semakin marak, mengancam keamanan data dan finansial masyarakat. Diperlukan kewaspadaan ekstra dan literasi digital yang kuat agar kita tidak menjadi korban modus kejahatan siber yang kian canggih.

    Tahun 2024 silam, hasil Indeks Masyarakat Digital Indonesia (IMDI) tercatat di angka 43,34, naik tipis sebesar 0,16 dari tahun sebelumnya. Pilar ‘Keterampilan Digital’ mencatat skor 58,25, tetapi ‘Pemberdayaan’ masih stagnan di angka 25,68. Artinya, masih banyak masyarakat yang tahu cara menggunakan teknologi, tapi belum sadar bagaimana melindungi dirinya di dunia maya.

    Perlu dicatat, penipuan digital tidak hanya menyasar kelompok usia lanjut. Anak muda juga rentan, terutama yang aktif di dunia maya tapi belum memahami risiko keamanan digital. Padahal, merekalah yang seharusnya jadi garda depan perlindungan data pribadi.

    Forum Youth 20 (Y20) bahkan mendorong pemuda untuk berperan aktif dalam transformasi digital yang aman dan etis. Dari sektor kesehatan, ekonomi hingga tata kelola pemerintahan, anak muda dipandang sebagai pendorong utama perubahan.

    “Pemberdayaan pemuda harus berada di pusat perumusan kebijakan. Seiring dengan bagaimana kita bergerak menuju pemulihan dan menciptakan masa depan yang lebih adil untuk semua,” ujar Senior Technology Advisor Bank Dunia, Lesly Goh, dikutip dari indonesia.go.id

    Di tengah maraknya scam dan spam, masyarakat diminta untuk tidak lagi abai. Melek digital bukan sekadar tahu cara menggunakan aplikasi, tapi juga memahami bagaimana cara melindungi diri dari ancaman yang ada serta mengetahui apa yang harus dibagikan dan apa yang harus dijaga.

    Di tengah derasnya arus digitalisasi, masyarakat Indonesia menghadapi ancaman scam (penipuan) dan spam digital dengan modus yang kian variatif, mulai dari undangan nikah palsu hingga kiriman paket fiktif. Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum siap menghadapi ancaman ini.

    Menurut data Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), indeks literasi digital Indonesia tahun 2024 hanya mencapai angka 3,78 dari skala 5. Angka ini menunjukkan masih adanya kesenjangan dalam pemahaman masyarakat terhadap penggunaan teknologi secara bijak dan aman.

    Meutya Hafid, sebelumnya saat menjabat Ketua Komisi I DPR RI Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pernah mengungkapkan bahwa pembangunan infrastruktur digital belum cukup jika tidak dibarengi peningkatan literasi.

    “Kita harus membangun kesadaran digital untuk meraup keuntungan dunia digital, khususnya bagi para generasi muda,” ujarnya dikutip dari indonesia.go.id.

    Berdasarkan laporan Komdigi, lebih dari 1.700 konten penipuan online ditemukan pada periode 2018-2023, dengan potensi kerugian masyarakat mencapai Rp 18,7 triliun. Sementara itu, kasus spam dan penipuan digital terus meningkat di berbagai platform komunikasi, mulai dari email, SMS, hingga media sosial.

    Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) menggarisbawahi penyebab utama tingginya kasus penipuan digital yaitu kelalaian manusia. Sandiman Ahli Pertama BSSN, Muhammad Novrizal Ghiffari atau Zazal, menyebut kebiasaan oversharing menjadi pintu masuk empuk bagi pelaku kejahatan siber.

    “Banyak masyarakat kita yang belum sadar pentingnya menjaga informasi pribadi. Seringkali mereka dengan mudah mengunggah data sensitive tanpa memikirkan risikonya. Ini menjadi celah bagi pelaku kejahatan siber. Intinya, jangan suka oversharing, apalagi berkaitan dengan data pribadi,” Kata Zazal, dikutip dari rri.co.id.

    Pemerintah sejatinya telah meluncurkan berbagai program edukatif, salah satunya melalui Literasi Digital Nasional yang menyasar sekitar 12,4 juta peserta tiap tahunnya sejak 2021. Program ini menyediakan berbagai kelas daring dan pelatihan gratis untuk seluruh masyarakat dengan materi-materi yang didasarkan pada pilar Digital Skill, Digital Ethic, Digital Safety, dan Digital Culture.

    Selain itu, Komdigi juga mengembangkan Indeks Masyarakat Digital Indonesia (IMDI) untuk memetakan kesiapan digital masyarakat berbasis wilayah.

    “IMDI dirancang untuk memberikan gambaran menyeluruh tentang tingkat literasi dan keterampilan digital masyarakat Indonesia. Ini sangat penting untuk memastikan kita mampu mencetak talenta digital yang kompeten dan siap bersaing di era transformasi digital global,” ungkap Budi Arie Setiadi saat masih menjabat Menkominfo, dikutip dari komdigi.go.id.

    (ega/ega)

  • AKPI dorong harmonisasi regulasi kepailitan dengan standar global

    AKPI dorong harmonisasi regulasi kepailitan dengan standar global

    Jakarta (ANTARA) – Kalangan praktisi hukum mendorong pentingnya harmonisasi regulasi nasional dengan standar dan praktik global dalam sistem hukum kepailitan.

    Menurut anggota Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) Martin Patrick Nagel, diperlukan kolaborasi untuk membangun sistem hukum kepailitan yang adaptif dan selaras dengan standar global.

    Kerangka hukum kepailitan/PKPU di Indonesia, tambah dia, dalam keterangannya di Jakarta, Senin, sudah mulai diakui dan diterima di beberapa negara antara lain Singapura, meskipun Indonesia belum mengadopsi UNCITRAL Model Law.

    “Namun demikian, untuk meningkatkan posisi Indonesia di dunia internasional dan skor World Bank’s Business Ready demi kepentingan perekonomian nasional, penting bagi Indonesia untuk melakukan penyelarasan terhadap aspek hukum kepailitan dan restrukturisasi,” katanya

    Penyelarasan tersebut antara lain seperti mekanisme perlindungan kreditor pasca-penundaan kewajiban pembayaran utang sehingga meningkatkan kepercayaan kreditor untuk menyuntik dana demi kepentingan kelanjutan kegiatan usaha debitor, serta penyederhanaan proses kepailitan dan PKPU terhadap pelaku usaha mikro dan kecil.

    “Hal ini penting karena hukum kepailitan yang kuat akan melindungi bisnis debitor dan kreditor, meningkatkan kepercayaan investor, dan membantu pemulihan perekonomian perusahaan yang menghadapi permasalahan keuangan,” ujar partner di FKNK Law Firm tersebut.

    Pada kesempatan tersebut Martin juga menegaskan pentingnya transformasi peran kurator, dari sekadar pelaksana hukum menjadi aktor strategis dalam sistem kepailitan yang transparan, adaptif, dan berkeadilan.
    Untuk mewujudkan hal tersebut, lanjutnya, dibutuhkan dukungan kelembagaan yang kuat dan visioner. Oleh karena itu, profesi kurator harus mengambil peran lebih besar, bukan hanya sebagai pelaksana hukum, tetapi sebagai agen perubahan dalam ekosistem hukum kepailitan Indonesia.

    “Better law means stronger trust, and stronger trust means stronger economy,” ujar kandidat Ketua Umum AKPI Periode 2025-2028 itu.

    Sebelumnya, dalam sebuah seminar internasional Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Indonesia (Menko Kumhamimpas) Yusril Ihza Mahendra menegaskan pentingnya bagi Indonesia untuk mengadopsi pendekatan yang selaras dengan praktik internasional dalam menghadapi persoalan kepailitan dan restrukturisasi perusahaan.

    Menurut menteri, Undang-Undang Kepailitan yang berlaku saat ini belum mengakomodasi berbagai konvensi internasional, perjanjian, praktik kepailitan global, serta putusan-putusan lembaga yudisial dan kuasi-yudisial di negara lain.

    “Oleh karena itu, diperlukan studi perbandingan yang mendalam dengan mengadopsi aspek-aspek positif dari norma hukum kepailitan di negara lain,” katanya dalam seminar internasional bertajuk “Does Indonesia Speak The Same Language? Harmonizing Domestic and Global Rules”.

    Hal itu, lanjut Yusril, guna menyempurnakan sekaligus memperluas cakupan pengaturan dan menyusunnya menjadi norma hukum baru yang lebih adil, rasional, dan praktis dalam menyelesaikan kasus wanprestasi yang berujung pada kepailitan.

    Pewarta: Subagyo
    Editor: Kelik Dewanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.