NGO: World Bank

  • Ketimpangan dan Sumbu Pendek Bangsa
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        3 September 2025

    Ketimpangan dan Sumbu Pendek Bangsa Nasional 3 September 2025

    Ketimpangan dan Sumbu Pendek Bangsa
    Direktur Indonesian Society Network (ISN), sebelumnya adalah Koordinator Moluccas Democratization Watch (MDW) yang didirikan tahun 2006, kemudian aktif di BPP HIPMI (2011-2014), Chairman Empower Youth Indonesia (sejak 2017), Direktur Maluku Crisis Center (sejak 2018), Founder IndoEast Network (2019), Anggota Dewan Pakar Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (sejak 2019) dan Executive Committee National Olympic Academy (NOA) of Indonesia (sejak 2023). Alumni FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (2006), IVLP Amerika Serikat (2009) dan Political Communication Paramadina Graduate School (2016) berkat scholarship finalis ‘The Next Leaders’ di Metro TV (2009). Saat ini sedang menyelesaikan studi Kajian Ketahanan Nasional (Riset) Universitas Indonesia, juga aktif mengisi berbagai kegiatan seminar dan diskusi. Dapat dihubungi melalui email: ikhsan_tualeka@yahoo.com – Instagram: @ikhsan_tualeka

    Ketimpangan yang terus melebar membuat bangsa ini rapuh. Percikan kecil saja bisa memicu ledakan sosial.

    KESENJANGAN
    di Indonesia bukan sekadar angka di laporan lembaga internasional. Ia nyata, hidup, dan terasa sehari-hari.
    Data Oxfam —konfederasi internasional yang berbasis di Inggris— beberapa tahun lalu menyebut, hanya 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai lebih dari separuh kekayaan nasional.
    Sementara laporan Bank Dunia juga menegaskan bahwa Indonesia masih menghadapi tingkat ketimpangan tinggi, meskipun angka kemiskinan menurun.
    Senada, laporan Global Wealth Report 2018 yang mencatat, 1 persen orang terkaya Indonesia menguasai 46,6 persen kekayaan nasional. Jika persentasenya dinaikkan menjadi 10 persen orang terkaya, akumulatif mereka menguasai 75,3 persen nilai kekayaan Indonesia.
    Terbaru, pada Maret 2024, data mereka menunjukkan rasio gini Indonesia berada pada angka 0,379—terendah dalam satu dekade.
    Namun, situasi ini sesungguhnya paradoks. Sebab, di tengah penurunan rasio gini, kelompok ultra kaya justru mencatat pertumbuhan kekayaan.
    Hal ini jauh lebih pesat dibanding pertumbuhan PDB nasional (163 persen berbanding 57 persen dalam 10 tahun terakhir). Dengan kata lain, jurang ketimpangan tetap melebar, hanya permukaannya saja yang terlihat sedikit lebih rata.
    Ketimpangan semakin memburuk, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan stabilitas sosial dan ekonomi jangka panjang. Sebab, pertumbuhan ekonomi kita belum benar-benar merata atau jauh dari inklusif.
    Namun, ketimpangan sebenarnya bukan hanya soal harta. Ia adalah soal rasa: rasa ditinggalkan, rasa tidak dihiraukan, dan rasa diperlakukan tidak adil.
    Ketika kesenjangan ekonomi berpadu dengan jarak sosial dan politik, lahirlah kondisi masyarakat yang rentan, mudah tersulut, dan bersumbu pendek.
    Elite politik dan ekonomi sering kali gagal membaca denyut ini. Minimnya empati memperlebar jarak antara mereka yang berkuasa dengan rakyat yang berjuang demi hidup sehari-hari.
    Dalam teori
    deprivasi relatif
    Ted Robert Gurr, konflik sosial sering lahir bukan dari kemiskinan absolut, melainkan dari perasaan adanya ketidakadilan—bahwa orang lain mendapatkan lebih, sementara dirinya tertinggal. Perasaan inilah yang membentuk bara sosial.
    Kondisi ini diperparah oleh ekosistem media sosial yang mempercepat sirkulasi emosi publik. Pesan marah, protes, atau kebencian dapat menyebar ribuan kali dalam hitungan jam, membentuk opini kolektif yang panas.
    Teori frustrasi-agresi dalam psikologi sosial menjelaskan, ketika aspirasi tidak terpenuhi, frustrasi akan mencari saluran, sering kali berupa tindakan agresif.
    Fenomena ini terlihat dalam sejumlah peristiwa di Indonesia. Gelombang demonstrasi mahasiswa dan ojek online di Jakarta baru-baru ini, misalnya, menunjukkan betapa cepat kemarahan publik meluas setelah kasus tragis terlindasnya ojek online oleh mobil aparat.
    Di kawasan timur Indonesia, ketimpangan dengan wilayah barat melahirkan luka politik yang lebih dalam. Di Papua, perasaan terpinggirkan yang berakar pada sejarah panjang ketidakadilan kerap memicu protes yang berujung ricuh.
    Di Ambon, kita pernah menyaksikan bagaimana sentimen agama yang diperparah ketimpangan ekonomi berubah menjadi konflik komunal pada akhir 1990-an.
    Bahkan hingga hari ini, sama dengan Papua, masih ada aspirasi untuk merdeka, atau setidaknya meminta referendum.
    Semua contoh ini menegaskan bahwa masih rapuhnya kohesi sosial kita ketika rasa adil tidak terpenuhi, atau diabaikan.
    Konflik di Indonesia bukan hanya vertikal—antara rakyat dan negara—tetapi juga horizontal, antarwarga sendiri.
     
    Ralf Dahrendorf sudah lama mengingatkan: dalam setiap masyarakat terdapat relasi kuasa yang timpang, dan ketika ketimpangan itu tidak dikelola dengan distribusi yang adil, ketegangan menjadi tak terelakkan, kapan saja bisa mengemuka.
    Indonesia dahulu dikenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi gotong royong dan toleransi. Namun kini, nilai-nilai itu tergerus oleh kesenjangan dan polarisasi. Jika sumbu sosial semakin pendek, percikan kecil saja bisa memicu ledakan.
    Dalam konteks ini, negara tidak boleh hanya hadir dengan jargon, melainkan dengan kebijakan nyata: distribusi pembangunan yang adil, perbaikan layanan publik, serta ruang partisipasi yang benar-benar adil dan terbuka kepada semua warga negara.
    Amartya Sen dalam gagasannya
    development as freedom
    menekankan, pembangunan sejati bukan hanya pertumbuhan angka ekonomi, melainkan pelebaran kebebasan dan kesempatan hidup yang setara bagi semua.
    Jika kebebasan dan keadilan ini gagal diwujudkan, ketimpangan akan terus menjadi sumber konflik laten.
    Generasi muda Indonesia saat ini adalah kelompok yang penuh energi. Energi karena bonus demografi ini bisa menjadi motor perubahan positif jika diberi ruang produktif.
    Namun, jika dibiarkan dalam ruang sempit ketidakadilan, ia bisa berubah menjadi api yang membakar.
    Tanda-tanda ketidakpuasan politik itu kini kian jelas. Fenomena tagar #IndonesiaGelap, slogan Kabur aja dulu, hingga masifnya bendera-bendera Jolly Roger menjelang 17 Agustus, sesungguhnya adalah ekspresi simbolik dari rakyat yang letih, frustrasi, dan kehilangan arah.
    Itu bukan sekadar ekspresi kultural, melainkan alarm keras, peringatan dini bahwa bangsa ini sedang tidak baik-baik saja. Kondisi mengkhawatirkan.
    Pada akhirnya, bangsa ini tidak akan runtuh karena kemiskinan, tetapi karena hilangnya rasa keadilan. Ketimpangan yang terus dibiarkan akan menjadi api dalam sekam—diam-diam membakar fondasi kebangsaan.
    Elite politik boleh saja bersembunyi di balik data statistik atau jargon stabilitas, tetapi rakyat membaca kenyataan dengan mata telanjang: harga-harga yang tak terjangkau, peluang yang terasa semakin sempit, dan kebijakan yang kerap lebih berpihak pada segelintir orang/oligarki.
    Kemarahan publik yang kini muncul dalam bentuk simbol-simbol perlawanan—dari tagar digital hingga bendera Jolly Roger di jalanan—seharusnya tidak diremehkan.
    Sekali lagi, itu adalah bahasa lain dari rakyat untuk mengatakan kepada elite bahwa kepercayaan telah menipis.
    Jika para pemimpin negeri ini masih menutup mata, sejarah telah berkali-kali menunjukkan: bangsa yang rapuh karena ketidakadilan akan diguncang oleh letupan yang lebih besar dari yang pernah mereka bayangkan sebelumnya.
    Indonesia masih punya pilihan: menempuh jalan keadilan, atau membiarkan diri berjalan di atas sumbu pendek yang setiap saat bisa meletup dan menyala.
    Sebab, bangsa yang besar bukan diukur dari berapa lama ia bisa menahan ketegangan, melainkan seberapa cepat ia mampu mengubah ketidakadilan menjadi kesempatan. Mewujudkan kesejahteraan bagi semua, tak ada yang tertinggal.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pemerintah Sulit Akui RI Tidak Baik-baik Saja, CSIS Beri Bukti Ini!

    Pemerintah Sulit Akui RI Tidak Baik-baik Saja, CSIS Beri Bukti Ini!

    Jakarta, CNBC Indonesia – Center for Strategic and International Studies (CSIS) menilai pemerintah masih menyangkal bahwa demonstrasi yang berlangsung pada akhir pekan lalu merupakan bentuk keresahan masyarakat akan kondisi kesejahteraan dan ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja

    Direktur Eksekutif CSIS, Yose Rizal Damuri menilai hingga saat ini para pengambil kebijakan belum mengakui adanya permasalahan fundamental yang berasal dari kondisi sosial ekonomi, kesejahteraan masyarakat, dan juga kondisi politik yang ada.

    “Ada kecenderungan bahwa situasi saat ini dilihat sebagai situasi political chaos belaka yang memerlukan penanganan cepat dan bahkan juga mungkin bertendensi untuk menggunakan kekuatan. Tetapi belum kelihatan adanya pengakuan untuk bahwa kondisi kesejahteraan dan ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja,” ujar Yose dalam diskusi publik CSIS, Selasa (2/9/2025).

    Menurutnya, pemerintah perlu mencari strategi untuk menata kembali kebijakan-kebijakan ekonomi dan kesejahteraan serta memperbaiki sistem dan mekanisme politik baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.

    “Tanpa adanya tindakan solutif yang komprehensif untuk jangka pendek maupun jangka panjang, kita akan terjebak di dalam situasi yang lebih buruk lagi dan beresiko untuk mengulangi berbagai hal-hal yang terjadi belakangan ini di kemudian hari,” ujarnya.

    Di sisi lain, Researcher bagian ekonomi untuk Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Deni Friawan menjelaskan bahwa krisis kepercayaan kepada pemerintah akibat runtuhnya legitimasi fiskal menjadi akar dari gelombang demonstrasi.

    Menurutnya, masyarakat diminta membayar pajak, iuran, hingga menerima kebijakan efisiensi pemerintah. Namun di sisi lain, publik melihat tanda-tanda pemborosan, seperti penambahan jumlah kementerian dan lembaga, praktik rangkap jabatan di BUMN, serta menaikkan gaji dan tunjangan bagi pejabat dan anggota DPR.

    “Kontradiksi ini menciptakan krisis legitimasi fiskal. Karena pada dasarnya fondasi kepercayaan yang menopangnya itu runtuh. Dalam teori ekonomi politik kita ketahui bahwa pajak adalah kontrak sosial antara rakyat dengan negara,” ujar Deni dalam diskusi publik CSIS, Selasa (2/9/2025).

    Selain itu, kondisi ini juga mencerminkan ketimpangan dan beban ekonomi yang semakin berat. Pertumbuhan ekonomi memang stabil di kisaran 5%, namun Deni menilai distribusinya semakin timpang karena bias pada sektor padat modal.

    Gini ratio masih di angka 0,39, kelas menengah yang terus menurun, dan banyaknya masyarakat yang berada hanya sedikit di atas garis kemiskinan.

    “Kalau pakai standar Bank Dunia yang sekarang mungkin tingkat kemiskinannya lebih tinggi lagi. Belakangan ini tingkat inflasi umum itu rendah, tapi pada waktu tertentu tingkat volatile food sangat tinggi. Misalnya hari ini harga beras itu kisaran Rp14.000 sampai Rp18.000, tengahnya misalnya Rp16.000 itu sangat-sangat membebani masyarakat,” ujarnya.

    (mij/mij)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Ketidakadilan Fiskal Picu Gelombang Protes, Perlu Reformasi Pajak?

    Ketidakadilan Fiskal Picu Gelombang Protes, Perlu Reformasi Pajak?

    Bisnis.com, JAKARTA — Besarnya gaji dan tunjangan pejabat negara memicu gelombang protes di berbagai daerah beberapa hari terakhir. Di media sosial, bahkan muncul seruan “stop bayar pajak”.

    Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai situasi yang terjadi belakangan ini berpotensi mengganggu kepatuhan formal wajib pajak, meski dampaknya diperkirakan tidak terlalu besar.

    Dia tidak yakin akan terjadi pembangkangan pembayaran pajak. Bagaimanapun, sambungnya, jumlah wajib pajak yang melapor surat pemberitahuan tahunan (19,7 juta pada 2024) masih sangat kecil dibandingkan jumlah tenaga kerja (145,7 juta pada Februari 2025).

    “Bahasa kasarnya, toh, selama ini sebagian besar dari pekerja kita tidak masuk dalam sistem perpajakan, bagaimana mungkin mau melakukan tax revolt [pembangkangan pajak]?,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (2/9/2025).

    Lebih lanjut, Fajry tidak setuju dengan anggapan bahwa sistem perpajakan Indonesia tidak berkeadilan. Dia mencontohkan PPN yang kerap dicap regresif sebenarnya telah diberi banyak fasilitas, baik untuk masyarakat kelas menengah-bawah maupun usaha kecil.

    Menurutnya, jika bicara keadilan fiskal maka jangan hanya melihat sisi pungutan tetapi juga belanja negara. Dia mengutip studi Kementerian Keuangan dan Bank Dunia (2020), yang menunjukkan manfaat bersih (net benefit) kebijakan fiskal lebih besar dinikmati masyarakat kelas menengah-bawah dibandingkan kelompok atas.

    Temuan itu, ungkapnya, mencakup berbagai kebijakan seperti pungutan pajak tidak langsung (PPN dan cukai), bantuan sosial, subsidi energi, hingga layanan pendidikan dan kesehatan.

    “Artinya apa? Meskipun pemerintah bergantung pada penerimaan PPN [pajak pertambahan nilai] yang dianggap regresif, selama sisi pengeluaran ditujukan untuk masyarakat bawah seperti belanja kesehatan, maka yang paling menikmati adalah masyarakat kelas menengah dan bawah,” kata Fajry.

    Pajak Orang Kaya jadi Kunci

    Di samping itu, Fajry menekankan pentingnya pajak penghasilan (PPh) sebagai instrumen distribusi kekayaan. Pemerintah telah melakukan sejumlah langkah, mulai dari menaikkan tarif PPh orang pribadi tertinggi hingga mengenakan pajak natura yang dulu kerap digunakan kalangan berpendapatan tinggi untuk menghindari tarif pajak maksimal.

    Selain itu, otoritas pajak kini memanfaatkan Automatic Exchange of Information (AEOI) untuk mengawasi aset keuangan warga negara Indonesia di luar negeri. Saat pandemi, sambungnya, banyak orang super kaya menerima SP2DK (Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan) atas aset luar negeri yang belum dilaporkan.

    Meski begitu, dia menilai langkah tersebut belum cukup sehingga reformasi sistem perpajakan harus terus berlanjut. Fajry mendorong Indonesia untuk aktif mengadvokasi inisiatif global, seperti ‘Billionaire Minimum Income Tax’ yang digagas Partai Demokrat AS atau ‘Coordinated Minimum Effective Taxation Standard’ yang diajukan ekonom Gabriel Zucman.

    “Jadi, ada semacam pajak tambahan bagi kelompok super kaya jika jumlah pajak yang dibayarkan tidak sebanding dengan jumlah aset yang dimiliki. Sedangkan bagi mereka yang telah patuh, tidak perlu dikenakan pajak tambahan,” jelasnya.

    Kendati demikian, Fajry menilai dua mekanisme pajak itu hanya bisa terwujud apabila ada koordinasi internasional yang jelas. Dia mendorong pemerintah secara aktif untuk mengadvokasi kebijakan tersebut bersama dengan negara berkembang lainnya dan sejumlah negara negara Eropa yang juga sudah mendukung proposal tersebut.

    Selain itu, Fajry menekankan bahwa keadilan fiskal tak hanya soal pajak, tetapi juga bagaimana negara mengelola belanja publik. Fokus belanja negara harus lebih tepat sasaran, khususnya untuk kesehatan, pendidikan, dan bantuan sosial—bukan fokus untuk menggaji dan menaikkan tunjangan pejabat negara yang hanya menciptakan ketidakadilan fiskal.

  • Urusan Perut 8 Miliar Lebih Manusia Bumi Dihantui Perubahan Iklim

    Urusan Perut 8 Miliar Lebih Manusia Bumi Dihantui Perubahan Iklim

    Jakarta, CNBC Indonesia – Produksi tanaman pangan, khususnya serealia atau biji-bijian diprediksi melonjak 3% pada periode tahun 2025-2026, menjadi 2,377 miliar ton. Produksi jagung disebut cetak pertumbuhan tertinggi.

    Sementara, produksi gandum dunia pada 2025-2026 diperkirakan naik menjadi 811 juta ton, lebih tinggi dari 800 juta ton tahun sebelumnya.

    Namun, di balik kabar positif itu, para peneliti memberi peringatan, yakni iklim ekstrem kian sering terjadi dan berpotensi memangkas hasil panen di banyak wilayah.

    Disebutkan, pelaku industri biji-bijian global tengah menyoroti adanya variabel negatif iklim yang semakin meningkat, dan memengaruhi setiap hektare. Sementara, ada sekitar 8,2 miliar orang di seluruh bumi yang harus diberi makan. Dan, terus bertambah.

    Demikian melansir World Grain yang membahas tantangan tekanan tanaman pangan di tengah perubahan iklim yang semakin meningkat.

    Tulisan itu mengutip hasil analisis University of Illinois yang menunjukkan, produksi pangan dunia memang menunjukkan peningkatan konstan setiap tahunnya, dalam periode tahun 1981-2022. Hanya saja, di tingkat lokal, perubahan iklim menyebabkan hasil panen, secara konstan, juga mengalami penurunan.

    Disebutkan, meski ada penurunan variabilitas atau keberagaman hasil panen, terutama jagung dan kecelai, namun diduga tak memiliki korelasi antarwilayah akibat perubahan iklim.

    Presiden dan ahli meteorologi pertanian senior di World Weather, Inc Drew Lerner menyatakan, dengan kondisi cuaca ekstrem yang terjadi saat ini, bumi mungkin saja tidak benar-benar kekurangan biji-bijian atau minyak nabati.

    “Saya pikir dengan cuaca ekstrem dan kerusakan yang ditimbulkannya, dengan semua publisitasnya, mudah untuk meyakinkan diri sendiri bahwa kita mungkin tidak dapat menanam cukup banyak tanaman di masa depan, tetapi saya ragu untuk melakukannya,” katanya, seperti dikutip CNBC Indonesia, Rabu (27/8/2025).

    “Saya pikir ada tempat-tempat di planet ini yang mungkin tidak bisa berproduksi seperti dulu, tetapi akan ada tempat-tempat lain yang akan lebih baik. Saya pikir, secara keseluruhan, kita masih bisa sukses,” sambungnya.

    Di sisi lain, studi yang dilakukan Universitas Stanford yang diterbitkan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences pada bulan Mei melaporkan, cuaca panas dan kekeringan yang sering terjadi telah menurunkan hasil panen. Terutama untuk biji-bijian utama seperti gandum, jelai, dan jagung.

    Studi itu memperkirakan, hasil panen jelai, jagung, dan gandum global 4-13% lebih rendah jika dibandingkan dengan kondisi tidak ada tren iklim seperti sekarang.

    “Dalam banyak hal, perubahan yang dialami petani sepenuhnya sejalan dengan prediksi model iklim, sehingga dampak keseluruhannya seharusnya tidak mengejutkan,” ujar Analis Riset di Pusat Keamanan Pangan dan Lingkungan (FSE) Stanford, Stefania Di Tommaso.

    Studi tersebut juga menyoroti paradoks iklim, di mana kadar karbon dioksida yang lebih tinggi memang dapat meningkatkan hasil panen, tetapi justru mengurangi kualitas gizi biji-bijian, termasuk protein dan zat mikro penting pada gandum maupun beras.

    Kekhawatiran lain datang dari aspek produktivitas jangka panjang. Laboratorium Inovasi Sereal Tahan Iklim (CRCIL) di Kansas State University mencatat perlambatan pertumbuhan produktivitas pertanian global.

    “Tahun lalu, Laporan Produktivitas Pertanian Global menemukan bahwa produktivitas pertanian hanya meningkat 0,7% per tahun selama 10 tahun terakhir, dan ini masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan dunia di masa depan,” tegas Dr. Tim Dalton, direktur sementara CRCIL.

    Secara umum, tanaman bisa memperoleh manfaat dari kadar karbon dioksida (CO2) yang lebih tinggi, proses yang dikenal sebagai “pemupukan karbon”. Kedelai, beras, dan gandum mendapat peningkatan signifikan, sementara jagung hanya sedikit terbantu, terutama saat kekeringan.

    Meski begitu, Lerner menekankan, iklim ditentukan banyak faktor, mulai dari komposisi atmosfer, letusan gunung berapi, hingga siklus alam seperti El Niño, La Niña, Osilasi Arktik, maupun Osilasi Atlantik Utara. “”Yang menentukan cuaca kita pada hari tertentu adalah di mana kita berada dalam setiap siklus tersebut dan siklus mana yang memiliki pengaruh paling besar,” ujarnya.

    Ia menegaskan pemanasan atmosfer sudah pasti terjadi. “Pemanasan atmosfer dan pemanasan lautan memiliki banyak implikasi,” kata Lerner.

    Menurutnya, laut yang lebih hangat memicu penguapan tinggi, menghasilkan badai lebih besar, hujan lebih deras, dan membuat hasil panen kian sulit diprediksi. “Jadi, curah hujannya lebih tinggi, suhunya lebih hangat, dan karbon dioksidanya lebih tinggi, dan semua itu akan benar-benar mengendalikan potensi hasil panen di seluruh dunia,” tambahnya.

    Dampak nyata sudah terlihat. Panen gandum Australia pada 2024 anjlok 22% akibat kekeringan, Rusia mengalami rekor panas yang menurunkan hasil dan protein gandum dua musim terakhir, sementara di India proyeksi menunjukkan peningkatan suhu 2,5°-4,9°C dapat memangkas hasil gandum 41-52% dan beras 32-40%.

    Laporan Bank Dunia 2019 juga memperingatkan Asia Tengah akan menjadi kawasan paling rentan, sedangkan laporan IPCC menyebut pemanasan 1,5°C saja bisa memangkas lahan cocok tanam jagung hingga 40% di Afrika sub-Sahara.

    Namun, Lerner menilai adaptasi membuat sebagian petani tetap bertahan. Ia mencontohkan Amerika Serikat yang tetap mencatat hasil baik meski sering kering.

    “Hibridanya telah berubah dan kami, melalui genetika, mampu membuat tanaman ini lebih efisien dalam memanfaatkan curah hujan dan lebih toleran terhadap periode kekeringan,” ujarnya.

    (dce)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Amien Sunaryadi peroleh GRC Lifetime Achievement Award 2025

    Amien Sunaryadi peroleh GRC Lifetime Achievement Award 2025

    Jakarta (ANTARA) – Komisaris Utama PT PGN Tbk Amien Sunaryadi memperoleh GRC Lifetime Achievement Award 2025 dari Asosiasi Governansi, Manajemen Risiko & Kepatuhan (GRK) atas dedikasi, kontribusi nyata dan kepemimpinan yang visioner dalam memajukan governansi, manajemen risiko, dan kepatuhan (GRC) di Indonesia.

    Dalam keterangannya yang dikutip di Jakarta, Selasa, anugerah GRC Lifetime Achievement Award 2025 mengingatkan Amien soal pencapaiannya pada 25 tahun lalu.

    “Saya mengucapkan terima kasih kepada Asosiasi GRK Indonesia dan komunitas GRC, yang telah memberikan award ini kepada saya. Passion saya selama ini lebih ke pemberantasan korupsi, sehingga banyak hal yang saya ketahui di bidang ini,” ujar Amien saat menerima penghargaan tersebut di Yogyakarta, Jumat (22/8).

    Ia bersama rekan-rekannya membentuk Lembaga Pengkajian Good Governance (LPGG) dan berhasil menjadi pemenang dalam Development Marketplace Innovative Competition 2000 (DM-2000) yang diselenggarakan Bank Dunia di Washington DC, AS.

    Berangkat dari inovasi tersebut, Amien berharap GRC juga dapat diterapkan tidak hanya di suatu perusahaan saja, namun di lingkungan DPR sebagai bentuk perbaikan demokrasi di Indonesia.

    Sepanjang kiprah profesionalnya, pengalaman Amien memang tidak jauh dari bidang antikorupsi, antipenyuapan, manajemen risiko, good corporate governance (GCG), dan bidang sejenis lainnya.

    Track record, yang menjunjung tinggi integritas ini terus dia emban dengan penuh dedikasi hingga kini, salah satunya sebagai Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2003-2007.

    Di sektor energi, Amien pernah menjabat sebagai Kepala SKK Migas periode 2014-2018.

    Ia memimpin peningkatan tata kelola SKK Migas dan pengawasan terhadap kontraktor kontrak kerja sama (K3S) dengan menerapkan prinsip 4 NO’s yakni no bribery, no kickback, no gift, dan no luxurious hospitality, serta Sistem Manajemen Anti-Penyuapan SNI ISO-37001:2016 di SKK Migas.

    Komisaris Utama PT PGN Tbk Amien Sunaryadi (dua dari kanan) menerima penghargaan GRC Lifetime Achievement Award 2025 dari Asosiasi Governansi, Manajemen Risiko & Kepatuhan (GRK) di Yogyakarta, Jumat (22/8/2025). ANTARA/HO-PT PGN Tbk

    Saat ini, Amien juga aktif sebagai Ketua Komite Pengawas Perpajakan (Komwasjak) Kementerian Keuangan sejak Mei 2023 dan Ketua Umum Forum Manajemen Risiko (FMR) BUMN periode 2024-2027.

    Ia dikenal vokal dalam mengampanyekan isu-isu governansi dan antikorupsi di berbagai forum.

    Sebagai Komut PGN sejak 2023, Amien juga tegas dalam mengawasi penerapan GCG di PGN, tidak hanya soal mematuhi peraturan.

    Lebih dari itu, penerapan GCG penting untuk memelihara integritas dan kepatuhan dalam keberlangsungan bisnis perusahaan secara jangka panjang.

    Ia bersama Dewan Komisaris PGN lainnya mendukung penuh penerapan whistleblowing system (WBS) dengan melakukan pengawasan secara menyeluruh dan memastikan diterapkannya sanksi bagi pihak yang terbukti melakukan pelanggaran.

    Pencapaiannya, PGN meraih penghargaan internasional ASEAN Corporate Governance Conference & Awards 2025 (ASEAN CGCA 2025).

    PGN juga termasuk dalam jajaran 50 Public Listed Companies (PLC) teratas di ASEAN dan 5 terbaik di Indonesia berdasarkan hasil penilaian ASEAN Corporate Governance Scorecard (ACGS) 2024.

    Corporate Secretary PGN Fajriyah Usman mengatakan penghargaan tersebut merupakan bukti komitmen kuat PGN dalam menerapkan prinsip-prinsip GCG di setiap proses, keputusan serta langkah strategis perusahaan.

    “Tentunya, tidak lepas dari pengawasan yang ketat agar implementasi GCG di PGN selalu disiplin dan berintegritas,” katanya.

    Pewarta: Kelik Dewanto
    Editor: Virna P Setyorini
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Target Penerimaan Negara: Perpajakan Naik, PNBP Turun Akibat Dividen BUMN

    Target Penerimaan Negara: Perpajakan Naik, PNBP Turun Akibat Dividen BUMN

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah mematok target pendapatan negara dari kepabeanan dan cukai pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 sebesar Rp3.147,7 triliun, atau naik 9,8% dari outlook 2025 Rp2.865,5 triliun. 

    Target pendapatan negara itu ditopang oleh pertumbuhan penerimaan pajak dan bea cukai, yang masing-masing dipatok sebesar Rp2.357,7 triliun dan Rp334,3 triliun. 

    Penerimaan pajak tahun depan ditargetkan tumbuh sebesar 13,5% dari outlook 2025 yakni Rp2.076,9 triliun. Khusus untuk pajak, Sri Mulyani menyebut akan melakukan berbagai langkah reformasi (reform) untuk mencapai target rasio pendapatan negara yakni 12,24% terhadap PDB. 

    “Rasio pendapatan negara diharapkan naik ke 12,24% [terhadap] PDB. Rasio pajak naik ke 10,47%,” terang Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di hadapan Komisi XI DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (22/8/2025).  

    Terdapat beberapa langkah reformasi yang dimaksud olehnya untuk memastikan pendapatan negara dari pajak terealisasikan. Dia menyebut langkah reformasi itu meliputi pemanfaatan Coretax dan sinergi pertukaran data kementerian/lembaga atau stakeholders lain; sistem pemungutan transaksi digital dalam negeri dan luar negeri; joint program dalam analisis data, pengawasan, pemeriksaan, intelijen, dan kepatuhan perpajakan; serta pemberian insentif daya beli, investasi dan hilirisasi.

    “Termasuk dalam hal ini Dirjen Pajak bekerja erat dengan aparat penegak hukum, KPK, Kejaksaan dan Kepolisian, bahkan NGO dalam rangka untuk menciptakan enforcement yang reliable dan credible,” tuturnya.  

    Adapun terkait dengan penerimaan kepabeanan dan cukai yang dipatok Rp334,3 triliun itu naik 7,7% dari outlook 2025 yakni Rp310,4 triliun. Sri Mulyani mengakui bahwa target optimistis pemerintah itu merupakan tantangan di tengah tekanan yang dialami penerimaan bea cukai utamanya karena bea keluar. 

    Tekanan itu, jelas Bendahara Negara, didorong oleh pelarangan ekspor bahan mentah oleh pemerintah sehingga menekan penerimaan dari bea keluar. Namun demikian, untuk 2026, Kemenkeu tetap menargetkan penerimaan yang cukup tinggi dari bea cukai dengan sejumlah strategi lain. Salah satunya dengan esktensifikasi barang kena cukai.

    “Ini cukup tinggi tentu sangat ditopang oleh Cukai Hasil Tembakau namun juga ekstensifikasi barang kena cukai. Kita akan mengintensifkan bea masuk dalam rangka percaturan perdagangan internasional yang berubah sangat cepat, di mana kecenderungan bea masuk diturunkan sementara bea keluar adalah dalam rangka mendukung hilirisasi produk,” ujarnya di hadapan Komisi XI DPR pekan lalu. 

    Salah satu langkah esktensifikasi barang kena cukai yang akan ditempuh adalah pengenaan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Upaya pengenaan cukai MBDK ini sudah mulai ditempuh beberapa tahun lalu, kendati belum kunjung diterapkan hingga saat ini. 

    Pada kesimpulan rapat pengambilan keputusan RAPBN 2026, pemerintah dan Komisi XI DPR menyepakati bahwa pengenaan cukai terhadap minuman manis dalam kemasan bakal dimasukkan dalam target penerimaan pada APBN tahun depan. 

    “Ekstensifikasi barang kena cukai antara lain melalui program penambahan obyek cukai baru berupa minuman berpemanis dalam kemasan untuk diterapkan dalam APBN 2026 di mana pengenaan tarifnya harus dikonsultasikan dengan DPR,” terang Ketua Komisi XI MIsbakhun.

    Politisi Partai Golkar itu lalu memastikan bahwa pengenaan cukai MBDK itu akan diterapkan di tahun depan. Dia memahami pemerintah masih harus akan membahasnya secara lintas sektoral dengan pemangku kepentingan lainnya, baik dari sisi industri dan kesehatan. 

    “Jangan sampai memberikan tekanan terhadap sektor industri, sektor riilnya,” kata Misbakhun.

    Adapun besaran tarif akan dibahas bersama-sama juga dengan DPR. Salah satu konsultasi yang dilakukan adalah terkait dengan ambang batas atau threshold persentase kadar gula dalam MBDK yang akan dikenakan cukai. 

    “Misalnya dalam kandungan per miligram itu 0,5 atau 0,3. Kita sepakat di threshold-nya. Jangan sampai kemudian dinol-kan, kan enggak,” kata Misbakhun.

    PNBP Turun Karena Danantra

    Di tengah kenaikan target penerimaan pajak dan bea cukai, pemerintah memasang target lebih rendah dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP). 

    Pemerintahan RAPBN yang dirancang pertama kali oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, PNBP dipatok tahun depan sebesar Rp455 triliun. Nilai itu sudah lebih rendah dari outlook 2025 yakni Rp477,2 triliun. 

    Outlook 2025 pun anjlok dari perolehan 2024 yakni Rp584,4 triliun usai kehadiran Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau BPI Danantara di awal tahun ini. Sebagaimana diketahui, Danantara mengambil alih pengelolaan seluruh BUMN sehingga dividennya juga tidak lagi masuk ke kantong negara. 

    Hal itu pun turut dinilai menjadi tantangan bagi Kemenkeu, sejalan juga dengan harga komoditas yang masih dalam level konservatif hingga tahun depan. “Sedangkan PNBP ini karena tidak ada lagi dividen dan kita juga memprediksi harga komoditas masih cukup konservatif, maka kita menargetkan Rp455 triliun atau turun 4,7% dari tahun ini,” ujar mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu. 

    Meski dividen BUMN tak lagi disalurkan ke negara melalui kantong penerimaan, SWF baru bentukan Prabowo itu diharapkan bisa menyalurkan sumber dayanya ke dalam bentuk investasi guna mendorong target pertumbuhan ekonomi 5,4% yoy di tahun depan. 

    Prabowo telah mengamanatkan agar capaian investasi pada 2026 untuk mendukung target pertumbuhan ekonomi 5,4% yakni Rp7.450 triliun. Presiden ke-8 itu telah mewanti-wanti agar investasi tidak hanya berasal dari APBN, namun juga swasta dan Danantara.

    Dari target investasi Rp7.450 triliun untuk mencapai pertumbuhan PDB 5,4%, maka di antaranya harus ada kontribusi investasi dari Danantara yakni sekitar Rp720 triliun. 

    “Di mana [investasi] Rp720 triliun adalah Danantara, sedangkan lain dari swasta Rp6.200 triliun dan APBN di Rp530 triliun,” jelas Sri Mulyani pada konferensi pers RAPBN 2026 di kantor Ditjen Pajak Kemenkeu, Jakarta, Jumat (15/8/2025). 

    Adapun saat dimintai konfirmasi lebih lanjut mengenai apa saja proyek investasi yang akan digarap Danantara, CEO Danantara Rosan Roeslani mengaku akan mengumumkannya dalam waktu dekat. Meski demikian, dia tidak bisa mengungkapnya saat ini karena sudah menandatangani persetujuan untuk merahasiakan hal tersebut atau non-disclosure agreement (NDA). 

    “Nanti kita akan umumkan untuk investasi ada beberapa investasi yang kita laksanakan. Saya tidak bisa umumkan itu karena saya juga terikat dalam perjanjian NDA, sabar aja tunggu aja,” terangnya di kantor Ditjen Pajak.

  • Antara Sri Mulyani, Pajak, dan Ketimpangan Pendapatan

    Antara Sri Mulyani, Pajak, dan Ketimpangan Pendapatan

    Bisnis.com, JAKARTA – Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menyamakan pajak dengan zakat viral. Pernyataannya kurang lebih begini: “Dalam setiap rezeki ada hak orang lain. Ada yang disalurkan melalui zakat dan wakaf, ada juga melalui pajak.”

    Sontak, hal itu segera menuai polemik. Banyak yang mengkritisi. Apalagi, pernyataan eks Direktur Pelaksana Bank Dunia itu diungkapkan ketika publik sedang dibebani dengan berbagai macam persoalan ekonomi. Pendapatan antara si Kaya dan si Miskin sangat timpang. Rakyat juga sedang dihantui oleh berbagai macam kenaikan pungutan.

    Wajar, jika pernyataan Sri Mulyani menjadi bulan-bulanan di media sosial. Berbagai macam meme satire muncul. Semuanya mengkritisi perkataan Sri Mulyani. Meskipun kalau dicermati secara lebih detail, pernyataan Menkeu sejatinya ingin menempatkan bahwa pajak dan zakat memiliki esensi yang sama, yakni sebagai alat untuk distribusi pendapatan. Hanya saja, momentumnya yang tidak tepat.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati./JIBI

    Semua tahu, pajak adalah sebuah kewajiban yang harus dipikul oleh warga negara. Benjamin Franklin, salah satu founding fathers Amerika Serikat, bahkan pernah berujar bahwa di dunia ini tidak ada yang pasti kecuali kematian dan pajak. Semua orang pasti mati. Itu adalah hukum alam. Orang lahir berwujud bayi kemudian tumbuh menjadi remaja, dewasa kemudian tua. Ujungnya tentu akan dipanggil lagi oleh sang pencipta. 

    Sementara, sebagai makhluk hidup yang tinggal di sebuah wilayah negara, manusia dari lahir hingga mati tidak bisa lepas dari pajak. Kebutuhan bayi hingga tetek bengek-nya pasti kena pajak. 

    Beli barang konsumsi kena pajak. Terus ketika bekerja, pendapatannya melebihi baseline penghasilan tidak kena pajak (PTKP) orang mulai membayar pajak penghasilan alias PPh. Punya usaha kena pajak korporasi. Bahkan saat meninggal, berbagai barang keperluan pemakaman juga ada yang kena pajak. Intinya manusia sulit lepas dari kewajiban membayar pajak.

    Apalagi dalam konteks Indonesia, konstitusi telah secara jelas memberikan kewenangan kepada negara untuk memungut pajak. Pasal 23A UUD 1945, misalnya, menekankan bahwa pajak dan pungutan lain bersifat memaksa. Tidak ada istilah sukarela, negara dibekali kewenangan konstitusional untuk memaksa warga negara membayar pajak. Tetapi tentu saja sifat memaksa ini dibatasi oleh ketentuan dan kewenangan yang berlaku.

    Seperti yang sudah selintas disinggung di atas, orang menjadi wajib pajak dan dipungut pajaknya ketika telah memperoleh penghasilan dengan batasan tertentu. Tidak semua orang berpenghasilan kena pajak. Tidak setiap badan usaha wajib menjadi pengusaha kena pajak. Kalau mereka berstatus UMKM, perlakuan pajaknya berbeda dengan korporasi besar.

    Wajib pajak (WP) berpuluh-puluh tahun tidak mempersoalkan itu. Mereka tetap bayar pajak, apalagi karyawan, yang secara otomatis dipotong pajaknya oleh pemberi kerja.

    Hanya saja, kalau melihat tren 5 tahun belakangan ini, ada sebuah fenomena dimana pemerintah cenderung fokus untuk memajaki ‘masyarakat kebanyakan’. Hal ini dimulai dengan berlakunya Undang-undang No.7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Salah satu mandat dalam UU HPP adalah kenaikan PPN dari 10% ke 11%. PPN adalah pajak yang sifatnya berlaku umum. Tidak peduli kaya atau miskin. Kalau mereka beli barang konsumsi, mereka harus membayar PPN.

    Beli air mineral kena pajak 11%, beli barang konsumsi yang di luar barang yang dikecualikan juga kena pajak 11%. Alhasil, beban masyarakat naik. Padahal, sampai kuartal II/2025 kemarin, konsumsi rumah tangga adalah backbone perekonomian. Kenaikan pungutan pajak, berarti menambah beban konsumsi mayarakat. Sejatinya pada awal tahun lalu, UU HPP mengamanatkan PPN naik menjadi 12%. Namun karena sorotan dan desakan banyak pihak, kenaikan tarif itupun diberlakukan terbatas, hanya untuk barang mewah.

    Belum reda masyarakat menanggung kenaikan PPN, pemerintah menerapkan UU No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah atau UU HKPD, yang intinya mendorong daerah untuk mandiri secara fiskal. Namun bukannya daerah makin inovatif, yang terjadi justru kenaikan dan perlombaan tarif untuk sejumlah pajak yang diatur pemerintah daerah.

    Ada opsen pajak yang ikut mengerek tagihan pajak kendaraan bermotor hingga kenaikan PBB-P2 dari ratusan persen hingga ribuan persen. Kasus yang terakhir sempat memunculkan perlawanan dari masyarakat. Di Pati, warga memprotes dan melawan kebijakan tersebut, di Bone juga sama. Mereka bentrok dengan aparat.

    Berbagai kericuhan itu sejatinya tidak akan terjadi ketika pemerintah benar-benar tahu kondisi di masyarakat. Distribusi pendapatan bisa berlangsung secara merata. Jurang antara yang kaya dan miskin tidak begitu lebar.

    Adapun Indonesia secara formal memang tergolong sebagai negara dengan ketimpangan rendah. Meski demikian, ketimpangan antara golongan yang kaya dengan yang miskin masih sangat lebar.

    Di sisi lain, alih-alih melakukan efisiensi, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan yang kontroversial dengan memberikan fasilitas ke pejabatnya. Yang terbaru tentu keputusan memberikan tunjangan perumahan Rp50 juta kepada anggota dewan.

    Hal ini kontras dengan situasi riil di akar rumput. Kalau mengacu kepada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis 25 Juli 2025 lalu, saat ini ada banyak orang yang masih hidup dengan pendapatan Rp609.160 per kapita per bulan atau Rp566.655 per kapita per bulan. Jauh dari nilai tunjangan perumahan yang didapatkan oleh DPR.

    Selain itu, masih menggunakan data BPS, pengeluaran masyarakat juga masih timpang. Distribusi pengeluaran masih dikuasai oleh 20% penduduk teratas. Mereka berkontribusi terhadap 45,56% pengeluaran secara nasional per Maret 2025 lalu. Sementara itu, 40% penduduk menengah hanya berkontribusi sebesar 35,79%.

    Sedangkan 40% penduduk terendah hanya berkontribusi di angka 18,65% dari total pengeluaran nasional. Meski ada peningkatan dibandingkan posisi Maret 2024 yang tercatat sebesar 18,40%, namun jumlah itu tidak sampai separuhnya pengeluaran dari penduduk 20% teratas.

    Dengan potret ketimpangan pengeluaran tersebut, wajar jika setiap upaya menaikkan pungutan entah itu pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat maupun daerah, akan menimbulkan protes dari kalangan masyarakat.

    Pati dan Bone bisa menjadi peringatan bagi pemerintah supaya behati-hati menerapkan kebijakan pajak. Pemerintah perlu mencermati pernyataan Jean Baptiste Colbert, Menkeu Prancis pada era monarki absolut ratusan tahun lalu: “agar bagaimana bulu angsa bisa dicabut sebanyak mungkin tetapi dengan koak yang sepelan mungkin.”

  • Dana Transfer ke Daerah Dipangkas di RAPBN 2026, Said Abdullah: Membebani Rakyat – Page 3

    Dana Transfer ke Daerah Dipangkas di RAPBN 2026, Said Abdullah: Membebani Rakyat – Page 3

    Selain itu, menurut Said, pemerintah juga perlu memperbaharui data kemiskinan seiring dengan perubahan angka Purchasing Power Parity (PPP), sebagaimana yang telah di lakukan oleh Bank Dunia.

    “Pemutakhiran data ini penting untuk mendapatkan data kemiskinan yang akurat sebagai pijakan perumusan kebijakan penanggulangan kemiskinan pada tahun tahun mendatang,” ucapnya.

    Di akhir pengantar sebelum memulai Raker Banggar, Said mengingatkan kembali kepada pemerintah mengenai berbagai program besar seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Merah Putih, Sekolah Rakyat, dan lainnya harus menjadi Game Changer, program yang bisa mengubah keadaan menjadi lebih baik.

    “Jangan sampai kita wasting time dan kehilangan sumber daya sia sia. Kuncinya pada tata kelola yang akuntabel, transparan dan partisipatif,” tutup Said.

     

  • Banggar DPR Soroti RAPBN 2026: Tarif Pajak hingga Efisiensi

    Banggar DPR Soroti RAPBN 2026: Tarif Pajak hingga Efisiensi

    Bisnis.com, JAKARTA — Badan Anggaran (Banggar) DPR memberikan sejumlah catatan terkait risiko penerimaan pajak hingga efisiensi anggaran di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.

    Ketua Banggar DPR Said Abdullah menyoroti target pendapatan negara Rp3.147,7 triliun, naik Rp282,2 triliun dari target 2025, dengan kontribusi terbesar dari penerimaan pajak sebesar Rp2.692 triliun.

    Banggar mendukung kenaikan itu. Hanya saja, Said mengingatkan bahwa kondisi perekonomian sedang tidak baik-baik saja sehingga target pendapatan yang ambisius itu tidak boleh ditempuh dengan menaikkan tarif pajak.

    “Jangan sampai Ditjen Pajak berburu di kebun binatang, tetapi harus memperluas kebun binatang, dengan kata lain perlu memperbesar skala usaha para pelaku usaha, dan memperbanyak pelaku usaha agar memberikan sumbangan besar bagi penerimaan perpajakan,” kata Said dalam keterangannya, Kamis (21/8/2025).

    Banggar turut mengkritisi pemangkasan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) dari Rp919 triliun pada 2025 menjadi Rp650 triliun dalam RAPBN 2026. Menurut DPR, pemotongan drastis ini bisa menghambat pelayanan publik.

    Bahkan, sambungnya, kebijakan itu bisa memaksa pemerintah daerah membuat kebijakan kebijakan baru yang rentan menaikkan perpajakan daerah yang pada akhirnya membebani rakyat.

    “Selain itu, penguatan anggaran dan fiskal daerah merupakan bagian dari mandat otonomi daerah yang ada di konstitusi kita,” ujar Said mengingatkan.

    Legislator dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) itu juga mengingatkan agar program besar seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Merah Putih, dan Sekolah Rakyat benar-benar menjadi ‘game changer’. Dengan anggaran besar, sambungnya, tata kelola program-program tersebut harus akuntabel, transparan, dan partisipatif 

    Di sektor pangan dan energi, Banggar mendesak strategi yang lebih agresif. Otoritas fiskal, katanya, tidak boleh terus bertahan dengan defisit anggaran.

    “India punya cadangan minyak strategis, kita apa?” ujarnya.

    Banggar turut meminta pemerintah memperbarui metode perhitungan standar kemiskinan, mengikuti standar Purchasing Power Parity (PPP) terbaru seperti yang dilakukan World Bank alias Bank Duni.

    Standar Kemiskinan 

    Sebagai informasi, Bank Dunia menaikkan standar garis kemiskinannya per Juni 2025, usai resmi mengadopsi perhitungan PPP 2021. Sebelumnya, Bank Dunia masih menggunakan perhitungan PPP 2017.

    Akibatnya, kini garis kemiskinan internasional menjadi US$3.00 per orang per hari (dari sebelumnya US$2,15); garis kemiskinan negara berpenghasilan menengah-bawah menjadi US$4,20 per orang per hari (dari US$3,65); garis kemiskinan negara berpenghasilan menengah-atas menjadi US$8,30 per orang per hari (dari US$6,85).

    “Pemutakhiran data ini penting untuk mendapatkan data kemiskinan yang akurat sebagai pijakan perumusan kebijakan penanggulangan kemiskinan pada tahun-tahun mendatang,” ucap Said.

    Lebih lanjut, dia melihat perekonomian nasional tetap memiliki peluang untuk tumbuh inklusif meski di tengah tekanan eksternal yang belum usai, asalkan pemerintah mampu menghadirkan kebijakan fiskal dan moneter yang adaptif serta terintegrasi.

    Banggar menilai proyeksi IMF yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi global di angka 3% pada 2026, naik dari 2,8% pada 2025, seharusnya menjadi peluang bagi Indonesia. Said mengajak pemerintah mengubah pola pikir krisis menjadi momentum lompatan ekonomi.

    Misalnya dari sisi ekspor yang tumbuh 6,6% pada kuartal I/2025, sehingga diharap terjaga di tengah kebijakan tarif resiprokal Presiden AS Donald Trump mengguncang perdagangan global. Diplomasi perdagangan, kata Said, harus lebih adaptif dan tidak hanya bertumpu pada AS dan China.

    Di sisi investasi, pertumbuhan yang hanya 2,12% pada kuartal I/2025 menjadi sinyal perlunya strategi komprehensif untuk meyakinkan investor agar menempatkan modal di sektor riil.

    “Kita perlu memberikan imbal hasil yang menarik agar investasi mampu mendorong permintaan dan menyerap tenaga kerja baru,” tegasnya.

    Banggar juga menyoroti depresiasi rupiah terhadap dolar AS, yang di satu sisi menguntungkan ekspor namun membebani biaya impor. Parlemeen mendesak strategi pembayaran internasional yang lebih luas menggunakan local currency bersama mitra strategis untuk mengurangi ketergantungan pada dolar.

    Selain itu, pemerintah diminta mengembangkan strategi pendanaan baru agar dana pihak ketiga perbankan tidak tersedot ke Surat Berharga Negara (SBN) semata. “Perlu ada terobosan agar DPK [Dana Pihak Ketiga] lebih mengalir ke sektor riil,” ujar Said.

  • Kiamat Air di Negara Arab, Warga Antre Beli-Danau Kering Kerontan

    Kiamat Air di Negara Arab, Warga Antre Beli-Danau Kering Kerontan

    Jakarta, CNBC Indonesia – Krisis air melanda Lebanon. Hal ini nampak dari pasokan air pemerintah di Beirut yang mengalami kekurangan terburuk dalam beberapa tahun.

    Kejadian ini pun memaksa warga untuk membeli air yang didistribusikan dengan truk. Setelah curah hujan yang mencapai rekor terendah dan sumur-sumur lokal mengering, sektor publik yang tidak efisien kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar. 

    “Air pemerintah biasanya datang setiap dua hari, sekarang menjadi setiap tiga hari,” kata Rima Al Sabaa, 50, saat mencuci piring dengan hati-hati di Burj Al Baranjeh, pinggiran selatan Beirut, kepada AFP, Kamis (14/8/2025).

    Ia menambahkan, bahkan ketika air pemerintah mengalir, hanya sedikit yang menetes ke tangki penampungan keluarganya.

    Begitu habis, mereka harus membeli air yang diangkut dengan truk, yang dipompa dari mata air dan sumur pribadi. Air ini harganya lebih dari US$ 5 (Rp 90 ribu) per 1.000 liter dan hanya bertahan beberapa hari. Kualitasnya yang payau juga membuat perabot berkarat. Di beberapa area, harganya bahkan bisa dua kali lipat.

    Seperti banyak warga Lebanon, Sabaa, yang berprofesi sebagai asisten lansia, mengandalkan air botol untuk minum. Namun, di tengah krisis ekonomi yang telah berlangsung selama bertahun-tahun dan dampak perang Israel-Hizbullah, biaya-biaya ini terus membengkak.

    “Dari mana saya harus mendapatkan uangnya?” keluhnya.

    Kelangkaan air sudah lama menjadi masalah umum di Lebanon. Pemerintah sendiri mengakui bahwa hanya sekitar setengah dari populasi yang “memiliki akses yang teratur dan memadai terhadap layanan air publik”.

    Menurut strategi air nasional, fasilitas penyimpanan permukaan seperti bendungan tidak memadai. Selain itu, setengah dari pasokan air pemerintah dianggap “air non-pendapatan,” hilang karena kebocoran pipa dan sambungan ilegal.

    Penjatahan Air

    Menteri Energi dan Air, Joseph Saddi, mengatakan pekan lalu bahwa “situasi saat ini sangat sulit”. Kelangkaan ini terasa berbeda di berbagai wilayah di Beirut Raya, di mana banyak tangki air berjejer di atap, truk-truk air memenuhi jalanan, dan sebagian besar warga yang terhubung dengan jaringan pemerintah tidak memiliki meteran air.

    Bulan lalu, pemerintah meluncurkan kampanye yang mendorong konservasi air, menampilkan mata air dan danau yang mengering atau berkurang di seluruh negeri. Di utara ibu kota, level air di beberapa bagian stasiun pompa Dbayeh terlihat rendah, padahal seharusnya mengalir deras.

    “Saya sudah 33 tahun bekerja di sini dan ini adalah krisis terburuk dalam hal jumlah air yang kami terima dan dapat dipompa ke Beirut,” kata pekerja stasiun pompa tersebut, Zouhair Azzi/

    Antoine Zoghbi dari Beirut and Mount Lebanon Water Establishment mengatakan penjatahan air di Beirut biasanya dimulai pada Oktober atau November, setelah musim panas dan sebelum musim hujan.

    “Namun, tahun ini dimulai beberapa bulan lebih awal karena kami kekurangan 50% dari jumlah air yang dibutuhkan di beberapa mata air,” katanya kepada AFP bulan lalu.

    Penjatahan dimulai di beberapa sumur pada Juni untuk mengurangi risiko penggunaan berlebihan dan masuknya air laut. Zoghbi menekankan perlunya penyimpanan tambahan, termasuk bendungan.

    Pada Januari, Bank Dunia menyetujui pendanaan lebih dari US$ 250 juta (Rp 4 triliun) untuk meningkatkan layanan air di Beirut Raya dan sekitarnya. 

    Pada tahun 2020, Bank Dunia membatalkan pinjaman untuk sebuah bendungan di selatan ibu kota setelah para aktivis lingkungan mengatakan proyek itu dapat merusak lembah yang kaya akan keanekaragaman hayati.

     

    (tps/tps)

    [Gambas:Video CNBC]