NGO: WHO

  • Fakta-fakta ‘Flu Babi’ H1pdm09, Tewaskan 5 Anak di Riau

    Fakta-fakta ‘Flu Babi’ H1pdm09, Tewaskan 5 Anak di Riau

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan RI melaporkan lima anak meninggal dunia akibat infeksi Influenza A/H1pdm09, yang sebelumnya dikenal sebagai flu babi, serta Haemophilus influenzae. Kasus tersebut terjadi di Dusun Datai, Kecamatan Batang Gansal, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.

    Hasil penyelidikan epidemiologi menunjukkan minimnya fasilitas kesehatan dasar di wilayah tersebut. Dusun Datai tidak memiliki MCK, tidak ada tempat pembuangan sampah, ventilasi rumah buruk, dan aktivitas memasak dengan kayu bakar dilakukan di ruangan yang sama dengan tempat tidur. Kondisi ini meningkatkan risiko penularan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), terutama pada anak-anak.

    Selain masalah lingkungan, ditemukan pula banyak warga dengan gizi kurang dan cakupan imunisasi dasar yang rendah.

    Hasil laboratorium menunjukkan adanya kombinasi infeksi Influenza A/H1pdm09, pertusis, adenovirus, dan bocavirus. Temuan ini memperkuat analisis bahwa status gizi dan rendahnya kekebalan tubuh membuat warga rentan terhadap penyakit.

    Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan, Sumarjaya, menyampaikan bahwa kondisi lingkungan di Dusun Datai menjadi penyebab penyakit mudah menyebar.

    “Kami menemukan rumah padat, ventilasi minim, nyamuk banyak, dan warga hidup dalam paparan asap kayu bakar setiap hari. Situasi seperti ini membuat penyakit pernapasan lebih mudah menular, terutama pada balita,” ujarnya.

    Ia menegaskan bahwa krisis ISPA ini bukan sekadar persoalan medis, tetapi terkait erat dengan sanitasi, perilaku hidup, dan akses layanan kesehatan.

    “Jika kondisi sanitasi, gizi, dan kebiasaan sehari-hari tidak diperbaiki, penularan akan terus berulang,” kata Sumarjaya.

    Wanti-wanti Kemenkes RI

    Untuk merespons kondisi tersebut, Kemenkes bersama pemerintah daerah melakukan pengobatan massal, memperkuat intervensi gizi, dan memberikan perhatian khusus kepada balita dan ibu hamil melalui pemberian makanan tambahan (PMT), vitamin, dan pemantauan kesehatan. Edukasi terkait etika batuk, penggunaan masker, dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) juga diperluas.

    Tim kesehatan juga melakukan pengambilan sampel tambahan untuk memastikan tidak ada patogen lain yang beredar, mengingat variasi gejala dan temuan multipatogen sebelumnya.

    Sebagai langkah jangka panjang, Kemenkes bersama pemerintah daerah mulai menyusun perbaikan lingkungan, termasuk pembuatan tempat pembuangan sampah, kerja bakti pembersihan area rawan nyamuk, hingga pemisahan area memasak dan area tidur di rumah warga. Media KIE untuk sekolah terpencil juga disiapkan untuk edukasi berkelanjutan.

    Apa Itu ‘Flu Babi’?

    Dikutip dari Cleveland Clinic, flu babi atau swine flu (H1N1) adalah infeksi yang disebabkan oleh salah satu jenis virus influenza. Disebut ‘flu babi’ atau swine flu karena virus ini mirip dengan virus flu yang menginfeksi babi. Pada babi, virus ini menyebabkan penyakit pernapasan yang menyerang paru-paru. Flu babi (H1N1) pada manusia juga merupakan infeksi saluran pernapasan.

    Pada April 2009, para peneliti menemukan strain baru virus H1N1. Virus ini pertama kali terdeteksi di Amerika Serikat. Dalam waktu singkat, virus tersebut menyebar dengan cepat ke seluruh AS dan ke berbagai negara di dunia karena merupakan tipe virus flu yang benar-benar baru.

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) setelah menghadapi tekanan dari para produsen industri daging dan sejumlah pemerintah yang khawatir, pada hari Kamis (30/4/2009) menyatakan bahwa mereka akan menyebut strain virus baru yang mematikan itu sebagai influenza A (H1N1), bukan swine flu.

    “Mulai hari ini, WHO akan menyebut virus influenza baru ini sebagai ‘influenza A (H1N1)’,” tulis WHO di situs resminya, dikutip berita Reuters 2009.

    Dikutip dari WHO, sebelum pandemi H1N1 pada tahun 2009, virus influenza A (H1N1) ini belum pernah diidentifikasi sebagai penyebab infeksi pada manusia. Analisis genetik menunjukkan virus tersebut berasal dari virus influenza hewan dan tidak berkaitan dengan virus influenza musiman H1N1 yang sudah beredar di masyarakat sejak tahun 1977.

    Setelah laporan awal mengenai wabah influenza di Amerika Utara pada April 2009, virus influenza baru ini menyebar dengan sangat cepat ke seluruh dunia. Ketika WHO menetapkan status pandemi pada Juni 2009, sebanyak 74 negara dan wilayah telah melaporkan infeksi yang terkonfirmasi melalui laboratorium.

    Berbeda dari pola flu musiman pada umumnya, virus baru ini menyebabkan lonjakan kasus yang tinggi selama musim panas di belahan Bumi utara, dan bahkan lebih tinggi lagi saat memasuki cuaca yang lebih dingin. Virus tersebut juga menimbulkan pola kesakitan dan kematian yang tidak biasa untuk infeksi influenza.

    WHO kemudian menyatakan pandemi telah berakhir pada Agustus 2010. Namun, H1N1 tetap dapat menginfeksi dan menulari orang. Saat ini H1N1 menjadi salah satu virus flu musiman yang masih dapat menyebabkan penyakit, rawat inap, bahkan kematian.

    Senada, Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Prof Tjandra Yoga Aditama, menjelaskan H1N1pdm09 adalah virus penyebab pandemi 2009 dan menjadi pandemi pertama yang dinyatakan WHO setelah pemberlakuan International Health Regulations (IHR) 2005.

    “Awalnya disebut swine flu atau flu babi, tetapi kemudian diketahui penularannya tidak terbatas, sehingga istilah flu babi sebaiknya tidak digunakan lagi,” beber Prof Tjandra kepada detikcom Selasa (26/11/2025).

    Ia menambahkan, sebagian besar virus H1N1 yang beredar saat ini merupakan H1N1pdm09 dan sudah tergolong influenza musiman. Selain itu, virus H3N2 juga tengah memicu peningkatan kasus flu di berbagai negara.

    Mengapa ‘ Flu Babi’ Bisa Picu Kematian?

    Dihubungi terpisah, Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman, menjelaskan virus tersebut kini telah berubah menjadi bagian dari influenza musiman dan terus bersirkulasi secara global. Aktivitas influenza, kata Dicky, berubah-ubah setiap musim sehingga Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara rutin memantau pergerakannya dan menentukan komposisi vaksin flu tahunan. H1N1 sendiri sering masuk dalam komposisi vaksin.

    Adapun infeksi ini dapat berujung fatal karena dipengaruhi oleh faktor host, yaitu kondisi tubuh anak. Menurut Dicky, anak kecil memiliki sistem imun yang masih berkembang. Bila disertai malnutrisi atau imunisasi yang tidak lengkap, kerentanan mereka terhadap infeksi berat akan semakin meningkat.

    Faktor lingkungan juga berperan besar, seperti paparan asap kayu bakar, ventilasi rumah yang buruk, kepadatan hunian, hingga sanitasi yang tidak memadai.

    “Ini kalau di epidemiologi itu ya faktor host, faktor agentnya, faktor lingkungan. Dan terutama ada koinfeksi bakteri atau virus yang meningkatkan risiko pneumonia berat dan kematian,” ucapnya saat dihubungi detikcom, Rabu (26/11/2025).

    “Nah ini yang laporan lapangan kan menunjukkan kombinasi faktor risiko ini. Selain itu pada anak kecil cadangan fisiologisnya rendah sehingga cepat sekali dekompensasi,” lanjutnya.

    Sementara itu, Dicky juga menjelaskan gejala yang perlu diwaspadai pada kasus influenza meliputi demam mendadak, batuk, sakit tenggorokan, nyeri otot, dan rasa lemas.

    Pada anak-anak, gejala tambahan seperti mual dan muntah dapat muncul. Pada bayi dan balita, tanda-tandanya kadang tidak khas, tetapi dapat terlihat dari menurunnya nafsu makan, menjadi lebih rewel, atau munculnya gejala sesak napas.

    “Dan komplikasi yang menyebabkan kematian pada anak biasanya adalah Pneumonia Virus Primer atau Super Infeksi Bakteri, misalnya Streptococcus Pneumonia ataupun Haemophilus Influenza yang Non-typeable (NTHi),” tuturnya.

    Halaman 2 dari 4

    (suc/up)

  • Tewaskan 5 Anak di Riau, Mengapa ‘Flu Babi’ Bisa Mematikan?

    Tewaskan 5 Anak di Riau, Mengapa ‘Flu Babi’ Bisa Mematikan?

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan RI melaporkan lima anak di Dusun Datai, Kecamatan Batang Gansal, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, meninggal dunia akibat terinfeksi Influenza A/H1pdm09 dan Haemophilus influenzae. Influenza A/H1pdm09, yang sebelumnya dikenal sebagai flu babi, pernah menjadi wabah di berbagai negara pada tahun 2009 dan sejak itu menjadi bagian dari influenza musiman.

    Hasil penyelidikan epidemiologi menunjukkan bahwa wilayah tersebut memiliki fasilitas kesehatan dasar yang sangat minim. Dusun Datai tidak memiliki MCK, tidak ada tempat pembuangan sampah, ventilasi rumah buruk, dan aktivitas memasak dengan kayu bakar dilakukan di ruangan yang sama dengan tempat tidur. Kondisi ini meningkatkan risiko penularan ISPA, terutama pada anak-anak.

    Selain faktor lingkungan, petugas juga menemukan banyak warga dengan gizi kurang serta cakupan imunisasi dasar yang rendah. Pemeriksaan laboratorium mengungkap adanya kombinasi infeksi Influenza A/H1pdm09, pertusis, adenovirus, dan bocavirus. Temuan ini memperkuat analisis bahwa status gizi dan kekebalan tubuh yang rendah membuat anak-anak di dusun tersebut lebih rentan mengalami penyakit berat hingga komplikasi.

    “Kami menemukan rumah padat, ventilasi minim, nyamuk banyak, dan warga hidup dalam paparan asap kayu bakar setiap hari. Situasi seperti ini membuat penyakit pernapasan lebih mudah menular, terutama pada balita,” ujar Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan, Sumarjaya.

    Mengapa ‘Flu Babi’ Bisa Picu Kematian?

    Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman, menjelaskan Influenza A/H1N1pdm09 merupakan subtipe virus influenza A yang pertama kali muncul sebagai virus baru dan menyebabkan pandemi pada 2009.

    Kini, virus tersebut telah berubah menjadi bagian dari influenza musiman dan terus bersirkulasi secara global. Aktivitas influenza, kata Dicky, berubah-ubah setiap musim sehingga Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara rutin memantau pergerakannya dan menentukan komposisi vaksin flu tahunan. H1N1 sendiri sering masuk dalam komposisi vaksin.

    Adapun infeksi ini dapat berujung fatal karena dipengaruhi oleh faktor host, yaitu kondisi tubuh anak. Menurut Dicky, anak kecil memiliki sistem imun yang masih berkembang. Bila disertai malnutrisi atau imunisasi yang tidak lengkap, kerentanan mereka terhadap infeksi berat akan semakin meningkat.

    Faktor lingkungan juga berperan besar, seperti paparan asap kayu bakar, ventilasi rumah yang buruk, kepadatan hunian, hingga sanitasi yang tidak memadai.

    “Ini kalau di epidemiologi itu ya faktor host, faktor agentnya, faktor lingkungan. Dan terutama ada koinfeksi bakteri atau virus yang meningkatkan risiko pneumonia berat dan kematian,” ucapnya saat dihubungi detikcom, Rabu (26/11/2025).

    “Nah ini yang laporan lapangan kan menunjukkan kombinasi faktor risiko ini. Selain itu pada anak kecil cadangan fisiologisnya rendah sehingga cepat sekali dekompensasi,” lanjutnya.

    Sementara itu, Dicky juga menjelaskan gejala yang perlu diwaspadai pada kasus influenza meliputi demam mendadak, batuk, sakit tenggorokan, nyeri otot, dan rasa lemas.

    Pada anak-anak, gejala tambahan seperti mual dan muntah dapat muncul. Pada bayi dan balita, tanda-tandanya kadang tidak khas, tetapi dapat terlihat dari menurunnya nafsu makan, menjadi lebih rewel, atau munculnya gejala sesak napas.

    “Dan komplikasi yang menyebabkan kematian pada anak biasanya adalah Pneumonia Virus Primer atau Super Infeksi Bakteri, misalnya Streptococcus Pneumonia ataupun Haemophilus Influenza yang Non-typeable (NTHi),” tuturnya.

    Halaman 2 dari 3

    (suc/up)

  • 5 Anak Meninggal di Riau Kena ‘Flu Babi’, Ini Kata Pakar soal Penularan-Pencegahannya

    5 Anak Meninggal di Riau Kena ‘Flu Babi’, Ini Kata Pakar soal Penularan-Pencegahannya

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan RI melaporkan lonjakan kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di Dusun Datai, Kecamatan Batang Gansal, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Berdasarkan data hingga 23 November 2025, sebanyak 224 warga mengalami gangguan pernapasan. Seluruh pasien kini dilaporkan dalam kondisi membaik.

    Namun, Kemenkes menyebut terdapat lima kasus kematian pada anak. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan kelima anak tersebut positif terinfeksi Influenza A/H1pdm09 serta Haemophilus influenzae. Virus H1pdm09 merupakan jenis influenza yang pernah memicu wabah global pada 2009 dan sebelumnya dikenal sebagai flu babi.

    Menanggapi temuan tersebut, Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Prof Tjandra Yoga Aditama, menjelaskan H1N1pdm09 adalah virus penyebab pandemi 2009 dan menjadi pandemi pertama yang dinyatakan WHO setelah pemberlakuan International Health Regulations (IHR) 2005.

    “Awalnya disebut swine flu atau flu babi, tetapi kemudian diketahui penularannya tidak terbatas, sehingga istilah flu babi sebaiknya tidak digunakan lagi,” beber Prof Tjandra kepada detikcom Selasa (26/11/2025).

    Ia menambahkan, sebagian besar virus H1N1 yang beredar saat ini merupakan H1N1pdm09 dan sudah tergolong influenza musiman. Selain itu, virus H3N2 juga tengah memicu peningkatan kasus flu di berbagai negara.

    Prof Tjandra menjelaskan langkah pengendalian H1N1pdm09 mencakup tiga hal utama. Pertama, pencegahan melalui pola hidup sehat, menjaga daya tahan tubuh, etika batuk, dan penggunaan masker bagi yang sakit.

    Kedua, pencegahan melalui vaksinasi influenza. Ketiga, pemberian obat antivirus pada pasien dengan gejala berat karena sebagian besar kasus bersifat ringan.

    Ia juga menekankan perlunya kewaspadaan bersama.

    “Dunia, termasuk kita, harus terus memantau berbagai strain virus influenza untuk melihat kecenderungan, peningkatan kasus, maupun potensi wabah,” ujarnya.

    Hingga kini, investigasi epidemiologis di wilayah terdampak masih berlangsung, termasuk penelusuran faktor risiko, pola penularan, dan upaya pencegahan lanjutan. Kemenkes mengimbau masyarakat tetap waspada terhadap gejala gangguan pernapasan, khususnya pada anak.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Pemerintah Akan Bikin Satgas Penanganan Demam Babi Afrika”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/naf)

  • 5 Anak di Riau Meninggal Akibat ‘Flu Babi’, Ini Kata Epidemiolog soal Gejalanya

    5 Anak di Riau Meninggal Akibat ‘Flu Babi’, Ini Kata Epidemiolog soal Gejalanya

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan RI baru-baru ini melaporkan lonjakan kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di Dusun Datai, Kecamatan Batang Gansal, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.

    Hingga 23 November 2025, tercatat 224 warga mengalami gangguan pernapasan. Saat ini seluruh warga tersebut kondisinya sudah membaik. Namun demikian terdapat lima kasus kematian pada anak.

    Hasil laboratorium menunjukan kelima anak tersebut positif terjangkit Influenza A/H1pdm09 dan Haemophilus influenzae. Influenza A/H1pdm09, atau yang sebelumnya dikenal juga dengan sebutan ‘flu babi’, yang pernah menjadi wabah di beberapa negara pada tahun 2009.

    Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman, menjelaskan virus yang dilaporkan dalam kasus di Riau merupakan Influenza A H1N1 PDM09, yaitu subtipe virus influenza A yang pertama kali muncul sebagai pandemi global pada tahun 2009. Sejak saat itu, virus ini tidak hilang, tetapi berubah menjadi bagian dari influenza musiman yang terus bersirkulasi setiap tahun.

    Menurut Dicky, kasus kematian anak di Riau terjadi dalam sebuah klaster lokal dengan bukti kuat adanya koinfeksi antara virus dan bakteri. Pada pemeriksaan ditemukan keberadaan Haemophilus influenzae, serta indikasi infeksi lain seperti pertusis, adenovirus, dan bocavirus.

    “Nah ini adalah penyakit lama artinya sejak 2009 dan bukan penyakit baru tentu untuk Indonesia karena H1N1 ini telah bersirkulasi sebagai salah satu strain influenza musiman sejak 2009,” ucapnya saat dihubungi detikcom, Rabu (26/11/2025).

    Pergerakan dan aktivitas influenza secara global maupun regional terus berubah tiap musim, sehingga Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara berkala memantau dan menentukan komposisi strain vaksin flu setiap tahun. H1N1 pun sering masuk komposisi vaksin influenza musiman.

    Di Indonesia, kata Dicky, memang terjadi peningkatan kasus ISPA atau flu pada beberapa minggu di kuartal awal 2025. Klaster seperti yang terjadi di Riau seharusnya bisa terdeteksi dan direspons lebih cepat oleh sistem surveilans.

    “Gejala yang harus diwaspadai pada kasus seperti ini ya gejala klasik Influenza, demam, mendadak, batuk, sakit tenggorok, nyeri otot, lemas. Juga ada mual muntah ya kalau pada anak. Pada bayi atau balita gejala itu bisa kurang khas karena biasanya tapi bisa dilihat dari lebih rewel atau nafsu makan turun atau ada kesulitan napas,” lanjutnya.

    Halaman 2 dari 2

    (suc/suc)

  • Kabar Baik! KLB Polio di Indonesia Dinyatakan Berakhir

    Kabar Baik! KLB Polio di Indonesia Dinyatakan Berakhir

    Ada kabar baik dari dunia kesehatan Indonesia di akhir tahun 2025 nih detikers.

    Jadi, Kejadian Luar Biasa (KLB) polio tipe 2 sudah berakhir. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan KLB Polio ditutup secara resmi pada 19 November 2025. Dari pantauan sejak Juni 2024 sampai sekarang, sudah nggak ditemukan lagi wabah virus polio pada anak-anak maupun lingkungan. Kabar baik ini disampaikan Kementerian Kesehatan RI dan WHO.

    Kenapa Polio bisa jadi KLB itu berawal dari Oktober 2022. Kasus pertamanya dilaporkan dari Aceh, terus bertambah di beberapa wilayah lain, kayak di Banten, Jawa Barat, hingga kasus terakhir terkonfirmasi di Papua Selatan pada Juni 2024. Langkah Kemenkes menghentikan wabah tersebut saat itu dengan imunisasi.

  • Gaji Sampai Rp 80 Juta! Remaja & Korban PHK Banjiri Pasar Kerja Dark Web

    Gaji Sampai Rp 80 Juta! Remaja & Korban PHK Banjiri Pasar Kerja Dark Web

    Jakarta

    Pasar kerja di dark web tengah mengalami peningkatan aktivitas yang mengkhawatirkan. Laporan terbaru Kaspersky Digital Footprint Intelligence mengungkap bahwa jumlah resume dan lowongan kerja yang diposting di forum-forum gelap melonjak drastis dalam dua tahun terakhir, terutama pada kuartal pertama 2024 hingga Q1 2025.

    Fenomena ini didorong oleh gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) global di sektor teknologi serta masuknya pelamar berusia sangat muda. Menurut laporan bertajuk “Inside the dark web job market: Their talent, our threat”, jumlah resume di pasar gelap tahun 2025 tercatat 55% lebih tinggi dari ketersediaan lowongan.

    Mayoritas pelamar ini berasal dari korban PHK dan generasi muda yang kesulitan mendapatkan pekerjaan sah. Data menunjukkan usia rata-rata pencari kerja di dark web hanya 24 tahun, menandakan derasnya arus remaja memasuki ekosistem berisiko ini.

    Walau ada sejumlah posisi legal, sebagian besar lowongan di dark web berkaitan dengan kejahatan siber, penipuan, hingga tindakan ilegal berisiko tinggi. Sebanyak 69% pelamar tidak menetapkan preferensi bidang tertentu, artinya mereka bersedia bekerja di posisi apa pun selama mendapat bayaran-mulai dari pengembang malware, penguji penetrasi, hingga menjadi carder atau pencuci uang.

    Laporan tersebut mencatat lima peran teknis dan kriminal yang paling banyak dicari, yakni developer atau pengembang (17%), penguji penetrasi (12%), pencuci uang (11%), carder yang mencuri data kartu pembayaran (6%), serta traffer (5%) yang bertugas mengarahkan korban ke situs phishing atau malware. Pola gender juga terlihat, di mana pelamar perempuan cenderung masuk posisi interpersonal seperti customer support, sedangkan pelamar laki-laki mendominasi peran teknis dan kriminal finansial.

    Salah satu daya tarik terbesar pasar gelap ini adalah tawaran gaji yang sangat tinggi bagi talenta muda. Rata-rata pendapatan reverse engineer mencapai lebih dari USD 5.000 atau sekitar Rp 83 juta per bulan, sementara penguji penetrasi memperoleh sekitar USD 4.000 dan developer sekitar USD 2.000. Untuk posisi berbasis persentase, pencuci uang dapat meraih 20% dari pendapatan tim, carder 30%, sementara traffer bisa mengantongi hingga 50%.

    “Pasar kerja bayangan tidak lagi bersifat pinggiran. Kini ia menyasar pengangguran, anak di bawah umur, hingga talenta berkualifikasi tinggi,” ujar Alexandra Fedosimova, Analis Jejak Digital Kaspersky dalam keterangan resmi yang diterima detikINET, Minggu (23/11/2025).

    Ia menegaskan bahwa banyak remaja terjebak karena melihat dunia gelap ini seperti dunia kerja legal-mengutamakan kemampuan, proses cepat tanpa wawancara HR, dan iming-iming gaji besar. Padahal, konsekuensinya tak main-main: ancaman hukuman penjara.

    Kaspersky juga mendesak orang tua, pendidik, dan masyarakat untuk lebih waspada terhadap tawaran kerja mencurigakan yang muncul melalui Telegram, media sosial, atau forum tertutup. Remaja perlu diberikan edukasi bahwa terdapat banyak jalur legal untuk mengembangkan karier di bidang teknologi, termasuk keamanan siber yang sah dan diakui industri.

    Bagi perusahaan, ancaman pasar kerja gelap ini juga nyata. Kaspersky merekomendasikan sejumlah langkah pencegahan, seperti melatih karyawan agar lebih peka terhadap phishing dan tawaran “uang mudah”, memantau dark web untuk mendeteksi kredensial karyawan yang bocor, hingga membekali tim HR dengan kemampuan mengidentifikasi “shadow experience” dalam resume pelamar. Perusahaan juga dapat memanfaatkan layanan Digital Footprint Intelligence untuk pemantauan ancaman menyeluruh, mulai dari surface web hingga deep dan dark web.

    Laporan lengkap “Inside the dark web job market: Their talent, our threat” tersedia untuk diunduh melalui dfi.kaspersky.com. Kaspersky turut memperkenalkan proyek “What we should do with kids who hack”, yaitu inisiatif untuk mengarahkan remaja yang terlanjur terlibat aktivitas peretasan ke jalur teknologi yang positif.

    Dengan meningkatnya angka PHK global dan sulitnya peluang kerja di sektor formal, iming-iming gaji besar memang menggoda banyak anak muda. Namun, satu keputusan keliru di pasar gelap dapat berubah menjadi catatan kriminal yang membayangi seumur hidup.

    (afr/hps)

  • Hampir 1,5 Juta Orang Meninggal Akibat Penyakit Ginjal, Jangan Abaikan Gejala Ini

    Hampir 1,5 Juta Orang Meninggal Akibat Penyakit Ginjal, Jangan Abaikan Gejala Ini

    Jakarta

    Penyakit Ginjal Kronis (PGK) diam-diam meningkat menjadi krisis kesehatan yang perlu diwaspadai. Pasalnya, pada tahun 2023, PGK telah merenggut hampir 1,5 juta nyawa, dan memengaruhi 800 juta orang dengan penurunan fungsi ginjal.

    Dikutip dari Times of India, laporan dari Global Burden of Disease (GBD) 2023, menemukan hampir 788 juta orang dewasa (berusia 20 tahun ke atas) kini hidup dengan PGK.

    Angka ini meningkat tajam, lebih dari dua kali lipat pada jumlah tahun 1990. Wilayah-wilayah seperti Afrika Utara, Timur Tengah, dan Asia Selatan memiliki prevalensi yang tertinggi. Dilaporkan hampir 16 persen orang dewasa di wilayah ini mengidap PGK.

    PGK tidak hanya tentang ginjal. Gangguan fungsi ginjal juga berkontribusi dengan risiko kesehatan lainnya, sekitar 11,5 persen dari seluruh kematian akibat masalah kardiovaskular atau jantung.

    Mengapa Meningkat?

    Beban PGK telah meningkat secara stabil selama tiga dekade karena populasi menua dan penyakit metabolik seperti diabetes, tekanan darah tinggi, dan obesitas semakin umum.

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan otoritas lainnya telah menekankan peningkatan ini dapat dihindari jika sistem kesehatan memprioritaskan skrining, pencegahan, dan akses ke perawatan yang efektif.

    Apa Saja Gejala Awal Penyakit Ginjal?

    Penyakit ginjal seringkali tidak terasa pada awalnya, tetapi gejala-gejala ini bisa menjadi tanda bahaya yang penting, terutama jika pasien juga mengidap diabetes, tekanan darah tinggi, penyakit jantung, obesitas, atau riwayat keluarga dengan masalah ginjal.

    Berikut tanda-tanda yang perlu diwaspadai:

    1. Perubahan Frekuensi Buang Air Kecil

    Sering buang air kecil, terutama di malam hari adalah tanda bahaya pertama yang harus diwaspadai. Selain itu, urine yang berbusa atau berbuih (proteinuria) atau darah dalam urine juga merupakan tanda-tanda yang perlu diperhatikan. Ini menandakan ginjal mungkin mengalami kebocoran protein atau darah.

    2. Pembengkakan (Edema)

    Bengkak di pergelangan kaki, kaki, tangan, atau sekitar mata tidak selalu disebabkan oleh gaya hidup yang sibuk atau stres. Namun, hal itu juga dapat terjadi akibat retensi cairan yang mengarah pada kerusakan ginjal.

    3. Mudah Lelah

    Racun yang biasanya dibersihkan oleh ginjal dapat menumpuk dan menyebabkan kelelahan dan kesulitan berkonsentrasi. Hal ini membuat pasien kadang merasakan lelah atau lemah yang tidak biasa.

    4. Kulit Gatal, Kering, atau Mual Terus Menerus

    Jika pasien sering mengeluh dengan tanda-tanda di atas, kemungkinan ginjal sedang dalam masalah. Ini adalah beberapa tanda umum bahwa produk limbah terakumulasi dalam tubuh alih-alih disaring keluar.

    5. Sesak Napas dan Kehilangan Nafsu Makan

    Disfungsi ginjal lanjut dapat memengaruhi pernapasan dan pencernaan. Efeknya, seseorang mungkin akan sering mengalami sesak napas atau bahkan kehilangan nafsu untuk menyantap makanan.

    Halaman 2 dari 3

    (dpy/suc)

  • Kabar Baik! KLB Polio Resmi Dinyatakan Berakhir di Indonesia

    Kabar Baik! KLB Polio Resmi Dinyatakan Berakhir di Indonesia

    Jakarta

    Indonesia secara resmi telah mengakhiri Kejadian Luar Biasa (KLB) polio tipe 2, yang muncul aibat rendahnya cakupan imunisasi polio selama beberapa tahun. Hampir 60 juta dosis imunisasi polio tambahan telah diberikan kepada anak-anak selama respon KLB ini.

    Sejak Juni 2024 hingga saat ini, tidak ditemukan lagi virus polio pada anak-anak maupun lingkungan. Berdasarkan situasi ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan KLB ditutup secara resmi pada 19 November 2025.

    “Kita berhasil menghentikan penyebaran polio di Indonesia berkat dedikasi tenaga kesehatan, komitmen orang tua dan seluruh anggota masyarakat agar anak-anak diimunisasi, serta dukungan mitra. Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan. Kita harus terus bekerja sama agar polio tidak kembali dengan memastikan semua anak menerima imunisasi polio lengkap sesuai usia,” kata Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin, di Jakarta, Jumat (21/11).

    “Namun, kita tidak boleh berpuas diri. Risiko polio masih ada, terutama dengan adanya kesenjangan cakupan imunisasi di beberapa provinsi di Indonesia,” tambahnya.

    Dr Saia Ma’u Piukala, Direktur Regional WHO untuk Pasifik Barat mengatakan keberhasilan Indonesia merupakan langkah penting menuju dunia tanpa polio. Keberhasilan ini juga memperkuat kemampuan seluruh Wilayah Pasifik Barat WHO untuk mempertahankan status bebas polio yang telah dicapai 25 tahun lalu.

    “Saya mendorong seluruh 38 negara dan wilayah di Pasifik Barat untuk tetap waspada. Suatu hari nanti, polio hanya tinggal sejarah. Sampai saat itu tiba, kita harus melanjutkan imunisasi,” ucapnya.

    Sebelumnya, KLB terjadi sejak bulan Oktober 2022, saat kasus pertama dilaporkan dari Aceh. Dalam dua tahun berikutnya, kasus juga ditemukan di provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Maluku Utara, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan. Kasus cVDPV2 (varian virus polio) terakhir terkonfirmasi di Papua Selatan pada 27 Juni 2024.

    Indonesia melakukan respons melalui dua putaran imunisasi tambahan polio dengan menggunakan vaksin novel OPV-2 (nOPV2) mulai akhir tahun 2022 hingga triwulan ketiga 2024. Secara paralel, cakupan imunisasi rutin juga meningkat, dengan persentase anak yang menerima dosis kedua vaksin polio inaktif (IPV) meningkat dari 63% (1,9 juta anak) pada 2023 menjadi 73% (3,2 juta anak) pada 2024.

    Dalam upaya mengakselerasi peningkatan cakupan IPV, Kementerian Kesehatan menginisiasi penggunaan vaksin heksavalen yang menggabungkan DPT-HB-Hib dan IPV dalam satu suntikan. Vaksin ini memberikan perlindungan terhadap enam penyakit sekaligus, yakni polio, difteri, pertusis, tetanus, hepatitis B, serta pneumonia dan meningitis akibat infeksi Haemophilus influenza tipe b.

    Penggunaan vaksin heksavalen diharapkan jumlah suntikan yang diterima anak, menghemat waktu dan biaya keluarga, serta mempercepat terbentuknya kekebalan terhadap berbagai penyakit. Program ini dimulai pada Oktober 2025 di provinsi DIY, NTB, Bali, serta enam provinsi di Tanah Papua, dengan pelaksanaan secara nasional direncanakan pada tahun mendatang.

    Indonesia juga mencatat kemajuan signifikan dalam deteksi dan investigasi lumpuh layuh akut atau Acute Flaccid Paralysis (AFP) pada anak-anak. Kualitas surveilans AFP semakin baik melalui deteksi kasus lebih sensitif dan peningkatan kualitas spesimen.

    Sesuai protokol Global Polio Eradication Initiative, tim independen global menilai kualitas respons KLB polio melalui Outbreak Response Assessment (OBRA) pada Juli 2023, Desember 2024, dan Juni 2025.

    Berdasarkan penilaian ini, disimpulkan Indonesia telah melaksanakan upaya respon yang berkualitas, melakukan serangkaian upaya penguatan dan peningkatan pelaksanaan program sebagaimana direkomendasikan tim OBRA, serta membuktikan tidak adanya kasus baru.

    Dengan demikian, WHO menyatakan Indonesia telah memenuhi kriteria berakhirnya KLB, sehingga status KLB Polio dapat ditutup.

    Halaman 2 dari 2

    (suc/suc)

  • Video Data WHO: Sepertiga Perempuan di Dunia Alami Kekerasan Fisik dan Seksual

    Video Data WHO: Sepertiga Perempuan di Dunia Alami Kekerasan Fisik dan Seksual

    Video Data WHO: Sepertiga Perempuan di Dunia Alami Kekerasan Fisik dan Seksual

  • WHO Ungkap 840 Juta Wanita di Dunia Menghadapi Kekerasan Seksual

    WHO Ungkap 840 Juta Wanita di Dunia Menghadapi Kekerasan Seksual

    JAKARTA – Kekerasan terhadap perempuan masih menjadi salah satu krisis hak asasi manusia yang paling persisten di dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkap bahwa hampir 1 dari 3 wanita atau diperkirakan 840 juta wanita telah mengalami kekerasan seksual selama hidup mereka.

    Angka tersebut hampir tak berubah sejak tahun 2000. Dalam 12 bulan terakhir saja, 316 juta wanita, 11 persen dari mereka berusia 15 tahun, menjadi sasaran kekerasan fisik atau seksual oleh pasangan intim.

    “Kekerasan terhadap perempuan adalah salah satu ketidakadilan tertua dan paling meluas di antara umat manusia, namun, masih menjadi salah satu yang paling tidak ditindaklanjuti,” kata Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, dikutip dari laman resmi WHO, Jumat, 21 November 2025.

    Laporan WHO bersama mitra PBB tersebut juga mencakup perkiraan nasional dan regional tentang kekerasan seksual pada perempuan, selain dari pasangan. Ditemukan 263 juta wanita telah mengalami kekerasan seksual non-pasangan sejak usia 15 tahun.

    Wanita yang mengalami kekerasan seksual akan menghadapi kehamilan yang tidak diinginkan, risiko lebih tinggi terkena infeksi menular seksual, dan mengalami depresi. Oleh karena itu, masalah ini harus segera diatasi dengan baik.

    “Mengakhiri kekerasan ini bukan hanya masalah kebijakan, ini adalah masalah martabat, kesetaraan, dan hak asasi manusia,” tuturnya.

    Layanan kesehatan seksual dan reproduksi adalah titik masuk penting bagi penyintas, untuk menerima perawatan berkualitas tinggi yang mereka butuhkan. Untuk itu, bagi pemerintah tiap negara diharapkan melakukan penanganan kekerasan seksual pada wanita mengikuti anjuran WHO berikut ini.

    – Meningkatkan program pencegahan berbasis bukti

    – Memperkuat layanan kesehatan, hukum, dan sosial yang berpusat pada penyintas

    – Berinvestasi dalam sistem data untuk melacak kemajuan dan menjangkau kelompok yang paling berisiko

    – Menegakkan hukum dan kebijakan yang memberdayakan perempuan dan anak perempuan

    “Memberdayakan perempuan dan anak perempuan bukanlah pilihan, itu adalah prasyarat untuk perdamaian, perkembangan, dan kesehatan. Dunia yang lebih aman untuk wanita adalah dunia yang lebih baik untuk semua orang,” pungkas Tedros.