NGO: WHO

  • Prabowo panggil Menkes ke Istana bahas kasus COVID-19 di Indonesia

    Prabowo panggil Menkes ke Istana bahas kasus COVID-19 di Indonesia

    Jakarta (ANTARA) – Presiden Prabowo Subianto memanggil Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin ke Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa, guna membahas tren peningkatan kasus COVID-19 di Indonesia.

    Menkes Budi Gunadi tiba di Istana Kepresidenan, Jakarta, sekitar pukul 15.40 WIB sambil membawa map. Menkes pun menjawab pertanyaan awak media soal temuan kasus COVID-19 di Indonesia.

    “(Soal) C0VID-19. Lebih ke situ,” kata Menkes menjawab pertanyaan awak media terkait materi pembahasan rapat bersama Presiden di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa.

    Menkes mengakui bahwa tren peningkatan kasus COVID-19 di sejumlah negara memang naik, namun kasus tersebut berasal dari subvarian Omicron JN.1.

    Menkes menjelaskan bahwa tren kasus COVID-19 di Indonesia ini tidak perlu dikhawatirkan.

    “Memang di luar negeri naik, tetapi itu variannya, subvarian dari Omicron. Jadi, itu sama dengan subvarian kita lihat yang JN.1. Jadi, harusnya tidak usah khawatir,” kata Menkes.

    Pada kesempatan sebelumnya, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Penanggulangan Penyakit Kemenkes Murti Utami mengatakan bahwa sehubungan dengan peningkatan kasus COVID-19 di beberapa negara di kawasan Asia, seperti Thailand, Hongkong, Malaysia dan Singapura, ada sejumlah hal yang harus dilakukan unit kesehatan serta para pemangku kepentingan.

    Sejumlah hal itu, antara lain dengan memantau perkembangan situasi dan informasi global terkait kejadian COVID-19 melalui kanal resmi pemerintah dan WHO, serta meningkatkan kewaspadaan dini dengan memantau dan memverifikasi tren kasus ILI/SARI/Pneumonia/COVID-19 melalui pelaporan rutin Sistem Kewaspadaan Dini dan Respons (SKDR).

    Kemudian, menggencarkan promosi gaya hidup sehat dan kewaspadaan COVID-19, seperti dengan menerapkan perilaku hidup bersih sehat, cuci tangan dengan air mengalir dan menggunakan sabun atau menggunakan hand sanitizer.

    Pewarta: Mentari Dwi Gayati
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

  • Muncul Covid-19 Varian Baru, DPRD Jatim Minta Pemprov Perketat Deteksi Dini

    Muncul Covid-19 Varian Baru, DPRD Jatim Minta Pemprov Perketat Deteksi Dini

    Surabaya (beritajatim.com) – Wakil Ketua DPRD Jawa Timur, Deni Wicaksono, mendesak Pemerintah Provinsi (Pemprov) untuk memperketat deteksi dini Covid-19. Ini menyusul adanya laporan dari Kementerian Kesehatan yang mendeteksi tujuh kasus baru Covid-19 di Indonesia dalam sepekan terakhir.

    Dia meminta Pemerintah Provinsi Jawa Timur tidak menganggap enteng perkembangan ini dan segera memperkuat sistem kewaspadaan dini di seluruh daerah.

    Menurut Deni, meskipun belum ada laporan lonjakan kasus di Jawa Timur, langkah antisipatif harus segera dilakukan. Pemerintah daerah tidak boleh bersikap reaktif, tetapi harus proaktif menjaga keselamatan dan kesehatan masyarakat.

    “Kami minta Pemprov Jatim segera memperkuat koordinasi lintas sektor, khususnya Dinas Kesehatan, rumah sakit rujukan, dan fasilitas layanan primer. Deteksi dini dan pelacakan harus kembali diaktifkan di level puskesmas,” ujar Deni saat ditemui di Gedung DPRD Jatim, Selasa (3/6/2025).

    Politisi PDI Perjuangan ini juga menyebut pentingnya edukasi publik secara masif dan berkelanjutan. Menurutnya, masyarakat mulai abai terhadap protokol kesehatan dan menganggap pandemi telah benar-benar berakhir, padahal virus bisa muncul kembali dalam bentuk varian baru.

    “Kesadaran masyarakat kita cenderung menurun karena tidak ada kasus besar dalam beberapa bulan terakhir. Tapi ini justru saatnya edukasi harus ditingkatkan, agar tidak muncul kejutan yang membahayakan,” katanya.

    Deni menegaskan pentingnya memperbarui stok logistik kesehatan di fasilitas layanan dasar, seperti alat pelindung diri (APD), masker, dan alat tes. Dia mendorong Dinas Kesehatan Jatim mengevaluasi kesiapan daerah-daerah, terutama di wilayah aglomerasi dan zona rawan.

    “Pastikan semua fasilitas kesehatan di kabupaten/kota siaga. Jangan sampai seperti awal pandemi dulu, kita gagap merespons karena tidak siap dari awal,” tegas politisi muda ini.

    Sebelumnya, Kementerian Kesehatan mengumumkan adanya tujuh kasus Covid-19 yang terdeteksi di Indonesia dalam sepekan terakhir, meski jumlahnya belum menunjukkan tren kenaikan signifikan. Namun, WHO telah menetapkan bahwa virus SARS-CoV-2 masih masuk dalam kategori infeksi penyakit yang harus diwaspadai secara global.

    Terkait hal ini, Deni juga meminta Pemprov Jatim berkomunikasi aktif dengan pemerintah pusat untuk memastikan kesiapan sistem informasi kesehatan dan pembaruan data kasus berjalan optimal.

    “Pemprov harus aktif memastikan data surveilans dan komunikasi risiko berjalan baik. Informasi yang cepat dan akurat adalah kunci menghindari kepanikan,” tandasnya.

    Dia menegaskan bahwa DPRD Jawa Timur siap mendukung upaya penguatan sistem kesehatan dan jika diperlukan, akan mendorong penambahan anggaran untuk penanggulangan jika situasi memburuk.

    “Kami siap support anggaran jika dibutuhkan, selama itu digunakan untuk melindungi rakyat Jawa Timur secara menyeluruh dan transparan,” pungkasnya. [asg/beq]

  • Fakta-fakta Lonjakan COVID-19 di Thailand, Kematian Tinggi-Sekolah Online Lagi

    Fakta-fakta Lonjakan COVID-19 di Thailand, Kematian Tinggi-Sekolah Online Lagi

    Jakarta

    Thailand menjadi salah satu negara di Asia dengan kasus COVID-19 yang terus meningkat. Bahkan, jumlah kematian akibat infeksi SARS-CoV2 di Negeri Gajah Putih terbilang cukup tinggi dibandingkan akibat penyakit lain.

    Dikutip dari The Nation, dalam sebuah unggahan Facebook, seorang dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Chulalongkorn, Assoc Prof Dr Thira Woratanarat menyebut dalam sebulan terakhir, ada sekitar 170 ribu orang yang dirawat di rumah sakit akibat COVID-19.

    Pada situasi ini, Dr Thira mengatakan ada sekitar 37 kematian akibat infeksi COVID-19. Sebagai perbandingan, hanya satu kematian yang dilaporkan akibat influenza selama periode yang sama.

    Pada periode 18 hingga 24 Mei, COVID-19 terus menyebabkan jumlah penyakit dan kematian tertinggi di antara warga Thailand. Jumlah kasus COVID-19 lima kali lebih banyak daripada kasus diare, sepuluh kali lebih banyak daripada kasus influenza, dan 30 kali lebih banyak daripada kasus keracunan makanan.

    COVID-19 Tidak Boleh Dianggap Remeh

    Dr Thira menekankan, meskipun COVID-19 saat ini telah berstatus endemik, virus ini tidak tetap tidak boleh dipandang sebelah mata. Hal ini karena infeksi virus ini tidak sama dengan flu biasa, dan biasanya bisa menimbulkan gejala yang lebih berat daripada influenza.

    Kini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tengah memantau virus SARS-CoV2 varian LP.8.1 dan NB.1.8.1.

    Varian LP.8.1 kini menyumbang sekitar 39 persen infeksi di 51 negara. Sementara itu, varian NB.1.8.1 terus meningkat, dengan tingkat infeksi 10,7 persen di 22 negara.

    WHO telah mengklasifikasikan NB.1.8.1 sebagai variant under monitoring (VUM) karena lebih cepat menyebar atau menular dibandingkan LP.8.1, serta mampu menghindari kekebalan tubuh 1,5 hingga 1,6 kali lebih besar terhadap perlindungan dari vaksin atau infeksi sebelumnya.

    Total atau kumulatif kasus sepanjang 2025 di Thailand menjadi 240.606 kasus. Sementara jumlah kematian mencapai 53 orang.

    NEXT: Sekolah di Thailand Mendadak Online Lagi

    Kasus COVID-19 di Thailand yang melonjak tinggi, hingga 18.000 pasien per hari membuat pihak sekolah membuat aturan khusus terkait kegiatan belajar mengajar.

    Salah satunya adalah sekolah Bangkaew di bawah Pemerintah Kota Bangkaew, Distrik Bang Phli, Provinsi Samut Prakan yang menghentikan sementara kegiatan belajar mengajar mulai tanggal 4 hingga 6 Juni 2025.

    Selama masa penutupan ini, siswa diimbau untuk menyelesaikan tugas dari rumah. Kegiatan belajar mengajar akan kembali normal pada 9 Juni 2025. Pihak sekolah juga meminta para staf, guru, dan siswa untuk menjaga kesehatan dan menghindari kerumunan.

    Klaster-Klaster Penyebaran COVID-19 di Thailand

    Ada sekitar 14 klaster penyebaran COVID-19 di Thailand, di antaranya:

    Enam klaster di penjara dengan 198 kasusLima klaster di sekolah dengan 258 kasusDua klaster di pangkalan militer dengan 178 kasusSatu klaster di rumah sakit dengan 35 kasus

    Pemerintah mendesak para orang tua untuk tidak membawa bayi di bawah usia satu tahun ke tempat umum atau ramai. Hal ini karena sistem kekebalan bayi yang masih berkembang, membuat mereka lebih rentan terhadap infeksi SARS-CoV-2 dan risiko gejala berat.

    Simak Video “Video Update Situasi Kasus Covid-19 di Indonesia”
    [Gambas:Video 20detik]

  • Ketua Dewan Ekonomi Luhut Sebut AI Berpotensi Bikin Anggaran Hemat Rp100 Triliun

    Ketua Dewan Ekonomi Luhut Sebut AI Berpotensi Bikin Anggaran Hemat Rp100 Triliun

    Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Dewan Ekonomi Nasional Indonesia Luhut Binsar Pandjaitan, mengungkapkan bahwa penyaluran bantuan sosial (bansos) berbasis kecerdasan buatan (AI) berpotensi menghemat anggaran negara hingga Rp100 triliun. 

    Luhut menyebut salah satu mekanisme yang akan digunakan adalah teknologi pengenalan wajah (face recognition) untuk memastikan identitas penerima manfaat.

    “Nanti yang tidak terima, yang harus terima, dia beneran langsung face recognition, dan kemudian segera datang kita kedatangan. Dengan begitu akan menghemat berapa triliun nanti? Rp100 triliun,” kata Luhut dalam acara Peluncuran Sahabat-AI Model 70B dan Chatbot di Jakarta pada Senin (2/6/2025). 

    Menurutnya, digitalisasi bukan lagi sekadar pilihan, melainkan kebutuhan strategis dalam tata kelola negara. Dia menyebut bahwa Presiden Prabowo Subianto menargetkan peluncuran sistem ini pada Agustus mendatang.

    “Dengan digitalisasi kita akan menghemat banyak sekali nanti dana-dana ke depan, dan Presiden ingin ini diluncurkan pada bulan Agustus. Tentu itu untuk menyelesaikan ini semua masih butuh beberapa waktu lagi ke depan, tapi kita sudah mulai,” ujarnya.

    Dia menambahkan bahwa pemanfaatan AI dalam sistem perlindungan sosial akan memungkinkan perubahan data penerima bansos secara dinamis, sesuai dengan kondisi ekonomi masyarakat dari waktu ke waktu.

    Luhut juga menekankan pentingnya eksekusi yang tepat dalam pelaksanaan program-program pemerintah. Dia mencontohkan program pembangunan dapur umum dan ketahanan pangan sebagai bagian dari ekosistem ekonomi berbasis desa yang perlu dikawal pelaksanaannya agar efektif.

    “Tapi menjadi isu adalah yang harus kita bantu ramai-ramai bagaimana eksekusinya ini, karena disitu nanti kesulitannya,” katanya. 

    Dia menilai bahwa pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8% bukanlah target yang mustahil jika semua pihak dapat bekerja sama secara kompak dan konsisten.

    Luhut juga menegaskan bahwa keberhasilan program-program ini bergantung pada integritas dan keteladanan para pemimpin. Dia menolak keras praktik korupsi dan konflik kepentingan dalam birokrasi.

    “Karena intinya menurut saya adalah keteladanan. Kalau pemimpin itu tadi tidak bisa memberikan keteladanan, tidak ada trust, tidak ada credibility, tidak ada credibility orang who cares buatnya. Jadi credibility is very important,” ungkapnya.

  • Cerita Wanita Brasil ‘Mengasuh’ Boneka Replika Bayi, Gemas atau Seram?

    Cerita Wanita Brasil ‘Mengasuh’ Boneka Replika Bayi, Gemas atau Seram?

    Jakarta

    Gabi Matos (21) seorang Youtuber mengungkapkan alasan mengapa ia begitu mencintai koleksi boneka bayi hiper-realistis milikinya. Dalam keseharian, ia bahkan memperlakukan bonekanya seperti anak asli.

    Boneka bayi yang dimiliki Matos sangat mirip dengan bayi asil. Beberapa koleksi yang disebut ‘reborn’ itu bahkan bisa menangis, mengisap dot, pipis, memiliki kuku, bulu mata, bahkan guratan wajah.

    Jika dilihat sekilas, tidak ada bedanya boneka milik Matos dengan bayi sungguhan.

    Permintaan bayi replika ini pertama kali muncul di Amerika Serikat pada awal 1990-an, terutama ditujukan untuk orang dewasa. Tren ini meroket di Amerika Selatan dalam beberapa tahun terakhir. Boneka yang terbuat dari silikon atau vinil ini bisa dipatok hingga ribuan dollar AS.

    “Saya selalu menyukai bayi dan boneka, sejak usia sangat muda. Ketika saya menemukan model seni ini, saya langsung jatuh cinta,” kata Matos dikutip dari SCMP, Senin (2/6/2025).

    Sejauh ini, koleksi boneka bayi Matos sudah mencapai 22 buah. Melalui kanal Youtube, ia menjadikan aktivitas perawatan bayi-bayinya sebagai pekerjaan full time. Total ia sudah memiliki 1,3 juta subscriber di kanal Youtube-nya.

    Meski banyak yang menyambut baik kontennya, tak sedikit pula yang mencibir perilaku Matos. Beberapa dari netizen bahkan menyebut dirinya harus dirawat di rumah sakit jiwa.

    “Orang-orang bilang aku seharusnya dirawat di rumah sakit jiwa karena mereka percaya kami memperlakukan boneka-boneka itu seperti anak sungguhan,” katanya.

    “Padahal tidak demikian, itu sangat menyedihkan,” sambung Matos.

    Salah satu bentuk boneka replika bayi yang sangat realistis, dan banyak dibeli oleh wanita Brazil. Foto: AFP/NELSON ALMEIDA

    Tren mengasuh boneka ini menjadi sorotan di Brazil setelah sekelompok kolektor melakukan pertemuan di sebuah taman di Sao Paulo. Netizen terbagi menjadi dua kelompok, ada yang mencibir perilaku tersebut, ada yang menganggapnya hanya hobi biasa.

    Kolektor sekaligus pemilik toko boneka bayi Alana Generoso menegaskan pelanggan yang datang ke tempatnya adalah orang-orang yang waras. Ia mengklaim apa yang ditawarkan di tokonya adalah ‘mimpi’, bukan sekedar boneka biasa.

    Toko yang dibuat Alana didesain khusus seperti rumah sakit bersalin yang otentik lengkap dengan inkubator. Meski mengakui ada beberapa orang yang merawat boneka seakan bayi sungguhan, Alana menyebut jumlahnya tidak banyak.

    “Banyak anak-anak datang ke toko, begitu pula orang dewasa yang menjalani kehidupan normal,” kata Alana.

    NEXT: Termasuk gangguan jiwa?

    Psikolog Viviane Cunha menjelaskan mengoleksi boneka bayi belum tentu bisa dikatakan sebagai gangguan jiwa. Menurutnya, ini hanya bisa dikategorikan gangguan jiwa jika hobi tersebut menyebabkan kerugian sosial, emosional, atau ekonomi.

    “Jika misalnya mereka membolos kerja karena ‘bayinya demam’, dan ia meyakini hal itu benar, maka ia membutuhkan bantuan profesional,” jelas Viviane.

    Viviane menyebut tren ini mungkin berhubungan dengan epidemi kesepian global yang oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dikaitkan dengan pembatasan sosial selama pandemi COVID-19.

    “Saya pikir boneka itu muncul dari pencarian ikatan atau koneksi emosional,” tandasnya.

  • COVID ‘Ngamuk’ di Thailand, Disebut Jadi Pemicu Kematian Terbanyak dalam Sebulan

    COVID ‘Ngamuk’ di Thailand, Disebut Jadi Pemicu Kematian Terbanyak dalam Sebulan

    Jakarta – Seorang dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Chulalongkorn, Assoc Prof Dr Thira Woratanarat telah mendesak masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap jenis baru virus COVID-19. Ia memperingatkan, COVID adalah penyebab utama penyakit dan kematian selama bulan dan minggu terakhir di Thailand.

    Dikutip dari The Nation, dalam sebuah unggahan Facebook, Dr Thira mengatakan dalam sebulan terakhir, sekitar 170 ribu orang dirawat di rumah sakit karena COVID-19, yang memicu 37 kematian. Sebagai perbandingan, hanya satu kematian yang dilaporkan akibat influenza selama periode yang sama.

    Pada periode 18 hingga 24 Mei, COVID-19 terus menyebabkan jumlah penyakit dan kematian tertinggi di antara warga Thailand. Jumlah kasus COVID lima kali lebih banyak daripada kasus diare, sepuluh kali lebih banyak daripada kasus influenza, dan 30 kali lebih banyak daripada kasus keracunan makanan.

    Dr Thira menekankan, meski COVID telah menjadi endemik, penyakit ini tidak boleh dianggap remeh sebagai penyakit ringan. Ia menjelaskan COVID tidak sama dengan flu biasa dan biasanya tidak menimbulkan gejala ringan seperti influenza.

    Ia menghimbau masyarakat untuk mewaspadai gejala-gejala dan bertindak secara bertanggung jawab guna mencegah penyebaran virus di lingkungan masyarakat.

    Di sisi lain, Dr Thira juga menyebutkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) saat ini tengah memantau varian LP.8.1 dan NB.1.8.1.

    Varian LP.8.1 kini menyumbang sekitar 39 persen infeksi di 51 negara. Sementara itu, varian NB.1.8.1 terus meningkat, dengan tingkat infeksi 10,7 persen di 22 negara.

    WHO telah mengklasifikasikan NB.1.8.1 sebagai variant under monitoring (VUM) karena lebih cepat menyebar atau menular dibandingkan LP.8.1, serta mampu menghindari kekebalan tubuh 1,5 hingga 1,6 kali lebih besar terhadap perlindungan dari vaksin atau infeksi sebelumnya.

    (suc/kna)

  • COVID-19 Naik Lagi, Benarkah Cuma Propaganda? Ini Faktanya

    COVID-19 Naik Lagi, Benarkah Cuma Propaganda? Ini Faktanya

    Jakarta

    Setelah pencabutan status Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) oleh WHO pada Mei 2023, ancaman COVID-19 perlahan memang mulai terabaikan. Namun sebenarnya, virus ini belum sepenuhnya hilang. Kasus penularan tetap ada dan fluktuatif, dengan lonjakan terbaru terjadi di berbagai negara akibat varian baru NB.1.8.1, turunan dari Omicron JN.1.

    India mencatat lonjakan signifikan, dari 257 kasus aktif pada 22 Mei menjadi 3.758 kasus pada awal Juni 2025. Lonjakan serupa terjadi di West Bengal, dengan peningkatan lebih dari 20 kali lipat dalam dua minggu terakhir. Meskipun sebagian besar kasus bersifat ringan, rumah sakit di Kolkata telah menambah kapasitas isolasi untuk mengantisipasi peningkatan pasien.

    Di Australia, varian NB.1.8.1 menyebabkan peningkatan kasus, terutama di Tasmania. Otoritas kesehatan mendesak warga untuk mendapatkan vaksinasi booster COVID-19 dan vaksin flu, mengingat rendahnya tingkat vaksinasi pasca status PHEIC dicabut.

    Kondisi yang tidak jauh berbeda terjadi di Singapura dan Thailand. Dalam sepekan, kedua negara tersebut mencatat lebih dari 15 ribu kasus. Bahkan, Thailand melaporkan sekitar 200 ribu infeksi COVID-19 sepanjang 2025.

    Lain halnya dengan Indonesia, imbas testing COVID-19 menurun, ‘hanya’ terlaporkan 75 kasus sejak awal 2025. Pakar epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menilai total kasus di lapangan bisa jauh lebih tinggi dari yang tercatat resmi.

    “Kalau naik pun nggak terdeteksi juga, nggak ada yang mau testing. Siapa sekarang yang mau testing, orang mungkin juga nggak bergejala. Testing kan nggak murah dan bukan jaman seperti COVID-19 yang tesnya bisa gratis,” jelas Pandu kepada detikcom, Senin (2/6/2025).

    Kenaikan kasus COVID-19 yang terkesan ‘tiba-tiba’ memicu beragam spekulasi, termasuk dugaan adanya propaganda terselubung. Ada yang menganggap tren tersebut seolah-olah dibuat dengan maksud dan kepentingan tertentu.

    Faktanya, meski status PHEIC atau ‘pandemi’ dalam istilah awam, dicabut, seluruh dunia belum benar-benar ‘terbebas’ dari virus COVID-19. Artinya, virus tetap bersirkulasi atau menularkan, tetapi menjadi tidak ‘ganas’ dan hanya memicu gejala ringan, atau bisa tidak bergejala sama sekali.

    Hal ini terjadi karena program vaksinasi COVID-19 yang sudah dilakukan di banyak negara. Indonesia misalnya, lebih dari 80 persen masyarakat di Tanah Air sudah menerima dua dosis vaksin COVID-19.

    Pandu juga menilai hal ini yang menjadi keuntungan Indonesia dalam menghadapi virus maupun mutasi COVID-19 belakangan. Kasus kematian bisa ditekan hingga 0 laporan, berdasarkan catatan Kemenkes RI sepanjang 2025. Pandu juga meyakini kenaikan kasus COVID-19 di banyak negara tidak perlu disikapi dengan kepanikan, termasuk mendadak berburu vaksinasi COVID-19 tambahan.

    “Kalau divaksinasi lagi nggak perlu, nggak ada evidence based vaksinasi ulang itu bisa menangani, karena imunitas yang ada saat ini sudah cukup memadai. Nanti kan jadi kontraproduktif Menkes (dituduh) jualan vaksin lagi,” beber Pandu.

    “Kita juga kan sangat beruntung sama menggunakan Sinovac, vaksin yang cukup andal, Sinovac kan virus utuh, kalau mRNA kan cuma bagian dari virus, yang suka berubah nah itu yang mengkhawatirkan di banyak negara, kalau Indonesia sih nggak perlu khawatir,” pungkasnya.

    NEXT: COVID-19 Cuma Propaganda?

    COVID-19 Cuma Propaganda?

    Mari dilihat dari laporan kasus COVID-19 setiap tahun. Catatan Our Wold in Data menunjukkan puncak kasus COVID-19 dunia terjadi pada 21 Juni 2022 dengan hampir 4 juta kasus dalam 24 jam. Sementara puncak kematian terjadi di tahun sebelumnya yakni 21 Januari 2021, mencapai 17.049 per hari.

    Tren kasus maupun kematian karena COVID-19 berangsur menurun signifikan tetapi tidak pernah benar-benar ‘lenyap’.

    Terendah konsisten di angka 2 ribu kasus selama periode Juni 2023 hingga akhir 2024. Pemicunya tidak lain karena kondisi kekebalan imunitas tubuh dan mutasi virus yang dapat memengaruhi tingkat penularan dan efektivitas vaksin.

    Kabar baiknya, sifat virus COVID-19 belakangan sudah tidak lagi mematikan, meskipun catatan infeksi melonjak. Meski begitu, pakar epidemiologi Dicky Budiman mengingatkan risiko yang bisa muncul di balik infeksi berulang.

    “Memang beruntungnya kita saat ini COVID-19 secara akut tidak menjadi masalah, ketika terinfeksi yasudah gejala-nya ringan,” beber dia kepada detikcom, Selasa (2/6).

    “Tapi ingat COVID-19 ini kalau berulang-ulang ada fase kronis lanjutan yang serius yang disebut dengan long COVID-19 yang cuma tidak bermasalah pada bagian paru-paru, tetapi ke jantung, dan organ lain,” sorot dia.

    Dihubungi terpisah, Hermawan Saputra dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) juga mewanti-wanti kemungkinan risiko fatal tidak hilang sepenuhnya. Terutama pada mereka dengan kelompok rentan. Hal ini terlihat dari laporan Thailand yang mencatat 50-an kasus kematian dari 200 ribu infeksi COVID-19.

    “Kasus-kasus lupus, kelainan-kelainan bawaan, orang dengan hipersensitivitas, itu sangat berisiko. Artinya daya tahannya, imunitasnya tidak optimal, kedua adalah orang-orang lanjut usia dan orang-orang yang punya penyakit komorbid, istilahnya, terutama pneumonia berat karena asma, kemudian ada penyakit-penyakit diabetes, itu yang harus dilindungi lebih awal,” beber dia, kepada detikcom Senin (2/6).

    Menurutnya, pemerintah perlu melakukan skrining utamanya di pintu-pintu masuk dan pemeriksaan whole genome sequencing (WGS) memastikan subvarian yang dominan menyebar, meski sebagian besar karakteristik virus bersifat ringan. Hal ini tetap perlu dilakukan sebagai kewaspadaan menghadapi risiko lonjakan kasus.

    Ia tidak menampik kemungkinan beberapa orang kemudian berspekulasi dan menganggap COVID-19 sebagai teori konspirasi saat lonjakan terkesan tiba-tiba terjadi.

    “Yang perlu dipahami adalah COVID-19 itu masih ada, dia selalu ada di sekitar kita, yang membedakan saat status PHEIC dicabut, karakteristik virus maupun gejalanya saat ini relatif ringan, tidak lagi memicu gejala berat, atau kasus rawat inap, karena sudah terbentuk imunitas atau kekebalan terhadap infeksi di masyarakat, baik dari paparan maupun vaksinasi,” lanjutnya.

    NEXT: Endemik tak berarti hilang dari peredaran

    Hermawan menyebut status COVID-19 saat ini sudah menjadi endemik seperti penyakit menular lain, misalnya demam berdarah dengue (DBD). Artinya, virus tetap ada tetapi dinilai tidak lagi mengkhawatirkan.

    Senada, Dicky menyebut penyangkalan akan keberadaan COVID-19 akan selalu terjadi. Terlebih, secara psikologis pandemi COVID-19 kala itu membuat banyak orang terganggu dalam segala aktivitas dan memicu kerugian serta dampak besar bagi beberapa orang secara finansial, karena mobilitas yang mendadak dibatasi. Tidak heran, kemudian muncul penyangkalan dari situasi COVID-19 belakangan.

    “Kita tidak bisa mengandalkan penyangkalan untuk kemudian meniadakan penyakit itu. Tidak akan hilang,” tegas dia.

    “Lebih bijak yang bisa dilakukan saat ini tetap menjaga perilaku hidup bersih sehat, memakai masker, mencuci tangan,” tutupnya.

    Saksikan Live DetikSore:

  • Kasus Aktif COVID-19 di India Meroket, Naik 1.200 Persen dalam Sepekan

    Kasus Aktif COVID-19 di India Meroket, Naik 1.200 Persen dalam Sepekan

    Jakarta

    India merupakan salah satu negara di Asia yang mengalami kenaikan kasus COVID-19. Menurut data Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan India, ada 3.395 kasus aktif COVID-19 hingga Sabtu pagi. Jumlah tersebut naik sekitar 1.200 persen bila dibandingkan dengan pekan lalu.

    India memiliki 257 kasus aktif pada 22 Mei dan 1.010 pada 26 Mei. Sedangkan pada 27-28 Mei, tercatat sebanyak 685 kasus COVID-19 baru dengan empat kematian.

    Dikutip dari NDTV, Kerala menjadi negara bagian dengan jumlah kasus tertinggi dengan 189 kasus baru pada 27 Mei, dan memiliki 1.336 kasus aktif. Posisinya diikuti Maharashtra 467 kasus, Delhi 375 kasus, Gujarat 265 kasus, Karnataka 234 kasus, Benggala Barat 205 kasus, Tamil Nadu 185 kasus, dan Uttar Pradesh 117 kasus.

    Lalu, ada juga Rajasthan dengan 60 kasus, Puducherry 41 kasus, Haryana 26 kasus, Andhra Pradesh 17 kasus dan Madhya Pradesh 16 kasus. Sepanjang tahun 2025, India mencatat 26 kematian akibat COVID-19.

    Indian Council of Medical Research (ICMR) menyatakan hasil sekuens genom terhadap sampel di wilayah barat dan selatan menunjukkan varian baru tersebut merupakan sub-varian omicron. Strain tersebut menjadi penyebab gelombang besar COVID di India pada tahun 2022.

    “Varian tersebut adalah LF.7, XFG, JN.1, dan NB.1.8.1. Tiga varian pertama lebih umum,” kata Kepala ICMR, Dr Rajiv Behl.

    Dr Rajiv juga telah mengonfirmasi telah terjadi peningkatan kasus COVID-19 di wilayah selatan, kemudian barat, dan sekarang utara India. Menurutnya, semua kasus dipantau melalui Integrated Disease Surveillance Programme (IDSP).

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bulan lalu telah mengklasifikasikan subvarian LF.7 dan NB.1.8.1 sebagai Variant Under Monitoring (VUM). WHO menyarankan vaksinasi booster sebagai langkah pencegahan keparahan gejala, khususnya untuk kelompok rentan.

    “Meskipun terjadi peningkatan kasus dan rawat inap di beberapa negara tempat NB.1.8.1 tersebar luas, data saat ini tidak menunjukkan bahwa varian ini menyebabkan penyakit yang lebih parah daripada varian lain yang beredar,” kata WHO.

    (avk/up)

  • Luas Rumah Subsidi Mau Dipersempit jadi Type 18, Wamen Fahri Hamzah Ngeles: Justru Mau Diperlebar

    Luas Rumah Subsidi Mau Dipersempit jadi Type 18, Wamen Fahri Hamzah Ngeles: Justru Mau Diperlebar

    GELORA.CO – Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Pemukiman (PKP) Fahri Hamzah mengatakan pengurangan ukuran rumah subsidi belum diputuskan oleh pemerintah. Hal ini disampaikan usai beredarnya draf aturan batas minimal rumah subsidi diperkecil menjadi 25 meter.

    “Sebenarnya itu belum diputuskan. Sebenarnya itu belum diputuskan. Karena yang benar adalah justru ukurannya dibesarkan. Jadi ada perdebatan itu, yang benar adalah harusnya ukurannya dibesarkan. Dari ukuran yang sekarang itu 36, 40, paling tidak 40 meter persegi,” kata Fahri di Cibubur, Jawa Barat, Minggu (1/6/2025).

    Fahri berdalih, pemerintah justru tengah mempertimbangkan untuk memperluas ukuran dari rumah subsidi tersebut agar sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SGDs).

    “Kita mau justru arahnya ke sana. Sebab standar bagi SDGs itu kira-kira 7,2 meter persegi. Itu SDGs ya, kita harus pakai itu. Tidak boleh dikecilkan itu karena itu standarnya. Kalau rumah itu mau dinyatakan layak, maka kita harus pakai SDGs,” ujar Fahri.

    Sebelumnya, beredar draf aturan baru Kementerian PKP soal ukuran rumah subsidi, akan ada perubahan spesifikasi pembangunan rumah subsidi terkait luas tanah dan luas lantai. Makin jauh dari standar rumah layak huni.

    Dalam draf Keputusan Menteri (Kepmen) PKP Nomor/KPTS/M/2025 menjelaskan, luas bangunan rumah umum tapak ditetapkan paling rendah 25 meter persegi, dan paling tinggi 200 meter persegi. Sedangkan luas lantai rumah ditetapkan paling rendah 18 meter persegi, dan paling tinggi 35 meter persegi.

    Adapun ketentuan luas tanah minimal ini lebih kecil bila dibandingkan aturan sebelumnya, yakni Keputusan Menteri PUPR Nomor 689/KPTS/M/2023. Dalam aturan ini batasan luas tanah rumah tapak minimal 60 meter persegi.

    Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah menilai standar baru tersebu malah membuat rumah subsidi jadi kurang layak. Menteri PKP Maruarar Sirait (Ara) diingatkan untuk tak terburu-buru, harus ada kajian khusus sebelum ambil keputusan.

    “Kalau (luas) tanah rasanya 25 meter persegi tidak manusiawi, dipastikan masyarakat berpenghasilan rendah tidak bisa memperluas bangunan, kecuali tambahan lantai dua. Namun, itu dipastikan sulit, biaya konstruksinya mahal, akan berpotensi masyarakat berpenghasilan rendah ’topengan’ yang memanfaatkan,” tutur Junaidi saat dihubungi wartawan di Jakarta, Minggu (1/6/2025).

    Standar baru tersebut, dikhawatirkan akan menimbulkan risiko negatif. Kekumuhan bisa tak terhindarkan sehingga tidak sehat bagi tumbuh kembang anak karena luasan tempat tinggal yang kurang. Selain itu, pemilik rumah juga tidak dapat menambah luas bangunan. Secara tidak langsung aturan ini membuat rumah subsidi hanya akan bersifat sementara, tidak ideal sebagai rumah masa depan. Harga jual juga dapat disalahgunakan pengembang jika tidak dibatasi di wilayah tertentu.

    ”Saya setuju hanya diberlakukan di kota metropolitan atau kota besar saja. Untuk di luar daerah tersebut, tetap berlaku pada ketentuan yang sudah ada. Tipe 18 cocok untuk rumah indekos atau kontrakan,” kata Junaidi.

    Asal tahu saja, standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), luas minimal rumah sederhana untuk keluarga berjumlah empat orang adalah 36 meter persegi. Itu artinya, standar minimal tiap jiwa seluas 9 meter persegi. Sementara, jika mengacu persyaratan rumah layak huni versi Standar Nasional Indonesia (SNI), luasnya minimal 7,2 meter persegi per jiwa atau 28,8 meter persegi untuk satu keluarga berjumlah empat orang.

  • Thailand ‘Dihantui’ Varian Baru COVID-19, Ada Kasus Kematian

    Thailand ‘Dihantui’ Varian Baru COVID-19, Ada Kasus Kematian

    Jakarta

    Pemerintah Thailand mewaspadai varian baru COVID-19 NB.1.8.1 yang menyebar belakangan ini. Warga diminta waspada dan mengikuti langkah-langkah pencegahan.

    Deputi juru bicara pemerintah Anukool Pruksanusak mengumumkan pada Sabtu (31/5/2025), situasi makin mengkhawatirkan. Mengutip WHO, COVID-19 disebutnya meningkat secara signifikan di Pasifik Barat, Asia Tenggara, dan Mediterania Timur.

    Persebaran virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 meningkat sejak pertengahan Februari, dengan positivity rate mencapai 11 persen. Angka ini tercatat paling tinggi sejak Juli 2024.

    Dikutip dari The Nation, varian baru NB.1.8.1 mengalami perkembangan pesat. Varian ini merupakan subvarian dari XDC.1.5.1 yang juga adalah turunan dari varian JN.1.

    Pada pertengahan Mei 2025, varian ini telah mencakup 10,7 persen dari sekuens genetik global, dari yang hanya 2,5 persen empat pekan sebelumnya. Meski terbilang masih minoritas, varian ini mengalami peningkatan pesat khususnya di Pasifik barat (dari 8,9 persen menjadi 11,7 persen), Amerika (dari 1,6 persen menjadi 4,9 persen), dan Eropa (dari 1,0 persen menjadi 6,0 persen).

    Di Asia Tenggara, baru ada 5 kasus yang dilaporkan dan hingga kini belum ada laporan di Afrika dan Mediterania Timur.

    Sementara itu, Thailand melaporkan 41.283 kasus baru pada 30 Mei 2025 dengan 2 kasus kematian. Area metropolitan Bangkok mencatat jumlah kasus paling tinggi, disusul Provinsi Chonburi. dengan laju infeksi paling tinggi di kalangan dewasa-bekerja, pelajar, anak, dan lansia.

    NEXT: Indonesia mengeluarkan Imbauan

    Surat edaran Kementerian Kesehatan RI tentang kewaspadaan COVID-19 menyebut peningkatan kasus di kawasan Asia terjadi sejak minggu ke-12 tahun 2025. Varian XEC dan JN.1 dalam edaran tersebut dilaporkan paling dominan di Thailand.

    Merespons kewaspadaan tersebut, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) menyampaikan imbauan bagi yang berencana bepergian ke luar negeri. Selain memantau perkembangan COVID-19 melalui kanal resmi, Kemlu juga mengimbau untuk menerapkan protokol kesehatan berikut:

    Menerapkan Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS).Cuci tangan dengan air mengalir dan menggunakan sabun atau menggunakan hand sanitizer.Menggunakan masker bagi yang sakit atau jika berada di kerumunan.Segera ke fasilitas kesehatan apabila mengalami gejala infeksi saluran pernafasan dan ada riwayat kontak dengan faktor risiko.

    Simak Video “Video Update Situasi Kasus Covid-19 di Indonesia”
    [Gambas:Video 20detik]