NGO: WHO

  • Varian Baru COVID ‘Stratus’ Dominan di RI, Masuk Daftar ‘Pantauan’ WHO

    Varian Baru COVID ‘Stratus’ Dominan di RI, Masuk Daftar ‘Pantauan’ WHO

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) melaporkan varian baru COVID-19 bernama XFG atau ‘Stratus’ kini menjadi varian yang paling dominan di Indonesia. Pada Mei 2025, varian ini terdeteksi pada 75 persen spesimen, dan meningkat tajam hingga mencakup 100 persen kasus pada Juni.

    Selain XFG, Kemenkes juga mendeteksi varian XEN yang terdeteksi sebesar 25 persen pada Mei.

    “Total kasus COVID-19 dari M1-M30 tahun 2025 sebanyak 291 kasus dari total 12.853 spesimen diperiksa (positivity rate 2,26 persen). Jumlah kasus COVID-19 pada sentinel site hingga M25 berjumlah 82 kasus dari 2.613 spesimen diperiksa,” tutur Kemenkes,” demikian laporan Kemenkes RI, dikutip Minggu (27/7/2025).

    Stratus Masuk Daftar Variant Under Monitoring (VUM)

    XFG atau Stratus adalah varian SARS-CoV-2 yang merupakan hasil rekombinasi dari subvarian LF.7 dan LP.8.1.2, dengan sampel pertama dikumpulkan pada 27 Januari 2025. Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Juni 2025, mengungkapkan XFG masuk ke dalam daftar Variant Under Monitoring (VUM) lantaran proporsinya yang terus meningkat secara global.

    Meski begitu, berdasarkan bukti yang tersedia, risiko tambahan terhadap kesehatan masyarakat yang ditimbulkan oleh XFG dievaluasi rendah pada tingkat global. Vaksin COVID-19 yang saat ini telah disetujui diperkirakan masih efektif melindungi dari gejala dan penyakit berat akibat varian ini.

    “Meskipun ada peningkatan kasus dan rawat inap yang dilaporkan di beberapa negara [Kawasan Asia Tenggara], yang memiliki proporsi XFG tertinggi, tidak ada laporan yang menunjukkan bahwa tingkat keparahan penyakit terkait lebih tinggi dibandingkan dengan varian yang beredar lainnya,” kata WHO.

    Istilah VUM digunakan untuk memberi sinyal kepada otoritas kesehatan masyarakat suatu varian SARS-CoV-2 berpotensi memerlukan perhatian dan pemantauan lebih lanjut.

    Tujuan utama penetapan status VUM untuk menilai apakah varian tersebut, beserta varian yang terkait dengannya, menimbulkan risiko tambahan terhadap kesehatan masyarakat global dibandingkan varian lain yang sedang beredar.

    Sementara itu, hanya terdapat satu varian COVID-19 yang saat ini masuk dalam kategori Variant of Interest (VOI), yaitu JN.1. Varian ini diketahui telah menyebar di 144 negara.

    VOI adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan varian SARS-CoV-2 yang memiliki perubahan genetik yang berpotensi memengaruhi perilaku virus atau dampaknya terhadap kesehatan manusia.

    Gejala Varian Baru COVID Stratus

    Varian COVID-19 Stratus memiliki gejala khas. dokter umum di Harley Street sekaligus Pendiri Hannah London Clinic, dr Kaywaan Khan, salah satu gejala khas varian Stratus adalah suara serak atau parau.

    dr Khan menambahkan, secara umum gejala Stratus cenderung ringan hingga sedang. Meski begitu, jika seseorang dinyatakan positif, ia sebaiknya tetap tinggal di rumah dan menjalani isolasi karena varian ini sangat menular.

    “Salah satu gejala paling mencolok dari varian Stratus adalah suara serak atau parau,” ujarnya, dikutip Times of India.

    Selain itu, beberapa gejala lainnya mirip dengan varian COVID sebelumnya. Menurut National Health Service UK (NHS), gejala-gejala tersebut meliputi

    sesak napaskehilangan atau perubahan indra penciuman dan perasa,kelelahan, demam atau menggigilhidung tersumbat atau berairnyeri ototbatuk terus-menerussakit tenggorokansakit kepaladiarehilangnya nafsu makan, dan mual

    Halaman 2 dari 3

    (suc/suc)

    Varian Stratus Intai RI

    11 Konten

    COVID-19 di Indonesia kini didominasi varian XFG, atau dijuluki ‘varian stratus’. Varian ini mendominasi 75 persen kasus di bulan Mei 2025, dan 100 persen kasus di Juni.

    Konten Selanjutnya

    Lihat Koleksi Pilihan Selengkapnya

  • Varian COVID Baru ‘Stratus’ Sudah Masuk RI, Benarkah Lebih Berbahaya?

    Varian COVID Baru ‘Stratus’ Sudah Masuk RI, Benarkah Lebih Berbahaya?

    Jakarta

    Varian COVID Baru ‘Stratus’ atau XFG yang bikin lonjakan kasus di sejumlah negara kini telah terdeteksi di Indonesia. Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan RI, varian XFG atau Stratus ini kini menjadi varian paling dominan di Indonesia.

    “Pada Bulan Juni Varian dominan di Indonesia adalah XFG (75 persen pada Mei, dan 100 persen pada Juni), dan XEN (25 persen pada Mei),” demikian bunyi laporan Kemenkes, dikutip Minggu (27/7/2025).

    Hingga minggu ke-30, total kasus COVID-19 sepanjang tahun 2025 tercatat 291 kasus dari 12.853 spesimen yang diperiksa, menghasilkan positivity rate kumulatif sebesar 2,26 persen. Sementara itu, jumlah kasus yang terdeteksi di lokasi sentinel hingga minggu ke-25 mencapai 82 kasus dari 2.613 spesimen.

    Adapun positif kumulatif tahun 2025 terbanyak dilaporkan di DKI Jakarta, Jawa Timur, Banten, Jawa Barat, Sumatera Selatan, dan DI Yogyakarta.

    Benarkah Varian Stratus Lebih Berbahaya?

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan XFG sebagai variant under monitoring (VUM) dan menyatakan risiko tambahan terhadap kesehatan masyarakat yang ditimbulkan oleh varian ini dinilai rendah pada tingkat global.

    Secara global, XFG diperkirakan memiliki pertumbuhan relatif tertinggi dibandingkan dengan varian lain yang beredar saat ini, termasuk ‘Nimbus’ atau NB.1.8.1 terkini.

    “Data saat ini tidak menunjukkan varian ini menyebabkan penyakit yang lebih parah atau kematian daripada varian lain yang beredar,” kata WHO, (7/7/2025).

    Meskipun bukti menunjukkan adanya peningkatan proporsi dari varian XFG, WHO belum mengamati tanda-tanda apa pun yang menunjukkan peningkatan keparahannya.

    “Meskipun ada peningkatan kasus dan rawat inap yang dilaporkan di beberapa negara [Kawasan Asia Tenggara], yang memiliki proporsi XFG tertinggi, tidak ada laporan yang menunjukkan bahwa tingkat keparahan penyakit terkait lebih tinggi dibandingkan dengan varian yang beredar lainnya, kata WHO.

    Senada, konsultan epidemiologi di UK Health Security Agency (UKHSA) Dr Alex Allen juga menyebut sejauh ini tidak ada bukti yang menunjukkan varian XFG menyebabkan penyakit yang lebih parah daripada varian sebelumnya.

    “Merupakan hal yang normal bagi virus untuk bermutasi dan berubah seiring waktu,” kata Dr Alex Allen, konsultan epidemiologi di UK Health Security Agency (UKHSA), seraya menambahkan pihaknya terus memantau semua jenis COVID di Inggris, dikutip dari The Independent.

    (suc/suc)

  • Varian Baru COVID ‘Stratus’ Terdeteksi di RI, Punya Gejala Tak Biasa

    Varian Baru COVID ‘Stratus’ Terdeteksi di RI, Punya Gejala Tak Biasa

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) melaporkan adanya varian baru yang mendominasi di Indonesia, yakni XFG atau disebut ‘Stratus’. Laporan tersebut mencakup hasil pemantauan rutin terhadap penyakit pernapasan, termasuk influenza dan COVID-19, yang dilakukan di 39 Puskesmas, 35 rumah sakit, dan 14 Balai Karantina Kesehatan yang berfungsi sebagai sentinel site.

    Pemantauan dilakukan untuk memonitor tren penyakit, tingkat keparahan gejala, hingga karakteristik molekuler virus yang beredar. Hingga minggu ke-30, total kasus COVID-19 sepanjang tahun 2025 tercatat 291 kasus dari 12.853 spesimen yang diperiksa, menghasilkan positivity rate kumulatif sebesar 2,26 persen. Sementara itu, jumlah kasus yang terdeteksi di lokasi sentinel hingga minggu ke-25 mencapai 82 kasus dari 2.613 spesimen.

    Pada bulan Juni, varian XFG menjadi varian dominan di Indonesia, terdeteksi pada 75 persen spesimen pada bulan Mei dan meningkat menjadi 100 persen pada Juni. Selain itu, varian XEN terdeteksi sebesar 25 persen pada Mei, namun tidak ditemukan pada bulan Juni.

    Varian ini juga memicu peningkatan kasus di beberapa negara, termasuk Inggris, bahkan menjadi strain yang paling dominan di negara tersebut. XFG telah ditetapkan sebagai variant under monitoring (VUM) oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) karena proporsinya yang terus meningkat secara global.

    Adapun XFG adalah varian SARS-CoV-2 rekombinan dari subvarian LF.7 dan LP.8.1.2, dengan sampel pertama dikumpulkan pada 27 Januari 2025.

    Pada bulan Mei, varian Stratus tercatat menyumbang 10 persen dari seluruh kasus COVID-19 di Inggris. Namun, pada pertengahan Juni, angkanya melonjak menjadi 40 persen. Saat ini, terdapat dua subvarian Stratus yang beredar, yaitu XFG dan XFG.3. Meski begitu, hanya varian XFG yang masuk ke dalam daftar VUM.

    Gejala Tak Biasa Varian COVID ‘Stratus’

    Dokter umum di Harley Street sekaligus Pendiri Hannah London Clinic, dr Kaywaan Khan mengatakan Stratus memiliki mutasi spesifik pada protein spike (lonjakan) yang memungkinkannya menghindari antibodi dari infeksi sebelumnya maupun vaksinasi, tidak seperti varian lainnya.

    dr Khan menegaskan Stratus tidak tampak lebih berat atau lebih parah dibandingkan varian sebelumnya. Namun, ada satu gejala yang dinilai cukup khas.

    “Salah satu gejala paling mencolok dari varian Stratus adalah suara serak atau parau,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa secara umum, gejala Stratus tergolong ringan hingga sedang.

    Ia juga menyarankan, apabila seseorang mendapatkan hasil tes positif, sebaiknya tetap tinggal di rumah dan menjalani isolasi, karena Stratus merupakan varian yang sangat mudah menular.

    Halaman 2 dari 2

    (suc/suc)

  • Nggak Kaleng-kaleng, Ternyata Ini Manfaat Jalan Kaki 7.000 Langkah Per Hari

    Nggak Kaleng-kaleng, Ternyata Ini Manfaat Jalan Kaki 7.000 Langkah Per Hari

    Jakarta

    Orang yang rutin berjalan kaki 7.000 langkah per hari memiliki risiko jauh lebih rendah terhadap berbagai masalah kesehatan serius, menurut ulasan terbesar sejauh ini yang dipublikasikan pada Kamis lalu.

    Selama ini, target 10.000 langkah sehari sering digadang-gadang sebagai angka ideal, padahal angka tersebut awalnya berasal dari kampanye pemasaran pedometer di Jepang pada tahun 1960-an, bukan dari penelitian ilmiah.

    Untuk menemukan target yang lebih berdasar secara ilmiah, tim peneliti internasional menganalisis 57 studi sebelumnya yang melibatkan 160.000 orang. Hasilnya, yang diterbitkan dalam jurnal The Lancet Public Health, menunjukkan berjalan 7.000 langkah per hari hampir memangkas separuh risiko kematian dini akibat berbagai penyebab, dibandingkan hanya berjalan 2.000 langkah.

    Studi ini juga menelusuri hubungan antara jumlah langkah dengan sejumlah kondisi kesehatan yang sebelumnya jarang diteliti. Hasilnya, berjalan 7.000 langkah per hari dikaitkan dengan penurunan risiko demensia sebesar 38 persen, depresi 22 persen, dan diabetes 14 persen. Penurunan risiko kanker dan jatuh juga ditemukan, meski dengan bukti yang masih terbatas.

    “Anda tidak perlu mencapai 10.000 langkah sehari untuk mendapatkan manfaat kesehatan yang signifikan,” ujar Paddy Dempsey, salah satu penulis studi dan peneliti medis di Cambridge University kepada AFP, dikutip dari Hindu Times.

    “Peningkatan terbesar terjadi sebelum 7.000 langkah, dan setelah itu manfaatnya cenderung menurun,” ujarnya lagi.

    Meski kecepatan berjalan tiap orang berbeda, 7.000 langkah kira-kira setara dengan berjalan kaki selama satu jam dalam sehari. Dempsey juga menyarankan agar orang yang sudah mencapai 10.000 langkah tetap mempertahankan kebiasaan sehat tersebut.

    Namun bagi yang merasa angka 7.000 langkah terasa berat, Dempsey mengatakan jangan berkecil hati.

    “Jika Anda hanya berjalan 2.000-3.000 langkah sehari, usahakan untuk menambah 1.000 langkah. Itu hanya 10-15 menit jalan kaki ringan yang tersebar sepanjang hari,” ujarnya.

    Andrew Scott, peneliti dari Portsmouth University yang tidak terlibat dalam studi ini, menambahkan semakin aktif bergerak, semakin baik. Namun, penting juga untuk tidak terlalu terpaku pada angka, terutama pada hari-hari ketika aktivitas fisik lebih terbatas.

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga merekomendasikan minimal 150 menit aktivitas fisik intensitas sedang hingga tinggi setiap minggu. Sayangnya, hampir sepertiga populasi dunia belum memenuhi rekomendasi tersebut.

    (suc/suc)

  • Data Ngeri PBB Ungkap Sepertiga Warga Gaza Tak Makan Berhari-hari

    Data Ngeri PBB Ungkap Sepertiga Warga Gaza Tak Makan Berhari-hari

    Jakarta

    Penderitaan warga di Gaza seperti tak kunjung usai. Di tengah gempuran Israel, kelaparan massal kini turut mereka rasakan.

    Badan bantuan pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan bahwa nyaris sepertiga warga Gaza “tidak makan selama berhari-hari” saat kelaparan massal menyelimuti daerah kantong Palestina yang dilanda perang sejak Oktober 2023 lalu.

    Krisis kemanusiaan di Jalur Gaza, sebut badan bantuan pangan PBB Program Pangan Dunia (WFP), seperti dilansir AFP, Sabtu (26/7/2025), telah mencapai “tingkat keputusasaan yang baru dan mencengangkan”.

    WFP yang berbasis di Roma, Italia, sebelumnya telah memperingatkan “risiko kelaparan kritis” di Jalur Gaza yang dilanda perang tanpa henti. Israel telah menuai kecaman internasional atas situasi terkini di wilayah tersebut.

    “Hampir satu dari tiga orang tidak makan selama berhari-hari. Malnutrisi meningkat dengan 90.000 perempuan dan anak-anak sangat membutuhkan perawatan,” sebut WFP dalam pernyataannya pada Jumat (25/7).

    470 Ribu Orang di Gaza Terancam Kelaparan

    Disebutkan oleh WFP bahwa sekitar 470.000 orang di Jalur Gaza diperkirakan akan menghadapi “bencana kelaparan” atau “catastrophic hunger” — kategori paling parah dalam klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu PBB — antara Mei dan September tahun ini.

    “Bantuan pangan adalah satu-satunya cara bagi masyarakat untuk mengakses makanan karena harga pangan sedang melambung tinggi,” kata WFP dalam pernyataannya.

    “Banyak orang sekarat karena kurangnya bantuan kemanusiaan,” imbuh pernyataan WFP tersebut.

    Palestinians inspect the damage at an UNRWA school sheltering displaced people that was hit in an Israeli air strike on Sunday, in Gaza City, June 30, 2025. REUTERS/Mahmoud Issa Foto: REUTERS/Mahmoud Issa

    Kelompok-kelompok bantuan kemanusiaan telah memperingatkan akan melonjaknya jumlah anak-anak yang mengalami kekurangan gizi di Jalur Gaza, yang diblokade Israel pada Maret lalu di tengah perangnya melawan kelompok Hamas.

    Israel sebelumnya membantah sebagai penyebab kelaparan massal di Jalur Gaza. Bantahan itu disampaikan setelah kritikan internasional semakin meningkat yang menuduh Tel Aviv berada di balik kekurangan pangan kronis yang memicu kelaparan massal yang kini menyelimuti berbagai wilayah Jalur Gaza.

    Israel Bantah Jadi Pemicu Kelaparan

    Sebanyak 111 organisasi kemanusiaan dan hak asasi manusia (HAM), dalam pernyataan bersama pada Rabu (23/7), menyatakan bahwa “kelaparan massal” sedang menyebar di Jalur Gaza.

    Kepala Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, juga turut berkomentar mengatakan bahwa “sebagian besar penduduk Gaza mengalami kelaparan”. Dia bahkan menyebut kelaparan massal itu merupakan “buatan manusia”, namun tanpa menyebut nama Israel.

    Reaksi keras diberikan Israel, dengan juru bicara pemerintah Israel, David Mencer, menegaskan Israel tidak memicu kelaparan massal di Jalur Gaza. Tel Aviv justru menyalahkan kelompok Hamas yang dituding secara sengaja menciptakan krisis kemanusiaan di wilayah Jalur Gaza.

    “Tidak ada kelaparan yang disebabkan oleh Israel. Ada kekurangan (pasokan) buatan manusia yang diatur oleh Hamas,” tegas Mencer dalam pernyataannya.

    25 Orang Tewas dalam Serangan Terbaru Israel, Mayoritas Korban Sedang Cari Bantuan

    Sedikitnya 25 orang tewas akibat rentetan serangan udara dan tembakan pasukan Israel di Jalur Gaza pada Sabtu (26/7) dini hari. Sebagian besar korban kehilangan nyawa saat menunggu truk bantuan kemanusiaan.

    Palestinians walk with aid supplies which they received from the U.S.-backed Gaza Humanitarian Foundation, in the central Gaza Strip, May 29, 2025. REUTERS/Ramadan Abed REFILE – CORRECTING LOCATION FROM “NEAR AN AREA OF GAZA KNOWN AS THE NETZARIM CORRIDOR” TO “IN THE CENTRAL GAZA STRIP”. Foto: REUTERS/Ramadan Abed

    Staf rumah sakit Shifa, yang menjadi tempat jenazah korban dibawa, seperti dilansir Associated Press dan AFP, Sabtu (26/7/2025), melaporkan sebagian besar korban tewas akibat tembakan yang mengarah ke mereka saat menunggu truk bantuan kemanusiaan di dekat perlintasan perbatasan Zikim.

    Badan pertahanan sipil Gaza juga melaporkan bahwa “pasukan Israel menembaki orang-orang yang menunggu bantuan kemanusiaan” di barat laut Gaza City. Para saksi mata mengatakan kepada AFP bahwa ribuan orang telah berkumpul di area tersebut untuk menunggu bantuan.

    Salah satu saksi mata, Abu Hamir Hamoudeh, mengatakan bahwa militer Israel melepaskan tembakan “ketika orang-orang sedang menunggu untuk mendekati titik distribusi”, yang terletak di dekat pos militer Israel area Zikim, barat laut Sudaniyah.

    Juru bicara badan pertahanan sipil Gaza, Mahmud Bassal, mengatakan kepada AFP bahwa empat warga Palestina tewas akibat serangan udara di area Al-Rimal, Gaza City, di bagian utara Jalur Gaza.

    Satu orang lainnya tewas akibat serangan drone di dekat Khan Younis, Jalur Gaza bagian selatan. Sedangkan tembakan artileri di kamp Al-Bureij di Jalur Gaza bagian tengah, menurut badan pertahanan sipil Gaza, menewaskan satu orang lainnya.

    Halaman 2 dari 3

    (ygs/ygs)

  • Serangan Israel Tewaskan 25 Orang di Gaza, Mayoritas Saat Tunggu Bantuan

    Serangan Israel Tewaskan 25 Orang di Gaza, Mayoritas Saat Tunggu Bantuan

    Gaza City

    Sedikitnya 25 orang tewas akibat rentetan serangan udara dan tembakan pasukan Israel di Jalur Gaza pada Sabtu (26/7) dini hari. Sebagian besar korban kehilangan nyawa saat menunggu truk bantuan kemanusiaan.

    Staf rumah sakit Shifa, yang menjadi tempat jenazah korban dibawa, seperti dilansir Associated Press dan AFP, Sabtu (26/7/2025), melaporkan sebagian besar korban tewas akibat tembakan yang mengarah ke mereka saat menunggu truk bantuan kemanusiaan di dekat perlintasan perbatasan Zikim.

    Badan pertahanan sipil Gaza juga melaporkan bahwa “pasukan Israel menembaki orang-orang yang menunggu bantuan kemanusiaan” di barat laut Gaza City. Para saksi mata mengatakan kepada AFP bahwa ribuan orang telah berkumpul di area tersebut untuk menunggu bantuan.

    Salah satu saksi mata, Abu Hamir Hamoudeh, mengatakan bahwa militer Israel melepaskan tembakan “ketika orang-orang sedang menunggu untuk mendekati titik distribusi”, yang terletak di dekat pos militer Israel area Zikim, barat laut Sudaniyah.

    Juru bicara badan pertahanan sipil Gaza, Mahmud Bassal, mengatakan kepada AFP bahwa empat warga Palestina tewas akibat serangan udara di area Al-Rimal, Gaza City, di bagian utara Jalur Gaza.

    Satu orang lainnya tewas akibat serangan drone di dekat Khan Younis, Jalur Gaza bagian selatan. Sedangkan tembakan artileri di kamp Al-Bureij di Jalur Gaza bagian tengah, menurut badan pertahanan sipil Gaza, menewaskan satu orang lainnya.

    Militer Israel belum memberikan tanggapan langsung atas laporan tersebut.

    Serangan-serangan itu terjadi saat perundingan gencatan senjata antara Israel dan Hamas terhenti, setelah Amerika Serikat (AS) selaku mediator dan Tel Aviv menarik tim negosiator mereka pada Kamis (24/7) waktu setempat. Langkah itu membuat masa depan perundingan semakin tidak pasti.

    Israel Pertimbangkan Opsi Alternatif Usai Perundingan Terhenti

    Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu mengatakan pada Jumat (25/7) bahwa pemerintahannya sedang mempertimbangkan “opsi alternatif” untuk perundingan gencatan senjata dengan Hamas. Netanyahu tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan “opsi alternatif” tersebut.

    Pernyataan itu disampaikan saat pejabat Hamas mengatakan perundingan diperkirakan akan dilanjutkan pekan depan. Pejabat Hamas itu juga menggambarkan penarikan delegasi perunding AS dan Israel sebagai taktik tekanan belaka.

    Mesir dan Qatar, yang juga menjadi mediator bersama AS, mengatakan jeda itu hanya sementara dan perundingan akan dilanjutkan, meskipun tidak disebutkan kapan tepatnya.

    Lihat juga Video WHO: 1.026 Orang Tewas Saat Berusaha Cari Makan di Gaza

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/dhn)

  • Israel Akan Izinkan Negara Asing Kirim Bantuan ke Gaza via Udara

    Israel Akan Izinkan Negara Asing Kirim Bantuan ke Gaza via Udara

    Gaza City

    Israel akan mengizinkan negara-negara asing untuk mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza via udara atau airdrop mulai Jumat (25/7) waktu setempat.

    Hal tersebut, seperti dilansir Reuters, Sabtu (26/7/2025), diungkapkan oleh radio militer Israel yang mengutip seorang pejabat militer Tel Aviv, yang enggan disebut namanya. Namun juru bicara militer Israel belum menanggapi secara resmi laporan tersebut.

    Laporan Jerusalem Post, yang dikutip The Hill, menyebut Israel akan mengizinkan negara-negara seperti Uni Emirat Arab dan Yordania untuk melanjutkan pengiriman paket bantuan melalui udara, seperti yang dilakukan pada tahun 2024 lalu.

    Langkah Israel ini diambil setelah Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan lebih dari 100 orang tewas akibat kelaparan di Jalur Gaza sejak Tel Aviv memblokade total akses bantuan kemanusiaan ke wilayah tersebut pada Maret lalu.

    Israel, yang berperang melawan Hamas sejak Oktober 2023, telah mencabut blokade pada Mei lalu, tetapi tetap memberlakukan pembatasan yang mereka klaim diperlukan untuk mencegah jatuhnya bantuan ke tangan Hamas dan sekutunya di Jalur Gaza.

    Dalam dua pekan pertama bulan Juli, badan anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau UNICEF melaporkan bahwa 5.000 anak mendapatkan perawatan karena mengalami malnutrisi akut di Jalur Gaza.

    Kepala Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengatakan pada Rabu (23/7) bahwa sebagian besar penduduk Gaza mengalami kelaparan massal. Dia bahkan menyebut kelaparan massal itu merupakan “buatan manusia”, namun tanpa menyebut nama Israel.

    Sementara badan bantuan pangan PBB, Program Pangan Dunia (WFP), melaporkan bahwa nyaris sepertiga warga Gaza “tidak makan selama berhari-hari” saat kelaparan massal menyelimuti wilayah tersebut. Krisis kemanusiaan di Gaza, sebut WFP, telah mencapai “tingkat keputusasaan yang baru dan mencengangkan”.

    Disebutkan oleh WFP bahwa sekitar 470.000 orang di Jalur Gaza diperkirakan akan menghadapi “bencana kelaparan” atau “catastrophic hunger” — kategori paling parah dalam klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu PBB — antara Mei dan September tahun ini.

    Israel sebelumnya membantah sebagai penyebab kelaparan massal di Jalur Gaza. Bantahan itu disampaikan setelah kritikan internasional semakin meningkat yang menuduh Tel Aviv berada di balik kekurangan pangan kronis yang memicu kelaparan massal yang kini menyelimuti berbagai wilayah Jalur Gaza.

    “Tidak ada kelaparan yang disebabkan oleh Israel. Ada kekurangan (pasokan) buatan manusia yang diatur oleh Hamas,” tegas juru bicara pemerintah Israel, David Mencer, dalam pernyataannya.

    Lihat juga Video WHO: 1.026 Orang Tewas Saat Berusaha Cari Makan di Gaza

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/dhn)

  • Ada Daycare Anak Stunting di Semarang, Baru ‘Lulus’ kalau Sudah Sehat

    Ada Daycare Anak Stunting di Semarang, Baru ‘Lulus’ kalau Sudah Sehat

    Jakarta

    Prevalensi kasus stunting di Kota Semarang terus menurun signifikan. Menurut data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) per 2024 prevalensinya sudah berada di bawah 20 persen.

    Bahkan, mengacu catatan Dinas Kesehatan Kota Semarang 2024, tersisa 1 persen balita yang mengalami stunting dari hasil survei operasi timbang rentang Februari dan Agustus 2024 di 81.739 balita.

    Salah satu ‘resep’ keberhasilan stunting di Semarang adalah penyediaan day care. Day Care Rumah Pelita di Semarang menjadi tempat asuh anak-anak yang mengalami masalah tumbuh kembang. Tidak hanya berkaitan dengan tinggi badan, tetapi perkembangan kognitif mereka.

    Menurut Subkoordinator Perencanaan Sosial Bappeda Kota Semarang, Johanes Adhi Nugroho, day care diberikan sebagaik layanan holistik bagi anak-anak stunting dari orangtua yang bekerja. Di tempat ini, balita tidak hanya dititipkan saat orang tuanya bekerja, tetapi juga mendapatkan pemantauan dan intervensi secara menyeluruh.

    Subkoordinator Perencanaan Sosial Bappeda Kota Semarang, Johanes Adhi Nugroho berbicara soal keberhasilan penanganan stunting di Kota Semarang. Foto: Nafilah Sri Sagita/detikHealth

    “Anak-anak yang dititipkan di day care mendapatkan pemenuhan kebutuhan gizi, pemantauan tumbuh kembang secara berkala, serta edukasi kesehatan. Bahkan, mereka tidur siang di ruang ber-AC yang nyaman. Artinya, dari pagi hingga sore, semua kebutuhan kesehatannya dipenuhi,” jelas Johanes saat ditemui di Kota Semarang, Jumat (25/7/2025).

    Hingga pertengahan 2025, Kota Semarang telah memiliki 11 day care yang tersebar di seluruh kecamatan. Dari jumlah tersebut, 10 day care didanai melalui APBD, sementara satu lainnya di wilayah Kelurahan Bandara Jawa, Semarang Utara, dibangun melalui program Tanoto Foundation. Khusus untuk day care yang didukung Tanoto Foundation, juga tersedia ‘Rumah SIGAP’ sebagai pusat stimulasi dan pengasuhan anak usia 0 hingga 3 tahun.

    Setiap day care bisa menampung 12 sampai 20 anak, dengan rasio pengasuhan sekitar 1 pengasuh untuk setiap tiga hingga empat anak. Tenaga pengelola terdiri dari nutrisionis, tenaga kesehatan, hingga psikolog.

    “Layanan di day care ini progresif. Anak bisa keluar dari day care ketika status stunting-nya sudah tidak lagi ditemukan, terutama jika tinggi badannya sudah sesuai standar organisasi kesehatan dunia WHO. Namun, bila di kemudian hari hasil evaluasi menunjukkan ia kembali masuk kategori stunting, maka anak tersebut bisa kembali ditangani,” tambah Johanes.

    Anak-anak yang masuk ke day care sebelumnya terdeteksi mengalami stunting melalui Posyandu atau fasilitas layanan kesehatan lain. Selain memberikan intervensi pada anak, day care juga menjadi sarana edukasi bagi orang tua agar mampu mempertahankan status gizi anak usai keluar dari program.

    “Edukasi tidak hanya untuk anak, tapi juga keluarga. Kami tidak ingin anak kembali stunting setelah keluar dari day care. Jadi ada materi pengasuhan dan gizi keluarga yang disampaikan,” ujar Johanes.

    Keberhasilan program day care juga tidak lepas dari kolaborasi lintas sektor, termasuk akademisi, organisasi profesi, dan sektor swasta. Pemerintah Kota Semarang menggandeng organisasi profesi seperti Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) serta Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dalam audit kasus stunting dan kematian ibu-bayi.

    “Penanganan stunting ini tidak bisa diselesaikan sendiri oleh pemerintah. Maka dari itu, ada pertemuan rutin tim percepatan penurunan Stunting yang melibatkan CSR, akademisi, hingga organisasi profesi. Bahkan Tanoto Foundation membantu monitoring dan evaluasi program edukasi perubahan perilaku melalui komunikasi efektif,” katanya.

    Johanes menambahkan, pendekatan yang digunakan pemerintah Kota Semarang adalah pola pembangunan kreatif. Tidak hanya fokus pada penurunan stunting, tapi juga menyentuh persoalan lain seperti kemiskinan ekstrem dan kematian ibu dan bayi.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/kna)

  • PBB Sebut Sepertiga Warga Gaza Tak Makan Berhari-hari

    PBB Sebut Sepertiga Warga Gaza Tak Makan Berhari-hari

    Roma

    Badan bantuan pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan bahwa nyaris sepertiga warga Gaza “tidak makan selama berhari-hari” saat kelaparan massal menyelimuti daerah kantong Palestina yang dilanda perang sejak Oktober 2023 lalu.

    Krisis kemanusiaan di Jalur Gaza, sebut badan bantuan pangan PBB Program Pangan Dunia (WFP), seperti dilansir AFP, Sabtu (26/7/2025), telah mencapai “tingkat keputusasaan yang baru dan mencengangkan”.

    WFP yang berbasis di Roma, Italia, sebelumnya telah memperingatkan “risiko kelaparan kritis” di Jalur Gaza yang dilanda perang tanpa henti. Israel telah menuai kecaman internasional atas situasi terkini di wilayah tersebut.

    “Hampir satu dari tiga orang tidak makan selama berhari-hari. Malnutrisi meningkat dengan 90.000 perempuan dan anak-anak sangat membutuhkan perawatan,” sebut WFP dalam pernyataannya pada Jumat (25/7).

    Disebutkan oleh WFP bahwa sekitar 470.000 orang di Jalur Gaza diperkirakan akan menghadapi “bencana kelaparan” atau “catastrophic hunger” — kategori paling parah dalam klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu PBB — antara Mei dan September tahun ini.

    “Bantuan pangan adalah satu-satunya cara bagi masyarakat untuk mengakses makanan karena harga pangan sedang melambung tinggi,” kata WFP dalam pernyataannya.

    “Banyak orang sekarat karena kurangnya bantuan kemanusiaan,” imbuh pernyataan WFP tersebut.

    Kelompok-kelompok bantuan kemanusiaan telah memperingatkan akan melonjaknya jumlah anak-anak yang mengalami kekurangan gizi di Jalur Gaza, yang diblokade Israel pada Maret lalu di tengah perangnya melawan kelompok Hamas.

    Israel sebelumnya membantah sebagai penyebab kelaparan massal di Jalur Gaza. Bantahan itu disampaikan setelah kritikan internasional semakin meningkat yang menuduh Tel Aviv berada di balik kekurangan pangan kronis yang memicu kelaparan massal yang kini menyelimuti berbagai wilayah Jalur Gaza.

    Sebanyak 111 organisasi kemanusiaan dan hak asasi manusia (HAM), dalam pernyataan bersama pada Rabu (23/7), menyatakan bahwa “kelaparan massal” sedang menyebar di Jalur Gaza.

    Kepala Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, juga turut berkomentar mengatakan bahwa “sebagian besar penduduk Gaza mengalami kelaparan”. Dia bahkan menyebut kelaparan massal itu merupakan “buatan manusia”, namun tanpa menyebut nama Israel.

    Reaksi keras diberikan Israel, dengan juru bicara pemerintah Israel, David Mencer, menegaskan Israel tidak memicu kelaparan massal di Jalur Gaza. Tel Aviv justru menyalahkan kelompok Hamas yang dituding secara sengaja menciptakan krisis kemanusiaan di wilayah Jalur Gaza.

    “Tidak ada kelaparan yang disebabkan oleh Israel. Ada kekurangan (pasokan) buatan manusia yang diatur oleh Hamas,” tegas Mencer dalam pernyataannya.

    Lihat juga Video WHO: 1.026 Orang Tewas Saat Berusaha Cari Makan di Gaza

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/dhn)

  • Bos WHO Sebut Blokade Bantuan Israel Picu Kelaparan Massal di Gaza

    Bos WHO Sebut Blokade Bantuan Israel Picu Kelaparan Massal di Gaza

    Jakarta

    Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan pada Rabu (23/7/2025) bahwa Gaza tengah menghadapi kelaparan massal buatan manusia. Hal ini merujuk pada blokade Israel yang masih berlangsung dan pembatasan ketat terhadap pengiriman bantuan kemanusiaan.

    “Saya tidak tahu apa yang akan Anda sebut selain kelaparan massal, itu perbuatan manusia dan itu sangat jelas,” tegas Tedros dalam konferensi pers virtual.

    “Ini karena blokade,” sambungnya yang dikutip dari Channel News Asia, Jumat (25/7).

    Komentar Tedros ini menyusul seruan lebih dari 100 lembaga bantuan yang memperingatkan krisis kelaparan yang semakin para di Gaza. Di mana berton-ton makanan, air bersih, dan pasokan medis masih tertahan di luar wilayah kantong tersebut.

    Lembaga-lembaga bantuan mengungkapkan persediaan makanan Gaza telah habis sejak Israel memberlakukan blokade penuh pada Maret 2025. Ini dilakukan sebagai bagian dari perangnya melawan kelompok militan Palestina, Hamas.

    Meskipun blokade telah dilonggarkan pada bulan Mei, organisasi internasional mengatakan hanya aliran bantuan terbatas yang mencapai populasi Gaza yang berjumlah 2,2 juta jiwa.

    Israel menegaskan bahwa pembatasan diperlukan untuk mencegah pengalihan bantuan kepada militan, dan mengatakan telah memfasilitasi pengiriman makanan yang cukup. Israel telah berulang kali menyalahkan Hamas atas penderitaan di Gaza.

    Kematian Meningkat Akibat Kelaparan

    Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan sekitar 10 orang lagi telah meninggal dalam semalam akibat kelaparan, sehingga totalnya menjadi 111 sejak konflik dimulai. Sebagian besar terjadi dalam beberapa minggu terakhir seiring meluasnya kelaparan.

    WHO mengatakan setidaknya 21 kematian anak akibat malnutrisi telah dilaporkan sepanjang tahun ini. Tetapi, mereka menekankan bahwa jumlah sebenarnya kemungkinan jauh lebih tinggi.

    “Pusat-pusat perawatan malnutrisi penuh dan kekurangan pasokan darurat,” kata para pejabat.

    Tedros menambahkan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa dan mitra kemanusiaannya tidak dapat mengirimkan makanan apapun antara bulan Maret dan Mei selama hampir 80 hari, dan bahwa pengiriman bantuan sejak saat itu masih belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan.

    Menurut WHO, hasil skrining menunjukkan bahwa sekitar 10 persen penduduk Gaza menderita malnutrisi sedang atau berat, termasuk hingga 20 persen ibu hamil.

    “Pada bulan Juli saja, 5.100 anak telah dimasukkan ke dalam program malnutrisi, termasuk 800 anak yang sangat kurus,” kata Rik Peeperkorn, perwakilan WHO untuk wilayah Palestina.

    Halaman 2 dari 2

    (sao/kna)