NGO: WHO

  • Menkes Terima 100 Ribu Aduan Gangguan Jiwa, Anak-anak 5 Kali Lebih Rentan Alami Anxiety

    Menkes Terima 100 Ribu Aduan Gangguan Jiwa, Anak-anak 5 Kali Lebih Rentan Alami Anxiety

    Jakarta

    Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengungkap tingginya temuan kasus masalah mental pada anak-anak. Ia menyebut usia anak lima kali lebih rentan mengalami kecemasan (anxiety) dan depresi dibandingkan orang dewasa.

    Menkes menyoroti paparan gawai yang makin intens sebagai salah satu faktor pendorong meningkatnya risiko gangguan mental pada anak.

    Merujuk hasil cek kesehatan gratis (CKG) yang kini juga mencakup skrining kesehatan jiwa, Menkes memaparkan gangguan mental pada usia dewasa ditemukan hanya pada 0,8 hingga 0,9 persen, atau di bawah 1 persen. Namun pada anak di bawah 18 tahun, angkanya mencapai 5 persen.

    “Berdasarkan hasil skrining di CKG, dewasa yang ditemukan gangguan mental hanya 0,8 hingga 0,9 persen, tetapi anak-anak itu 5 persen,” beber Budi dalam Rapat Koordinasi (Rakor) Komite Kebijakan Sektor Kesehatan (KKSK) 2025, Senin (8/12/2025).

    Ia menambahkan, perubahan pola interaksi sosial sejak dini akibat penggunaan gawai membuat anak lebih rentan mengalami gangguan kejiwaan.

    Menurut Budi, penggunaan gawai yang berlebihan membuat banyak anak terpapar konten dan interaksi digital yang tidak selalu sehat bagi perkembangan psikologis mereka.

    “Banyak anak mengalami gangguan kejiwaan, terutama dengan adanya teknologi baru seperti gawai yang mereka pakai terus-menerus,” katanya.

    Selama ini, mayoritas temuan gangguan jiwa berasal dari kecemasan (anxiety) dan depresi.

    Aduan yang diterima Kemenkes melalui layanan 119 terkait masalah mental, juga relatif masih tinggi.

    “Kita sudah menerima hampir 100 ribu aduan, sebagian besar terkait kecemasan atau anxiety,” kata Budi.

    Sebagai catatan, secara global, WHO mencatat 1 dari 8 orang mengalami gangguan mental. Di Indonesia, angkanya diperkirakan mencapai lebih dari 35 juta orang. Namun banyak yang tidak terdiagnosis karena minimnya skrining dan stigma yang masih kuat.

    Menkes menekankan masalah kesehatan mental tidak bisa dibiarkan tanpa penanganan. Dibutuhkan intervensi pemerintah mulai dari deteksi dini, konseling, hingga pengobatan kasus berat.

    “Gangguan mental membutuhkan intervensi dari yang ringan sampai berat, mulai dari konseling sampai pengobatannya.”

    Halaman 2 dari 2

    (naf/up)

  • Strain Baru ‘Cacar Monyet’ Mpox Ditemukan di Inggris, Gabungan Dua Tipe Virus

    Strain Baru ‘Cacar Monyet’ Mpox Ditemukan di Inggris, Gabungan Dua Tipe Virus

    Jakarta

    Otoritas kesehatan Inggris (UK Health Security Agency/UKHSA) mendeteksi adanya strain virus mpox atau monkeypox pada seorang individu di Inggris yang baru kembali dari perjalanan di Asia.

    Penemuan ini memicu perhatian global karena virus baru tersebut merupakan hasil pencampuran (rekombinasi) genetik dari dua jenis utama virus mpox.

    Dikutip dari BBC, strain baru yang belum memiliki nama resmi ini mengandung elemen dari dua tipe mpox utama, yaitu Clade Ib dan Clade IIb. Clade IIb adalah strain yang bertanggung jawab atas wabah global mpox pada tahun 2022. Sementara Clade Ib baru-baru ini menunjukkan tanda-tanda penyebaran lokal di beberapa negara Eropa.

    Risiko Rekombinasi yang Dikhawatirkan

    Para pejabat kesehatan Inggris masih menilai signifikansi dari strain baru ini. Namun, Dr Boghuma Titanji, asisten profesor kedokteran di Emory University, menyatakan bahwa strain baru ini adalah hal yang dikhawatirkan para ahli jika virus mpox terus menyebar di seluruh dunia.

    “Semakin banyak sirkulasi mpox yang kita izinkan, semakin banyak peluang virus untuk melakukan rekombinasi dan beradaptasi, yang semakin menguatkan virus mpox sebagai patogen manusia yang tidak akan hilang,” kata Dr Titanji.

    Meskipun virus memiliki sifat alami untuk berevolusi, UKHSA menekankan bahwa vaksinasi tetap menjadi cara terbaik untuk melindungi diri dari penyakit parah, meskipun infeksi mpox umumnya bersifat ringan bagi kebanyakan orang.

    Virus berevolusi

    Dr Katy Sinka, kepala infeksi menular seksual di UKHSA, mengatakan bahwa penemuan ini dimungkinkan berkat pengujian genomik yang canggih.

    “Adalah hal yang normal bagi virus untuk berevolusi, dan analisis lebih lanjut akan membantu kami memahami lebih banyak tentang bagaimana mpox berubah,” ujarnya.

    Meskipun belum ada studi khusus mengenai seberapa efektif vaksin yang ada terhadap strain gabungan terbaru ini, para ahli meyakini bahwa tingkat perlindungan akan tetap tinggi.

    Secara global, mpox masih menjadi ancaman. Tercatat hampir 48.000 kasus mpox terkonfirmasi secara global pada tahun 2025, dengan 2.500 kasus terjadi dalam sebulan terakhir, dan mayoritas terjadi di Afrika tengah.

    Mpox umumnya menyebar melalui kontak fisik yang sangat dekat, batuk, bersin, atau menyentuh pakaian/tempat tidur yang terkontaminasi. Gejala umum termasuk lesi atau ruam kulit yang dapat berlangsung selama dua hingga empat minggu, disertai demam, sakit kepala, dan nyeri otot.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: WHO Cabut Status Darurat Cacar Monyet”
    [Gambas:Video 20detik]
    (sao/sao)

  • Eks Petinggi WHO Soroti Potensi KLB Penyakit Tidak Menular Pasca Bencana Sumatera

    Eks Petinggi WHO Soroti Potensi KLB Penyakit Tidak Menular Pasca Bencana Sumatera

    Jakarta

    Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Prof Tjandra Yoga Aditama, mengingatkan kemungkinan munculnya Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit menular pasca banjir bandang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatra Barat dalam dua pekan terakhir.

    Menurutnya, fase setelah bencana adalah periode krusial karena berbagai penyakit infeksi berpotensi meningkat cepat bila tidak diantisipasi sejak awal. Mengutip laporan Journal Microbiology edisi Oktober 2025, ia menekankan sejumlah pola wabah penyakit terkait banjir di Asia Tenggara.

    Prof Tjandra menekankan pentingnya mengetahui jenis penyakit yang secara ilmiah terbukti sering meningkat pasca banjir bandang. Berdasarkan kajian ilmiah tersebut, penyakit yang perlu diwaspadai antara lain:

    LeptospirosisTifoid (Salmonella Typhi)Kolera (Vibrio cholerae)Hepatitis AInfeksi parasit penyebab diare

    “Laporan kasus infeksi dari wilayah bencana sudah mulai muncul. Akan sangat baik jika segera dilaporkan pula mikroorganisme apa yang beredar agar dapat ditangani lebih tepat,” ujarnya.

    Kontaminasi Air Banjir Jadi Sumber Patogen

    Air banjir di daerah terdampak berpotensi membawa feses manusia, limbah lingkungan, serta patogen dari hewan. Ketiganya disebut Prof Tjandra mudah berkontak dengan masyarakat yang masih berada di wilayah banjir maupun pengungsian.

    “Kontaminasi seperti ini meningkatkan risiko munculnya penyakit berbasis air. Ini harus menjadi perhatian utama,” kata Prof Tjandra.

    Setelah air mulai surut, genangan kerap menjadi sarang baru nyamuk. Kondisi ini dapat memicu kenaikan kasus penyakit yang ditularkan vektor, seperti:

    Demam Berdarah Dengue (DBD)

    Malaria

    Menurut Prof Tjandra, kegiatan pengendalian vektor harus digiatkan lebih awal untuk mencegah lonjakan kasus.

    Dalam kondisi bencana besar, ada lima aspek yang dapat memperparah risiko penyebaran penyakit:

    Terganggunya layanan air bersih, sanitasi, dan kebersihan (WASH)Meningkatnya resistensi antimikroba (AMR)Gangguan fisik dan psikis para pengungsiKepadatan di tempat pengungsianTerbatasnya pelayanan kesehatan akibat kerusakan fasilitas dan kurangnya tenaga

    “Kelima faktor ini bisa membuat penyakit menular menyebar lebih cepat bila tidak ditangani dengan koordinasi kuat antar sektor,” ujarnya.

    Artikel ilmiah yang menjadi rujukannya mencatat enam kejadian peningkatan penyakit menular akibat banjir dan hujan ekstrem di Asia Tenggara dalam dua tahun terakhir. Tiga di antaranya terjadi di Indonesia.

    Penyakit yang dominan dilaporkan antara lain leptospirosis, dengue, diare, dan bahkan kolera.

    “Data ini menunjukkan bahwa risiko KLB pasca banjir bukan hal teoritis, tetapi benar-benar telah terjadi di kawasan kita,” tegas Prof Tjandra.

    Prof Tjandra menegaskan bahwa upaya pencegahan KLB harus dilakukan secepat mungkin. Ia menilai pemerintah perlu memberi perhatian besar pada aspek surveilans, penyediaan air bersih, sanitasi, pengendalian vektor, serta pemulihan layanan kesehatan.

    “Kita tentu berharap tidak terjadi KLB pada bencana besar ini. Namun harapan saja tidak cukup, kesiapsiagaan adalah kunci,” ujarnya.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/kna)

  • How Its AI Tools Lead the Future of Photo Editing in 2025

    How Its AI Tools Lead the Future of Photo Editing in 2025

    AI photo-editing tools are transforming how creators, marketers, and e-commerce sellers work. Instead of relying on complex software like Photoshop, users now expect instant, web-based tools that deliver professional results with just a few clicks.

    Two of EzRemove’s most powerful tools — the Free Image Background Remover and the Best AI Image Editor — perfectly represent this evolution. Each focuses on a different problem: one removes distractions with precision, while the other reimagines photos through creative AI control.

    🖼️ Free Image Background Remover — Precision Made Simple
    The Free Image Background Remover allows anyone to separate subjects from complex backgrounds in seconds. It uses smart segmentation to detect hair, edges, and shadows accurately while creating clean transparent PNGs ready for design, product listings, or marketing materials.

    Unlike other tools that charge for HD output or watermark results, EzRemove provides full-resolution exports completely free, directly in the browser.

    Competitor Comparison: Background Removal Tools

    ToolFocus
    StrengthsLimitations

    remove.bgAutomatic subject cutouts
    Fast processing and reliable resultsPaid for HD exports; limited free credits
    Canva (Pro)Background removal inside design suite
    Easy integration with design templatesTool locked behind premium subscription
    Pixlr E / XOnline editor with cutout mode
    Manual and auto options combinedStruggles with fine hair or transparency
    Fotor AI RemoverBackground change and enhancement
    Intuitive interface for quick fixesSlight blur on edges; fewer export options
    Cleanup.picturesSmall-object removal
    Simple interface; instant resultsNo transparency export; basic features only

    Why EzRemove Wins

    ✅ Fast and Free: Full HD exports without paywalls or watermarks.
    ✅ Accurate AI: Handles complex edges with minimal error.
    ✅ Batch Mode: Upload and process multiple files simultaneously.
    ✅ Browser-Based: No installation or account required.

    ⚠️ Limitation: Designed primarily for background cleanup, not full graphic layout editing.

    Verdict:
    For anyone who needs clean, transparent backgrounds — from e-commerce stores to photographers — EzRemove’s remover outperforms paid competitors by balancing speed, detail accuracy, and accessibility.

    🎨 Best AI Image Editor — Creativity Through Simple Prompts
    Where the background remover focuses on cleanup, the Best AI Image Editor empowers creativity. It transforms photos based on text prompts like “replace the background with a beach” or “change hair color to red.”

    This AI-driven editor combines three models — EzRemove 2.0, Nano Banana, and Seedream 4.0 — offering realistic portrait editing, stylized image generation, and balanced photo retouching. Users can enhance, modify, or completely redesign images in seconds, all within the browser.

    Competitor Comparison: AI Image Editors

    ToolFeature Focus
    StrengthsWeaknesses

    Canva Magic StudioPrompt-based edits + templates
    User-friendly; strong for social contentLimited prompt depth; premium plan required
    Adobe Express (AI)Smart filters and layout tools
    Professional quality; brand trustSlower rendering; paywall for advanced AI
    Pixlr AI EditorQuick filter-based enhancement
    Fast for simple fixesLess creative flexibility; low realism
    Fotor AI EditorAuto enhancement and color correction
    Easy for non-designersOutput can look artificial
    Midjourney / DALL·EText-to-image generation
    Highly creative and artisticNot suitable for editing existing photos

    Why EzRemove Excels

    ✅ Multi-Model Flexibility: Choose between realism, portrait consistency, or stylized looks.
    ✅ Prompt-to-Edit Simplicity: Adjust lighting, replace objects, or enhance style with natural text.
    ✅ Completely Free: No signup or download required; HD exports included.
    ✅ Consistent Results: Maintains human features and lighting naturally — ideal for business use.

    ⚠️ Limitation: For purely imaginative or abstract artwork, dedicated generators like Midjourney still lead in artistic freedom.

    Verdict:
    The Best AI Image Editor delivers professional, prompt-based editing without the complexity or cost of advanced creative suites. It bridges the gap between generative art tools and precision photo editing — accessible, fast, and practical.

    ⚡ Conclusion
    In 2025, most AI photo tools specialize narrowly — either automatic cleanup or full creative generation. EzRemove unites both sides of editing into one ecosystem.

    The Free Image Background Remover dominates when you need precision, speed, and transparency.

    The Best AI Image Editor shines when you need creative flexibility through intuitive, text-based control.

    Together, they deliver a streamlined workflow: remove distractions, enhance style, and export ready-to-use visuals — all free, online, and watermark-free.

    For professionals and everyday creators alike, EzRemove stands as a reliable, future-ready solution for effortless photo editing.

  • Komisi I Minta Komdigi Luruskan Narasi Negara Tak Hadir di Aceh-Sumatra

    Komisi I Minta Komdigi Luruskan Narasi Negara Tak Hadir di Aceh-Sumatra

    Bisnis.com, JAKARTA — Anggota Komisi I DPR RI fraksi partai Gerindra Endipat Wijaya menyoroti kelemahan strategi Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) yang dinilai gagal mengimbangi kecepatan arus informasi di media sosial. 

    Sorotan tajam itu tertuju pada fenomena di mana bantuan negara yang masif dalam penanggulangan bencana di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat justru tertutup oleh persepsi publik bahwa “negara tidak hadir”.

    Hal ini terungkap dalam pembahasan mengenai pentingnya amplifikasi informasi strategis guna menangkal disinformasi yang kian masif menyebar di masyarakat.

    Wijaya mengungkapkan fakta ironis yang terjadi di lapangan. Menurut dia, pemerintah sejatinya telah bergerak cepat dengan mengerahkan sumber daya yang sangat besar.

    “Ada orang yang baru datang bikin 1 posko, ngomong pemerintah tidak ada”, ujarnya di ruang Komisi 1 DPR RI Senin (08/12/2025).

    Bantuan logistik telah mencapai 20 ton yang telah disalurkan, didukung dengan alokasi anggaran mencapai triliunan rupiah untuk penanggulangan dampak bencana di wilayah-wilayah tersebut, tambahnya.

    Namun, besarnya upaya dan anggaran yang dikucurkan negara tersebut dinilai “kalah viral” dibandingkan narasi-narasi alternatif yang beredar di media sosial. Akibatnya, muncul citra negatif yang kuat di masyarakat bahwa upaya pemerintah diremehkan atau bahkan dianggap tidak ada sama sekali.

    Komisi I juga mengidentifikasi adanya fenomena yang disebut sebagai “The One Who Stole the Show”.

    Fenomena ini merujuk pada pola di mana individu atau kelompok tertentu yang mungkin hanya datang sesaat ke lokasi bencana justru berhasil mendominasi ruang percakapan publik. 

    Aksi mereka yang seringkali sporadis berhasil menjadi viral dan “mencuri panggung”, secara efektif mengalahkan eksposur terhadap kerja sistematis, terstruktur, dan masif yang dilakukan oleh aparatur pemerintah.

    DRR RI menunjukkan kekhawatiran ketika konten-konten viral tersebut membentuk opini publik bahwa aktor-aktor individual inilah yang paling berjasa, sementara peran negara terpinggirkan dari kesadaran publik.

    Situasi ini dinilai telah menciptakan disinformasi yang “sangat tidak baik” terkait kepentingan umum. Narasi “negara tidak hadir” yang terbentuk akibat kekalahan dalam perang informasi ini dianggap berbahaya karena dapat menggerus kepercayaan publik terhadap institusi negara.

    “Jadi yang kayak gitu mohon dijadikan perhatian sehingga ke depan tidak ada lagi informasi yang seolah-olah negara tidak hadir di mana-mana. Padahal negara sudah hadir.” tambah Wijaya.

    Wijaya juga menegaskan bahwa amplifikasi informasi strategis kini menjadi kebutuhan yang mendesak. Pemerintah didorong untuk tidak hanya fokus pada kerja teknis di lapangan, tetapi juga harus memenangkan narasi di ruang digital. (Muhammad Diva Farel Ramadhan)

  • Djauhari Oratmangun Raih Penghargaan BIG 40, Strategic Bilateral Diplomacy Leadership Excellence

    Djauhari Oratmangun Raih Penghargaan BIG 40, Strategic Bilateral Diplomacy Leadership Excellence

    Bisnis.com, JAKARTA — Djauhari Oratmangun, Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk China merangkap Mongolia, menerima penghargaan BIG 40 Awards dari Bisnis Indonesia untuk kategori Strategic Bilateral Diplomacy Leadership Excellence.

    Penghargaan tersebut diberikan kepada Djauhari Oratmangun atas peran krusialnya sebagai diplomat karir ulung. 

    Dengan latar belakang diplomasi yang luas dan profesional, sosok yang sebelumnya menjabat Duta Besar RI untuk Rusia merangkap Belarusia itu dinilai berhasil memperkuat kerja sama strategis Indonesia–China dalam perdagangan, investasi, teknologi, dan hubungan antarmasyarakat. 

    Bisnis Indonesia melihat pendekatan beliau mampu menjembatani kepentingan kedua negara dalam dinamika geopolitik Asia, secara signifikan meningkatkan kehadiran ekonomi Indonesia.

    “Kontribusinya menegaskan posisi Indonesia sebagai mitra utama China di kawasan, sekaligus membuka peluang jangka panjang bagi pertumbuhan ekonomi nasional,” demikian ungkap Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia Maria Y. Benyamin, di sela-sela malam penganugerahan BIG 40 Awards, Senin (8/12/2025).

    Adapun penghargaan BIG 40 dipersembahkan oleh Bisnis Indonesia Group dalam rangka memperingati ulang tahun ke-40 tahun Harian Bisnis Indonesia. Ajang tersebut merupakan sebuah bentuk apresiasi kepada 40 tokoh yang memberikan kontribusi dan pengaruh signifikan bagi kemajuan Indonesia. 

    Penghargaan tersebut mencakup berbagai bidang dan berdampak nasional mulai dari ekonomi dan bisnis; sosial dan politik; budaya dan lingkungan; hingga olahraga.

    Penghargaan BIG 40 diberikan kepada figur-figur dengan rekam jejak luar biasa: para inspirator nasional, perumus kebijakan yang mendukung perkembangan dunia usaha, pendiri dan pelopor perusahaan berskala besar, tokoh penggerak pembangunan daerah, para eksekutif dan profesional terkemuka, generasi muda visioner, serta para tokoh yang berperan dalam pemberdayaan masyarakat dan penguatan hubungan publik.

    Proses pemilihan dilakukan melalui metodologi yang ketat, meliputi desk research mendalam, penelusuran rekam jejak publik, dan kurasi komprehensif oleh Tim Redaksi Bisnis Indonesia yang dikenal sangat selektif dan independen.

    BIG 40 diharapkan tidak hanya mengapresiasi kiprah individu, tetapi juga menghadirkan inspirasi bagi masyarakat dan dunia usaha untuk terus berkontribusi dalam membangun Indonesia yang lebih maju dan berdaya saing.

    “Penghargaan ini menjadi wujud penghormatan Bisnis Indonesia Group atas dedikasi, integritas, dan pencapaian para tokoh tersebut.”

    Profil Djauhari Oratmangun

    Lahir di Beo, Sulawesi Utara, 22 Juli 1957, Djauhari Oratmangun meraih sarjana ekonomi dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada 1981.

    Sempat bekerja di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Djauhari kemudian ‘banting setir’ dengan menjadi aparatur sipil negara di Kementerian Luar Negeri (Kemlu) sejak 1983.

    Setelah menjabat Kepala Seksi pada Direktorat Kerjasama Ekonomi Multilateral, Kemlu pada 1984–1985, Djauhari mengawali penugasan diplomat sebagai Atase/Sekretaris III Perutusan Tetap RI untuk PBB, New York pada 1986–1990.

    Setelah itu, dia kembali ke Indonesia dengan menduduki posisi Kepala Seksi pada Direktorat Kerja sama Ekonomi Multilateral, Kemlu pada 1991–1992.

    Kemudian, dia kembali ditugaskan ke luar negeri sebagai Sekretaris I/Counsellor Perutusan Tetap RI untuk PBB dan Organisasi Internasional Lainnya (a.l. ILO, WTO, WHO, UNCTAD, dan lainnya) di Geneva, Swiss pada 1993–1997.

    Duta Besar RI untuk China Djauhari Oratmangun memberikan sambutan dalam sebuah acara./Dok-KBRi Beijing

    Djauhari kemudian menjabat sebagai Kepala Sub Direktorat untuk Perundingan Perdagangan dan Keuangan Internasional (WTO, UNCTAD, IMF, dan World Bank pada Direktorat Kerja sama Ekonomi Multilateral pada 1998–1999, lalu mengisi posisi Kepala Bidang Ekonomi Perutusan Tetap RI untuk PBB, New York pada 1999–2001.

    Pada awal milenium baru itu, Djauhari kemudian mengisi posisi Direktur Kerja sama Ekonomi Multilateral, Kemlu pada 2001–2002. Dia kemudian menjabat Direktur Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup PBB, Kemlu pada 2002–2004.

    Karirnya sebagai diplomat berlanjut sebagai Deputy Chief of Mission (DCM) Kedutaan Besar RI Den Haag, Belanda pada 2004–2008. Setahun berselang, dia mengisi posisi Duta Besar/Wakil tetap Ad-Interim RI untuk Asean dengan pangkat Duta Besar pada 2009–2010.

    Pada 2009, dia juga mulai menjabat Direktur Jenderal Kerjasama Asean/SOM Leader Asean-Indonesia/ SOM Leader ARF-Indonesia/ Kepala Sekretariat Nasional Indonesia-Asean. Tugas itu berakhir pada 2012.

    Selanjutnya, Djauhari diangkat menjadi Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Federasi Rusia merangkap Belarus sejak 2012 dan penugasan itu berakhir pada 2016.

    Kemudian selama setahun, dia diangkat sebagai Duta Besar/ staf khusus Menlu untuk isu-isu strategis pada 2016 hingga Februari 2017. Setelah itu, Djauhari diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Republik Rakyat China merangkap Mongolia.

    Hingga saat ini, Djauhari Oratmangun masih menjabat posisi strategis itu dan berperan penting dalam berbagai pencapaian penting hubungan Indonesia-China dalam delapan tahun terakhir, termasuk dari sisi perdagangan dan kemitraan strategis.

  • Model AI Baru Prediksi Risiko Kanker Payudara hingga 5 Tahun ke Depan

    Model AI Baru Prediksi Risiko Kanker Payudara hingga 5 Tahun ke Depan

    Jakarta

    Setiap tahun, sekitar 2,3 juta kasus baru kanker payudara terdeteksi di seluruh dunia. Penyakit ini menyebabkan sekitar 670.000 kematian pada 2022 menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). “Kanker payudara masih menjadi penyebab kematian akibat kanker paling umum pada perempuan meski ada program skrining mammografi,” ujar Christiane Kuhl, Direktur Departemen Radiologi Diagnostik dan Intervensi di Rumah Sakit Universitas RWTH Aachen.

    “Penjelasannya adalah mammografi masih gagal mendeteksi banyak kasus kanker payudara, atau tidak mendeteksinya cukup dini,” ujarnya. Ia menjelaskan bahwa tumor yang tumbuh cepat dan bersifat agresif kerap luput dari deteksi, padahal justru jenis inilah yang paling mematikan bagi banyak perempuan.

    Kini, sebuah algoritma baru diyakini bisa merevolusi skrining kanker payudara. Model kecerdasan buatan(AI) ini mampu mengklasifikasikan tingkat risiko seseorang mengembangkan penyakit tersebut dalam lima tahun ke depan hanya dari analisis gambar mammogram.

    Dalam sebuah studi, perempuan yang oleh algoritma dinilai memiliki risiko tinggi terbukti jauh lebih mungkin mengembangkan kanker payudara dibanding mereka yang dianggap berisiko normal. “Secara spesifik, perempuan dengan skor AI tinggi memiliki kemungkinan empat kali lebih besar terkena kanker payudara dibanding mereka dengan skor rendah,” ujar Kuhl.

    “Dengan model AI yang baru ini, kami bisa memprediksi dengan jauh lebih presisi apakah seorang perempuan akan mengembangkan kanker payudara dalam lima tahun ke depan, bahkan ketika mammogramnya tampak normal dan tidak menunjukkan tanda apa pun,” tambahnya.

    Skrining kanker payudara dinilai perlu lebih personal

    Di Jerman, semua perempuan berusia 50 sampai 75 tahun mendapat tawaran pemeriksaan mammogram untuk skrining kanker payudara setiap dua tahun. Namun, risiko mengembangkan penyakit ini dan kebutuhan untuk deteksi dini yang efektif bisa sangat berbeda antara satu perempuan dan lainnya.

    Kuhl menilai pendekatan seragam seperti ini sudah tidak relevan dan mendorong skrining kanker payudara yang lebih personal, dengan mempertimbangkan perbedaan akurasi mammografi pada tiap orang. Semakin padat jaringan payudara, semakin tinggi risiko terkena kanker, dan semakin rendah akurasi mammografi dalam mendeteksi risikonya. Banyak perempuan bahkan tidak menyadari hal ini, kata Kuhl.

    Teknologi MRI dinilai lebih andal dibanding mammografi

    Selama beberapa tahun terakhir, perempuan dengan jaringan payudara yang sangat padat dianjurkan menjalani pemeriksaan MRI (magnetic resonance imaging) karena teknologi ini lebih mampu mendeteksi kanker payudara pada tahap awal.

    MRI merupakan teknik pencitraan medis yang menggunakan medan magnet kuat dan gelombang radio, bukan sinar-X, untuk menghasilkan gambar penampang tubuh yang sangat detail. Meski jauh lebih andal, pemeriksaan ini jauh lebih mahal dibanding mammografi atau USG, yang akurasinya lebih rendah.

    Untuk mengidentifikasi perempuan yang perlu menjalani MRI sebagai langkah deteksi dini, Clairity Consortium, yaitu asosiasi internasional yang beranggotakan 46 lembaga riset di Amerika Utara, Amerika Selatan, dan Jerman, mengembangkan model AI bernama Clairity Breast.

    Algoritma ini dilatih menggunakan lebih dari 420.000 mammogram dari Eropa, Amerika Selatan, dan Amerika Utara.

    Berbeda dengan model risiko kanker payudara tradisional, AI ini tidak memerlukan data riwayat keluarga, faktor genetik, atau gaya hidup. Sistem ini menghitung kemungkinan seseorang mengembangkan kanker payudara hanya dari mammogram, lalu mengelompokkan perempuan ke dalam kategori risiko berdasarkan ambang batas yang sudah ditetapkan.

    AI ini tidak hanya mengidentifikasi jumlah jaringan kelenjar payudara, tetapi juga tekstur dan susunannya, yang juga menjadi faktor risiko kanker.

    “Hanya sekitar sepuluh persen perempuan yang memiliki jaringan kelenjar yang sangat padat,” kata Kuhl. “Sebagian besar perempuan yang akhirnya mengembangkan kanker payudara dan terlambat terdiagnosis justru memiliki jaringan yang kurang padat.” Yang penting dari teknologi baru ini, menurutnya, adalah kemampuan model AI untuk menentukan dalam hitungan detik apakah seseorang perlu menjalani MRI sebagai deteksi dini atau tidak.

    Perlukah skrining kanker payudara dimulai lebih awal?

    Di banyak negara, skrining kanker payudara baru dimulai pada usia 50 tahun karena risiko penyakit ini meningkat signifikan seiring bertambahnya usia, dan manfaat skrining pada kelompok ini sudah terbukti. Namun, menurut Kuhl, jika model AI terbukti efektif, perempuan yang lebih muda juga bisa mendapatkan manfaat dari deteksi dini. Meski risikonya lebih rendah dibanding perempuan yang lebih tua, jika terkena, mereka cenderung mengalami tumor yang lebih agresif.

    Kuhl menambahkan bahwa mammografi juga lebih bermasalah untuk perempuan muda. “Perempuan muda lebih sering memiliki jaringan kelenjar yang padat, sehingga deteksi dini melalui mammografi menjadi jauh lebih sulit.”

    Meski begitu, Kuhl tidak menilai perlu menurunkan batas usia skrining secara umum. “Kalau kita hanya menurunkan usia undangan skrining, kita tidak mengubah masalah dasarnya.” Ia mengusulkan pendekatan dua tahap. “Pertama, mammografi untuk deteksi awal; lalu analisis AI untuk menghitung risiko seseorang dalam lima tahun ke depan.”

    Jika algoritma menunjukkan risiko yang sangat tinggi, pemeriksaan MRI perlu ditawarkan kepada perempuan tersebut. “Untuk kelompok ini, mammogram sebenarnya sudah tidak diperlukan lagi,” kata Kuhl.

    Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Jerman

    Diadaptasi oleh Ausirio Sangga Ndolu

    Editor: Melisa Ester Lolindu

    (ita/ita)

  • Kemenkes Kaji Terapi GLP-1 untuk Obesitas Susul Panduan Resmi WHO

    Kemenkes Kaji Terapi GLP-1 untuk Obesitas Susul Panduan Resmi WHO

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bakal mengkaji penggunaan dan pembiayaan terapi Glucagon-Like Peptide-1 (GLP-1) untuk penanganan obesitas di Indonesia. Langkah ini diambil menyusul terbitnya rekomendasi terbaru Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait pengobatan tersebut.

    Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan obesitas kini masuk dalam lima besar temuan masalah kesehatan terbanyak berdasarkan program cek kesehatan gratis (CKG). Kondisi ini banyak ditemukan pada kelompok dewasa hingga lanjut usia.

    “Pemerintah sedang memperbarui Pedoman Nasional Praktek Klinis (PNPK) untuk obesitas, termasuk tata laksana pengobatannya. Selama ini obat diberikan pada pasien obesitas yang sudah memiliki gejala penyakit lain, seperti gangguan jantung atau sulit bergerak,” beber Nadia dalam keterangan tertulis, diterima detikcom Minggu (7/12/2025).

    Terkait kemungkinan memasukkan terapi GLP-1 sebagai layanan yang ditanggung BPJS Kesehatan, Nadia menegaskan keputusan tersebut membutuhkan proses penilaian Health Technology Assessment (HTA). Selain itu, pemerintah perlu memastikan ketersediaan obat GLP-1 di Indonesia.

    Ia menambahkan, Kemenkes juga akan melibatkan pakar untuk mendapatkan masukan terkait penggunaan obat-obatan bagi penderita obesitas.

    GLP-1 sendiri merupakan hormon yang berperan dalam mengatur metabolisme. Adapun GLP-1 Receptor Agonist adalah kelompok obat yang umum digunakan untuk menurunkan kadar gula darah, membantu penurunan berat badan, menurunkan risiko komplikasi jantung dan ginjal, serta menurunkan risiko kematian dini pada pasien diabetes tipe 2.

    Sebelumnya diberitakan, WHO menerbitkan pedoman penggunaan terapi GLP-1 untuk menangani obesitas. Dokumen itu disusun sebagai respons atas meningkatnya permintaan dari berbagai negara yang menghadapi tantangan obesitas.

    Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan pedoman tersebut menekankan pentingnya akses terhadap terapi GLP-1 dan perlunya sistem kesehatan mempersiapkan fasilitas pendukungnya.

    “Obesitas berdampak pada semua negara dan dikaitkan dengan 3,7 juta kematian di seluruh dunia pada 2024. Tanpa tindakan tegas, jumlah orang dengan obesitas diperkirakan meningkat dua kali lipat pada 2030,” ujar Tedros dalam laman resmi WHO.

    Ia menilai obesitas menjadi awal munculnya berbagai penyakit tidak menular seperti penyakit kardiovaskular, diabetes tipe 2, kanker, hingga memperburuk penyakit infeksi.

    Pedoman tersebut juga menegaskan obesitas merupakan penyakit kronis yang membutuhkan penanganan komprehensif dan berkelanjutan. Tedros menekankan penggunaan obat saja tidak cukup untuk menyelesaikan krisis obesitas global.

    “Terapi GLP-1 bisa membantu jutaan orang mengatasi obesitas dan mengurangi risikonya. Namun terapi ini tetap harus disertai pendekatan lain,” ujarnya.

    Dalam pedoman tersebut, WHO memberikan dua rekomendasi utama yang bersifat kondisional:

    Terapi GLP-1 dapat digunakan untuk pengobatan obesitas jangka panjang pada orang dewasa, kecuali ibu hamil.

    Rekomendasi ini bersifat kondisional karena keterbatasan data mengenai efektivitas dan keamanan jangka panjang, biaya yang tinggi, serta kesiapan sistem kesehatan.

    Perubahan pola hidup intensif, seperti konsumsi makanan sehat dan peningkatan aktivitas fisik, wajib menjadi bagian dari terapi GLP-1.

    “Obesitas bukan hanya masalah individu, tetapi tantangan masyarakat yang memerlukan aksi multisektor,” kata Tedros.

    Kemenkes memastikan kajian penggunaan GLP-1 di Indonesia akan mempertimbangkan seluruh aspek tersebut, mulai dari efektivitas, keamanan, hingga kesiapan sistem pembiayaan kesehatan nasional.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: WHO Keluarkan Pedoman Baru Syarat Terapi GLP-1 untuk Obesitas”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/kna)

  • Kemenkes Bakal Siapkan Resep Aktivitas Fisik saat CKG

    Kemenkes Bakal Siapkan Resep Aktivitas Fisik saat CKG

    Jakarta, Beritasatu.com – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tengah menyiapkan rekomendasi atau “resep” aktivitas fisik berdasarkan kelompok usia bagi masyarakat melalui program cek kesehatan gratis (CKG).

    Direktur Jenderal Kesehatan Primer dan Komunitas Kemenkes Maria Endang Sumiwi menyampaikan, langkah tersebut diambil untuk menindaklanjuti hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) yang menunjukkan sebanyak 37,4% penduduk usia 10 tahun ke atas belum memenuhi standar aktivitas fisik yang memadai.

    “Kita sedang menyiapkan dengan program edukasi, kalau kita ketemu sama orang pada saat CKG ini, dia seperti apa hasilnya? Kalau misal aktivitas fisiknya kurang, kita sedang membuat prescription untuk yang aktivitas fisiknya kurang jika kita temukan dalam CKG,” kata dia seperti dilansir dari Antara, Minggu (7/12/2025).

    Maria menuturkan, rekomendasi ini akan disesuaikan dengan usia masyarakat. Misalnya, berjalan cepat selama 30 menit setiap pagi setelah bangun tidur bagi kelompok usia tertentu. Panduan ini akan diberikan kepada peserta CKG yang teridentifikasi memiliki tingkat aktivitas fisik rendah.

    Berdasarkan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setiap orang disarankan berolahraga minimal 30 menit per hari.

    Namun, data SKI per November 2025 mencatat sebanyak 95,6% atau sekitar 15,2 juta orang di Indonesia masih kurang melakukan aktivitas fisik. Program CKG saat ini telah dilaksanakan oleh 10.300 puskesmas di seluruh Indonesia.

    Ia menambahkan, pada tahun depan CKG akan diperluas ke klinik pratama, tidak hanya terbatas di puskesmas. Hal ini sejalan dengan perubahan paradigma layanan kesehatan yang kini lebih menekankan upaya pencegahan (preventif) dibandingkan pengobatan (kuratif).

    Menurut Maria, melalui CKG, pemerintah berupaya mengubah pola pikir masyarakat dari menunggu sakit menjadi menjaga kesehatan sejak dini agar dapat hidup lebih sehat, bugar, dan produktif.

    Untuk mengukur tingkat kebugaran, terdapat lima komponen utama yang dinilai, yakni komposisi tubuh, daya tahan jantung dan paru, kekuatan otot, fleksibilitas, serta daya tahan otot.

    “Jadi memang semua itu ada angkanya, kita bisa tahu sebenarnya dia bugar atau enggak sih? Karena sehat itu belum tentu bugar,” tuturnya.

    “Sehat itu terbebas dari segala macam penyakit ya, juga ditentukan dari apakah pada saat naik-turun tangga enggak capek, atau mungkin kita malah ngos-ngosan, nah, itu kan sebenarnya menandakan apakah kita bugar atau enggak,” ungkap dia.

  • Rekan Indonesia: Pemenuhan hak dasar warga perlu diperhatikan

    Rekan Indonesia: Pemenuhan hak dasar warga perlu diperhatikan

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Umum Relawan Kesehatan (Rekan) Indonesia Agung Nugroho, menilai Kementerian Hak Asasi Manusia (Kemenham) perlu memperkuat agenda pemenuhan hak dasar warga, khususnya di sektor kesehatan, pendidikan, dan perlindungan kelompok rentan.

    “Persoalan HAM bukan hanya terkait kasus besar, tetapi juga masalah sehari-hari yang dialami warga saat berhadapan dengan pelayanan publik,” kata Agung dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu.

    Menurut dia, setelah kementerian tersebut berdiri sebagai institusi tersendiri pada 2024, menunjukkan tantangan besar dalam pelaksanaan HAM.

    Komnas HAM mencatat 2.305 laporan dugaan pelanggaran HAM sepanjang 2024, sementara pada Januari–Mei 2025 terdapat 1.100 laporan tambahan.

    Sebagian besar aduan, kata dia, berkaitan dengan hak atas kesejahteraan, hak memperoleh keadilan, serta hak atas rasa aman.

    Agung menilai tingginya angka pengaduan ini menandakan perlunya perbaikan pada pelayanan publik dan pengawasan aparatur negara.

    Ia menyatakan pada sektor kesehatan, Indonesia masih menghadapi beban tuberkulosis (TBC) yang tinggi. Laporan Kementerian Kesehatan dan WHO menyebut Indonesia sebagai salah satu negara dengan kasus TBC terbesar di dunia.

    Agung mengungkapkan bahwa kesenjangan layanan kesehatan dasar masih terasa di banyak daerah, terutama dalam akses diagnosis dan pengobatan bagi warga berpenghasilan rendah.

    “Banyak warga yang terlambat mendapatkan layanan medis karena kendala biaya, jarak, atau keterbatasan tenaga kesehatan. Ini menunjukkan pemenuhan hak kesehatan belum merata,” ujarnya.

    Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) juga memperlihatkan disparitas dalam akses layanan kesehatan ibu dan anak di sejumlah provinsi.

    Kondisi serupa terlihat di sektor pendidikan. Data BPS menunjukkan angka putus sekolah masih muncul di setiap jenjang, dengan ketimpangan akses antara keluarga berpendapatan rendah dan tinggi tetap signifikan.

    Selain itu, praktik pungutan liar dan kendala administratif masih menjadi keluhan masyarakat dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).

    Agung menilai tantangan tersebut harus menjadi fokus utama Kemenham dalam penyusunan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Generasi VI. Ia menekankan bahwa pemenuhan HAM tidak dapat dipisahkan dari kualitas layanan dasar negara.

    Menurut dia, keberadaan kementerian baru ini diharapkan tidak berhenti pada perubahan struktur birokrasi, melainkan menjadi langkah awal untuk memperkuat peran negara dalam menjamin hak konstitusional warga.

    “Pemenuhan HAM harus terlihat pada bagaimana negara melayani rakyatnya. Itu yang menjadi ukuran paling nyata,” katanya.

    Pewarta: Khaerul Izan
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.