NGO: WHO

  • Parahnya Situasi Fasilitas Kesehatan di Gaza, RS Beroperasi Melebihi Kapasitas

    Parahnya Situasi Fasilitas Kesehatan di Gaza, RS Beroperasi Melebihi Kapasitas

    Jakarta

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberikan peringatan keras bahwa sistem kesehatan di Gaza berada dalam kondisi ‘katastrofik’. Rumah sakit kewalahan, persediaan obat menipis, dan ancaman penyakit baru terus bermunculan, di tengah ketidakmampuan bantuan medis untuk masuk dengan cepat.

    Dr. Rik Peeperkorn, Perwakilan WHO untuk Tepi Barat dan Gaza, menyatakan bahwa kurang dari separuh rumah sakit di Gaza dan di bawah 38 persen pusat layanan kesehatan primer berfungsi, itupun dengan kapasitas minimal.

    Kapasitas tempat tidur di fasilitas utama sudah melebihi batas. Dr. Peeperkorn menyebutkan bahwa:

    RS Shifa beroperasi dengan kapasitas 250 persenRS Nasser di 180 persenRS Al-Rantisi di 210 persenRS Al-Ahli melebihi 300 persen

    Situasi ini semakin diperparah dengan tingginya jumlah korban luka dari area distribusi makanan, yang juga menyebabkan kelangkaan darah dan plasma.

    Krisis semakin parah

    Kekurangan kritis obat dan bahan habis pakai terus berlanjut. Menurut Dr. Peeperkorn, 52 persen obat-obatan dan 68 persen bahan habis pakai sudah mencapai “stok nol.”

    Kelaparan dan malnutrisi juga memburuk dengan cepat. Sejak awal tahun 2025, 148 orang, termasuk 49 anak, meninggal karena malnutrisi. Pada Juli, hampir 12.000 anak di bawah usia lima tahun didiagnosis menderita malnutrisi akut, angka bulanan tertinggi yang pernah tercatat.

    Ancaman Penyakit Baru dan Sulitnya Akses Bantuan

    Penyebaran penyakit menambah tekanan pada sistem kesehatan yang lumpuh. Kasus suspek meningitis mencapai 452 pada Juli hingga awal Agustus, jumlah tertinggi sejak eskalasi dimulai. Sindrom Guillain-Barré juga melonjak, dengan 76 kasus suspek sejak Juni. Kedua kondisi ini sangat sulit diobati karena stok obat penting, seperti imunoglobulin, sudah habis.

    Akses bagi tim medis dan pasokan internasional tetap menjadi kendala besar. Dr. Peeperkorn menyebutkan bahwa prosedur masuk sangat lambat dan tidak dapat diprediksi.

    “Kami mendengar lebih banyak pasokan kemanusiaan diizinkan masuk, tetapi itu tidak terjadi, atau terjadi terlalu lambat,” ujarnya.

    WHO menyerukan agar lebih banyak pintu perbatasan ke Gaza dibuka, prosedur dipermudah, dan hambatan akses dicabut untuk mencegah krisis ini semakin parah.

    Halaman 2 dari 2

    (kna/kna)

  • Antrean Stunting: Retorika Generasi Emas yang Tak Terkawal
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        15 Agustus 2025

    Antrean Stunting: Retorika Generasi Emas yang Tak Terkawal Nasional 15 Agustus 2025

    Antrean Stunting: Retorika Generasi Emas yang Tak Terkawal
    Alumnus Sekolah Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta. Anggota Dewan Pembina Wahana Aksi Kritis Nusantara (WASKITA), Anggota Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI). Saat ini aktif melakukan kajian dan praktik pendidikan orang dewasa dengan perspektif ekonomi-politik yang berkaitan dengan aspek sustainable livelihood untuk isu-isu pertanian dan perikanan berkelanjutan, mitigasi stunting, dan perubahan iklim di berbagai daerah.
    DI TENGAH
    gegap gempita menyambut hari kemerdekaan ke 80 tahun Indonesia, sayup-sayup terdengar rintihan lirih anak-anak usia di bawah lima tahun (balita). Hingga kini jutaan balita masih harus berjuang melepaskan diri dari status stunting.
    Retorika pembangunan dan ambisi besar bangsa seperti kehilangan makna ketika tubuh-tubuh kecil itu terus tumbuh dalam kekurangan gizi, dan perlahan masa depannya terampas.
    Jika ulang tahun kemerdekaan adalah momentum reflektif, maka pertanyaan yang layak diajukan bukanlah seberapa jauh kita melangkah, melainkan siapa saja yang tertinggal dalam perjalanan panjang republik ini.
    Target ambisius pemerintah untuk menurunkan angka stunting menjadi 14 persen pada 2024 resmi meleset.
    Data dari hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024, prevalensi stunting nasional turun dari 21,5 persen di tahun 2023 menjadi 19,8 persen atau setara dengan sekitar 4,48 juta balita, dengan sekitar 377.000 kasus baru berhasil dicegah.
    Meski demikian, pemerintah membungkus penurunan stunting dari tahun ke tahun dengan retorika statistik.
    Penurunan diglorifikasi sebagai keberhasilan, meski tak sesuai target dan menyamarkan realitas lambatnya kerja di bawah kendali birokrasi.
    Kegagalan memenuhi target ini sudah dapat diduga. Pada 2023, penurunan stunting hanya 0,1 persen dari tahun sebelumnya.
    Atas dasar itu pencapaian penurunan di 2024 oleh pemerintah dianggap sebagai keberhasilan, meski hanya turun 1,7 persen.
    Sementara dana yang digelontorkan untuk isu tersebut pada tahun 2024, lebih dari Rp 186,4 triliun (APBN, 2024).
    Artinya, anggaran yang tergolong besar tersebut belum mampu membuat program percepatan penurunan stunting memutus siklus kegagalan pertumbuhan anak secara signifikan.
    Ironis memang, di tengah jargon “Indonesia Emas 2045”, masalah stunting masih bergerak seperti antrean panjang tanpa ujung yang jelas.
    Anak-anak dengan tinggi badan yang tak sesuai usia karena kekurangan gizi kronis—baik sejak dalam kandungan maupun dua tahun pertama kehidupan, lalu terganggu perkembangan kognitifnya—seolah dipaksa menjadi penumpang gelap dalam perjalanan menuju cita-cita besar bangsa.
    Jika menelisik akar masalah lambannya penanganan stunting, dua batu sandungan utama tampak nyata: birokrasi yang kaku dan ketergantungan pada pendanaan negara yang tidak selalu tersedia tepat waktu.
    Banyak program penanganan stunting di daerah harus menunggu pencairan Dana Alokasi Khusus (DAK) atau instruksi vertikal dari kementerian teknis, sementara kebutuhan di lapangan mendesak dan tidak bisa ditunda.
    Pola tersebut membuat kader-kader posyandu yang menjadi garda terdepan dalam penanganan stunting, kerap mengelus dada karena tidak mampu berbuat maksimal di tengah realitas masalah yang mereka pahami.
    Stunting bukan sekadar soal fisik, tetapi tentang peluang hidup anak di masa depan—dan setiap hari yang terlewat tanpa penanganan adalah kerugian bersama sebagai bangsa.
    Lebih jauh, pelibatan masyarakat dalam program ini minim. Padahal, kunci keberhasilan program berbasis perubahan perilaku—seperti pola makan, sanitasi, dan pemantauan kehamilan—tidak bisa hanya bertumpu pada intervensi pemerintah.
    Pengalaman di isu lain menunjukkan bahwa ketika masyarakat dilibatkan dalam identifikasi masalah dan solusi, hasilnya lebih berdampak dan berkelanjutan.
    Salah satu fase krusial yang kurang menjadi perhatian adalah masa remaja. Padahal, inilah jembatan penentu generasi berikutnya. Remaja putri yang mengalami anemia karena pola makan buruk berisiko tinggi melahirkan anak stunting.
    Di banyak daerah, praktik perkawinan dini masih berlangsung karena tekanan adat dan kemiskinan struktural. Tubuh remaja yang belum matang secara biologis maupun psikis dipaksa mengandung dan membesarkan anak, dengan konsekuensi buruk bagi tumbuh kembang anak tersebut.
    Lebih dari itu, banyak remaja korban kekerasan seksual, pernikahan paksa, hingga penyalahgunaan narkoba—semuanya berdampak langsung pada kesehatan reproduksi, kondisi mental, dan masa depan mereka sebagai calon orangtua.
    Tanpa intervensi serius pada fase ini, kita justru memperkuat mata rantai kegagalan tumbuh dari satu generasi ke generasi berikutnya. Maka, memperkuat remaja hari ini adalah fondasi penting bagi anak-anak bebas stunting di masa depan.
    Salah satu ironi terbesar dalam narasi penurunan stunting nasional adalah kenyataan bahwa penurunan angka tidak selalu berbanding lurus dengan perbaikan kondisi anak.
    Anak-anak yang melewati usia lima tahun secara otomatis tidak lagi masuk dalam kategori pengukuran stunting, walaupun mereka tetap mengalami dampak jangka panjang akibat pertumbuhan yang terganggu.
    Statistik nasional pun “kehilangan” mereka, dan ini yang membuat keberhasilan semu dari penurunan angka stunting.
    Penurunan ini, jika ditelusuri lebih lanjut, bukan karena keberhasilan pelayanan gizi atau perubahan perilaku di tingkat keluarga.
    Sebaliknya, banyak terjadi karena perpindahan usia—anak yang dulunya teridentifikasi stunting, kini tidak tercatat lagi karena melewati usia 59 bulan. Pemerintah tidak memiliki data yang memadai untuk konteks tersebut.
    Namun, penulis menemui fakta lapangan di berbagai daerah, bahwa pergantian umur menjadi faktor yang determinan dari penurunan angka stunting.
    Jika hal ini berlaku umum, maka muncul pertanyaan mendalam: apakah kita benar-benar menyelesaikan masalah, atau hanya memindahkannya dari satu kategori statistik ke kategori tak terlihat?
    Laporan UNICEF dan WHO secara konsisten menekankan bahwa dampak stunting bersifat jangka panjang—menurunnya kecerdasan, produktivitas, dan meningkatnya risiko penyakit kronis di usia dewasa.
    Tanpa strategi komprehensif berkelanjutan, kita bukan hanya kehilangan satu generasi, tetapi mewariskan kelemahan struktural pada generasi berikutnya.
    Jika pemerintah benar-benar serius menuju “Generasi Emas 2045”, maka pendekatan dalam penanganan stunting harus berubah drastis.
    Kita membutuhkan desentralisasi kendali, pelibatan aktif masyarakat sipil, dan pembiayaan fleksibel yang bisa merespons kebutuhan cepat.
    Pemerintah daerah hingga di tingkat desa harus diberi ruang untuk berinovasi tanpa terbelenggu oleh sistem keuangan yang terjeda.
    Lebih penting lagi, indikator keberhasilan tidak boleh semata-mata berdasarkan penurunan angka di atas kertas, melainkan perubahan nyata dalam kualitas hidup anak-anak.
    Sistem pemantauan perlu diperluas hingga usia sekolah dasar agar anak-anak yang pernah stunting tetap menjadi bagian dari intervensi, bukan sekadar bayang-bayang statistik.
    Langkah lain yang mendesak adalah memperkuat kolaborasi lintas sektor—pendidikan, kesehatan, pertanian, hingga perlindungan sosial.
    Sebab stunting bukan masalah gizi semata, tapi cerminan dari ketimpangan akses terhadap sumber daya dasar: makanan bergizi, air bersih, sanitasi, dan informasi kesehatan.
    Sudah saatnya pemerintah berhenti dengan berbagai jargon populis tanpa peta jalan yang rasional dan komprehensif. Jargon-jargon populis tidak akan membuat antrean panjang menuju stunting berhenti.
    Jumlah anak-anak stunting bukan sekadar data, tetapi mereka berhak menjadi calon-calon pemimpin masa depan. Hak itulah yang direnggut secara sistemik akibat kegagalan pembangunan.
    Generasi emas tak akan lahir dari tubuh yang lemah dan pikiran yang tertinggal. Kita tidak bisa membangun Indonesia 2045 dengan mengabaikan anak-anak hari ini.
    Menangani stunting harus menjadi panggilan moral, bukan sekadar proyek tahunan. Karena dalam setiap tubuh kecil yang gagal tumbuh, tersimpan dosa sejarah: masa lalu, saat ini, dan masa depan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kemenkes Beri Hadiah Rp 50 Juta untuk Puskesmas Penemu Kusta Terbanyak di Tangerang
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        14 Agustus 2025

    Kemenkes Beri Hadiah Rp 50 Juta untuk Puskesmas Penemu Kusta Terbanyak di Tangerang Nasional 14 Agustus 2025

    Kemenkes Beri Hadiah Rp 50 Juta untuk Puskesmas Penemu Kusta Terbanyak di Tangerang
    Editor
    KOMPAS.com
    – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menyiapkan hadiah insentif sebesar Rp 50 juta bagi satuan unit puskesmas di Kabupaten Tangerang, Banten, yang berhasil mengeliminasi dan menemukan kasus kusta terbanyak.
    “Puskesmas yang bisa menemukan kasus kusta tertinggi, akan kita berikan hadiah insentif sebesar Rp 50 juta. Ini khusus di Kabupaten Tangerang,” kata Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono Harbuwono, di Tangerang, seperti dilansir dari Antara, Kamis (14/8/2025).
    Hadiah ini, kata Dante, bertujuan memotivasi petugas puskesmas agar lebih giat melakukan eliminasi dan deteksi dini penanganan kasus kusta di wilayah itu.
    “Jadi, saya minta pada akhir tahun untuk dihitung dan dilaporkan, khusus di Kabupaten Tangerang, ada pemberian hadiah,” ucap dia.
    Selain hadiah utama Rp 50 juta, Kemenkes juga menyiapkan insentif untuk puskesmas penemu kasus kusta terbanyak kedua dan ketiga.
    “Untuk puskesmas kedua terbanyak menemukan kusta diberi Rp 25 juta dan ketiga sebesar Rp 15 juta,” ujar dia.
    Menurut Dante, apresiasi ini diharapkan membantu mempercepat target pembebasan penyakit kusta di 111 kabupaten/kota di Indonesia pada tahun 2030.
    “Maka target kita dalam pembebasan penyakit kusta dinaikkan saat ini menjadi 111 kabupaten/kota di 2030,” tutur dia.
    Tahap awal eliminasi, kata Dante, adalah mengenalkan gejala penyakit kusta kepada masyarakat. Dengan begitu, kasus dapat segera diidentifikasi dan diobati.
    “Kemudian kita berikan kemoprofilaksis kusta, ini diberikan sebagai upaya pencegahan terhadap timbulnya penyakit kepada mereka kontak erat dengan penderita kusta,” ungkap dia.
    Dante menambahkan, Indonesia saat ini masih berada di peringkat ketiga dunia untuk jumlah kasus kusta terbanyak setelah India dan Brasil.
    “Oleh karena itu kita memberikan target. Sesuai target WHO yang cukup ketat, maka kita upayakan agar ini bisa ditangani secara maksimal,” kata Dante.
    Ia menegaskan, kusta merupakan salah satu dari 21 penyakit tropis terabaikan di dunia yang harus dieliminasi.
    Menjaga lingkungan yang sehat menjadi salah satu upaya pencegahannya.
    “Sebetulnya untuk pengobatan saat ini sudah tersedia di puskesmas, jadi sudah tidak perlu ke rumah sakit. Kalau ke rumah sakit itu jika ada gejala yang berat misal ada kecacatan yang berat, kalau hanya gejala ringan kita upayakan ditangani di puskesmas,” kata dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dokter Dipaksa Lepas Masker di RSUD Sekayu, Ini Seruan Profesor Pulmonologi

    Dokter Dipaksa Lepas Masker di RSUD Sekayu, Ini Seruan Profesor Pulmonologi

    Jakarta

    Belakangan viral dokter RSUD Sekayu dipaksa membuka masker oleh keluarga pasien. Dokter yang bersangkutan bahkan dipaksa untuk melepas maskernya saat melakukan visit. Dokter tersebut diketahui bernama dr Syahpri Putra Wangsa, SpPD-KGH, konsultan ginjal hipertensi di RSUD Sekayu yang menangani pasien tersebut.

    Kronologinya berawal saat keluarga pasien marah-marah lantaran tidak terima adanya pemeriksaan dahak. Dokter kemudian menjelaskan bahwa didapatkan gambaran infiltrat atau gambaran bercak di paru-paru kanan yang mengindikasikan gejala khas dari tuberkulosis (TBC/TB).

    “Jadi ibunya masuk rumah sakit dengan kondisi tidak sadar dengan hipoglikemia, dengan gula darah rendah. Kemudian tekanan darah yang tidak terkontrol. Kemudian kita melakukan pemeriksaan, dilakukan dan didapatkan gambaran infiltrat atau gambaran pecah di paru-paru kanan. Gambaran dari khas dari TBC,” ucap dr Syahpri dalam video tersebut.

    Video tersebut lantas mendapatkan kecaman dari berbagai pihak, termasuk dari Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Prof Tjandra Yoga Aditama, SpP(K).

    “Dokter bertugas menangani kesehatan pasiennya, dan dia akan berupaya maksimal agar penanganannya memberi hasil terbaik. Tentu jelas salah besar kalau ada tindakan kekerasan (verbal atau fisik) pada orang yang sedang menangani kesehatan kita atau keluarga kita,” ucapnya kepada detikcom, Kamis (14/8/2025).

    Prof Tjandra yang juga pernah menjabat direktur penyakit menular di WHO Asia Tenggara menjelaskan, penggunaan pemeriksaan dahak untuk diagnosis TB adalah berdasar penelitian ilmiah internasional yang bereputasi tinggi. Tata cara mendiagnosis TB dengan dahak ada dalam panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang diikuti seluruh negara di dunia, bahkan ada juga dalam panduan Kementerian Kesehatan RI dan organisasi profesi seperti PDPI.

    “Jadi ini prosedur berdasar ilmiah, juga berdasar rekomendasi internasional dan nasional, dan yang lebih penting lagi adalah bhw pemeriksaan dahak itu adalah demi kepentingan pasiennya. Jadi amat salah kalau dokter sampai harus di kata-katai kasar karena melakukan pemeriksaan dahak untuk diagnosis tuberkulosis,” ucap guru besar pulmonologi yang mengajar di sejumlah kampus kedokteran tersebut.

    Tak hanya itu, Prof Tjandra juga menyoroti risiko kekerasan yang dihadapi dokter dan tenaga kesehatan saat menjalankan tugas. Menurutnya, ada dua hal yang perlu dilakukan, yaitu tindakan tegas dari aparat kepolisian serta langkah nyata dari pemerintah dan pembuat kebijakan publik untuk melindungi dokter dalam menjalankan profesinya.

    “Kata-kata klise adalah semoga kejadian kekerasan pada dokter (dan tenaga kesehatan lain) dalam menjalankan profesinya jangan berulang lagi. Perlu tindakan nyata, Stop Kekerasan !!!,” sambungnya.

    Sebelumnya, pasca kejadian tersebut, Pemkab Muba melakukan mediasi antara keluarga pasien dan dokter. Sekda Muba Apriyadi langsung mendatangi RSUD Sekayu untuk memediasi permasalahan intimidasi dan pengancaman keluarga pasien terhadap dokter. Pihaknya meminta keterangan dari kedua belah pihak.

    Berdasarkan keterangan, dr Syahpri mengaku sudah melaksanakan tugas sesuai dengan prosedur. Begitu juga penggunaan masker saat berada di rumah sakit, khususnya di dalam ruangan merupakan kewajiban. Dia juga mengaku dipaksa untuk membuka masker oleh keluarga pasien.

    “Saya sudah melaksanakan pelayanan sesuai prosedur dan memberikan pelayanan terbaik kepada pasien,” ujarnya saat mediasi yang dilakukan Pemkab Muba, Rabu (13/8/2025).

    “Pada kejadian tersebut saya dipaksa untuk membuka masker, tetapi di dalam ruangan perawatan tersebut tidak diperbolehkan,” ujarnya lagi.

    Sementara keluarga pasien RSUD Sekayu Putra mengaku setelah kejadian tersebut pihaknya sudah dimediasi pihak RSUD Sekayu. Dia mengaku terkejut video tersebut dipotong dan diviralkan di media sosial.

    “Kami setelah kejadian langsung dimediasi, dan saya selaku keluarga pasien sudah meminta maaf. Saya akui pada saat itu emosi, tetapi kami terkejut mengapa video itu diviralkan di media sosial seolah-olah melakukan kekerasan kepada dokter,” ungkapnya.

    Halaman 2 dari 2

    (suc/up)

  • Gejala COVID Varian Stratus dan Cara Pencegahannya

    Gejala COVID Varian Stratus dan Cara Pencegahannya

    Jakarta

    COVID varian Stratus atau disebut XFG telah menjadi varian yang merebak di dunia, termasuk di Indonesia. Kementerian Kesehatan RI beberapa waktu lalu melaporkan COVID varian Stratus sudah mendominasi setidaknya 75 persen dari total kasus COVID di Indonesia pada Mei 2025. Bahkan meningkat menjadi 100 persen di Juni 2025.

    Laporan tersebut mencakup hasil pemantauan rutin terhadap penyakit pernapasan, termasuk influenza dan COVID-19, yang dilakukan di 39 Puskesmas, 35 rumah sakit, dan 14 Balai Karantina Kesehatan yang berfungsi sebagai sentinel site.

    Meski demikian, Kemenkes menyebutkan varian dominan COVID-19 yang merebak di Indonesia tergolong dalam kategori risiko rendah (low risk). Oleh karena itu, masyarakat diimbau untuk tidak panik, namun tetap menjaga protokol kesehatan, terutama bagi kelompok rentan.

    “XFG menjadi variant nomor 1 dalam hal Spread di mana per 13 Juni sudah terdeteksi di 130 negara, paling banyak dari Eropa dan Asia per Juni 2025,” demikian laporan Kemenkes beberapa waktu lalu.

    “Pada Bulan Juni Varian dominan di Indonesia adalah XFG (75 persen pada Mei, dan 100 persen pada Juni), dan XEN (25 persen pada Mei),” lanjut Kemenkes.

    Stratus atau XFG adalah varian SARS-CoV-2 yang merupakan hasil rekombinasi dari garis keturunan LF.7 dan LP.8.1.2, dengan sampel pertama dikumpulkan pada 27 Januari 2025. Laporan WHO mengatakan XFG telah ditetapkan sebagai variant under monitoring (VUM) karena proporsinya yang terus meningkat secara global.

    Adapun COVID-19 varian Stratus memiliki dua strain, yakni XFG dan XFG.3. Menurut seorang ahli virologi dari Universitas Warwick, Professor Lawrence Young, kedua strain Stratus, yaitu XFG dan XFG.3, disebut menyebar dengan cepat.

    Meski begitu, hanya varian XFG yang masuk ke dalam daftar VUM oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

    Istilah VUM digunakan untuk memberi sinyal kepada otoritas kesehatan masyarakat bahwa suatu varian SARS-CoV-2 berpotensi memerlukan perhatian dan pemantauan lebih lanjut.

    Gejala COVID Varian Stratus

    Pada dasarnya, gejala COVID varian Stratus mirip dengan varian lainnya. Centers for Disease Control and Prevention AS (CDC) membeberkan gejala COVID yang umum seperti:

    Demam atau menggigilBatukKelelahanSakit tenggorokanKehilangan rasa atau penciumanPenyumbatanNyeri ototSesak napasSakit kepalaMual atau muntah

    COVID varian Stratus juga memiliki gejala khas. Beberapa laporan menunjukkan bahwa individu yang terinfeksi juga melaporkan suara serak atau suara yang kasar dan parau. Gejala khas ini dapat membantu membedakan XFG dari varian maupun subvarian lainnya.

    “Gejala Stratus adalah suara parau, atau bahasa Inggrisnya hoarseness, scratchy, raspy voice,” tutur Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama beberapa waktu lalu.

    Cara Pencegahan

    Sebagai kewaspadaan, Kemenkes mengimbau masyarakat untuk menerapkan sejumlah hal berikut.

    Menerapkan Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS).Menerapkan etika batuk/bersin untuk menghindari penularan kepada orang lain.Cuci tangan dengan air mengalir dan menggunakan sabun (CTPS) atau menggunakan hand sanitizer.Menggunakan masker bagi masyarakat jika jika berada di kerumunan atau sedang sakit seperti batuk, pilek, atau demam.Segera ke fasilitas kesehatan apabila mengalami gejala infeksi saluran pernapasan dan ada riwayat kontak dengan faktor risiko.Bagi pelaku perjalanan jika mengalami sakit selama perjalanan agar menyampaikan kepada awak atau personel alat angkut maupun kepada petugas kesehatan di pelabuhan/ bandar udara/ PLBN setempat.

    (suc/suc)

  • Militer AS Mau Beli Tesla Cybertruck… buat Ditembak Rudal

    Militer AS Mau Beli Tesla Cybertruck… buat Ditembak Rudal

    Jakarta

    Militer Angkatan Udara Amerika Serikat (AS) dilaporkan bakal membeli Tesla Cybertruck. Bukan untuk kendaraan dinas tapi dipakai sebagai target sasaran rudal.

    Dikutip dari The Drive dan Business Insider, Angkatan Udara AS ingin membeli dua Cybertruck untuk pengujian tembakan rudal langsung.

    Informasi ini diperoleh dari dokumen pengadaan yang dilaporkan pertama kali oleh The War Zone. Spesifikasi Cybertrucks yang bakal dibeli hanya perlu dapat ditarik, tidak berfungsi, dan baterainya harus dilepas. Cybertruck termasuk di antara 33 kendaraan untuk pengujian tembakan rudal langsung di White Sands Missile Range, New Mexico.

    Dalam dokumen terpisah dijelaskan mengapa Tesla Cybertruck secara khusus diperlukan untuk latihan tembak. Alasan terbesarnya, musuh berpeluang menggunakan truk berlapis baja tahan karat di medan perang karena daya tahannya.

    Tesla Cybertruck di depan Gedung Putih Foto: REUTERS/Kevin Lamarque

    “Di ruang operasi, kemungkinan jenis kendaraan yang digunakan oleh musuh dapat beralih ke Tesla Cybertruck,” kata dokumen itu.

    “Pengujian perlu mencerminkan situasi dunia nyata. Tujuan dari pelatihan ini adalah untuk mempersiapkan unit untuk operasi dengan mensimulasikan skenario sedekat mungkin dengan situasi dunia nyata,” tambahnya lagi.

    Lebih lanjut, rencana ini disebut mendukung program U.S. Special Operations Command’s (SOCOM) Stand Off Precision Guided Munitions (SOPGM). SOPGM mencakup berbagai jenis munisi pandu presisi yang diluncurkan dari udara khusus untuk operasi khusus, termasuk berbagai varian AGM-114 Hellfire, misil AGM-176 Griffin, GBU-69/B Small Glide Munition (SGM), dan GBU-39B/B Laser Small Diameter Bomb (LSDB).

    Belum ada komentar dari militer AS maupun pihak Tesla.

    Sebagai catatan, Tesla Cybertruck merupakan pikap berkabin ganda yang menggunakan baja tahan karat ultra keras (ultra-hard 30X cold-rolled stainless steel) untuk memberikan perlindungan lebih saat mengalami benturan keras. Selain itu, kendaraan tersebut juga sudah punya kaca armor yang membuatnya tak mudah pecah.

    Tesla Cybertruck masuk Indonesia. Foto: Doc. Glamour Auto Boutique

    Tesla masih mempertahankan desain produksi yang ‘agak’ lain. Truk tersebut, terbuat dari baja tahan karat mengkilap dan dibentuk menjadi bidang datar, sebagian garis desainnya terinspirasi oleh mobil yang berubah menjadi kapal selam dalam film James Bond tahun 1977 “The Spy Who Loved Me.

    Tahun lalu, pemimpin Chechnya alias Chechen di Rusia, Ramzan Kadyrov, memamerkan Tesla Cybertruck yang sudah dibekali senjata seperti senapan mesin di bagian baknya. Dia sesumbar mobil tersebut bakal dipakai untuk perang Ukraina. Namun, Kadyrov kemudian menuduh Tesla sudah menonaktifkan mobilnya jarak jauh, lalu menyebut Elon Musk “tidak jantan.”

    Kaca dan panel samping Cybertruck telah terbukti tahan peluru, mampu menghentikan peluru pistol berkecepatan subsonik, hal yang sangat ditonjolkan saat kendaraan ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 2019. Elon Musk pernah menggambarkan kendaraan ini sebagai mobil yang tahan kiamat.

    (riar/lua)

  • Pakar sebut perlu ada survei pelaksanaan MBG di Jakarta

    Pakar sebut perlu ada survei pelaksanaan MBG di Jakarta

    Jakarta (ANTARA) – Pakar kesehatan yang pernah menjabat sebagai Direktur Penyakit Menular WHO Kantor Regional Asia Tenggara 2018-2020, Prof. Tjandra Yoga Aditama berpendapat perlu adanya survei terkait pelaksanaan Makan Bergizi Gratis (MBG) di Jakarta sebagai bagian evaluasi pemerintah.

    “Baik kalau di Jakarta dari waktu ke waktu dilakukan survei kepuasan konsumen, baik yang terima MBG, orang tua, guru, dan bahkan penyedianya juga,” ujar dia saat dihubungi di Jakarta, Minggu.

    Selain survei, studi kohort atau penelitian observasional dari waktu ke waktu untuk melihat perkembangan terkait dampak MBG sejak pertama kali dilaksanakan hingga beberapa tahun ke depan juga diperlukan.

    Tjandra mengatakan, studi ini harus meliputi empat hal yakni gizi, kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.

    “Memang studi kohort ini harus beberapa tahun supaya dampaknya tidak bias, tapi proses pengumpulan data dari waktu ke waktu harus dikerjakan dengan cermat sesuai kaidah ilmiah yang sahih,” kata dia.

    Dia mencatat, per Juli 2025, program MBG sudah berjalan selama enam bulan mencakup hampir 7 juta penerima manfaat, artinya melebihi total penduduk Singapura yang berjumlah 5,9 juta orang.

    Karena sudah berjalan setengah tahun, maka Tjandra mengatakan pelaksanaannya memerlukan evaluasi, salah satunya untuk melihat bagaimana pentingnya melihat program ini yang oleh World Food Program atau Program Pangan Dunia disebut sebagai School Nutrition Package Framework atau Standar dan Pedoman Minimum untuk Paket Gizi Sekolah.

    “Ada lima kegiatan utama di dalamnya, yaitu makanan bergizi, literasi tentang gizi, suplementasi, aktivitas fisik dan suasana lingkungan makanan sekolah yang baik,” kata Tjandra.

    Dia menyampaikan terdapat dua aspek pokok kesehatan terkait MBG yaitu jaminan mutu gizi makanan dan keamanan pangan.

    Untuk jaminan mutu gizi, maka perlu diperhatikan gizi seimbang sesuai konsep “Isi Piringku”, sementara untuk keamanan pangan maka semua pengelola MBG harus berpegang teguh pada prinsip keamanan pangan sejak mulai ketersediaan bahan pangan sampai masakan tersaji di depan anak-anak.

    Adapun per awal Agustus 2025, penerima MBG tercatat sudah menembus kurang lebih 8 juta orang.

    Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Kualitas udara DKI sedang, tapi kelompok sensitif perlu pakai masker

    Kualitas udara DKI sedang, tapi kelompok sensitif perlu pakai masker

    Jakarta (ANTARA) – Kualitas udara Kota Jakarta tercatat pada kategori sedang pada Minggu ini, namun kelompok sensitif disarankan mengenakan masker saat berada di luar rumah, demikian seperti dinyatakan dalam laman IQAir dengan pembaruan pada pukul 06.00 WIB.

    IQAir mencatat kualitas udara Jakarta berada pada poin 97 dengan tingkat konsentrasi polutan PM 2,5 sebesar 33,8 mikrogram per meter kubik atau 6,8 kali lebih tinggi nilai panduan kualitas udara tahunan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

    PM 2,5 merupakan partikel berukuran lebih lebih kecil 2,5 mikron (mikrometer) yang ditemukan di udara termasuk debu, asap dan jelaga. Paparan partikel ini dalam jangka panjang dikaitkan dengan kematian dini, terutama pada orang yang memiliki penyakit jantung atau paru-paru kronis.

    Rekomendasi kesehatan terkait kualitas udara saat ini bagi kelompok sensitif selain mengenakan masker, juga menghindari beraktivitas di luar ruangan, menutup jendela demi menghindari udara luar yang kotor, dan menyalakan penyaring udara.

    Adapun kualitas udara Jakarta tercatat berada pada urutan ketujuh terburuk di Indonesia, setelah Bandung, Jawa Barat dengan poin 155; Tangerang Selatan; Banten dengan poin 155; Surabaya; Jawa Timur (130); Bekasi, Jawa Barat (127); Jambi (115), dan Depok, Jawa Barat (112).

    Sementara itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mendorong kerja sama konkret dengan daerah-daerah penyangga untuk bersama-sama menurunkan emisi, khususnya dari sektor industri yang aktivitasnya turut mempengaruhi udara di Jakarta.

    Upaya lain yang juga dilakukan yakni penegakan hukum terhadap kendaraan berat yang tidak lolos uji emisi. Upaya ini, kata Pemprov DKI menjadi bentuk nyata keseriusan kami dalam menjaga kualitas udara.

    Ke depan, Pemprov DKI Jakarta akan memperluas pelaksanaan uji emisi dan penindakan bagi kendaraan kategori N dan O sebagai bagian dari komitmen mewujudkan Jakarta yang bersih, sehat, dan berkelanjutan.

    Pemprov DKI Jakarta sudah melakukan uji emisi secara gratis terhadap sebanyak 1.692.618 kendaraan roda empat maupun roda dua sejak tahun 2020 hingga 2024.

    Dari jumlah ini sebanyak 1.544.773 merupakan kendaraan roda empat. Sedangkan sisanya, yakni 147.845 adalah kendaraan roda dua.

    Tingkat kelulusan untuk kendaraan roda empat yang diuji mencapai 98,2 persen, sementara kendaraan roda dua sebesar 82,3 persen.

    Uji emisi dilakukan guna mengukur kepatuhan masyarakat khususnya pemilik kendaraan bermotor terkait kelayakan efisiensi pembakaran mesin kendaraan dan kadar polutan yang dihasilkan.

    Di sisi lain, pemerintah ingin membangun kesadaran warga tentang andil mereka terhadap kondisi kualitas udara.

    Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Sisa Dua Anggota, SECRET NUMBER Umumkan Comeback

    Sisa Dua Anggota, SECRET NUMBER Umumkan Comeback

    JAKARTA – Grup K-pop SECRET NUMBER membuat kejutan melalui media sosialnya. Jumat, 8 Agustus, media sosial grup membagikan sebuah foto bertuliskan “Coming soon”

    Foto teaser itu juga memperlihatkan tulisan “New Number” dan “SECRET NUMBER’s comeback” mereferensikan awal baru dari grup tersebut.

    [*****]

    2025.08

    COMING SOON#SECRET_NUMBER #시크릿넘버#SECRET_NUMBER_COMEBACK#COMEBACK pic.twitter.com/WbVxfDWR1s

    — SECRET NUMBER (시크릿넘버) (@5ecretNumber) August 8, 2025

    Foto ini juga menjadi unggahan terbaru grup setelah membagikan kabar status kontrak para anggota pada April lalu. Header media sosial mereka juga terlihat masih menyertakan nama anggota terdahulu.

    Sebelumnya, empat anggota grup yaitu Lea, Dita, Jinny, dan Minji memilih keluar dari grup dan agensi, Vine Entertainment pada April lalu.

    “SECRET NUMBER akan mempersiapkan diri untuk kembali dengan tampilan baru, dan kami akan melakukan yang terbaik agar dapat segera menyapa para penggemar,” begitu pernyataan Vine Entertainment setelah keluarnya beberapa anggota.

    Selain keempatnya, hanya Soodam dan Zuu yang masih bernaung bersama SECRET NUMBER.

    Pihak agensi juga belum mengumumkan jumlah anggota SECRET NUMBER serta konsep yang akan mereka lakukan.

    SECRET NUMBER debut pada tahun 2020 dengan single Who Dis? Bersama lima anggota. Dua tahun kemudian, Denise keluar dari grup dan agensi menambahkan Zuu dan Minji sebagai anggota baru.

  • Pentingnya Kesehatan Mental pada Ibu Hamil dan Menyusui

    Pentingnya Kesehatan Mental pada Ibu Hamil dan Menyusui

    Jakarta

    Kelahiran seorang bayi bisa memunculkan beragam emosi yang kuat, mulai dari kebahagiaan dan antusiasme, hingga rasa takut dan cemas. Namun, di balik momen penuh haru ini, tak jarang muncul kondisi yang tak terduga: depresi.

    Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 10 persen Ibu hamil dan 13 persen Ibu yang baru melahirkan mengalami gangguan mental, terutama depresi. Di negara berkembang, angka ini bahkan lebih tinggi, yakni 15,6 persen selama kehamilan dan 19,8 persen setelah melahirkan.

    Sebagian besar Ibu baru akan mengalami kondisi yang dikenal sebagai baby blues setelah melahirkan. Gejalanya mencakup perubahan suasana hati, mudah menangis, rasa cemas, hingga gangguan tidur. Baby blues biasanya muncul dalam 2 hingga 3 hari pertama setelah persalinan dan dapat berlangsung hingga dua minggu.

    Namun, pada beberapa Ibu, gejala tersebut berkembang menjadi kondisi yang lebih serius dan berlangsung lebih lama, yaitu depresi pascapersalinan atau disebut postpartum depression, karena bisa muncul sejak masa kehamilan dan berlanjut setelah melahirkan. Dalam kasus yang sangat jarang, Ibu dapat mengalami gangguan suasana hati yang ekstrem yang dikenal sebagai postpartum psychosis atau psikosis pascapersalinan.

    Perlu dipahami bahwa depresi pascapersalinan bukanlah tanda kelemahan atau kekurangan pribadi. Ini adalah salah satu bentuk komplikasi medis yang dapat terjadi setelah melahirkan. Dengan penanganan yang cepat dan tepat, gejala dapat dikelola, dan hubungan emosional antara Ibu dan bayi tetap dapat terjalin dengan kuat.

    Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (Kemendukbangga/BKKBN) melaporkan 57 persen Ibu di Indonesia mengalami gejala baby blues. Persentase ini disebut menjadikan angka Ibu yang mengalami baby blues di Indonesia tertinggi se-Asia.

    “Lima puluh tujuh persen Ibu di Indonesia mengalami gejala baby blues, angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara peringkat tertinggi di Asia dengan risiko baby blues,” kata Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga Kemendukbangga/BKKBN Nopian Andusti dalam sebuah sesi diskusi daring.

    Sementara itu menurut data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, sekitar 9,1 persen Ibu mengalami keluhan saat masa nifas, 1,1 persen di antaranya mengalami baby blues.

    Guru Besar Universitas Airlangga (UNAIR), Prof Endang Retno Surjaningrum, S.Psi, M.Appa, Psych, PhD, mengatakan pada 2019 tercatat prevalensi depresi postpartum pada rentang 20,5 hingga 25,4 persen, menjadikan satu dari lima perempuan mengalami kondisi kesehatan mental yang buruk.

    Ada berbagai faktor yang membuat seorang Ibu mengalami depresi dan gangguan mental, misalnya, perubahan hormon, stres fisik dan emosional, komplikasi kehamilan, hingga kurangnya dukungan sosial.

    “Ibu dengan masalah kesehatan mental berisiko mengalami komplikasi selama kehamilan dan persalinan. Menyebabkan kunjungan ke perawatan antenatal dan postnatal terganggu, cakupan gizi yang tidak memadai, peningkatan risiko preeklamsia, melahirkan prematur, dan kesulitan menyusui,” papar Prof Endang, dikutip dari laman Universitas Airlangga (Unair).

    Ibu yang mengalami depresi setelah melahirkan dapat mengalami penderitaan yang mendalam, hingga kesulitan untuk menjalani aktivitas dasar seperti makan, mandi, atau merawat diri sendiri. Kondisi ini meningkatkan risiko gangguan kesehatan, baik fisik maupun mental.

    Menurut WHO, bayi baru lahir sangat sensitif terhadap lingkungan sekitarnya dan kualitas pengasuhan yang diterima. Karena itu, bayi sangat mungkin terdampak jika diasuh oleh Ibu yang mengalami gangguan kesehatan mental.

    Depresi atau gangguan mental yang berat dan berkepanjangan dapat menghambat ikatan emosional antara Ibu dan bayi, termasuk mengganggu proses menyusui dan pemberian Air Susu Ibu (ASI).

    Hubungan Kesehatan Mental Ibu dengan Kelancaran ASI

    Pemberian Air Susu Ibu (ASI) pada dasarnya dimulai dalam satu jam pertama setelah kelahiran dan dilanjutkan dengan pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama kehidupan. Artinya, bayi hanya diberikan ASI tanpa tambahan makanan atau minuman lain, termasuk air putih.

    Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) Kementerian Kesehatan RI, dr Lovely Daisy, MKM, menjelaskan, ASI eksklusif sejak usia 0 hingga 6 bulan merupakan sumber gizi utama yang mengandung zat gizi terlengkap dan terbaik bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi.

    “ASI mengandung zat antibodi yang penting untuk kekebalan tubuh bayi dalam mencegah ataupun melawan penyakit infeksi,” ucapnya saat dihubungi detikcom, Senin (21/7/2025).

    “Di dalam ASI terdapat kandungan Asam Lemak (DHA dan ARA) yang penting untuk perkembangan otak sehingga pemberian ASI Eksklusif sangat disarankan pada bayi sejak lahir hingga usia 6 bulan. Menghemat pengeluaran keluarga dan negara jika dibandingkan dengan minuman selain ASI,” lanjutnya.

    Berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, cakupan ASI eksklusif di Indonesia mencapai 68,6 persen. Provinsi dengan cakupan tertinggi antara lain Nusa Tenggara Barat (87,9 persen), Jambi (81,3 persen), dan Nusa Tenggara Timur (79,7 persen). Sementara itu, provinsi dengan cakupan terendah adalah Gorontalo (47,4 persen), Papua Barat Daya (47,7 persen), dan Sulawesi Utara (52 persen).

    Pentingnya Kesehatan Mental pada Ibu Hamil dan Menyusui Foto: infografis detikHealth

    Sementara itu, menurut data terbaru dari Profil Kesehatan Ibu dan Anak 2024 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 74,73 persen anak usia 0-5 bulan mendapatkan ASI eksklusif.

    Meski angkanya cukup tinggi, masih ada bayi yang mungkin tak mendapatkan ASI eksklusif. Kondisi ini bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah gangguan kesehatan mental yang dialami Ibu pasca melahirkan.

    Gangguan seperti baby blues maupun depresi pascapersalinan dapat menghambat proses menyusui. Ibu yang mengalami kondisi ini sering kali merasa cemas, sedih, atau kelelahan secara emosional, sehingga kesulitan memberikan ASI secara optimal.

    Menurut studi yang dipublikasikan di jurnal Clinical Nutrition yang berjudul ‘Maternal stress in the Postpartum Period is Associated with Altered Human Milk Fatty Acid Composition’, stres yang dialami Ibu pada bulan pertama setelah melahirkan berhubungan dengan penurunan kadar total asam lemak (fatty acid) dalam ASI. Temuan ini mengindikasikan perubahan dalam komposisi ASI bisa menjadi salah satu jalur penularan dampak stres dari Ibu ke bayi.

    “Asam lemak dalam ASI sangat krusial untuk perkembangan anak, termasuk neurologis,” tulis para ilmuwan dalam jurnal tersebut.

    Meski begitu, penelitian lanjutan diperlukan untuk menentukan apakah perubahan ini berdampak terhadap perkembangan anak di masa depan.

    Studi lainnya yang dipublikasikan di International Breastfeeding Journal dengan judul ‘Association Between Postpartum Anxiety and Depression and Exclusive and Continued Breastfeeding Practices: a Cross-Sectional Study in Nevada, USA,’ juga mengatakan gejala kecemasan dan depresi pasca-persalinan Ibu sebagai faktor yang terkait dengan praktik menyusui yang lebih rendah di antara anak-anak di bawah usia dua tahun (0-23 bulan).

    “Adanya depresi serta adanya komorbiditas gejala kecemasan dan depresi pascapersalinan dikaitkan dengan Exclusive Breastfeeding (EBF) yang lebih rendah. Selain itu, gejala kecemasan pascapersalinan dikaitkan dengan (Continuous Breastfeeding) yang lebih rendah,” demikian laporan jurnal tersebut.

    Senada, Ketua Satgas ASI Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Dr dr Naomi Esthernita, SpA, SubspNeo(K) menjelaskan kesehatan mental Ibu sangat memengaruhi kelancaran menyusui, baik dari segi kuantitas maupun kualitas ASI yang dihasilkan.

    “Literatur banyak sekali yang membahas terutama mental. Itu ada anxiety, stress, dan depresi postpartum. Ibu-Ibu yang mengalami stress postpartum itu akan berbeda dalam hal ASI-nya berbeda kualitas dari efek fatty acid-nya. Jadi asam lemaknya beda. Dan setelah diteliti banyak hal, beberapa case juga kan skor stresnya tingginya si Ibu nih,” ucapnya kepada detikcom, Senin (21/7).

    Tak hanya itu, stres emosional juga menyebabkan peningkatan kadar hormon kortisol, yang pada gilirannya dapat menurunkan kadar prolaktin, hormon utama untuk produksi ASI. Bahkan, stres yang berkelanjutan juga bisa mengubah komposisi mikrobiota dalam ASI, yang penting untuk membentuk kekebalan tubuh bayi.

    “Berarti memang masalah kesehatan mental ini baik baby blues atau postpartum depression ini sangat mempengaruhi kualitas dan produksi ASI itu sendiri. Jadi komposisi ASI juga menurut literatur akan berbeda. Terus juga dengan stress volume asinnya juga bisa berkurang karena stres, cortisol nya naik, hormon prolaktinnya jadi turun,” lanjutnya.

    Karena itu, menurut dr Naomi, isu kesehatan mental seperti baby blues dan depresi pascapersalinan perlu mendapat perhatian serius karena sangat berpengaruh terhadap keberhasilan menyusui. Tanpa dukungan yang tepat, gangguan mental pada Ibu dapat menghambat keterikatan Ibu dan bayi, serta menurunkan keberhasilan pemberian ASI eksklusif.

    Terlebih, anak yang tak mendapatkan ASI dikaitkan dengan risiko kesehatan, termasuk stunting. Menurut studi yang dipublikasikan di Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia dengan judul ‘Tinjauan Sistematis: Faktor Pelindung dari Risiko Stunting pada Masa Menyusui’, ASI mengandung berbagai nutrisi penting, mulai dari makronutrien seperti protein, karbohidrat, lemak, dan karnitin, hingga mikronutrien seperti vitamin, mineral, serta zat bioaktif yang dIbutuhkan oleh bayi dan anak di bawah lima tahun.

    “Pemberian ASI eksklusif dapat menurunkan risiko stunting, karena bayi dan anak di bawah lima tahun sangat membutuhkan nutrisi yang terkandung dalam ASI,” demikian bunyi studi tersebut.

    Sebaliknya, rendahnya cakupan pemberian ASI dapat berdampak buruk terhadap kualitas hidup anak di masa depan dan bahkan memengaruhi kondisi ekonomi suatu negara.
    “Upaya penurunan stunting di mana satu di antaranya adalah pemberian ASI eksklusif,” ucap dr Daisy.

    dr Daisy juga mengatakan penting pula menekankan proses menyusui secara langsung atau Direct Breastfeeding (DBF), karena dapat membangun ikatan emosional (bonding) antara Ibu dan bayi. Jika ASI diberikan tidak secara langsung, maka perlu menggunakan perantara seperti botol dan dot yang berisiko terkontaminasi jika tidak dicuci dan disterilkan dengan benar.

    Selain manfaat dari sisi psikologis, menyusui secara langsung juga memberikan stimulasi pada otak Ibu melalui isapan bayi. Proses ini merangsang pelepasan hormon prolaktin yang berfungsi memproduksi ASI, serta hormon oksitosin yang membantu mengalirkan ASI. Dengan demikian, produksi ASI cenderung lebih optimal ketika bayi menyusu langsung dari payudara.

    Halaman 2 dari 3

    Simak Video “Video: Jangan Panik Moms Jika ASI Tak Langsung Keluar Setelah Melahirkan”
    [Gambas:Video 20detik]
    (suc/up)