NGO: WHO

  • Korsel Jadi Negara dengan Kasus Kanker Usus Tertinggi di Dunia, Inikah Pemicunya?

    Korsel Jadi Negara dengan Kasus Kanker Usus Tertinggi di Dunia, Inikah Pemicunya?

    Jakarta

    Meluasnya kebiasaan makan Barat di antara pola makan Asia, termasuk di Korea Selatan, meningkatkan risiko kanker kolorektal atau kanker usus besar menurut sebuah studi baru.

    Tim peneliti yang dipimpin oleh Prof Kang Dae-hee dari Seoul National University College of Medicine dan Prof Shin Sang-ah dari Department of Food and Nutrition, Chung-Ang University, mengumumkan pada hari Kamis, mereka telah memastikan adanya kaitan yang jelas antara pola makan bergaya Barat dan kanker kolorektal setelah menganalisis 82 studi kohort yang dilakukan di Korea Selatan, Jepang, China, Taiwan, dan Singapura.

    Kanker kolorektal secara umum dianggap sebagai ‘penyakit kanker Barat,’ yang paling banyak ditemukan di Amerika Serikat dan Eropa. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, angka kejadiannya melonjak di seluruh Asia, termasuk Korea Selatan.

    Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), angka kejadian kanker kolorektal di Asia Timur meningkat dua hingga empat kali lipat dalam 30 tahun terakhir.

    Korea Selatan kini mencatat salah satu tingkat kejadian tertinggi di dunia. Para peneliti mengaitkan peningkatan ini dengan pergeseran pola makan di Asia menuju gaya makan ala Barat, yang umumnya tinggi lemak, kalori, dan daging.

    Analisis menunjukkan bahwa konsumsi daging secara keseluruhan meningkatkan risiko kanker kolorektal sebesar 18 persen. Daging olahan, seperti sosis dan ham, secara terpisah juga meningkatkan risiko sebesar 18 persen. Sementara daging putih seperti ayam dan kalkun tidak menunjukkan hubungan signifikan dengan kanker kolorektal secara umum, konsumsi daging tersebut dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker rektum hingga 40 persen.

    Alkohol diidentifikasi sebagai faktor risiko terkuat. Orang yang mengonsumsi lebih dari 30 gram (2,05 ons) alkohol per hari, setara dengan dua kaleng bir (750 mililiter), dua hingga tiga gelas anggur, atau setengah botol soju, memiliki risiko 64 persen lebih tinggi terkena kanker kolorektal. Risiko ini konsisten baik pada kanker kolon maupun kanker rektum.

    Sebaliknya, asupan kalsium menurunkan risiko kanker kolorektal sebesar 7 persen. Produk susu dan ikan kecil yang dimakan utuh, seperti ikan teri, menjadi sumber utama. “Kalsium berikatan dengan asam lemak dan asam empedu di usus, sehingga mengurangi efek karsinogen,” jelas para peneliti.

    Pola makan yang kaya sayuran, buah, biji-bijian utuh, dan protein tanpa lemak juga memiliki efek pencegahan. Kelompok yang termasuk dalam kategori “pola makan sehat” menunjukkan risiko kanker usus besar 15 persen lebih rendah, berkat manfaat gabungan dari serat makanan, antioksidan, dan senyawa bioaktif nabati.

    Penelitian ini merupakan meta-analisis skala besar pertama yang berfokus pada populasi Asia. Sebagian besar penelitian sebelumnya tentang diet dan risiko kanker kolorektal didasarkan pada populasi Barat.

    “Selama ini sulit untuk langsung menerapkan hasil penelitian Barat pada orang Asia karena adanya perbedaan pola makan dan cara memasak,” ujar Kang, dikutip dari Korea JoongAng Daily, Minggu (24/7/2025).

    “Analisis ini menunjukkan bahwa mengurangi konsumsi alkohol dan daging olahan bisa menjadi strategi penting untuk mencegah kanker kolorektal di Asia.”

    Meskipun angka kanker kolorektal meningkat pesat di kawasan ini, para ahli menekankan bahwa penyakit tersebut sebagian besar dapat dicegah melalui perubahan gaya hidup. Mereka merekomendasikan untuk membatasi daging merah dan olahan, menghindari konsumsi alkohol berlebihan, rutin berolahraga, serta meningkatkan asupan sayuran, buah, dan biji-bijian utuh.

    Halaman 2 dari 2

    (suc/suc)

  • 7 Gejala Awal Kanker yang Sering Diabaikan, Waspadai sebelum Terlambat

    7 Gejala Awal Kanker yang Sering Diabaikan, Waspadai sebelum Terlambat

    Jakarta

    Kanker menjadi penyakit dengan kematian kedua terbanyak di dunia. Menurut World Health Organization (WHO), kanker menyebabkan sebanyak 9,6 juta kematian di 2018. Angka ini setara dengan 1 dari 6 kematian di dunia.

    Kanker yang umum dialami pria adalah paru-paru, prostat, kolorektal. Sementara pada wanita biasanya kanker payudara, kolorektal, usus, paru-paru, serviks, dan troid lebih umum ditemukan.

    Salah satu penyebab kematian terbanyak di dunia adalah keterlambatan diagnosis. Karenanya, mengenali gejala kanker sangat penting untuk pengobatan lebih awal. Dikutip dari laman Times of India, berikut beberapa gejala awal kanker yang sering diabaikan dan dianggap sebagai penyakit ringan.

    1. Penurunan Berat Badan

    Penurunan berat badan secara tiba-tiba, tanpa diet perubahan pola makan hingga olahraga patut dikhawatirkan. Sel kanker bisa mengubah metabolisme, yang menyebabkan penurunan berat badan.

    Banyak kanker, seperti pankreas, lambung, esofagus, atau paru-paru bisa menyebabkan gejala in. Jadi, jika berat badan turun 3-5 kg tanpa alasan yang jelas, penting untuk berkonsultasi dengan dokter.

    2. Kelelahan

    Kelelahan yang dirasakan sepanjang waktu meski sudah cukup istirahat tidak boleh dianggap remeh. Merasa sangat lelah, padahal sudah tidur nyenyak atau memiliki masalah kesehatan lainnya bisa jadi merupakan gejala dari kanker, seperti leukimia, kanker usus besar, atau kanker lambung.

    3. Ada Benjolan atau Pembengkakan

    Tanda lainnya adalah adanya benjolan yang tidak biasa. Area yang menebal di payudara, testis, atau tempat lainnya bisa menjadi tanda dari kanker.

    4. Nyeri Kronis

    Nyeri yang berkelanjutan tanpa alasan yang jelas juga tidak boleh diremehkan. Bisa jadi nyeri ini menjadi tanda kanker tulang, kanker otak, dan lainnya.

    Jika nyeri berlangsung lama dan tidak merespons pengobatan, saatnya untuk memeriksakan diri ke dokter. Misalnya, nyeri perut bisa menjadi tanda dari kanker usus besar.

    5. Perubahan pada Kulit

    Perubahan pada kulit, seperti tahi lalat baru, luka yang tidak kunjung sembuh, atau penyakit kuning bisa menjadi tanda peringatan dari kanker. Kanker kulit yang mematikan, melanoma, seringkali muncul sebagai tahi lalat asimetris dengan batas tidak teratur.

    6. Pendarahan yang Tidak Biasa

    Apabila ada darah dalam tinja, urine, atau saat batuk, segera konsultasikan dengan dokter. Perdarahan yang tidak bisa dijelaskan bisa menjadi tanda peringatan dari kanker.

    Kanker usus besar misalnya, bisa menimbulkan gejala pendarahan rektum, yang menyebabkan adanya darah dalam tinja. Perlu diingat, pendarahan abnormal memerlukan perhatian medis.

    7. Sering Mengalami Infeksi atau Demam

    Sering Infeksi atau demam bisa jadi merupakan tanda kanker. Hal tersebut dapat terjadi karena sistem kekebalan tubuh sedang terganggu.

    (elk/naf)

  • Ciri-ciri Cacingan pada Orang Dewasa yang Kerap Tak Disadari

    Ciri-ciri Cacingan pada Orang Dewasa yang Kerap Tak Disadari

    Jakarta

    Meski lebih sering dikaitkan dengan anak-anak, cacingan juga bisa dialami oleh orang dewasa. Gejalanya mungkin tidak disadari karena mirip dengan keluhan kesehatan lain.

    Penting untuk mengenali gejala cacingan untuk penanganan lebih awal. Jika tidak diobati, cacingan bisa menyebabkan komplikasi. Adapun beberapa cacing penyebab infeksi di antaranya cacing pita, cacing tambang, cacing gelang, hingga cacing kremi.

    Gejala Cacingan pada Orang Dewasa

    Cacing dapat berkembang biak dan tumbuh. Setelah berkembang biak dan menjad besar dan banyak, gejala yang mungkin muncul yaitu:

    Sakit perutDiare, mual, atau muntahKembungKelelahanPenurunan berat badan tanpa alasanNyeri perut

    Orang yang terkena cacingan juga bisa mengalami disentri. Kondisi ini terjadi saat infeksi usus menyebabkan diare disertai darah dan lendir dalam tinja.

    Cacingan juga bisa menyebabkan ruam atau gatal di sekitar rektum, area di ujung usus besar sebelum lubang anus, serta vulva, organ genital eksternal wanita. Terkadang, cacing juga keluar bersama tinja saat buang air besar.

    Cacingan Bisa Menyebabkan Komplikasi?

    Cacingan bisa meningkatkan risiko timbulnya anemia, penyumbatan usus, dan kekurangan gizi. Kendati demikian, komplikasi ini lebih sering terjadi pada orang lanjut usia dan orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah, seperti pengidap HIV.

    Cacingan juga bisa menimbulkan risiko lebih tinggi untuk ibu hamil. Sehingga, jika seorang ibu hamil didiagnosis mengalami infeksi cacing usus, doktr akan menentukan terapi obat antiparasit yang aman untuk dikonsumsi selama kehamilan.

    Penyebab Cacingan

    Tergantung jenisnya, cacingan bisa ditularkan melalui berbagai cara. Salah satunya adalah dengan mengonsumsi daging yang kurang matang. Dikutip dari Healthline dan Cleveland Clinic, adapun kemungkinan lainnya yaitu:

    Konsumsi air yang terkontaminasiKontak dengan feses yang mengandung parasitKesulitan sanitasiKesulitan dalam menjaga kebersihanBerjalan tanpa alas kaki di tanah yang terkontaminasiMenyentuh jari ke mulut

    Seseorang juga bisa tertular cacingan dari paparan orang yang sudah terinfeksi atau permukaan yang disentuh orang tersebut. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO), diperkirakan 24 persen dari populasi dunia terjangkit cacing yang ditularkan melalui tanah.

    Kapan Harus Menghubungi Dokter?

    Kebanyakan jenis cacing hanya menimbulkan gejala ringan. Namun, tetap penting untuk menghubungi dokter jika mencurigai adanya infeksi cacing agar bisa diobati sejak dini. Seringkali obat-obatan efektif untuk membasmi cacing.

    Hubungi dokter jika:

    Adanya darah atau nanah di tinjaMuntah setiap hari atau seringMemiliki suhu tubuh yang tinggiMerasa sangat lelah dan dehidrasiKehilangan berat badan tanpa alasan yang jelasMerasa sakit, diare, atau sakit perut selama lebih dari 2 mingguMemiliki ruam merah dan gatal pada kulit yang berbentuk seperti cacing.

    (elk/naf)

  • Seperti Apa Bahaya Minum Kopi Pakai Gula Setiap Hari? Ini Penjelasannya

    Seperti Apa Bahaya Minum Kopi Pakai Gula Setiap Hari? Ini Penjelasannya

    Jakarta

    Banyak orang menyebut dirinya sebagai coffee drinker, bahkan menganggap kopi sudah mengalir dalam darah mereka. Tak bisa dipungkiri, secangkir kopi di pagi hari memang bisa membuat tubuh lebih bersemangat berkat kandungan kafeinnya.

    Namun, kafein bukan satu-satunya hal yang perlu diperhatikan. Kebiasaan menambahkan gula ke dalam kopi bisa menjadikan minuman ini sumber gula tambahan harian yang berisiko bila dikonsumsi berlebihan.

    Perlu diketahui, gula tambahan berbeda dengan gula alami yang terdapat pada makanan berkarbohidrat seperti buah, sayuran, biji-bijian, dan susu. Added sugar adalah gula yang sengaja ditambahkan ke makanan atau minuman, misalnya pada kopi atau coffee creamer, untuk meningkatkan rasa.

    Dampak Minum Kopi Pakai Gula Setiap Hari

    Jika dikonsumsi terlalu sering, gula tambahan dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan. Dikutip dari Livestrong, berikut penjelasannya.

    1. Peningkatan Kadar Gula Darah

    Mengonsumsi gula dapat menyebabkan lonjakan kadar gula darah yang memberi dorongan energi sesaat, tetapi cepat diikuti oleh penurunan drastis atau sugar crash.

    “Gula diserap oleh aliran darah. Hal ini mengakibatkan lonjakan kadar gula darah yang memberikan lonjakan energi cepat, tetapi hanya sesaat dan diikuti oleh penurunan drastis kadar gula darah,” jelas Jennifer Schlette, RD, ahli gizi sekaligus integrative nutrition health coach.

    Bagi pengidap diabetes atau gangguan terkait gula darah, kondisi ini bisa berisiko. Namun, pada populasi umum, lonjakan dan penurunan ini tidak dianggap membahayakan.

    2. Peningkatan Berat Badan

    Kasus obesitas meningkat dalam beberapa dekade terakhir, seiring dengan meningkatnya konsumsi gula. Penelitian menunjukkan gula bukanlah penyebab tunggal epidemi obesitas, tetapi menjadi salah satu kontributor utama kenaikan berat badan, menurut Johns Hopkins Medicine.

    3. Kerusakan Gigi

    Gula juga berkontribusi terhadap kerusakan gigi atau tooth decay. Minuman manis menjadi salah satu sumber utama gula tambahan, menurut World Health Organization (WHO). Mengurangi konsumsi gula bisa membantu menjaga kesehatan gigi.

    4. Kekurangan Nutrisi

    Terlalu banyak makanan tinggi gula dapat menggantikan makanan bernutrisi. Menurut Mayo Clinic, banyak makanan manis minim vitamin dan mineral penting. Contohnya, kue manis sarat gula tidak dapat menggantikan serat dan vitamin C yang biasanya didapatkan dari buah.

    5. Risiko Penyakit Jantung

    Asupan gula berlebih juga berdampak pada kesehatan jantung. Pola makan tinggi gula dikaitkan dengan obesitas, tekanan darah tinggi, peradangan kronis, peningkatan trigliserida, dan kadar kolesterol yang tinggi. Menurut Cleveland Clinic, konsumsi gula yang berlebihan dapat meningkatkan risiko penyakit jantung.

    Jumlah Gula yang Direkomendasikan Per Hari

    Perlu diketahui, gula bukanlah zat gizi esensial yang dibutuhkan tubuh. Karena itu, berbagai lembaga kesehatan memberikan batasan konsumsi gula tambahan agar tidak berlebihan.

    Menurut Dietary Guidelines for Americans, asupan kalori dari gula tambahan sebaiknya tidak lebih dari 10 persen dari total kebutuhan kalori harian. Bagi seseorang yang mengonsumsi 2.000 kalori per hari, batas maksimal gula tambahan setara dengan 12 sendok teh (50 gram atau 200 kalori) per hari, menurut Food and Drug Administration (FDA).

    Sementara itu, American Heart Association (AHA) memberikan rekomendasi yang lebih ketat:

    Laki-laki: maksimal 9 sendok teh (36 gram atau 150 kalori) gula tambahan per hari.Perempuan: maksimal 6 sendok teh (25 gram atau 100 kalori) gula tambahan per hari.

    (suc/suc)

  • 2.035 Orang Kena Campak di Sumenep, 17 di Antaranya Meninggal Dunia

    2.035 Orang Kena Campak di Sumenep, 17 di Antaranya Meninggal Dunia

    Bersinergi dengan Kementerian Kesehatan RI, Pemprov Jatim juga melakukan rapat koordinasi terbatas bersama Komite Ahli Penyakit-penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (Komli PD3I) Indonesia, WHO, dan Dinkes Sumenep untuk membahas KLB campak serta rekomendasi penaggulangannya. 

    “Secepatnya akan kami lakukan Outbreak Response Imunization atau ORI. Berdasarkan kajian epidemiologi sampai dengan 14 Agustus 2025 lalu, maka ORI campak akan dilakukan di 26 wilayah puskesmas di Sumenep untuk mencegah transmisinya,” ujar Khofifah.

    Sasaran ORI sendiri merupakan anak-anak berusia 9 bulan hingga 6 tahun. Tindakan ini akan dilaksanakan serentak mulai tanggal 25 Agustus sampai 14 September mendatang. 

    Khofifah memastikan, ORI dilakukan dengan pemberian 1 dosis MR tanpa melihat status imunisasi sebelumnya. Setelah ORI selesai, barulah akan dilakukan imunisasi kejar pada anak-anak yang belum lengkap imunisasi campak sesuai usia untuk peningkatan kekebalan.

    Demi kesuksesan ORI, Khofifah telah melakukan koordinasi dengan mitra potensial terkait pendampingan dan kunjungan kepada sasaran yang menolak imunisasi. 

    Tak hanya itu, dilakukan pula surveilans aktif RS (SARS) dan Hospital Rreord Review (HRR) di RSUD Dr. H. Moh. Anwar, RSI Garam Kalianget, serta RSU Sumekar.

    “Saya juga meminta kepada masyarakat untuk aktif mendorong awareness terkait gejala, komplikasi, dan pencegahan campak dengan imunisasi. Intinya target pelaksanaan ORI ini minimal 95 persen agar anak-anak terlindungi dan nantinya membentuk herd immunity,” ucap Khofifah.

  • Tren Beli Obat Cacing di Kalangan Gen Z Buntut Meninggalnya Bocah Sukabumi

    Tren Beli Obat Cacing di Kalangan Gen Z Buntut Meninggalnya Bocah Sukabumi

    Jakarta

    Kasus kematian Raya, balita di Sukabumi, Jawa Barat, pasca infeksi kecacingan sontak menjadi perhatian publik. Penyakit yang selama ini dianggap ringan ternyata bisa berdampak serius bila tidak kunjung diobati, lantaran berpengaruh pada kondisi gizi anak.

    Imbas peristiwa tersebut, tidak sedikit warganet utamanya generasi Z panik dan buru-buru membeli obat cacing. Video-video di TikTok memperlihatkan sejumlah Gen Z yang kembali minum obat cacing setelah bertahun-tahun tidak pernah mengonsumsinya.

    “POV: gen z setelah lihat kasus yang lagi viral, langsung buru-buru minum obat cacing setelah 2 tahun nggak minum obat cacing,” beber salah satu pengguna akun TikTok **iau**lll, seperti dilihat detikcom Jumat (22/8/2025).

    “Jangan lupa minum obat cacing 6 bulan sekali. Terakhir minum pas SD, sekarang umur 26 baru minum lagi,” tulis salah satu narasi video viral.

    “Ketakutan Gen Z: minum obat cacing,” komentar pengguna TikTok lain.

    Kasus Raya memicu diskusi lebih luas di publik, apakah orang dewasa yang tinggal di perkotaan dengan kondisi sehat juga perlu rutin minum obat cacing?

    Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Infeksi Penyakit Tropik Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Riyadi, SpA, Subs IPT(K), MKes, menegaskan obat cacing pada dasarnya aman dikonsumsi segala usia. Lantaran kecacingan tidak hanya menyerang anak-anak, tetapi juga bisa dialami orang dewasa.

    “Minum obat cacing kalau bergejala boleh, umur 1 tahun sampai umur berapa pun bisa. Di atas 1 tahun, kalau ada gejala, ada indikasi, jangan lupa minum obat harus dengan saran dokter,” jelas dr Riyadi dalam agenda temu media IDAI, Jumat (22/8/2025).

    Namun, ia mengingatkan agar penggunaan obat cacing tetap harus sesuai indikasi. “Obat cacing itu kayak antibiotik, dia antimikroba. Jangan berlebihan karena ada kemungkinan resisten,” tegasnya.

    Infeksi cacing bisa terjadi pada siapa saja, termasuk orang dewasa. Penularannya biasanya melalui makanan yang terkontaminasi atau kebiasaan hidup dengan sanitasi buruk.

    Dikutip dari Mayo Clinic, gejalanya dapat berupa:

    Gatal di area anus atau vaginaGangguan pencernaan seperti diare, mual, atau nyeri perutPenurunan berat badan tanpa sebab yang jelasRasa lelah berkepanjangan

    Menurut dr Riyadi, meskipun jarang secara langsung menyebabkan kematian, kecacingan memiliki dampak kronis. “Kecacingan bisa membuat seseorang lebih rentan terinfeksi penyakit lain dan memperburuk kesehatan dalam jangka panjang,” ujarnya.

    Tidak Semua Orang Perlu Minum

    Guru Besar Farmasi Universitas Gadjah Mada, Prof Zullies Ikawati, mengingatkan agar masyarakat tidak serta-merta latah ikut membeli obat cacing jika tidak ada indikasi. Menurutnya, konsumsi obat cacing tidak diwajibkan bagi semua kelompok masyarakat.

    “Orang dewasa yang sehat, tinggal di lingkungan dengan sanitasi baik, air bersih, serta kebersihan pribadi terjaga, sebenarnya tidak perlu minum obat cacing setiap enam bulan. Namun, tetap dianjurkan bila ada risiko tinggi atau gejala,” tutur Prof Zullies.

    Meski begitu, ia menegaskan bahwa pemberian obat cacing rutin enam bulan sekali sangat dianjurkan bagi mereka yang tinggal di daerah endemis atau wilayah dengan angka kecacingan masih tinggi.

    “Pemberian obat cacing dianjurkan secara rutin setiap 6 bulan sekali, baik untuk anak-anak maupun orang dewasa yang tinggal di daerah endemis. Hal ini sejalan dengan rekomendasi WHO dan Kementerian Kesehatan RI melalui program mass drug administration (MDA),” jelasnya.

    Risiko Infeksi Ulang

    Prof Zullies menambahkan, obat cacing yang selama ini diberikan, seperti albendazol 400 mg atau mebendazole 500 mg dosis tunggal, efektif membunuh cacing dewasa, tetapi tidak bisa mencegah telur atau larva baru masuk ke tubuh.

    “Seseorang bisa kembali terinfeksi dalam beberapa minggu hingga bulan setelah pengobatan. Obat hanya membunuh cacing dewasa,” ungkapnya.

    Karena itu, bagi kelompok berisiko tinggi, pemberian obat cacing secara berkala menjadi penting agar infeksi tidak berulang dan tidak menimbulkan dampak kesehatan jangka panjang.

    Kelompok Prioritas Pemberian Obat Cacing

    Prof Zullies merinci kelompok masyarakat yang lebih rentan terinfeksi cacing, sehingga menjadi prioritas dalam pemberian obat cacing rutin, yaitu:

    Anak prasekolah (1-5 tahun): sering bermain tanah tanpa alas kaki.Anak usia sekolah (6-14 tahun): target utama program pemberian obat cacing di sekolah dasar.Wanita usia subur: termasuk ibu hamil trimester kedua dan ketiga.Orang dewasa di daerah endemis dengan sanitasi buruk: seperti pekerja sawah, kebun, tambang, atau mereka yang sering kontak dengan tanah.Populasi dengan status gizi rendah.

    “Dengan memahami sasaran dan jadwal yang tepat, pemberian obat cacing akan lebih efektif dalam mencegah malnutrisi, anemia, serta dampak jangka panjang akibat kecacingan,” pungkas Prof Zullies.

    Fenomena paniknya Gen Z yang ramai-ramai membeli obat cacing memperlihatkan adanya kekhawatiran yang wajar, tetapi perlu dilandasi informasi yang tepat. Obat cacing aman dan bermanfaat, tetapi harus digunakan sesuai indikasi dan anjuran tenaga kesehatan.

    Bagi masyarakat yang tinggal di daerah endemis atau masuk kelompok berisiko, pemberian obat cacing rutin merupakan langkah penting untuk menjaga kesehatan. Namun, bagi mereka yang hidup di lingkungan bersih dengan sanitasi baik, konsumsi obat cacing bisa disesuaikan dengan kebutuhan dan gejala yang muncul dan tetap perlu anjuran dokter.

    Halaman 2 dari 4

    Simak Video “Video: Dokter Ingatkan soal Tren Beli Obat Cacing Usai Kasus Balita Sukabumi”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/up)

    Tren Gen Z Beli Obat Cacing

    5 Konten

    Kasus meninggalnya seorang bocah di Sukabumi karena kecacingan yang tidak tertangani menuai sorotan banyak pihak. Bahkan memunculkan tren baru di kalangan Gen Z, yakni ramai-ramai beli dan minum obat cacing sendiri.

    Konten Selanjutnya

    Lihat Koleksi Pilihan Selengkapnya

  • Obat Cacing Jadi Buruan Gen Z, Ini Wanti-wanti Guru Besar Farmasi UGM

    Obat Cacing Jadi Buruan Gen Z, Ini Wanti-wanti Guru Besar Farmasi UGM

    Jakarta

    Kematian balita Sukabumi dengan tubuh penuh cacing memicu rasa waswas banyak orang. Tidak sedikit yang kemudian mulai mencari berbagai jenis obat cacing.

    Guru Besar Farmasi Universitas Gadjah Mada Prof Zullies Ikawati menegaskan konsumsi obat cacing tidak diwajibkan untuk semua kelompok. Orang dengan kondisi sehat, lingkungan sanitasi bersih, serta tidak memiliki gejala kecacingan, tidak perlu ‘latah’ ikut mencari obat.

    Menurutnya, pemberian obat cacing rutin enam bulan sekali menjadi wajib bagi anak-anak maupun orang dewasa yang tinggal di daerah endemis alias wilayah yang masih mencatat kasus kecacingan.

    “Pemberian obat cacing dianjurkan secara rutin setiap 6 bulan sekali, baik untuk anak-anak maupun orang dewasa yang tinggal di daerah endemis. Hal ini sejalan dengan rekomendasi WHO dan Kementerian Kesehatan RI melalui program mass drug administration (MDA),” kata Prof Zullies kepada wartawan, Jumat (22/8/2025).

    Bagi kelompok berisiko, pemberian obat cacing setiap bulan dianjurkan lantaran telur cacing bisa bertahan lama di lingkungan, sehingga rentan terjadi infeksi ulang.

    “Seseorang bisa kembali terinfeksi dalam beberapa minggu hingga bulan setelah pengobatan. Obat hanya membunuh cacing dewasa,” bebernya.

    Prof Zullies mencontohkan albendazol 400 mg atau mebendazol 500 mg dosis tunggal, yang selama ini diberikan, hanya efektif membasmi cacing dewasa, tidak mampu mencegah telur atau larva baru masuk.

    Siapa Saja yang Dianjurkan?

    Prof. Zullies menekankan ada kelompok prioritas yang berisiko lebih tinggi terkena infeksi cacing:

    Anak prasekolah (1-5 tahun), lebih rentan karena sering bermain tanah tanpa alas kaki.Anak usia sekolah (6-14 tahun), target utama program pemberian obat cacing di sekolah dasar.Wanita usia subur, termasuk ibu hamil trimester kedua dan ketiga.Orang dewasa di daerah endemis dengan sanitasi buruk (pekerja sawah, kebun, tambang, atau yang sering kontak tanah).Populasi dengan status gizi rendah.

    “Orang dewasa yang tinggal di perkotaan dengan sanitasi baik, air bersih, serta kebersihan pribadi terjaga biasanya tidak perlu minum obat cacing setiap 6 bulan. Namun tetap dianjurkan bila ada risiko tinggi atau gejala,” tutur Prof. Zullies.

    “Dengan memahami sasaran dan jadwal yang tepat, pemberian obat cacing akan lebih efektif dalam mencegah malnutrisi, anemia, dan dampak jangka panjang akibat kecacingan,” pungkasnya.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/up)

    Tren Gen Z Beli Obat Cacing

    4 Konten

    Kasus meninggalnya seorang bocah di Sukabumi karena kecacingan yang tidak tertangani menuai sorotan banyak pihak. Bahkan memunculkan tren baru di kalangan Gen Z, yakni ramai-ramai beli dan minum obat cacing sendiri.

    Konten Selanjutnya

    Lihat Koleksi Pilihan Selengkapnya

  • Pukulan Orangtua Bisa Tinggalkan Luka yang Tak Sembuh

    Pukulan Orangtua Bisa Tinggalkan Luka yang Tak Sembuh

    JAKARTA – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membagikan laporan baru terkait hukuman fisik yang membahayakan kesehatan anak-anak. Hukuman fisik disebut menyebabkan kerusakan yang signifikan bagi kesehatan dan perkembangan anak.

    Secara global diperkirakan 1,2 miliar anak berusia 0-18 tahun menjadi sasaran hukuman fisik di rumah mereka setiap tahun. Data di 58 negara menunjukkan bahwa 17 persen anak-anak mengalami hukuman fisik dalam sebulan.

    Pemukulan fisik yang dialami mulai dari pukulan di kepala, wajah, telinga, atau dipukul dengan keras secara berulang kali. Ini tidak hanya terjadi di rumah, tetapi juga di sekolah.

    Seperti di seluruh Afrika dan Amerika Tengah, sekitar 70 persen anak-anak mengalami hukuman fisik selama bertahun-tahun sekolah, dibandingkan dengan sekitar 25 persen di wilayah Pasifik Barat.

    “Sekarang ada bukti ilmiah yang luar biasa menunjukkan bahwa hukuman fisik membawa banyak risiko bagi kesehatan anak-anak,” kata Direktur Departemen WHO untuk Penentu Kesehatan, Promosi, dan Pencegahan, Etienne Krug, dikutip dari laman resmi WHO, pada Kamis, 21 Agustus 2025.

    Pada laporan tersebut dijabarkan bahwa hukuman fisik sebenarnya tidak memberikan dampak baik bagi perilaku dan kesejahteraan anak-anak.

    “Itu tidak memberikan manfaat bagi perilaku, perkembangan, atau kesejahteraan anak-anak dan juga tidak bermanfaat bagi orang tua atau masyarakat,” tuturnya.

    Perlu diketahui bahwa anak-anak yang sering mendapat hukuman fisik tidak hanya mengalami cedera langsung, tetapi juga kesehatan mental bisa terganggu. Hal ini bisa menyebabkan peningkatan pada kecemasan, depresi, harga diri yang rendah, dan ketidakstabilan emosional.

    Efek-efek ini bisa bertahan hingga dewasa, yang pada akhirnya bisa menyebabkan tingkat kecemasan makin tinggi, penyalahgunaan zat, bahkan keinginan untuk bunuh diri juga meningkat. Oleh karena itu, hukuman fisik sebaiknya diakhiri baik di rumah maupun di sekolah.

    “Sudah waktunya untuk mengakhiri praktik berbahaya ini untuk memastikan anak-anak berkembang di rumah dan di sekolah,” pungkasnya.

  • Stop BABS dan jaga sanitasi cegah infeksi cacing pada tubuh

    Stop BABS dan jaga sanitasi cegah infeksi cacing pada tubuh

    Jakarta (ANTARA) – Direktur Penyakit Menular WHO Kantor Regional Asia Tenggara 2018-2020 Prof. Tjandra Yoga Aditama mengingatkan masyarakat agar berhenti buang air besar sembarangan dan menjaga sanitasi guna mencegah infeksi cacing pada tubuh.

    “Sanitasi dijaga dan Stop BABS (buang air besar sembarangan) jadi aspek penting kesehatan masyarakat, termasuk mencegah kecacingan,” kata Tjandra saat dihubungi di Jakarta, Kamis.

    Merujuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dia mengatakan penyakit akibat cacing adalah infeksi yang disebabkan oleh berbagai jenis parasit cacing, seperti cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing tambang yang dapat berupa Necator americanus dan Ancylostoma duodenale, serta Strongyloides stercoralis.

    Infeksi pada tubuh manusia, sambung dia, terjadi akibat penularan melalui telur cacing yang terdapat pada tinja, kemudian mengkontaminasi tanah, terutama di daerah yang buruk sanitasinya.

    “Telur cacing tersebut dapat tertelan oleh anak-anak yang bermain di tanah yang terkontaminasi, lalu memasukkan tangan mereka ke dalam mulut tanpa mencucinya. Tentu saja ada cara penularan lain, seperti melalui air yang tercemar,” jelas Tjandra.

    Salah satu bagian tubuh yang dapat mengalami akibat buruk dari infeksi cacing itu adalah paru-paru. Namun infeksi tersebut secara umum lebih sering terjadi pada saluran pencernaan.

    Jika infeksi itu menyerang paru-paru, maka ada berbagai kemungkinan gejala, seperti batuk, sesak napas dan suara mengi. Pada kondisi lebih berat, dapat terjadi nyeri dada, batuk darah bahkan batuk keluar cacing.

    Apabila seorang anak terkena infeksi cacing, maka harus ditangani dengan konsumsi obat cacing secara berkala, penyuluhan kesehatan, dan perbaikan sanitasi.

    “Kalau sudah terjadi penyakit, maka sebenarnya sudah tersedia obat yang aman dan efektif untuk mengobatinya,” ujar Tjandra.

    Sementara itu, terkait BABS, per Juli 2025 tercatat sekitar 850 kepala keluarga (KK) dari sembilan kelurahan di Jakarta masih menerapkan perilaku tersebut.

    Tjandra menegaskan penanganan BABS harus menjadi salah satu prioritas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, misalnya dengan membantu membangun fasilitas mandi cuci kakus (MCK) dan tangki septik komunal di lahan yang tersedia.

    “Jadi caranya akan tergantung dari masalah di lapangan yang mungkin berbeda-beda satu dengan lainnya, tapi jelas perlu jadi prioritas penanganan,” ucap Tjandra.

    Sebelumnya, Raya (4), bocah asal Kampung Padangenyang, Sukabumi, Jawa Barat, meninggal dunia dengan kondisi tubuh dipenuhi cacing.

    Dia diketahui tinggal di rumah bilik panggung dengan bagian bawahnya yang dipenuhi kotoran ayam sehingga diduga menjadi sumber infeksi cacing.

    Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
    Editor: Rr. Cornea Khairany
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Dikira Flu Biasa, Ternyata Pria Ini Kena Tumor Otak

    Dikira Flu Biasa, Ternyata Pria Ini Kena Tumor Otak

    Jakarta

    Seorang pria pengemudi truk awalnya mengira terkena flu atau COVID-19. Namun, kenyataannya jauh lebih buruk dari itu.

    Pria bernama Kieran Shingler itu mulai mengalami gejala, seperti sakit kepala, sakit tenggorokan, dan pilek pada 2022. Setelah dinyatakan negatif COVID-19, Kieran dan kekasihnya, Abbie Henstock, hanya menganggap itu sebagai flu biasa.

    Sayangnya, seiring berjalannya waktu, kondisi pria 26 tahun itu semakin memburuk. Ia mulai tidak bisa menelan makanan.

    Dokter umum yang menanganinya menyarankan Kieran untuk pergi ke Rumah Sakit Warrington di Cheshire karena mengira terkena meningitis. Namun, hasil CT scan menunjukkan massa di bagian otak.

    Kieran kemudian dipindahkan ke Walton Centre di Liverpool, tempat ia menjalani empat prosedur, termasuk biopsi. Hasilnya terungkap ia terkena astrositoma derajat tiga, tumor yang tumbuh dengan cepat.

    Selama perawatan, Kieran menjalani radioterapi dan kemoterapi yang bertujuan untuk mengecilkan tumor. Ia sangat terpukul setelah tahu dari CT scan terbaru bahwa tumor tersebut mulai tumbuh lagi.

    “Ketika saya didiagnosis mengidap tumor otak, saya takut, marah, dan selalu bertanya-tanya kenapa ini bisa terjadi,” tuturnya yang dikutip dari Express UK, Selasa (19/8/2025).

    Akibat kondisi itu, Kieran divonis hanya bisa bertahan hidup selama 12 bulan atau setahun lagi. Mengetahui itu, ia dan kekasihnya mendirikan penggalangan dana untuk pengobatan Kieran.

    Kieran, keluarga, dan teman-temannya telah mengumpulkan lebih dari £52 ribu atau sekitar 984 juta rupiah untuk berbagai badan amal tumor otak, termasuk Brain Tumour Charity, dan untuk mendanai berbagai terapi di rumah, seperti mesin oksigen dan lampu merah.

    Menyoal Astrositoma Derajat 3

    Dikutip dari Cleveland Clinic, astrositoma derajat tiga (astrositoma anaplastik) adalah tumor otak yang tumbuh cepat dan terdiri dari sel-sel astrosit. Itu adalah sel berbentuk bintang di otak dan sumsum tulang belakang yang menopang dan melindungi neuron atau sel saraf.

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan ulang astrositoma anaplastik sebagai ‘astrositoma derajat tiga’. Klasifikasi ulang ini membantu memperjelas tumor untuk tujuan diagnostik.

    Sebagai tumor derajat 3, klasifikasi ini berarti tumor ini tumbuh lebih cepat dan lebih agresif daripada derajat 1 dan 2. Meskipun kurang umum, tumor ini dapat menyebar ke jaringan otak di sekitarnya dari tempat tumor mulai tumbuh. Tumor ini juga dikenal sebagai astrositoma ganas (kanker) atau derajat tinggi.

    Astrositoma adalah subtipe glioma, yang mencakup beberapa jenis tumor lain, termasuk astrositoma, ependimoma, dan oligodendroglioma. Meskipun tumor ini lebih parah daripada jenis astrositoma lainnya, tumor ini dapat diobati dengan pembedahan, diikuti dengan uji klinis, radiasi, dan kemoterapi.

    Gejala Astrositoma Derajat 3

    Gejala astrositoma derajat 3 bervariasi berdasarkan ukuran dan lokasi tumor, tetapi dapat meliputi:

    Sakit kepala.Mengantuk atau lesu.Muntah.Perubahan kepribadian.Perubahan penglihatan.Kesulitan koordinasi.Kelemahan pada lengan dan kaki.Kejang.

    Gejala tambahan dapat terjadi jika tumor berada di bagian tertentu di otak. Misalnya, mungkin mengalami masalah ingatan jika tumor berada di lobus frontal atau kesulitan berkomunikasi jika tumor berada di lobus parietal.

    Halaman 2 dari 2

    (sao/naf)