NGO: WHO

  • Pakai masker, kualitas udara Jakarta terburuk se-Indonesia

    Pakai masker, kualitas udara Jakarta terburuk se-Indonesia

    Jakarta (ANTARA) – Kualitas udara Kota Jakarta tercatat tidak sehat dan terburuk se-Indonesia sehingga masyarakat disarankan mengenakan masker saat berada di luar rumah, demikian seperti dinyatakan dalam laman IQAir dengan pembaruan pada pukul 05.00 WIB.

    IQAir mencatat kualitas udara Jakarta berada pada poin 159 dengan tingkat konsentrasi polutan PM 2,5 sebesar 67 mikrogram per meter kubik atau 13,4 lebih tinggi nilai panduan kualitas udara tahunan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

    PM 2,5 merupakan partikel berukuran lebih lebih kecil 2,5 mikron (mikrometer) yang ditemukan di udara termasuk debu, asap dan jelaga. Paparan partikel ini dalam jangka panjang dikaitkan dengan kematian dini, terutama pada orang yang memiliki penyakit jantung atau paru-paru kronis.

    Rekomendasi kesehatan terkait kualitas udara saat ini selain mengenakan masker, juga menghindari beraktivitas di luar ruangan, menutup jendela demi menghindari udara luar yang kotor, dan menyalakan penyaring udara.

    Adapun kualitas udara Jakarta tercatat berada pada urutan pertama terburuk di Indonesia, diikuti Depok, Jawa Barat dengan poin 151, dan Tangerang Selatan; Banten (151).

    Sementara itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mendorong kerja sama konkret dengan daerah-daerah penyangga untuk bersama-sama menurunkan emisi, khususnya dari sektor industri yang aktivitasnya turut memengaruhi udara di Jakarta.

    Upaya lain yang juga dilakukan yakni penegakan hukum terhadap kendaraan berat yang tidak lolos uji emisi. Upaya ini, kata Pemprov DKI menjadi bentuk nyata keseriusan kami dalam menjaga kualitas udara.

    Kedepan, Pemprov DKI Jakarta akan memperluas pelaksanaan uji emisi dan penindakan bagi kendaraan kategori N dan O sebagai bagian dari komitmen mewujudkan Jakarta yang bersih, sehat, dan berkelanjutan.

    Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Sound Horeg Juga Ada di Brasil, Bikin Rambut Terbang!

    Sound Horeg Juga Ada di Brasil, Bikin Rambut Terbang!

    Jakarta

    Paredao de som (dinding suara) adalah tradisi di Brasil mirip-mirip sound horeg. Sama-sama pakai speaker raksasa, banyak yang mengandalkan hiburan dengan mendengarkan musik keras.

    Melansir Volume Morto, asal usul Paredao de som kemungkinan berasal dari sound system yang diciptakan tahun 1940-an di Jamaika. Di sana, ini menjadi hiburan kelas ke bawah, menggantikan elitisme klub-klub yang menyajikan musik live yang dibawakan oleh band.

    Pada masa itu, DJ akan melengkapi truk atau van mereka dengan generator listrik, turntable, dan pengeras suara yang besar. Mereka pun menggelar pesta jalanan di daerah pinggiran Kingston Jamaika. Saling berjoget menikmati suara musik yang sangat keras, cenderung membahayakan telinga.

    Antropolog Carlos Benedito Rodrigues mengatakan bahwa tradisi Paredao di Brasil mirip dengan sound system Jamaika. Di Brasil, orang-orang juga kerap memasang speaker raksasa di mobil mereka dan menyetel musik keras-keras.

    Awalnya, para pemuda Brasil menggunakan sound system keras untuk mobil mereka saja. Kemudian, mereka akan memutar musik dan memasang volume kencang agar teman-temannya dapat menikmati alunan musik tersebut pula. Akhirnya, makin banyak anak muda yang berlomba-lomba memodifikasi mobil mereka agar memiliki sound system yang bising.

    Bertumbuh semakin kuat, akhirnya paredao de som menjadi hiburan jalanan rakyat Brasil. Tak lagi memakai mobil biasa, mereka kini memasang sound system besar di mobil-mobil trailer.

    Kamu dapat melihat sendiri di YouTube, ada beberapa video yang menampilkan seorang perempuan berambut panjang yang berdiri atau duduk di dekat sound system raksasa. Kemudian yang bikin geger, rambut perempuan tersebut sampai terbang-terbang karena suara bass yang begitu keras.

    Lantas, mengapa orang-orang Brasil banyak yang menikmati paredao de som sebagai hiburan mereka? Felipe Maia sebagai pakar etnomusikologi yang meneliti fenomena paredao menuliskan paredao banyak disukai sebab ini bukan sekadar pertunjukan biasa, melainkan memiliki makna kebanggaan dan interaksi sosial.

    Selain itu, dibutuhkan pula kemampuan dalam menyusun sound system yang tepat sehingga menghasilkan musik yang menurut pendengarnya mantap. Karena itu, pekerja sound system pun makin naik kebanggaannya setelah paredao de som berkembang di Brasil.

    Meski begitu, sama saja seperti sound horeg yang kontroversial, tak sedikit pula masyarakat Brasil yang memprotes suara paredao de som yang melebihi ambang batas keamanan bagi indra pendengaran. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan toleransi kebisingan yang dapat diterima manusia berkisar antara 75-85 desibel, sementara paredao de som dapat menyentuh angka 120-130 desibel.

    Fakta lainnya, pemandangan sound horeg di Jawa Timur dan paredao de som di Brasil juga ditemukan di negara India. Di sana, masyarakat juga menggunakan sound system besar dan memutar musik dengan volume keras sebagai hiburan.

    Kalau menurut kalian bagaimana, detikers? Bagaimana pandanganmu terhadap fenomena sound horeg dan paredao de som? Tulis di kolom komentar, ya.

    (ask/rns)

  • Video Dirjen WHO soal Bencana Kelaparan Gaza: Buatan Manusia

    Video Dirjen WHO soal Bencana Kelaparan Gaza: Buatan Manusia

    Video Dirjen WHO soal Bencana Kelaparan Gaza: Buatan Manusia

  • Belajar Kendalikan Zat Adiktif dari Singapura, BNN Akan Dalami Regulasi Vape

    Belajar Kendalikan Zat Adiktif dari Singapura, BNN Akan Dalami Regulasi Vape

    Bisnis.com, JAKARTA – Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Suyudi Ario Seto menyatakan pihaknya masih mendalami persoalan rokok elektrik atau vape yang belakangan menjadi sorotan setelah Singapura resmi melarang peredarannya.

    Menurutnya, Indonesia belum memutuskan langkah serupa dan masih perlu pembahasan lebih lanjut.

    “Ini tentunya akan menjadi bagian dari pendalaman kita. Kita perlu duduk bersama dulu dan kita akan lihat ke depan seperti apa,” ujar Kepala BNN saat ditemui wartawan di kompleks Istana Kepresidenan, Senin (25/8/2025). 

    Terkait kemungkinan vape dimasukkan dalam revisi Undang-Undang Narkotika, Kepala BNN mengatakan hal itu masih akan dikaji.

    “Ya, nanti kita lihat,” ucapnya singkat.

    Mengenai temuan kandungan narkotika dalam cairan vape yang beredar di Indonesia, dia tidak menampik adanya potensi tersebut. Namun, dia menegaskan pentingnya berbasis pada data resmi.

    “Ya kemungkinan itu pasti ada saja. Tapi kan kita harus lihat data yang sesungguhnya. Beri saya kesempatan untuk mendalami hal ini,” katanya.

    Kepala BNN menegaskan pihaknya tetap berkomitmen dalam perang melawan narkoba dan zat adiktif tanpa kompromi.

    “Yang jelas narkoba harus kita tindak tegas. War on drugs for humanity, kita perang melawan narkoba untuk kemanusiaan,” tegasnya.

    Tiga bulan silam, World Health Organization (WHO) kian khawatir terhadap kondisi Indonesia, karena semakin tingginya angka penggunaan rokok elektronik di kalangan muda, khususnya siswa kelas 6 SD hingga SMA. Vape yang mengandung zat adiktif ini menawarkan rasa buah yang manis, untuk menarik perhatian generasi muda.

    Sayangnya, pemerintah luput dan belum tegas terhadap pengendalian zat adiktif melalui vape ini. Namun, Singapura sudah menyadari hal tersebut, sehingga melarang penggunaan vape di negara Singa.

    Adapun data Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 menunjukkan bahwa 7,5% orang usia 15–24 tahun menggunakan rokok elektronik, lebih tinggi dibandingkan 3,1% pada kelompok usia 25–44 tahun. Lebih mengejutkan lagi, Global School-Based Health Survey 2023 mencatat 12,4% siswa usia 13–17 tahun saat ini menggunakan rokok elektronik.

    “Kekhawatiran khusus muncul dari tingginya angka penggunaan rokok elektronik di kalangan muda,” ungkap Dr N. Paranietharan, Perwakilan WHO untuk Indonesia, Sabtu (31/5/2025).

    Adapun rilis ini dikeluarkan oleh WHO, karena ada momentum peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) 2025. Momen ini menjadi langkah agar pemerintah kian serius memperhatikan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh rokok.

  • Sederet Mitos Terkait Vaksinasi Campak dan Faktanya, Ortu Perlu Tahu!

    Sederet Mitos Terkait Vaksinasi Campak dan Faktanya, Ortu Perlu Tahu!

    Jakarta

    Kejadian luar biasa (KLB) campak di Sumenep, Jawa Timur, menyoroti pentingnya vaksinasi untuk mencegah penularan penyakit dan morbiditas akibat penyakit tersebut. Di Sumenep, mayoritas pasien berusia balita dan tidak memiliki riwayat imunisasi.

    “Dari yang meninggal dunia, umumnya tidak pernah diimunisasi campak/lainnya,” kata Kepala Biro Komunikasi Kementerian Kesehatan RI Aji Mulawarman saat dihubungi detikcom, Senin (25/8/2025).

    Data WHO tahun 2023 mencatat bahwa 14,5 juta anak di dunia tidak mendapatkan imunisasi (zero dose), dengan Indonesia menempati posisi keenam tertinggi, yaitu 1.356.367 anak tidak menerima imunisasi dasar pada periode 2019-2023.

    Dalam Survei Kesehatan Indonesia di tahun 2023, tercatat 47 persen anak tidak diimunisasi karena tidak diizinkan keluarga, 45 persen karena takut efek samping, 23 persen tidak mengetahui jadwal imunisasi, dan 22 persen menganggap imunisasi tidak penting.

    Vaksin campak telah terbukti efektif mencegah penyakit menular yang bisa berakibat serius. Sayangnya, masih banyak orang tua yang ragu atau enggan anaknya diimunisasi karena terpengaruh berbagai mitos seputar vaksin campak.

    Berikut sederet mitos vaksinasi campak dan faktanya, orang tua perlu tahu.

    1. Mitos: Vaksin campak menyebabkan autisme

    Banyak studi ilmiah selama bertahun-tahun telah menunjukkan tidak adanya hubungan antara autisme dan vaksin MMR, yang menegaskan keamanannya dan mendorong kepercayaan publik terhadap imunisasi. Namun, misinformasi terus menyebar, dan ketakutan yang tidak berdasar masih ada.

    Lebih lanjut, vaksin yang digunakan dalam setiap program imunisasi nasional telah diuji oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), lulus prakualifikasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), serta telah mendapatkan rekomendasi NITAG (National Immunization Technical Advisory Groups).

    2. Mitos: Vaksin campak lebih berbahaya daripada terinfeksi campak.

    Faktanya, terinfeksi campak tidak lebih aman daripada diimunisasi. Infeksi campak membawa risiko serius termasuk pneumonia, pembengkakan otak, dan bahkan kematian.

    Vaksin MMR (campak, gondongan, rubella) memberikan kekebalan yang kuat dan tahan lama tanpa membahayakan kesehatan anak. Infeksi alami memang dapat memberikan kekebalan, tetapi harganya mahal terlebih untuk kesehatan anak.

    3. Mitos: ASI bisa menjadi pengganti vaksin

    ASI mengandung semua nutrisi yang dibutuhkan anak, termasuk antibodi untuk membentuk kekebalan tubuhnya. Pemberian ASI eksklusif, disertai makanan dengan gizi lengkap dan seimbang, memang dapat memberi perlindungan secara umum pada anak.

    Namun, perlindungan terhadap penyakit-penyakit tertentu hanya bisa didapatkan melalui vaksin, sehingga anak wajib mendapatkan imunisasi dasar lengkap.

    4. Mitos: Anak yang sehat tidak butuh vaksin

    Faktanya, sistem kekebalan tubuh bayi baru lahir hingga usia 2 tahun belum berkembang dengan sempurna, walaupun kondisi tubuhnya sehat dan pertumbuhannya sesuai grafik pertumbuhan anak seusianya.

    Selain itu juga, infeksi penyakit menular tidak bisa diprediksi dan bisa terjadi kapan saja, sehingga lebih baik mencegah dengan memperkuat kekebalan tubuh anak, baik yang sehat maupun tidak sehat, melalui imunisasi.

    5. Mitos: Bayi atau anak selalu mengalami demam setelah diimunisasi

    Tidak benar. Demam adalah reaksi pertahanan tubuh terhadap imunisasi yang diterima anak. Bergantung pada kondisi tubuh, anak dapat mengalami demam ringan dan dapat disimpulkan bahwa tubuhnya memiliki reaksi yang baik. Artinya, vaksin yang diberikan bekerja sesuai harapan.

    Halaman 2 dari 2

    (kna/kna)

  • Anak yang Meninggal Akibat Campak di Sumenep Mayoritas Tak Diimunisasi

    Anak yang Meninggal Akibat Campak di Sumenep Mayoritas Tak Diimunisasi

    Jakarta

    Kasus campak di Sumenep, Jawa Timur, sudah dinyatakan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) menyusul 17 kematian. Daerah tersebut juga mencatat 2.035 kasus suspek yang tersebar di 26 kecamatan.

    Kepala Biro Komunikasi Kementerian Kesehatan RI Aji Mulawarman mengatakan kasus kematian mayoritas tidak memiliki riwayat imunisasi. Kasus kematian campak di Sumenep laporkan kebanyakan berusia balita.

    “Dari yang meninggal dunia, umumnya tidak pernah diimunisasi campak/lainnya,” kata Aji saat dihubungi detikcom, Senin (25/8/2025).

    Campak adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus campak (morbillivirus). Penyakit ini sangat menular dan biasanya menyerang anak-anak, walaupun orang dewasa yang tidak pernah divaksin atau belum pernah mengalami campak juga berisiko terkena.

    Data WHO tahun 2023 mencatat bahwa 14,5 juta anak di dunia tidak mendapatkan imunisasi (zero dose), dengan Indonesia menempati posisi keenam tertinggi, yaitu 1.356.367 anak tidak menerima imunisasi dasar pada periode 2019-2023.

    Dalam Survei Kesehatan Indonesia di tahun 2023, 47 persen anak tidak diimunisasi karena tidak diizinkan keluarga, 45 persen karena takut efek samping, 23 persen tidak mengetahui jadwal imunisasi, dan 22 persen menganggap imunisasi tidak penting.

    Gejala Penyakit Campak

    Dikutip dari laman Kemenkes, gejala campak biasanya baru terlihat sekitar 10-14 hari setelah terinfeksi. Beberapa gejala yang umumnya muncul antara lain:

    Demam: Suhu tubuh bisa mencapai 40°C.Batuk Kering.Konjungtivitis (Mata Merah): Mata bisa menjadi sensitif terhadap cahaya.Pilek.Ruam: Mulai dari wajah dan telinga, kemudian menyebar ke seluruh tubuh.Bintik Koplik: Bintik-bintik putih kecil di dalam mulut, khususnya di bagian dalam pipi.

    Halaman 2 dari 2

    (kna/kna)

  • Ditentang Yahudi Prancis, Festival Musik di Paris Tetap Tampilkan Grup Kneecap Pro Kemanusiaan Palestina

    Ditentang Yahudi Prancis, Festival Musik di Paris Tetap Tampilkan Grup Kneecap Pro Kemanusiaan Palestina

    JAKARTA – Grup rap Irlandia yang kerap menyuarakan kemerdekaan dan krisis kemanusiaan di Palestina, Kneecap, tetap akan menjalani konsernya di Paris, meski ditentang kelompok Yahudi Prancis.

    Mengutip AFP, Kneecap dijadwalkan akan menjalani konser di festival tahunan ‘Rock en Seine’ di pinggiran kota Paris, Saint-Cloud, pada hari ini, Minggu 24 Agustus. 

    Pemerintah daerah setempat juga ikut menentang konser Kneecap dengan mencabut subsidi untuk festival tempat trio musisi rap itu manggung. 

    Pencabutan subsidi karena panitia festival tetap mempertahankan Kneecap menggelar konsernya yang dijadwalkan naik panggung pukul 16.30 waktu setempat. 

    📺 A little repost of our Glastonbury intro video.

    It features many of the faux-outrage media and politicians who drive this witch-hunt against Pro-Palestinian solidarity, whilst they give support and cover to slaughter.

    Free Palestine 🇵🇸 pic.twitter.com/f98XXLb39L

    — KNEECAP (@KNEECAPCEOL) August 19, 2025

    Kneecap memang dikenal tegas mendukung Palestina dan mengkritik keras Israel dalam hampir tiap konsernya. Mereka menjadikan panggung musik sebagai corong penyampaian pesan kemanusiaan.

    Salah satu personelnya, Liam O’Hanna atau Mo Chara (27), didakwa Undang-Undang Terorisme Inggris belum lama ini dalam sebuah sidang di Pengadilan Westminster Magistrates London.

    Dakwaan itu berdasarkan tudingan Mo Chara mengibarkan bendera Hizbullah dalam konser Kneecap di London. Kneecap mengatakan itu karena dilempar oleh penonton dan dakwaan yang ditujukan kepada Mo Chara sebagai upaya pembungkaman.

  • Kasus Kanker Usus Besar Meningkat di Korsel, Banyak Diidap Usia 20-30an

    Kasus Kanker Usus Besar Meningkat di Korsel, Banyak Diidap Usia 20-30an

    Jakarta

    Kanker kolorektal, yang selama ini dianggap sebagai ‘penyakit Barat’, kini melonjak di Korea Selatan, terutama pada kelompok usia 20-30 tahun, dengan peningkatan kasus sekitar 4 persen setiap tahun. Sebuah studi terbaru mengidentifikasi pola makan ala Barat sebagai pendorong utama tren ini.

    Sebuah tim peneliti gabungan yang dipimpin oleh yang dipimpin oleh Prof Kang Dae-hee dari Seoul National University College of Medicine dan Prof Shin Sang-ah dari Department of Food and Nutrition, Chung-Ang University, menganalisis 82 studi kohort dari lima negara Asia, Korea Selatan, Jepang, Cina, Taiwan, dan Singapura.

    Temuan tersebut, yang diterbitkan dalam jurnal internasional Cancer Causes & Control, menandai meta-analisis skala besar pertama tentang pola makan dan risiko kanker kolorektal yang berfokus pada populasi Asia.

    Pemicu Kanker Usus Besar Meningkat di Korsel

    Dikutip dari Maeil Business, studi ini menemukan adanya hubungan kuat antara pola makan tinggi daging dan kanker kolorektal. Konsumsi daging merah dalam jumlah besar meningkatkan risiko sebesar 18 persen, sementara daging olahan seperti sosis dan ham memberikan peningkatan risiko serupa. Daging putih, seperti ayam dan kalkun, umumnya tidak dikaitkan dengan kanker kolorektal, namun penelitian menunjukkan adanya kaitan khusus dengan risiko kanker rektum yang 40 persen lebih tinggi.

    Alkohol muncul sebagai faktor risiko paling kuat. Mengonsumsi lebih dari 30 gram alkohol per hari, setara dengan lebih dari 500 mililiter bir atau tiga gelas soju, dapat meningkatkan risiko kanker kolorektal hingga 64 persen.

    Peran Kalsium dan Pola Makan Seimbang

    Sebaliknya, asupan kalsium dan pola makan yang lebih sehat menurunkan risiko. Orang yang mengonsumsi makanan kaya kalsium seperti susu, produk olahan susu, atau ikan kecil yang dimakan dengan tulang memiliki risiko kanker kolorektal 7 persen lebih rendah. Pola makan yang berfokus pada sayuran, buah-buahan, biji-bijian utuh, dan protein rendah lemak dikaitkan dengan risiko kanker usus besar 15 persen lebih rendah.

    “Analisis ini menunjukkan bahwa mengurangi konsumsi alkohol dan daging olahan dapat menjadi strategi kunci untuk mencegah kanker kolorektal di Asia.” tutur Kang.

    Peringatan Peneliti Terhadap Perubahan Pola Makan di Asia

    Meskipun penelitian sebelumnya sebagian besar berfokus pada populasi Barat, studi ini menggarisbawahi bahwa orang Asia tidak kebal terhadap risiko pola makan yang sama seiring dengan perubahan kebiasaan makan. Para peneliti memperingatkan bahwa peningkatan pesat kanker kolorektal di kalangan anak muda Korea Selatan dapat terus berlanjut kecuali jika terjadi perubahan gaya hidup yang lebih luas.

    Gejala Kanker Kolorektal

    Dikutip dari laman WHO, kanker kolorektal seringkali tidak menunjukkan gejala pada tahap awal. Skrining rutin penting untuk mendeteksi penyakit ini sejak dini dan memulai pengobatan.

    Kanker biasanya baru memicu gejala setelah memasuki tahap lanjut. Gejala umum meliputi:

    perubahan kebiasaan buang air besar seperti diare, sembelit, atau penyempitan tinjadarah dalam tinja (perdarahan rektal), baik berwarna merah cerah atau gelap dan seperti tarkram perut, nyeri atau kembung yang tidak kunjung hilangpenurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan yang terjadi secara tiba-tiba dan kehilangan berat badan tanpa berusaha atau diet.merasa terus-menerus lelah dan kekurangan energi, meskipun sudah cukup istirahatanemia defisiensi besi akibat perdarahan kronis, menyebabkan kelelahan, kelemahan dan pucat.

    Halaman 2 dari 2

    (suc/suc)

  • Menkes Ingin Warga +62 Panjang Umur, Bebas dari Penyakit Stroke-Jantung

    Menkes Ingin Warga +62 Panjang Umur, Bebas dari Penyakit Stroke-Jantung

    Jakarta

    Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan rata-rata usia harapan hidup orang Indonesia berada di 74 tahun. Ia berharap masyarakat bisa menerapkan gaya hidup sehat agar panjang umur, sehingga setidaknya bisa mencapai usia 74 tahun.

    “Usia rata-rata sekarang itu 74. Jadi teman-teman di sini harus punya cita-cita usianya minimal 74, syukur-syukur bisa 80 tahun. Syaratnya olahraga 30 menit sehari seminggu, dan yang paling penting itu (dilakukan) sampai wafat. Itu anjurannya dari WHO,” ujar Menkes ketika ditemui awak media di Jakarta Pusat, Minggu (24/8/2025).

    Menurut Menkes, hal ini penting mengingat penyakit kardiovaskular seperti stroke dan penyakit jantung masih menjadi penyakit penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Ketika gaya hidup sehat dilakukan secara keseluruhan, maka faktor risiko penyakit kardiovaskular bisa dicegah dengan lebih baik.

    Ia juga mengingatkan untuk menjaga asupan gula garam lemak (GGL) agar tidak berlebihan demi menjaga faktor risiko penyakit kardiovaskular seperti kadar gula darah tinggi, kolesterol tinggi, dan tekanan darah tinggi.

    “Masalah stroke atau jantung itu kalau kita rajin olahraga, tidurnya cukup, makannya teratur, terus jaga tiga aja, gula darah, kolesterol, dan tekanan darah, Insya Allah umurnya minimal sampai 74 tahun,” sambungnya.

    Menkes mengaku senang kini olahraga menjadi tren yang semakin besar di Indonesia, khususnya di Jakarta. Ini nampak dari semakin banyaknya acara lari hingga lapangan padel. Untuk olahraga yang lebih murah, ia menyarankan untuk mencoba lari.

    “Senang saya kalau masyarakat jadi senang olahraga. Ya kalau nggak kuat lari ya jalan, lari lagi, jalan lagi. Ini kan murah,” tandasnya.

    (avk/kna)

  • Kebiasaan Konsumsi Makan Ini Jadi Pemicu Banyak Warga Korsel Kena Kanker Usus Besar

    Kebiasaan Konsumsi Makan Ini Jadi Pemicu Banyak Warga Korsel Kena Kanker Usus Besar

    Jakarta

    Kanker kolorektal atau kanker usus besar secara umum dianggap sebagai ‘kanker Barat’ lantaran paling umum di Amerika Serikat dan Eropa. Namun dalam beberapa tahun terakhir, insidennya telah melonjak di Asia, termasuk di Korea Selatan.

    Insiden kanker kolorektal di Asia Timur telah meningkat dua hingga empat kali lipat dalam 30 tahun terakhir, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Korea Selatan kini mencatat salah satu tingkat tertinggi di dunia. Para peneliti mengaitkan hal ini dengan pergeseran pola makan Asia ke arah Barat, yang tinggi lemak, kalori, dan daging.

    Hal tersebut terungkap dalam studi baru yang dilakukan oleh tim peneliti yang dipimpin oleh Prof Kang Dae-hee dari Seoul National University College of Medicine dan Prof Shin Sang-ah dari Department of Food and Nutrition, Chung-Ang University.

    Tim peneliti menganalisis 82 studi kohort yang dilakukan di Korea Selatan, Jepang, China Taiwan, dan Singapura, dan memastikan adanya kaitan yang jelas antara pola makan bergaya Barat dengan kanker kolorektal.

    Konsumsi Makanan Daging-Minum Alkohol

    Analisis menemukan, konsumsi daging total yang lebih tinggi meningkatkan risiko kanker kolorektal hingga 18 persen. Daging olahan, seperti sosis dan ham, juga meningkatkan risiko hingga 18 persen. Sementara daging putih seperti ayam dan kalkun, tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan kanker kolorektal secara keseluruhan, itu dikaitkan dengan peningkatan 40 persen dalam risiko kanker rektal.

    Alkohol diidentifikasi sebagai faktor risiko terkuat. Orang yang mengonsumsi lebih dari 30 gram (2,05 ons) alkohol setiap hari, setara dengan dua kaleng bir (750 mililiter), dua hingga tiga gelas anggur atau setengah botol soju, memiliki risiko 64 persen lebih tinggi terkena kanker kolorektal. Risikonya konsisten di seluruh kanker usus besar dan rektal.

    Ini menandai meta-analisis skala besar pertama yang berfokus pada populasi Asia. Sebagian besar penelitian sebelumnya tentang pola makan dan risiko kanker kolorektal didasarkan pada populasi Barat.

    “Sulit untuk langsung menerapkan hasil studi Barat ke orang Asia karena perbedaan pola makan dan metode memasak,” kata Kang, dikutip dari Korea JoongAng Daily, Minggu (24/7/2025).

    “Analisis ini menunjukkan bahwa mengurangi konsumsi alkohol dan daging olahan dapat menjadi strategi kunci untuk mencegah kanker kolorektal di Asia.”

    Meskipun kanker kolorektal meningkat pesat di kawasan Asia, termasuk Korea Selatan, para ahli menekankan sebagian besar dapat dicegah melalui perubahan gaya hidup. Mereka juga merekomendasikan untuk membatasi konsumsi daging olahan dan daging merah, menghindari konsumsi alkohol berlebihan, berolahraga secara teratur, dan meningkatkan asupan sayur, buah, serta biji-bijian utuh.

    Apa Itu Kanker Kolorektal?

    Dikutip dari American Cancer Society, kanker kolorektal bermula di usus besar atau rektum. Kanker ini juga bisa disebut kanker usus besar atau kanker rektum, tergantung di mana asalnya. Kanker usus besar dan kanker rektum sering dikelompokkan bersama karena memiliki banyak kesamaan.

    Sebagian besar kanker kolorektal bermula dari pertumbuhan jaringan di lapisan dalam usus besar atau rektum. Pertumbuhan ini disebut polip.

    Polip cukup umum, terutama seiring bertambahnya usia. Kebanyakan polip bersifat jinak, atau non-kanker. Beberapa jenis polip dapat berubah menjadi kanker seiring waktu (biasanya bertahun-tahun). Peluang polip berubah menjadi kanker bergantung pada jenis polipnya. Ada berbagai jenis polip, di antaranya:

    Polip adenomatosa atau adenomatous polyps (adenoma): Jenis polip ini kadang dapat berkembang menjadi kanker. Karena itu, adenoma dianggap sebagai kondisi prakanker. Ada tiga jenis adenoma, yaitu tubular, villous, dan tubulovillous. Adenoma tubular merupakan jenis yang paling umum, sedangkan adenoma villous lebih jarang tetapi memiliki risiko lebih tinggi berubah menjadi kanker.

    Hyperplastic polyps dan inflammatory polyps:: Jenis polip ini lebih sering ditemukan, namun umumnya bukan kondisi prakanker. Meski demikian, pada orang yang memiliki polip hiperplastik berukuran besar (lebih dari 1 cm), pemeriksaan kanker kolorektal dengan kolonoskopi mungkin perlu dilakukan lebih sering.

    Sessile serrated polyps (SSP) dan traditional serrated adenomas (TSA): Jenis polip ini sering diperlakukan sama seperti adenoma karena juga memiliki risiko lebih tinggi untuk berkembang menjadi kanker.

    Bagaimana Kanker Kolorektal Menyebar?

    Jika kanker terbentuk di dalam polip, seiring waktu kanker tersebut dapat tumbuh masuk ke dinding usus besar atau rektum. Dinding usus besar dan rektum terdiri dari beberapa lapisan. Kanker kolorektal biasanya dimulai di lapisan terdalam (mukosa) lalu dapat berkembang ke luar, menembus sebagian atau seluruh lapisan lainnya (lihat gambar di bawah).

    Saat sel kanker sudah mencapai dinding usus, mereka bisa menyusup ke pembuluh darah atau pembuluh limfa (saluran kecil yang membawa cairan dan sisa metabolisme). Dari sana, sel kanker dapat menyebar ke kelenjar getah bening terdekat atau bahkan ke organ yang lebih jauh.

    Stadium atau tingkat penyebaran kanker kolorektal ditentukan oleh seberapa dalam kanker tumbuh ke dalam dinding usus, serta apakah sudah menyebar ke luar usus besar atau rektum.

    Halaman 2 dari 3

    (suc/suc)