NGO: WHO

  • WHO Soroti 3 Obat Batuk India yang Picu Kematian 21 Anak, Tersebar di Negara Lain?

    WHO Soroti 3 Obat Batuk India yang Picu Kematian 21 Anak, Tersebar di Negara Lain?

    Jakarta

    Pemerintah India mengimbau masyarakat untuk menghindari dua merek sirup batuk tambahan setelah 21 anak berusia di bawah lima tahun meninggal dunia akibat cemaran dietilen glikol (DEG).

    Menurut laporan pejabat setempat, seluruh korban meninggal dalam sebulan terakhir setelah mengonsumsi obat batuk Coldrif, yang diketahui mengandung DEG dengan kadar hampir 500 kali lipat di atas batas aman. Hasil uji laboratorium yang keluar pada 2 Oktober mengonfirmasi keberadaan zat berbahaya itu dan pemerintah segera melarang peredaran obat tersebut.

    Pemerintah negara bagian Gujarat dan sejumlah wilayah lain kemudian mengeluarkan peringatan publik agar masyarakat menghindari dua produk lain, yakni Respifresh dan RELIFE, yang juga ditemukan mengandung DEG.

    Kandungan DEG melampaui batas aman dapat menyebabkan keracunan serius, gagal ginjal, gangguan saraf, hingga kematian, terutama pada anak-anak.

    Wanti-wanti WHO

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengonfirmasi bahwa tiga sirup batuk terkontaminasi telah diidentifikasi. Meski hingga kini belum ditemukan adanya ekspor resmi, WHO tetap meminta masyarakat waspada lantaran karena kemungkinan ekspor tidak resmi masih bisa terjadi.

    Smber kontaminasi masih belum diketahui.

    “WHO sangat prihatin terhadap kasus ini dan menyoroti adanya celah regulasi dalam pemeriksaan diethylene glycol dan ethylene glycol untuk obat-obatan yang dijual di pasar domestik India,” kata juru bicara WHO, dikutip dari Reuters.

    Berdasarkan aturan, setiap produsen obat di India wajib mengujikan bahan baku dan produk akhir setiap batch. Sejak 2023, ekspor sirup batuk juga harus melalui pengujian tambahan di laboratorium pemerintah, setelah kasus kematian lebih dari 140 anak di Gambia, Uzbekistan, dan Kamerun akibat sirup asal India.

    Sirup Coldrif diproduksi oleh Sresan Pharmaceutical Manufacturer dan hanya dijual di pasar lokal. Dua merek lain, RELIFE (Shape Pharma) dan Respifresh (Rednex Pharmaceuticals), diketahui beredar di beberapa negara bagian India, tetapi belum ada bukti keduanya diekspor.

    Ketiga perusahaan belum memberikan tanggapan atas kasus ini. WHO menyatakan masih menunggu konfirmasi resmi dari pemerintah India sebelum memutuskan apakah perlu mengeluarkan peringatan global produk medis (Global Medical Products Alert) untuk sirup Coldrif.

    Sejak 2022, kandungan ethylene glycol dan diethylene glycol yang mematikan telah ditemukan pada sirup batuk buatan India yang menewaskan anak-anak di Gambia, Uzbekistan, dan Kamerun. Kasus serupa juga terjadi di India pada 2019 dan menewaskan 12 anak.

    Kejadian berulang ini merusak reputasi India sebagai produsen obat terbesar ketiga di dunia berdasarkan volume, setelah Amerika Serikat dan China. Industri farmasi India bernilai sekitar 50 miliar dolar AS, dengan lebih dari separuh pendapatannya berasal dari ekspor.

    India memasok sekitar 40 persen obat generik yang digunakan di Amerika Serikat, serta lebih dari 90 persen kebutuhan obat di banyak negara Afrika.

    Simak Video “Video BPOM soal Obat Batuk Picu Kematian di India: Tak Beredar di Indonesia”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/naf)

  • PDPI Siap Bantu Wamenkes Baru Percepat Penanganan TBC

    PDPI Siap Bantu Wamenkes Baru Percepat Penanganan TBC

    Jakarta

    Dilantiknya Benjamin Paulus sebagai wakil menteri kesehatan tambahan disambut baik Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Prof Tjandra Yoga Aditama. Terlebih, ia ditugaskan untuk fokus penanganan penyakit tuberkulosis (TBC).

    Melihat sepak terjangnya sebagai dokter spesialis paru, Prof Tjandra optimistis pria yang akrab disapa Beni itu mengetahui betul upaya dan strategi penanganan TBC.

    Ia menekankan TBC memang perlu mendapatkan prioritas penanganan lantaran Indonesia menjadi penyumbang kasus terbesar kedua di dunia. Mengutip laporan global WHO Report 2025, Prof Tjandra mempertegas 10 persen pasien TBC di dunia datang dari Indonesia.

    “Jadi satu dari 10 pasien tuberkulosis dunia adalah orang Indonesia,” sebutnya, dalam keterangan yang diterima detikcom Kamis (9/10/2025).

    Pemerintah disebutnya perlu fokus pada target eliminasi kasus TBC di 2030 mengacu Peraturan Presiden 67 tahun 2021, juga target Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) atau Quick Win Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran.

    “Ditambah lagi, juga ada target ‘Sustainable Development Goals (SDG)’ untuk menghentikan epidemi tuberkulosis dunia di 2030 pula, saat Indonesia sebagai bagian dari dunia tentu perlu berpartisipasi aktif untuk pencapaian SDG ini,” kata dia.

    “Kalau kita ikuti guideline WHO maka setidaknya ada lima kegiatan program yaitu pencegahan, skrining, diagnosis, pengobatan dan keadaan khusus. Dalam hal ini dapat saya sampaikan juga bahwa hanya beberapa hari yang lalu WHO baru mengeluarkan publikasi tentang pentingnya gizi dalam pengendalian TBC, dan ini mungkin dapat dikaitkan dengan dua program penting Presiden kita, yaitu Makan Bergizi Gratis (MBG) dan penanggulangan tuberkulosis,” lanjutnya.

    Program tersebut menurutnya perlu berjalan dengan bekerja sama antar lintas sektor, termasuk keterlibatan organisasi profesi.

    “Untuk ini jelas perlu kerja amat keras dan perlu dukungan dari masyarakat dan organisasi profesi, dan tentu Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) siap mendukungnya dengan penuh,” pungkasnya.

    (naf/naf)

  • CISDI Ingatkan Risiko Jika Cukai Minuman Berpemanis Diundur Terus

    CISDI Ingatkan Risiko Jika Cukai Minuman Berpemanis Diundur Terus

    Jakarta

    Wacana pengenaan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) sebenarnya bukan hal baru. Isu ini sudah mencuat sejak 2016, tetapi lebih dari satu dekade berlalu, kebijakan tersebut belum juga terealisasi. Pemerintah kembali menunda penerapannya hingga tahun depan, 2026.

    Padahal, pada 2025 pemerintah telah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 4 Tahun 2025 tentang rancangan peraturan pemerintah mengenai barang kena cukai berupa MBDK. Namun, keputusan itu urung dijalankan karena pertimbangan kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat yang dinilai masih lemah.

    Menurut Nida Adzilah Auliani, Project Lead for Food Policy di Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), penundaan penerapan cukai justru bisa membawa konsekuensi serius terhadap kesehatan masyarakat.

    “Kalau molor terus, bebannya bukan hanya di ekonomi, tapi juga di kesehatan publik. Beban pembiayaan negara akibat penyakit tidak menular akan terus meningkat,” ujarnya dalam Temu Media di Kantor CISDI, Jakarta Pusat, Kamis (9/10/2025).

    Berdasarkan riset CISDI tahun 2024, penerapan cukai MBDK sebesar 20 persen dinilai ideal karena berpotensi menurunkan konsumsi minuman berpemanis hingga 18 persen, sekaligus mencegah lebih dari 455 ribu kasus diabetes melitus tipe 2 dan kematian terkait dalam kurun waktu 10 tahun ke depan.

    Nida menjelaskan, puluhan negara di dunia sudah lebih dulu menerapkan cukai MBDK, dengan besaran tarif rata-rata di kisaran 15 hingga 20 persen. Idealnya dengan skenario volumetrik, yakni tarif yang dihitung berdasarkan kadar gula dalam produk.

    “Angka 20 persen itu evidence based dan hasil pembelajaran global. Negara seperti Malaysia misalnya, menetapkan tarif yang terlalu rendah, efeknya terhadap penurunan penyakit tidak menular (PTM) tidak signifikan. Akhirnya mereka harus mengulang proses revisi yang panjang,” jelasnya.

    Ia menambahkan, penetapan tarif cukai memang harus berdasarkan bukti ilmiah agar kebijakan tersebut tidak berulang kali dikaji ulang tanpa hasil konkret.

    Salah satu alasan penundaan penerapan cukai sering dikaitkan dengan kekhawatiran penurunan pendapatan industri. Namun, menurut Nida, sejumlah kajian internasional menunjukkan bahwa kekhawatiran tersebut justru tidak benar.

    “Data menunjukkan bahwa ketika cukai diterapkan, masyarakat justru beralih ke air putih atau air mineral dalam kemasan (AMDK). Jadi konsumsi bergeser, bukan hilang. Pendapatan industri bisa tetap berjalan, hanya komposisi produknya yang berubah,” terangnya.

    Nida menyebutkan, reformulasi produk menjadi konsekuensi positif dari kebijakan ini. Produsen akan terdorong untuk mengurangi kadar gula atau berinovasi dengan produk yang lebih sehat.

    Menariknya, CISDI juga menyoroti tren produsen yang mengganti gula dengan pemanis buatan nol kalori (zero-calorie sweetened beverages) sebagai solusi menghindari cukai. Padahal, menurut rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pemanis buatan tidak direkomendasikan sebagai substitusi jangka panjang karena tetap dapat memengaruhi preferensi rasa manis seseorang.

    “Intinya bukan soal mengganti bahan, tapi soal mengurangi ketergantungan pada rasa manis itu sendiri,” tegas Nida.

    Nida menegaskan, jika cukai MBDK diterapkan, air putih akan menjadi produk substitusi alami yang lebih sehat. Masyarakat akan lebih sadar bahwa harga kesehatan jauh lebih mahal dibanding harga minuman manis.

    “Pada akhirnya, cukai bukan soal menekan konsumsi semata, tapi juga mendorong perubahan perilaku. Ini soal keberlanjutan kesehatan bangsa,” tutupnya.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/up)

  • CISDI Ingatkan Risiko Jika Cukai Minuman Berpemanis Diundur Terus

    CISDI Ingatkan Risiko Jika Cukai Minuman Berpemanis Diundur Terus

    Jakarta

    Wacana pengenaan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) sebenarnya bukan hal baru. Isu ini sudah mencuat sejak 2016, tetapi lebih dari satu dekade berlalu, kebijakan tersebut belum juga terealisasi. Pemerintah kembali menunda penerapannya hingga tahun depan, 2026.

    Padahal, pada 2025 pemerintah telah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 4 Tahun 2025 tentang rancangan peraturan pemerintah mengenai barang kena cukai berupa MBDK. Namun, keputusan itu urung dijalankan karena pertimbangan kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat yang dinilai masih lemah.

    Menurut Nida Adzilah Auliani, Project Lead for Food Policy di Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), penundaan penerapan cukai justru bisa membawa konsekuensi serius terhadap kesehatan masyarakat.

    “Kalau molor terus, bebannya bukan hanya di ekonomi, tapi juga di kesehatan publik. Beban pembiayaan negara akibat penyakit tidak menular akan terus meningkat,” ujarnya dalam Temu Media di Kantor CISDI, Jakarta Pusat, Kamis (9/10/2025).

    Berdasarkan riset CISDI tahun 2024, penerapan cukai MBDK sebesar 20 persen dinilai ideal karena berpotensi menurunkan konsumsi minuman berpemanis hingga 18 persen, sekaligus mencegah lebih dari 455 ribu kasus diabetes melitus tipe 2 dan kematian terkait dalam kurun waktu 10 tahun ke depan.

    Nida menjelaskan, puluhan negara di dunia sudah lebih dulu menerapkan cukai MBDK, dengan besaran tarif rata-rata di kisaran 15 hingga 20 persen. Idealnya dengan skenario volumetrik, yakni tarif yang dihitung berdasarkan kadar gula dalam produk.

    “Angka 20 persen itu evidence based dan hasil pembelajaran global. Negara seperti Malaysia misalnya, menetapkan tarif yang terlalu rendah, efeknya terhadap penurunan penyakit tidak menular (PTM) tidak signifikan. Akhirnya mereka harus mengulang proses revisi yang panjang,” jelasnya.

    Ia menambahkan, penetapan tarif cukai memang harus berdasarkan bukti ilmiah agar kebijakan tersebut tidak berulang kali dikaji ulang tanpa hasil konkret.

    Salah satu alasan penundaan penerapan cukai sering dikaitkan dengan kekhawatiran penurunan pendapatan industri. Namun, menurut Nida, sejumlah kajian internasional menunjukkan bahwa kekhawatiran tersebut justru tidak benar.

    “Data menunjukkan bahwa ketika cukai diterapkan, masyarakat justru beralih ke air putih atau air mineral dalam kemasan (AMDK). Jadi konsumsi bergeser, bukan hilang. Pendapatan industri bisa tetap berjalan, hanya komposisi produknya yang berubah,” terangnya.

    Nida menyebutkan, reformulasi produk menjadi konsekuensi positif dari kebijakan ini. Produsen akan terdorong untuk mengurangi kadar gula atau berinovasi dengan produk yang lebih sehat.

    Menariknya, CISDI juga menyoroti tren produsen yang mengganti gula dengan pemanis buatan nol kalori (zero-calorie sweetened beverages) sebagai solusi menghindari cukai. Padahal, menurut rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pemanis buatan tidak direkomendasikan sebagai substitusi jangka panjang karena tetap dapat memengaruhi preferensi rasa manis seseorang.

    “Intinya bukan soal mengganti bahan, tapi soal mengurangi ketergantungan pada rasa manis itu sendiri,” tegas Nida.

    Nida menegaskan, jika cukai MBDK diterapkan, air putih akan menjadi produk substitusi alami yang lebih sehat. Masyarakat akan lebih sadar bahwa harga kesehatan jauh lebih mahal dibanding harga minuman manis.

    “Pada akhirnya, cukai bukan soal menekan konsumsi semata, tapi juga mendorong perubahan perilaku. Ini soal keberlanjutan kesehatan bangsa,” tutupnya.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/up)

  • Siloam Hospitals Raih Rekor MURI, Pelatihan BHD Diikuti Lebih dari 9 Ribu Orang

    Siloam Hospitals Raih Rekor MURI, Pelatihan BHD Diikuti Lebih dari 9 Ribu Orang

    Jakarta

    Siloam International Hospitals (Siloam) mencatatkan rekor di bidang kesehatan dari MURI (Museum Rekor Dunia Indonesia) untuk kategori Pelatihan Bantuan Hidup Dasar (BHD) secara seri dengan jumlah peserta terbanyak.

    Penghargaan ini diserahkan langsung oleh pihak MURI dalam acara MURI Awarding Event, 7 Oktober 2025 di Hotel Aryaduta Menteng, Jakarta. Rekor tersebut terwujud melalui keterlibatan 9.351 peserta dari berbagai kalangan, mulai dari komunitas, sekolah, perusahaan, agen asuransi, hotel, institusi keagamaan, hingga masyarakat umum, serta karyawan Siloam, yang mengikuti pelatihan BHD di berbagai lokasi.

    Kegiatan ini diselenggarakan oleh 41 Rumah Sakit Siloam di seluruh Indonesia pada periode Juli hingga September 2025.

    Pelatihan BHD ini membekali peserta dengan keterampilan dasar penanganan darurat, termasuk Resusitasi Jantung Paru (RJP/CPR), penggunaan Automated External Defibrillator (AED), hingga langkah penyelamatan sebelum tenaga medis profesional tiba di lokasi.

    “Penghargaan dari MURI bukan sekadar capaian angka kepesertaan, melainkan wujud nyata komitmen Siloam untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa. Kami bangga dapat memperluas akses edukasi dan keterampilan BHD ke masyarakat luas,” ujarCEO Siloam International Hospitals, Caroline Riady dalam keterangannya, Selasa (7/10/2025).

    Sejalan dengan Kampanye Jantung & World Heart Day
    Pencapaian MURI ini hadir bertepatan dengan momentum World Heart Day yang jatuh pada tanggal 29 September serta sejalan dengan kampanye jantung Siloam bertema #CepatTepat #AdaUntukJantungAnda yang berlangsung sepanjang Agustus 2025 sampai Januari 2026.

    Kampanye ini bertujuan untuk mengedukasi masyarakat tentang bahaya serangan jantung, gejala yang perlu diwaspadai, serta pentingnya tindakan cepat dalam situasi darurat. Menjawab kebutuhan tersebut, Siloam menghadirkan 14 Chest Pain Ready Hospitals yang dilengkapi dengan:

    24/7 Integrated Chest Pain Unit di IGD24/7 Dokter Jantung Siaga (Konsultan Intervensi Kardiologi)24/7 Cath Lab untuk penanganan darurat pasien dengan serangan jantung

    Dengan fasilitas dan sumber daya yang dimiliki, Siloam menegaskan kembali perannya dalam rantai keselamatan pasien mulai dari deteksi dini hingga penanganan darurat dan rehabilitasi.

    Pentingnya Edukasi Serangan Jantung & Bantuan Hidup Dasar

    Menurut data WHO (World Health Organization atau Organisasi Kesehatan Dunia), penyakit jantung masih menjadi penyebab kematian nomor satu di dunia, dengan lebih dari 17,9 juta kematian tiap tahunnya. Di Indonesia, tingkat kasusnya mencapai sekitar 1,5 persen dari populasi.

    Serangan jantung dapat terjadi mendadak dan setiap menit tanpa pertolongan menurunkan peluang keselamatan hingga 7-10 persen.
    Oleh karena itu, spesilias jantung dr Hasjim Hasbullah, SpJP, FIHA, AIFO-K mengatakan keterampilan BHD sangat penting untuk melipatgandakan peluang hidup pasien sebelum tenaga medis profesional tiba.

    “Kunci menyelamatkan pasien serangan jantung ada pada deteksi dini gejala dan kecepatan pertolongan pertama. Pelatihan BHD memberi bekal keterampilan yang bisa menjadi pembeda antara hidup dan mati,” jelas dr Hasjim.

    Senada Medical Managing Director Siloam International Hospitals, dr Grace Frelita berharap ke depannya akan semakin banyak masyarakat yang mengetahui bagaimana memberikan pertolongan pertama terhadap pasien henti jantung.

    “Sehingga kita semua bisa menjadi bagian dari mata rantai keselamatan yang menyelamatkan nyawa,” kata dr Grace.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Perjuangan Ibu Lawan Kista Ovarium, Kembali untuk Keluarga”
    [Gambas:Video 20detik]
    (dpy/up)

  • 7 Fakta Dua Tahun Perang Gaza: Jumlah Korban-Kehancuran Massal

    7 Fakta Dua Tahun Perang Gaza: Jumlah Korban-Kehancuran Massal

    Daftar Isi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Perang Israel-Gaza telah berlangsung selama tepat 2 tahun lamanya. Hal ini awalnya dipicu serbuan milisi penguasa Gaza Palestina, Hamas, ke Israel yang akhirnya memicu balasan membabi buta dari Negeri Zionis.

    Hingga dua tahun berlangsung, masih belum ada tanda-tanda pasti terkait penghentian serangan. Israel masih terus menyerbu Gaza dengan tujuan untuk menghabisi Hamas.

    Meski begitu, dampak korban jiwa dan kerusakan akibat serangan ini sangatlah masif dan tersebar rata di sebagian besar wilayah Gaza. Berikut sejumlah fakta yang ada di balik peperangan ini dikutip Al Jazeera, Selasa (7/10/2025)

    1. Korban Jiwa dan Luka-Luka Akibat Serangan

    Lebih dari 67.000 warga Palestina telah terbunuh dalam 2 tahun terakhir, dengan ribuan lainnya diyakini masih terperangkap di bawah reruntuhan. Angka korban tewas ini sangat mengejutkan, setara dengan sekitar satu dari setiap 33 orang di Gaza, atau sekitar 3% dari populasi sebelum perang dimulai. Jumlah ini mencerminkan skala kehancuran manusia yang belum pernah terjadi sebelumnya.

    Dampak pada anak-anak sangat mengerikan. Setidaknya 20.000 anak-anak termasuk di antara korban tewas, yang berarti rata-rata satu anak terbunuh setiap jam selama 24 bulan terakhir. Angka resmi ini dihitung berdasarkan jenazah yang dibawa ke rumah sakit, dan diperkirakan jumlah sebenarnya jauh lebih tinggi karena tidak termasuk mereka yang tewas di bawah reruntuhan atau hilang.

    Selain korban tewas, lebih dari 169.000 warga Palestina terluka selama dua tahun konflik, yang berarti sekitar satu dari setiap 14 orang di Gaza mengalami cedera. Banyak dari luka-luka ini bersifat mengubah hidup, dengan dampaknya yang meluas jauh melampaui kematian.

    Luka fisik yang parah telah mengakibatkan krisis amputasi. UNICEF memperkirakan bahwa antara 3.000 hingga 4.000 anak di Gaza telah kehilangan satu atau lebih anggota badan.

    Adapun korban tewas dari sisi Israel pada serangan 7 Oktober 2023 mencapai sekitar 1.200 orang dengan 251 lainnya menjadi tawanan.

    2. Keruntuhan Fasilitas Kesehatan

    Sistem layanan kesehatan Gaza berada dalam kondisi runtuh total akibat serangan Israel yang terus menerus. Selama dua tahun, setidaknya 125 fasilitas kesehatan, termasuk 34 rumah sakit, telah rusak parah. Serangan ini membuat pasien kehilangan akses terhadap layanan medis esensial.

    Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sejak Oktober 2023, telah didokumentasikan lebih dari 790 serangan terhadap fasilitas kesehatan, termasuk pemboman udara terhadap rumah sakit, klinik, dan ambulans. Serangan-serangan ini juga telah menewaskan setidaknya 1.722 petugas kesehatan dan bantuan.

    Pola serangan meluas hingga penargetan dan penangkapan petugas kesehatan. Ratusan staf medis telah dikeluarkan secara paksa dari bangsal rumah sakit dan ditahan di penjara serta kamp militer Israel. Per 22 Juli, Pasukan Israel menahan 28 dokter terkemuka, termasuk 18 spesialis senior di bidang-bidang vital seperti bedah, anestesiologi, dan pediatri, yang semakin melumpuhkan sistem kesehatan Gaza yang sudah hancur.

    Tragisnya, dua dokter senior dilaporkan tewas karena penyiksaan dalam tahanan Israel, dengan jenazah mereka masih ditahan. Banyak dokter ditahan tanpa dakwaan selama lebih dari 400 hari, tiga di antaranya ditahan selama lebih dari 600 hari, yang merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap perlindungan khusus yang diberikan kepada personel medis di bawah hukum internasional.

    3. Krisis Kelaparan dan Malnutrisi yang Parah

    Israel dituduh sengaja mengatur kelaparan yang meluas di Gaza melalui pembatasan militer yang memblokir bantuan selama berbulan-bulan dan sistem distribusi makanan yang berbahaya. Kelaparan resmi telah dikonfirmasi di Kegubernuran Gaza pada 22 Agustus oleh sistem IPC (Integrated Food Security Phase Classification) PBB, menjadikannya kasus kelaparan pertama yang diakui secara resmi di Timur Tengah.

    Kelaparan diperkirakan akan meluas ke Deir el-Balah dan Khan Younis pada akhir September, dengan hampir sepertiga populasi (641.000 orang) diperkirakan menghadapi kondisi bencana (Fase 5 IPC). Situasi ini telah merenggut nyawa setidaknya 459 orang, termasuk 154 anak-anak, yang meninggal karena kelaparan.

    Selain itu, kekurangan gizi di kalangan anak-anak melonjak dengan kecepatan yang sangat tinggi. Pada bulan Juli saja, lebih dari 12.000 anak diidentifikasi menderita kekurangan gizi akut, enam kali lebih tinggi dibandingkan pada awal tahun.

    Hampir satu dari empat anak menderita kekurangan gizi akut yang parah. Selain itu, satu dari lima bayi lahir prematur atau di bawah berat badan normal, menunjukkan krisis kesehatan publik yang parah dan mengancam generasi masa depan Gaza.

    4. Penghancuran Infrastruktur dan Krisis Perumahan

    Tingkat kehancuran di seluruh Gaza hampir total. Menurut OCHA, per Agustus, 92% dari semua bangunan perumahan dan 88% dari semua fasilitas komersial telah rusak atau hancur. Analisis satelit oleh UNOSAT juga menemukan bahwa hampir 78% dari semua struktur di daerah kantong tersebut telah hancur.

    Seluruh lingkungan telah musnah, meninggalkan jutaan warga Palestina sebagai pengungsi dan tanpa tempat berlindung. Kerusakan fisik langsung yang disebabkan oleh pemboman Israel, termasuk rumah, sekolah, dan infrastruktur publik, diperkirakan oleh Bank Dunia mencapai US$ 55 miliar (Rp 911 triliun).

    Sementara itu, prospek pembangunan kembali sangat terhambat dan rumit. Dengan 62% penduduk yang kekurangan dokumen hukum untuk membuktikan kepemilikan properti, banyak keluarga menghadapi tantangan besar untuk mengklaim kembali rumah atau tanah mereka.

    Hal ini meningkatkan prospek pengungsian permanen bagi banyak keluarga. Skala kehancuran dan ketiadaan dokumen kepemilikan mengancam terjadinya krisis properti dan pemindahan paksa jangka panjang, bahkan jika rekonstruksi akhirnya dimulai.

    5. Krisis Air dan Sanitasi

    Sejak Oktober 2023, Israel secara sistematis menargetkan infrastruktur air Gaza yang sudah terganggu. Akibatnya, 89% dari jaringan air dan sanitasi di wilayah kantong tersebut telah rusak atau hancur, meninggalkan lebih dari 96 persen rumah tangga tanpa keamanan air.

    Sebagian besar sistem distribusi air hancur, dengan sumur-sumur terkontaminasi oleh limbah yang tidak diolah. Saat ini, hampir separuh populasi Gaza bertahan hidup dengan kurang dari 6 liter air per hari untuk minum dan memasak, jauh di bawah standar darurat 20 liter untuk “kelangsungan hidup jangka pendek”.

    6. Keruntuhan Sistem Pendidikan

    Sistem pendidikan Gaza telah runtuh sepenuhnya. Lebih dari 2.300 fasilitas pendidikan, termasuk 63 bangunan universitas, telah hancur. Sekolah-sekolah yang masih berdiri kini digunakan sebagai tempat penampungan bagi para pengungsi.

    92% dari semua sekolah memerlukan rekonstruksi total, dan setidaknya 780 anggota staf pendidikan telah terbunuh. Hampir 658.000 anak usia sekolah dan 87.000 mahasiswa universitas kehilangan akses untuk belajar, menghancurkan prospek pendidikan bagi seluruh generasi.

    7. Penahanan Massal

    Lebih dari 10.800 warga Palestina ditahan di penjara-penjara Israel dalam kondisi yang parah. Di antara para tahanan ini terdapat 450 anak-anak dan 87 wanita.
    Yang sangat mengkhawatirkan adalah lebih dari 3.629 tahanan ditahan tanpa dakwaan atau pengadilan. Penahanan massal ini, termasuk anak-anak, menimbulkan masalah serius terkait hak asasi manusia dan keadilan.

    (tps/luc)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Brasil Bangun ‘Pabrik Nyamuk’, Produksi Ratusan Juta Wolbachia demi Cegah DBD

    Brasil Bangun ‘Pabrik Nyamuk’, Produksi Ratusan Juta Wolbachia demi Cegah DBD

    Jakarta

    Brasil belum lama ini meresmikan ‘pabrik nyamuk’ wolbachia yang digunakan untuk mengatasi peredaran demam berdarah dengue (DBD). Pabrik bernama Oxitec yang terletak terletak di Campinas, negara bagian Sao Paulo Brasil dan memiliki luas 1.300 meter persegi itu dapat memproduksi sekitar 190 juta nyamuk tiap minggu.

    Dalam pabrik tersebut, nyamuk aedes aegypti penyebab DBD ‘disuntikkan’ bakteri wolbachia untuk mencegah virus dengue berkembang dalam tubuh nyamuk. Mekanisme ini yang membuat DBD bisa dicegah.

    Menurut data Oxitec, penurunan penularan dengue mencapai lebih dari 75 persen. Teknologi ini telah diakui secara resmi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan diadopsi oleh Kementerian Kesehatan Brasil sebagai bagian dari Program Nasional Pengendalian Dengue.

    Dikutip dari Oddity Central, ketika nyamuk-nyamuk ini berkembang biak, bakteri itu akan diturunkan juga pada keturunannya.

    Produksi nyamuk di pabrik Campinas dimulai dengan ribuan nampan berisi air bersuhu teratur, tempat larva berkembang. Setelah menjadi nyamuk dewasa, mereka dipindahkan ke dalam kandang dan diberi makanan favorit mereka, meliputi larutan gula dalam bola kapas untuk nyamuk jantan dan darah hewan yang disimpan dalam kantong menyerupai kulit manusia untuk nyamuk betina.

    Nyamuk-nyamuk itu hidup selama 4 minggu dalam kandang. Di situ, mereka berkembang biak dan bertelur di nampak yang diletakkan di dasar kandang.

    Metode wolbachia ini telah berhasil di beberapa negara lain. Namun, Brasil ingin membuat skala yang lebih luas. Ini dilakukan lantaran kasus DBD di Brasil meningkat tiap tahun. Pada tahun 2024 misalnya, Brasil mengalami wabah DBD paling parah dalam sejarah, menyumbang 80 persen kasus DBD dunia.

    “Brasil telah mengalami wabah dengue yang menghancurkan dalam beberapa tahun terakhir, kebutuhan untuk bertindak tidak pernah sebesar ini. Dengan kompleks baru di Campinas, kami siap mendukung perluasan program Wolbachia dari Kementerian Kesehatan, memastikan teknologi ini menjangkau masyarakat di seluruh negeri secara efisien dan hemat biaya,” kata direktur Oxitec Brasil, Natalia Verza Ferreira.

    Halaman 2 dari 2

    (avk/kna)

  • Kejar Status WLA, BPOM Gelar Workshop Bareng USP Demi Jaminan Mutu Obat Nasional

    Kejar Status WLA, BPOM Gelar Workshop Bareng USP Demi Jaminan Mutu Obat Nasional

    Jakarta

    Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI melaksanakan workshop bertajuk ‘The Values of Pharmacopeial Standards’ untuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) BPOM dari seluruh Indonesia dan perwakilan industri-industri farmasi.

    Workshop ini diselenggarakan atas kerjasama yang sudah dilakukan oleh BPOM dengan United States Pharmacopeia (USP) di Amerika Serikat beberapa waktu lalu. Workshop ini diharapkan bisa menjadi langkah besar untuk meningkatkan standar farmakope di Indonesia.

    “Acara ini merupakan kelanjutan dari penandatangan MoU (Memorandum of Understanding) sebelumnya Badan POM dengan USP di Maryland pada beberapa bulan yang lalu. Karena pharmacopeia Indonesia itu banyak mengadopsi atau mengambil dari USP dan pharmacopeia negara-negara lain. Itu untuk meningkatkan standar pharmacopeia di Indonesia,” ujar Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Prekursor, dan Zat Adiktif BPOM RI William Adi Teja, Selasa (7/10/2025).

    Selain soal kualitas dan keamanan obat, workshop ini juga mempererat kerjasama antara BPOM RI dan USP. Diharapkan, kerjasama ini dapat meningkatkan standar kemampuan BPOM RI sehingga bisa diakui dunia.

    “Ini juga kenapa kita lakukan karena Indonesia juga sedang masuk pada penilaian akhir WLA (WHO-Listed Authority) status oleh WHO. Nah, hal-hal seperti inilah yang mendukung Indonesia untuk bisa mendapatkan maturity level 4 di WHO,” sambung William.

    “Jadi kolaborasi ini, workshop ini sangat penting untuk meningkatkan kemampuan Indonesia di bidang pengawasan obat dan makanan sehingga dapat menjaga masyarakat Indonesia dari makanan dan obat yang tidak berstandar,” tandasnya.

    General Manager and Senior Director USP Asia Pacific, Anthony Tann menyambut baik kerjasama yang dilakukan dengan BPOM. Menurutnya, memastikan obat sampai ke tangan masyarakat dengan aman dan bermanfaat adalah hal yang harus diutamakan.

    Ia menambahkan kolaborasi ini adalah salah satu kesempatan penting untuk berbagi pengalaman dan belajar satu sama lain dalam hal produksi dan pengawasan obat.

    “Merupakan kehormatan besar menjadi bagian dari perjalanan ini bersama BPOM, untuk memastikan bahwa masyarakat Indonesia, bahkan di seluruh dunia, dapat memiliki akses terhadap obat-obatan yang aman dan terjamin mutunya,” tandas Tann.

    (avk/kna)

  • Kiamat Makin Dekat, Ilmuwan Jepang Hitung Tanggalnya

    Kiamat Makin Dekat, Ilmuwan Jepang Hitung Tanggalnya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Ilmuwan Jepang memprediksi nasib Bumi tidak akan bertahan selamanya. Mereka bahkan sudah menyebut angka 1.000.002.021 sebagai batas waktu paling lambat untuk berakhirnya kehidupan di planet ini.

    Para peneliti dari Universitas Toho di Jepang menyebutkan bahwa suatu saat Matahari akan mengalami fase akhir kehidupannya dan menghancurkan seluruh kehidupan yang tersisa.

    Pada akhirnya nanti, kata mereka, Matahari akan mengembang menjadi Raksasa Merah dan menelan Merkurius, Venus, dan Bumi. Kendati demikian, Bumi diperkirakan sudah lama punah sebelum itu.

    Hal ini diperkirakan akan terjadi sekitar lima miliar tahun lagi ketika bintang tersebut selesai membakar hidrogennya, yang memaksa lapisan luar mengembang dan memakan tiga planet bagian dalam dan Bulan.

    Namun, para peneliti percaya tidak akan ada orang yang melihatnya karena, pada saat tahun satu miliar, kondisi di Bumi sudah terlalu buruk untuk mendukung kehidupan.

    Energi termal dari Matahari akan menghancurkan organisme di planet ini dengan panas yang mematikan dan lontaran massa koronal, serta pelepasan sinar gamma yang sangat radioaktif.

    Dua yang terakhir sudah terjadi melalui Suar Matahari, yang jika menghantam Bumi dapat mengganggu komunikasi radio, operasi satelit, dan sistem GPS.

    Manusia tidak secara langsung dirugikan oleh atmosfer planet ini, meskipun ini dapat berubah dalam jutaan tahun mendatang tergantung pada tingkat aktivitas matahari dan perubahan iklim.

    Umat manusia mungkin tidak punah saat itu, berdasarkan bagaimana teknologi berkembang. Umat manusia dapat menyebar melintasi bintang-bintang dan mulai menjajah planet-planet lain di galaksi Bima Sakti – dengan Mars sebagian besar diperkirakan menjadi yang pertama dalam agenda.

    Namun, ancaman yang lebih mendesak bukanlah perluasan Matahari. Itu jauh lebih dekat dengan rumah. Perubahan iklim. Peningkatan suhu global berpotensi mengakhiri periode Holosen dan menyebabkan gangguan besar pada pola cuaca di seluruh planet.

    Hal ini dapat menyebabkan lebih banyak bencana alam, serta kerusakan tanaman dan panen, yang menempatkan manusia di bawah tekanan kritis.

    Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan dampak buruk pada kehidupan manusia dapat dimulai paling cepat pada tahun 2030, ketika diyakini akan ada 250.000 lebih banyak kematian daripada biasanya karena penyakit.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Udara Jakarta Selasa ini tak sehat, pakai masker saat di luar rumah

    Udara Jakarta Selasa ini tak sehat, pakai masker saat di luar rumah

    Jakarta (ANTARA) – Kualitas udara Kota Jakarta pada Selasa ini tercatat tidak sehat sehingga masyarakat disarankan mengenakan masker saat berada di luar rumah, demikian menurut laman IQAir dengan pembaruan pada pukul 05.00 WIB.

    IQAir mencatat kualitas udara Jakarta berada pada poin 162 dengan tingkat konsentrasi polutan PM 2,5 sebesar 70,5 mikrogram per meter kubik atau 14,1 lebih tinggi nilai panduan kualitas udara tahunan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

    PM 2,5 merupakan partikel berukuran lebih lebih kecil 2,5 mikron (mikrometer) yang ditemukan di udara termasuk debu, asap dan jelaga. Paparan partikel ini dalam jangka panjang dikaitkan dengan kematian dini, terutama pada orang yang memiliki penyakit jantung atau paru-paru kronis.

    Rekomendasi kesehatan terkait kualitas udara saat ini selain mengenakan masker, juga menghindari beraktivitas di luar ruangan, menutup jendela demi menghindari udara luar yang kotor, dan menyalakan penyaring udara.

    Adapun kualitas udara Jakarta tercatat berada pada urutan ketiga terburuk di Indonesia, setelah Serpong dengan poin 186, lalu Tangerang Selatan dengan poin 185.

    Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mencatat penurunan kualitas udara di Jakarta tidak hanya dipengaruhi oleh aktivitas di dalam wilayah saja, tetapi juga oleh kondisi meteorologi dan kontribusi dari daerah-daerah aglomerasi di sekitarnya, seperti Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur.

    Berdasarkan inventarisasi emisi yang telah dilakukan, diketahui sektor transportasi dan industri masih menjadi dua sumber utama pencemar udara di Jakarta.

    Data Dinas Lingkungan Hidup DKI menunjukkan sektor transportasi menyumbang 75 persen dari total polusi udara, dengan kontribusi signifikan dari kendaraan berat.

    Untuk itu, Pemprov DKI Jakarta saat ini fokus pada pengendalian emisi dari dua sektor tersebut melalui sejumlah langkah antara lain memasyarakatkan penggunaan transportasi umum massal dan mewajibkan uji emisi kendaraan bermotor disertai penegakan hukum terutama untuk kendaraan berat.

    Selain itu, Pemprov DKI juga menempatkan pengelola kawasan industri dan bisnis sebagai salah satu instrumen utama pelaksanaan uji emisi kendaraan di kawasan.

    Aturan tersebut berlaku untuk seluruh pengelola kawasan industri dan bisnis, perusahaan dan stan yang beroperasi di dalam kawasan, serta semua kendaraan operasional termasuk logistik dan pengangkut limbah.

    Upaya lainnya yakni pengawasan ketat terhadap industri seperti melakukan pengukuran emisi menerus pada industri yang berpotensi melakukan pencemaran.

    Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
    Editor: Junaydi Suswanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.