NGO: WHO

  • WHO Laporkan Kelompok Anak Banyak Terkena Penyakit Misterius, Ini Gejalanya

    WHO Laporkan Kelompok Anak Banyak Terkena Penyakit Misterius, Ini Gejalanya

    Jakarta

    Penyakit misterius di Republik Demokratik Kongo menyebar di kalangan anak-anak. Paling berbahaya bila menyerang mereka dengan kondisi kekurangan gizi parah, menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). WHO tengah mengirim para ahli ke wilayah tersebut untuk menyelidiki wabah.

    Dalam rilis terbaru yang dipublikasikan Minggu malam (8/12/2024), WHO mencatat 406 kasus penyakit misterius alias tidak diketahui penyebabnya, sepanjang 24 Oktober hingga 5 Desember, 31 di antaranya meninggal dunia.

    Apa Gejalanya?

    Gejala penyakit misterius yang belum diketahui penyebabnya meliputi:

    DemamSakit kepalaBatukPilekNyeri tubuh.

    Semua kasus parah dilaporkan terjadi pada orang yang kekurangan gizi parah, dan sebagian besar kasus dilaporkan adalah anak-anak, terutama yang berusia di bawah lima tahun.

    “Daerah tersebut merupakan daerah pedesaan dan terpencil, dengan akses yang semakin terhambat di tengah musim hujan yang sedang berlangsung,” badan kesehatan PBB, dikutip dari CNA, Selasa (10/12).

    “Tantangan-tantangan ini, ditambah dengan diagnostik terbatas di wilayah tersebut, telah menunda identifikasi penyebab yang mendasarinya.”

    Pernyataan ini mengatakan malaria umum terjadi di daerah tersebut dan dapat menyebabkan kasus-kasus tersebut. Para ahli mengatakan ada kemungkinan lebih dari satu penyakit menjadi penyebab dari kondisi misterius.

    (naf/kna)

  • Gempar Penyakit Misterius Mematikan di Kongo, Puluhan Orang Tewas

    Gempar Penyakit Misterius Mematikan di Kongo, Puluhan Orang Tewas

    Jakarta

    Pihak jawatan kesehatan di Republik Demokratik Kongo (DRC) tengah menyelidiki wabah penyakit misterius yang telah menewaskan puluhan orang di negara itu. “Kami tidak tahu apakah kita menghadapi penyakit yang disebabkan oleh virus atau bakteri,” ujar Direktur Jenderal Institut Kesehatan Masyarakat Nasional, Dieudonne Mwamba.

    Sejauh ini, otoritas setempat telah mengonfirmasi hampir 80 kematian dari 376 kasus yang dilaporkan, dengan infeksi pertama tercatat pada akhir Oktober.

    Anak-anak berisiko tinggi tertular

    Penyakit yang tidak diketahui ini saat ini terkonsentrasi di Distrik Panzi, Pprovinsi Kwango, yang terletak sekitar 700 kilometer dari ibu kota Kinshasa. Distrik Panzi terpencil, dengan jalan yang sulit diakses dan infrastruktur kesehatan yang hampir tidak memadai.

    Pihak berwenang telah mengirim tim peneliti medis, termasuk ahli epidemiologi, ke lokasi kejadian untuk menilai situasi dan membawa sampel ke Kikwit untuk dianalisis.

    Menurut Menteri Kesehatan Samuel-Roger Kamba, orang-orang menunjukkan gejala demam, batuk, pilek, sakit kepala, dan nyeri tubuh.

    “Ini adalah sindrom yang menyerupai sindrom flu dengan gangguan pernapasan pada beberapa anak dan beberapa orang yang telah meninggal,” kata menteri tersebut.

    Ada juga penurunan kadar hemoglobin yang tidak normal dalam darah, menurut Menteri Kesehatan Provinsi Apollinaire Yumba.

    Ia menyarankan penduduk untuk menjauhkan diri dari semua kontak dengan mayat untuk menghindari kontaminasi dan, pada saat yang sama, mengimbau otoritas nasional dan internasional untuk mengirim pasokan medis.

    Langkah-langkah untuk mengatasi penyakit tersebut

    Kamba mengatakan periode flu musiman berlangsung dari Oktober hingga Maret, dan mencapai puncaknya pada Desember, yang merupakan hal yang perlu dipertimbangkan ketika berhadapan dengan penyakit misterius tersebut.

    “Apakah ini flu musiman yang parah dengan orang-orang yang rentan karena kekurangan gizi, anemia, atau penyakit lain? Atau apakah ini kuman lain? Kita akan tahu dari hasilnya,” katanya.

    Wakil Gubernur Remy Saki mengatakan kepada DW bahwa provinsi tersebut telah menerapkan langkah-langkah untuk mencegah penyebaran epidemi tersebut.

    “Di antara langkah-langkah tersebut, misalnya, petugas imigrasi telah diminta untuk membatasi pergerakan orang dan mencatat keluar masuknya orang-orang dari desa-desa sekitar, serta menerapkan langkah-langkah pembatasan yang sebelumnya digunakan selama periode virus corona. Mengenakan masker juga diwajibkan,” ungkapnya.

    Mpox masih menjadi ancaman

    Menurut Organisasi Kesehatan Dunia WHO, Republik Demokratik Kongo sudah dilanda epidemi cacar monyet atau mpox, dengan lebih dari 47.000 kasus dengan lebih dari 1.000 kematian yang diduga akibat penyakit di negara Afrika Tengah tersebut.

    Dieudonne Mwamba, direktur jenderal Institut Kesehatan Masyarakat Nasional, mengatakan bahwa para pejabat berada dalam “kewaspadaan maksimal” dan perlu memastikan apakah penyakit yang tidak diketahui tersebut merupakan infeksi pernapasan.

    “Kita juga harus mencatat bahwa, di zona kesehatan Panzi, terjadi epidemi tifus besar dua tahun lalu dan bahwa tingkat kekurangan gizi di zona kesehatan ini berada pada sekitar 40%. Ini merupakan faktor kerentanan,” tambahnya.

    Artikel ini aslinya diterbitkan dalam bahasa Prancis.

    (ita/ita)

  • Ada Penyakit Misterius Mematikan di Kongo – Halaman all

    Ada Penyakit Misterius Mematikan di Kongo – Halaman all

    Pihak jawatan kesehatan di Republik Demokratik Kongo (DRC) tengah menyelidiki wabah penyakit misterius yang telah menewaskan puluhan orang di negara itu. “Kami tidak tahu apakah kita menghadapi penyakit yang disebabkan oleh virus atau bakteri,” ujar Direktur Jenderal Institut Kesehatan Masyarakat Nasional, Dieudonne Mwamba.

    Sejauh ini, otoritas stempat telah mengonfirmasi hampir 80 kematian dari 376 kasus yang dilaporkan, dengan infeksi pertama tercatat pada akhir Oktober.

    Anak-anak berisiko tinggi tertular

    Penyakit yang tidak diketahui ini saat ini terkonsentrasi di Distrik Panzi, Pprovinsi Kwango, yang terletak sekitar 700 kilometer dari ibu kota Kinshasa. Distrik Panzi terpencil, dengan jalan yang sulit diakses dan infrastruktur kesehatan yang hampir tidak memadai.

    Pihak berwenang telah mengirim tim peneliti medis, termasuk ahli epidemiologi, ke lokasi kejadian untuk menilai situasi dan membawa sampel ke Kikwit untuk dianalisis.

    Menurut Menteri Kesehatan Samuel-Roger Kamba, orang-orang menunjukkan gejala demam, batuk, pilek, sakit kepala, dan nyeri tubuh.

    “Ini adalah sindrom yang menyerupai sindrom flu dengan gangguan pernapasan pada beberapa anak dan beberapa orang yang telah meninggal,” kata menteri tersebut.

    Ia mengatakan 40% kasus terjadi pada anak-anak di bawah usia lima tahun, yang sebagian besar “sudah rapuh karena kekurangan gizi.”

    Ada juga penurunan kadar hemoglobin yang tidak normal dalam darah, menurut Menteri Kesehatan Provinsi Apollinaire Yumba.

    Ia menyarankan penduduk untuk menjauhkan diri dari semua kontak dengan mayat untuk menghindari kontaminasi dan, pada saat yang sama, mengimbau otoritas nasional dan internasional untuk mengirim pasokan medis.

    Menurut sumber anonim di dalam Organisasi Kesehatan Dunia, WHO juga telah mengirim tim.

    Langkah-langkah untuk mengatasi penyakit tersebut

    Kamba mengatakan periode flu musiman berlangsung dari Oktober hingga Maret, dan mencapai puncaknya pada Desember, yang merupakan hal yang perlu dipertimbangkan ketika berhadapan dengan penyakit misterius tersebut.

    “Apakah ini flu musiman yang parah dengan orang-orang yang rentan karena kekurangan gizi, anemia, atau penyakit lain? Atau apakah ini kuman lain? Kita akan tahu dari hasilnya,” katanya.

    Wakil Gubernur Remy Saki mengatakan kepada DW bahwa provinsi tersebut telah menerapkan langkah-langkah untuk mencegah penyebaran epidemi tersebut.

    “Di antara langkah-langkah tersebut, misalnya, petugas imigrasi telah diminta untuk membatasi pergerakan orang dan mencatat keluar masuknya orang-orang dari desa-desa sekitar, serta menerapkan langkah-langkah pembatasan yang sebelumnya digunakan selama periode virus corona. Mengenakan masker juga diwajibkan,” ungkapnya.

    Mpox masih menjadi ancaman

    Menurut Organisasi Kesehatan Dunia WHO, Republik Demokratik Kongo sudah dilanda epidemi cacar monyet atau mpox, dengan lebih dari 47.000 kasus dengan lebih dari 1.000 kematian yang diduga akibat penyakit di negara Afrika Tengah tersebut.

    Dieudonne Mwamba, direktur jenderal Institut Kesehatan Masyarakat Nasional, mengatakan bahwa para pejabat berada dalam “kewaspadaan maksimal” dan perlu memastikan apakah penyakit yang tidak diketahui tersebut merupakan infeksi pernapasan.

    “Kita juga harus mencatat bahwa, di zona kesehatan Panzi, terjadi epidemi tifus besar dua tahun lalu dan bahwa tingkat kekurangan gizi di zona kesehatan ini berada pada sekitar 40%. Ini merupakan faktor kerentanan,” tambahnya.

    Artikel ini aslinya diterbitkan dalam bahasa Prancis.

  • Menggantungnya Kesepakatan Nuklir AS-Korut

    Menggantungnya Kesepakatan Nuklir AS-Korut

    JAKARTA – Ibu jari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump langsung bergerak cepat untuk membalas kritikan Korea Utara terhadap mantan Wakil Presidennya Joe Biden. Hal ini juga berkaitan dengan nota kesepakatan AS-Korea Utara dalam masalah nuklir.

    Secara harfiah, Joe Biden kini menjadi calon kandidat untuk pilpres amerika di tahun 2020. Di saat itu pula, pimpinan Korea Utara mengibaratkan Joe sebagai ‘anjing gila’ yang harus dipukuli karena menjadi saingan Trump.

    Lewat akun Twitter pribadinya, Trump langsung berkomentar terhadap koleganya yang disebut ‘anjing gila’. Tweet Trump langsung ditujukan untuk pimpinan tertinggi di Korea Utara yang tak lain adalah Kim Jong-un. 

    “Mr. Chairman (Kim Jong-un), Joe Biden mungkin mengantuk dan sangat lambat, tetapi dia bukan anjing gila. Dia lebih baik dari itu, tetapi saya adalah satu-satunya yang dapat membawa Anda ke tempat yang seharusnya. Anda harus bertindak cepat, segera setujui kesepakatan kita. Sampai jumpa!,” ujar Trump.

    Belum diketahui pasti, masalah apa yang membuat Korea Utara berkomentar begitu pedas kepada Joe Biden. Sekali pun memang Joe Biden pernah mengkritik pertemuan tingkat tinggi Trump dengan Kim Jong-un pada tahun lalu. 

    Mr. Chairman, Joe Biden may be Sleepy and Very Slow, but he is not a “rabid dog.” He is actually somewhat better than that, but I am the only one who can get you where you have to be. You should act quickly, get the deal done. See you soon! https://t.co/kO2k14lTf7

    — Donald J. Trump (@realDonaldTrump) November 17, 2019

    Setidaknya, hingga saat ini sudah tiga kali pertemuan yang dilakukan Trump dan Kim Jong-un sejak pertama kali bertemu di Singapura pada Juni 2018. Setiap pertemuan tersebut membahas isu yang sama; mengakhiri program rudal nuklir Korea Utara.

    Sayangnya pertemuan-pertemuan tersebut tidak memberikan hasil yang berarti. Orang nomor satu di Korut tersebut masih tidak menyepakati denuklirisasi. Pada pertemuan di KTT Singapura Juni 2018, Presiden Trump dan Kim Jong-un berkomitmen untuk ‘bekerja menuju’ denuklirisasi Semenanjung Korea.

    Diplomat AS pun sampai dibuatnya frustasi dalam mengupayakan tujuan denuklirisasi di Semenanjung Korea itu. Setidaknya Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo, masih optimis untuk menemui Kim Jong-un di lokasi uji coba nuklir. Meski belum ada kabarnya hingga saat ini.

    Pada awal 2019, AS-Korut kembali bertemu di KTT yang digelar di Hanoi, Vietnam. Namun lagi-lagi pertemuan tersebut tidak berakhir dengan baik setelah Kim Jong-un menyatakan bahwa ia setuju untuk menutup salah satu fasilitas nuklir, tetapi menolak mengabulkan tuntutan AS lainnya.

    Pertemuan ketiga antara kedua pemimpin, di zona perbatasan Korut dan Korea Selatan (Korsel) pada Oktober, menghasilkan perjanjian yang harus segera disepakati dalam dua hingga tiga minggu. Kini empat minggu telah berlalu, kesepakatan tersebut bahkan belum juga dibahas. Seorang pejabat senior AS mengatakan Korut belum menunjuk seorang negosiator.

    Program denuklirasi Semenanjung Korea bukanlah hal yang mudah diterima oleh Korut. Nuklir dan rudal adalah bagian dari janji yang diberikan pemimpin Korut sebagai bentuk perlindungan terhadap rakyatnya dari invasi pihak asing. Jika Kim Jong-un setuju akan denuklirisasi, sama saja ia merusak legitimasi dirinya sebagai penguasa tertinggi.

  • Hong Kong Perketat Pintu Masuk usai Penyakit Misterius Muncul di Kongo

    Hong Kong Perketat Pintu Masuk usai Penyakit Misterius Muncul di Kongo

    Jakarta

    Pihak berwenang Hong Kong telah meningkatkan tindakan pemeriksaan kesehatan untuk semua penerbangan yang datang dari pusat transit Afrika. Hal ini menyusul risiko penyakit tak dikenal yang menewaskan sedikitnya 79 orang di Republik Demokratik Kongo.

    Pusat Perlindungan Kesehatan Hong Kong mengatakan pada hari Kamis (5/12/2024) bahwa pihaknya telah meminta informasi tentang wabah tersebut dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Afrika, dan otoritas kesehatan Kongo.

    Menurut otoritas kesehatan di negara Afrika tengah itu, penyakit yang tidak diketahui itu telah mengakibatkan 79 kematian dan lebih dari 300 infeksi sejak akhir Oktober.

    Pasien yang terinfeksi mengalami gejala termasuk demam, sakit kepala, pilek, batuk, kesulitan bernapas, dan anemia.

    Pusat Perlindungan Kesehatan mengatakan pemerintah setempat belum menerima laporan tentang orang atau pelancong yang tiba di Hong Kong dari negara tersebut dengan penyakit misterius.

    Meskipun tidak ada penerbangan langsung antara RD Kongo dan Hong Kong, wisatawan dari negara tersebut biasanya mencapai Hong Kong melalui pusat transit Afrika, khususnya Johannesburg di Afrika Selatan dan Addis Ababa di Ethiopia.

    “Sebagai tindakan pencegahan, [pusat tersebut] segera meningkatkan pemeriksaan kesehatan di bandara bagi penumpang pada semua penerbangan yang tiba di Hong Kong dari pusat transit.”

    Pelancong nantinya akan menjalani pemeriksaan suhu, dengan petugas kesehatan melakukan penilaian medis bagi mereka yang memiliki gejala dan merujuk kasus yang diduga ke rumah sakit untuk diperiksa.

    Tak hanya itu, mereka yang berencana mengunjungi Kongo untuk selalu menjaga kebersihan pribadi dan lingkungan serta menghindari tempat ramai dan kontak dengan orang sakit.

    Pelancong yang kembali ke Hong Kong dihimbau untuk segera mencari perawatan medis jika merasa tidak sehat dan memberi tahu penyedia layanan kesehatan tentang riwayat perjalanan mereka.

    (suc/kna)

  • Genosida Nyamuk dari Dunia: Solusi atau Bencana?

    Genosida Nyamuk dari Dunia: Solusi atau Bencana?

    Jakarta: Nyamuk adalah salah satu makhluk paling mematikan di dunia. Dengan menyebarkan penyakit seperti malaria, demam berdarah, dan Zika, mereka bertanggung jawab atas jutaan kematian setiap tahun.

    Ide untuk memberantas nyamuk sepenuhnya telah memicu perdebatan besar di kalangan ilmuwan, aktivis lingkungan, dan masyarakat umum.

    Apakah ini solusi tepat untuk mengurangi penderitaan manusia, atau tindakan yang berpotensi merusak keseimbangan ekosistem?
     
    Dampak Negatif Nyamuk pada Manusia
    Nyamuk bertanggung jawab atas sekitar 608,000 kematian manusia pada tahun 2022 berdasarkan WHO, menjadikannya vektor penyakit paling mematikan di dunia.

    Demam berdarah, yang disebabkan oleh nyamuk Aedes aegypti, menyumbang jutaan kasus infeksi setiap tahun dengan puluhan ribu kematian.

    Wabah dengue ini tidak hanya menjadi masalah kesehatan di kawasan tropis tetapi juga semakin meluas ke daerah subtropis akibat perubahan iklim. Virus Zika dan Chikungunya menimbulkan komplikasi kesehatan serius, termasuk microcephaly pada bayi.

    Dengan angka ini, argumen untuk memberantas nyamuk tampak kuat. Teknologi seperti CRISPR telah memungkinkan modifikasi genetik untuk membuat nyamuk tidak mampu bereproduksi. Namun, apakah kita memahami sepenuhnya dampak dari langkah ini?
    Dilema Etika dan Teknologi
    Menggunakan teknologi untuk “genosida” nyamuk menimbulkan pertanyaan etis. Apakah manusia berhak menentukan nasib spesies lain?

    Argumentasi ini sering dibandingkan dengan konsep dominasi manusia atas alam, yang telah menyebabkan banyak kerusakan ekosistem. Selain itu, apakah risikonya dapat diprediksi?

    Teknologi penghapusan spesies, seperti penggunaan gen drive, belum sepenuhnya teruji untuk dampak jangka panjang. Ada juga kekhawatiran bahwa gen yang dimodifikasi dapat menyebar ke spesies nyamuk lain yang tidak menjadi target.

    Beberapa pakar bioetika juga menyoroti bahwa, meskipun nyamuk tidak dianggap makhluk yang “merasakan” seperti manusia, tindakan memusnahkan spesies secara sengaja membawa implikasi moral yang signifikan.

    Sebagai perbandingan, manusia merayakan keberhasilan memberantas virus variola yang menyebabkan cacar karena dampak positifnya pada kesehatan global. Namun, nyamuk berbeda karena perannya dalam ekosistem.
     
    Peran Nyamuk dalam Ekosistem
    Nyamuk, meskipun menjengkelkan, memiliki peran ekologis yang penting. Larva nyamuk adalah makanan utama bagi ikan dan serangga air.

    Nyamuk dewasa menjadi santapan burung, kelelawar, dan laba-laba. Beberapa spesies nyamuk membantu penyerbukan tanaman, meskipun kontribusinya kecil dibandingkan lebah.

    Para ilmuwan memperingatkan bahwa menghapus nyamuk sepenuhnya dapat mengganggu rantai makanan, terutama di wilayah tropis. Namun, tidak semua spesies nyamuk memiliki dampak ekologis yang signifikan.

    Sebagian besar masalah kesehatan disebabkan oleh beberapa spesies saja, seperti Aedes aegypti dan Anopheles gambiae.

    Namun, spesies seperti Anopheles gambiae, yang dikenal sebagai penyebar malaria utama di Afrika, memiliki peran penting di habitat rawa. Larva mereka membantu mengatur mikrobioma tanah dan mendukung ekosistem lokal.

    Menghapus spesies ini sepenuhnya bisa memiliki konsekuensi tak terduga terhadap keseimbangan ekosistem.

    Beberapa entomolog juga memperingatkan bahwa memusnahkan nyamuk dapat membuka peluang bagi spesies lain yang mungkin lebih berbahaya atau sulit dikendalikan.
     
    Teknologi Pengendalian Modern
    Proyek seperti MOSQUAREL menunjukkan pendekatan inovatif untuk mengendalikan populasi nyamuk. Dengan menggunakan drone untuk menyebarkan nyamuk jantan steril, teknologi ini bertujuan untuk mencegah reproduksi tanpa membahayakan ekosistem secara langsung.

    Namun, metode ini masih memerlukan pengujian lebih lanjut untuk memastikan keefektifannya di lapangan.

    Alternatif lainnya adalah menggunakan bakteri Wolbachia, yang secara alami mengurangi kemampuan nyamuk untuk menyebarkan penyakit.

    Program “Eliminate Dengue” di Australia telah berhasil menggunakan metode ini untuk menekan penularan demam berdarah.
     
    Alternatif Solusi
    Jika genosida nyamuk terlalu ekstrem, ada beberapa alternatif yang lebih aman. Pengendalian populasi dapat dilakukan dengan menggunakan nyamuk steril untuk mengurangi reproduksi tanpa menghapus spesies sepenuhnya.

    Peningkatan infrastruktur kesehatan, seperti penyediaan vaksin malaria dan pengobatan efektif, dapat membantu mengurangi dampak penyakit yang ditularkan nyamuk.

    Pengelolaan lingkungan juga penting, termasuk menguras tempat penampungan air yang menjadi sarang nyamuk dan penggunaan larvasida ramah lingkungan.

    Pendekatan ini dapat mengurangi ketergantungan pada insektisida yang sering merusak serangga lain, seperti kupu-kupu.

    Baca Juga:
    7 Tanaman Pengusir Nyamuk Ini Bisa Ditanam di Sekitar Rumah

    Jakarta: Nyamuk adalah salah satu makhluk paling mematikan di dunia. Dengan menyebarkan penyakit seperti malaria, demam berdarah, dan Zika, mereka bertanggung jawab atas jutaan kematian setiap tahun.
     
    Ide untuk memberantas nyamuk sepenuhnya telah memicu perdebatan besar di kalangan ilmuwan, aktivis lingkungan, dan masyarakat umum.
     
    Apakah ini solusi tepat untuk mengurangi penderitaan manusia, atau tindakan yang berpotensi merusak keseimbangan ekosistem?
     
    Dampak Negatif Nyamuk pada Manusia
    Nyamuk bertanggung jawab atas sekitar 608,000 kematian manusia pada tahun 2022 berdasarkan WHO, menjadikannya vektor penyakit paling mematikan di dunia.
    Demam berdarah, yang disebabkan oleh nyamuk Aedes aegypti, menyumbang jutaan kasus infeksi setiap tahun dengan puluhan ribu kematian.
     
    Wabah dengue ini tidak hanya menjadi masalah kesehatan di kawasan tropis tetapi juga semakin meluas ke daerah subtropis akibat perubahan iklim. Virus Zika dan Chikungunya menimbulkan komplikasi kesehatan serius, termasuk microcephaly pada bayi.
     
    Dengan angka ini, argumen untuk memberantas nyamuk tampak kuat. Teknologi seperti CRISPR telah memungkinkan modifikasi genetik untuk membuat nyamuk tidak mampu bereproduksi. Namun, apakah kita memahami sepenuhnya dampak dari langkah ini?
    Dilema Etika dan Teknologi
    Menggunakan teknologi untuk “genosida” nyamuk menimbulkan pertanyaan etis. Apakah manusia berhak menentukan nasib spesies lain?
     
    Argumentasi ini sering dibandingkan dengan konsep dominasi manusia atas alam, yang telah menyebabkan banyak kerusakan ekosistem. Selain itu, apakah risikonya dapat diprediksi?
     
    Teknologi penghapusan spesies, seperti penggunaan gen drive, belum sepenuhnya teruji untuk dampak jangka panjang. Ada juga kekhawatiran bahwa gen yang dimodifikasi dapat menyebar ke spesies nyamuk lain yang tidak menjadi target.
     
    Beberapa pakar bioetika juga menyoroti bahwa, meskipun nyamuk tidak dianggap makhluk yang “merasakan” seperti manusia, tindakan memusnahkan spesies secara sengaja membawa implikasi moral yang signifikan.
     
    Sebagai perbandingan, manusia merayakan keberhasilan memberantas virus variola yang menyebabkan cacar karena dampak positifnya pada kesehatan global. Namun, nyamuk berbeda karena perannya dalam ekosistem.
     
    Peran Nyamuk dalam Ekosistem
    Nyamuk, meskipun menjengkelkan, memiliki peran ekologis yang penting. Larva nyamuk adalah makanan utama bagi ikan dan serangga air.
     
    Nyamuk dewasa menjadi santapan burung, kelelawar, dan laba-laba. Beberapa spesies nyamuk membantu penyerbukan tanaman, meskipun kontribusinya kecil dibandingkan lebah.
     
    Para ilmuwan memperingatkan bahwa menghapus nyamuk sepenuhnya dapat mengganggu rantai makanan, terutama di wilayah tropis. Namun, tidak semua spesies nyamuk memiliki dampak ekologis yang signifikan.
     
    Sebagian besar masalah kesehatan disebabkan oleh beberapa spesies saja, seperti Aedes aegypti dan Anopheles gambiae.
     
    Namun, spesies seperti Anopheles gambiae, yang dikenal sebagai penyebar malaria utama di Afrika, memiliki peran penting di habitat rawa. Larva mereka membantu mengatur mikrobioma tanah dan mendukung ekosistem lokal.
     
    Menghapus spesies ini sepenuhnya bisa memiliki konsekuensi tak terduga terhadap keseimbangan ekosistem.
     
    Beberapa entomolog juga memperingatkan bahwa memusnahkan nyamuk dapat membuka peluang bagi spesies lain yang mungkin lebih berbahaya atau sulit dikendalikan.
     
    Teknologi Pengendalian Modern
    Proyek seperti MOSQUAREL menunjukkan pendekatan inovatif untuk mengendalikan populasi nyamuk. Dengan menggunakan drone untuk menyebarkan nyamuk jantan steril, teknologi ini bertujuan untuk mencegah reproduksi tanpa membahayakan ekosistem secara langsung.
     
    Namun, metode ini masih memerlukan pengujian lebih lanjut untuk memastikan keefektifannya di lapangan.
     
    Alternatif lainnya adalah menggunakan bakteri Wolbachia, yang secara alami mengurangi kemampuan nyamuk untuk menyebarkan penyakit.
     
    Program “Eliminate Dengue” di Australia telah berhasil menggunakan metode ini untuk menekan penularan demam berdarah.
     
    Alternatif Solusi
    Jika genosida nyamuk terlalu ekstrem, ada beberapa alternatif yang lebih aman. Pengendalian populasi dapat dilakukan dengan menggunakan nyamuk steril untuk mengurangi reproduksi tanpa menghapus spesies sepenuhnya.
     
    Peningkatan infrastruktur kesehatan, seperti penyediaan vaksin malaria dan pengobatan efektif, dapat membantu mengurangi dampak penyakit yang ditularkan nyamuk.
     
    Pengelolaan lingkungan juga penting, termasuk menguras tempat penampungan air yang menjadi sarang nyamuk dan penggunaan larvasida ramah lingkungan.
     
    Pendekatan ini dapat mengurangi ketergantungan pada insektisida yang sering merusak serangga lain, seperti kupu-kupu.
     
    Baca Juga:
    7 Tanaman Pengusir Nyamuk Ini Bisa Ditanam di Sekitar Rumah
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (SUR)

  • Mendiang Robert Freeman yang Abadi dalam Sampul The Beatles

    Mendiang Robert Freeman yang Abadi dalam Sampul The Beatles

    JAKARTA – Robert Freeman, fotografer lepas The Beatles meninggal di usia 82 tahun. Freeman berkontribusi dalam banyak kiprah The Fab Four. Mari kita tengok karya mendiang Freeman.

    Freeman lahir pada tahun 1938. Pada awal kariernya, Freeman bekerja sebagai jurnalis foto untuk The Sunday Times.

    Di tahun 60-an, Freeman mulai bekerja untuk The Beatles. Sampul album Help! jadi proyek pertamanya bersama The Beatles.

    Tak mungkin memungkiri kerennya sampul foto dalam sampul Help!. Dalam album rilisan 1965 itu, Harrison, Lennon, McCartney, dan Starr berdiri sejajar mengeja huruf “help” dengan isyarat semapur.

    Setelah Help!, tangkapan citra Freeman terus digunakan anak asuh Brian Epstein. Dalam album-album selanjutnya, Freeman juga lah yang menciptakan foto-foto ikonik dalam album The Beatles.

    Sampul Beatles for Sale, Rubber Soul, With The Beatles, A Hard Day’s Night, serta berbagai album lain jadi catatan karya Freeman.

    Selain The Beatles, Freeman juga bekerja untuk sejumlah nama populer lain, mulai dari Mohammed Ali, John Coltrane, Charlton Heston, hingga Andy Warhol.

    Pengumuman meninggalnya Freeman diumumkan dalam akun Twitter resmi The Beatles. Tak disebutkan jelas apa penyebab kematian Freeman.

    Yang jelas, seluruh sahabat mendiang turut menyampaikan pesan duka. Tak terkecuali Paul McCartney. Dalam situs resminya, Paul menulis pesan duka:

    Dear Robert Freeman has passed away. He was one of our favourite photographers during the Beatles years who came up with some of our most iconic album covers. Besides being a great professional he was imaginative and a true original thinker. People often think that the cover shot for Meet The Beatles of our foreheads in half shadow was a carefully arranged studio shot. In fact it was taken quite quickly by Robert in the corridor of a hotel we were staying in where natural light came from the windows at the end of the corridor. I think it took no more than half an hour to accomplish.

    Bob also took the Rubber Soul cover; his normal practice was to use a slide projector and project the photos he’d taken onto a piece of white cardboard which was exactly album sized, thus giving us an accurate idea of how the finished product would look. During his viewing session the card which had been propped up on a small table fell backwards giving the photograph a ‘stretched’ look. Instead of simply putting the card upright again we became excited at the idea of this new version of his photograph. He assured us that it was possible to print it this way and because the album was titled Rubber Soul we felt that the image fitted perfectly.

    I will miss this wonderful man but will always cherish the fond memories I have of him.

    Thanks Bob.

    Love Paul

  • Atasi Epidemi Merokok, Pemerintah Perlu Strategi Kebijakan Komprehensif Berbasis Bukti Ilmiah – Halaman all

    Atasi Epidemi Merokok, Pemerintah Perlu Strategi Kebijakan Komprehensif Berbasis Bukti Ilmiah – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pemerintah Indonesia diharapkan dapat mengimplementasikan strategi kebijakan komplementer yang komprehensif berbasis bukti ilmiah.

    Tujuannya untuk menurunkan angka prevalensi merokok yang semakin tinggi, termasuk melalui pemanfaatan produk tembakau alternatif.

    Hal ini menjadi topik pembahasan para akademisi dalam Guest Lecture “Challenge in the Use of Evidence to Inform Policy” yang diselenggarakan Universitas Indonesia, beberapa waktu lalu.

    Mantan Direktur Riset Kebijakan Penelitian dan Kerja Sama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Profesor Tikki Pangestu menjelaskan Indonesia memiliki tantangan besar dalam menurunkan prevalensi merokok.

    Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) terbaru menunjukkan jumlah perokok aktif telah mencapai 70 juta orang. Adapun setiap tahunnya, beban biaya kesehatan meningkat akibat kebiasaan merokok terus meningkat di Indonesia.

    “Ini bukan fakta (70 juta perokok) yang dapat dibanggakan. Kita harus menurunkan jumlah perokok di Indonesia,” kata pengajar di Yong Loo Lin School of Medicine, National University of Singapore ini di Jakarta, Senin (9/12/2024).

    Dengan kondisi tersebut, menurut Prof Tikki, Indonesia memerlukan kebijakan komplementer dalam bidang kesehatan yang rasional, proporsional dan berbasis risiko untuk melengkapi berbagai kebijakan yang sudah ada saat ini.

    Kebijakan komplementer tersebut tentunya harus berlandaskan bukti ilmiah (evidence based) yang mempertimbangkan ilmu pengetahuan, sumber daya, situasi politik, ekonomi, dan budaya lokal agar implementasinya tepat sasaran.

    Tak hanya itu, pembuatan kebijakan harus mengutamakan relevansi, bahasa, dan format yang mudah dipahami masyarakat.

    Hal ini bisa menjadi landasan untuk mengedukasi masyarakat tentang bahaya merokok sekaligus memberikan kebebasan bagi perokok dewasa dalam memilih pendekatan yang paling sesuai untuk berhenti merokok.

    “Dengan demikian, kajian ilmiah menjadi bagian integral untuk mencari solusi demi mengurangi prevalensi merokok di Indonesia,” ujar Prof. Tikki.

    Jepang, menurut Prof. Tikki, telah mengimplementasikan kebijakan berlandaskan kajian ilmiah dengan mendorong pemanfaatan produk tembakau alternatif, seperti produk tembakau yang dipanaskan, untuk menurunkan prevalensi merokok.

    Berkat kebijakan tersebut, angka perokok di Jepang mengalami penurunan.

    Hasil survei Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang menunjukkan bahwa jumlah perokok pria dan perempuan terus menurun pada tahun 2022.

    Prevalensi perokok pria turun 3,4 poin menjadi 25,4 persen. Adapun tingkat Perempuan perokok turun 1,1 poin menjadi 7,7 persen.

    Survei tersebut menyoroti peningkatan kesadaran akan kesehatan dan dampak dari revisi undang-undang untuk menurunkan perokok pasif. 

     

  • Video: WHO Bicara soal Munculnya Penyakit Misterius di Kongo

    Video: WHO Bicara soal Munculnya Penyakit Misterius di Kongo

    Video: WHO Bicara soal Munculnya Penyakit Misterius di Kongo

  • Dugaan Epidemiolog soal Pemicu Penyakit Misterius yang Melanda Kongo

    Dugaan Epidemiolog soal Pemicu Penyakit Misterius yang Melanda Kongo

    Jakarta

    Otoritas kesehatan Republik Demokratik Kongo belakangan tengah ketar-ketir setelah dihadapi wabah penyakit misterius mirip flu. Penyakit tersebut memicu hampir 80 kematian dari 376 kasus yang dilaporkan, dengan infeksi pertama tercatat pada akhir Oktober.

    Penyakit yang tidak diketahui ini saat ini terkonsentrasi di distrik Panzi di provinsi Kwango, yang terletak sekitar 435 mil (700 kilometer) dari ibu kota, Kinshasa. Distrik Panzi terpencil, dengan jalan yang sulit diakses dan infrastruktur kesehatan yang hampir tidak ada.

    Pihak berwenang telah mengirimkan tim penelitian medis, termasuk ahli epidemiologi, ke lokasi tersebut untuk menilai situasi dan membawa sampel ke Kikwit untuk dianalisis.

    Menurut Menteri Kesehatan setempat Samuel-Roger Kamba, orang-orang menunjukkan gejala demam, batuk, pilek, sakit kepala, dan nyeri tubuh.

    “Ini adalah sindrom yang menyerupai sindrom flu dengan gangguan pernapasan pada beberapa anak dan pada beberapa orang yang telah meninggal,” kata menteri tersebut.

    Ia mengatakan 40 persen kasus terjadi pada anak-anak berusia di bawah 5 tahun , yang sebagian besarnya “sudah rapuh karena kekurangan gizi.”

    Ada juga penurunan abnormal pada kadar hemoglobin dalam darah, menurut Menteri Kesehatan provinsi Apollinaire Yumba.

    Terkait kejadian tersebut, epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman menduga patogen yang merebak di Republik Demokratik Kongo kemungkinan dipicu oleh virus. Hal ini dikarenakan pasien-pasien yang mengidap penyakit tersebut mengalami gejala seperti flu.

    “Demam, nyeri badan, ada juga gangguan nyeri tulang dan ada nyeri kepala, dan yang khas dari gejala ini adalah juga ada gangguan di menekan kemampuan napas yang akhirnya juga salah satu menyebabkan kematian, distress namanya,” imbuhnya saat dihubungi detikcom, Senin (9/12/2024).

    “Ada penurunan hemoglobin dan ini terjadi umumnya 40 persen pada anak di bawah 5 tahun,” katanya lagi.

    Ditambah lagi situasi kesehatan secara umum di RD Kongo memang sudah memburuk. Bahkan kata Dicky, banyak anak mengalami malnutrisi yang menjadi korban terbanyak.

    “Selain yang harus diingat di belahan bumi utara ini pada bulan seperti Desember ini adalah siklus flu, maksudnya virus flu jadi ini yang juga bisa berpotensi,” katanya.

    “Tapi sekali lagi apakah ini betul virus atau bakteri ya tentu kita harus tunggu hasil dari investigasi WHO,” sambungnya.

    (suc/kna)