NGO: Walhi

  • Penyesalan Warga 20 Tahun Lalu Tanah Pesisir Cuma Dijual Rp 2000 Per Meter, Kini Nelayan Jadi Miskin

    Penyesalan Warga 20 Tahun Lalu Tanah Pesisir Cuma Dijual Rp 2000 Per Meter, Kini Nelayan Jadi Miskin

    TRIBUNJATIM.COM – Kini penyesalan barulah dirasakan warga yang telah menjual tanah di pesisir pantai utara Semarang-Demak.

    Makelar tanah berhasil menguasai tanah tersebut dengan dulunya dibeli pada harga yang sangat murah.

    20 tahun yang lalu, warga menjual tanah tersebut dengan harga yang sangatlah murah.

    Hanya Rp 2000 per meter, warga kini terpaksa mendapati kondisi mereka terancam dan bakal kena gusur.

    Warga telah menjual tanah di pesisir pantai utara (pantura) khususnya Semarang-Demak ke para cukong atau makelar dengan harga yang sangat murah.

    Kini mereka dihinggapi rasa khawatir.

    Seperti diungkapkan para nelayan dari Aliansi Rakyat Miskin Semarang-Demak (ARMSD).

    Mereka khawatir tak bisa melaut menyusul adanya dugaan penguasaan wilayah pesisir oleh para cukong maupun korporasi perusahaan.

    Penguasaan para cukong di wilayah Semarang-Demak dilakukan dengan cara membeli tanah musnah dari para warga pesisir.

    Tanah-tanah yang sudah terendam air laut akibat abrasi itu kemudian hendak diubah dengan rencana beragam proyek seperti reklamasi dan pembangunan jalan tol.

    “Kondisi tersebut sebenarnya sudah mulai terjadi seperti yang dialami oleh nelayan pesisir Timbulsloko (Demak) dan Trimulyo (Semarang) yang kesulitan melaut karena pesisirnya tertutup proyek jalan tol,” ujar Koordinator ARMSD , Ahmad Marzuki, Senin (27/1/2025), seperti dikutip TribunJatim.com dari TribunJateng.com, Rabu (29/1/2025).

    Marzuki menyebut, kondisi tersebut  kian mengkhawatirkan manakala  pesisir di Demak dan Semarang dikuasainya oleh para pengusaha.

    Pihaknya mengetahui hal itu ketika melihat peta pesisir Semarang-Demak di situs bhumi.atrbpn.go.id yang menunjukkan pesisir di Semarang-Demak sudah dipetak-petakan.

    “Kami tidak tahu apakah itu sama dengan proyek PIK 2 (Pantai Indah Kapuk) di Tangerang sana, tetapi melihat delineasi peta sudah terpetak-petak yang mengkhawatirkan ketika ada pola pembangunan yang menggusur nelayan,” kata nelayan Tambakrejo, Kota Semarang ini.

    Nelayan yang menambatkan perahunya di Kali Sringin hendak menuju ke laut melewati sebuah barat pabrik di sisi barat Kawasan Industri Terboyo, Genuk, Kota Semarang. Mereka kondisinya kian terdesak saat proyek TTLSD mulai dijalankan, Jumat (2/2/2024). (TribunJateng.com)

    Kekhawatiran nelayan di pesisir Semarang-Demak ini diperkuat oleh kajian dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah (Jateng). 

    Hasil kajian Walhi menyebutkan, sejumlah tanah di pesisir pantai utara (pantura) khususnya Semarang-Demak telah dikuasai oleh korporasi melalui pembelian oleh para cukong dengan harga murah meriah yakni Rp 2 ribu sampai Rp 4 ribu permeter pada rentang tahun 2000-2010. 

    Pengusaha berani membelinya karena investasi jangka panjang.

    Buktinya dapat dilihat saat ini yang mana pemerintah dan perusahaan kini kongkalikong mengeringkan daratan melalui proyek tanggul Semarang-Kendal dan Semarang-Demak. 

    Tentu tanah yang dibeli tersebut harganya bakal meroket ketika proyek tersebut direalisasi.

    “Tanah warga yang hilang akibat abrasi dibeli dengan harga sangat murah bisa melonjak harganya sampai 1.000 kali lipat ketika proyek reklamasi dilakukan,” jelas Manajer advokasi dan Kampanye  Walhi  Jateng, Iqbal Alma.

    Iqbal menyebut, belum bisa mengungkap siapa dalang pengusaha yang menguasai pesisir Semarang-Demak.

    Merujuk ke situs bhumi.atrbpn.go.id hanya dapat mengetahui status lahan seperti  Hak Pengelolaan Atas (HPL), Hak Guna Usaha (HGU) dan Sertifikat Hak Milik (SHM). Namun, situs tersebut tak bisa mengungkap status kepemilikannya.

    “Kami sudah meminta data itu dibuka, tapi Badan Pertanahan Nasional (Jawa Tengah) beralasan tidak bisa dengan alasan itu data pribadi atau hanya internal BPN saja yang boleh mengakses,” terangnya.

    Menurut Iabal, ada sejumlah pihak yang ingin bermain dengan memanfaatkan ketidaktahuan warga pesisir yakni membeli tanah musnah dengan harga murah lalu dimanfaatkan untuk proyek-proyek tertentu berimbas buruk ke para nelayan.

    Hal itu bisa terjadi pada rencana proyek reklamasi di pesisir Mangkang-Tugu yang bakal melahap seluas 750 hektare wilayah pesisir.

    “Wilayah pesisir yang dikuasai oleh korporasi bakal berdampak besar terhadap nelayan berupa hilangnya ruang tangkap nelayan dalam mencari ikan,” sambung Iqbal.

    Peneliti pada Yayasan Amerta Air Indonesia , Eka Handriana mengatakan, kondisi nelayan saat ini memang bisa melaut tetapi secara faktual lahan yang dulunya dikuasai nelayan kini telah berpindah tangan ke pengusaha.

    Proses jual beli lahan yang kini telah menjadi lautan akibat abrasi melibatkan sejumlah makelar hingga sarekat atau perangkat desa. Artinya, perusahan-perusahaan tersebut tak terjun secara langsung.

    “Ketika ada proyek reklamasi orang-orang tersebut akan untung, tapi mengkhawatirkan nasib teman-teman nelayan,” ungkapnya yang bergabung juga dalam kelompok ARMSD.

    Eka menilai, lahan-lahan tenggelam milik warga di Semarang-Demak mulai ada rencana perluasan untuk kawasan industri.

    Seperti di Kabupaten Demak rencananya ada proyek Kawasan industri di Kecamatan Sayung. Rencana ini sudah tertuang dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kabupaten Demak yang terbaru.

    Sedangkan di Kecamatan Tugu, lahan-lahan tenggelam sudah muncul dalam rencana reklamasi yang tercantum dalam RDTRK (Rencana Detil Tata Ruang Kecamatan) Tugu, yang merupakan turunan dari RTRW Kota Semarang.

    Dia meminta, Menteri ATR/BPN membatalkan hak-hak di tanah-tanah tenggelam di Kecamatan Tugu dan Dukuh Timbulsloko, yang telah diajukan dalam skema Reforma Agraria Perkotaan. 

    Namun, tidak berhenti sampai di situ pihaknya juga mengusulkan agar lahan bekas tambak dan sawah yang tenggelam menjadi wilayah tangkap bagi nelayan setempat.

    “Untuk area yang masih ada rumahnya di Dukuh Timbulsloko, supaya dijadikan hak kolektif yang dipegang lembaga warga untuk ditinggali,” tuturnya.

    Koordinator ARMSD , Ahmad Marzuki meminta Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN),  Nusron Wahid untuk mencermati data HGB dan SHM di laut di daerah Kecamatan Tugu, Kota Semarang, dan Kampung Timbulsloko, Kabupaten Demak.

    Kemudian membatalkan HGB dan SHM di laut pada kedua area tersebut

    Selanjutnya, menjadikan area laut yang tadinya darat, namun sudah tenggelam karena abrasi sebagai obyek reforma agraria yakni kawasan yang bebas dimanfaatkan oleh siapapun.

    “Pemerintah perlu membebaskannya dari klaim kepemilikan tanah dan hak yang ada di daerah itu, dan menjadikannya sebagai area milik umum untuk dipakai nelayan sebagai area tangkap,” terangnya.

    Iqbal Alma dari Walhi Jateng mengungkapkan, Kementerian terkait untuk segera menghapus status lahan di pesisir Semarang karena itu merupakan hasil dari pembodohan terhadap masyarakat.

    Wilayah itu jangan sampai diprivatisasi yang hanya menguntungkan korporasi maupun orang-orang tertentu. Sebaliknya, wilayah tersebut ditetapkan sebagai wilayah laut kolektif atau wilayah tangkap nelayan.

    “Ketika sudah ditetapkan sebagai wilayah tangkap nelayan maka tidak boleh diganggu tetapi sayangnya nelayan semakin terpinggirkan dengan tidak bisa memanfaatkan laut,” ujarnya.

    Sementara itu, Kepala Bidang  (Kabid) Penataan dan Pemberdayaan Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jawa Tengah, Imam Nawawi mengatakan, kawasan pesisir Semarang-Demak sepertinya banyak yang terkena abrasi sehingga sudah ditetapkan sebagai tanah musnah. “Lebih jelasnya minta penjelasan langsung ke kantah (kantor pertanahan) Semarang dan Demak,” katanya. 

    Imam menambahkan, terkait informasi daftar tanah dan nama pemenang hak sesuai ketentuan memang dikecualikan dari informasi publik. 

    Berita viral lainnya

    Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com

  • Profil Freddy Numberi, Eks Menteri KKP yang Namanya Dibawa-bawa terkait HGB Pagar Laut Tangerang

    Profil Freddy Numberi, Eks Menteri KKP yang Namanya Dibawa-bawa terkait HGB Pagar Laut Tangerang

    loading…

    Freddy Numberi tengah menjadi sorotan setelah namanya dibawa-bawa menguasai sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) pagar laut di perairan Tangerang. Foto: Dok SINDOnews

    JAKARTA – Freddy Numberi tengah menjadi sorotan setelah namanya dibawa-bawa menguasai sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) pagar laut di perairan Tangerang. Freddy merupakan Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2004-2009 era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

    Setelah dilakukan penyelidikan oleh Jampidsus Kejaksaan Agung (Kejagung) terungkap PT Intan Agung Makmur dan Cahaya Inti Sentosa muncul sebagai pemilik HGB pagar laut.

    Hal itu membuat Freddy Numberi yang tercatat dalam Akta Hukum Umum (AHU) menjadi Komisaris PT Intan Agung Makmur dan PT Cahaya Inti Sentosa mendapat perhatian.

    Manajer Kampanye Infrastruktur dan Tata Ruang Walhi Dwi Sawung mengatakan, dua perusahaan yang dikepalai Freddy itu mendapatkan sertifikat HGB dengan total sebanyak 254 bidang tanah.

    Profil Freddy NumberiFreddy adalah pensiunan TNI Angkatan Laut (AL) dengan pangkat terakhir Laksamana Madya. Dia lahir pada 15 Oktober 1947 di Yapen Waropen, Nugini Bara.

    Freddy menyelesaikan pendidikan AKABRI tahun 1968. Lalu, melanjutkan pendidikannya ke Akademi Angkatan Laut (AAL) di Surabaya hingga lulus tahun 1971.

    Setelah lulus AAL, dia dipercaya menjadi Komandan KRI Sembilan di kawasan timur Indonesia, Komandan Satuan Tugas Proyek Pengadaan Kapal Parchim, Frosch, dan Kondor periode 1995-1996.

    Dia juga pernah menjabat Komandan Pangkalan Utama TNI AL V Irian Jaya-Maluku. Tidak hanya di militer, Freddy juga terjun ke panggung politik.

    Freddy terpilih menjadi Gubernur Papua tahun 1998. Kemudian, dia mendapat kepercayaan masuk dalam Kabinet Persatuan Nasional (1999-2001) sebagai Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara.

    Di bawah pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, Freddy dipilih sebagai Duta Besar Indonesia untuk Italia dan Malta. Kemudian, Menteri Perhubungan periode 2009-2011.

    (jon)

  • Dianggap Gagal Tangani Banjir, Kinerja Wali Kota Bandar Lampung Disoroti

    Dianggap Gagal Tangani Banjir, Kinerja Wali Kota Bandar Lampung Disoroti

    Liputan6.com, Lampung – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung menyoroti kinerja Wali kota Bandar Lampung, Eva Dwiana, yang dinilai gagal dalam menanggulangi bencana banjir selama masa kepemimpinannya. Direktur Walhi Lampung, Irfan Tri Musri menyatakan bahwa banjir yang terus terjadi mencerminkan buruknya tata kelola lingkungan dan kurangnya perhatian pemerintah kota setempat. “Harusnya Eva malu kalau besok ikut dilantik. Ini bukti kegagalan pada periode sebelumnya. Tidak pernah ada upaya serius dalam penanggulangan banjir,” ujar Irfan, Jumat (24/1/2025).

    Menurut Irfan, pemerintah kota selama ini hanya fokus merespons banjir setelah bencana terjadi tanpa ada langkah mitigasi yang memadai. Tidak ada fasilitas untuk evakuasi mandiri, titik-titik evakuasi, atau upaya mempersiapkan masyarakat dalam menghadapi bencana. “Persoalan banjir ini tidak berdiri sendiri. Ini terjadi akibat tata kelola lingkungan yang buruk, mulai dari hilangnya daerah resapan air, kondisi sungai yang memburuk, minimnya Ruang Terbuka Hijau (RTH), hingga sistem drainase yang tidak memadai,” terangnya. 

    Irfan juga menambahkan bahwa selama bertahun-tahun, pemerintah kota seharusnya mengevaluasi kebijakan berdasarkan kejadian banjir yang terus berulang. Namun, hal itu tidak dilakukan secara serius. “Lebih parah lagi, dengar-dengar pemkot tidak punya anggaran cukup untuk merespons pascabencana. Kalau sumber masalah tidak diselesaikan, berarti keselamatan masyarakat dan banjir ini memang bukan prioritas mereka,” ungkapnya.

  • Walhi Gorontalo Soroti Pemberian Izin Tambang ke Perguruan Tinggi: Hanya Menambah Masalah Ekologis

    Walhi Gorontalo Soroti Pemberian Izin Tambang ke Perguruan Tinggi: Hanya Menambah Masalah Ekologis

    Menurut data Forest Watch Indonesia (FWI), di Gorontalo dalam kurun waktu 2017 sampai 2021 terjadi deforestasi seluas 33.492 hektar yang 85% diakibatkan oleh pertambangan.

    RUU Minerba yang akan memberikan ruang kepada kampus untuk kelola tambang disinyalir akan memicu bencana ekologis dan memperluas ancaman ruang hidup rakyat di Gorontalo.

    Defri Sofyan mengatakan, RUU Minerba yang memberikan izin kepada kampus untuk mengelola tambang dikhawatirkan akan merusak integritas perguruan tinggi.

    Ia sangat menyayangkan rencana tersebut disambut baik oleh Forum Rektor Indonesia, dengan alasan bisa membantu menurunkan biaya pendidikan yang semakin membebani masyarakat saat ini.

    Khawatirnya, kata Defri, jika hal ini benar-benar terjadi, maka praktik pertambangan yang merusak lingkungan dan merampas ruang hidup rakyat akan didukung dengan justifikasi ilmiah yang tendensius.

    Di sisi lain, langkah ini juga bisa menjadi bentuk pembungkaman, karena akademisi yang mengkritik agenda pemerintah tersebut akan dianggap bertentangan dan dibatasi ruang geraknya.

    “Potensi konflik, ketimpangan ruang, dan risiko kerusakan ekologis akan semakin tinggi, karena tidak akan ada lagi kritik dari lembaga pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi benteng pertahanan rakyat dari agenda-agenda yang bertentangan dengan akal sehat penguasa,” jelasnya.

    Defri memandang, adanya upaya pembungkaman struktural terhadap nalar-nalar kritis. Perguruan tinggi, yang seharusnya menjadi tempat untuk memproduksi wacana kritis, justru akan disibukkan dengan bisnis tambang yang merusak, melalui RUU Minerba yang dikebut maraton oleh DPR.

    “Argumentasi yang menyatakan bahwa konsesi tambang dapat membantu menurunkan biaya pendidikan adalah bentuk pengingkaran terhadap amanat UUD 1945, yang mewajibkan pemerintah sebagai penyelenggara negara untuk memberikan hak pendidikan kepada warganya,” tegasnya.

    Dengan begitu, Walhi Gorontalo meminta agar usulan pemberian izin pertambangan untuk perguruan tinggi dalam RUU Minerba dicabut. Mereka juga mengecam upaya pemerintah dan DPR yang mendorong perguruan tinggi untuk mengelola pertambangan.

    Selain itu, Walhi Gorontalo juga mendesak pemerintah untuk segera melakukan moratorium terhadap pemberian izin perusahaan ekstraktif pemegang konsesi pertambangan, perkebunan, dan hak pengelolaan hutan yang merusak lingkungan serta mengancam ruang hidup rakyat.

    Walhi Gorontalo juga mengajak lembaga perguruan tinggi di Gorontalo dan daerah lainnya untuk secara tegas menyatakan penolakan terhadap usulan pemberian izin prioritas pertambangan dalam RUU Minerba.

    “Langkah ini diambil sebagai upaya untuk mempertahankan integritas dan marwah akademik, demi mencerdaskan kehidupan bangsa,” pungkasnya.

  • Awas Modus Penipuan Rumah Subsidi Lagi Marak, Teliti, Cermat Sebelum Kasih DP!

    Awas Modus Penipuan Rumah Subsidi Lagi Marak, Teliti, Cermat Sebelum Kasih DP!

    JABAR EKSPRES – Modus penipuan program rumah subsidi sedang marak di tengah masyarakat. Hal ini terjadi karena tingkat kebutuhan kepemilikan hunian di Indonesia sangat tinggi.

    Untuk masyarakat yang ingin mendapatkan rumah subsidi dengan DP dan cicilan murah sebaiknya melihat dulu dengan cermat kredibilitas dari developer atau pengembang yang membangun rumah itu.

    BACA JUGA: Pemberian Izin Perumahan di Sumedang Serampangan, WALHI: Pemerintah Harus Bertanggung jawab!

    Berdasarkan catatan pemerintah saat ini sudah banyak pengembang atau developer nakal yang memanfaatkan momen program rumah subsidi yang digagas oleh pemerintah.

    Belum lama ini, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan, berdasarkan laporang dari PT Bank Tabungan Negara (BTN) ada ribuan developer yang telah menipu masyarakat.

    BACA JUGA: Dituduh Mabuk, Dua Politisi Kota Cimahi Ribut, Saling Ancam Lapor Polisi!

    ‘’Masalahnya adalah, developer tersebut tidak bisa memberikan sertifikat setelah cicilan lunas. Cara ini sangat disesalkan,’’ ujar Erick.

    Menurut Erick, masyarakat sudah berjuang sekuat tenaga untuk mencicil rumah, namun ketika sudah lunas sertifikat tidak kunjung diberikan dengan berbagai alasan.

    BACA JUGA: Lagi Promo Nih! Ayo Ajuin Kepemilikan Rumah Melalui KPR BRI Bisa DP 0 Persen

    Rumah Tidak Kunjung di Bangun

    Dari informasi yang didapatkan Jabar Ekspres, modus lain yang kini tengah marak adalah tawaran rumah subsidi dengan iming-iming DP Murah dan Cicilan Murah dan bonus berlimpah.

    Modus seperti ini, sudah banyak memakan korban. Masyarakat yang sudah mengharapkan punya rumah akhirnya harus gigit jari karena rumah tidak kunjung dibangun.

    BACA JUGA: BPK Temukan 14 Alih Fungsi PSU Senilai Rp 187,9 M, LHP Kota Bandung Diganjar WDP!

    Berdasarkan informasi yang diterima, ada juga calon konsumen yang sudah memberikan uang tanda jadi untuk pengambilan kredit kepemilik rumah.

    Bahkan menurut pengakuan korban, lokasi pembangunan untuk rumah tersebut sudah ada. Lengkap dengan kantor pemasarannya.

    Akan tetapi setelah ditunggu lama, rumah tersebut tidak kunjung dibangun, bahkan developer dan kantor pemasaran kabur tidak tahu rimbanya.

    BACA JUGA: Penyelesaian Rumah Deret Tamansari Kota Bandung Kembali Molor, Ada Apa?

  • Kampus Kelola Tambang, Siapa Setuju? Siapa Menolak?
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        25 Januari 2025

    Kampus Kelola Tambang, Siapa Setuju? Siapa Menolak? Nasional 25 Januari 2025

    Kampus Kelola Tambang, Siapa Setuju? Siapa Menolak?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Badan usaha milik perguruan tinggi menjadi salah satu pihak yang diusulkan mendapatkan Wilayah Izin Usaha Tambang (WIUP).
    Rencana ini tertuang dalam revisi UU Mineral dan Batubara yang sudah ditetapkan sebagai usul inisiatif dari DPR RI melalui rapat paripurna pada Kamis (23/1/2025).
    Pemberian pengelolaan tambang kepada perguruan tinggi diusulkan oleh Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia.
    Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Indonesia, Budi Djatmiko, menyebut bahwa usul agar universitas diberikan hak untuk mengelola tambang datang dari lembaganya.
    Budi berkata, usulan itu pernah mereka sampaikan kepada Prabowo Subianto dan juga Joko Widodo. Budi membuat klaim, APTISI memberikan usulan pertama kepada Jokowi pada tahun 2016.
    “Dari Pak Jokowi tidak direspon, lalu saya usulkan kepada Pak Prabowo pada 2018,” kata Budi kepada BBC News Indonesia.
    Budi juga mengatakan bertemu berkali-kali dengan Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran untuk membicarakan usulan tersebut. Setidaknya, ada sekitar 15 pertemuan.
    Usulan universitas mengelola konsesi pertambangan dirumuskan dalam dokumen berjudul “Usulan APTISI: Peta Jalan Pendidikan Bahagia Menuju Indonesia Emas 2045”.
    Pada dokumen itu, Budi Djatmiko tertulis sebagai penyusun dokumen. Nama lain yang tertera adalah La Ode Masihu Kamaludin, yang ditulis penyunting. Kamaludin tercatat sebagai anggota dewan pakar pada Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran untuk Pilpres 2024.
    Dia sempat menjabat ketua Forum Rektor Indonesia pada 2013 dan pernah berkiprah sebagai anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan.
    Kamaludin berkata, dokumen usulan itu mereka terbitkan pada Agustus 2024—sekitar dua bulan sebelum pelantikan Prabowo-Gibran.
    Peta jalan yang disusun Budi dan Kamaludin memuat “permasalahan utama pendidikan” yang mereka klaim selama ini “bias perkotaan”.
    “Pada saat anak desa ke kota ambil jurusan industri, dia enggak akan kembali ke desanya karena desanya enggak ada industri,” kata Budi via telepon, Selasa (21/01).
    Dokumen usulan itu menyebut “pertambangan merupakan salah satu elemen dalam solusi permasalahan pendidikan”.
    Pada dokumen itu, mereka menulis “Indonesia memiliki kekayaan bahan terbaik di dunia”. Pada poin tersebut pula, mereka membuat klaim “sumber daya manusia dan teknologi Indonesia belum mampu mengelolanya dengan optimal”.
    Saat ini, RUU sudah diketok menjadi inisiatif DPR pada Kamis. Wakil Ketua Baleg DPR RI, Ahmad Doli Kurnia, mengatakan, revisi RUU Minerba didorong oleh dua alasan utama.
    Pertama, adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Nomor 3 Tahun 2020 yang merupakan perubahan dari UU Nomor 4 Tahun 2009. MK telah mengeluarkan tiga putusan, yakni 59/PUU-XVIII/2020, 60/PUU-XVII/2020 (pengujian formal), dan 64/PUU-XVIII/2020 (pengujian materiil).
    Dalam putusan tersebut, MK menolak pengujian formal tetapi mengabulkan sebagian pengujian materiil, sehingga memerlukan penyesuaian terhadap UU Minerba.
    Kedua, untuk memperkuat keberpihakan negara terhadap masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA).
    Lalu, revisi ini bertujuan untuk membuka peluang lebih besar bagi masyarakat melalui ormas, perguruan tinggi, dan UKM dalam pengelolaan tambang.
    “Revisi ini adalah langkah afirmatif untuk memastikan SDA dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat,” kata dia.
    Merespons hal ini banyak bermunculan pro dan kontra dari berbagai kalangan. Delapan fraksi di DPR menyepakati pembahasan revisi UU Minerba.
    Salah satu pihak yang menolak keras adalah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Penolakan ini bahkan disampaikan oleh Deputi Eksternal Eksekutif Nasional Walhi, Mukri Friatna dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) soal revisi UU Minerba di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Jakarta, Kamis (23/1/2025).
    “Kami menolak dengan keras keterlibatan atau pemberian hak atau akses dalam rancangan undang-undang perubahan minerba kepada perguruan tinggi. Saya kira cukup sudah bangsa ini menceburkan ulama ke lahan-lahan kotor,” kata Mukri di hadapan jajaran Baleg DPR RI.
    Mukri tidak ingin pemberian izin kelola tambang ini memberangus pikiran kritis perguruan tinggi.
    Dia sangat mendesak agar usulan pemberian izin kelola tambang ke universitas dihapuskan dalam revisi UU Minerba.
    “Jika mereka tempat kita bertanya tentang intelektualitas, diceburkan, bagaimana dia akan kemudian menjadi bersih ketika menyampaikan pikiran, kalau telah tercemari oleh lumpur-lumpur tambang,” sambungnya.
    Koordinator Pusat Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), Herianto, secara tegas menolak usulan pengelolaan tambang oleh perguruan tinggi yang diatur dalam revisi Undang-Undang Minerba.
    Menurutnya, fokus perguruan tinggi adalah mendidik dan mengajar, bukan terlibat dalam aktivitas bisnis seperti pengelolaan tambang.
    “Kami menolak keras. Kampus itu tujuannya untuk mendidik, bukan jadi tempat bisnis,” kata Herianto kepada Kompas.com, Jumat (23/1/2025).
    “Jika kampus diberi pengelolaan tambang, mahasiswa berpotensi menjadi obyek bisnis. Ini jelas di luar koridor tujuan pendidikan tinggi,” tegas Herianto.
    Forum Rektor Indonesia mendukung wacana agar perguruan tinggi dapat mengelola tambang yang diusulkan masuk dalam revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).
    Wakil Ketua Forum Rektor Indonesia Didin Muhafidin menilai langkah ini sangat positif, asalkan perguruan itu telah memiliki status badan hukum (BHP) dan unit usaha sendiri.
    “Perguruan tinggi seperti ITB atau UGM, yang sudah profesional dan memiliki unit usaha, sebenarnya sudah biasa mendapat kontrak di sektor pertambangan,” ujar Didin kepada Kompas.com, Rabu (22/1/2025).
    “Jadi, syaratnya harus yang sudah BHP dan memiliki badan usaha mandiri,” ujar dia.
    Menurut Didin, melibatkan perguruan tinggi dalam pengelolaan tambang akan meningkatkan pendapatan lembaga, terutama bagi perguruan tinggi swasta besar yang memiliki yayasan dengan unit usaha.
     
    Pendapatan tambahan ini diharapkan dapat mengurangi beban mahasiswa, misalnya dengan menekan kenaikan SPP atau biaya operasional lainnya.
    “Jika yayasan mendapatkan tambahan pendapatan dari proyek tambang, tentu muaranya akan meringankan beban mahasiswa,” kata Didin.
    “SPP mungkin tidak perlu naik, beban lain juga tidak perlu naik, dan kesejahteraan pegawai bisa meningkat,” ujar rektor Universitas Al Ghifari itu.
    Sejumlah rektor universitas juga telah angkat bicara mengenai isu ini. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Sumaryanto mengaku siap jika mendapat perintah untuk mengelola tambang. 
    “UNY itu kan bagian yang tidak terpisahkan dari negara ya siap melaksanakan kalau “didhawuhi” (diperintah). Udah itu saja. Demi kemaslahatan umat,” ujar dia.
    Saat ini masih menunggu syarat dan regulasi dari pemerintah jika usulan perguruan tinggi mengelola tambang dijadikan kebijakan.
    Terkait peran di pertambangan, Sumaryanto mengungkapkan, UNY memiliki multi fakultas. Sehingga bisa berperan diberbagai bidang, mulai dari teknologi, Biologi hingga Fisika.
    “Kami kan multi, misalnya dari aspek teknologi punya Fakultas Teknik, dari aspek Biologi, Kimia, Fisika wonten (ada),” ucapnya.
    Sumaryanto menuturkan civitas akademika UNY siap jika diminta untuk terlibat dalam pengelolaan.
    “Insya allah (siap) ya dosen tendik mahasiswa, alumni dan mitra kerja,” pungkasnya.
    Sementara itu, Rektor Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Prof. M Nasih, juga setuju dengan wacana perizinan pengelolaan tambang untuk perguruan tinggi. 
    Nasih menganggap, rencana memberikan
    izin tambang untuk perguruan tinggi
    tersebut merupakan sebuah niat baik dari Pemerintah.
    “Niatan ini kan sudah dapat satu, artinya pahalanya sudah satu. Kalau niatan baik ini direalisasikan tentu kami akan menyambut dengan baik,” kata Nasih, di Kampus B Unair.
    Pro dan kontra pun terjadi di lingkungan DPR. Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP), Yasti Soepredjo khawatir adanya upaya pembungkaman sehingga pemerintah memberikan izin usaha kelola tambang kepada perguruan tinggi, organisasi masyarakat (ormas), dan usaha kecil menengah (UKM).
    Dengan begitu, pihak yang mendapat akses untuk mengelola tambang tersebut tidak lagi bersuara kencang kepada pemerintah.
    “Saya khawatir pemberian WIUP (wilayah izin usaha pertambangan) ini kepada ormas keagamaan dan perguruan tinggi adalah upaya pembungkaman. Apabila ormas bersuara kencang, perguruan tinggi bersuara kencang, itu bisa bernasib lain,” ujar Yasti di rapat Baleg DPR RI, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (23/1/2025).
    Menurutnya, ada ribuan perguruan tinggi di Indonesia. Jumlah ormas di Indonesia juga banyak. Ia bertanya-tanya bagaimana pemerintah dapat memberikan izin usaha pertambangan kepada institusi tersebut.
    Oleh karenanya, ia juga mendorong agar pemberian izin usaha kelola tambang dilakukan secara selektif.
    “Bagaimana cara pemerintah memberikan IUP kepada ormas dan perguruan tinggi?. Harus selektif betul terhadap pemberian izin khusus ini,” tegasnya.
    Anggota DPR lain, yakni Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, juga menekankan pemberian konsesi tambang untuk perguruan tinggi perlu dikaji secara mendalam dan komprehensif.
    Ia menekankan pentingnya pertimbangan yang matang terkait usulan pemberian izin kelola tambang kepada perguruan tinggi.
    “Harus betul-betul dipikirkan manfaat dan mudaratnya, apakah lebih banyak ke kepentingan pendidikan atau bisnis?” ujar Lalu, saat dikonfirmasi oleh Kompas.com, kemarin.
    Kendati ada pihak yang kontra, ada pula yang mendukung usulan ini. Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menilai, usul memberikan hak mengelola tambang bagi perguruan tinggi muncul agar kampus memiliki sumber penghasilan lain.
    Politikus Partai Gerindra ini berharap, pemberian izin kelola tambang ini bisa memberi manfaat yang baik kepada kampus.
    “Mungkin mekanisme pengerjaan dan lain-lainnya itu silakan nanti diatur di dalam aturan yang ada. Nah, sehingga kemudian memang pemberian-pemberian itu juga memberikan manfaat kepada universitas yang dimaksud,” kata Dasco.
    Di sisi lain, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Saintek) siap terlibat terkait usulan pemberian izin kelola tambang kepada perguruan tinggi.
    Sekretaris Jenderal Kemendiktisaintek, Togar M. Simatupang menilai usulan itu dapat membuat perguruan tinggi semakin dekat dengan sumber pendanaan.
    “Karena itu termasuk salah satu kebijakan dalam pendidikan tinggi yang dekat dengan apa, dekat dengan pendanaan, seperti itu kira-kira,” ujarnya.
    Sementara salah satu pihak kampus, Dekan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB, Ridho Kresna Wattimena, mengungkapkan, ITB masih harus berpikir keras terkait pemberian izin kelola tambang.
    Sebab, usaha tambang adalah bisnis jangka panjang dan perlu modal besar.
    Dia menekankan proses pertambangan tidaklah cepat. Apabila kampus mendapat lahan kategori greenfield, maka harus menjalankan berbagai tahapan sebelum bisa menambang
    Tahapan yang dimaksud mulai dari penyelidikan umum, eksplorasi, membuat amdal, membuat studi kelayakan, kemudian membuat desain dan menambang.
    “Pengalaman teman-teman di industri, penyelidikan umum sampai eksplorasi (sekitar) 5 sampai 10 tahun, apakah perguruan tinggi memang diminta spend (mengeluarkan) uang 5 sampai 10 tahun sebelum bisa mendapatkan uang. Itu juga sesuatu yang berat untuk perguruan tinggi,” tandasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Banyak Mudharat dan Zalimi Rakyat

    Banyak Mudharat dan Zalimi Rakyat

    loading…

    MUI meminta Proyek Strategis Nasional (PSN) di Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 dicabut karena banyak mudharat dan zalimi rakyat. Foto/SindoNews

    JAKARTA – Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggalang soliditas untuk membangun kekuatan melawan kezaliman dari Proyek Strategis Nasional (PSN) di Pantai Indah Kapuk (PIK) 2.

    Ketua Tim Tabayyun dan Advokasi MUI KH Masduki Baidlowi, menegaskan proyek PSN di PIK 2 harus dicabut. Sebab, proyek tersebut dinilai banyak mudharatnya dan menzalimi rakyat.

    “Banyak mudharatnya, bahasa rakyatnya menzalimi rakyat. Kami merekomendasikan untuk mencabut PSN itu kalau hanya menyengsarakan rakyat dan menyenangkan konglomerat, maka jangan dilakukan,” kata Kiai Masduki di Aula Buya Hamka, Kantor MUI, Jakarta Pusat, Jumat (24/1/2025).

    Kiai Masduki menambahkan itulah substansi singkat dari hasil Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) IV MUI beberapa waktu lalu yang meminta secara tegas proyek PSN di PIK 2 harus dicabut. MUI juga menyatakan secara tegas tidak takut untuk meminta Proyek Strategis Nasional (PSN) di PIK 2 untuk dicabut.

    Kiai Masduki menyampaikan ini adalah kebenaran yang harus ditegakkan. Kiai Masduki menceritakan, awal mula rekomendasi agar PSN di PIK 2 karena MUI mendapatkan banyak masukan terkait mudharatnya dari proyek tersebut yang menyebabkan kerepotan di masyarakat.

    “MUI mengaku turut concern pada persoalan tersebut karena ini adalah permasalahan umat dan strategis nasional yang pelaksanaannya banyak mudharatnya dan merugikan masyarakat,” ujarnya.

    “Ini satu-satunya rekomendasi dalam rapat pimpinan MUI setelah Mukernas akhirnya ditindaklanjuti dengan dibuat tim agar rekomendasi bisa berjalan dan diperjuangkan oleh MUI,” tambahnya.

    Kiai Masduki juga akan berkoordinasi dengan MUI Banten dan MUI Tangerang untuk membuktikan PSN di PIK 2 telah menyalahi aturan. Sebagai Ketua Tim, Kiai Masduki kemudiaan berkoordinasi dengan pemerintah, MUI Banten, dan MUI Tangerang beberapa waktu lalu.

    Hasil koordinasi tersebut membuktikan dan menjelaskan PSN di PIK 2 sudah menyalahi aturan pelaksanaannya. Selain itu, dalam kesempatan ini, MUI mengundang LBH Muhamadiyah, Laskar Merah Putih, WALHI dan KIARA.

    “Kami akan memperkuat jejaring dan silaturahim untuk membangun solidaritas perjuangan. Hak-hak rakyat yang terzolimi dapat dipulihkan kembali. Itulah fokus dari perjuangan MUI. Kami akan terus bergerak untuk tujuan tersebut,” tegasnya.

    (cip)

  • Menteri ATR/BPN Sebut HGB Sidoarjo karena Abrasi, Polda Jatim Bakal Minta Citra Satelit

    Menteri ATR/BPN Sebut HGB Sidoarjo karena Abrasi, Polda Jatim Bakal Minta Citra Satelit

    Surabaya (beritajatim.com) – Nusron Wahid, Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyebut bahwa Hak Guna Bangunan (HGB) di laut Sidoarjo merupakan hasil abrasi. Terkait dengan klaim tersebut, Polda Jawa Timur berencana akan mengumpulkan data lebih lanjut dan meminta citra satelit.

    “Kita kan sinergi dengan stakeholder terkait. Tapi, kita belum tahu (karena abrasi atau tidak). Nantinya kita akan minta citra satelit untuk mengetahui apakah itu betul itu semula tambak lalu abrasi atau memang laut adanya,” kata Direktur Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Jawa Timur, Kombes Pol Farman, Kamis (23/01/2025).

    Farman menegaskan sampai saat ini pihaknya masih melakukan pendalaman dan berkoordinasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Namun, penyidik dan pihak BPN mendapatkan tantangan karena HGB itu dikeluarkan pada tahun 1996 oleh pejabat lama. Selain itu, polisi juga kesulitan untuk memintai keterangan warga sekitar HGB di laut Sidoarjo.

    “Kami terus berkoordinasi dengan BPN dan masih melakukan pemetaan. Tantangannya karena pejabat lama (yang mengesahkan) sehingga kita masih mencari dokumen-dokumen. Sementara warga sekitar kebanyakan tidak tahu menahu. Mereka malah tahu dari pemberitaan media,” tutur Farman.

    Diketahui, Menteri ATR/BPN Nusron Wahid menyebut bahwa HGB di Laut Sidoarjo disebabkan karena abrasi. Di depan awak media, Nusron mengatakan bahwa lahan itu dulunya adalah tambak perikanan. Namun, seiring berjalannya waktu terjadi abrasi dan saat ini menjadi bagian dari lautan. Klaim Nusron ini disampaikan dengan menunjukkan foto atau peta lahan pada saat sebelum dan sesudah abrasi.

    Namun, pernyataan Nusron itu mendapatkan respons negatif. Salah satunya dari Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang melakukan penelitian terhadap HGB di Laut Sidoarjo itu.

    “Sejak tahun 2002 kawasan itu tidak pernah berupa daratan. Hal ini berdasarkan pada citra satelit. Sehingga klaim (Nusron) bahwa sebelumnya HGB itu adalah daratan harus dibuktikan secara transparan oleh BPN kepada publik,” kata Wahyu Eka Setyawan, Direktur WALHI.

    Selain WALHI, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Thanthowy Syamsuddin, orang pertama yang membongkar temuan HGB ini juga melakukan pengamatan citra satelit serupa.

    Ia mendapatkan data visual berupa timelapse dari Google Earth, yang merekam perubahan kondisi wilayah HGB tersebut dari tahun 1988 hingga 2022. Ia mengungkap bahwa metode pengamatannya ini berpatokan pada titik koordinat spesifik lokasi yang dianalisis. Tepatnya di koordinat 7.342163°S, 112.844088°E, 7.355131°S, 112.840010°E dan 7.354179°S, 112.841929°E. Seluruh data koordinat diambil dari aplikasi Bhumi ATR milik Kementerian ATR/BPN.

    “Saya menggunakan fitur timelapse atau historical imagery di Google Earth untuk mendapatkan visualisasi perubahan geografis dari tahun 1988 hingga 2022. Fitur ini memungkinkan pengamatan perubahan kondisi kawasan berdasarkan citra satelit yang terdokumentasi secara berkala,” tuturnya.

    Dari berbagai proses yang sudah dilalui, Thanthowy mendapatkan temuan kawasan yang saat ini bersertifikat HGB secara konsisten merupakan pesisir, area mangrove, tambak perikanan, dan laut hingga saat ini.

    “Tidak ada bukti bahwa kawasan tersebut pernah menjadi daratan untuk pemukiman atau pembangunan,” pungkasnya. (ang/ian)

  • Walhi Tolak Ide Kampus Kelola Tambang: Cukup Sudah Ceburkan Ulama ke Lahan Kotor  – Halaman all

    Walhi Tolak Ide Kampus Kelola Tambang: Cukup Sudah Ceburkan Ulama ke Lahan Kotor  – Halaman all

     

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menolak rencana perguruan tinggi mendapatkan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP).

    Usulan tersebut tercantum dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batu Bara.

    “Kami menolak dengan keras keterlibatan atau pemberian hak atau akses dalam Rancangan Undang-Undang Perubahan Minerba kepada perguruan tinggi,” kata Deputi Eksternal Eksekutif Nasional Walhi, Mukri Friatna di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (23/1/2025).

    Usulan perguruan tinggi mendapatkan WIUP ini setelah sebelumnya pemerintah memberikan WIUP ke organisasi masyarakat keagamaan.

    “Saya kira cukup sudah bangsa ini menceburkan ulama ke lahan-lahan kotor,” ujar Mukri.

    Mukri khawatir integritas kampus sebagai tempat berkumpulnya intelektual akan kotor apabila mengelola tambang.

    “Jangan sampai kampus yang punya integritas pemikiran-pemikiran bangsa keluar dari mereka, juga diceburkan ke dalam lumpur,” tegasnya.

    Apalagi, ormas keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) hingga Muhammadiyah juga sudah menyatakan menerima WIUP.

    “Ke mana lagi nanti orang-orang ini akan mendapatkan pengetahuan yang baru,” ungkap Mukri.

    Usulan ini tercantum dalam Pasal 51A ayat (1) RUU Minerba, yang menyatakan bahwa WIUP mineral logam dapat diberikan kepada perguruan tinggi secara prioritas. 

    Pemberian izin tersebut mempertimbangkan luas WIUP, akreditasi perguruan tinggi minimal B, serta kontribusi dalam meningkatkan akses pendidikan.

     

  • Saksikan INTERUPSI HGB Pagar Laut Dicabut, Siapa Diusut? Malam Ini Bersama Ariyo Ardi, Anisha Dasuki, dan Narasumber Kredibel, Live di iNews

    Saksikan INTERUPSI HGB Pagar Laut Dicabut, Siapa Diusut? Malam Ini Bersama Ariyo Ardi, Anisha Dasuki, dan Narasumber Kredibel, Live di iNews

    loading…

    Pagar laut di Kabupaten Tangerang, Banten. Foto/SINDOnews/Danan Daya

    JAKARTA – Hak Guna Bangunan (HGB) di laut kawasan Tangerang, Banten, menjadi isu kontroversial. Pemerintah akhirnya mencabut HGB pagar laut di kawasan tersebut, yang sebelumnya menjadi sorotan publik akibat dugaan pelanggaran administratif dan potensi konflik kepentingan.

    Permasalahan ini akan dibahas secara mendalam dalam INTERUPSI “HGB Pagar Laut Dicabut, Siapa Diusut?” malam ini bersama Ariyo Ardi, Anisha Dasuki, Haidar Alwi, M. Rofi’i Mukhlis, dan para narasumber kredibel lainnya.

    Pencabutan HGB ini menjadi salah satu langkah tegas yang diambil pemerintah setelah melalui investigasi panjang. Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Tangerang menyatakan bahwa keputusan ini dilakukan berdasarkan temuan bahwa penerbitan HGB tersebut tidak sesuai prosedur hukum.

    Pencabutan HGB di Desa Kohod ini juga menjadi contoh nyata bagaimana pelanggaran tata ruang dan administrasi pertanahan dapat berdampak besar pada masyarakat. Kasus ini juga menjadi pengingat pentingnya transparansi dalam proses pengelolaan lahan, khususnya di kawasan pesisir yang rawan konflik.

    Pencabutan HGB ini pun memunculkan berbagai pertanyaan, termasuk siapa saja pihak yang dimintai pertanggungjawaban atas persoalan ini. Lantas, bagaimana para pakar membahas lebih dalam kasus HGB pagar laut ini?

    Saksikan selengkapnya INTERUPSI malam ini bersama para narasumber, Haidar Alwi-Pendiri Haidar Alwi Institute, M. Rofi’i Mukhlis-Ketua Barisan Ksatria Nusantara, Mukri Friatna-Deputi Eksternal Eksekutif Nasional WALHI, Erwin Suryana-Deputi Pengelolaan Program & Jaringan KIARA, Ossy Dermawan-Wamen ATR/BPN, ⁠Iwan Dharmawan – DPP Generasi Muda Mathla’ul Anwar, Pukul 20.00 WIB, Live di iNews.

    (zik)