NGO: Walhi

  • Puluhan Hektare Lahan Hutan Lindung di Pacet Bandung Digunduli, FK3I Kecam Perhutani dan Pengusaha

    Puluhan Hektare Lahan Hutan Lindung di Pacet Bandung Digunduli, FK3I Kecam Perhutani dan Pengusaha

    JABAR EKSPRES – Puluhan hektare lahan hutan lindung di wilayah Desa Babakan, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung diduga digunduli secara besar-besaran untuk kepentingan investor.

    Ketua Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) Pusat, Dedi Kurniawan mengatakan, pihaknya mengecam keras perbuatan penebangan besar-besaran terutama pohon di hutan lindung.

    “FK3I Jabar siap gugat Perhutani jika terbukti penggundulan hutan puluhan hektare di Desa Babakan, ada keterlibatan oknum,” katanya kepada Jabar Ekspres, Senin (24/2).

    BACA JUGA:Eksploitasi Kawasan Hutan di Bandung Selatan Dilakukan Secara Sporadis!

    Dedi menerangkan, puluhan hektare lahan hutan lindung di Desa Babakan diduga dilakukan penebangan untuk kepentingan kebun kopi, yang kerjasamanya oleh beberapa investor dan Perhutani melalui Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH).

    Dia menambahkan, Desa Babakan belum masuk ke dalam skema perhutanan sosial atau Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK).

    Akan tetapi, menurut laporan masyarakat sekitar yang diterima Dedi, selain pembabadan alias penebangan hutan, kawasan tersebut juga dibuat jalan beton untuk akses produksi di hutan lindung wilayah Desa Babakan.

    BACA JUGA:Walhi Sebut Banjir Bandang Sukabumi Akibat Hancurnya Hutan oleh Tambang, Sejumlah Perusahaan Dituding Jadi Faktor Penyebab

    “Kami coba cek dokumem izin jalan dalam kawasan hutan dan skema tata cara penanaman kopi, sudah terindikasi (dugaan adanya) pelanggaran lingkungan,” terangnya.

    Dijelaskan Dedi, pohon kopi sebagai tanaman bawah perlu tegakan, namun tegakan yang ada justru diduga sudah banyak ditebang.

    “Atas laporan warga, Tim Dinas Kehutanan telah mengecek sample satu kawasan, terdapat puluhan hektare yang digunduli,” jelasnya.

    Dedi mengungkapkan, dari hasil sample yang dilakukan, menunjukan bahwa baru sebagian yang di cek dan sisanya menurut keterangan masyarakat jika di cek bisa ratusan hektare.

    BACA JUGA:DLH Cimahi Dukung Konservasi Eks TPA Leuwigajah Jadi Hutan Bambu Leuweung Baraya

    Oleh sebab itu, FK3I mendesak Pihak Perhutani dan pengusaha melakukan upaya rencana penataan, sebelum melaksanakan upaya penanaman tanaman bermanfaat ekonomi.

    “Kami juga mendesak agar membuka data fakta kerjasama dengan pihak ketiga. Kemudian kami meminta Pihak Pemprov Jabar segera menyelesaikan pemetaan kawasan hutan yang digunduli,” ungkap Dedi.

  • Transformasi Sampah jadi Produk Bernilai

    Transformasi Sampah jadi Produk Bernilai

    JABAR EKSPRES – Pusat daur ulang di Kota Bogor, Upcycling Mekarwangi, berhasil mengubah sampah plastik menjadi produk bernilai ekonomi seperti papan dan kaso. Di sini mereka mengolah sampah plastik, kresek, kemasan, alumunium foil dan non-alumunium foil.

    Proses daur ulang di Upcycling Mekarwangi melibatkan beberapa tahap. Usai sampah plastik masuk, pekerja melakukan penyortiran terlebih dahulu menjadi tiga jenis.

    Di antaranya, single layer, multi layer, dan multiple layer alumunium foil. Kemudian sampah dicacah menjadi potongan kecil agar mudah masuk ke mesin pelumer atau excluder.

    BACA JUGA:Soroti Kebersihan Pasar, Menteri LH Tekankan Tanggung Jawab Pengelola Pasar dalam Penanganan Sampah

    Setelah itu, dilakukan juga proses mixing untuk menguji kekuatan papan dan kaso sebelum akhirnya dicetak menjadi produk jadi.

    Manajer Urban and Susbstance Ability, M Irfan Hawari menyebut, sumber plastik yang masuk ke tempatnya bersaal dari bank sampah, dan TPS3R di Kota Bogor.

    Kata dia, setiap harinya, Upcycling Mekarwangi mengelola 400 hingga 800 kg sampah plastik.

    BACA JUGA:Walhi Jabar: KLHK Harus Adil Tangani Sampah, Jangan Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas

    “Produk turunan seperti kursi dan meja juga dipesan oleh perusahaan lain baik di Kota Bogor maupun luar Bogor,” ujarnya, Minggu (23/2).

    Irfan berharap masyarakat lebih sadar akan penting nya memilah sampah. Karena permasalahan sampah ini sangat besar dampaknya jika mengelola langsung dari sumbernya.

    “Kami mengedukasi masyarakat untuk memilah sampah dan mengirimkan sampah low value ke area PDU ini,” ujarnya.

    BACA JUGA:KLH Akui Pengolahan Sampah di Indonesia Kurang Tertata dengan Baik

    Keterlibatan masyarakat dalam pemilahan sampah sangat penting untuk mengurangi volume sampah yang akan dibuang ke TPA.

    Menurut Irfan, diperlukan waktu untuk menyadarkan masyarakat tentang pentingnya memilah sampah.

    “Komitmen dari diri kita sendiri sangat penting. Saat kita sudah mulai dari diri kita, kita bisa memperlihatkan ke masyarakat bahwa dampak mengurangi volume sampah sangat besar,” pungkasnya.

  • Sampel dari Tiga Pulau di Kepulauan Seribu Mengandung Mikroplastik

    Sampel dari Tiga Pulau di Kepulauan Seribu Mengandung Mikroplastik

    JAKARTA – Sampel yang diambil dari tiga pulau di Kepulauan Seribu, Jakarta ternyata tercemar mikroplastik usai diteliti Ecoton Foundation.

    “Di Pulau Untung Jawa, mikroplastik yang ditemukan di air permukaan ada 72 partikel per 10 liter,” kata Manajer Divisi Edukasi Ecoton Foundation M Alaika Rahmatullah di Jakarta, dikutip dari ANTARA, Sabtu, 22 Februari.

    Hal itu dikatakannya dalam tur media bertajuk “Dari Air ke Rantai Makanan: Mengungkap Ancaman Mikroplastik di Sekitar Kita” yang diadakan Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI).

    Kemudian pada swab kulit dua petugas tempat pembuangan sampah (TPS) masing-masing ditemukan 68 dan 30 partikel.

    Sampel kulit warga setempat lewat metode swab ditemukan 21 partikel, dan pada daun ditemukan 13 partikel.

    Alaika Rahmatullah mengatakan partikel yang ditemukan pada petugas TPS ada jenis fiber, film, dan fragmen.

    “Yang kami lihat didominasi oleh partikel jenis fiber. Kenapa partikel fiber banyak teridentifikasi di kulit karena fiber berasal dari serpihan kain. Bisa jadi karena kain yang dipakai itu ada campuran plastiknya, seperti polyester. Polyester ada nilon ya. Bisa jadi kaos panjangnya itu menempel serpihan-serpihan fiber ke wajah petugas TPS saat dia mengusap keringat,” katanya.

    Sementara partikel film berasal dari plastik-plastik tipis seperti kresek atau plastik sekali pakai.

    Fragmen berasal dari plastik saset.

    Sementara di Pulau Onrust, mikroplastik yang ditemukan pada air permukaan sebanyak 35 partikel per 10 liter, swab kulit 19 partikel, dan daun ada 7 partikel.

    Di Pulau Cipir, mikroplastik yang ditemukan pada air permukaan sebanyak 44 partikel per 10 liter, swab kulit 25 partikel, dan daun ada 17 partikel.

    Lebih lanjut, Kepala Laboratorium Ecoton Foundation Rafika Aprilianti menjelaskan mikroplastik adalah remahan, patahan, pecahan plastik yang berukuran kurang dari 5 milimeter.

    “Plastik tidak akan terurai dan hilang di lingkungan, hanya dapat terpecah atau terdegradasi menjadi bentuk baru, yaitu mikroplastik,” kata Rafika Aprilianti.

    Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) adalah sembilan organisasi yang terdiri atas YPBB, Dietplastik Indonesia, Nexus 3 Foundation, PPLH Bali, Ecoton, Nol Sampah, Greenpeace Indonesia, Gita Pertiwi, dan Walhi.

    AZWI mengkampanyekan implementasi konsep zero waste yang benar dalam rangka pengarusutamaan berbagai kegiatan, program, dan inisiatif zero waste yang sudah ada untuk diterapkan di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia dengan mempertimbangkan hirarki pengelolaan sampah, siklus hidup material, dan ekonomi sirkuler.

  • Mikroplastik ditemukan pada sampel di tiga pulau di Kepulauan Seribu

    Mikroplastik ditemukan pada sampel di tiga pulau di Kepulauan Seribu

    Pengambilan sampel air permukaan di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, Jakarta, Sabtu (22/2/2025). (ANTARA/Anita Permata Dewi)

    Mikroplastik ditemukan pada sampel di tiga pulau di Kepulauan Seribu
    Dalam Negeri   
    Editor: Widodo   
    Minggu, 23 Februari 2025 – 00:11 WIB

    Elshinta.com – Ecoton Foundation menemukan mikroplastik pada sampel yang diambil dari tiga pulau di Kepulauan Seribu, Jakarta.

    “Di Pulau Untung Jawa, mikroplastik yang ditemukan di air permukaan ada 72 partikel per 10 liter,” kata Manajer Divisi Edukasi Ecoton Foundation M Alaika Rahmatullah di Jakarta, Sabtu.

    Hal itu dikatakannya dalam tur media bertajuk “Dari Air ke Rantai Makanan: Mengungkap Ancaman Mikroplastik di Sekitar Kita” yang diadakan Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI).

    Kemudian pada swab kulit dua petugas tempat pembuangan sampah (TPS) masing-masing ditemukan 68 dan 30 partikel.

    Sampel kulit warga setempat lewat metode swab ditemukan 21 partikel, dan pada daun ditemukan 13 partikel.

    Alaika Rahmatullah mengatakan partikel yang ditemukan pada petugas TPS ada jenis fiber, film, dan fragmen.

    “Yang kami lihat didominasi oleh partikel jenis fiber. Kenapa partikel fiber banyak teridentifikasi di kulit karena fiber berasal dari serpihan kain. Bisa jadi karena kain yang dipakai itu ada campuran plastiknya, seperti polyester. Polyester ada nilon ya. Bisa jadi kaos panjangnya itu menempel serpihan-serpihan fiber ke wajah petugas TPS saat dia mengusap keringat,” katanya.

    Sementara partikel film berasal dari plastik-plastik tipis seperti kresek atau plastik sekali pakai.

    Fragmen berasal dari plastik saset.

    Sementara di Pulau Onrust, mikroplastik yang ditemukan pada air permukaan sebanyak 35 partikel per 10 liter, swab kulit 19 partikel, dan daun ada 7 partikel.

    Di Pulau Cipir, mikroplastik yang ditemukan pada air permukaan sebanyak 44 partikel per 10 liter, swab kulit 25 partikel, dan daun ada 17 partikel.

    Lebih lanjut, Kepala Laboratorium Ecoton Foundation Rafika Aprilianti menjelaskan mikroplastik adalah remahan, patahan, pecahan plastik yang berukuran kurang dari 5 milimeter.

    “Plastik tidak akan terurai dan hilang di lingkungan, hanya dapat terpecah atau terdegradasi menjadi bentuk baru, yaitu mikroplastik,” kata Rafika Aprilianti.

    Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) adalah sembilan organisasi yang terdiri atas YPBB, Dietplastik Indonesia, Nexus 3 Foundation, PPLH Bali, Ecoton, Nol Sampah, Greenpeace Indonesia, Gita Pertiwi, dan Walhi.

    AZWI mengkampanyekan implementasi konsep zero waste yang benar dalam rangka pengarusutamaan berbagai kegiatan, program, dan inisiatif zero waste yang sudah ada untuk diterapkan di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia dengan mempertimbangkan hirarki pengelolaan sampah, siklus hidup material, dan ekonomi sirkuler.

    Sumber : Antara

  • Persoalan Sampah Pasar Induk Gedebage, Pengeloaan Masih Minim Perhatian

    Persoalan Sampah Pasar Induk Gedebage, Pengeloaan Masih Minim Perhatian

    JABAR EKSPRES – Persoalan sampah di Kota Bandung masih mencuat, kali ini sorotan pada kawasan komersial, khususnya Pasar Induk Gedebage. Sampah yang menggunung, kebijakan tak berjalan efektif, serta dualisme pengelolaan pasar menjadi benang kusut yang belum terurai.

    Padahal menurut Jefry Rohman dari Tim Advokasi Pengelolaan Sampah WALHI Jawa Barat, menyebut, Pasar Induk Gedebage sebenarnya punya lahan yang bisa dimanfaatkan untuk pengelolaan sampah, tetapi tidak digunakan secara optimal.

    Adapun apabila menilik data Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bandung, produksi sampah harian di kota ini mencapai 1.222 ton atau sekitar 69 persen dari total sampah di Bandung Raya.

    Diketahui bahwa dari jumlah itu, sekitar 874 ton berasal dari kawasan komersial seperti pasar, hotel, restoran, dan pusat perbelanjaan.

    BACA JUGA: DPRD Cimahi Soroti Krisis Sampah dan Infrastruktur, Minta Sinergi Semua Pihak

    “Pemerintah pun seharusnya bisa merangkul paguyuban pedagang di pasar ini untuk ikut serta dalam pengelolaan sampah,” tulisnya berdasarkan policy brief ‘Urgensi Perubahan Paradigma Tata Kelola Sampah Bandung Raya’ yang dikutip Jabar Ekspres, pada Kamis (20/2).

    Pasar Induk Gedebage berada di bawah naungan Perusahaan Daerah (PD) Pasar Kota Bandung, tetapi dalam praktiknya pengelolaan sampah juga melibatkan PT Ginanjar serta Paguyuban Warga Pasar Induk Gedebage (PWPIG). Sistem ini justru menambah keruwetan, bukan solusi.

    “Ketidaksinergian antara dinas lingkungan hidup dan PD Pasar menjadi faktor utama buruknya pengelolaan sampah di sini. Bukannya berkoordinasi untuk mencari solusi, pengelola pasar justru menyerahkan urusan sampah ke pihak lain tanpa ada arahan dan pemantauan yang jelas,” ujar Jefry.

    Jenis sampah di Pasar Induk Gedebage didominasi oleh sampah organik, sekitar 85 persen dari total limbah yang dihasilkan. Setiap hari, pasar ini menghasilkan sekitar 40 meter kubik sampah yang seharusnya bisa diolah di lokasi.

    “Sayangnya, pengelolaan sampah di tingkat pasar justru minim perhatian. Bahkan, beberapa perusahaan yang sebelumnya tertarik untuk bekerja sama mengelola sampah akhirnya batal karena sistem yang tidak jelas,” tambah Jefry.

    BACA JUGA: Imbas Tumpukan Sampah Pasar Gedebage, Anak-Anak Paud Strawberry Terpaksa Belajar di Luar Kelas

  • Koalisi Perempuan Tolak RUU TNI, Polri dan Kejaksaan – Halaman all

    Koalisi Perempuan Tolak RUU TNI, Polri dan Kejaksaan – Halaman all

    Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) menilai RUU ini bisa membuka potensi pendekatan kekerasan dan militeristik untuk hak sipil menyuarakan…

    Tayang: Selasa, 18 Februari 2025 20:23 WIB

    Deutsche Welle

    Koalisi Perempuan Tolak RUU TNI, Polri dan Kejaksaan 

    Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) menolak pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan atas UU TNI, UU Polri, dan UU Kejaksaan. KPI menilai RUU ini bisa mengancam demokrasi dan membuat kewenangan ketiga lembaga itu menjadi rancu.

    Hal ini disampaikan oleh Sekjen KPI Mike Verawati Tangka, Selasa (18/2/2025). Mike menilai RUU tersebut bisa mengancam demokrasi.

    “Sangat mengancam demokrasi. Kewenangan mereka yang rancu dan tidak dibatasi, membuat mereka juga akan semena-mena. Dan semakin punya ruang untuk menekan civic space (ruang sipil),” ujarnya kepada wartawan.

    Mike khawatir RUU ini membuat aparat bisa memasuki ranah kedaulatan masyarakat sipil. “Mereka akan masuk ke semua ranah di mana itu ruang dan kedaulatan masyarakat sipil,” lanjutnya.

    KPI menolak keras RUU tersebut lantaran bisa disusupi berbagai kepentingan. RUU ini juga dinilai bisa membuka potensi pendekatan militeristik.

    “Koalisi Perempuan Indonesia, menolak keras. Jika revisi UU TNI, Polri dan Kejaksaan akan diarahkan untuk kepentingan itu. RUU ini berpotensi untuk pendekatan kekerasan ala militeristik untuk hak sipil menyuarakan pendapat,” katanya.

    Selain KPI, RUU tersebut juga mendapat penolakan dari Imparsial, PBHI, Elsam, HRWG, Walhi, Centra Initiative, Setara Institute hingga BEM SI Kerakyatan.

    “);
    $(“#latestul”).append(“”);
    $(“.loading”).show();
    var newlast = getLast;
    $.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest_section/?callback=?”, {start: newlast,section:’15’,img:’thumb2′}, function(data) {
    $.each(data.posts, function(key, val) {
    if(val.title){
    newlast = newlast + 1;
    if(val.video) {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = ” “;
    }
    else
    {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = “”;
    }
    if(val.thumb) {
    var img = “”+vthumb+””;
    var milatest = “mr140”;
    }
    else {
    var img = “”;
    var milatest = “”;
    }
    if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
    else subtitle=””;
    if(val.c_url) cat = “”+val.c_title+””;
    else cat=””;

    $(“#latestul”).append(“”+img+””);
    }
    else{
    $(“#latestul”).append(‘Tampilkan lainnya’);
    $(“#test3”).val(“Done”);
    return false;
    }
    });
    $(“.loading”).remove();
    });
    }
    else if (getLast > 150) {
    if ($(“#ltldmr”).length == 0){
    $(“#latestul”).append(‘Tampilkan lainnya’);
    }
    }
    }
    });
    });

    function loadmore(){
    if ($(“#ltldmr”).length > 0) $(“#ltldmr”).remove();
    var getLast = parseInt($(“#latestul > li:last-child”).attr(“data-sort”));
    $(“#latestul”).append(“”);
    $(“.loading”).show();
    var newlast = getLast ;
    if($(“#test3”).val() == ‘Done’){
    newlast=0;
    $.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest”, function(data) {
    $.each(data.posts, function(key, val) {
    if(val.title){
    newlast = newlast + 1;
    if(val.video) {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = ” “;
    }
    else
    {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = “”;
    }
    if(val.thumb) {
    var img = “”+vthumb+””;
    var milatest = “mr140”;
    }
    else {
    var img = “”;
    var milatest = “”;
    }
    if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
    else subtitle=””;
    if(val.c_url) cat = “”+val.c_title+””;
    else cat=””;
    $(“#latestul”).append(“”+img+””);
    }else{
    return false;
    }
    });
    $(“.loading”).remove();
    });
    }
    else{
    $.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest_section/?callback=?”, {start: newlast,section:sectionid,img:’thumb2′,total:’40’}, function(data) {
    $.each(data.posts, function(key, val) {
    if(val.title){
    newlast = newlast+1;
    if(val.video) {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = ” “;
    }
    else
    {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = “”;
    }
    if(val.thumb) {
    var img = “”+vthumb+””;
    var milatest = “mr140”;
    }
    else {
    var img = “”;
    var milatest = “”;
    }
    if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
    else subtitle=””;

    $(“#latestul”).append(“”+img+””);
    }else{
    return false;
    }
    });
    $(“.loading”).remove();
    });
    }
    }

    Berita Terkini

  • WALHI Kritik MoU TNI dan Kementerian Kehutanan, Semakin Memperkuat Militerisasi di Kawasan Hutan – Halaman all

    WALHI Kritik MoU TNI dan Kementerian Kehutanan, Semakin Memperkuat Militerisasi di Kawasan Hutan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengkritik penandatanganan nota kesepahaman atau MoU antara TNI dan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) yang diteken pada Rabu (12/2/2025) lalu.
     
    Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional Uli Arta Siagian mengatakan MoU tersebut semakin memperkuat militerisasi di kawasan hutan, sekaligus mereduksi tanggungjawab dan kewenangan Kemenhut dalam melindungi dan memulihkan hutan.

    Menurutnya dominasi peran dan tanggung jawab TNI membuat Kemenhut tidak lagi relevan.

     
    Ia mencatat MoU antara Kemenhut dan TNI untuk menjaga hutan dan melakukan rehabilitasi hutan semakin menunjukkan ketidakmampuan negara melalui Kemenhut untuk menjaga dan memulihkan hutan Indonesia.

    Selain itu, menurut dia TNI juga tidak memiliki pengalaman dalam melindungi dan memulihkan hutan. 

    Selama ini, lanjutnya, rakyat yang hidup di dalam dan di sekitar hutan lah yang melindungi hutan-hutan Indonesia. 

    Uli mencatat data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) dan Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan bahwa 70 persen dari tutupan hutan di wilayah adat masih terjaga dan dalam kondisi baik.

    Sementara itu, sambung dia, data WALHI di Jawa Barat, Bengkulu dan Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa ketika masyarakat diberikan akses terhadap kawasan hutan, justru mereka berhasil memulihkan tutupan kawasan hutan yang terdeforestasi sebelumnya. 
     
    Sehingga menurutnya Menteri Kehutanan harusnya memaksimalkan peran masyarakat yang selama ini telah melakukan kerja-kerja perlindungan dan pemulihan hutan. 

    Uli mengatakan pemaksimalan peran masyarakat tersebut, kata dia, hanya bisa dilakukan dengan mengakui hak rakyat atas hutannya dan mengedepankan pengetahuan serta pengalaman Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal di dalam dan sekitar kawasan hutan yang selama ini melakukan perlindungan dan pemulihan.

    “Jadi, Kementerian Kehutanan harusnya belajar ke rakyat untuk jaga hutan, bukan ke TNI. Kalau terus menarik-narik TNI ke urusan hutan, Kementerian Kehutanan dibubarkan saja,” kata Uli saat dikonfirmasi Tribunnews.com pada Minggu (16/2/2025). 

    Manager Hukum dan Pembelaan WALHI Nasional Teo Reffelsen menilai penandatanganan MoU antara TNI dan Kemenhut tersebut bertentangan dengan peran dan fungsi TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan.

    Ia juga memandang penandatanganan MoU itu bertentangan dengan Tugas Pokok TNI.
     
    Penandatanganan MoU tersebut, menururnya tidak dapat dikategorikan sebagai salah satu jenis Operasi Militer Selain Perang (OMSP) karena membutuhkan prasyarat kebijakan dan keputusan politik negara atau kebijakan politik pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
     
    Selain itu, kata dia, penandatanganan MoU itu tidak juga bisa menggunakan dalih perbantuan.

    Sebab menurutnya perbantuan semestinya dilakukan ketika persoalan yang dihadapi melampaui kapasitas (beyond capacity) otoritas sipil terkait dalam hal ini Kemenhut. 

    Sedangkan dalam konteks ini, ungkapnya, tidak terlihat kondisi-kondisi yang berpotensi memicu ketidaksanggupan Kemenhut dalam menjaga Hutan.
     
    Teo mengatakan WALHI juga mencemaskan penandatanganan MoU itu.

    Menurutnya banyak kawasan hutan di Indonesia masih mengalami konflik tenurial dengan masyarakat.

    Sehingga menurut Teo dengan adanya MoU itu TNI dapat saja terlibat di dalamnya dan dikhawatirkan akan mengakibatkan pelanggaran HAM.

    “Seharusnya Kemenhut memaksimalkan peran Polisi Hutan, selain itu banyak juga penelitian yang menyebutkan bahwa Masyarakat Adat dan Lokal di sekitar dan/atau dalam kawasan hutan juga lebih memiliki peranan penting dan memiliki konsep menjaga hutan,” kata Teo saat dikonfirmasi pada Minggu (16/2/2025).

    Ruang Lingkup MoU

    Diberitakan sebelumnya, Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto menandatangani Nota Kesepahaman Memorandum of Understanding (MoU) antara TNI, Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta Pusat pada Rabu (12/2/2025).

    MoU dengan Kementerian Kehutanan meliputi penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan, pengendalian kebakaran hutan dan lahan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, serta perlindungan hutan dan penegakan hukum kehutanan.

    Selain itu juga meliputi peningkatan kapasitas sumber daya manusia, pemanfaatan sarana dan prasarana, perhutanan sosial, penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertahanan negara dan ketahanan nasional dan bentuk kerja sama lain yang disepakati oleh para pihak.

    Sedangkan MoU dengan Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendali Lingkungan Hidup meliputi pengendalian pencemaran dan atau kerusakan lingkungan, dukungan pengamanan dan penegakan hukum pada pelaksanaan pengendalian lingkungan hidup, dan dukungan pemberdayaan wilayah pertahanan.

    Kemudian juga meliputi peningkatan kapasitas sumber daya manusia, pertukaran dan pemanfaatan data atau informasi dan kerja sama lain yang disepakati para pihak.

    Dalam sambutannya, Panglima TNI menyampaikan kerja sama itu merupakan langkah strategis untuk mendukung pelestarian lingkungan dan pengelolaan Sumber Daya Alam secara berkelanjutan.

    “Melalui pelaksanaan ini diharapkan terjalin kerja sama yang lebih baik dan berkelanjutan dalam berbagai program strategis seperti rehabilitasi hutan dan lahan, pengamanan kawasan konservasi, serta edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat terkait pentingnya menjaga lingkungan hidup,” kata Agus dalam keterangan resmi Puspen TNI yang terkonfirmasi pada Kamis (13/2/2025).

    Hadir dalam kegiatan itu Menteri Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup, Wakil Menteri Kehutanan, para pejabat utama Kementerian Kehutanan, dan Kementerian Lingkungan Hidup.

    Turut hadir juga Asrenum Panglima TNI, Asintel Panglima TNI, Kababinkum, Waaster Panglima TNI serta tamu undangan lainnya.

     

     

  • Dinilai Gagal Kendalikan Sampah, Walhi Jabar Sebut Instruksi Gubernur Tak Berjalan

    Dinilai Gagal Kendalikan Sampah, Walhi Jabar Sebut Instruksi Gubernur Tak Berjalan

    JABAR EKSPRES  – Instruksi Gubernur Jawa Barat yang melarang pembuangan sampah organik ke TPA Sarimukti tidak berjalan di lapangan. WALHI Jawa Barat menemukan bahwa sampah dari Bandung Raya tetap mengalir ke TPA, menandakan kebijakan ini hanya sekadar formalitas.

    Dalam Instruksi Gubernur Nomor 02/PBLS.04/DLH tentang Penanganan Sampah pada Masa Darurat dan Pasca Darurat Sampah Bandung Raya, pemerintah daerah diminta mengelola sampah secara mandiri.

    Namun, hasil pemantauan WALHI menunjukkan bahwa hingga pertengahan 2024, TPA Sarimukti masih menerima sekitar 2.500 ton sampah per hari, 80 persen di antaranya adalah sampah organik.

    BACA JUGA; Sebut Ritase Pembuangan Sampah KBB Kurang, Pemda: Sarimuktinya di Bandung Barat

    “TPA ini masih menampung buangan sampah sebanyak 300-320 ritase per hari atau 2.500 ton per hari yang didominasi sampah sebanyak 80 persen,” demikian isi laporan WALHI Jawa Barat dalam policy brief yang diterima Jabar Ekspres, Sabtu (15/2).

    Menurut pemaparan Walhi Jabar, Kota Bandung masih menjadi penyumbang terbesar dengan sekitar 1.500 ton sampah per hari. Dalam dokumen tersebut, WALHI menyinggung soal ketidakdisiplinan pemerintah.

    “(Ada, red) pembangkangan, ketidakdisiplinan, dan ketidakpatuhan Pemerintah Kota/Kabupaten di Bandung Raya atas kebijakan yang telah disepakati mereka sendiri,” tegasnya.

    Menurut WALHI, Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga gagal menjalankan perannya dalam mengawasi implementasi kebijakan ini. “Pemerintah Provinsi tidak menunjukkan keseriusan dalam pelaksanaan Instruksi Gubernur,” tulis WALHI dalam laporan itu.

    Bahkan, mereka menyoroti bagaimana akses terhadap dokumen anggaran sangat sulit diperoleh, baik melalui situs resmi maupun permohonan langsung ke Dinas Lingkungan Hidup.

    Jika dibiarkan, WALHI memperkirakan krisis sampah di Bandung Raya akan semakin parah dalam beberapa tahun ke depan. Mereka mendesak Pemprov Jawa Barat untuk segera mengevaluasi kebijakan ini dan menindak tegas daerah yang tidak menjalankan instruksi gubernur.

    Masalah ini pun semakin diperburuk oleh minimnya transparansi anggaran dalam penanganan sampah. “Anggaran Belanja belum transparan dan sejalan dengan kebutuhan untuk menangani situasi TPA Sarimukti yang sudah sangat mendesak dan over kapasitas,” pungkasnya.

  • Jangan Salahkan Hujan! Walhi Beberkan Penyebab Banjir Ekstrem di Sulsel

    Jangan Salahkan Hujan! Walhi Beberkan Penyebab Banjir Ekstrem di Sulsel

     

    Liputan6.com, Makassar – Bukan cuma perkara hujan ekstrem, banjir dan longsor yang terjadi berulang kali di banyak titik Sulawesi Selatan tiap tahun disebabkan karena perusakan hutan yang terjadi secara masif. Hal itu diungkapkan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel, Kamis (13/2/2024). 

    “Berdasarkan kajian kami, tingginya angka kehilangan tutupan hutan di wilayah ini dipengaruhi beberapa faktor utamanya soal masifnya izin pertambangan di wilayah hulu atau kawasan hutan, alih fungsi lahan, penebangan liar, serta pembangunan,” ungkap Kepala Departemen Riset dan Keterlibatan Publik Walhi Sulsel, Slamet, seperti dikutip dari Antara.

    Slamet menyebutkan, dari catatan akhir tahun Walhi Sulsel, ada sekitar 362 kejadian bencana di seluruh kabupaten/kota se-Sulsel. Dari hasil kajian, Provinsi Sulsel sudah mengalami penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungannya.

    Dalam 10 tahun terakhir, setidaknya angka kejadian bencana di Sulsel meningkat enam kali lipat. Dimana tahun 2014 tercatat hanya ada 54 kejadian angka bencana dan 2024 angkanya mencapai 362 kejadian.

    Selain itu, menurut Slamet, kerugian yang dialami oleh masyarakat Sulsel akibat bencana tahun lalu itu jumlahnya sangat fantastis, yakni mencapai Rp1,95 triliun lebih.

    Beberapa penyebab dari kritisnya kondisi lingkungan yang ada di Sulsel, katanya, karena tutupan hutan terus berkurang. Di Sulsel hanya memiliki luas tutupan hutan pada tahun 2023 sekitar 1.359.039 hektare atau hanya tersisa 29,70 persen dari luas provinsi.

    Dengan luasan tutupan hutan yang hanya tersisa di bawah 30 tersebut, maka Sulsel dapat menjadi salah satu provinsi yang masuk dalam kategori kritis.

    Hilangnya tutupan hutan di Sulsel dalam jumlah yang masif tiap tahunnya berbanding lurus dengan kritisnya Daerah Aliran Sungai (DAS) yang tersebar di berbagai daerah.

    Tercatat, dari 139 DAS yang ada di Sulsel, hanya sekitar 38 DAS yang masuk dalam kategori sehat karena memiliki tutupan hutan di atas 30 persen. Sedangkan sisanya, sebanyak 101 DAS atau 72,6 persen DAS mengalami kritis.

    Bila dihubungkan dengan kejadian banjir dan longsor yang terjadi sejak kemarin di tiga daerah di Kabupaten Maros, Gowa dan Kota Makassar tercatat dari data BPBD sebanyak ribuan keluarga terdampak pada belasan kecamatan, itu adalah akumulasi kerentanan ekologi yang setiap tahun semakin meningkat.

    “Selain intensitas hujan dan air pasang yang membuat aliran air di sungai tidak langsung menuju ke lepas pantai. Secara hidrologi hal ini berakibat pada meluapnya sungai-sungai di dua DAS yakni Maros dan Tallo,” katanya.

     

  • Koalisi Sipil Kritik Wacana Penambahan Kewenangan Penegak Hukum dan Militer

    Koalisi Sipil Kritik Wacana Penambahan Kewenangan Penegak Hukum dan Militer

    loading…

    Koalisi masyarakat sipil mengkritik wacana penambahan kewenangan lembaga penegak hukum serta militer melalui RUU Polri, Kejaksaan, dan TNI. Ilustrasi/Dok. SINDOnews

    JAKARTAKoalisi masyarakat sipil mengkritik wacana penambahan kewenangan lembaga penegak hukum serta militer melalui revisi undang-undang (RUU) Polri, Kejaksaan, dan TNI. Mereka menilai rencana penambahan kewenangan saat ini sangat keliru.

    Koalisi sipil terdiri dari PBHI, Imparsial, Elsam, HRWG, Walhi, Centra Initiative, Koalisi Perempuan Indonesia, Setara Institute dan BEM SI Kerakyatan. Ketua PBHI Julius Ibrani mengatakan dengan kewenangan yang ada saat ini, ketiga lembaga itu justru seringkali melakukan penyimpangan seperti korupsi dan kekerasan.

    “Alih-alih melakukan pembenahan dengan memperkuat pengawasan, lembaga-lembaga tersebut di atas justru terlihat tengah berlomba-lomba untuk menambah kewenangannya,” katanya dalam keterangan tertulis, Minggu (9/2/2025).

    Ia mencontohkan Kejaksaan Agung sempat dihebohkan Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang menerima suap Rp8,1 miliar dari buronan kasus korupsi Bank Bali, Djoko Tjandra. Sementara itu, sejumlah anggota TNI juga terlibat dalam aksi korupsi pada jabatan sipil seperti kasus yang menyeret mantan Kepala Badan SAR Nasional (Kabasarnas) Marsdya Henri Alfiandi.

    Di sisi lain, Polri yang merupakan lembaga penegak hukum juga dinodai dengan kasus pemerasan yang menyasar sejumlah warga negara Malaysia konser DWP di JIExpo Kemayoran beberapa waktu lalu. Julius khawatir apabila ketiga RUU itu disahkan hanya akan menambah daftar panjang penyalahgunaan wewenang.

    Di sisi lain, kata dia, penambahan kewenangan itu juga bisa membahayakan iklim penegakan hukum dan demokrasi di Indonesia. Apalagi jika dimanfaatkan untuk kepentingan politik.

    “Yang kita butuhkan saat ini adalah membangun akuntabilitas dan transparansi. Salah satu cara memperkuat lembaga lembaga independen yang ada untuk mengawasai mereka,” tuturnya.

    Sementara itu, Julius mengatakan berdasarkan Indeks Rule of Law 2024 yang dirilis World Justice Project (WJP), Indonesia berada di peringkat ke 68. Posisi ini justru menurun dari tahun sebelumnya yang berada di urutan 66 atau mengalami penurunan 0,53 poin.

    Ia menegaskan evaluasi sistem pengawasan internal lembaga penegak hukum dan militer menjadi penting. Hal ini lantaran selama ini cenderung melanggengkan praktik impunitas.

    ”Pengawasan internal yang lemah dapat berdampak pada pembiaran atau pelanggaran hukuman terhadap aksi-aksi pelanggaran pidana yang dilakukan oleh anggota penegak hukum dan militer,” jelasnya.

    Sejalan dengan itu, pemerintah dan DPR harus menguatkan lembaga pengawas eksternal seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional, Komnas HAM, hingga Komnas Perempuan. “Perlu dipastikan bahwa lembaga pengawas eksternal ini dapat bekerja secara efektif yang dilengkapi dengan kewenangan yang memadai dan sumberdaya yang cukup,” imbuhnya.

    Julius menegaskan reformasi penegakan hukum tidak dapat dilakukan dengan menambah kewenangan, tetapi dengan membangun akuntabilitas dengan memperkuat lembaga pengawas independen. “Kami mendesak pada DPR dan pemerintah untuk menghentikan dan menolak pembahasan RUU Polri, RUU Kejaksaan dan RUU TNI,” tegasnya.

    (poe)