Antrean Stunting: Retorika Generasi Emas yang Tak Terkawal
Alumnus Sekolah Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta. Anggota Dewan Pembina Wahana Aksi Kritis Nusantara (WASKITA), Anggota Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI). Saat ini aktif melakukan kajian dan praktik pendidikan orang dewasa dengan perspektif ekonomi-politik yang berkaitan dengan aspek sustainable livelihood untuk isu-isu pertanian dan perikanan berkelanjutan, mitigasi stunting, dan perubahan iklim di berbagai daerah.
DI TENGAH
gegap gempita menyambut hari kemerdekaan ke 80 tahun Indonesia, sayup-sayup terdengar rintihan lirih anak-anak usia di bawah lima tahun (balita). Hingga kini jutaan balita masih harus berjuang melepaskan diri dari status stunting.
Retorika pembangunan dan ambisi besar bangsa seperti kehilangan makna ketika tubuh-tubuh kecil itu terus tumbuh dalam kekurangan gizi, dan perlahan masa depannya terampas.
Jika ulang tahun kemerdekaan adalah momentum reflektif, maka pertanyaan yang layak diajukan bukanlah seberapa jauh kita melangkah, melainkan siapa saja yang tertinggal dalam perjalanan panjang republik ini.
Target ambisius pemerintah untuk menurunkan angka stunting menjadi 14 persen pada 2024 resmi meleset.
Data dari hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024, prevalensi stunting nasional turun dari 21,5 persen di tahun 2023 menjadi 19,8 persen atau setara dengan sekitar 4,48 juta balita, dengan sekitar 377.000 kasus baru berhasil dicegah.
Meski demikian, pemerintah membungkus penurunan stunting dari tahun ke tahun dengan retorika statistik.
Penurunan diglorifikasi sebagai keberhasilan, meski tak sesuai target dan menyamarkan realitas lambatnya kerja di bawah kendali birokrasi.
Kegagalan memenuhi target ini sudah dapat diduga. Pada 2023, penurunan stunting hanya 0,1 persen dari tahun sebelumnya.
Atas dasar itu pencapaian penurunan di 2024 oleh pemerintah dianggap sebagai keberhasilan, meski hanya turun 1,7 persen.
Sementara dana yang digelontorkan untuk isu tersebut pada tahun 2024, lebih dari Rp 186,4 triliun (APBN, 2024).
Artinya, anggaran yang tergolong besar tersebut belum mampu membuat program percepatan penurunan stunting memutus siklus kegagalan pertumbuhan anak secara signifikan.
Ironis memang, di tengah jargon “Indonesia Emas 2045”, masalah stunting masih bergerak seperti antrean panjang tanpa ujung yang jelas.
Anak-anak dengan tinggi badan yang tak sesuai usia karena kekurangan gizi kronis—baik sejak dalam kandungan maupun dua tahun pertama kehidupan, lalu terganggu perkembangan kognitifnya—seolah dipaksa menjadi penumpang gelap dalam perjalanan menuju cita-cita besar bangsa.
Jika menelisik akar masalah lambannya penanganan stunting, dua batu sandungan utama tampak nyata: birokrasi yang kaku dan ketergantungan pada pendanaan negara yang tidak selalu tersedia tepat waktu.
Banyak program penanganan stunting di daerah harus menunggu pencairan Dana Alokasi Khusus (DAK) atau instruksi vertikal dari kementerian teknis, sementara kebutuhan di lapangan mendesak dan tidak bisa ditunda.
Pola tersebut membuat kader-kader posyandu yang menjadi garda terdepan dalam penanganan stunting, kerap mengelus dada karena tidak mampu berbuat maksimal di tengah realitas masalah yang mereka pahami.
Stunting bukan sekadar soal fisik, tetapi tentang peluang hidup anak di masa depan—dan setiap hari yang terlewat tanpa penanganan adalah kerugian bersama sebagai bangsa.
Lebih jauh, pelibatan masyarakat dalam program ini minim. Padahal, kunci keberhasilan program berbasis perubahan perilaku—seperti pola makan, sanitasi, dan pemantauan kehamilan—tidak bisa hanya bertumpu pada intervensi pemerintah.
Pengalaman di isu lain menunjukkan bahwa ketika masyarakat dilibatkan dalam identifikasi masalah dan solusi, hasilnya lebih berdampak dan berkelanjutan.
Salah satu fase krusial yang kurang menjadi perhatian adalah masa remaja. Padahal, inilah jembatan penentu generasi berikutnya. Remaja putri yang mengalami anemia karena pola makan buruk berisiko tinggi melahirkan anak stunting.
Di banyak daerah, praktik perkawinan dini masih berlangsung karena tekanan adat dan kemiskinan struktural. Tubuh remaja yang belum matang secara biologis maupun psikis dipaksa mengandung dan membesarkan anak, dengan konsekuensi buruk bagi tumbuh kembang anak tersebut.
Lebih dari itu, banyak remaja korban kekerasan seksual, pernikahan paksa, hingga penyalahgunaan narkoba—semuanya berdampak langsung pada kesehatan reproduksi, kondisi mental, dan masa depan mereka sebagai calon orangtua.
Tanpa intervensi serius pada fase ini, kita justru memperkuat mata rantai kegagalan tumbuh dari satu generasi ke generasi berikutnya. Maka, memperkuat remaja hari ini adalah fondasi penting bagi anak-anak bebas stunting di masa depan.
Salah satu ironi terbesar dalam narasi penurunan stunting nasional adalah kenyataan bahwa penurunan angka tidak selalu berbanding lurus dengan perbaikan kondisi anak.
Anak-anak yang melewati usia lima tahun secara otomatis tidak lagi masuk dalam kategori pengukuran stunting, walaupun mereka tetap mengalami dampak jangka panjang akibat pertumbuhan yang terganggu.
Statistik nasional pun “kehilangan” mereka, dan ini yang membuat keberhasilan semu dari penurunan angka stunting.
Penurunan ini, jika ditelusuri lebih lanjut, bukan karena keberhasilan pelayanan gizi atau perubahan perilaku di tingkat keluarga.
Sebaliknya, banyak terjadi karena perpindahan usia—anak yang dulunya teridentifikasi stunting, kini tidak tercatat lagi karena melewati usia 59 bulan. Pemerintah tidak memiliki data yang memadai untuk konteks tersebut.
Namun, penulis menemui fakta lapangan di berbagai daerah, bahwa pergantian umur menjadi faktor yang determinan dari penurunan angka stunting.
Jika hal ini berlaku umum, maka muncul pertanyaan mendalam: apakah kita benar-benar menyelesaikan masalah, atau hanya memindahkannya dari satu kategori statistik ke kategori tak terlihat?
Laporan UNICEF dan WHO secara konsisten menekankan bahwa dampak stunting bersifat jangka panjang—menurunnya kecerdasan, produktivitas, dan meningkatnya risiko penyakit kronis di usia dewasa.
Tanpa strategi komprehensif berkelanjutan, kita bukan hanya kehilangan satu generasi, tetapi mewariskan kelemahan struktural pada generasi berikutnya.
Jika pemerintah benar-benar serius menuju “Generasi Emas 2045”, maka pendekatan dalam penanganan stunting harus berubah drastis.
Kita membutuhkan desentralisasi kendali, pelibatan aktif masyarakat sipil, dan pembiayaan fleksibel yang bisa merespons kebutuhan cepat.
Pemerintah daerah hingga di tingkat desa harus diberi ruang untuk berinovasi tanpa terbelenggu oleh sistem keuangan yang terjeda.
Lebih penting lagi, indikator keberhasilan tidak boleh semata-mata berdasarkan penurunan angka di atas kertas, melainkan perubahan nyata dalam kualitas hidup anak-anak.
Sistem pemantauan perlu diperluas hingga usia sekolah dasar agar anak-anak yang pernah stunting tetap menjadi bagian dari intervensi, bukan sekadar bayang-bayang statistik.
Langkah lain yang mendesak adalah memperkuat kolaborasi lintas sektor—pendidikan, kesehatan, pertanian, hingga perlindungan sosial.
Sebab stunting bukan masalah gizi semata, tapi cerminan dari ketimpangan akses terhadap sumber daya dasar: makanan bergizi, air bersih, sanitasi, dan informasi kesehatan.
Sudah saatnya pemerintah berhenti dengan berbagai jargon populis tanpa peta jalan yang rasional dan komprehensif. Jargon-jargon populis tidak akan membuat antrean panjang menuju stunting berhenti.
Jumlah anak-anak stunting bukan sekadar data, tetapi mereka berhak menjadi calon-calon pemimpin masa depan. Hak itulah yang direnggut secara sistemik akibat kegagalan pembangunan.
Generasi emas tak akan lahir dari tubuh yang lemah dan pikiran yang tertinggal. Kita tidak bisa membangun Indonesia 2045 dengan mengabaikan anak-anak hari ini.
Menangani stunting harus menjadi panggilan moral, bukan sekadar proyek tahunan. Karena dalam setiap tubuh kecil yang gagal tumbuh, tersimpan dosa sejarah: masa lalu, saat ini, dan masa depan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
NGO: UNICEF
-
/data/photo/2024/10/24/6719fe1487daa.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Antrean Stunting: Retorika Generasi Emas yang Tak Terkawal Nasional 15 Agustus 2025
-

Video UNICEF soal Penyebab Kematian Rata-rata 28 Anak Gaza Dalam Sehari
Pejabat UNICEF mengungkap lebih dari 18.000 anak tewas di Gaza sejak awal serangan Israel. Artinya, rata-rata 28 anak yang tewas tiap hari.
Kematian ini disebut akibat pemboman, kelaparan dan kurang gizi, serta kurangnya bantuan vital.
Klik di sini untuk menonton video-video lainnya.
-

UNICEF Sebut 28 Anak Tewas Setiap Hari di Gaza
JAKARTA – Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) mengatakan rata-rata 28 anak setiap hari tewas di Jalur Gaza, Palestina akibat serangan Israel yang telah berlangsung selama lebih dari 660 hari serta kelaparan.
“Kematian akibat pemboman. Kematian akibat malnutrisi dan kelaparan. Kematian akibat kurangnya bantuan dan layanan vital. Di Gaza, rata-rata 28 anak setiap hari tewas,” cuit UNICEF di X, seperti melansir WAFA 5 Agustus.
“Anak-anak Gaza membutuhkan makanan, air, obat-obatan, dan perlindungan. Lebih dari segalanya, mereka membutuhkan gencatan senjata, sekarang,” serunya.
Diketahui, konflik terbaru di Gaza pecah usai kelompok militan Palestina menyerang wilayah selatan Israel pada 7 Oktober 2023, menyebabkan 1.200 orang tewas dan 251 lainnya disandera menurut perhitungan Israel, dikutip dari Reuters.
Itu dibalas Israel dengan melakukan blokade, serangan udara hingga operasi militer di wilayah Jalur Gaza.
Israel dan kelompok militan Palestina menyepakati gencatan senjata serta pertukaran sandera dan tahanan pada 19 Januari. Setidaknya 20 dari 50 sandera yang tersisa di Gaza diyakini masih hidup. Mayoritas sandera awal telah dibebaskan melalui negosiasi diplomatik, meskipun militer Israel juga telah membebaskan beberapa sandera.
Pada 2 Maret, Israel kembali melakukan blokade total terhadap Gaza dengan dalih menekan kelompok militan Palestina untuk menyepakati gencatan senjata usulan Amerika Serikat dan pertukaran sandera-tahanan. Seiring berakhirnya kesepakatan gencatan senjata, Israel kembali menggelar operasi militer di Gaza pada 18 Maret.
Sementara itu, sumber medis pada Hari Selasa mengonfirmasi, korban tewas Palestina di Gaza sejak agresi Israel Oktober 2023 telah mencapai 61.020 jiwa, mayoritas perempuan dan anak-anak, sementara korban luka-luka mencapai 150.671 orang.
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2397648/original/088342000_1541053677-2018-agenda-black-273011.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
1 Agustus Hari Apa? Ada Hari Kanker Paru hingga World Wide Web – Page 3
Setiap tanggal 1 Agustus, dunia memperingati Hari Kanker Paru-Paru Sedunia. Peringatan ini bertujuan meningkatkan kesadaran global akan bahaya kanker paru-paru, yang merupakan penyebab utama kematian akibat kanker. Kampanye ini juga menekankan pentingnya pencegahan, deteksi dini, serta pola hidup sehat untuk mengurangi risiko penyakit tersebut.
Selain itu, 1 Agustus juga dikenal sebagai Hari World Wide Web. Peringatan ini mengingatkan kita akan peran besar internet dalam kehidupan sehari-hari sejak ditemukan oleh Tim Berners-Lee pada tahun 1989. Momen ini menjadi ajakan untuk menggunakan internet secara bijak, produktif, dan aman.
Tanggal ini juga menandai awal Pekan ASI Sedunia, yang berlangsung hingga 7 Agustus. Peringatan ini, yang didukung oleh WHO dan UNICEF, bertujuan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama kehidupan bayi. ASI memberikan nutrisi terbaik dan perlindungan alami terhadap berbagai penyakit.
Beberapa peringatan lain yang jatuh pada 1 Agustus meliputi Hari Pacar Nasional, Hari Bebas Anak Internasional, dan Hari Syal Pramuka Sedunia. Hari Bir Internasional juga dirayakan pada Jumat pertama bulan Agustus, yang pada tahun 2025 jatuh tepat di tanggal 1 Agustus. Ada pula Hari Pendakian Gunung Nasional, Hari Mahjong Internasional, Hari Menghormati Orang Tua, Hari Kesadaran Donor Minoritas, Hari Kue Krim Raspberry Nasional, dan Hari Balon Air Nasional yang dirayakan pada Jumat pertama bulan Agustus.
-

Bappenas: Program MBG jadi langkah konkret dukung Indonesia Emas 2045
Jakarta (ANTARA) – Wakil Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Wakil Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Febrian Alphyanto Ruddyard mengatakan program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan langkah konkret Indonesia mendukung Visi Indonesia Emas 2045.
Hal ini dilakukan melalui penyediaan makanan bergizi secara gratis bagi siswa sekolah, santri, ibu hamil dan menyusui, serta anak-anak balita.
“Program ini bukan hanya soal makanan, tetapi mencakup isu gizi, kesehatan, pendidikan, pemberdayaan perempuan, ketahanan pangan, hingga pengurangan kemiskinan,” katanya dalam Side Event bertajuk “Feeding the Future: Leveraging Multisectoral Efforts for Productive Human Capital and Engaging Women’s Participation” di sela-sela High-Level Political Forum (HLPF) 2025 di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PPB), New York, Amerika Serikat (AS), dikutip dari keterangan resmi, Jakarta, Kamis.
Sebagai bentuk komitmen membangun sumber daya manusia (SDM) unggul dan berdaya saing, program makan bergizi dibahas dalam side event ini dengan kolaborasi bersama Pemerintah Qatar, Finlandia, Bulgaria, dan Jepang serta didukung oleh UNICEF dan Asian Development Bank (ADB).
Kegiatan ini menjadi forum strategis untuk berbagi praktik baik, tantangan, dan pendekatan lintas sektor dalam menyukseskan program makan bergizi sebagai investasi jangka panjang pembangunan manusia.
“Pendekatannya (terhadap program MBG) bersifat multi sektor, dan Bappenas memainkan peran kunci dalam koordinasi kebijakan, perencanaan anggaran, serta pemantauan dan evaluasi,” ujar Febrian.
Wakil Menteri PPN menekankan bahwa keberhasilan program MBG tidak terlepas dari kolaborasi antarsektor, mulai dari sektor kesehatan, pendidikan, pertanian, pengelolaan pangan dan limbah, pemberdayaan masyarakat, hingga infrastruktur dasar dan data.
“Kementerian PPN/Bappenas bersama BGN dan kementerian/lembaga terkait terus memperkuat sinergi lintas sektor demi keberlanjutan program,” ucap dia.
Side event ini juga menjadi momentum penting menjelang Second Global Summit of the School Meals Coalition di Fortaleza, Brasil, pada September 2025.
Melalui forum ini, pemerintah Indonesia berharap akan lahir strategi dan aksi nyata dalam memperkuat implementasi program makan bergizi, baik di tingkat nasional maupun global.
“Kami mengundang semua pemangku kepentingan untuk bersama-sama mendukung kesuksesan program makan bergizi sebagai strategi nasional dalam membangun generasi yang sehat, cerdas, dan produktif demi mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/Sustainable Development Goals) 2030,” ungkap Wakil Kepala Bappenas.
Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-

Gaza Krisis Kelaparan, PBB Ajak Dunia Kirim Bantuan Pangan Skala Besar
Jakarta –
Badan-badan bantuan utama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengajak seluruh dunia untuk membanjiri Gaza, Palestina, dengan bantuan pangan. PBB menyerukan bantuan pangan skala besar.
Dilansir kantor berita AFP, Selasa (29/7/2025), Badan-badan bantuan utama PBB memperingatkan bantuan pangan harus segera dilakukan. PBB mengatakan Gaza kini tengah di ambang kelaparan skala penuh.
“Kita perlu membanjiri Gaza dengan bantuan pangan berskala besar, segera dan tanpa hambatan, dan terus mengalirkannya setiap hari untuk mencegah kelaparan massal,” ujar Direktur Eksekutif Program Pangan Dunia (WFP) Cindy McCain dalam pernyataan bersama UNICEF dan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO).
Skenario terburuk kelaparan saat ini sedang terjadi di Jalur Gaza. Peringatan ini dikeluarkan oleh Integrated Food Security Phase Classification (IPC), sebuah inisiatif yang didukung PBB.
“Konflik dan pengungsian telah meningkat, dan akses terhadap makanan serta barang dan jasa penting lainnya telah anjlok ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya,” kata IPC, dilansir CNN, Selasa (29/7).
IPC menyebut semakin banyak bukti menunjukkan bahwa kelaparan, malnutrisi, dan penyakit yang meluas mendorong peningkatan kematian akibat kelaparan. IPC juga mengatakan bahwa peringatan tersebut dimaksudkan untuk menarik perhatian dunia.
Tercatat lebih dari 20.000 anak dirawat untuk perawatan malnutrisi akut antara April dan pertengahan Juli. Jumlah itu di antaranya 3.000 anak lebih mengalami malnutrisi parah.
“Data terbaru menunjukkan bahwa ambang batas kelaparan telah tercapai untuk konsumsi pangan di sebagian besar Jalur Gaza dan untuk malnutrisi akut di Kota Gaza,” demikian bunyi peringatan tersebut, yang menyerukan tindakan segera untuk mengakhiri permusuhan dan memungkinkan respons kemanusiaan yang luas, tanpa hambatan, dan menyelamatkan nyawa.
Pada bulan Mei, IPC melaporkan bahwa seluruh penduduk daerah kantong tersebut mengalami tingkat ketahanan pangan akut yang tinggi. Dan wilayah tersebut berada dalam risiko tinggi kelaparan, jenis krisis kelaparan yang paling parah.
(whn/azh)
-

Israel Akan Izinkan Negara Asing Kirim Bantuan ke Gaza via Udara
Gaza City –
Israel akan mengizinkan negara-negara asing untuk mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza via udara atau airdrop mulai Jumat (25/7) waktu setempat.
Hal tersebut, seperti dilansir Reuters, Sabtu (26/7/2025), diungkapkan oleh radio militer Israel yang mengutip seorang pejabat militer Tel Aviv, yang enggan disebut namanya. Namun juru bicara militer Israel belum menanggapi secara resmi laporan tersebut.
Laporan Jerusalem Post, yang dikutip The Hill, menyebut Israel akan mengizinkan negara-negara seperti Uni Emirat Arab dan Yordania untuk melanjutkan pengiriman paket bantuan melalui udara, seperti yang dilakukan pada tahun 2024 lalu.
Langkah Israel ini diambil setelah Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan lebih dari 100 orang tewas akibat kelaparan di Jalur Gaza sejak Tel Aviv memblokade total akses bantuan kemanusiaan ke wilayah tersebut pada Maret lalu.
Israel, yang berperang melawan Hamas sejak Oktober 2023, telah mencabut blokade pada Mei lalu, tetapi tetap memberlakukan pembatasan yang mereka klaim diperlukan untuk mencegah jatuhnya bantuan ke tangan Hamas dan sekutunya di Jalur Gaza.
Dalam dua pekan pertama bulan Juli, badan anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau UNICEF melaporkan bahwa 5.000 anak mendapatkan perawatan karena mengalami malnutrisi akut di Jalur Gaza.
Kepala Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengatakan pada Rabu (23/7) bahwa sebagian besar penduduk Gaza mengalami kelaparan massal. Dia bahkan menyebut kelaparan massal itu merupakan “buatan manusia”, namun tanpa menyebut nama Israel.
Sementara badan bantuan pangan PBB, Program Pangan Dunia (WFP), melaporkan bahwa nyaris sepertiga warga Gaza “tidak makan selama berhari-hari” saat kelaparan massal menyelimuti wilayah tersebut. Krisis kemanusiaan di Gaza, sebut WFP, telah mencapai “tingkat keputusasaan yang baru dan mencengangkan”.
Disebutkan oleh WFP bahwa sekitar 470.000 orang di Jalur Gaza diperkirakan akan menghadapi “bencana kelaparan” atau “catastrophic hunger” — kategori paling parah dalam klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu PBB — antara Mei dan September tahun ini.
Israel sebelumnya membantah sebagai penyebab kelaparan massal di Jalur Gaza. Bantahan itu disampaikan setelah kritikan internasional semakin meningkat yang menuduh Tel Aviv berada di balik kekurangan pangan kronis yang memicu kelaparan massal yang kini menyelimuti berbagai wilayah Jalur Gaza.
“Tidak ada kelaparan yang disebabkan oleh Israel. Ada kekurangan (pasokan) buatan manusia yang diatur oleh Hamas,” tegas juru bicara pemerintah Israel, David Mencer, dalam pernyataannya.
Lihat juga Video WHO: 1.026 Orang Tewas Saat Berusaha Cari Makan di Gaza
Halaman 2 dari 2
(nvc/dhn)
-

Ekonomi Israel Makin Kuat Padahal Perang Sana-sini, Kok Bisa?
Jakarta –
Pasar saham Israel mencatat keuntungan besar-besaran. Kinerja saham Israel meroket pesat dibandingkan negara-negara lain di Timur Tengah selama 22 bulan sejak serangan Hamas ke Israel ada Oktober 2023.
Israel saat ini menghadapi tuduhan kejahatan perang di pengadilan internasional, sementara bergulat dengan gerakan protes besar-besaran dan gejolak politik di dalam negeri. Namun, negara tersebut terus melancarkan serang ke berbagai negara dan mempertahankan mobilisasi ratusan ribu pasukan yang biasanya merupakan bagian dari angkatan kerja.
Meskipun demikian, dilansir dari CNBC, Jumat (18/7/2025), lanskap ekonomi Israel nampak kuat didorong oleh investasi asing yang signifikan dan baru-baru ini mendapat kepercayaan investor yang kembali pulih setelah konflik 12 hari dengan Iran.
Awalnya pasar saham Israel sempat turun hingga 23% dalam sebulan setelah serangan Hamas pada bulan Oktober 2023 dan deklarasi perang Israel. Bursa Efek Tel Aviv telah pulih dan melampaui level sebelum perang pada kuartal pertama tahun 2024. Per 17 Juli, TASE naik lebih dari 200% dari level terendahnya pada bulan Oktober 2023.
Namun, PDB negara itu pada kuartal terakhir tahun 2023 menyusut hampir 20%, menyusul kontraksi tajam dalam konsumsi dan investasi swasta yang dipicu oleh perang.
Meskipun demikian, sepanjang tahun berakhir dengan pertumbuhan moderat sebesar 2%, dan pertumbuhan PDB lebih lanjut sebesar 1% pada tahun 2024, terutama didorong oleh belanja pemerintah.
Pada bulan Juni tahun ini, OECD memperkirakan pertumbuhan aktivitas ekonomi sebesar 4,9% untuk Israel pada tahun 2026.
“Pada tahun 2024, sekitar 161.000 rekening perdagangan baru dibuka di pasar modal Israel,” demikian pernyataan sebuah laporan bulan Juli yang dipublikasikan di situs web Bursa Efek Tel Aviv.
Angka tersebut menunjukkan lonjakan tiga kali lipat dalam jumlah rekening yang dibuka dibandingkan dengan tahun 2023.
Lihat juga Video: UNICEF Ungkap 28 Anak di Gaza Tewas Setiap Hari Selama 2 Tahun
(hal/rrd)
-

Olivia Rodrigo Serukan Dukungan Kemanusiaan untuk Gaza
JAKARTA – Olivia Rodrigo ikut menyuarakan kecaman atas apa yang terjadi di Gaza, Palestina. Bintang pop 22 tahun itu merasa telah terjadi krisis kemanusiaan yang besar di sana.
Adapun kecaman tersebut disampaikan lewat unggahan Instagram Story baru-baru ini. Rodrigo menyatakan empatinya untuk orang-orang Palestina yang harus menjadi korban kemanusiaan.
“Tidak ada kata-kata yang dapat menggambarkan kesedihan yang saya rasakan menyaksikan kehancuran yang menimpa orang-orang tak berdosa di Palestina,” kata Rodrigo.
“Para ibu, ayah, dan anak-anak di Gaza kelaparan, dehidrasi, dan tidak mendapatkan akses ke perawatan medis dasar dan bantuan kemanusiaan,” sambungnya.
Pelantun “drivers license” itu mengatakan, tidak ada anak-anak yang pantas menderita—sekaligus mengajak orang-orang agar tidak menyerah untuk memperjuangkan kemanusiaan di Gaza.
“Tidak ada anak di Israel, Palestina, atau di mana pun di dunia yang pantas menderita atas apa yang kita lihat anak-anak ini alami,” ujar Rodrigo.
“Ini mengerikan dan sama sekali tidak dapat diterima. Menyerah pada mereka berarti menyerah pada kemanusiaan kita bersama,” tegasnya.
Bersamaan dengan itu, Rodrigo menyatakan dirinya telah memberikan donasi lewat UNICEF untuk membantu para korban.
Olivia Rodrigo bukan satu-satunya bintang pop AS yang menyatakan dukungan kepada para korban kemanusiaan di Gaza. Lana Del Rey mengatakan bahwa ia berdoa untuk Palestina setiap hari, sementara Billie Eilish mengecam rencana Israel untuk merelokasi paksa sekitar 2 juta warga Palestina.
/data/photo/2025/05/19/682aec51a1890.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)