NGO: UNICEF

  • Serangan Udara Junta Myanmar Tewaskan 19 Siswa Sekolah Menengah

    Serangan Udara Junta Myanmar Tewaskan 19 Siswa Sekolah Menengah

    Naypyitaw

    Serangan udara junta militer Myanmar menghantam sebuah sekolah menengah di negara bagian Rakhine pada Jumat (12/9) waktu setempat. Sedikitnya 19 siswa sekolah menengah, termasuk beberapa di antaranya masih remaja, tewas akibat gempuran tersebut.

    Serangan udara itu dilancarkan junta Myanmar saat terlibat pertempuran sengit dengan kelompok bersenjata etnis minoritas Tentara Arakan (AA) untuk merebut kendali atas Rakhine. Junta Myanmar dalam setahun terakhir telah merebut sebagian besar wilayah Rakhine dari kelompok bersenjata tersebut.

    Konflik di Rakhine menjadi salah satu elemen dari kekacauan berdarah yang menyelimuti Myanmar sejak militer menggulingkan pemerintahan sipil yang dipimpin Aung San Suu Kyi dalam kudeta tahun 2021 lalu, yang kemudian memicu pemberontakan bersenjata yang meluas.

    Tentara Arakan dalam pernyataannya via Telegram, seperti dilansir AFP, Sabtu (13/9/2025), menyebut bahwa serangan terhadap dua sekolah menengah swasta di kota Kyauktaw terjadi tepat setelah tengah malam pada Jumat (12/9) waktu setempat. Diketahui bahwa para siswa tidur di kompleks sekolah tersebut.

    Disebutkan Tentara Arakan dalam pernyataannya bahwa sedikitnya 19 siswa sekolah menengah itu, yang berusia antara 15 tahun hingga 21 tahun, tewas akibat serangan tersebut. Sekitar 22 orang lainnya mengalami luka-luka.

    “Kami turut berduka cita seperti keluarga korban atas kematian para siswa yang tidak bersalah,” demikian pernyataan Tentara Arakan tersebut.

    Tentara Arakan menyalahkan junta militer Myanmar atas serangan mematikan tersebut. Namun belum ada tanggapan resmi dari junta Myanmar soal insiden itu.

    Media lokal Myanmar Now melaporkan bahwa sebuah pesawat tempur junta militer telah menjatuhkan dua bom seberat 500 pon ke sebuah sekolah menengah saat para siswa sedang tidur.

    Badan anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), UNICEF, mengutuk “serangan brutal” tersebut, yang menurut mereka semakin “menambah pola kekerasan yang semakin menghancurkan di negara bagian Rakhine, dengan anak-anak dan keluarga menanggung dampaknya”.

    AFP tidak dapat menghubungi penduduk setempat di sekitar Kyauktaw karena layanan internet dan telepon terputus-putus.

    Junta militer yang berkuasa sedang berjuang melawan oposisi terhadap kekuasaannya di berbagai front di Myanmar, dan telah berulang kali dituduh melancarkan serangan udara serta serangan artileri terhadap warga sipil.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Dinkes Jatim dan Unicef Gelar Imunisasi Tambahan Serentak Atasi Campak, Sasar 53 Ribu Anak di Pamekasan
                
                    
                        
                            Surabaya
                        
                        12 September 2025

    Dinkes Jatim dan Unicef Gelar Imunisasi Tambahan Serentak Atasi Campak, Sasar 53 Ribu Anak di Pamekasan Surabaya 12 September 2025

    Dinkes Jatim dan Unicef Gelar Imunisasi Tambahan Serentak Atasi Campak, Sasar 53 Ribu Anak di Pamekasan
    Tim Redaksi
    PAMEKASAN, KOMPAS.com
    – Dinas Kesehatan (Dinkes) Jawa Timur dan Badan PBB yang mengurusi masalah anak atau Unicef memutuskan untuk melakukan Imunisasi Tambahan Serentak (ITS).
    Keputusan itu dikakukan saat melakukan pertemuan dengan Pemerintah Kabupaten Pamekasan, Kamis (11/9/2025) di Pendopo Ronggosukowati.
    Hasil dalam pertemuan, pemerintah bersama Unicef dan Kementerian Kesehatan akan menggelar imunisasi tambahan serentak pada 15–27 September 2025.
    Sasaran kegiatan ini adalah 58.013 anak usia 9 bulan hingga kurang dari 7 tahun dengan target cakupan minimal 95 persen.
    Health Specialist UNICEF Indonesia Wilayah Jawa Timur, Armunanto mengatakan perlu dilakukan imunisasi tambahan serentak untuk semua anak.
    “Anak yang sudah imunisasi dan yang sebelum imunisasi perlu dilakukan imunisasi tambahan,” kata Armunanto.
    Dia menegaskan, imunisasi tambahan adalah satu-satunya cara mengatasai campak.
    Menurutnya, Imunisasi tambahan dalam rangka memastikan capaian 95 anak tervaksin campak.
    “Kalau imunisasi sudah capai 95 persen, maka campak tidak bisa berkembang dan tidak menimbulkan kasus baru,” katanya.
    Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Jatim, Drg. Sulvy Angraeni mengatakan, campak adalah penyakit dengan tingkat penularan tinggi.
    Satu kasus dapat menularkan ke 12 hingga 18 orang melalui droplet seperti batuk atau bersin ketika berkumpul.
    “Sehingga penguatan imunisasi harus dktingkatkan untuk menekan angka Kematian. Salah satunya dengan imunisasi tambahan serentak,” kata Sulvy.
    Sementara Kepala Dinkes Pamekasan Saifudin mengatakan akan menindaklanjuti keputusan dikaksanakannya imunisasi tambahan serentak.
    “Kami sudah menguraikan teknis imunisasi tambahan serentak dan dibantu semua pihak nantinya,” kata Saifudin.
    Dia mengatakan jika semua anak menjadi sasaran imunisasi tambahan serentak. Salah satu targetnya capaian imunisasi mencapai 95 persen.
    “Di Pamekasan sampai saat ini, imunisasi masih berkisar 80 persen,” ujar dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dinkes Jatim dan Unicef Gelar Imunisasi Tambahan Serentak Atasi Campak, Sasar 53 Ribu Anak di Pamekasan
                
                    
                        
                            Surabaya
                        
                        12 September 2025

    Dinkes Jatim dan Unicef Gelar Imunisasi Tambahan Serentak Atasi Campak, Sasar 53 Ribu Anak di Pamekasan Surabaya 12 September 2025

    Dinkes Jatim dan Unicef Gelar Imunisasi Tambahan Serentak Atasi Campak, Sasar 53 Ribu Anak di Pamekasan
    Tim Redaksi
    PAMEKASAN, KOMPAS.com
    – Dinas Kesehatan (Dinkes) Jawa Timur dan Badan PBB yang mengurusi masalah anak atau Unicef memutuskan untuk melakukan Imunisasi Tambahan Serentak (ITS).
    Keputusan itu dikakukan saat melakukan pertemuan dengan Pemerintah Kabupaten Pamekasan, Kamis (11/9/2025) di Pendopo Ronggosukowati.
    Hasil dalam pertemuan, pemerintah bersama Unicef dan Kementerian Kesehatan akan menggelar imunisasi tambahan serentak pada 15–27 September 2025.
    Sasaran kegiatan ini adalah 58.013 anak usia 9 bulan hingga kurang dari 7 tahun dengan target cakupan minimal 95 persen.
    Health Specialist UNICEF Indonesia Wilayah Jawa Timur, Armunanto mengatakan perlu dilakukan imunisasi tambahan serentak untuk semua anak.
    “Anak yang sudah imunisasi dan yang sebelum imunisasi perlu dilakukan imunisasi tambahan,” kata Armunanto.
    Dia menegaskan, imunisasi tambahan adalah satu-satunya cara mengatasai campak.
    Menurutnya, Imunisasi tambahan dalam rangka memastikan capaian 95 anak tervaksin campak.
    “Kalau imunisasi sudah capai 95 persen, maka campak tidak bisa berkembang dan tidak menimbulkan kasus baru,” katanya.
    Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Jatim, Drg. Sulvy Angraeni mengatakan, campak adalah penyakit dengan tingkat penularan tinggi.
    Satu kasus dapat menularkan ke 12 hingga 18 orang melalui droplet seperti batuk atau bersin ketika berkumpul.
    “Sehingga penguatan imunisasi harus dktingkatkan untuk menekan angka Kematian. Salah satunya dengan imunisasi tambahan serentak,” kata Sulvy.
    Sementara Kepala Dinkes Pamekasan Saifudin mengatakan akan menindaklanjuti keputusan dikaksanakannya imunisasi tambahan serentak.
    “Kami sudah menguraikan teknis imunisasi tambahan serentak dan dibantu semua pihak nantinya,” kata Saifudin.
    Dia mengatakan jika semua anak menjadi sasaran imunisasi tambahan serentak. Salah satu targetnya capaian imunisasi mencapai 95 persen.
    “Di Pamekasan sampai saat ini, imunisasi masih berkisar 80 persen,” ujar dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 1 dari 10 Anak Idap Obesitas, UNICEF: Ultra Processed Food Lebih Murah dari Buah-Sayur

    1 dari 10 Anak Idap Obesitas, UNICEF: Ultra Processed Food Lebih Murah dari Buah-Sayur

    Jakarta

    Obesitas melampaui kekurangan berat badan sebagai bentuk malnutrisi yang paling umum tahun ini, mempengaruhi 1 dari 10 – atau 188 juta anak usia sekolah dan remaja, menempatkan mereka pada risiko penyakit yang mengancam jiwa.

    UNICEF secara gamblang menggambarkan penyebab utamanya bukan keputusan keluarga yang buruk soal gizi, melainkan praktik bisnis tidak etis yang dirancang untuk menghasilkan keuntungan.

    “Anak-anak dibombardir oleh … pemasaran makanan cepat saji yang tidak sehat terutama di sekolah di mana mereka terpapar minuman manis dan camilan asin,” ujar Katherine Shats, pakar hukum UNICEF di bidang gizi, kepada kantor berita AFP.

    Produk-produk tersebut seringkali lebih murah daripada makanan segar seperti buah-buahan, sayur-sayuran, dan protein, yang secara bertahap tergantikan dalam pola makan keluarga.

    UNICEF menekankan bahwa kesalahannya bukan terletak pada anak-anak maupun keluarga mereka, melainkan pada “kegagalan masyarakat dalam melindungi lingkungan tempat anak-anak tumbuh”.

    “Makanan ultra-proses semakin menggantikan buah-buahan, sayur-sayuran, dan protein pada saat nutrisi memainkan peran penting dalam pertumbuhan, perkembangan kognitif, dan kesehatan mental anak-anak,” sebut UNICEF Executive Director Catherine Russell.

    Anak-anak dianggap kelebihan berat badan ketika berat badan mereka jauh melebihi berat badan sehat untuk usia, jenis kelamin, dan tinggi badan mereka. Obesitas adalah bentuk kelebihan berat badan yang parah dan menyebabkan risiko lebih tinggi terkena resistensi insulin dan tekanan darah tinggi, serta penyakit yang mengancam jiwa di kemudian hari, termasuk diabetes tipe-2, penyakit kardiovaskular, dan kanker tertentu.

    Laporan terbaru UNICEF memperingatkan bahwa ultra processed food dan cepat saji, tinggi gula, pati olahan, garam, lemak tidak sehat, dan zat aditif, membentuk pola makan anak-anak melalui lingkungan makanan yang tidak sehat, alih-alih pilihan pribadi. Produk-produk ini mendominasi toko dan sekolah, sementara pemasaran digital memberi industri makanan dan minuman akses yang kuat kepada audiens muda.

    “Makanan bergizi dan terjangkau harus tersedia bagi setiap anak untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan mereka. Kita sangat membutuhkan kebijakan yang mendukung orang tua dan pengasuh untuk mengakses makanan bergizi dan sehat bagi anak-anak mereka,” tandas Russell.

    Halaman 2 dari 2

    (kna/kna)

  • Alarm Bahaya UNICEF, Makin Banyak Anak-Remaja Obesitas! Ini Dampaknya

    Alarm Bahaya UNICEF, Makin Banyak Anak-Remaja Obesitas! Ini Dampaknya

    Jakarta

    Data terbaru UNICEF melaporkan kasus obesitas telah melampaui kekurangan gizi dan menjadi bentuk malnutrisi utama di kalangan anak dan remaja. Setidaknya 1 dari 10 anak berusia 10-15 tahun hidup dengan obesitas pada saat ini.

    “Makanan ultra-olahan semakin menggantikan buah-buahan, sayur-sayuran, dan protein pada saat nutrisi memainkan peran penting dalam pertumbuhan, perkembangan kognitif, dan kesehatan mental anak-anak.” Kata Direktur UNICEF, Catherine Russell.

    Laporan berjudul Feeding Profit: How Food Environments are Failing Children oleh UNICEF menggunakan data dari lebih dari 190 negara dan menemukan bahwa prevalensi kekurangan berat badan di kalangan anak-anak berusia 5-19 tahun telah menurun sejak tahun 2000, dari hampir 13 persen menjadi 9,2 persen, sementara tingkat obesitas telah meningkat dari 3 persen menjadi 9,4 persen.

    Obesitas kini melampaui kekurangan berat badan di seluruh wilayah dunia, kecuali Afrika sub-Sahara dan Asia Selatan.

    Angka ini, yang semuanya telah berlipat ganda sejak tahun 2000, sebagian besar didorong oleh peralihan dari pola makan tradisional ke makanan impor yang murah, padat energi, dan berkalori tinggi.

    Sementara itu, banyak negara berpenghasilan tinggi masih memiliki tingkat obesitas yang tinggi, misalnya 27 persen anak usia 5 hingga 19 tahun di Chili mengalami obesitas, 21 persen di Amerika Serikat, dan 21 persen di Uni Emirat Arab.

    Bahaya obesitas pada anak

    Meskipun kekurangan gizi seperti wasting dan stunting masih menjadi masalah yang signifikan di kalangan anak balita di sebagian besar negara berpenghasilan rendah dan menengah, prevalensi kelebihan berat badan dan obesitas meningkat di kalangan anak usia sekolah dan remaja.

    Menurut data terbaru yang tersedia, 1 dari 5 anak dan remaja berusia 5-19 tahun di seluruh dunia atau 391 juta mengalami kelebihan berat badan, dengan sebagian besar dari mereka kini diklasifikasikan sebagai pengidap obesitas.

    Anak-anak dianggap kelebihan berat badan ketika berat badan mereka secara signifikan melebihi berat badan sehat untuk usia, jenis kelamin, dan tinggi badan mereka.

    Obesitas adalah bentuk kelebihan berat badan yang parah dan menyebabkan risiko lebih tinggi terkena resistensi insulin dan tekanan darah tinggi, serta penyakit yang mengancam jiwa di kemudian hari, termasuk diabetes tipe-2, penyakit kardiovaskular, dan kanker tertentu.

    Halaman 2 dari 2

    (kna/kna)

  • Masih Ada Ortu yang Tolak Anak Diimunisasi Meski Campak di Sumenep sudah KLB

    Masih Ada Ortu yang Tolak Anak Diimunisasi Meski Campak di Sumenep sudah KLB

    Jakarta

    Dinas Kesehatan (Dinkes) Pengendalian Penduduk dan KB Kabupaten Sumenep, drg Ellya Fardasah, M.Kes menyebut masih menemukan penolakan imunisasi campak di wilayahnya. Padahal campak di Sumenep statusnya telah meningkat menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB).

    “Masih ada (ortu yang menolak),” kata drg Ellya Fardasah, M.Kes dalam media gathering daring Kemenkes RI, Selasa (26/8/2025).

    Dinkes Sumenep, lanjut drg Ellya telah bekerja sama dengan Kementerian/Lembaga terkait seperti Kementerian Agama, Dinas Pendidikan, WHO, hingga UNICEF untuk memberikan edukasi kepada masyarakat atau sekolah-sekolah yang menolak imunisasi.

    “Isu-isu (hoaks) yang dikembangkan, digoreng-goreng itu yang bikin masyarakat itu takut. Bahkan kemarin itu ada yang menyampaikan (anak) yang meninggal itu karena telah imunisasi (campak),” kata drg Ellya.

    “Kita lihat dulu permasalahannya di sana (sekolah) itu apa. Apakah takut efek samping seperti demam, apakah takit halal atau tidak aman, kami petakan dulu,” sambungnya.

    Dikutip dari laman sumenepkab.go.id, Pemkab menginisasi pelaksanaan imunisasi setelah mengadakan rapat koordidasi.

    Pemkab telah menandatangani Surat Edaran 400.7/191/102.5/2025 tentang Pelaksanaan Outbreak Response Immonization (ORI) Campak di Kabupaten Sumenep. Dalam pelaksanaannya, Pemkab menyasar 26 puskesmas untuk melakukan ORI campak secara serentak.

    “Dari total 17 kasus meninggal (di Sumenep) terdapat 3 kasus dengan hasil laboratorium positif campak, sedangkan kasus lainnya merupakan campak klinis,” kata drg Ellya.

    “Mayoritas kasus tidak mendapatkan imunisasi dan tidak melakukan pemeriksaan specimen di laboratorium. Mayoritas kasus juga mengalami kasus komplikasi seperti bronkopneumonia (88 persen), GEA (35 persen), malnutrisi (6 persen), TB (6 persen), dan anemia 6 persen,” lanjutnya.

    Sampai pekan keempat Agustus 2025, drg Ellya menegaskan angka infeksi campak di Sumenep terbilang menurun. Ini juga berdampak pada menurunnya angka pasien campak yang dirawat di rumah sakit.

    “Pada minggu ini, ada penurunan dari kasus campak. Di beberapa Puskesmas dan rumah sakit itu tidak sampai 200 orang (yang dirawat). Terakhir kemarin kami sudah koordinasi dengan rumah sakit dan Puskesmas, kondisi (pasien) stabil,” tutupnya.

    (dpy/kna)

  • Ketua DPR Tunjukan Komitmen Dukungan ke Palestina

    Ketua DPR Tunjukan Komitmen Dukungan ke Palestina

    JAKARTA- Ketua DPR RI Puan Maharani yang mengirimkan surat resmi kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sekjen PBB) Antonio Guterres untuk mendesak penghentian agresi Israel dan operasi kemanusiaan di Gaza, Palestina. Sebagai representasi parlemen, langkah Puan dinilai sebagai bentuk komitmen RI untuk mendukung kemerdekaan Palestina. 

    “Surat tersebut menunjukkan bahwa Indonesia secara konsisten meletakkan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai bagian yang tidak boleh dikompromikan dalam upaya untuk turut serta mewujudkan perdamaian dunia,” ujar Pemerhati Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia (UI), Shofwan Al Banna Choiruzzad di Jakarta, Sabtu, 16 Agustus. 

    Shofwan memuji bahasa lugas yang disampaikan cucu Bung Karno tersebut. Menurutnya, apa yang disampaikan Puan berdasarkan fakta yang telah diakui secara luas oleh berbagai lembaga internasional.

    “Di saat berbagai pihak mencoba mengaburkan masalah, surat ini dengan jujur dan lugas mengatakan bahwa Israel telah secara sengaja dan sistematis menggunakan kelaparan sebagai senjata perang dan melanggar hukum internasional,” kata Shofwan.

    Shofwan juga menyoroti skeptisisme sebagian kalangan terhadap efektivitas PBB, di mana Indonesia disebut tetap memiliki ruang diplomatik untuk mendorong aksi nyata komunitas global.

    “Indonesia bisa mendorong Resolusi Uniting for Peace di Majelis Umum dan memobilisasi negara-negara yang peduli pada kemanusiaan dan perdamaian untuk memaksa Israel menghentikan blokade dan agresinya di Gaza dan Tepi Barat,” tambahnya.

    Di sisi lain, Shofwan menekankan pentingnya inisiatif kolektif dari negara-negara dunia untuk menjamin akses kemanusiaan di Gaza, seperti yang juga disampaikan oleh Puan.

    “Kalau masyarakat sipil seperti Greta Thunberg berani mencoba menembus blokade dan berhasil menghadirkan tekanan serius untuk Israel, bayangkan jika ratusan negara mengirimkan dokter dan bantuan makanan dalam sebuah konvoi kemanusiaan, dikawal oleh kapal berbagai negara? Tidak untuk menyerang siapapun, tapi untuk menjamin kemanusiaan sebagaimana piagam PBB,” kata Shofwan.

    Sebelumnya, Puan mengirimkan surat resmi kepada Sekjen PBB Antonio Guterres di New York, Amerika Serikat (AS). Dalam surat tersebut, Puan menegaskan apa yang terjadi di Gaza saat ini bukanlah sekadar krisis pangan. Menurutnya, kelaparan warga sipil diakibatkan oleh kebijakan yang disengaja dan dijalankan secara sistematis.

    “Apa yang kita saksikan di Gaza saat ini bukan lagi sekadar krisis pangan, melainkan kelaparan yang diakibatkan oleh kebijakan yang disengaja dan sistematis untuk menyasar warga sipil dengan menggunakan kelaparan sebagai senjata perang,” ungkap Puan. 

    Surat yang dikirim Puan ke Antonio Guterres berjudul ‘Seruan Mendesak untuk Tindakan Segera Guna Mengakhiri Bencana Kemanusiaan di Jalur Gaza’. Isi surat Puan pun menyoroti soal ratusan ribu warga Gaza yang kelaparan akibat pengeboman massal.

    Puan kemudian mengutip laporan UNICEF yang mengungkapkan saat ini terdapat lebih dari 1,1 juta warga yang menghadapi kerawanan pangan parah. Bahkan, ada 500.000 anak terindikasi malanutrisi akut.

    Selain itu, lebih dari 70 persen lahan pertanian, pasar, hingga toko makanan telah hancur. Dilaporkan pula akses terhadap makanan pokok dan pelayanan kesehatan juga dibatasi. Puan menegaskan tindakan Israel tidak bisa dibiarkan.

    Mantan Menko PMK itu mendorong PBB segera mengumumkan status darurat kelaparan di Jalur Gaza. Puan juga menuntut Dewan Keamanan PBB menggelar sidang darurat, untuk mencegah penggunaan kelaparan sebagai metode peperangan.

    Kepada PBB, Puan pun meminta agar organisasi organisasi antarpemerintah global tersebut memastikan penyediaan akses kemanusiaan secara penuh, cepat, aman, dan tanpa hambatan di seluruh Gaza.

    “Kami sepenuhnya mendukung kepemimpinan Anda secara moral dan kelembagaan, dan percaya bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa akan bertindak sesuai urgensi yang dibutuhkan krisis ini,” kata Puan Maharani.

  • Kelaparan, Putus Sekolah & Jadi Yatim, Ini Realita Anak-Anak di Gaza

    Kelaparan, Putus Sekolah & Jadi Yatim, Ini Realita Anak-Anak di Gaza

    Daftar Isi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Selama dua tahun terakhir, puluhan ribu anak di wilayah Gaza, Palestina telah terbunuh, terluka, dan menjadi yatim piatu. Masa kanak-kanak yang indah tak lagi mereka rasakan dan menyisakan trauma mendalam.

    Seperti yang dirasakan Rahma Abu Abed berusia 12 tahun yang mengaku rumahnya di Gaza Selatan telah rata dengan tanah akibat perang dengan Israel. Sebagian besar pakaiannya tertimbun reruntuhan.

    Rahma sekarang tinggal di gudang peralatan memancing bersama orang tua dan empat saudara kandungnya, yang berbagi tempat dengan beberapa keluarga pengungsi lainnya. Ia biasanya makan satu kali sehari.

    Melansir laporan The New York Times, setelah 22 bulan kondisi perang, masa kanak-kanak di Gaza hampir tidak terasa. Terdapat sekitar 1,1 juta anak di wilayah tersebut dan membutuhkan dukungan kesehatan mental atau psikososial, menurut penelitian Perserikatan Bangsa-Bangsa.

    PBB mengatakan bahwa sebagian besar dari mereka telah putus sekolah selama hampir dua tahun. Setelah blokade pangan Israel selama 11 minggu tahun ini, semua anak di bawah usia 5 tahun berisiko mengalami malnutrisi akut.

    Operasi militer Israel, yang dimulai setelah serangan yang dipimpin Hamas di Israel selatan pada 7 Oktober 2023, telah menewaskan lebih dari 18.000 warga Palestina di bawah usia 18 tahun, menurut otoritas kesehatan Gaza, yang tidak membedakan antara warga sipil dan kombatan.

    Investigasi New York Times tahun lalu menemukan bahwa sejak dimulainya perang, militer Israel telah secara signifikan melonggarkan perlindungan yang dimaksudkan untuk melindungi warga sipil, termasuk anak-anak.

    “Tanda-tanda normal masa kanak-kanak telah hilang, digantikan oleh kelaparan, ketakutan, dan trauma yang menguras tenaga. Perang ini dilancarkan seolah-olah masa kanak-kanak tidak memiliki tempat di Gaza,” kata James Elder, juru bicara UNICEF yang secara rutin mengunjungi Gaza selama perang.

    Militer Israel menyatakan bahwa mereka berupaya meminimalkan kerugian bagi semua warga sipil, termasuk anak-anak, dan menyalahkan militan Hamas karena bersembunyi di antara mereka dan terkadang bersama keluarga mereka sendiri.

    Tentara Pasukan Pertahanan Israel (IDF) melaporkan melihat anak-anak digunakan sebagai pengintai oleh kelompok militan Palestina, yang juga menculik dan membunuh anak-anak pada 7 Oktober 2023.

    “Kerusakan yang disengaja terhadap warga sipil, terutama anak-anak, dilarang keras dan sepenuhnya bertentangan dengan hukum internasional dan perintah mengikat IDF,” kata militer dalam sebuah pernyataan.

    Hidup dalam kelaparan

    Kehidupan di Gaza telah dipenuhi kelaparan. Israel telah membatasi pasokan makanan ke wilayah kantong itu sejak awal perang, dan situasinya semakin memburuk sejak Maret, ketika Israel memulai blokade.

    Pada akhir Mei, Israel mengizinkan sebagian distribusi makanan kembali ke wilayah tersebut, dengan menggunakan kontraktor swasta untuk mendistribusikan makanan dari beberapa lokasi.

    Namun bagi keluarga seperti Rahma, hal itu tidak menyelesaikan masalah. Sebab untuk mencapai lokasi-lokasi tersebut sangat berbahaya dan melelahkan, bahkan sebagian lokasi dibangun di belakang garis militer Israel dan jauh dari tempat tinggal kebanyakan orang.

    Ratusan orang telah ditembak dan dibunuh oleh tentara Israel saat mereka mencoba mencapai lokasi tersebut, dan mereka yang berhasil sampai di sana tanpa cedera seringkali mendapati makanan telah diambil.

    Meskipun beberapa makanan tersedia di pasar, harganya seringkali tidak terjangkau bagi keluarga seperti Rahma; orang tuanya, seperti sebagian besar warga Gaza, tidak memiliki pekerjaan. Meskipun harga pangan telah turun dalam beberapa hari terakhir setelah peningkatan pengiriman, harganya masih sangat tinggi.

    Pada 13 Agustus, menurut Kamar Dagang dan Industri Gaza, harga tepung lebih dari 10 kali lipat harga sebelum perang.

    Untuk meringankan krisis pangan, yang menuai kecaman global, Israel baru-baru ini melonggarkan pembatasan konvoi pangan PBB dan mengizinkan angkatan udara asing untuk menjatuhkan paket bantuan melalui udara di atas Gaza.

    Dunia tanpa sekolah

    Di Gaza saat ini, permainan berpura-pura sebagai guru merupakan cara paling dekat bagi kebanyakan anak untuk mendapatkan sekolah. Sekitar 95 persen sekolah rusak akibat pertempuran, menyebabkan sebagian besar anak-anak kehilangan pendidikan selama hampir dua tahun ajaran, menurut data PBB.

    Banyak sekolah telah diubah menjadi kamp pengungsian. Israel secara teratur menyerang mereka, dengan mengatakan bahwa para pemimpin Hamas telah menggunakannya sebagai kedok.

    Di kamp pengungsian, saat ini tidak ada sekolah. Selama beberapa bulan, para relawan di kamp tersebut menjalankan ruang kelas darurat, mengajar kelas ad hoc di tenda, tetapi sistem itu berakhir ketika gencatan senjata terakhir berakhir pada bulan Maret.

    PBB mencoba menyediakan pengajaran dasar melalui portal daring. Beberapa guru juga mengirimkan materi pendidikan kepada orang tua melalui WhatsApp. Namun, bagi beberapa keluarga, internet seringkali tidak dapat diakses.

    Sulit untuk terhubung ke jaringan telepon dalam waktu lama, dan baterai telepon cepat habis. Tak jarang, beberapa orang tua lebih memilih mengajarkan anaknya sendiri.

    Masa kecil tanpa orang tua

    Israel terus merampas masa kecil dari anak-anak Gaza. Tak cukup dengan membunuh tubuh dan mengebiri pendidikan, mereka juga mencabut anak-anak dari pelukan orang tua.

    Di salah satu halaman buku catatannya, Sajed al-Ghalban yang berusia 10 tahun, ia menggambar ibu dan ayahnya di rumah lama mereka di Khan Younis, Gaza selatan. Di halaman lain, terdapat gambar ibunya yang sedang mengajaknya ke kios sayur.

    Inilah pelukan terdekat yang bisa Sajed dapatkan dari orang tuanya. Ayahnya, Muhammad, dan ibunya, Shireen, tewas dalam serangan yang juga menghancurkan rumah mereka pada minggu ketiga perang di tahun 2023.

    Militer Israel mengatakan rumah itu telah digunakan untuk tujuan teror dan menolak berkomentar apakah Muhammad al-Ghalban adalah targetnya. Salah satu bibi Sajed yang masih hidup, Amany Abu Salah, mengatakan ayah Sajed tidak memiliki hubungan dengan kelompok militan Hamas. 

    Sajed selamat dari serangan itu tanpa cedera, tetapi saudara perempuannya, Alma, yang kini berusia 12 tahun, dan saudara laki-lakinya, Abdallah, yang kini berusia 8 tahun, mengalami cedera kepala, menurut video setelah kejadian dan kerabat mereka yang selamat. Alma kemudian dievakuasi ke Turki untuk perawatan, ungkap kerabat kepada The Times.

    Selama hampir dua tahun, Sajed dan Abdallah dirawat oleh seorang bibi lain. Kemudian, pada bulan Juli, bibi tersebut tewas dalam sebuah serangan di tenda terdekat yang juga melukai kedua anak laki-laki tersebut, menurut Abu Salah, bibi yang selamat. Kini, mereka tinggal di tenda lain bersama Abu Salah dan ketiga anaknya.

    Kedua bersaudara itu termasuk di antara sedikitnya 40.000 anak yang telah kehilangan sedikitnya satu orang tua sejak dimulainya perang, menurut statistik yang diterbitkan oleh Otoritas Palestina di Tepi Barat, yang mempekerjakan ribuan pejabat di Gaza.

    Anak-anak tersebut tinggal di sebuah perkemahan yang dibangun oleh para relawan lokal, terutama untuk merawat mereka yang yatim piatu akibat perang; di kamp ini saja, terdapat sekitar 1.200 anak yatim piatu.

    Tanpa orang tua dan seorang adik laki-laki yang harus dirawat, Sajed berada dalam kondisi terombang-ambing antara masa kanak-kanak dan dewasa dini. Terkadang ia menggambar gambar-gambar kekanak-kanakan di buku catatannya. Atau ia bermain kelereng dan petak umpet dengan anak-anak lain di kamp. Namun, ia juga semakin berupaya membantu bibinya menjaga keutuhan rumah tangga sementara mereka.

    “Sayalah orangnya sekarang. Saya akan pergi membeli apa yang kita butuhkan,” kata Sajed kepada bibinya.

    (fsd/fsd)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Antrean Stunting: Retorika Generasi Emas yang Tak Terkawal
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        15 Agustus 2025

    Antrean Stunting: Retorika Generasi Emas yang Tak Terkawal Nasional 15 Agustus 2025

    Antrean Stunting: Retorika Generasi Emas yang Tak Terkawal
    Alumnus Sekolah Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta. Anggota Dewan Pembina Wahana Aksi Kritis Nusantara (WASKITA), Anggota Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI). Saat ini aktif melakukan kajian dan praktik pendidikan orang dewasa dengan perspektif ekonomi-politik yang berkaitan dengan aspek sustainable livelihood untuk isu-isu pertanian dan perikanan berkelanjutan, mitigasi stunting, dan perubahan iklim di berbagai daerah.
    DI TENGAH
    gegap gempita menyambut hari kemerdekaan ke 80 tahun Indonesia, sayup-sayup terdengar rintihan lirih anak-anak usia di bawah lima tahun (balita). Hingga kini jutaan balita masih harus berjuang melepaskan diri dari status stunting.
    Retorika pembangunan dan ambisi besar bangsa seperti kehilangan makna ketika tubuh-tubuh kecil itu terus tumbuh dalam kekurangan gizi, dan perlahan masa depannya terampas.
    Jika ulang tahun kemerdekaan adalah momentum reflektif, maka pertanyaan yang layak diajukan bukanlah seberapa jauh kita melangkah, melainkan siapa saja yang tertinggal dalam perjalanan panjang republik ini.
    Target ambisius pemerintah untuk menurunkan angka stunting menjadi 14 persen pada 2024 resmi meleset.
    Data dari hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024, prevalensi stunting nasional turun dari 21,5 persen di tahun 2023 menjadi 19,8 persen atau setara dengan sekitar 4,48 juta balita, dengan sekitar 377.000 kasus baru berhasil dicegah.
    Meski demikian, pemerintah membungkus penurunan stunting dari tahun ke tahun dengan retorika statistik.
    Penurunan diglorifikasi sebagai keberhasilan, meski tak sesuai target dan menyamarkan realitas lambatnya kerja di bawah kendali birokrasi.
    Kegagalan memenuhi target ini sudah dapat diduga. Pada 2023, penurunan stunting hanya 0,1 persen dari tahun sebelumnya.
    Atas dasar itu pencapaian penurunan di 2024 oleh pemerintah dianggap sebagai keberhasilan, meski hanya turun 1,7 persen.
    Sementara dana yang digelontorkan untuk isu tersebut pada tahun 2024, lebih dari Rp 186,4 triliun (APBN, 2024).
    Artinya, anggaran yang tergolong besar tersebut belum mampu membuat program percepatan penurunan stunting memutus siklus kegagalan pertumbuhan anak secara signifikan.
    Ironis memang, di tengah jargon “Indonesia Emas 2045”, masalah stunting masih bergerak seperti antrean panjang tanpa ujung yang jelas.
    Anak-anak dengan tinggi badan yang tak sesuai usia karena kekurangan gizi kronis—baik sejak dalam kandungan maupun dua tahun pertama kehidupan, lalu terganggu perkembangan kognitifnya—seolah dipaksa menjadi penumpang gelap dalam perjalanan menuju cita-cita besar bangsa.
    Jika menelisik akar masalah lambannya penanganan stunting, dua batu sandungan utama tampak nyata: birokrasi yang kaku dan ketergantungan pada pendanaan negara yang tidak selalu tersedia tepat waktu.
    Banyak program penanganan stunting di daerah harus menunggu pencairan Dana Alokasi Khusus (DAK) atau instruksi vertikal dari kementerian teknis, sementara kebutuhan di lapangan mendesak dan tidak bisa ditunda.
    Pola tersebut membuat kader-kader posyandu yang menjadi garda terdepan dalam penanganan stunting, kerap mengelus dada karena tidak mampu berbuat maksimal di tengah realitas masalah yang mereka pahami.
    Stunting bukan sekadar soal fisik, tetapi tentang peluang hidup anak di masa depan—dan setiap hari yang terlewat tanpa penanganan adalah kerugian bersama sebagai bangsa.
    Lebih jauh, pelibatan masyarakat dalam program ini minim. Padahal, kunci keberhasilan program berbasis perubahan perilaku—seperti pola makan, sanitasi, dan pemantauan kehamilan—tidak bisa hanya bertumpu pada intervensi pemerintah.
    Pengalaman di isu lain menunjukkan bahwa ketika masyarakat dilibatkan dalam identifikasi masalah dan solusi, hasilnya lebih berdampak dan berkelanjutan.
    Salah satu fase krusial yang kurang menjadi perhatian adalah masa remaja. Padahal, inilah jembatan penentu generasi berikutnya. Remaja putri yang mengalami anemia karena pola makan buruk berisiko tinggi melahirkan anak stunting.
    Di banyak daerah, praktik perkawinan dini masih berlangsung karena tekanan adat dan kemiskinan struktural. Tubuh remaja yang belum matang secara biologis maupun psikis dipaksa mengandung dan membesarkan anak, dengan konsekuensi buruk bagi tumbuh kembang anak tersebut.
    Lebih dari itu, banyak remaja korban kekerasan seksual, pernikahan paksa, hingga penyalahgunaan narkoba—semuanya berdampak langsung pada kesehatan reproduksi, kondisi mental, dan masa depan mereka sebagai calon orangtua.
    Tanpa intervensi serius pada fase ini, kita justru memperkuat mata rantai kegagalan tumbuh dari satu generasi ke generasi berikutnya. Maka, memperkuat remaja hari ini adalah fondasi penting bagi anak-anak bebas stunting di masa depan.
    Salah satu ironi terbesar dalam narasi penurunan stunting nasional adalah kenyataan bahwa penurunan angka tidak selalu berbanding lurus dengan perbaikan kondisi anak.
    Anak-anak yang melewati usia lima tahun secara otomatis tidak lagi masuk dalam kategori pengukuran stunting, walaupun mereka tetap mengalami dampak jangka panjang akibat pertumbuhan yang terganggu.
    Statistik nasional pun “kehilangan” mereka, dan ini yang membuat keberhasilan semu dari penurunan angka stunting.
    Penurunan ini, jika ditelusuri lebih lanjut, bukan karena keberhasilan pelayanan gizi atau perubahan perilaku di tingkat keluarga.
    Sebaliknya, banyak terjadi karena perpindahan usia—anak yang dulunya teridentifikasi stunting, kini tidak tercatat lagi karena melewati usia 59 bulan. Pemerintah tidak memiliki data yang memadai untuk konteks tersebut.
    Namun, penulis menemui fakta lapangan di berbagai daerah, bahwa pergantian umur menjadi faktor yang determinan dari penurunan angka stunting.
    Jika hal ini berlaku umum, maka muncul pertanyaan mendalam: apakah kita benar-benar menyelesaikan masalah, atau hanya memindahkannya dari satu kategori statistik ke kategori tak terlihat?
    Laporan UNICEF dan WHO secara konsisten menekankan bahwa dampak stunting bersifat jangka panjang—menurunnya kecerdasan, produktivitas, dan meningkatnya risiko penyakit kronis di usia dewasa.
    Tanpa strategi komprehensif berkelanjutan, kita bukan hanya kehilangan satu generasi, tetapi mewariskan kelemahan struktural pada generasi berikutnya.
    Jika pemerintah benar-benar serius menuju “Generasi Emas 2045”, maka pendekatan dalam penanganan stunting harus berubah drastis.
    Kita membutuhkan desentralisasi kendali, pelibatan aktif masyarakat sipil, dan pembiayaan fleksibel yang bisa merespons kebutuhan cepat.
    Pemerintah daerah hingga di tingkat desa harus diberi ruang untuk berinovasi tanpa terbelenggu oleh sistem keuangan yang terjeda.
    Lebih penting lagi, indikator keberhasilan tidak boleh semata-mata berdasarkan penurunan angka di atas kertas, melainkan perubahan nyata dalam kualitas hidup anak-anak.
    Sistem pemantauan perlu diperluas hingga usia sekolah dasar agar anak-anak yang pernah stunting tetap menjadi bagian dari intervensi, bukan sekadar bayang-bayang statistik.
    Langkah lain yang mendesak adalah memperkuat kolaborasi lintas sektor—pendidikan, kesehatan, pertanian, hingga perlindungan sosial.
    Sebab stunting bukan masalah gizi semata, tapi cerminan dari ketimpangan akses terhadap sumber daya dasar: makanan bergizi, air bersih, sanitasi, dan informasi kesehatan.
    Sudah saatnya pemerintah berhenti dengan berbagai jargon populis tanpa peta jalan yang rasional dan komprehensif. Jargon-jargon populis tidak akan membuat antrean panjang menuju stunting berhenti.
    Jumlah anak-anak stunting bukan sekadar data, tetapi mereka berhak menjadi calon-calon pemimpin masa depan. Hak itulah yang direnggut secara sistemik akibat kegagalan pembangunan.
    Generasi emas tak akan lahir dari tubuh yang lemah dan pikiran yang tertinggal. Kita tidak bisa membangun Indonesia 2045 dengan mengabaikan anak-anak hari ini.
    Menangani stunting harus menjadi panggilan moral, bukan sekadar proyek tahunan. Karena dalam setiap tubuh kecil yang gagal tumbuh, tersimpan dosa sejarah: masa lalu, saat ini, dan masa depan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Video UNICEF soal Penyebab Kematian Rata-rata 28 Anak Gaza Dalam Sehari

    Video UNICEF soal Penyebab Kematian Rata-rata 28 Anak Gaza Dalam Sehari

    Pejabat UNICEF mengungkap lebih dari 18.000 anak tewas di Gaza sejak awal serangan Israel. Artinya, rata-rata 28 anak yang tewas tiap hari.

    Kematian ini disebut akibat pemboman, kelaparan dan kurang gizi, serta kurangnya bantuan vital.

    Klik di sini untuk menonton video-video lainnya.