NGO: UNICEF

  • Saatnya Indonesia Punya ‘KNKT’ untuk Program MBG

    Saatnya Indonesia Punya ‘KNKT’ untuk Program MBG

    Bisnis.com, JAKARTA – Ketika sebuah pesawat jatuh, publik menunggu satu hal yakni laporan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Laporan ini tidak berhenti pada kronologi, melainkan mendalami penyebab teknis dan operasional, apakah ada kesalahan prosedur kokpit, kerusakan sistem navigasi, atau faktor cuaca yang tidak diantisipasi.

    Setiap temuan selalu diikuti rekomendasi berupa kewajiban pelatihan ulang pilot, pembaruan regulasi pemeliharaan, atau modifikasi sistem peringatan di pesawat. Semua laporan dipublikasikan secara terbuka, dan setiap pilot diwajibkan mempelajarinya, jika mengabaikan, ada konsekuensi hukum.

    Sistem inilah yang membuat dunia penerbangan Indonesia belajar dari setiap insiden, dan pada akhirnya mampu menurunkan angka kecelakaan. Hal yang sama seharusnya berlaku untuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG).

    Jika terjadi insiden keamanan pangan, Komite Nasional Keselamatan MBG (KNK-MBG) harus turun tangan, menyelidiki penyebabnya secara independen, apakah bahan pangan tidak bersertifikat, sayur dimasak terlalu dini, atau distribusi berlangsung tanpa pendingin. Rekomendasi yang keluar wajib diterapkan: hanya bahan bersertifikat yang boleh dipakai, sayuran dimasak paling akhir sebelum distribusi, dapur satelit atau boks berinsulasi digunakan jika jarak tempuh lebih dari 1 jam.

    Semua laporan dipublikasikan terbuka, dan setiap Kepala Dapur atau SPPG MBG wajib membacanya, seperti halnya setiap pilot wajib membaca laporan KNKT. Dengan begitu, setiap insiden keamanan pangan bukan sekadar berita, melainkan menjadi pelajaran nasional yang membuat sistem MBG semakin aman. Landasan hukumnya jelas, UU Pangan (UU No. 18/2012), UU Kesehatan (UU No. 36/2009), UU Perlindungan Anak (UU No. 35/2014), dan UU Perlindungan Konsumen (UU No. 8/1999) menegaskan hak anak atas pangan yang aman serta kewajiban negara melindungi mereka.

    Presiden pun memiliki kewenangan penuh untuk membentuk lembaga independen semacam ini melalui Peraturan Presiden, sebagaimana yang pernah dilakukan untuk KNKT. Komite ini juga dirancang inklusif. Di dalamnya duduk bersama perwakilan pemerintah, orang tua murid, guru, ahli gizi, organisasi masyarakat sipil, hingga praktisi dapur massal.

    Dengan begitu, pengawasan MBG tidak hanya datang dari birokrat di Jakarta, tetapi juga dari mereka yang setiap hari bersentuhan langsung dengan anak-anak penerima manfaat. Dan yang paling penting: KNK-MBG harus dibiayai penuh oleh negara melalui APBN dengan pagu mandiri. Hanya dengan begitu independensinya terjaga, tidak tergantung pada kementerian pelaksana, dan berani ber-suara apa adanya ketika ada kelalaian.

    MBG adalah program dengan skala yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Indonesia. Targetnya mencakup lebih dari 80 juta penerima manfaat, mulai dari murid sekolah dasar, siswa madrasah, hingga ibu hamil dan balita.

    Setiap hari, jutaan porsi makanan akan diproduk-si dan didistribusikan dari puluhan ribu dapur di seluruh nusantara. Skala sebesar ini tentu membawa manfaat besar peningkatan gizi anak, penurunan stunting, hingga perbaikan kualitas pendidikan. Tetapi, skala besar juga berarti risiko besar.

    Jika satu dapur saja lalai, ratusan anak bisa terdampak. Jika satu rantai distribusi gagal, ribuan anak bisa sakit dalam waktu bersamaan. Karena itu, diperlukan sistem keselamatan pangan yang tidak hanya ketat, tetapi juga independen, transparan, dan bisa dipercaya publik. Indonesia sudah merasakan beberapa insiden keamanan pangan sejak uji coba MBG dilakukan.

    Mulai dari kasus ayam tanpa sertifikat yang terkontaminasi bakteri, sayur yang basi karena distribusi terlalu lama, hingga makan-an yang menimbulkan reaksi alergi pada anak karena tidak ada pencatatan riwayat alergi.

    Semua kasus ini memperlihatkan bahwa tanpa mekanisme investigasi independen, masalah hanya ditangani sebatas “klarifikasi” atau pencopotan sementara pemasok, tanpa pembelajaran yang mendalam untuk mencegah terulang.

    NEGARA LAIN

    India menjalankan Mid-Day Meal Scheme (PM-POSHAN) yang menjangkau sekitar 120 juta anak di 1,27 juta sekolah (Global Child Nutrition Foundation [GCNF], 2023). Namun skala besar ini juga membuka kerentanan.

    Pada 2013, 23 anak meninggal di Bihar akibat makanan yang terkontaminasi pestisida. Audit kemudian menemukan kelemahan serius: dapur yang tidak higienis, penyimpanan pangan yang buruk, serta lemahnya pengawasan (Government of India, 2013; UNICEF, 2019).

    Bahkan dalam lima tahun terakhir, tercatat lebih dari 74 insiden keamanan pangan yang membuat lebih dari 4.000 anak jatuh sakit. Sebaliknya, Brasil dengan Programa Nacional de Alimentação Escolar (PNAE) memberi makan sekitar 40 juta siswa sekolah negeri setiap hari (GCNF, 2023).

    Program ini melibatkan ahli gizi dalam penyusunan menu dan diawasi dewan pangan sekolah. Pengawasan diperkuat lagi dengan ada-nya School Feeding Council (CAE), yang berfungsi memastikan legalitas, trans-paransi, serta keamanan pangan dengan mengaudit penggunaan dana publik, memeriksa kondisi higienis, memastikan kepatuhan menu, dan mewajibkan sedikitnya 30% pengadaan berasal dari petani kecil dan keluarga (Rocha, 2009; UNOSSC, 2024).

    Kombinasi pengawasan partisipatif dan keahlian teknis inilah yang membuat Brasil relatif terhindar dari tragedi besar, meski insiden lokal tetap terjadi. Sementara itu, Amerika Serikat menjalankan National School Lunch Program (NSLP) yang melayani sekitar 29,4 juta anak per hari, dengan 21,1 juta menerima makanan gratis atau ber-subsidi (Food Research & Action Center [FRAC], 2023).

    Pada dekade 1990-an, tercatat 195 wabah penyakit akibat pangan di sekolah yang melibatkan ribuan anak (Centers for Disease Control and Prevention [CDC], 2015). Insiden ini kemudian men-dorong investigasi sistematis melalui National Outbreak Reporting System (NORS) dan melahirkan reformasi besar: penerapan wajib standar HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point) di setiap sekolah (FAO, 2020).

    Lebih dari sekadar urusan gizi, MBG adalah urusan kepercayaan publik. Jika anak-anak jatuh sakit akibat makanan yang seharusnya menyehatkan, maka bukan hanya orang tua yang kehi-langan kepercayaan, tetapi juga seluruh masyarakat. Program besar yang digadang sebagai warisan politik bisa runtuh hanya karena kega-galan dalam manajemen kea-manan pangan.

    Di sisi lain, jika ada lembaga independen seperti KNK-MBG, setiap masalah bisa ditangani secara profesional, transparan, dan sistematis. Publik melihat bahwa negara hadir tidak hanya memberi makan, tetapi juga menjamin keamanan. Kepercayaan publik pun terjaga, legitimasi politik pemerintah diperkuat, dan MBG bisa berjalan berkelanjutan hingga 2045. Indonesia tidak perlu menunggu tragedi besar untuk bertindak.

    Saatnya Presiden membentuk KNK-MBG agar program MBG tidak hanya bergizi, tetapi juga aman dan dipercaya rakyat.

  • 7 Fakta Dua Tahun Perang Gaza: Jumlah Korban-Kehancuran Massal

    7 Fakta Dua Tahun Perang Gaza: Jumlah Korban-Kehancuran Massal

    Daftar Isi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Perang Israel-Gaza telah berlangsung selama tepat 2 tahun lamanya. Hal ini awalnya dipicu serbuan milisi penguasa Gaza Palestina, Hamas, ke Israel yang akhirnya memicu balasan membabi buta dari Negeri Zionis.

    Hingga dua tahun berlangsung, masih belum ada tanda-tanda pasti terkait penghentian serangan. Israel masih terus menyerbu Gaza dengan tujuan untuk menghabisi Hamas.

    Meski begitu, dampak korban jiwa dan kerusakan akibat serangan ini sangatlah masif dan tersebar rata di sebagian besar wilayah Gaza. Berikut sejumlah fakta yang ada di balik peperangan ini dikutip Al Jazeera, Selasa (7/10/2025)

    1. Korban Jiwa dan Luka-Luka Akibat Serangan

    Lebih dari 67.000 warga Palestina telah terbunuh dalam 2 tahun terakhir, dengan ribuan lainnya diyakini masih terperangkap di bawah reruntuhan. Angka korban tewas ini sangat mengejutkan, setara dengan sekitar satu dari setiap 33 orang di Gaza, atau sekitar 3% dari populasi sebelum perang dimulai. Jumlah ini mencerminkan skala kehancuran manusia yang belum pernah terjadi sebelumnya.

    Dampak pada anak-anak sangat mengerikan. Setidaknya 20.000 anak-anak termasuk di antara korban tewas, yang berarti rata-rata satu anak terbunuh setiap jam selama 24 bulan terakhir. Angka resmi ini dihitung berdasarkan jenazah yang dibawa ke rumah sakit, dan diperkirakan jumlah sebenarnya jauh lebih tinggi karena tidak termasuk mereka yang tewas di bawah reruntuhan atau hilang.

    Selain korban tewas, lebih dari 169.000 warga Palestina terluka selama dua tahun konflik, yang berarti sekitar satu dari setiap 14 orang di Gaza mengalami cedera. Banyak dari luka-luka ini bersifat mengubah hidup, dengan dampaknya yang meluas jauh melampaui kematian.

    Luka fisik yang parah telah mengakibatkan krisis amputasi. UNICEF memperkirakan bahwa antara 3.000 hingga 4.000 anak di Gaza telah kehilangan satu atau lebih anggota badan.

    Adapun korban tewas dari sisi Israel pada serangan 7 Oktober 2023 mencapai sekitar 1.200 orang dengan 251 lainnya menjadi tawanan.

    2. Keruntuhan Fasilitas Kesehatan

    Sistem layanan kesehatan Gaza berada dalam kondisi runtuh total akibat serangan Israel yang terus menerus. Selama dua tahun, setidaknya 125 fasilitas kesehatan, termasuk 34 rumah sakit, telah rusak parah. Serangan ini membuat pasien kehilangan akses terhadap layanan medis esensial.

    Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sejak Oktober 2023, telah didokumentasikan lebih dari 790 serangan terhadap fasilitas kesehatan, termasuk pemboman udara terhadap rumah sakit, klinik, dan ambulans. Serangan-serangan ini juga telah menewaskan setidaknya 1.722 petugas kesehatan dan bantuan.

    Pola serangan meluas hingga penargetan dan penangkapan petugas kesehatan. Ratusan staf medis telah dikeluarkan secara paksa dari bangsal rumah sakit dan ditahan di penjara serta kamp militer Israel. Per 22 Juli, Pasukan Israel menahan 28 dokter terkemuka, termasuk 18 spesialis senior di bidang-bidang vital seperti bedah, anestesiologi, dan pediatri, yang semakin melumpuhkan sistem kesehatan Gaza yang sudah hancur.

    Tragisnya, dua dokter senior dilaporkan tewas karena penyiksaan dalam tahanan Israel, dengan jenazah mereka masih ditahan. Banyak dokter ditahan tanpa dakwaan selama lebih dari 400 hari, tiga di antaranya ditahan selama lebih dari 600 hari, yang merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap perlindungan khusus yang diberikan kepada personel medis di bawah hukum internasional.

    3. Krisis Kelaparan dan Malnutrisi yang Parah

    Israel dituduh sengaja mengatur kelaparan yang meluas di Gaza melalui pembatasan militer yang memblokir bantuan selama berbulan-bulan dan sistem distribusi makanan yang berbahaya. Kelaparan resmi telah dikonfirmasi di Kegubernuran Gaza pada 22 Agustus oleh sistem IPC (Integrated Food Security Phase Classification) PBB, menjadikannya kasus kelaparan pertama yang diakui secara resmi di Timur Tengah.

    Kelaparan diperkirakan akan meluas ke Deir el-Balah dan Khan Younis pada akhir September, dengan hampir sepertiga populasi (641.000 orang) diperkirakan menghadapi kondisi bencana (Fase 5 IPC). Situasi ini telah merenggut nyawa setidaknya 459 orang, termasuk 154 anak-anak, yang meninggal karena kelaparan.

    Selain itu, kekurangan gizi di kalangan anak-anak melonjak dengan kecepatan yang sangat tinggi. Pada bulan Juli saja, lebih dari 12.000 anak diidentifikasi menderita kekurangan gizi akut, enam kali lebih tinggi dibandingkan pada awal tahun.

    Hampir satu dari empat anak menderita kekurangan gizi akut yang parah. Selain itu, satu dari lima bayi lahir prematur atau di bawah berat badan normal, menunjukkan krisis kesehatan publik yang parah dan mengancam generasi masa depan Gaza.

    4. Penghancuran Infrastruktur dan Krisis Perumahan

    Tingkat kehancuran di seluruh Gaza hampir total. Menurut OCHA, per Agustus, 92% dari semua bangunan perumahan dan 88% dari semua fasilitas komersial telah rusak atau hancur. Analisis satelit oleh UNOSAT juga menemukan bahwa hampir 78% dari semua struktur di daerah kantong tersebut telah hancur.

    Seluruh lingkungan telah musnah, meninggalkan jutaan warga Palestina sebagai pengungsi dan tanpa tempat berlindung. Kerusakan fisik langsung yang disebabkan oleh pemboman Israel, termasuk rumah, sekolah, dan infrastruktur publik, diperkirakan oleh Bank Dunia mencapai US$ 55 miliar (Rp 911 triliun).

    Sementara itu, prospek pembangunan kembali sangat terhambat dan rumit. Dengan 62% penduduk yang kekurangan dokumen hukum untuk membuktikan kepemilikan properti, banyak keluarga menghadapi tantangan besar untuk mengklaim kembali rumah atau tanah mereka.

    Hal ini meningkatkan prospek pengungsian permanen bagi banyak keluarga. Skala kehancuran dan ketiadaan dokumen kepemilikan mengancam terjadinya krisis properti dan pemindahan paksa jangka panjang, bahkan jika rekonstruksi akhirnya dimulai.

    5. Krisis Air dan Sanitasi

    Sejak Oktober 2023, Israel secara sistematis menargetkan infrastruktur air Gaza yang sudah terganggu. Akibatnya, 89% dari jaringan air dan sanitasi di wilayah kantong tersebut telah rusak atau hancur, meninggalkan lebih dari 96 persen rumah tangga tanpa keamanan air.

    Sebagian besar sistem distribusi air hancur, dengan sumur-sumur terkontaminasi oleh limbah yang tidak diolah. Saat ini, hampir separuh populasi Gaza bertahan hidup dengan kurang dari 6 liter air per hari untuk minum dan memasak, jauh di bawah standar darurat 20 liter untuk “kelangsungan hidup jangka pendek”.

    6. Keruntuhan Sistem Pendidikan

    Sistem pendidikan Gaza telah runtuh sepenuhnya. Lebih dari 2.300 fasilitas pendidikan, termasuk 63 bangunan universitas, telah hancur. Sekolah-sekolah yang masih berdiri kini digunakan sebagai tempat penampungan bagi para pengungsi.

    92% dari semua sekolah memerlukan rekonstruksi total, dan setidaknya 780 anggota staf pendidikan telah terbunuh. Hampir 658.000 anak usia sekolah dan 87.000 mahasiswa universitas kehilangan akses untuk belajar, menghancurkan prospek pendidikan bagi seluruh generasi.

    7. Penahanan Massal

    Lebih dari 10.800 warga Palestina ditahan di penjara-penjara Israel dalam kondisi yang parah. Di antara para tahanan ini terdapat 450 anak-anak dan 87 wanita.
    Yang sangat mengkhawatirkan adalah lebih dari 3.629 tahanan ditahan tanpa dakwaan atau pengadilan. Penahanan massal ini, termasuk anak-anak, menimbulkan masalah serius terkait hak asasi manusia dan keadilan.

    (tps/luc)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Bedanya Apa dan Dampaknya ke BB?

    Bedanya Apa dan Dampaknya ke BB?

    Jakarta

    Banyak orang tua yang mengeluhkan anaknya susah makan. Ada yang menolak sayur, hanya mau makanan tertentu, atau bahkan menutup mulut rapat-rapat setiap kali disuapi. Situasi ini sering membuat orang tua bingung sekaligus khawatir, terutama ketika berat badan anak tidak kunjung naik sesuai harapan.

    Di balik masalah ini, ada dua istilah yang sering muncul, yakni feeding difficulty dan picky eating. Keduanya sama-sama berkaitan dengan tantangan makan pada anak, tetapi sebenarnya memiliki arti dan konsekuensi yang berbeda.

    Apa Bedanya Feeding Difficulty dengan Picky Eating?

    Dikutip dari UNICEF, istilah feeding difficulties atau kesulitan makan mencakup pengertian yang luas, dengan tingkat keparahan dan kompleksitas yang bisa sangat bervariasi pada setiap anak, tergantung kebutuhan individunya. Kesulitan makan dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti menolak makan, hanya memilih makanan tertentu (selectivity), atau asupan makanan yang sangat sedikit.

    Senada, studi yang dipublikasikan di Korean Journal of Pediatrics yang berjudul ‘How to Approach Feeding Difficulties in Young Children’, menjelaskan kesulitan makan (feeding difficulty) adalah istilah ‘payung’ yang mencakup semua masalah makan, tanpa memandang penyebab, tingkat keparahan, maupun konsekuensinya. Istilah ini meliputi berbagai masalah yang memengaruhi proses pemberian makan pada anak.

    Manifestasinya bisa berupa waktu makan yang sangat lama, penolakan makanan, suasana makan yang penuh gangguan dan stres, tidak adanya kemampuan makan mandiri sesuai usia, kebiasaan makan pada malam hari pada bayi dan balita, penggunaan distraksi untuk meningkatkan asupan, menyusu atau minum susu botol yang berkepanjangan pada balita dan anak yang lebih besar, hingga kegagalan dalam mengenalkan tekstur makanan yang lebih lanjut.

    Penyebab Feeding Difficulty

    Adapun penyebabnya sulit makan pada anak beragam dan multifaktor, mulai dari perilaku hingga kondisi biologis atau medis yang mendasarinya. Beberapa tantangan yang dapat memicu feeding difficulties pada anak antara lain gangguan pemrosesan sensorik, keterikatan (attachment) yang kurang baik, kesulitan mengoordinasikan hisap dan telan, hisapan yang lemah, kebiasaan makan yang sangat selektif, asupan makanan yang terbatas, kondisi tongue tie, hingga gangguan oral-motor yang bisa berujung pada aspirasi dan rasa takut tersedak.

    Bahkan sulit makan yang dialami anak bisa disebabkan oleh faktor lingkungan, khususnya keluarga. Dikutip dari laman Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) penyebab yang paling banyak dijumpai adalah pemberian nutrisi yang kurang tepat mengenai komposisi makanan, tekstur maupun tata cara pemberiannya.

    Indonesia terdiri dari berbagai macam etnik yang memiliki beragam kultur dan tradisi. Perilaku orang tua memegang peranan paling penting dalam praktik pemberian makan pada anak. Hal ini dipengaruhi oleh latar belakang sosial budaya serta adat istiadat orangtua/keluarga itu sendiri.

    Sebagai contoh anak dipaksa meminum jamu-jamuan yang dipercaya dapat menambah nafsu makan, namun justru menimbulkan trauma mendalam pada psikologis anak yang berakibat semakin sulit makan.

    Senada, Prof Dr dr Damayanti Rusli Sjarif, SpA(K), pakar nutrisi dan penyakit metabolik anak, paksaan justru bisa memicu trauma makan yang berdampak panjang pada tumbuh kembang anak.

    “Kalau dia sudah tidak mau makan, ya sudah stop. Minimal, maksimal lamanya makan itu hanya setengah jam. Sesudah itu stop. Kenapa? Biar anaknya belajar bahwa waktu makan itu nggak sepanjang mau dia, ada waktunya,” ujarnya dalam wawancara dengan detikcom, Kamis (17/9/2025).

    Pengertian Picky Eater

    Sementara picky eating atau picky eater merupakan istilah yang lebih spesifik. Picky eater berarti anak mau mengonsumsi berbagai jenis makanan baik yang sudah maupun yang belum dikenalnya tapi menolak mengonsumsi dalam jumlah yang cukup.

    Selain jumlah yang tidak cukup, picky eater pun berhubungan dengan rasa dan tekstur makanan. Walaupun pilih-pilih makanan, picky eater masih mau mengonsumsi minimal satu macam makanan dari setiap kelompok karbohidrat, protein, sayur/buah dan susu. Misalnya, walaupun anak menolak makan nasi, tapi ia masih mau makan roti atau mi.

    Picky eater juga masih merupakan fase normal dalam perkembangan seorang anak, lain halnya dengan selective eater yang mengakibatkan anak berisiko mengalami defisiensi makro atau mikronutrien tertentu.

    Penyebab Picky Eater

    Menurut studi yang dipublikasikan di Cambridge University Press yang berjudul ‘Picky Eating in Children: Causes and Consequences’, picky eating paling banyak ditemukan pada anak usia sekitar 3 tahun. Faktor yang memprediksi seorang anak akan menjadi picky eater di usia prasekolah dapat muncul pada tiga fase berbeda:

    Sebelum dan selama kehamilanFase awal pemberian makan (tahun pertama kehidupan, mencerminkan praktik makan awal)Tahun kedua kehidupan (mencerminkan gaya pengasuhan makan orang tua seiring meningkatnya kemandirian anak).

    Faktor-faktor ini juga bisa dikategorikan menjadi tiga kelompok, yakni faktor terkait anak, faktor terkait orang tua/pengasuh, serta faktor interaksi anak-orang tua.

    “Studi di Australia menunjukkan bahwa pola makan sehat ibu ketika anak berusia 1 tahun memprediksi konsumsi sayur anak saat berusia 2 tahun. Pada usia 2-4 tahun, pola makan sehat ibu juga terkait dengan rendahnya prevalensi picky eating satu tahun kemudian. Sebaliknya, tekanan dari orang tua agar anak makan justru meningkatkan risiko picky eating, terutama bila disertai kekhawatiran anak terlihat kurus,” demikian kata keterangan studi tersebut.

    Dampak Feeding Difficulty dan Picky Eating

    Picky eating umum terjadi pada anak kecil dan biasanya berkurang seiring bertambahnya usia, sementara feeding difficulty dapat menetap, yang menyebabkan kekurangan nutrisi, masalah pertumbuhan, dan tantangan psikososial.

    Studi yang diterbitkan di Jurnal Ilmiah Kesehatan yang berjudul’ Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Sulit Makan Pada Balita di RW 001 Kelurahan Jatinegara Jakarta Timur’ mengemukakan anak yang sulit makan atau pilih-pilih makanan (picky eater) cenderung mengalami kekurangan berat badan, terutama pada anak di bawah usia lima tahun.

    “Jika kebiasaan pilih-pilih makanan tidak segera diatasi, maka anak dapat mengembangkan
    selera terhadap makanan tertentu dan mungkin tidak mendapatkan nutrisi yang cukup,sehingga dapat mempengaruhi status gizi mereka,” demikian bunyi studi tersebut.

    Begitu juga studi yang diterbitkan di Frontiers dengan judul ‘The influence of family in children’s feeding difficulties: an integrative review’ menjelaskan kesulitan makan (feeding difficulties) tidak hanya terjadi pada anak yang sehat, tetapi juga sering ditemukan pada anak dengan kondisi medis tertentu.

    Sebagai contoh, anak dengan atresia esofagus kerap mengalami tantangan makan yang signifikan, yang berdampak pada pertumbuhan dan asupan nutrisi. Demikian pula, anak dengan cerebral palsy sering menghadapi masalah seperti makanan keluar dari mulut, tersedak, dan muntah, yang berhubungan dengan defisit tinggi-berat badan serta kebutuhan intervensi seperti gastrostomi.

    Sementara itu, anak dengan down syndrome memiliki defisit motorik dan kognitif yang memengaruhi kemampuan mengunyah dan menelan, sehingga membutuhkan adaptasi diet serta dukungan khusus untuk mencegah komplikasi gizi.

    “Dalam semua kasus tersebut, intervensi yang dipersonalisasi, termasuk terapi wicara, bimbingan gastroenterologi, dan panduan nutrisi, sangat penting untuk mengoptimalkan asupan kalori, mencegah malnutrisi, serta meningkatkan kualitas hidup,” tutur studi tersebut.

    IDAI juga mengatakan sulit makan berkepanjangan berakibat menurunnya asupan kalori yang dibutuhkan sehingga dapat memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Dampak sulit makan pada awalnya berpengaruh terhadap berat badan (tetap/dapat turun) kemudian akan memengaruhi tinggi badan serta status gizi. Pemeriksaan status gizi dilakukan dengan pengukuran antropometri meliputi berat badan, tinggi badan dan lingkar kepala.

    Dilakukan pula pemeriksaan fisik lainnya yakni masalah gigi geligi, mulut, kemampuan menelan atau bila terdapat gangguan neurologis yang mungkin dapat mengganggu proses makan. Berbagai hal yang mengganggu proses makan ini harus dideteksi sedini mungkin dan segera diatasi sesuai penyebab yang mendasarinya.

    Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2019, anak-anak berusia antara 1-3 tahun harus mengonsumsi sumber energi sekitar 1350 kkal per hari. Jumlah tersebut sesuai dengan kebutuhan usia dan tingkat aktivitas fisiknya.

    IDAI mengatakan, ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi anak yang mengalami kesulitan makan, salah satunya menerapkan feeding rules. Dengan menerapkan feeding rules pada anak-anak, maka mereka akan memperoleh nutrisi yang dibutuhkannya selama masa tumbuh kembang dengan cukup. Kecukupan nutrisi ini ditandai antara lain dengan berat badan, tinggi badan, dan lingkar kepala yang normal.

    Ketiga hal ini, berat badan, tinggi badan, dan lingkar kepala, juga merupakan indikator tumbuh kembang yang perlu dikenali. Memahami ketiga indikator tersebut dapat membantu deteksi dini jika terjadi gangguan pada tumbuh kembang anak.

    Penerapan feeding rules menurut IDAI dilakukan dengan mengatur jadwal makan, menciptakan kenyamanan suasana, dan menerapkan prosedur makan yang tepat.

    1. Jadwal Makan

    Jadwal makanan utama dan makanan selingan (snack) yang teraturPemberian makan sebaiknya tidak lebih dari 30 menitPemberian ASI atau susu hanya 2-3 kali sehariJangan menawarkan camilan yang lain saat makan kecuali minum

    2. Lingkungan yang Nyaman

    Lingkungan yang menyenangkan (tidak boleh ada paksaan untuk makan)Siapkan serbet untuk alas makan agar tidak berantakanTidak ada distraksi (mainan, televisi, perangkat permainan elektronik) saat makanJangan memberikan makanan sebagai hadiah

    3. Prosedur Makan

    Berikan makanan dalam porsi kecilBerikan makanan utama dulu, baru diakhiri dengan minumDorong anak untuk makan sendiriBila anak menunjukkan tanda tidak mau makan (mengatupkan mulut, memalingkan kepala, menangis), tawarkan kembali makanan secara netral, yaitu tanpa membujuk ataupun memaksaBila setelah 10-15 menit anak tetap tidak mau makan, akhiri proses makanHanya boleh membersihkan mulut anak jika makan sudah selesai

    Di samping pengaturan jadwal, IDAI juga menyarankan untuk melakukan responsive feeding karena saat pemberian makan bukan hanya makanan yang diberikan, tetapi juga pembelajaran dan kasih sayang. Orangtua harus peka terhadap bahasa tubuh anak-kenali tanda lapar dan kenyang.

    Perlu diketahui oleh para orangtua bahwa anaklah yang menentukan jumlah makanan yang dibutuhkannya. Lakukan kontak mata dan berbicaralah dengan anak. Motivasi anak untuk mencoba makan sendiri, damping anak selama proses makan berlangsung. Anak dapat diajak makan bersama keluarga sehingga dia belajar bagaimana seharusnya makan dengan mencontoh orang di sekitarnya.

    Senada, Prof Damayanti mengatakan, aturan makan atau feeding rules serta responsive feeding sebaiknya diterapkan sejak dini. Bahkan sejak masa menyusui pun sebenarnya sudah ada aturan makan.

    Dengan begitu, anak akan terbiasa makan sesuai jadwal dan lebih mandiri dalam menentukan kapan dirinya sudah cukup makan.

    “Menerapkan feeding rules mengajari anak bertanggung jawab dengan kecukupan jumlah makanannya dalam waktu 30 menit. Jika dia hanya makan sedikit pengasuhnya tidak akan memberikan diluar jam makan, meskipun dia memaksa dengan tantrum cukup diberitahu jadwal makan berikutnya tanpa harus marah-marah,” ucap Prof Damayanti.

    Dengan pola makan yang konsisten dan penuh responsivitas, anak akan belajar disiplin tanpa merasa tertekan. Sebaliknya, paksaan justru berisiko menimbulkan trauma yang membuat anak semakin sulit makan, bahkan menolak makanan tertentu di kemudian hari.

    Hal ini juga didukung oleh studi yang dipublikasikan di International Conference on Public Health (ICPH) yang berjudul ‘Relationship Between Basic Feeding Rule Applied by Parents and Eating Difficulties of Children Under Five Years of Age in Kediri, East Java’. Kesimpulan dari studi tersebut mengatakan, aturan pemberian makan dasar atau feeding rules yang kurang dari orang tua meningkatkan kejadian kesulitan pada anak balita.

    Orang tua juga perlu memerhatikan nutrisi pada anak saat menerapkan feeding rules. Menurut Prof Damayanti, protein hewani adalah nutrisi yang wajib ada dalam menu makan anak sehari-hari.

    “Harus protein hewani. Kenapa? Karena asam amino esensialnya lengkap. Asam amino esensial itu nggak bisa diproduksi badan kita sendiri,” jelasnya.

    Dibandingkan protein nabati, protein hewani lebih mudah diserap tubuh sekaligus kaya mikronutrien penting, mulai dari zat besi, vitamin D, omega-3, hingga zinc. Semua zat ini berperan dalam mendukung fungsi otak, sistem imun, serta pertumbuhan sel dan organ tubuh.

    Anak yang kekurangan asupan protein hewani berisiko mengalami hambatan pertumbuhan, bahkan stunting. Kondisi ini dapat berdampak jangka panjang, mulai dari gangguan kognitif hingga masalah perkembangan fisik.

    Bukan cuma daging sapi atau ayam, protein hewani juga bisa diperoleh dari berbagai sumber makanan sehari-hari. Susu dan produk olahannya dapat menjadi pilihan, sementara telur dikenal sebagai sumber protein lengkap yang praktis. Ikan pun penting, terutama ikan laut yang kaya omega-3.

    Dengan memberi prioritas pada protein hewani dan sumber mikronutrien, anak bisa tumbuh sehat, cerdas, dan mencapai potensi maksimalnya.

    Waktu emas pertumbuhan Si Kecil hanya terjadi sekali, & tak bisa terulang kembali. Jangan biarkan Gerakan Tutup Mulut (GTM) menghalangi tumbuh kembangnya. Setiap pilihan apapun, kapanpun – terasa seperti momen penentu yang akan membentuk masa depan Si Kecil. Yuk Moms kita ubah Gerakan Tutup Mulut (GTM) menjadi Gerakan Tumbuh Maximal karena pilihan terbaik Bunda hari ini, menentukan masa depan Si Kecil esok hari.

    Kini GTM bukan lagi drama, tapi #GerakanTumbuhMaximal #KarenaWaktuTakBisaKembali!

    (suc/suc)

  • Mengenal Jenis dan Kualifikasi Ahli Gizi, Profesi yang Lagi ‘Hits’ di Garda Depan MBG

    Mengenal Jenis dan Kualifikasi Ahli Gizi, Profesi yang Lagi ‘Hits’ di Garda Depan MBG

    Jakarta

    Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah saat ini menjadi sorotan publik. Di balik niat baik untuk meningkatkan kualitas gizi masyarakat, muncul pertanyaan besar: siapa yang seharusnya merancang dan memastikan program ini berjalan efektif?

    Idealnya, posisi penting dalam kebijakan pangan dan gizi diisi oleh tenaga profesional dengan latar belakang ilmu gizi. Faktanya, keterlibatan tenaga gizi banyak jadi sorotan karena dinilai belum optimal. Bahkan beberapa posisi strategis dalam program ini bukan ditempati oleh profesional di bidang gizi.

    Berbekal kompetensi khusus yang dibentuk melalui pendidikan formal, sertifikasi, hingga kode etik profesi, peran ahli gizi sejatinya bukan sekadar menentukan menu atau membantu diet penurunan berat badan. Fungsi dan tanggung jawab ahli gizi juga mencakup perencanaan, intervensi, mengawasi kualitas dan keamanan serta evaluasi program gizi berskala individu hingga populasi.

    Tapi sebenarnya, siapa saja sih yang dikategorikan sebagai tenaga gizi atau ahli gizi? Kualifikasi apa yang dimiliki, dan apa bedanya dengan profesi lain yang juga bersinggungan dengan nutrisi?

    Untuk memahami lebih jauh, mari dikupas satu persatu.

    Kualifikasi Profesi Ahli Gizi, Nutrisionis, dan Dietisien

    Di kalangan awam, istilah ‘ahli gizi‘ punya makna yang luas, mencakup siapapun yang punya pengetahuan tentang ilmu gizi. Namun jika merujuk pada regulasi yang berlaku, ternyata ada kualifikasi tertentu untuk dapat menjalankan profesi tenaga gizi atau ahli gizi.

    Berdasarkan UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan serta Permenkes No. 26 Tahun 2013, tenaga gizi di Indonesia terdiri dari dua kategori yakni nutrisionis dan dietisien.

    Lulusan D3 Gizi (A.Md.Gz), ahli madya giziLulusan D4 Gizi (S.Tr.Gz), sarjana terapan giziLulusan S1 Gizi (S.Gz), sarjana gizi/nutrisionisLulusan pendidikan profesi (RD), Dietisien

    Nutrisionis adalah istilah umum yang digunakan untuk profesional yang memiliki latar belakang pendidikan di bidang gizi dan memiliki pengetahuan luas tentang nutrisi dan dapat memberikan edukasi serta konseling gizi secara umum. Nutrisionis memiliki fokus pada promotif dan preventif gizi di masyarakat.

    Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/342/2020 tentang standar profesi nutrisionis, yang termasuk nutrisionis adalah:

    Lulusan D3 Gizi (A.Md.Gz) atau ahli madya giziLulusan D4 Gizi (S.Tr.Gz) atau sarjana terapan giziLulusan S1 Gizi (S.Gz) atau sarjana gizi/nutrisionisLulusan magister gizidan lulusan doktoral gizi.

    Dietisien adalah ahli gizi yang telah menempuh pendidikan profesi dietisien dan memiliki kualifikasi tertinggi dalam memberikan terapi gizi medis, asesmen status gizi pasien, serta praktik mandiri. Dietisien memiliki kewenangan tersebut karena telah mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) yang berlaku seumur hidup serta Surat Izin Praktik (SIP) yang harus diperpanjang setiap 5 tahun sebagai syarat legal untuk berpraktik.

    Kedua kategori ini diakui secara resmi oleh negara berdasarkan peraturan terbaru pada UU No. 17 Tahun 2023 sebagai tenaga kesehatan bidang gizi, sehingga sah disebut ahli gizi.

    Di Indonesia, secara resmi tidak ada gelar khusus untuk profesi ini. Namun di beberapa negara seperti Amerika Serikat, gelar RD (Registered Dietitien) atau RDN (Registered Dietitien Nutritionist) dapat dilekatkan di belakang nama. Begitupun jika melanjutkan ke jenjang doktor klinis (S3), dapat mencantumkan gelar DCN (Doctor of Clinical Nutrition).

    Gelar ‘Ahli Gizi’ dalam Konteks Akademis

    Di luar profesi ahli gizi yang mencakup nutrisionis dan dietisien, ada juga sebutan ‘ahli gizi’ untuk profesi lain yang juga mendalami ilmu gizi. Salah satu contoh yang belakangan cukup populer adalah dr Tan Shot Yen, seorang dokter (tentunya dengan latar belakang sarjana ilmu kedokteran) yang mengambil pendidikan S3 di bidang ilmu gizi masyarakat, sehingga kerap dijuluki ‘ahli gizi’ dalam berbagai publikasi di media massa meski profesinya terdaftar sebagai dokter atau tenaga medis.

    Menurut regulasi yang berlaku, jenjang S2 atau S3 bidang ilmu gizi memang tidak mensyaratkan latar belakang profesi ahli gizi. Karenanya, jenjang pendidikan ini tidak otomatis memberi kewenangan praktik jika tidak menempuh pendidikan sarjana gizi dan pendidikan profesi dietisien sebagai nutrisionis atau dietisien sebelumnya.

    Secara akademik, lulusan magister dan doktor tetap diakui sebagai ‘ahli gizi’ atau ‘pakar gizi’ dalam konteks keilmuan, yang dimaknai bukan sebagai profesi melainkan ahli dengan kepakaran di bidang ilmu gizi. Para pakar ini umumnya berkarier sebagai peneliti, dosen, konsultan kebijakan, atau pimpinan program gizi berskala nasional maupun internasional.

    Dengan demikian, ahli gizi dalam pengertian legal-profesional adalah mereka yang memenuhi syarat pendidikan vokasi, sarjana, atau profesi dietisien sesuai aturan. Sementara itu, jenjang pascasarjana lebih memperkuat peran di ranah akademik dan riset, bukan praktik klinis langsung.

    Jenis-jenis Profesi Ahli Gizi

    Peran seorang ahli gizi dapat dikelompokkan berdasarkan fokus kerja dan lingkungannya. Secara umum, terdapat tiga spesialisasi utama yang menunjukkan beragamnya kontribusi ahli gizi.

    Gizi Masyarakat

    Ahli gizi yang berfokus pada gizi masyarakat memiliki peran penting dalam meningkatkan status gizi secara luas. Nutrisionis lebih difokuskan pada pelayanan kerja ini. Beberapa contoh bidang kerja dalam Gizi Masyarakat meliputi:

    Puskesmas atau Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama: Merancang dan melaksanakan program edukasi gizi untuk publik, seperti kampanye pencegahan stunting, promosi ASI eksklusif, atau sosialisasi gizi seimbang.Peneliti Gizi: Melakukan studi dan riset untuk mengidentifikasi masalah gizi di suatu populasi dan mencari solusi berbasis bukti.Lembaga Pemerintah atau Nonpemerintah: Bekerja di dinas kesehatan, Kementerian Kesehatan, atau organisasi internasional seperti UNICEF dan WHO untuk menyusun kebijakan dan program gizi berskala besar.

    Gizi Klinik

    Dietisien difokuskan berpraktik di fasilitas pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit atau klinik. Fokus utama Ahli Gizi Klinik adalah memberikan asuhan gizi terintegrasi untuk pasien dengan kondisi medis tertentu. Bidang pekerjaan ahli gizi klinik mencakup:

    Konsultan Gizi Praktik Mandiri: Membuka klinik pribadi untuk memberikan konseling gizi individual kepada klien yang membutuhkan penanganan gizi spesifik, seperti manajemen berat badan atau diet untuk kondisi alergi.Rumah Sakit: Melakukan asesmen status gizi pasien, merancang intervensi gizi (terapi diet), dan memantau perkembangan gizi pasien rawat inap dan rawat jalan. Ini termasuk penanganan gizi untuk pasien diabetes, penyakit jantung, gagal ginjal, atau pasien kritis.Ahli Gizi Olahraga (Sport Nutritionist): Merancang program nutrisi untuk atlet, memastikan kebutuhan energi dan nutrisi mereka terpenuhi untuk mengoptimalkan performa dan pemulihan.

    Gizi Institusi

    Spesialis gizi institusi berfokus pada manajemen penyelenggaraan makanan dalam skala besar. Ahli gizi yang bekerja di gizi institusi memastikan bahwa makanan yang disajikan memenuhi standar gizi, kebersihan, dan keamanan pangan. Bidang kerja di Gizi Institusi meliputi:

    Layanan Makanan di Rumah Sakit: Merencanakan menu, mengawasi proses produksi, dan mendistribusikan makanan yang sesuai dengan kondisi medis pasien di rumah sakit.Katering atau Layanan Makanan Massal: Mengelola layanan katering untuk perusahaan, sekolah, atau acara besar, memastikan menu yang disajikan sehat, bervariasi, dan memenuhi standar gizi.Industri Pangan: Terlibat dalam pengembangan produk makanan baru, memastikan kandungan nutrisi, dan menyusun label nutrisi yang akurat pada kemasan produk. Mereka juga berperan dalam quality control.

    Organisasi yang Menaungi Profesi Ahli Gizi

    Di Indonesia, profesi ahli gizi dinaungi oleh Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI). Organisasi ini memiliki peran vital dalam menjaga profesionalisme, etika, dan kompetensi para anggotanya. PERSAGI menetapkan Kode Etik Ahli Gizi Indonesia yang harus dipatuhi oleh setiap praktisi. Kode etik ini mengatur perilaku profesional, kerahasiaan informasi klien, dan standar praktik yang berbasis bukti ilmiah.

    Keberadaan organisasi profesi juga menjamin bahwa setiap praktik yang dilakukan oleh anggotanya selalu mengikuti perkembangan terbaru dalam ilmu gizi. PERSAGI juga berperan dalam menyelenggarakan seminar, lokakarya, dan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas profesional.

    Selain itu, PERSAGI juga memiliki peran advokasi, yakni memperjuangkan hak dan posisi ahli gizi dalam sistem kesehatan nasional. Dengan demikian, profesi ini mendapat pengakuan yang jelas dalam kerangka tenaga kesehatan, sejajar dengan profesi medis lainnya.

    Kemiripan dengan Profesi Sejenis

    Profesi ahli gizi seringkali dianggap sama saja seperti profesi lain yang bersinggungan dengan pangan dan nutrisi misalnya dokter spesialis gizi klinis dan pakar teknologi pangan. Padahal, sebenarnya masing-masing punya jalur pendidikan, kewenangan, dan lingkup kerja yang berbeda.

    Sebagai perbandingan, berikut rangkuman singkatnya:

    Ahli Gizi (Nutrisionis/Dietisien)Latar belakang: D3, S1 Gizi, atau Profesi Dietisien.Fokus: Konseling gizi, edukasi masyarakat, manajemen diet, hingga terapi gizi medis.Status: Tenaga kesehatan resmi, memiliki STR dan SIP untuk praktik.Dokter Spesialis Gizi Klinik (SpGK)Latar belakang: Dokter umum yang menempuh pendidikan spesialisasi gizi klinik.Fokus: Menegakkan diagnosis penyakit, memberikan terapi medis, termasuk obat, serta merancang intervensi gizi.Peran: Sering bekerja sama dengan dietisien dalam menangani pasien dengan kondisi klinis kompleks.Kewenangan: SpGK merupakan spesialisasi dalam profesi dokter, sehingga berwenang melakukan tindakan medis dan meresepkan obat.Lulusan Teknologi Pangan (‘Tekpang’)Latar belakang: Sarjana Teknologi Pangan atau Ilmu Pangan.Fokus: Ilmu dan teknologi pengolahan makanan, pengawetan, inovasi produk pangan, keamanan pangan, serta quality control di industri makanan.Peran: Memastikan makanan aman, bergizi, dan sesuai standar produksi massal.Kewenangan: Teknologi pangan lebih ke arah proses produksi dan pengembangan makanan. Tugasnya berbeda dengan ahli gizi yang lebih fokus pada kebutuhan nutrisi individu atau populasi.

    Halaman 2 dari 7

    Simak Video “Video: Ahli Gizi Soroti Suhu Penyimpanan Menu Makan Gratis”
    [Gambas:Video 20detik]
    (mal/up)

    Gaduh Keracunan MBG

    22 Konten

    Ribuan anak sekolah dilaporkan mengalami keracunan usai menerima Makan Bergizi Gratis (MBG). Apa saja kemungkinan penyebabnya, dan bagaimana mencegahnya di kemudian hari?

    Konten Selanjutnya

    Lihat Koleksi Pilihan Selengkapnya

  • Pidato Lengkap Prabowo di Sidang Majelis Umum ke-80 PBB, Dukungan Tegas untuk Perdamaian

    Pidato Lengkap Prabowo di Sidang Majelis Umum ke-80 PBB, Dukungan Tegas untuk Perdamaian

    Presiden Prabowo berbicara pada sesi pertama Debat Umum dengan posisi istimewa yakni urutan ketiga. Sebuah posisi strategis yang menempatkan Indonesia berdampingan dengan dua negara besar, Brasil dan Amerika Serikat. Brasil, yang sejak 1955 selalu membuka sidang sebagai tradisi diplomatik, tampil di urutan pertama. Amerika Serikat, sebagai tuan rumah, mendapat giliran kedua. Tepat setelah keduanya, Presiden Prabowo berdiri membawa suara Indonesia ke hadapan dunia.

    Kehadiran Presiden Prabowo di podium Majelis Umum PBB menandai babak baru diplomasi Indonesia. Sepuluh tahun terakhir, Presiden Joko Widodo sempat menyampaikan pidato secara daring saat pandemi Covid-19, sementara selebihnya Indonesia diwakili Wakil Presiden maupun pejabat setingkat menteri. Kini, dengan tampil langsung, Indonesia kembali menegaskan komitmennya dalam forum global yang sarat makna simbolik dan politis.

    Posisi pidato Presiden Prabowo juga menorehkan sejarah tersendiri. Sebelumnya, Presiden Soekarno pernah berpidato di urutan ke-46, Presiden Soeharto di urutan ke-61, dan Presiden Megawati Soekarnoputri di urutan ke-17. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tercatat tiga kali berpidato dengan urutan 20, 21, dan 16, sementara Presiden Joko Widodo dua kali hadir secara daring di urutan ke-16. Kini, Presiden Prabowo menempati urutan ke-3—salah satu posisi paling awal dan paling bergengsi yang pernah diraih Indonesia di forum PBB.

    Di hadapan para pemimpin dunia yang hadir di ruang sidang Majelis Umum PBB, Presiden Prabowo membuka pidato perdananya dengan penuh penghormatan. Kepala Negara menekankan pentingnya persaudaraan universal di tengah perbedaan bangsa dan agama.

    “Sungguh suatu kehormatan besar bagi saya untuk berdiri di General Assembly Hall yang agung ini, di antara para pemimpin yang mewakili hampir seluruh umat manusia. Kita berbeda ras, agama, dan kebangsaan, namun kita berkumpul bersama sebagai satu keluarga. Kita di sini pertama dan terutama sebagai sesama manusia — masing-masing diciptakan setara, dianugerahi hak yang tidak dapat dicabut untuk hidup, kebebasan, dan mengejar kebahagiaan,” ujar Presiden Prabowo.

    “Bismillahirrahmanirrahim,

    Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

    Shalom, Salve, Om swastiastu,

    Salam kebajikan, Rahayu, rahayu.

    His Excellency, Mr. Antonio Guterres, Secretary General of the United Nations. Her Excellency, Madame Annalena Baerbock, President of the United Nations General Assembly.

    His Excellency, Mr. Morses Abelian, Under-Secretary-General for General Assembly and Management. Excellencies, Heads of States, Heads of Governments, Distinguished Delegates, Ladies and Gentlemen,

    It is indeed a great honor to stand in this august General Assembly Hall, among leaders who represent almost all of humanity.

    We differ in race, religion, and nationality, yet we gather together as one human family. We are here first and foremost as fellow human beings — each created equal, endowed with unalienable rights to life, liberty, and the pursuit of happiness.

    The words of the U.S. Declaration of Independence have inspired democratic movements across continents — including the French Revolution, the Russian Revolution, the Mexican revolutions, the Chinese Revolution, and Indonesia’s own struggle and journey to freedom.

    It also gave birth to the Universal Declaration of Human Rights adopted by the UN in 1948. “All men are created equal” was the creed that opened the way to unprecedented global prosperity and dignity. And yet, in our own era of scientific and technological triumphs — an era capable of ending hunger, poverty, and environmental ruin — we also continue to face today’ s grave dangers, challenges, and uncertainties. Human folly, fueled by fear, racism, hatred, oppression, and apartheid, threatens our common future.

    My country knows this pain. For centuries, Indonesians lived under colonial domination, oppression, and slavery. We were treated less than dogs in our own homeland. We Indonesians know what it means to be denied justice and what it means to live in apartheid, to live in poverty, and to be denied equal opportunity. We also knew what solidarity can do. 

    In our struggle for independence, in our fight to overcome hunger, disease, and poverty, the United Nations stood with Indonesia and gave us vital assistance. Decisions made here based on human solidarity — by the Security Council and this Assembly — gave Indonesia international legitimacy, opened doors, and supported our early development through the UN Children’s Fund (UNICEF), the UN Food and Agriculture Organization (FAO), the World Health Organization (WHO) and many, many other United Nations institutions.

    And because of that, Indonesia today stands today on the cusp of shared prosperity and greater equality and dignity.

    Madam President, excellencies,

    Our world is driven by conflict, injustice, and deepening uncertainty. Every day we witness suffering, genocide, and a blatant disregard for international law and human decency.

    In the face of these challenges, we must not give up, as the United Nations’s Secretary General said, “we cannot give up”. We cannot surrender our hopes or our ideals. We must draw closer, not drift apart. Together we must strive to achieve our hopes, our dreams.

    The UN was born from the ashes of the Second World War that claimed scores of millions of lives. It was created to secure peace, security, justice, and freedom for all. We remain committed to internationalism, multilateralism, and to every effort that strengthens this great institution.

    Today, Indonesia is nearer than ever before to meeting the Sustainable Development Goals of ending extreme poverty and hunger — because years ago this very chamber chose to listen and uphold social and economic justice. We will never forget. And today we must never be silent while Palestinians are denied that same justice and legitimacy in this very Hall.

    Excellency’s, Thucydides warned: “The strong do what they can, the weak suffer what they must.” We must reject this doctrine. The UN exists to reject this doctrine. We must stand for all, the strong and the weak. Right cannot be right. Right must be right.

    Indonesia is today one of the largest contributors to United Nation Peacekeeping Forces. We believe in the United Nations, we will continue to serve where peace needs guardians — not with just words, but with boots on the ground. If and when the Security Council and this Great Assembly decide, Indonesia is prepared to deploy 20,000 or even more of our sons and daughters to secure peace in Gaza or elsewhere, in Ukraine, in Sudan, in Libya, everywhere when the peace needs to be enforced, peace needs to be guarded, we are ready.

    We will take our share of the burden, not only with our sons and daughters. We are also willing to contribute financially to support the great mission to achieve peace by the United Nations.

    Madam President, excellencies,

    I propose to this assembly a message of hope and optimism — grounded in action and execution. Today we heard the speech of Madam President, the President of the United Nations General Assembly. It is true what she said. Without the International Civil Aviation Organization, will we be here today? Will we sit in this great Hall? Without the United Nations, we cannot be safe. No country can feel secure. 

    We need the United Nations, and Indonesia will continue to support the United Nations. Even though we still struggle, but, we know the world needs a strong United Nations.

    The world’s population is growing. Our planet is under strain. Food, energy, and water insecurity haunt many nations. We choose to answer these challenges directly at home and to help abroad whenever we can.

    This year, we recorded the highest rice production and grain reserves in our history. We are now self‑sufficient in rice and we have exported rice to other nations in need, including providing rice to Palestine. We are building resilient food supply chains, strengthening farmer productivity, and investing in climate‑smart agriculture to ensure food security for our children and for the children of the world. We are confident, in a few years time, Indonesia will be the granary of the world.

    As the world’s largest island state, we testify before you that we are already experiencing the direct consequences of climate change, particularly the threat of rising sea levels. The sea level on the north coast of our capital city is increasing by 5 centimeters every year. Can you imagine in ten years? In twenty years? For this, we are forced to build a giant sea wall, 480 kilometres in length. It will take us maybe 20 years, but we have no choice. 

    We have to start now. Therefore we choose to confront climate change — not by slogans, but by immediate steps. We are committed to meeting our 2015 Paris Agreement obligations.

    We aim to achieve net zero emission by 2060 and we are confident we can achieve net zero emission much earlier. We aim to reforest more than 12 million hectares of degraded land, to reduce forest degradation, and to empower local communities with quality green jobs for the future.

    Indonesia is shifting decisively from fossil fuel based development towards renewable based development. From next year, most of our additional power generation capacity will come from renewables. Our goal is clear: To lift all of our citizens out of poverty and make Indonesia a hub for solutions to food, energy, and water security.

    Madam President, excellencies,

    We live in a time when hatred and violence can seem like the loudest voices. But beneath this loud noise lies a quieter truth: that every person longs to be safe, to be respected, to be loved, and to leave a better world to their children. Our children are watching. They are learning leadership not from textbooks, but from our choices.

    Today, still, a catastrophic situation in Gaza is unfolding before our eyes. At this very moment, the innocent are crying for help, are crying to be saved. Who will save them? Who will save the innocent? Who will save the old and the women? Millions are facing danger at this very moment, as we sit here, they are facing trauma, and irreparable damage to their bodies, they are dying of starvation. Can we remain silent? Will there be no answer to their screams? Will we teach them that the human family can rise to the challenge?

    Madam President, we must act now. Many speakers have said that. We must stand for multilateral order where peace, prosperity, and progress, are not the privilege of a few but the right of all.

    With a strong United Nations, we can build a world where the weak do not suffer what they must, but live the justice they deserve. Let us continue humanity’s great journey of ideals — the selfless aspirations that created the United Nations.

    Let us use science to uplift, not use science to destroy. Let rising nations help others to lift themselves. I am convinced that the leaders of the great world civilisations: Civilisations of the West, of the East, of the North, of the South. Leaders of America, Europe, of India, China, the Islamic world, the whole world. I am convinced they will rise to their role demanded by history. We are all hopeful that the leaders of the world will show great statesmanship, great wisdom, restraint, and humility, overcome hate, overcome suspicion.

    Madam President, Distinguished Delegates,

    We are greatly heartened by the events of the last few days, where significant leading countries of the world have chosen to side with history—the path of the moral high ground, path of rectitude, path of justice, humanity, and to shun hatred, to overcome suspicion, and to avoid the use of violence. The use of violence will beget violence. Not one country can bully the whole community of the human family. 

    We may be weak individually, but the sense of oppression, of injustice, has proven in the history of mankind, will unite with a strong force that will overcome this oppression, this injustice.

    To close, I would like to reiterate again Indonesia’s complete support for the Two-State Solution in Palestine. We must have an independent Palestine, but we must also recognize and guarantee the safety and security of Israel. Only then can we have real peace: peace without hate, peace without suspicion.

    The only solution is this two-state solution. Two descendants of Abraham must live in reconciliation, peace, and harmony. Arabs, Jews, Muslims, Christians, Hindus, Buddhists, all religions. We must live as one human family. Indonesia is committed to being part of making this vision a reality.

    Is this a dream? Maybe. But this is the beautiful dream we must work toward together. Let us continue humanity’s journey of hope, a journey started by our forefathers, a journey that we must complete.

    Thank you. Terima kasih.

    Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

    Shalom, Om shanti shanti shanti om.

    Namo Budaya.

    Thank you very much.

    May God bless us all, may peace be upon us.

    Thank you very much.”

    “Yang Mulia, para kepala negara, kepala pemerintahan, para delegasi yang terhormat, hadirin sekalian

    Sungguh merupakan suatu kehormatan besar bagi saya untuk berdiri di Aula Sidang Umum bulan Agustus ini di antara para pemimpin dan perwakilan yang mewakili hampir seluruh umat manusia. 

    Kita berbeda ras, agama, dan kebangsaan, namun kita berkumpul bersama hari ini sebagai satu keluarga manusia. Kita di sini, pertama dan terutama, sebagai sesama manusia, masing-masing diciptakan setara, dianugerahi hak-hak yang tidak dapat dicabut untuk hidup, kebebasan, dan mengejar kebahagiaan.

    Kata-kata Deklarasi Kemerdekaan Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menginspirasi gerakan-gerakan demokrasi di seluruh benua, termasuk Revolusi Prancis, Revolusi Rusia, Revolusi Meksiko, Revolusi China, dan perjuangan serta perjalanan Indonesia menuju kemerdekaan. Deklarasi ini juga melahirkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948, “Semua manusia diciptakan setara.”

    Deklarasi ini membuka jalan menuju kemakmuran dan martabat global yang belum pernah terjadi sebelumnya, namun, di era kejayaan ilmu pengetahuan dan teknologi kita sendiri, sebuah era yang mampu mengakhiri kelaparan, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan.  

    Kami juga terus menghadapi tantangan dan ketidakpastian yang serius dan berbahaya saat ini, kebodohan manusia yang dipicu oleh rasa takut, rasisme, kebencian, penindasan, dan apartheid mengancam masa depan kita bersama.

    Nyonya Presiden, Yang Mulia,

    Kita hidup di masa ketika kebencian dan kekerasan mungkin terdengar paling keras, tetapi di balik kebisingan ini terdapat kebenaran yang lebih tenang bahwa setiap orang mendambakan rasa aman, dihormati, dicintai, dan mewariskan dunia yang lebih baik kepada anak-anak mereka. Anak-anak kita sedang menyaksikan. Mereka belajar kepemimpinan, bukan dari buku teks, tetapi dari pilihan kita.

    Saat ini, situasi bencana di Gaza masih terbentang di depan mata kita. Saat ini, orang-orang tak berdosa menangis minta tolong. Menangis untuk diselamatkan. Siapa yang akan menyelamatkan mereka? Siapa yang akan menyelamatkan orang tak berdosa? Siapa yang akan menyelamatkan para lansia dan perempuan. Jutaan orang menghadapi bahaya saat ini, sementara kita duduk di sini. Mereka menghadapi trauma. Mereka menghadapi kerusakan yang tak tergantikan pada tubuh mereka. Mereka sekarat karena kelaparan.

    Bisakah kita tetap diam? Akankah jeritan mereka tak terjawab? Akankah kita mengajari mereka bahwa umat manusia dapat bangkit menghadapi tantangan ini?

    Nyonya Presiden, kita harus bertindak sekarang.  Banyak pembicara telah menyatakan bahwa kita harus memperjuangkan tatanan multilateral, di mana perdamaian, kemakmuran, dan kemajuan bukanlah hak istimewa segelintir orang, melainkan hak semua orang. Dengan persatuan bangsa yang kuat, kita dapat membangun dunia di mana kaum lemah tidak menderita apa yang seharusnya mereka derita, melainkan hidup dalam keadilan yang pantas mereka dapatkan.

    Kita mungkin lemah secara individu, tetapi rasa penindasan, rasa ketidakadilan, telah membuktikan dalam sejarah umat manusia bahwa rasa ketidakadilan ini, rasa penindasan ini, akan bersatu menjadi kekuatan yang kuat yang akan mengatasi penindasan ini, yang akan mengatasi ketidakadilan ini.

    Sebagai penutup, saya ingin kembali menegaskan dukungan penuh Indonesia terhadap solusi dua negara di Palestina.

    Kita harus memiliki Palestina yang merdeka, tetapi kita juga harus, kita juga harus mengakui, kita juga harus menghormati, dan kita juga harus menjamin keselamatan dan keamanan Israel. Hanya dengan begitu kita dapat memiliki kedamaian sejati, kedamaian sejati, dan tidak ada lagi kebencian dan kecurigaan. Satu-satunya solusi adalah ini, solusi dua negara, dua keturunan Abraham harus hidup dalam rekonsiliasi, damai, dan harmoni.

    Arab, Yahudi, Muslim, Kristen, Hindu, Buddha, semua agama, kita harus hidup sebagai satu keluarga manusia. Indonesia berkomitmen untuk menjadi bagian dalam mewujudkan visi ini. Apakah ini mimpi? Mungkin, tetapi inilah mimpi indah yang harus kita perjuangkan bersama. 

    Mari kita bekerja menuju tujuan mulia ini.  Mari kita lanjutkan perjalanan harapan umat manusia, sebuah perjalanan yang telah dimulai oleh para leluhur kita, sebuah perjalanan yang harus kita selesaikan.

    Terima kasih. Wassalamualaikum.”

  • Di PBB, Prabowo Ungkap Kepedihan Bangsa Indonesia di Bawah Kolonialisme

    Di PBB, Prabowo Ungkap Kepedihan Bangsa Indonesia di Bawah Kolonialisme

    JAKARTA – Presiden RI Prabowo Subianto mengungkapkan kepedihan yang dirasakan bangsa Indonesia karena hidup di bawah dominasi kolonial selama berabad-abad, yang disampaikannya pada Sidang Majelis Umum ke-80 PBB di New York, Amerika Serikat, Selasa waktu setempat.

    Presiden Prabowo yang menyampaikan pidatonya dalam bahasa Inggris, menyoroti soal rasisme, kebencian, penindasan dan apartheid yang mengancam masa depan sehingga menyebabkan ketidakpastian dunia.

    “Kebodohan manusia, yang dipicu oleh rasa takut, rasisme, kebencian, penindasan, dan apartheid, mengancam masa depan kita bersama. Negara saya merasakan kepedihan ini. Selama berabad-abad, bangsa Indonesia hidup di bawah dominasi kolonial, penindasan, dan perbudakan,” kata Presiden Prabowo di Markas PBB, New York, Amerika Serikat, Selasa 23 September siang waktu setempat.

    Dalam sambutannya, Presiden Prabowo mengatakan bahwa selama berabad-abad di bawah kolonialisme, bangsa Indonesia telah diperlakukan lebih rendah di Tanah Airnya sendiri.

    Selama berabad-abad karena penjajahan, bangsa Indonesia mengetahui arti keadilan yang diabaikan, hidup dalam diskriminasi atau apartheid, hidup dalam kemiskinan dan diabaikan untuk mendapatkan kesempatan yang setara, kata Presiden.

    Pernyataan Prabowo tersebut merupakan bentuk solidaritas terhadap bencana kemanusiaan yang dialami oleh warga Palestina saat ini.

    Sementara itu di saat Indonesia berjuang meraih kemerdekaan, solidaritas negara di dunia melalui PBB telah membantu Indonesia mengatasi kelaparan, penyakit dan kemiskinan.

    “Dalam perjuangan kami untuk kemerdekaan, dalam perjuangan kami untuk mengatasi kelaparan, penyakit, dan kemiskinan, Perserikatan Bangsa-Bangsa berdiri bersama Indonesia dan memberi kami bantuan penting,” kata Prabowo.

    Atas bantuan dari PBB dan sejumlah organisasi naungan PBB lainnya, seperti UNICEF, FAO dan WHO, Indonesia saat ini berada pada kemakmuran bersama, kesetaraan dan martabat yang lebih besar.

    Dan karena itu, Indonesia saat ini berada di ambang kemakmuran bersama dan kesetaraan serta martabat yang lebih besar.

    Adapun Presiden Prabowo menyampaikan pidato pada Sidang Majelis Umum PBB (UNGA) pada urutan ketiga setelah Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

    Menteri Sekretariat Kabinet Teddy Indra Wijaya memyebut kehadiran Presiden menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk menegaskan peran aktif di forum multilateral tertinggi dunia.

  • Pidato Lengkap Prabowo di Sidang Umum PBB ke-80, Mimpi RI untuk Dunia

    Pidato Lengkap Prabowo di Sidang Umum PBB ke-80, Mimpi RI untuk Dunia

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-80 di New York, Amerika Serikat (AS) pada Selasa (23/9/2025) waktu setempat.

    Dalam pidatonya, Prabowo mengusung tema “Seruan Indonesia untuk Harapan”, dengan menekankan solidaritas, keadilan global, hingga solusi dua negara bagi Palestina dan Israel. Dalam kesempatan tersebut, ia berpidato dengan durasi kurang lebih selama 19 menit.

    Berikut isi lengkap pidato Presiden Prabowo Subianto:

    “Yang Mulia, Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, Delegasi yang terhormat, hadirin sekalian,

    Merupakan kehormatan besar untuk berdiri di Aula Sidang Umum yang agung ini, di antara para pemimpin yang mewakili hampir seluruh umat manusia.

    Kita berbeda dalam ras, agama, dan kebangsaan, namun kita berkumpul sebagai satu keluarga manusia.

    Kita hadir di sini pertama-tama sebagai sesama manusia – masing-masing diciptakan setara, dikaruniai hak-hak yang tidak dapat diganggu gugat atas hidup, kebebasan, dan upaya mengejar kebahagiaan.

    Kata-kata dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat telah menginspirasi gerakan demokrasi di berbagai benua – termasuk Revolusi Prancis, Revolusi Rusia, Revolusi Meksiko, Revolusi China, dan perjuangan serta perjalanan Indonesia menuju kebebasan.

    Deklarasi itu juga melahirkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang diadopsi oleh PBB pada tahun 1948.

    “Semua manusia diciptakan setara” adalah keyakinan yang membuka jalan menuju kemakmuran dan martabat global yang belum pernah ada sebelumnya.

    Namun demikian, di era kemenangan ilmu pengetahuan dan teknologi – sebuah era yang mampu mengakhiri kelaparan, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan – kita juga tetap menghadapi bahaya, tantangan, dan ketidakpastian yang berat.

    Kebodohan manusia, yang dipicu oleh rasa takut, rasisme, kebencian, penindasan, dan apartheid, mengancam masa depan bersama kita.

    Negara saya memahami penderitaan ini. Selama berabad-abad, rakyat Indonesia hidup di bawah dominasi kolonial, penindasan, dan perbudakan. Kami diperlakukan lebih buruk daripada anjing di tanah air kami sendiri.

    Kami orang Indonesia tahu apa artinya ditolak keadilan, tahu bagaimana hidup dalam apartheid, hidup dalam kemiskinan, dan ditolak kesempatan yang sama.

    Kami juga tahu apa yang dapat dilakukan solidaritas.

    Dalam perjuangan kami untuk kemerdekaan, dalam perjuangan kami untuk mengatasi kelaparan, penyakit, dan kemiskinan, Perserikatan Bangsa-Bangsa berdiri bersama Indonesia dan memberikan bantuan penting.

    Keputusan-keputusan yang dibuat di sini berdasarkan solidaritas kemanusiaan – oleh Dewan Keamanan dan Majelis ini – memberi Indonesia legitimasi internasional, membuka pintu, dan mendukung pembangunan awal kami melalui UNICEF (Dana Anak-Anak PBB), FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian PBB), WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), dan banyak sekali lembaga PBB lainnya.

    Dan karena itu, hari ini Indonesia berdiri di ambang kemakmuran bersama serta kesetaraan dan martabat yang lebih besar.

    Yang Mulia, dunia kita digerakkan oleh konflik, ketidakadilan, dan ketidakpastian yang semakin dalam.

    Setiap hari kita menyaksikan penderitaan, genosida, dan pengabaian terang-terangan terhadap hukum internasional serta martabat kemanusiaan.

    Dalam menghadapi tantangan ini, kita tidak boleh menyerah. Seperti yang dikatakan Sekretaris Jenderal PBB, “kita tidak boleh menyerah”. Kita tidak boleh mengorbankan harapan atau cita-cita kita. Kita harus semakin dekat, bukan semakin menjauh. Bersama-sama kita harus berjuang untuk mewujudkan harapan dan mimpi kita.

    PBB lahir dari puing-puing Perang Dunia Kedua yang merenggut puluhan juta nyawa. PBB diciptakan untuk menjamin perdamaian, keamanan, keadilan, dan kebebasan bagi semua.

    Kami tetap berkomitmen pada internasionalisme, multilateralisme, dan setiap upaya yang memperkuat lembaga besar ini.

    Hari ini, Indonesia semakin dekat untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dalam mengakhiri kemiskinan ekstrem dan kelaparan – karena bertahun-tahun lalu, ruang sidang inilah yang memilih untuk mendengarkan dan menegakkan keadilan sosial serta ekonomi.

    Kami tidak akan pernah lupa.

    Dan hari ini kita tidak boleh diam ketika rakyat Palestina ditolak keadilan dan legitimasi yang sama di aula ini.

    Yang Mulia, Thucydides pernah memperingatkan: “Yang kuat melakukan apa yang mereka bisa, yang lemah menderita apa yang harus mereka tanggung.” Kita harus menolak doktrin ini. PBB ada untuk menolak doktrin ini.

    Kita harus berdiri untuk semua, yang kuat maupun yang lemah. Benar tidak bisa berarti salah. Benar harus tetap benar.

    Indonesia hari ini adalah salah satu kontributor terbesar Pasukan Penjaga Perdamaian PBB. Kami percaya pada PBB, kami akan terus melayani di mana perdamaian membutuhkan penjaga – bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan kehadiran di lapangan.

    Jika dan ketika Dewan Keamanan dan Majelis Agung ini memutuskan, Indonesia siap mengerahkan 20.000 atau bahkan lebih putra-putri kami untuk menjaga perdamaian di Gaza atau di tempat lain, di Ukraina, di Sudan, di Libya, di mana pun perdamaian perlu ditegakkan, perdamaian perlu dijaga, kami siap.

    Kami akan mengambil bagian dalam beban itu, bukan hanya dengan putra-putri kami. Kami juga bersedia berkontribusi secara finansial untuk mendukung misi besar PBB dalam mencapai perdamaian.

    Yang Mulia,

    Saya mengajukan kepada majelis ini sebuah pesan harapan dan optimisme – yang berlandaskan pada tindakan dan pelaksanaan nyata. Hari ini kita mendengar pidato Ibu Presiden, Presiden Majelis Umum PBB. Benar apa yang beliau katakan. Tanpa ICAO (Organisasi Penerbangan Sipil Internasional), apakah kita bisa berada di sini hari ini? Apakah kita bisa duduk di aula agung ini? Tanpa PBB, kita tidak bisa merasa aman. Tidak ada negara yang bisa merasa aman. Kita membutuhkan PBB, dan Indonesia akan terus mendukung PBB. Walaupun kami masih berjuang, kami tahu dunia membutuhkan PBB yang kuat.

    Populasi dunia terus tumbuh. Planet kita berada dalam tekanan. Ketidakamanan pangan, energi, dan air menghantui banyak bangsa.

    Kami memilih untuk menjawab tantangan ini secara langsung di dalam negeri dan membantu di luar negeri kapan pun kami bisa.

    Tahun ini, kami mencatat produksi beras dan cadangan pangan tertinggi dalam sejarah kami. Kami sekarang swasembada beras dan telah mengekspor beras ke negara lain yang membutuhkan, termasuk memberikan beras kepada Palestina. Kami membangun rantai pasok pangan yang tangguh, memperkuat produktivitas petani, dan berinvestasi dalam pertanian cerdas iklim untuk memastikan ketahanan pangan bagi anak-anak kami dan bagi anak-anak dunia. Kami yakin, dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia akan menjadi lumbung pangan dunia.

    Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, kami bersaksi di hadapan Anda bahwa kami sudah merasakan dampak langsung perubahan iklim, khususnya ancaman kenaikan permukaan laut. Permukaan laut di pantai utara ibu kota kami meningkat 5 sentimeter setiap tahun. Dapatkah Anda bayangkan dalam sepuluh tahun? Dua puluh tahun?

    Untuk itu, kami terpaksa membangun tanggul laut raksasa sepanjang 480 kilometer. Mungkin akan memakan waktu 20 tahun, tetapi kami tidak punya pilihan. Kami harus mulai sekarang. Oleh karena itu kami memilih menghadapi perubahan iklim – bukan dengan slogan, tetapi dengan langkah nyata. Kami berkomitmen memenuhi kewajiban Perjanjian Paris 2015.

    Kami menargetkan mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060 dan kami yakin bisa mencapainya lebih cepat.

    Kami bertekad melakukan reforestasi lebih dari 12 juta hektare lahan yang terdegradasi, mengurangi degradasi hutan, dan memberdayakan masyarakat lokal dengan pekerjaan hijau berkualitas untuk masa depan.

    Indonesia bergerak tegas dari pembangunan berbasis bahan bakar fosil menuju pembangunan berbasis energi terbarukan. Mulai tahun depan, sebagian besar kapasitas tambahan pembangkit listrik kami akan berasal dari energi terbarukan.

    Tujuan kami jelas: Mengangkat seluruh warga kami keluar dari kemiskinan dan menjadikan Indonesia sebagai pusat solusi bagi keamanan pangan, energi, dan air.

    Yang Mulia, kita hidup di masa ketika kebencian dan kekerasan terdengar paling keras. Namun di balik kebisingan ini ada kebenaran yang lebih tenang: bahwa setiap orang mendambakan rasa aman, penghormatan, kasih sayang, dan meninggalkan dunia yang lebih baik bagi anak-anak mereka.

    Anak-anak kita sedang menyaksikan. Mereka belajar kepemimpinan bukan dari buku teks, tetapi dari pilihan-pilihan kita.

    Hari ini, situasi yang mengerikan di Gaza masih berlangsung di depan mata kita. Saat ini juga, orang-orang tak berdosa berteriak minta tolong, minta diselamatkan. Siapa yang akan menyelamatkan mereka? Siapa yang akan menyelamatkan orang tua dan para perempuan? Jutaan orang menghadapi bahaya saat ini juga, menghadapi trauma, kerusakan tubuh yang tak bisa diperbaiki, mereka mati kelaparan.

    Apakah kita bisa tetap diam? Apakah tidak ada jawaban untuk jeritan mereka? Apakah kita akan mengajarkan kepada mereka bahwa keluarga manusia bisa bangkit menghadapi tantangan?

    Yang Mulia, kita harus bertindak sekarang. Banyak pembicara telah mengatakan itu. Kita harus berdiri untuk tatanan multilateral di mana perdamaian, kemakmuran, dan kemajuan bukan hanya hak istimewa segelintir orang tetapi hak semua pihak.

    Dengan PBB yang kuat, kita bisa membangun dunia di mana yang lemah tidak lagi menderita, tetapi hidup dengan keadilan yang mereka layak dapatkan.

    Mari kita lanjutkan perjalanan besar kemanusiaan – aspirasi tanpa pamrih yang melahirkan PBB.

    Mari kita gunakan ilmu pengetahuan untuk mengangkat harkat, bukan untuk menghancurkan. Biarkan bangsa-bangsa yang bangkit membantu bangsa lain untuk bangkit.

    Saya yakin para pemimpin peradaban besar dunia: Barat, Timur, Utara, Selatan. Pemimpin Amerika, Eropa, India, China, dunia Islam, seluruh dunia. Saya yakin mereka akan bangkit menjalankan peran yang dituntut sejarah.

    Kita semua berharap para pemimpin dunia menunjukkan kenegarawanan, kebijaksanaan, pengendalian diri, dan kerendahan hati, mengatasi kebencian, mengatasi kecurigaan.

    Para Delegasi yang Terhormat,

    Kami sangat terinspirasi oleh peristiwa beberapa hari terakhir, di mana negara-negara terkemuka dunia telah memilih berpihak pada sejarah – jalan moralitas, jalan kebenaran, jalan keadilan, kemanusiaan, dan menolak kebencian, mengatasi kecurigaan, serta menghindari kekerasan. Kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan. Tidak ada satu negara pun yang bisa menggertak seluruh keluarga manusia. Kita mungkin lemah secara individu, tetapi rasa tertindas, rasa tidak adil, telah terbukti dalam sejarah umat manusia, akan bersatu dengan kekuatan besar yang mampu mengatasi penindasan ini, ketidakadilan ini.

    Sebagai penutup, saya ingin menegaskan kembali dukungan penuh Indonesia terhadap Solusi Dua Negara di Palestina. Kita harus memiliki Palestina yang merdeka, namun kita juga harus mengakui dan menjamin keselamatan serta keamanan Israel. Hanya dengan demikian kita dapat memiliki perdamaian sejati: perdamaian tanpa kebencian, perdamaian tanpa kecurigaan.

    Satu-satunya solusi adalah solusi dua negara. Dua keturunan Ibrahim harus hidup dalam rekonsiliasi, perdamaian, dan harmoni. Arab, Yahudi, Muslim, Kristen, Hindu, Buddha – semua agama. Kita harus hidup sebagai satu keluarga manusia. Indonesia berkomitmen untuk menjadi bagian dalam mewujudkan visi ini.

    Apakah ini mimpi? Mungkin. Tetapi inilah mimpi indah yang harus kita upayakan bersama. Mari kita lanjutkan perjalanan kemanusiaan menuju harapan, sebuah perjalanan yang dimulai oleh para pendahulu kita, perjalanan yang harus kita sempurnakan.

    Terima kasih. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

    Adapun ini adalah pidato kedua Prabowo di PBB. Sehari sebelumnya, Presiden memberikan pidato Konferensi Internasional Tingkat Tinggi untuk Penyelesaian Damai Masalah Palestina dan Implementasi Solusi Dua Negara.

    Dalam kesempatan tersebut, Prabowo juga menekankan pentingnya solusi dua negara untuk mengakhiri konflik berkepanjangan antara Palestina dan Israel.

    (tfa/luc)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Krisis Gaza Makin Parah, Uni Eropa Siapkan Sanksi Baru untuk Israel

    Krisis Gaza Makin Parah, Uni Eropa Siapkan Sanksi Baru untuk Israel

    Brussels

    Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa (UE) Kaja Kallas mengajukan proposal untuk membatasi perdagangan dengan Israel, serta memberlakukan pembatasan terhadap para menteri Israel dari sayap kanan, seperti Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir hingga Menteri Keuangan Bezalel Smotrich.

    “Saya jelaskan, tujuannya bukan untuk menghukum Israel. Tujuannya untuk memperbaiki situasi kemanusiaan di Gaza,” kata Kaja Kallas. “Perang perlu diakhiri. Penderitaan harus dihentikan dan semua sandera harus dibebaskan.”

    Hanya saja dari 27 negara anggota blok tersebut, masih belum dapat dipastikan akan ada suara mayoritas yang mendukung usulan Kaja Kallas. UE sendiri telah dikritik karena gagal menekan Israel untuk mengakhiri perang.

    Sebelumnya, juru bicara pemerintah Jerman mengatakan bahwa Berlin sudah mengetahui dukungan itu, hanya saja “belum menentukan keputusan akhir” terkait langkah-langkah yang diusulkan.

    Kemudian, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen juga sempat mengumumkan bahwa UE akan menghentikan bantuan dana kepada Israel. Serta, pihak eksekutif organisasi itu sedang mempertimbangkan langkah-langkah lebih lanjut.

    Pada Selasa (16/09), Menteri Luar Negeri (Menlu) Israel Gideon Saar mengatakan bahwa penangguhan manfaat perdagangan tertentu yang diberlakukan UE “tidak proporsional” dan “tidak pernah terjadi sebelumnya.”

    Di tengah diskusi soal hal tersebut, Israel terus mengirim pasukannya semakin jauh ke Kota Gaza.

    Militer Israel makin bergerak ke dalam Kota Gaza

    Militer Israel mengatakan bahwa unit angkatan udara dan artileri telah menyerang Gaza lebih dari 150 kali, di saat pasukan darat bersiap untuk bergerak masuk.

    Pada Rabu (17/09), pasukan dan tank Israel bergerak lebih dalam ke Kota Gaza. Sejauh ini, Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas melaporkan bahwa jumlah kematian warga Palestina lebih dari 65.000 jiwa.

    Serangan-serangan tersebut telah memutus layanan telepon dan internet, yang mengakibatkan warga Palestina kesulitan untuk memanggil ambulans selama serangan militer terbaru tersebut.

    Belakangan, Israel membuka wilayah lain di selatan Kota Gaza selama dua hari sejak Rabu (17/09) agar penduduk dapat mengungsi.

    UNICEF: Pengungsi Gaza mengalami trauma

    Ketika Israel melanjutkan aktivitasnya di Kota Gaza, diperkirakan sedikitnya 400.000 orang atau 40% dari penduduk Kota Gaza telah melarikan diri sejak pengumuman serangan militer Tel Aviv pada 10 Agustus 2025.

    Kantor media di Gaza mengatakan bahwa 190.000 orang telah menuju ke selatan dan 350.000 lainnya pindah ke area tengah dan barat kota. Sementara, Israel masih memperkirakan sekitar 100.000 warga sipil tetap berada di Gaza.

    Kepada DW, jubir UNICEF di Gaza Tess Ingram mengatakan bahwa warga Palestina mengaku takut tidak aman, entah ketika menetap di Gaza atau menyelamatkan diri.

    Zona kemanusiaan Al Mawasi, kata Tess Ingram, bukanlah tempat yang aman karena tidak ada layanan dan pasokan penting untuk bertahan hidup. Selain itu, dalam dua minggu terakhir, kawasan ini dilaporkan menerima serangan yang menewaskan delapan orang anak saat korban berupaya mengakses air minum.

    “Para keluarga kelelahan, mereka trauma. Ada anak-anak yang berjalan enam jam di atas puing-puing dan aspal yang hancur tanpa alas kaki dan kaki mereka berdarah. Mereka berjalan menuju ketidakpastian,” papar Ingram.

    Terlepas dari kehadiran UNICEF di Kota Gaza dan di selatan wilayah tersebut, tegas Ingram, bantuan kemanusiaan saat ini tidak memenuhi kebutuhan warga, “belum lagi jika ratusan ribu orang mendatangi area ini.”

    “Kami sangat membutuhkan, sekarang lebih dari sebelumnya, supaya semua penyeberangan ke Jalur Gaza dibuka, agar Jalur Gaza diberikan bantuan yang telah kami serukan selama berbulan-bulan,” desaknya.

    Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

    Laporan PBB soal genosida Israel

    Komisi Penyelidikan Internasional Independen PBB mengatakan bahwa Israel telah melakukan genosida di Jalur Gaza sejak 2023.

    Penyidik mengatakan bahwa empat dari lima tindakan genosida yang tercantum dalam Konvensi Genosida PBB 1948 telah dilakukan di Gaza.

    Mereka menyebut Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Presiden Isaac Herzog dan Mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant sebagai terduga perencana genosida.

    Laporan tersebut sejalan dengan kesimpulan yang disampaikan oleh berbagai asosiasi terkemuka dunia para sarjana genosida, hingga sejumlah kelompok hak asasi internasional.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh: Muhammad Hanafi dan Adelia Dinda Sani

    Editor: Tezar Aditya dan Hani Anggraini

    (nvc/nvc)

  • Indonesia Vs Obesitas, ‘Double Burden’ di Tengah Masalah Gizi Anak

    Indonesia Vs Obesitas, ‘Double Burden’ di Tengah Masalah Gizi Anak

    Jakarta

    Obesitas pada anak kini jadi sorotan serius dunia. Laporan terbaru UNICEF menyebutkan sedikitnya satu dari sepuluh anak di dunia mengalami obesitas. Kondisi ini tak hanya dipicu minimnya edukasi gizi di keluarga, tetapi juga gempuran makanan dengan pemrosesan ultra atau Ultra Processed Food (UPF) yang semakin mudah diakses dan kerap lebih murah dibanding buah serta sayur.

    Fenomena ini nyata terjadi di Indonesia. Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menegaskan, Indonesia menghadapi situasi yang disebut double burden. Artinya, anak-anak tak hanya berisiko mengalami kekurangan gizi hingga stunting, tetapi juga obesitas. Bahkan, di kota besar, prevalensi obesitas anak tercatat lebih tinggi.

    “Kita (Indonesia) menghadapi double burden, disatu sisi kita kekurangan gizi yang menyebabkan terjadinya stunting, di sisi lain, anak-anak itu ternyata obesitas,” tuturnya saat ditemui di ASEAN Car Free Day, di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (24/9/2025).

    Definisi Obesitas pada Anak

    Obesitas pada anak bukan sekadar masalah badan gemuk, melainkan kondisi saat lemak tubuh menumpuk secara berlebihan sehingga bisa mengganggu kesehatan. Cara menentukannya pun berbeda dengan orang dewasa. Jika pada orang dewasa cukup dengan menggunakan angka Indeks Massa Tubuh (IMT), pada anak lebih spesifik ukurannya, yaitu dengan menggunakan grafik pertumbuhan yang disesuaikan dengan umur dan jenis kelamin.

    Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), anak usia 5-19 tahun dikategorikan obesitas bila nilai IMT-nya berada di atas persentil 97 dibanding anak seusianya. Singkatnya, jika berat badan dan tinggi badan seorang anak jauh melampaui sebagian besar teman sebayanya, ada kemungkinan ia sudah masuk kategori obesitas.

    Wamenkes Dante Saksono Harbuwono bicara soal obesitas pada anak. Foto: detikhealth/Nafilah Sri Sagita

    Belajar dari Negara Lain

    Beberapa negara telah berhasil menurunkan angka obesitas anak melalui kebijakan yang tegas. Meksiko misalnya, sejak 2014 memberlakukan pajak 10 persen untuk minuman manis. Jurnal BMC Public Health, mencatat bahwa kebijakan ini menurunkan konsumsi minuman berpemanis hingga 7,6 persen hanya dalam dua tahun.

    Inggris memiliki kebijakan Universal Infant Free School Meal yaitu makan siang gratis untuk anak usia empat sampai tujuh tahun di sekolah dasar sejak tahun 2014. Menu yang disajikan di sekolah mengandung gizi seimbang dan membatasi asupan kalori yang tinggi. Inggris juga menerapkan kebijakan lain di tahun 2018 yaitu Soft Drinks Industry Levy. Alih-alih hanya mengurangi konsumsi, kebijakan ini mendorong produsen untuk reformulasi produk minuman agar kadar gulanya lebih rendah. Hasilnya kadar gula pada minuman ringan berkurang rata-rata 29 persen hanya dalam tiga tahun.

    Chile mengambil langkah lebih progresif dengan mewajibkan label peringatan hitam di depan kemasan untuk produk tinggi gula, garam, dan lemak. Studi ilmiah yang terangkum pada Jurnal Nutrients 2025 menunjukkan kebijakan ini efektif menurunkan konsumsi minuman berpemanis pada anak sebesar 23,7 persen dalam 18 bulan pertama, ditambah lagi larangan iklan junk food di jam tayang anak yang semakin membatasi paparan.

    Singapura juga menjadi contoh menarik dengan program “Healthier Choice Symbol” yang memberi tanda khusus pada produk lebih sehat dan memberi Nutri-grade Label untuk minuman manis. Pemerintah Negeri Singa bahkan melarang semua iklan minuman berpemanis sejak tahun 2020. Pemerintah Singapura juga aktif dalam memberikan edukasi ke sekolah tentang gaya hidup sehat. Keterlibatan komunitas, sekolah, orang tua pada program yang dijalankan pemerintah Singapura menjadi salah satu faktor penting tercapainya tujuan program. Menurut laporan Ministry of Health (MoH) Singapura tahun 2022, kebijakan ini berhasil menahan laju peningkatan obesitas anak.

    Korea Selatan juga menunjukkan langkah strategis. Negara ini melarang iklan junk food di jam tayang anak sejak tahun 2010 dan memperkenalkan konsep Green Food Zones, yaitu area 200 meter di sekitar sekolah, di mana penjualan makanan tinggi gula, garam, dan lemak dilarang.

    Jepang menempuh jalur berbeda melalui pendidikan gizi nasional atau Shokuiku sejak 2005. Setiap sekolah dasar dan menengah wajib menyediakan menu sehat untuk makan siang yang mengikuti standar gizi nasional.

    Upaya Indonesia Mengatasi Obesitas Anak

    Indonesia sebenarnya tidak tinggal diam. Sejumlah program telah digulirkan, meskipun fokus besar pemerintah masih tertuju pada stunting. Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) mengajak masyarakat untuk lebih aktif bergerak, rutin mengkonsumsi buah dan sayur, serta melakukan pemeriksaan kesehatan. Di sekolah, Program Usaha Kesehatan Sekolah/Madrasah (UKS/M) menjadi wadah integrasi edukasi gizi, olahraga, dan pemeriksaan kesehatan anak. Selain itu, pedoman gizi seimbang merupakan program edukasi gizi di sekolah, posyandu, dan fasilitas kesehatan melalui konsep “Isi Piringku” diperkenalkan sebagai pengganti 4 Sehat 5 Sempurna.

    KEMENKES juga meresmikan “Kantin Sehat” sekolah agar anak-anak tidak terbiasa mengkonsumsi jajanan tinggi gula, garam, dan lemak. Lebih jauh, Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) 2021-2025 bahkan secara eksplisit memasukkan target penurunan prevalensi obesitas anak yang berfokus pada perbaikan pola konsumsi, peningkatan aktivitas fisik, dan pembatasan pemasaran pangan tidak sehat untuk anak.

    Namun, data riset terbaru menunjukkan prevalensi obesitas anak di Indonesia belum mengalami penurunan signifikan, sehingga implementasi kebijakan ini dinilai belum sekuat negara lain.

    Apa yang Bisa Dipelajari dari Negara Lain?

    Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa kombinasi regulasi tegas dan edukasi gizi sejak dini adalah kunci. Indonesia bisa mencontoh Meksiko dan Inggris yang berhasil menekan konsumsi gula dengan pajak minuman berpemanis.
    Dante menyinggung rencana penerapan regulasi sugar tax pada makanan dan minuman manis di Indonesia sedang dibahas dan segera diproses.

    “Nanti kita sedang membuat regulasi, untuk melakukan sugar tax pada makanan. Sugar tax pada makanan ini akan memberlakukan pajak kepada sejumlah tertentu gula yang ada. Tapi masih dalam pembahasan, masih dalam proses, nanti akan kita wujudkan kalo sudah diselesaikan,” pungkasnya.

    Pengalaman negara juga Chile membuktikan bahwa label gizi yang jelas di depan kemasan sangat membantu orang tua dalam memilih makanan yang lebih sehat. Di Indonesia, saat ini label gula, garam, lemak (GGL) berada di belakang kemasan, kecil, dan sulit dipahami. Agar lebih sederhana dan tegas, diperlukan adanya front of pack label. Front of pack label adalah informasi sederhana dari nutrisi makanan yang ada di depan kemasan.

    Dari Korea Selatan, Indonesia bisa belajar pentingnya pembatasan iklan dan penjualan junk food di sekitar sekolah. Sementara Jepang memberi teladan lewat program makan siang sekolah yang konsisten menanamkan kebiasaan makan sehat sejak kecil. Saat ini Indonesia sudah ada program Kantin Sehat dan Makan Bergizi Gratis (MBG), hanya tinggal meningkatkan monitoring pelaksanaannya lebih baik lagi.

    Singapura memperlihatkan bagaimana kampanye nasional yang terintegrasi, melibatkan sekolah, industri, hingga masyarakat, mampu mengubah perilaku konsumsi secara bertahap. Jika Indonesia mampu menggabungkan regulasi ketat dengan edukasi dan pengawasan di sekolah, peluang menekan angka obesitas anak akan jauh lebih besar.

    Halaman 2 dari 4

    Simak Video “Video Wamenkes: Anak Gemuk Belum Berarti Sehat”
    [Gambas:Video 20detik]
    (mal/up)

  • Soroti Obesitas Anak, Wamenkes Bicara Wacana ‘Sugar Tax’ di Indonesia

    Soroti Obesitas Anak, Wamenkes Bicara Wacana ‘Sugar Tax’ di Indonesia

    Jakarta

    Laporan UNICEF belum lama ini menyoroti angka obesitas anak sedikitnya dialami satu dari 10 anak secara global. Hal yang memprihatinkan, pemicunya tidak melulu berkaitan dengan edukasi dan literasi gizi di keluarga.

    Namun, ada ‘taktik’ bisnis yang membuat ultra processed food (UPF) belakangan lebih mudah diakses. UPF juga disebut lebih murah ketimbang buah dan sayur-sayuran.

    Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono membenarkan insiden kasus obesitas belakangan memang relatif tinggi. Menurutnya, situasi di RI kurang lebih serupa dengan apa yang dihadapi secara global, yakni ‘double burden disease’.

    Istilah ini mengacu pada kondisi saat anak menghadapi dua penyakit. Satu, karena malnutrisi. Kedua, akibat obesitas.

    “Jadi Indonesia ini menghadapi double burden, double burden di satu sisi kita kekurangan gizi yang mengakibatkan terjadinya stunting, di sisi lain, anak-anak itu, 1 dari 10 anak obesitas, bahkan di kota-kota besar yang obesitas lebih banyak lagi,” tuturnya saat ditemui di ASEAN Car Free Day, di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (24/9/2025).

    Mengutip salah satu hasil survei di DKI, Dante menekankan 30 persen anak sekolah bahkan teridentifikasi mengidap obesitas.

    “Nah jadi kita imbau ke masyarakat gemuk itu bukan berarti sehat, kadang-kadang kan kalau anak yang kurus tuh takut tuh, mulai sekarang kita harus membiasakan yang ideal, makan yang sehat supaya tidak obesitas,” sambung dia.

    Anak juga disebutnya perlu dibekali pendidikan pola makan sehat sedini mungkin agar tak obesitas.

    Menyoal akses buah dan sayur yang disebut relatif sulit diakses ketimbang makan tak sehat karena harganya mahal, Dante menekankan pemerintah sedang menyusun regulasi pajak.

    Pertama, fokus pada makanan manis.

    “Nanti kita sedang buat regulasi sugar tax pada makanan, sugar tax pada makanan ini akan memberlakukan pajak pada sejumlah gula tertentu yang ada, tapi masih kami proses terus,” pungkasnya.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: CISDI Ungkap Anak Usia Sekolah Gemar Konsumsi Gula dan Garam”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/up)