JK Sebut 4 Pulau Masuk Sumut Milik Aceh, Singgung Perjanjian Helsinki dan UU Era Soekarno
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Wakil Presiden ke-10 dan ke-12
Jusuf Kalla
(JK) buka suara polemik perebutan Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil antara Provinsi
Sumatera Utara
(Sumut) dan
Aceh
.
Menurutnya, keempat pulau itu secara historis masuk dalam
wilayah administrasi
Aceh berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 1956, yang mengatur pemisahan Aceh dari wilayah Sumut.
“Di UU tahun 1956, ada UU tentang Aceh dan Sumatera Utara oleh Presiden Soekarno yang intinya adalah, dulu Aceh itu bagian dari Sumatera Utara, banyak residen. Kemudian Presiden, karena kemudian ada pemberontakan di sana, DI/TII, maka Aceh berdiri sendiri sebagai provinsi dengan otonomi khusus,” ujar JK saat diwawancarai di kediamannya, Jakarta Selatan, Jumat (13/6/2025).
Beleid tersebut, kata JK, juga menjadi acuan dan rujukan saat pemerintahan Indonesia menandatangani
perjanjian Helsinki
dengan kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 2005.
Ketika itu, JK selaku Wakil Presiden RI mendorong adanya dialog untuk menyelesaikan konflik dengan GAM dan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
“Karena banyak yang bertanya, membicarakan tentang pembicaraan atau MoU di Helsinki. Karena itu saya bawa MoU-nya. Mengenai perbatasan itu, ada di poin 1.1.4, yang berbunyi ‘Perbatasan Aceh, merujuk pada perbatasan 1 Juli tahun 1956. Jadi, pembicaraan atau kesepakatan Helsinki itu merujuk ke situ,” ungkap JK.
“Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956, itu yang meresmikan Provinsi Aceh dengan kabupaten-kabupaten yang ada, berapa itu kabupatennya, itu. Jadi formal,” kata JK.
JK pun lantas menyinggung keputusan pemerintah menetapkan keempat pulau tersebut sebagai wilayah Sumut karena persoalan jarak yang lebih dekat.
Menurutnya, hal tersebut tidak bisa serta-merta menjadi rujukan karena ada aspek sejarah yang juga harus dipertimbangkan.
“Dalam sejarahnya, Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil. Itu secara historis, sudah dibahas di Kompas oleh tulisannya siapa lupa, bahwa itu secara historis memang masuk Aceh, Aceh Singkil,” ungkap JK.
“Bahwa letaknya dekat Sumatera Utara itu biasa. Contohnya di Sulawesi Selatan, ada pulau yang dekat NTT, tapi tetap Sulawesi Selatan, walaupun dekat juga NTT. Itu biasa,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, empat pulau yang berada di dekat pesisir pantai Kabupaten Tapanuli Tengah, yakni Pulau Mangkir Kecil, Pulau Mangkir Besar, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan, menjadi sorotan karena diperebutkan oleh Pemerintah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Sumut).
Hal itu dipicu oleh Keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menegaskan bahwa keempat pulau tersebut masuk dalam wilayah administrasi Provinsi Sumatera Utara.
Pemerintah pusat melalui Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data
Wilayah Administrasi
Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025, menyatakan bahwa empat pulau milik Aceh masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.
Keputusan tersebut direspons beragam oleh kedua daerah, karena konflik perebutan wilayah ini sudah berlangsung puluhan tahun.
Salah satunya adalah klaim Pemprov Aceh yang mengantongi jejak historis di keempat pulau tersebut, sedangkan Pemprov Sumut memiliki dalil dari hasil survei yang dilakukan Kemendagri.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
NGO: TII
-
/data/photo/2025/06/13/684bfc368e9fe.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
9 JK Sebut 4 Pulau Masuk Sumut Milik Aceh, Singgung Perjanjian Helsinki dan UU Era Soekarno Nasional
-
/data/photo/2025/05/07/681b064097bec.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Temuan Transparansi Internasional: KPU Sewa Apartemen Rp 45-55 Juta Per Bulan Nasional 4 Juni 2025
Temuan Transparansi Internasional: KPU Sewa Apartemen Rp 45-55 Juta Per Bulan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
–
Transparansi Internasional
Indonesia (TII) menjabarkan sejumlah temuan
pengadaan apartemen
untuk para anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.
Temuan itu didasarkan pada penelusuran dengan sumber terbuka di lpse.kpu.go.id.
Anggota TII, Agus Sarwono, memaparkan, dari penelusuran yang dilakukan, ditemukan adanya pengadaan sewa apartemen delapan unit yang dilakukan pada 16 Januari 2024.
Sewa apartemen itu terdapat dalam detail paket 994.002.0B.001079 dengan keterangan Sewa di Kantor KPU Imam Bonjol.
Nilai anggaran mencapai Rp 1,08 miliar dengan rincian apartemen tipe 2BR delapan unit selama tiga bulan dengan harga satuan Rp 45 juta per bulan, dan apartemen tipe 3BR empat unit dengan harga satuan Rp 55 juta per bulan.
Lama sewa 12 unit apartemen ini adalah tiga bulan.
Sewa apartemen yang sama dilakukan perpanjangan untuk sembilan bulan, terhitung April-Desember 2024, untuk tujuh unit apartemen dengan satuan Rp 55 juta per bulan dengan nilai total Rp 3,84 miliar.
“Nah pertanyaan jadi begini, kok bores banget di KPU? Nah perlu dicek nih bagaimana mekanisme perencanaan dalam sisi pengadaan gitu ya,” kata Agus saat ditemui di Pejaten, Jakarta Selatan, Rabu (4/6/2025).
Dia juga berharap temuan ini bisa ditindaklanjuti oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan melakukan audit dengan lebih dalam.
“Kami minta kawan-kawan BPK itu untuk mendalaminya semua pengadaan barang dan jasa lewat pendekatan
audit investigatif
,” imbuhnya.
Selain apartemen, Transparansi Internasional juga menemukan paket belanja sewa kantor yang dilakukan untuk ruang kerja pimpinan, ruang meeting, dan ruang pleno di apartemen dengan harga satuan Rp 40 juta per bulan.
Sedangkan ruang tunggu dan tamu empat unit dengan harga Rp 35 juta per bulan.
Temuan ini menambah catatan anggaran janggal yang dilakukan KPU setelah temuan pengadaan jet pribadi dan helikopter yang telah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 7 Mei 2025.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2024/07/14/6693bcf473bbb.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Belum Bersidang, Aduan Masyarakat Sipil Terkait Pengadaan Jet Pribadi KPU RI Ditolak DKPP Nasional 4 Juni 2025
Belum Bersidang, Aduan Masyarakat Sipil Terkait Pengadaan Jet Pribadi KPU RI Ditolak DKPP
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Aduan pengadaan
jet pribadi
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI yang diajukan
Koalisi Masyarakat Sipil
ditolak Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (
DKPP
), sebelum diproses masuk dalam tahap persidangan.
Anggota Koalisi dari Transparansi Internasional Indonesia (TII), Agus Sarwono mengatakan, aduan itu bukan ditolak berdasarkan putusan hakim, tapi ditolak di bagian desk pengaduan.
“Problemnya adalah kemarin desk pengaduannya itu sudah menolak karena yang lapor ini badan, bukan individu,” kata dia saat ditemui di Pejaten, Jakarta Selatan, Rabu (4/6/2025).
Agus menjelaskan, lembaga peradilan tak sepatutnya menolak aduan yang dilayangkan.
Semestinya DKPP menerima terlebih dahulu dan proses perbaikan bisa diusulkan dalam persidangan.
“Jadi desk pengaduannya itu justru malah menolak sejak di awal. Jadi kami merasa kayaknya ada yang salah dalam sistem pengelolaan pengaduan,” tuturnya.
Sikap DKPP ini jauh berbeda dengan lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menerima laporan Koalisi Masyarakat Sipil dengan baik.
Meski demikian, Agus mengatakan akan tetap melanjutkan aduannya dengan memperbaiki laporan mereka yang ditolak oleh DKPP.
Perbaikannya yakni pengadu harus individu atau kelompok, bukan sebuah yayasan.
“Kami dari Transparansi Internasional nanti akan dijadikan ahli untuk mendalami isu pengadaan dan juga isu tracking pesawatnya itu sendiri,” tandasnya.
Sebelumnya,
koalisi masyarakat sipil
mengadukan seluruh komisioner
KPU RI
dan Sekjen KPU RI ke DKPP pada 22 Mei 2025.
Pengaduan ini dilayangkan terkait pengadaan barang dan jasa yang dinilai bermasalah, yakni penggunaan jet pribadi dalam penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) 2025.
Ada tiga alasan mereka melaporkan KPU RI ke DKPP, pertama terkait pengadaan sewa privat jet yang dicurigai menjadi praktik suap.
Kedua, pengadaan jet pribadi diduga tidak sesuai dengan peruntukannya, dan ketiga dugaan pelanggaran regulasi perjalanan dinas pejabat negara.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/05/05/68188c378f597.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Prabowo: Peristiwa Madiun Seolah-olah Itu Komunis, Ternyata Belanda
Prabowo: Peristiwa Madiun Seolah-olah Itu Komunis, Ternyata Belanda
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Presiden
Prabowo
Subianto menilai dalang
Peristiwa Madiun
tahun 1948 adalah pihak
Belanda
, bukan kelompok komunis.
“Peristiwa Madiun, seolah-olah itu komunis, ternyata yang membawa Muso, Semaun, semua itu adalah Belanda, difasilitasi oleh Belanda,” kata Prabowo dalam
sidang kabinet paripurna
di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (5/5/2025).
Peristiwa Madiun lazim dikenal sebagai pemberontakan PKI atau Partai Komunis Indonesia.
Muso atau Munawar Musso yang disebut Prabowo adalah tokoh komunis senior Indonesia yang pernah belajar di Uni Soviet. Semaun atau Semaoen yang disebut Prabowo merupakan Ketu Umum Pertama PKI.
Menurut Prabowo, “Madiun Affair” pada era Sukarno-Hatta adalah ulah Belanda. Begitu pula peristiwa-peristiwa pemberontakan lain di era Bung Karno, juga dinilai Prabowo sebagai ulah asing.
“20 Tahun, mungkin 25-28 tahun kita merdeka tidak pernah berhenti dari campur tangan asing,” kata Prabowo.
“DI/TII, dokumen keluar, (ternyata dalangnya -red) Belanda,” ujarnya.
“Snouck Hurgronje juga ‘sandi yudha’, intelnya Belanda,” kata Prabowo.
Prabowo menyampaikan ulasan sejarahnya karena dia ingin menyadarkan para menteri yang hadir di rapat bahwa Indonesia sebenarnya punya kekuatan dan harus bangkit.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Skandal Jet Pribadi KPU di Pemilu 2024: Kejanggalan Pengadaan hingga Dugaan Mark Up Rp19,2 M – Halaman all
Laporan khusus Tribunnews.com
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Komisi Pemilihan Umum (KPU) kembali menjadi sorotan publik setelah Transparency International Indonesia (TII) mengungkap dugaan mark-up anggaran dalam pengadaan sewa private jet atau jet pribadi untuk Pemilu 2024.
Temuan ini memunculkan pertanyaan serius mengenai transparansi dan akuntabilitas lembaga penyelenggara pemilu di Indonesia.
Adanya pengadaan sewa jet pribadi oleh KPU pada masa Pemilu 2024 terungkap saat dari anggota DPR RI, Riswan Tony dari Fraksi Golkar menyindir gaya hidup anggota KPU yang dianggap terlalu mewah. Bahkan, ia menyebut seperti tokoh fiksi Don Juan, karena kedapatan menyewa private jet dengan anggaran besar.
“Punya uang Rp 56 triliun itu kaget. Akibatnya, ada yang sudah kayak Don Juan, sewa private jet, belum lagi dugem-nya,” kata Riswan di ruang rapat Komisi II DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (15/5/2024).
Pernyataan ini langsung memantik perhatian publik dan menimbulkan pertanyaan, untuk apa private jet digunakan selama proses pemilu?
Respons dari Ketua KPU, Hasyim Asy’ari, pun tak kalah menarik. Ia membantah jet pribadi itu untuk kepentingan pribadi.
Ia mengakui bahwa selama Pemilu 2024, KPU menyewa private jet untuk memastikan distribusi logistik berjalan tepat waktu. Namun, ia mengaku tidak mengetahui berapa unit pesawat yang digunakan dan membantah adanya penyimpangan.
“Kalau pesawat kan pesawat sewaan untuk monitoring logistik. Pengadaan logistik kita cuma 75 hari lho dan yang bertanggung jawab KPU. Kalau logistik gagal 14 Februari gagal, siapa yang dimintai tanggung jawab?” kata Hasyim.
Dugaan Mark Up Rp19,2 Miliar dan Sederet Kejanggalan Pengadaan
Rupanya, TII sudah lama melakukan investigasi terkait pengadaan sewa private jet oleh pihak KPU ini.
Berdasarkan penelusuran TII melalui Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP) dan Aplikasi Monitoring dan Evaluasi Lokal (AMEL) LKPP, ditemukan dua kontrak dengan penyedia layanan penyewaaan private jet, PT Alfalima Cakrawala Indonesia.
Kontrak pertama tertanggal 6 Januari 2024 senilai Rp40.195.588.620 dan kontrak kedua tertanggal 8 Februari 2024 senilai Rp25.299.744.375, sehingga totalnya mencapai Rp65.495.332.995.
Padahal, pagu anggaran yang tercantum dalam Rencana Umum Pengadaan (RUP) hanya sebesar Rp46.195.659.000, menyisakan selisih sebesar Rp19.299.673.995 yang diduga merupakan mark-up anggaran.
“Dengan selisih ini ada dugaan mark-up dalam penyewaan private jet,” peneliti TII, Agus Sarwono.
Agus mengungkapkan, TII menemukan kejanggalan lain dari perusahaan PT Alfalima Cakrawala Indonesia yang mendapatkan pekerjaan penyediaan private jet yang disewa KPU.
Rupanya, perusahaan tersebut baru didirikan pada tahun 2022 alias baru beroperasi dua tahun.
Keterangan pekerjaan dari paket pengadaan tersebut bertuliskan “Sewa Dukungan Kendaraan Distribusi Logistik untuk Monitoring dan Evaluasi Logistik Pemilu 2024”.
TII menilai ada kejanggalan dalam Rencana Umum Pengadaan (RUP) ini. Sebab, paket pengadaan ini tidak secara spesifik menyebutkan jenis kendaraan apa yang akan disewa oleh KPU.
Kemudian, paket pengadaan sewa kendaraan ini menggunakan metode e-purchasing, yang cenderung tertutup, sehingga publik tidak dapat mengetahui bagaimana proses penawaran terjadi, termasuk alasan mengapa penyedia tertentu yang dipilih.
TII juga menemukan ketidaksesuaian antara waktu penggunaan private jet dengan kebutuhan distribusi logistik Pemilu 2024.
Menurut rilis KPU, distribusi logistik hingga ibu kota kabupaten/kota dijadwalkan selesai pada 16 Januari 2024, sementara penggunaan private jet tercatat hingga Juni 2024, jauh setelah tahapan distribusi logistik selesai.
Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai urgensi dan tujuan penggunaan private jet tersebut.
“Selain soal urgensi penggunaan private jet dalam logistik pemilu, ada dugaan penggunaan private jet justru tidak digunakan untuk hal tersebut. Ini semakin memunculkan kuatnya indikasi kerugian negara dalam pengadaan sewa private jet,” ujar peneliti TII, Agus Sarwono.
Saat ini, TII belum melaporkan temuan ini ke aparat hukum, tapi hasilnya bisa digunakan sebagai bahan kajian lebih lanjut.
Siapa Saja Penumpang Private Jet?
Ia juga meminta KPU membuka data penggunaan private jet, termasuk daftar penumpang, karena penggunaannya yang tidak jelas menimbulkan keanehan.
Alih-alih mengupayakan efisiensi anggaran, ia menilai, keanehan terjadi ketika KPU memilih menggunakan private jet untuk menjangkau daerah-daerah terpencil, baik untuk mendistribusikan logistik ataupun memonitoring distribusi logistik pemilu.
“Pesawat komersil itu bisa menjangkau daerah terluar, kok. Pertanyaannya, kenapa tidak menggunakan pesawat komersil?” ucapnya.
Alasan Temuan Baru Dipublikasi
Agus menjelaskan, pihaknya baru mempublikasikan temuan ini setelah Pemilu 2024 karena proses penelusuran yang lama.
Awalnya, isu pengadaan private jet muncul dari rapat Komisi II DPR pada September 2024, namun tidak didalami lebih jauh.
TII kemudian melakukan penyelidikan mendalam, termasuk analisis anggaran dan dokumen pengadaan, meski terkendala akses informasi.
“Karena lagi-lagi kan informasinya itu umum banget ya, ‘sewa kendaraan untuk monitoring distribusi logistik’, ini kan maknanya apa. Ini apa mereka itu sewa pesawat untuk distribusi atau distribusi monitoring?” ujar Agus.
Agus menegaskan bahwa proses pengadaan ini perlu transparansi, apalagi klaim pemerintah tentang pengadaan digital yang minim praktik korupsi tidak sepenuhnya terbukti.
Eks Ketua KPU Curiga Sewa Jet untuk Kepentingan Tertentu: Pasti Sekjen Tahu
Pegiat pemilu sekaligus dosen Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini dan Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT), Hadar Nafis Gumay di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (7/8/2024). (Tribunnews.com/Mario Christian Sumampaow)
Mantan Ketua KPU RI, Hadar Nafis Gumay, menyatakan temuan investigasi TII menjadid sinyal buruk bagi kondisi lembaga penyelenggara pemilu di Tanah Air.
“Kalau sudah membaca laporan investigasi dari TII, itu indikasinya (korupsi) menurut saya cukup kuat,” tegas Hadar, Rabu (30/4).
Menurutnya, pengadaan sewa private jet dengan anggaran besar dan waktu yang dianggap tidak relevan tidak masuk akal, mengingat tahapan logistik pemilu telah terjadwal jauh hari.
“Jadi itu sudah bisa direncanakan. Jadi tidak perlu dilakukan mepet dengan kemudian menggunakan private jet yang bisa terbang seenak jadwalnya. Karena itu kan biayanya lebih tinggi,” ujarnya.
Hadar juga menilai alasan penggunaan jet untuk menjangkau daerah terpencil tidak berdasar. Ia menyebut jalur transportasi umum sudah memadai dan KPU pusat bisa menugaskan KPU daerah untuk memastikan kesiapan pemilu.
Yang paling tajam, Hadar menduga kuat bahwa pengadaan sewa jet ini tak mungkin terjadi tanpa sepengetahuan Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPU, Bernad Dermawan Sutrisno.
“(Sekjen KPU) sudah pasti tahu (soal pengadaan sewa private jet). Sudah pasti. Tidak mungkin tidak tahu,” tegas Hadar.
Ia menambahkan, “Sekjen itu dibuat untuk men-support kerja komisioner dalam menyelenggarakan pemilu. Memang tugas mereka, Kesekjenan. Ya harus dikerja mereka, ditanya itu.”
Sebagai Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT), Hadar mendorong agar aparat hukum segera menyelidiki dugaan penyimpangan tersebut. Ia mengingatkan, seluruh penggunaan uang negara wajib dipertanggungjawabkan secara transparan dan sesuai aturan.
“Penegakan hukum penting dilakukan agar citra penyelenggara pemilu tidak bertambah hancur,” pungkasnya.
Tribunnews.com telah berupaya menghubungi Ketua KPU Mochammad Afifuddin, serta beberapa anggota KPU, di antaranya Betty Epsilon Idroos, Idham Holik, dan Yulianto Sudrajat.
Namun, hingga berita ini ditulis, belum ada respons dari semua anggota KPU RI tersebut mengenai isu pengadaan sewa private jet ini.
Bagaimana pendapat Anda tentang dugaan mark-up dalam pengadaan sewa private jet oleh KPU? Bagikan opini Anda di kolom komentar dan sebarkan artikel ini di media sosial untuk meningkatkan kesadaran publik.
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3913778/original/099751800_1643088559-20220125-TNI-AD-Gelar-Pasukan-Monas-9.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kekhawatiran Kembalinya ke Dwifungsi ABRI di Revisi UU TNI – Page 3
Liputan6.com, Jakarta – Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau RUU TNI dengan menambah jumlah kementerian dan lembaga yang bisa diisi oleh prajurit aktif menjadi 15. Usulan ini diklaim sebagai bentuk penyesuaian dengan kebutuhan zaman dan kondisi saat ini.
Menanggapi usulan ini, Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Christina Clarissa Intania, menilai bahwa kontroversi ini bermula sejak pengangkatan Letnan Kolonel (Letkol) Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet dalam pemerintahan Presiden Prabowo. Jabatan tersebut sebelumnya lebih akrab dijabat oleh pejabat sipil.
“Pengangkatan ini dilakukan dengan dalih bahwa Letkol Teddy menjabat sebagai Sekretaris Militer Presiden. Namun, tak bisa diingkari bahwa keputusan tersebut telah menimbulkan disrupsi di pemerintahan dan internal TNI itu sendiri,” ujarnya.
Menurut Christina, keputusan ini seolah menjadi sinyal bahwa prajurit aktif bisa kembali menduduki jabatan sipil. Padahal, dalam negara demokrasi yang menjunjung supremasi sipil, UU TNI telah secara tegas melarang prajurit aktif menempati jabatan di pemerintahan.
Christina menegaskan bahwa upaya revisi UU TNI ini bertentangan dengan semangat Reformasi 1998 yang bertujuan untuk memisahkan peran militer dari ranah sipil. Presiden ke-6 Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang juga purnawirawan TNI, selalu konsisten menekankan pentingnya supremasi sipil dan profesionalisme tentara.
“Jika revisi ini disetujui, maka ini menjadi langkah mundur bagi demokrasi. TNI perlahan mengembalikan posisinya ke dalam pemerintahan, tidak lagi secara diam-diam, tetapi dengan legalitas yang diperkuat melalui undang-undang,” kritik Christina.
Ia juga menilai bahwa upaya ini berpotensi menyalahgunakan payung hukum demi kepentingan politik tertentu.
-

Peneliti ingatkan urgensi supremasi sipil dalam revisi UU TNI
“Sebagai negara demokrasi yang mengedepankan supremasi sipil, UU TNI sudah mengatur jelas bahwa TNI aktif tidak boleh menduduki jabatan sipil. Pengecualian untuk beberapa jabatan tinggi juga sudah ada jelas,”
Jakarta (ANTARA) – Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) Christina Clarissa Intania mengingatkan bahwa supremasi sipil perlu dikedepankan dalam merevisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Christina dalam keterangan dikonfirmasi di Jakarta, Jumat, menyebut wacana memperluas kewenangan prajurit aktif TNI untuk masuk ke dalam jabatan sipil sebaiknya dicegah. Sebab, UU TNI selama ini telah melarang hal tersebut.
“Sebagai negara demokrasi yang mengedepankan supremasi sipil, UU TNI sudah mengatur jelas bahwa TNI aktif tidak boleh menduduki jabatan sipil. Pengecualian untuk beberapa jabatan tinggi juga sudah ada jelas,” katanya.
Menurut Christina, usulan penambahan jabatan sipul baru untuk boleh diisi oleh prajurit TNI berlawanan dengan semangat Reformasi 1998 yang menginginkan dwifungsi militer dihapuskan.
“Apalagi jabatan yang bisa diisi adalah jabatan di tingkat pemerintah pusat yang tergolong tinggi. Ini membuka lebih banyak kesempatan pengaruh militer untuk masuk dan memengaruhi pemerintahan,” ujarnya.
Dia menyebut dukungan sejumlah pihak terhadap wacana perluasan kewenangan TNI tersebut telah melewati batas karena dikhawatirkan mengancam demokrasi. Ia juga mengingatkan mekanisme pembentukan undang-undang tidak boleh disalahgunakan untuk manuver politik tertentu.
“Dalih merevisi RUU TNI untuk mengizinkan penambahan jabatan sipil yang bisa dijabat TNI aktif yang diklaim untuk memberikan pembatasan yang jelas dan kepastian hukum tidak bisa dijadikan alasan,” imbuhnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan bangsa Indonesia harus belajar dari sejarah sekaligus berkomitmen untuk amanah dan berintegritas dalam menerapkan demokrasi yang telah diperjuangkan sejak Reformasi 1998.
Pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat diingatkan untuk senantiasa menjaga muruah demokrasi. Oleh sebab itu, Christina mendorong agar wacana perluasan jabatan sipil yang bisa dijabat oleh prajurit TNI tidak dilanjutkan.
Sebelumnya, Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto menegaskan komitmen pihaknya untuk mengedepankan prinsip supremasi sipil dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
“TNI berkomitmen untuk menjaga keseimbangan peran militer dan otoritas sipil dengan tetap mempertahankan prinsip supremasi sipil, serta profesionalisme militer dalam menjalankan tugas pokoknya,” ujar Agus di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (13/3).
TNI, kata Panglima, memandang prinsip supremasi sipil sebagai elemen fundamental negara demokrasi yang harus dijaga dengan memastikan adanya pemisahan yang jelas antara militer dan sipil.
Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2025


