NGO: TII

  • Pengawal Bung Karno hadiri peringatan HUT RI di Semarang

    Pengawal Bung Karno hadiri peringatan HUT RI di Semarang

    Semarang (ANTARA) – Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-80 Republik Indonesia yang digelar Pemerintah Kota Semarang secara khusus mengundang veteran perang, sekaligus orang terdekat Presiden pertama RI Soekarno, Kapten CPM Purnawirawan Sanjoto.

    “Kehadiran beliau menjadikan peringatan kemerdekaan kali ini tidak hanya istimewa, tetapi juga menginspirasi kita semua tentang keberanian tanpa batas dan ketulusan pengabdian kepada bangsa,” kata Wali Kota Semarang Agustina Wilujeng Pramestuti, di Semarang, Minggu.

    Meski telah berusia senja, Sanjoto masih terlihat bugar dalam seragam kebanggaannya dan begitu khidmat mengikuti jalannya upacara HUT Republik Indonesia tingkat Kota Semarang.

    Ditemani oleh sang istri, Sanjoto berangkat dari rumahnya di Jalan Belimbing Raya Nomor 34, Peterongan, Kota Semarang.

    Pada momentum peringatan kemerdekaan tersebut, Agustina mengajak seluruh masyarakat untuk merefleksikan kembali makna kemerdekaan.

    Menurut dia, kemerdekaan tidak sekadar jembatan emas menuju tujuan negara berdasarkan pembukaan UUD 1945, melainkan juga untuk memperkokoh semangat gotong royong.

    “Kemerdekaan merupakan jembatan emas kita menuju tujuan negara yang dimaksud dalam UUD 1945. Semua itu bisa dicapai jika kita terus merawat budaya gotong royong,” katanya.

    Ia menuturkan gotong royong sebagai warisan luhur dan konsep paripurna dalam mengungkit rasa cinta tanah air dan persatuan, serta sebagai roh budaya menuju masyarakat Kota Semarang yang maju, berkeadilan sosial, lestari dan inklusif.

    “Jiwa gotong royong atau budaya saling tolong menolong ini menjadi ‘spirit’ kita untuk lebih mencintai tanah air dan perlu diduplikasi pada semua aspek kehidupan, termasuk dalam pembangunan berkelanjutan di Kota Semarang,” katanya.

    Sementara itu, sang veteran, Sanjoto berpesan bagi anak-anak muda bangsa Indonesia agar tetap gagah dan berani melanjutkan perjuangan para pahlawan menjaga kedaulatan negara.

    “Pesan untuk putra-putri Indonesia sebagai penerus generasi, ayo bangun! Lawan keraguan. Lanjutkan pengabdian dan perjuangan veteran, menurut bakat masing-masing. Siapa lagi kalau bukan generasi penerus yang nanti akan mengawal harga mati NKRI,” katanya.

    Soal perjuangan kemerdekaan, ia bercerita pernah ditugaskan mengawal Bung Karno dari Jakarta menuju Tegal, Jawa Tengah untuk memastikan pembubaran pemberontakan DI/TII.

    “Tahun 1955 saya ditugaskan mengawal Bung Karno lewat darat dari Jakarta sampai ke rumah dinas Bupati Tegal. Untuk singgah memastikan pembubabaran DI/TII,” kenangnya.

    Walaupun telah puluhan tahun yang lalu, ingatan Sanjoto masih tajam menceritakan kenangannya dan rasa bangganya saat menjadi pengawal proklamator RI tersebut.

    “Saya sebagai penyupir (sopir), dipercaya sama Presiden Bung Karno yang waktu itu beliau sangat merakyat. Setiap saat bilang terima kasih. Beliau tidak pernah ‘ngalem awake dewe’ (membanggakan diri sendiri),” katanya.

    Sanjoto juga sangat mengenang jasa Bung Karno untuk memerdekakan bangsa meski harus keluar masuk penjara bersama para pejuang lainnya.

    Pewarta: Zuhdiar Laeis
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Eks Menkumham Sebut Amnesti Kasus Korupsi Tak Salahi Aturan: Privilege Presiden Tak Bedakan Perbuatan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        9 Agustus 2025

    Eks Menkumham Sebut Amnesti Kasus Korupsi Tak Salahi Aturan: Privilege Presiden Tak Bedakan Perbuatan Nasional 9 Agustus 2025

    Eks Menkumham Sebut Amnesti Kasus Korupsi Tak Salahi Aturan: Privilege Presiden Tak Bedakan Perbuatan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Menteri Hukum dan HAM periode 2004-2007, Hamid Awaluddin, menilai pemberian pengampunan alias amnesti kepada elite PDI-P, Hasto Kristiyanto, yang diadili karena kasus korupsi, sah secara konstitusional.
    Menurutnya, seorang presiden memiliki privilege untuk memberikan amnesti kepada siapa pun dengan persetujuan DPR RI sesuai peraturan perundang-undangan, tanpa membedakan jenis perbuatan.
    Hal ini dikatakannya menanggapi kritik sejumlah pihak yang menyatakan pemberian amnesti kepada Hasto dapat melemahkan konsistensi penegakan hukum kasus korupsi di Indonesia.
    “Tidak ada yang salah sebenarnya dengan pemberian amnesti dan abolisi (untuk kasus korupsi),” kata Hamid dalam siniar Gaspol Kompas.com, dikutip Sabtu (9/8/2025).
    “Ingat ya, ketika kita bicara tentang privilege presiden di sini, kan dia tidak membedakan jenis perbuatan, kan. Dalam konstitusi, tidak ada pembedaan itu. Bahwa si A diberi amnesti kalau dia hanya tindak pidana tertentu. Tidak ada,” imbuh dia.
    Hamid mengatakan, praktik ini seolah terlihat berbeda lantaran tidak lazim dipraktekkan oleh pemimpin-pemimpin sebelumnya.
    Dia bilang, presiden sebelum Prabowo biasanya hanya memberikan amnesti kepada kasus makar hingga kasus pencemaran nama baik.
    Presiden ke-1, Soekarno, misalnya, memberikan pengampunan kepada DI/TII; Presiden ke-2, Soeharto, memberikan amnesti umum dan abolisi kepada anggota Fretilin Timor Timur; begitu pula Presiden ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, yang memberikan amnesti dan abolisi kepada seluruh anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
    “Praktik selama ini yang diberi amnesti itu berkaitan dengan kelompok dia saja. Meskipun ada kasus-kasus tertentu individu, ya. Kedua, berkaitan dengan politik. Selama ini praktiknya begitu,” ucap Hamid.
    Lebih lanjut, Hamid beranggapan Prabowo sudah memiliki pertimbangan matang sebelum memberi kebijakan tersebut, termasuk parameter-parameter yang digunakan.
    Namun, ia berpandangan pemerintah tetap harus menjelaskan kepada publik alasan pemberian amnesti.
    Terlebih, seturut pernyataan pemerintah, pemberian ini ditujukan untuk kepentingan umum.
    “Yang pasti dia (Prabowo) punya (pertimbangan). Nah, inilah yang saya bayangkan, pemerintah menjelaskan kepada publik. Ya, (karena alasannya untuk) kepentingan umum,” tandas Hamid.
    Sebelumnya diberitakan, Presiden Prabowo memberikan amnesti kepada elite PDI-P, Hasto Kristiyanto.
    DPR RI kemudian menyetujui usulan Presiden Prabowo untuk memberikan amnesti kepada Hasto bersama 1.116 terpidana lainnya pada 31 Juli 2025.
    Amnesti berarti hukuman yang dijatuhkan kepada Hasto, yakni 3,5 tahun penjara atas kasus suap dan perintangan penyidikan, dihapuskan sepenuhnya secara hukum.
    Statusnya sebagai terpidana secara resmi dinyatakan tidak pernah ada.
    Secara bersamaan, DPR dan Presiden Prabowo juga menyetujui abolisi bagi Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan yang sebelumnya divonis 4,5 tahun penjara dalam kasus korupsi impor gula.
    Abolisi berarti seluruh proses hukum terhadapnya dihentikan, bukan hanya pelaksanaan hukuman, tetapi juga putusan maupun penuntutan.
    Status hukum terhadapnya dihapuskan sepenuhnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Prabowo Bukan yang Pertama, Intip Sejarah Pemberian Abolisi dan Amnesti dari Presiden Soekarno hingga Jokowi

    Prabowo Bukan yang Pertama, Intip Sejarah Pemberian Abolisi dan Amnesti dari Presiden Soekarno hingga Jokowi

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Kebijakan amnesti dan abolisi merupakan hak prerogatif presiden dalam bidang hukum bukan hal baru. Sejak era Presiden Soekarno hingga Jokowi, amnesti dan abolisi sudah berkali-kali diberikan.

    Contoh historis seperti Keppres Nomor 449 Tahun 1961 untuk tokoh-tokoh gerakan pasca-kemerdekaan, hingga Keppres Presiden Jokowi pada 2016, 2019, dan 2021 untuk korban jeratan UU ITE.

    Presiden pertama RI Soekarno pernah mengeluarkan Keppres Nomor 449 Tahun 1961 Amnesti dan Abolisi untuk tokoh-tokoh gerakan Pasca-Kemerdekaan, misalnya Daud Buereuh Aceh, Kahar Muzakar PRRI/Permesta Sulsel, Kartosuwiryo (DI TII/Jawa), dan Ibnu Hadjar (DI TII/Kalsel).

    Era Presiden Soekarno, diterbitkan Keppres Nomor 63 tahun 1977 Amnesti dan Abolisi untuk Pelaku Pemberontakan Fretilin di Timor Leste. Keppres Nomor 123 Tahun 1998 Pengampunan bagi tokoh oposisi Orde Baru dan separatis di Aceh, seperti Sri Bintang Pamungkas, Muchtar Pakpahan, dan lain-lain.

    Kemudian era Presiden Abdurrahman Wahid, diterbitkan Keppres Nomor 159/1999 dan Nomor 93/2000 Amnesti dan Abolisi untuk Aktivis Orba dan pengkritik pemerintah, seperti Budiman Sudjatmiko, Garda Sembiring, dan lain-lain.

    Presiden SBY pun pernah menerbitkan Keppres Nomor 22 tahun 2005 Pengampunan untuk pihak GAM. Serta Presiden Jokowi memberikan tiga kali, yaitu 2016, 2019, dan 2021 untuk Baiq Nurul dan Saiful Mahdi untuk Korban Jeratan UU ITE, serta Din Minimi eks Pimpinan Kelompok Bersenjata Aceh

    Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman, menegaskan bahwa pemberian amnesti dan abolisi kepada Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto merupakan pelaksanaan hak prerogatif Presiden RI sesuai dengan konstitusi, bukan suatu kebijakan istimewa.

  • Festival Pertunjukan Belum-Sudah 2025, Bertajuk “Gelagat Liar” Menampilkan Karya dari Seniman Berbagai Penjuru Nusantara

    Festival Pertunjukan Belum-Sudah 2025, Bertajuk “Gelagat Liar” Menampilkan Karya dari Seniman Berbagai Penjuru Nusantara

    YOGYAKARTA – Yogyakarta kembali menjadi panggung penting bagi perkembangan seni pertunjukan kontemporer Indonesia. Selama tujuh hari penuh, mulai 25 hingga 31 Juli 2025, Festival Pertunjukan Belum-Sudah/Not-Yet Performance Festival (FPB-S/N-YPF) hadir sebagai forum pertemuan seniman, akademisi, peneliti, dan penonton dalam menjelajahi kemungkinan seni yang belum selesai.

    Diselenggarakan oleh Garasi Performance Institute (GPI), festival ini tak sekadar menyuguhkan pertunjukan, melainkan juga membentuk ruang diskusi, refleksi, dan dokumentasi bersama. Mengusung tema “Gelagat Liar”, edisi perdana FPB-S/N-YPF memusatkan perhatian pada praktik seni pertunjukan yang berangkat dari celah-celah sejarah, arsip, norma sosial, konvensi artistik, ketegangan identitas, maupun skenario kuasa tertentu.

    Duo kurator gelaran ini, Mega Nur dan Taufik Darwis menyampaikan, “Dalam festival ini, penonton tidak diposisikan secara pasif tetapi diundang untuk terlibat aktif: melihat secara lekat, mencari, menavigasi, dan membincangkan bentuk-bentuk ‘keliaran’ yang tumbuh dari persimpangan dan percabangan pengalaman serta pengetahuan.”

    Ilustrasi konferensi pers Festival Pertunjukan Belum-Sudah/Not-Yet Performance Festival 2025 bertajuk “Gelagat Liar” (Sumber: Dok. Spesial)

    Tercatat sembilan karya dipentaskan di enam lokasi berbeda di Yogyakarta. Salah satunya adalah Yang Menyelinap Tak Mau Lesap oleh Studio Malya, Reza Kutjh, dan Rifki Akbar Pratama yang mengajak penonton mengalami pertunjukan naratif-gamifikasi di Museum Benteng Vredeburg. Ada pula Wicara Kepahitan oleh Putu Alit Panca & Taman Kata-Kata yang mengadaptasi karya Speak Bitterness dari kelompok Inggris Forced Entertainment, menghidupkan ruang pengakuan anonim atas sejarah kekerasan dan trauma kolektif.

    Karya lainnya, Kebun Warisan oleh Rachmat Mustamin & Studio Patodongi dari Makassar, membawa penonton ke dalam narasi tentang jejak konflik Darul Islam/TII dan mitos yang berkelindan dalam tubuh dan sejarah lokal. Di sisi lain, Autolysis oleh Enji Sekar menjadikan proses biokimia tubuh sebagai metafora koreografi yang terjadi dalam ruang gelap penuh nuansa sensorik.

    Tak kalah mencolok, Lampiran Cyclofemmes oleh Ishvara Devi menafsir ulang tokoh Mak Lampir dalam bingkai pengalaman transpuan dan estetika queer, sementara The Other Half: After-Forced dari Puri Senja menyelami relasi tubuh dan warisan militer.

    Sebagai penutup, 24 Jam Lembâna di Jogja mempersembahkan pengalaman kolektif tanpa jeda selama sehari penuh. Acara ini menyatukan berbagai performa, praktik ritual, hingga bentuk gerilya seni yang berpijak pada metode Madura dalam mengintervensi ruang dan waktu.

    Ilustrasi Festival Pertunjukan Belum-Sudah/Not-Yet Performance Festival 2025 bertajuk “Gelagat Liar” (Sumber: Dok. Spesial)

    Selain pertunjukan, FPB-S/N-YPF 2025 juga menghadirkan sepuluh sesi simposium bertajuk Kopi Pagi Majelis Dramaturgi. Simposium ini menjadi ruang refleksi dan pencatatan, dimulai dari pembacaan kuratorial hingga diskusi mendalam atas masing-masing karya yang ditampilkan. Formatnya tak kaku—lebih menyerupai obrolan terbuka lintas peran dan generasi.

    Ko-direktur artistik menyampaikan pesannya saat pembukaan festival ini pada Jumat, 25 Juli. Tutur Eka Wahyuni, “Banyak jejaring yang berjalan bersama untuk festival ini. Dengan festival ini, kita juga sama-sama bisa menatap tentang bagaimana hidup kita sekarang dan ke depannya.”

    Eka Putra Nggalu menambahkan lewat pesan teks singkat karena tak bisa hadir langsung dalam pembukaan. Pesannya, “Festival ini adalah jaringan dan kerja yang luas dan besar. FPB-S/N-YPF adalah satu potensi yang baik untuk saling berbagi sumber daya tetapi juga pelan-pelan membangun solidaritas dan kesetiakawanan. Apa yang disebut solidaritas itu, mungkin terdengar abstrak. Tapi lewat pertemuan, kerja bareng, dan pertukaran ini kita punya gambaran ideal soal bentuk nyata dari kesetiakawanan itu. Penting juga kita berupaya terus untuk membangun satu ekosistem yang saling jaga dan saling rawat. Dan itu adalah upaya yang terus dimiliki dan ditumbuhkan disetiap kerjanya karena disituasi saat ini, hal ini yang paling kita butuhkan.”

    Sebagai bagian dari dokumentasi pengetahuan, GPI turut meluncurkan buku Mukadimah Gelagat Liar: Surat Kepercayaan Pertunjukan dari Selatan yang memuat empat belas tulisan seniman dan inisiator proyek yang aktif dalam medan seni pertunjukan sejak 2017.

    Helatan ini hadir bukan hanya sebagai festival seni, melainkan sebagai medan kolektif untuk merayakan bentuk-bentuk keberanian, keragaman pengetahuan, dan estetika yang tumbuh dari bawah. Festival Pertunjukan Belum-Sudah/Not-Yet Performance Festival 2025 ini, didukung oleh Kementerian Kebudayaan dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) melalui program Dana Abadi Kebudayaan. Beberapa mitra penyelenggara meliputi ARTJOG, IFI Yogyakarta, Kedai Kebun Forum, Museum Benteng Vredeburg, serta sejumlah media dan komunitas lokal.

  • Anies Baswedan Disebut-sebut di Kongres PSI 2025, Solo

    Anies Baswedan Disebut-sebut di Kongres PSI 2025, Solo

    Anies Baswedan Disebut-sebut di Kongres PSI 2025, Solo
    Tim Redaksi
    SURAKARTA, KOMPAS.com
    – Di arena Kongres
    PSI
    2025, nama
    Anies Baswedan
    disebut-sebut oleh pendiri partai politik ini,
    Jeffrie Geovanie
    .
    Jeffrie selaku pendiri dan Ketua Dewan Pembina PSI menyapa nama-nama yang harus dia sapa, salah satunya adalah Raja Juli Antoni.
    “Yang terhormat para pendiri partai, Raja Juli Antoni,” kata Jeffrie di arena Kongres, Gedung Graha Saba Buana, Kecamatan Banjarsari,
    Solo
    , Sabtu (19/7/2025).
    Raja Juli kini adalah Sekretaris Jenderal PSI dan menjabat sebagai Menteri Kehutanan RI di kabinet Presiden Prabowo Subianto.
    Jeffrie mengenang 10 tahun lalu saat dia dan Raja Juli Antoni mendirikan PSI. Saat itu, Raja Juli Antoni baru selesai menyabet gelar Phd dari Australia.
    “Mungkin baru dua atau tiga bulan (Raja Juli Antoni) menjadi Direktur Eksekutif The Indonesia Institute (TII),” ujar Jeffrie.
    TII adalah lembaga penelitian kebijakan publik yang didirikan Jeffrie. Di TII, pernah pula ada Anies Baswedan.
    “Tempat ini (TII) kira-kira 10 tahun sebelumnya, 2004, Direktur Riset-nya namanya Anies Baswedan,” kata Jeffrie.
    Begitu nama Anies disebut, suara sorakan dan tepuk tangan singkat terdengar.
    “Jadi Bro Menteri kita ini (Raja Juli Antoni) jauh lebih keren lagi. Dia Direktur Eksekutif-nya 10 tahun setelah Anies Baswedan menjadi Direktur Research di The Indonesian Institute,” ujar Jeffrie.
    Jeffrie hendak menjelaskan bahwa Raja Juli Antoni lebih keren ketimbang Anies.
    “Jadi kalau beberapa bulan yang lalu dia menjadi Menteri Kehutanan, saya rasa biasa-biasa saja, bukan istimewa,” kata Jeffrie.

    “Karena yang 10 tahun sebelumnya (Anies) bisa menjadi Gubernur DKI, bisa menjadi salah satu kontestan calon presiden,” ujarnya, disambut tepuk tangan para hadirin.
    Raja Juli Antoni terlihat hadir di arena Kongres, duduk dekat dengan Kaesang Pangarep.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 10 Biografi Pahlawan Revolusi Indonesia dan Sejarah G30S PKI

    10 Biografi Pahlawan Revolusi Indonesia dan Sejarah G30S PKI

    Bisnis.com, JAKARTA – Pahlawan revolusi adalah gelar yang diberikan negara kepada sepuluh perwira TNI AD yang gugur dalam peristiwa berdarah Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI).

    Mereka gugur setelah diculik dan dibunuh oleh kelompok yang mencoba menggulingkan pemerintahan saat itu. Para tokoh pahlawan revolusi dikenang atas dedikasi dan keberanian mereka dalam mempertahankan kesatuan negara Indonesia.

    Pahlawan revolusi dikenang karena pengorbanannya dalam menjaga keutuhan bangsa dan menolak upaya makar. Peristiwa G30S/PKI menjadi salah satu catatan kelam dalam sejarah Indonesia,  yang memicu perubahan besar dalam struktur pemerintahan dan militer.

    Latar Belakang Pahlawan Revolusi

    Pahlawan revolusi adalah sebutan khusus bagi sepuluh perwira militer Indonesia yang gugur akibat peristiwa G30S/PKI. Mereka menjadi korban karena kesetiaan mereka pada negara dan penolakannya terhadap kudeta.

    Kemudian, pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar “Pahlawan Revolusi” kepada mereka melalui Keputusan Presiden No. 111/KOTI/1965. Nama-nama mereka diabadikan dalam Monumen Lubang Buaya dan dikenang setiap tahun pada peringatan Hari Kesaktian Pancasila.

    Sejarah G30S/PKI

    Gerakan 30 September (G30S) adalah peristiwa yang terjadi pada malam 30 September hingga 1 Oktober 1965. Sekelompok prajurit yang menamakan diri “Gerakan 30 September” menculik dan membunuh sejumlah jenderal TNI AD, dengan tujuan untuk mencegah adanya kudeta oleh Dewan Jenderal.

    Namun, prajurit Gerakan 30 September ini justru menimbulkan kekacauan besar di tingkat nasional. TNI AD di bawah pimpinan Mayor Jenderal Soeharto segera mengambil alih situasi dan menumpas gerakan tersebut.

    Setelah peristiwa itu, Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh sebagai dalang di balik kudeta dan segera dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Meskipun versi resmi menyebut PKI sebagai pelaku utama, sejumlah sejarawan dan peneliti masih memperdebatkan fakta-fakta yang terjadi di balik kejadian tersebut hingga saat ini.

    Daftar Pahlawan Revolusi Indonesia

    Berikut ini adalah 10 pahlawan revolusi Indonesia lengkap dengan biografi singkat dan sumbangsih mereka:

    1. Jenderal TNI Ahmad Yani

    Jenderal Ahmad Yani adalah Kepala Staf Angkatan Darat yang saat itu tengah memimpin penumpasan pemberontakan DI/TII. Pada malam 1 Oktober 1965, ia diculik dan ditembak mati di rumahnya oleh anggota G30S. Ahmad Yani dikenal sebagai pemimpin tegas yang sangat setia kepada negara.

    Dedikasinya terhadap kesatuan TNI dan penolakannya terhadap segala bentuk kudeta menjadikannya simbol keberanian dan keteguhan dalam menjaga stabilitas nasional.

    2. Letjen R. Suprapto

    Letjen R. Suprapto merupakan mantan Deputi II Menteri Panglima Angkatan Darat. Ia ditangkap di rumahnya dan kemudian dibunuh di Lubang Buaya karena dianggap menentang rencana kudeta.

    Suprapto dikenal sebagai tokoh militer yang rendah hati dan loyal pada pemerintahan. Ia turut berperan dalam restrukturisasi TNI pasca-kemerdekaan.

    3. Letjen M.T. Haryono

    Letjen Mas Tirtodarmo Haryono adalah seorang perwira militer sekaligus diplomat ulung yang fasih dalam berbagai bahasa asing. Ia banyak mewakili Indonesia dalam forum internasional.

    Haryono diculik dan dibunuh oleh G30S karena perannya dalam menjaga netralitas politik militer dan sikap tegasnya terhadap gerakan komunis.

    4. Letjen S. Parman

    Letjen Siswondo Parman adalah ahli intelijen militer yang banyak mengetahui gerakan bawah tanah, termasuk aktivitas PKI. Ia pernah menjabat sebagai Asisten I Menteri Panglima AD bidang intelijen.

    Pengetahuan dan sikap kritisnya terhadap rencana pemberontakan menjadikannya salah satu target utama G30S.

    5. Mayjen Sutoyo Siswomiharjo

    Mayjen Sutoyo menjabat sebagai Kepala Staf Kehakiman Angkatan Darat. Ia dikenal sebagai tentara yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan hukum militer.

    Diculik saat berada di rumahnya dan kemudian dibunuh di Lubang Buaya, Sutoyo dikenang sebagai figur yang menjunjung profesionalisme dalam militer.

    6. Kapten Pierre Tendean

    Kapten Pierre Tendean adalah ajudan Jenderal A.H. Nasution. Ia ditangkap oleh pasukan G30S yang salah mengira dirinya sebagai Nasution.

    Sebagai prajurit muda berdarah campuran Minahasa-Prancis, Pierre dikenang sebagai simbol pengabdian dan semangat juang generasi muda TNI.

    7. Brigjen Katamso Darmokusumo

    Brigadir Jenderal Katamso adalah Komandan Korem 072/Yogyakarta. Ia dikenal disiplin dan dekat dengan masyarakat.

    Pada 1 Oktober 1965, ia diculik oleh simpatisan PKI di Yogyakarta dan dibunuh karena tidak mendukung gerakan tersebut.

    8. Kolonel Sugiyono Mangunwiyoto

    Kolonel Sugiyono adalah Wakil Komandan Korem 072/Yogyakarta yang gugur bersama Katamso. Ia juga menjadi sasaran karena sikap loyalnya terhadap TNI.

    Dedikasinya pada stabilitas keamanan di wilayah Yogyakarta membuatnya dihormati sebagai prajurit yang tidak gentar terhadap ancaman politik.

    9. Briptu Karel Satsuit Tubun

    Karel Satsuit Tubun adalah anggota Brigade Mobil (Brimob) yang saat itu bertugas sebagai pengawal Wakil Perdana Menteri Johannes Leimena. Ia lahir di Tual, Maluku Tenggara, dan dikenal sebagai pribadi yang berani dan penuh dedikasi.

    Pada malam 30 September 1965, saat pasukan G30S hendak menculik Leimena, Tubun yang sedang berjaga tanpa ragu menghadang mereka. Ia tertembak dan gugur di tempat. Pengorbanannya menjadikannya salah satu Pahlawan Revolusi yang mewakili kalangan non-perwira dan anggota Polri.

    10. Brigjen Donald Isaac Panjaitan

    Brigjen D.I. Panjaitan adalah perwira militer yang menjabat sebagai Asisten Logistik Menteri Panglima AD. Ia adalah figur disiplin, religius, dan dekat dengan prajurit bawahan.

    Dia gugur setelah diculik dari rumahnya di Jakarta oleh kelompok G30S dan menjadi salah satu korban kebrutalan yang dimakamkan di Lubang Buaya.

    Peristiwa G30S/PKI bukan hanya soal pembunuhan para jenderal, tetapi juga menjadi titik balik sejarah Indonesia, di mana militer mengambil alih peran politik secara lebih aktif setelahnya. Dalam mengenang mereka, setiap tanggal 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila.

    Disclaimer: Artikel ini dihasilkan dengan bantuan kecerdasan buatan (AI) dan telah melalui proses penyuntingan oleh tim redaksi Bisnis.com untuk memastikan akurasi dan keterbacaan informasi.

  • Ada Lima Risiko Korupsi Sistematis dalam Program MBG

    Ada Lima Risiko Korupsi Sistematis dalam Program MBG

    PIKIRAN RAKYAT – Transparency International Indonesia (TII) merilis laporan yang menyoroti risiko korupsi sistematis dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG).

    Dalam laporannya itu, TII mengidentifikasi lima risiko korupsi sistematis dalam program MBG. 

    Pertama, ketiadaan regulasi pelaksana. Hingga pertengahan 2025, MBG masih dijalankan hanya dengan petunjuk teknis internal. Tidak adanya Peraturan Presiden membuat pelaksanaan program tidak memiliki pijakan hukum yang cukup, serta mengaburkan mandat koordinasi lintas sektor.

    Kedua, konflik kepentingan kronis. Penunjukan mitra pelaksana Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dilakukan tanpa mekanisme verifikasi terbuka. 

    Berdasarkan laporan TII, beberapa yayasan pengelola diketahui memiliki afiliasi dengan aktor politik, institusi militer dan kepolisian, serta kelompok kekuasaan tertentu. 

    Sebagai contoh, polisi lalu lintas yang seharusnya bertugas menjaga keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas justru terlibat dalam distribusi MBG.  Hal ini menciptakan akses preferensial yang merusak prinsip meritokrasi dan netralitas layanan publik.

    Ketiga, pengadaan barang dan jasa (PBJ) yang rawan manipulasi. TII mencatat bahwa PBJ dalam MBG tidak mengindahkan prinsip transparansi. 

    Banyak aktivitas pengadaan dilakukan tanpa dokumentasi terbuka, dan tidak dilengkapi dengan sistem pengawasan berbasis data. Berdasarkan Survei Penilaian Integritas (SPI) KPK, sektor PBJ masih mendominasi kasus suap dan gratifikasi, dan MBG menunjukkan indikasi kuat mengarah ke sana.

    Keempat, lemahnya pengawasan. Hal ini bisa membuka celah bagi praktik mark-up harga, dengan penggunaan bahan pangan berkualitas rendah atau tidak layak konsumsi. 

    Salah satu preseden implementasi MBG adalah siswa keracunan makan siang. Belum lagi, terkait pengawasan terhadap pengadaan barang dan jasa.

    Kelima, meningkatnya risiko kerugian keuangan negara. Dari hasil kajian Corruption Risk Assessment (CRA) program MBG yang menjangkau 82,9 juta penerima manfaat tanpa melakukan prioritas penerima manfaat, berisiko membebani anggaran negara. 

    Kebijakan ini berpotensi mendorong pelebaran defisit anggaran hingga mencapai 3,6% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yang berarti melampaui batas maksimal defisit 3% PDB sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Keuangan Negara. Kerugian keuangan negara ini ditaksir mencapai Rp 1,8 miliar per tahun di setiap SPPG.

    Peneliti TII, Agus Sarwono, mengatakan, MBG tampak menjanjikan di atas kertas, tetapi gagal memenuhi prasyarat tata kelola yang sehat.  

    Tingginya kerentanan korupsi dalam program MBG menunjukkan program ini harus dimoratorium segera supaya tidak memperbesar kerugian negara,” ujarnya, Senin, 30 Juni 2025.

    Menurut dia, tanpa koreksi struktural, pelaksanaan MBG dapat menjadi preseden buruk dalam penggunaan program sosial berskala nasional sebagai alat konsolidasi kekuasaan dan pemanfaatan politik anggaran.

    Diperlukan audit berkala terhadap pelaksanaan program MBG, baik dari sisi kinerja maupun keuangan. Audit ini harus dilaporkan secara terbuka kepada publik, dan hasilnya dijadikan dasar perbaikan kebijakan secara periodik. (*)

  • Koliber Desak KPK Minta Polda Jabar Hentikan Pemidanaan Mantan Pegawai Baznas

    Koliber Desak KPK Minta Polda Jabar Hentikan Pemidanaan Mantan Pegawai Baznas

    Koliber menilai kasus TY melanggar berbagai ketentuan hukum yang menjamin perlindungan terhadap pelapor, yaitu: 

    Pasal 10 ayat (1)-(2) UU No. 31 Tahun 2014 yang melarang tuntutan hukum terhadap pelapor, kecuali tanpa itikad baik. Jika ada tuntutan, prosesnya wajib ditunda hingga laporan dugaan korupsi selesai diperiksa secara hukum.

    Pasal 41 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi yang menjamin hak masyarakat untuk melapor.

    Pasal 1 angka 6 UU No. 31 Tahun 2014 yang mengatur larangan intimidasi atau ancaman terhadap pelapor, karena dapat menimbulkan efek gentar (chilling effect) dan menghambat partisipasi publik dalam pengawasan.

    “Tindakan ini merupakan pelanggaran prinsip perlindungan whistleblower serta bentuk pembalasan (retaliation) yang menciptakan efek jera bagi pelapor lainnya. Penggunaan Pasal 32 UU ITE untuk menjerat TY justru mengalihkan fokus dari substansi laporan korupsi. Kami mendesak polisi menghentikan proses kriminalisasi ini dan memprioritaskan investigasi dugaan korupsi, serta memastikan perlindungan hukum bagi TY sebagai pelapor beritikad baik,” ungkap Rafi. 

    Tuntutan Koliber

    Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC) yang secara tegas, melalui Pasal 33, mewajibkan negara memberikan perlindungan kepada pelapor dugaan korupsi. Ini bukan hanya kewajiban hukum internasional, tetapi mandat moral dan politik yang harus dijalankan negara.  

    “Indonesia tidak dapat mengklaim memerangi korupsi sambil mengadili mereka yang mengungkapnya. Meskipun ada kewajiban UNCAC dan klausul nominal dalam UU KPK, tidak ada mekanisme yang dapat ditegakkan, tidak ada lembaga yang memimpin, dan tidak ada konsekuensi bagi mereka yang membalas. Ini bukan kelalaian, ini adalah kekosongan kebijakan yang disengaja.” ungkap Danang Widoyoko, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia. 

    Oleh karena itu, Koalisi Lawan Kriminalisasi Whistleblower (Koliber) menuntut: 

    1. Usut tuntas dugaan korupsi senilai total Rp 13,3 Miliar, dari dana zakat dan hibah APBD Jawa Barat secara transparan dan akuntabel.

    2. Hentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap TY dan berikan perlindungan hukum penuh sebagai pelapor dugaan korupsi.

    3. Fokus penegakan hukum harus pada dugaan korupsi di BAZNAS dan kerugian negara, bukan pada upaya membungkam pelapor.

    4. Tindak pejabat publik yang membocorkan identitas pelapor dan bocorkan dokumen aduan, karena melanggar prinsip kerahasiaan pelapor dan berpotensi membahayakan keselamatannya.

    5. Reformasi regulasi yang memperkuat perlindungan bagi pelapor dan hapus ketentuan-ketentuan karet yang membuka celah kriminalisasi di UU ITE. Kriminalisasi pelapor adalah bentuk nyata pelemahan gerakan antikorupsi. Perlindungan terhadap whistleblower adalah aspek penting untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih, terbuka, dan akuntabel.

     

  • Dugaan Korupsi Rp13,3 M Dana Zakat dan Hibah, KPK Mulai Telusuri BAZNAS Jabar

    Dugaan Korupsi Rp13,3 M Dana Zakat dan Hibah, KPK Mulai Telusuri BAZNAS Jabar

    PIKIRAN RAKYAT – Dugaan korupsi senilai total Rp13,3 miliar di tubuh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Jawa Barat kini tengah dalam proses telaah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

    Laporan yang sebelumnya disampaikan oleh Koalisi Lawan Kriminalisasi Whistleblower (Koliber) ini telah dinyatakan terverifikasi dan diterima KPK untuk ditindaklanjuti.

    “Tentunya harapannya dugaan korupsi yang ada di BAZNAS Jawa Barat untuk segera ditindaklanjuti dan ditangani oleh KPK,” ujar M. Rafi Saiful Islam, Kepala Divisi Advokasi dan Jaringan LBH Bandung, seusai audiensi di Gedung Merah Putih KPK, Rabu, 18 Juni 2025.

    Dana Zakat untuk Mobil Mewah dan Gaji Fantastis

    Dugaan korupsi tersebut terdiri dari dua sumber, yakni, penyelewengan dana zakat senilai Rp9,8 miliar dan dana hibah APBD Jawa Barat sebesar Rp3,5 miliar.

    Wana Alamsyah, Kepala Divisi Hukum dan Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW), menyebutkan bahwa modus utama adalah penggunaan biaya operasional melebihi batas yang diatur undang-undang.

    “BAZNAS Jawa Barat mengambil hak amil hingga 20 persen dari dana zakat, padahal aturan hanya memperbolehkan maksimal 12,5 persen,” tegas Wana, merujuk pada Keputusan Menteri Agama No. 606 Tahun 2020 dan Peraturan BAZNAS No. 1 Tahun 2016.

    Dana operasional itu diduga digunakan untuk membiayai fasilitas mewah lima pimpinan BAZNAS Jabar, termasuk sewa mobil mewah yang melonjak dari Rp11 juta (2020) menjadi Rp493 juta (2022). Selain itu, terdapat dugaan pengadaan laptop dan ponsel, sopir pribadi, serta tunjangan yang tidak wajar.

    Kenaikan beban gaji juga menjadi sorotan. Pada tahun 2020, gaji karyawan tercatat sebesar Rp1,5 miliar, namun melonjak menjadi Rp3,3 miliar pada 2022, diduga karena rekrutmen besar-besaran dari kerabat pimpinan. Honorarium pimpinan bahkan naik drastis hingga 121%, dari kisaran Rp13 juta menjadi Rp30 juta per bulan.

    Dana Hibah Covid-19 Diduga Disalahgunakan

    Selain dana zakat, BAZNAS Jabar juga diduga menyalahgunakan Rp3,5 miliar dana hibah APBD Provinsi Jawa Barat, yang semula diperuntukkan untuk bantuan penanggulangan COVID-19.

    Temuan Koliber menunjukkan bahwa bantuan tersebut banyak yang tidak tersalurkan, tidak tepat sasaran, dan bahkan dikapling untuk kolega pimpinan dan mitra tertentu.

    Ironisnya, alih-alih mendapat perlindungan hukum, TY, pelapor kasus ini yang juga mantan Kepala Kepatuhan dan Satuan Audit Internal BAZNAS Jabar, justru ditetapkan sebagai tersangka dengan menggunakan Pasal 32 UU ITE.

    “Penetapan TY sebagai tersangka merupakan bentuk kriminalisasi terhadap whistleblower dengan memanfaatkan pasal karet di UU ITE. Pemerintah harus memberikan perlindungan kepada TY dan whistleblower lain,” kata Direktur Eksekutif SafeNet, Nenden Sekar Arum.

    Pihak KPK dalam audiensi menyatakan turut prihatin dan menyesalkan tindakan aparat yang tidak memahami pentingnya melindungi pelapor korupsi.

    Kasus kriminalisasi TY dinilai melanggar berbagai aturan perlindungan pelapor, antara lain:

    Pasal 10 ayat (12) UU No. 31 Tahun 2014, yang melarang tuntutan hukum terhadap pelapor sebelum laporan selesai diperiksa. Pasal 41 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999, yang menjamin hak masyarakat untuk melapor. Pasal 1 angka 6 UU No. 31 Tahun 2014, yang melarang intimidasi terhadap pelapor.

    “Penggunaan Pasal 32 UU ITE untuk menjerat TY justru mengalihkan fokus dari substansi laporan korupsi,” ucap Rafi dari LBH Bandung. Ia juga meminta Kepolisian menghentikan proses kriminalisasi dan mengembalikan fokus pada investigasi korupsi.

    Desakan Koalisi Antikorupsi

    Danang Widoyoko, Sekjen Transparency International Indonesia (TII), menyebut bahwa tindakan ini bertolak belakang dengan komitmen Indonesia terhadap Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC) yang mewajibkan negara melindungi pelapor korupsi.

    “Indonesia tidak dapat mengklaim memerangi korupsi sambil mengadili mereka yang mengungkapnya,” ucap Danang.

    Koalisi Koliber mendesak lima langkah konkrit:

    Usut tuntas dugaan korupsi Rp13,3 miliar di BAZNAS Jabar secara transparan. Hentikan kriminalisasi terhadap TY dan berikan perlindungan hukum. Fokus pada kerugian negara, bukan membungkam pelapor. Tindak aparat yang membocorkan identitas pelapor. Reformasi UU ITE untuk melindungi whistleblower. ***

  • Polemik 4 Pulau: Aceh Menentang, Sumut Bertahan, Prabowo Turun Tangan

    Polemik 4 Pulau: Aceh Menentang, Sumut Bertahan, Prabowo Turun Tangan

    Polemik 4 Pulau: Aceh Menentang, Sumut Bertahan, Prabowo Turun Tangan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Polemik empat pulau yang secara historis milik Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yakni Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, dan Pulau Lipan, yang dialihkan ke Sumatera Utara terus bergulir.
    Bukan berkesudahan, polemik tersebut kini sudah sampai ke telinga Presiden
    Prabowo Subianto
    .
    Kementerian Dalam Negeri yang seharusnya menjadi bagian penengah dalam polemik ini tak bisa meredam amarah Gubernur Aceh,
    Muzakkir Manaf
    atau Mualem.
    “Macam mana kita duduk bersama, itu kan hak kami, kepunyaan kami, milik kami,” kata Mualem saat ditanya terkait tawaran pengelolaan empat pulau secara bersama oleh dua provinsi, Aceh dan Sumut, Jumat (13/6/2025).
    Dia menolak keputusan Menteri Dalam Negeri RI Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025.
    Dalam keputusan itu, Kemendagri menyatakan bahwa empat pulau milik Aceh masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.
    Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, tak langsung mengalah meski rekam jejak sejarah empat pulau adalah kepunyaan Aceh.
    Menantu Presiden Ketujuh RI Joko Widodo ini mempertahankan keputusan Kemendagri yang mengalihkan empat pulau itu ke pelukan Sumatera Utara.
    Dia berdalih, pengalihan empat pulau adalah kewenangan pemerintah pusat, bukan kewenangan dari provinsi, baik Aceh maupun Sumut.
    “Saya sampaikan kemarin, secara wilayah, enggak ada wewenang Provinsi Sumut dan juga setahu saya Aceh mengambil pulau, menyerahkan daerah, itu nggak bisa. Semua itu ada aturannya, kami pemerintah daerah ada batasan wewenang,” ujar Bobby, Selasa (10/6/2025).
    Langkah pertahanan Sumut juga ditegaskan oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara, Erni Ariyanti.
    Erni meminta semua pihak mematuhi keputusan Kemendagri terkait penetapan empat pulau yang kini menjadi bagian dari Sumatera Utara.
    Dia meminta agar Aceh melayangkan keberatannya bukan dengan cara keras, tetapi lewat jalur Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
    “Pak Mendagri sudah buka suara jika memang ada gugatan, ke PTUN mempersilahkan Provinsi Aceh,” ucap Erni.
    Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI,
    Jusuf Kalla
    , turut memberikan masukan terkait sengketa empat pulau tersebut.
    Sosok sentral perdamaian Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia dalam perjanjian Helsinki ini kembali mengingatkan ada janji yang harus dijalani pemerintah.
    Janji tersebut adalah memelihara perjanjian Helsinki tetap terpelihara dan tidak mengubah undang-undang yang telah berlaku terkait batas wilayah Aceh dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri.
    JK mengatakan, secara historis maupun administratif, empat pulau yang sedang diributkan adalah milik Aceh.
    “Di UU tahun 1956, ada UU tentang Aceh dan Sumatera Utara oleh Presiden Soekarno yang intinya adalah, dulu Aceh itu bagian dari Sumatera Utara, banyak residen. Kemudian Presiden, karena kemudian ada pemberontakan di sana, DI/TII, maka Aceh berdiri sendiri sebagai provinsi dengan otonomi khusus,” kata JK.
    Beleid yang mengatur batas wilayah tersebut adalah undang-undang yang menjadi rujukan pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian Helsinki dengan kelompok GAM pada 2005.
    “Karena banyak yang bertanya, membicarakan tentang pembicaraan atau MoU di Helsinki. Karena itu saya bawa MoU-nya. Mengenai perbatasan itu, ada di poin 1.1.4, yang berbunyi ‘Perbatasan Aceh, merujuk pada perbatasan 1 Juli tahun 1956. Jadi, pembicaraan atau kesepakatan Helsinki itu merujuk ke situ,” ungkap JK.
    “Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956, itu yang meresmikan Provinsi Aceh dengan kabupaten-kabupaten yang ada, berapa itu kabupatennya, itu. Jadi formal,” kata JK.
    Sebab itulah, dia menyebut keputusan seorang menteri tidak bisa mengubah legalitas undang-undang dan otomatis cacat formal.
    JK juga mengingatkan, batas wilayah yang telah disepakati sejak puluhan tahun silam bukan lagi soal sengketa administrasi.
    Bagi Aceh, kata JK, perebutan wilayah bukan lagi tentang administrasi, tapi kehormatan yang harus dibela.
    “Ya, itu pulaunya tidak terlalu besar. Jadi, bagi Aceh itu harga diri. Kenapa diambil? Dan itu juga masalah kepercayaan ke pusat. Jadi, saya kira dan yakin ini agar diselesaikan sebaik-baiknya demi kemaslahatan bersama,” ucap JK.
    Tak ingin polemik ini melebar, Presiden Prabowo Subianto turun tangan.
    Prabowo mengambil alih dinamika yang tak bisa ditangani Kemendagri ini secara langsung.
    Hal tersebut dikatakan oleh Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad pada Sabtu (14/6/2025).
    “Hasil komunikasi DPR RI dengan Presiden RI, bahwa Presiden mengambil alih persoalan batas pulau yang menjadi dinamika antara Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara,” kata Dasco.
    Prabowo secara tegas meminta agar polemik empat pulau tersebut bisa rampung dalam pekan depan.
    “Dalam pekan depan akan diambil keputusan oleh Presiden tentang hal itu,” imbuh Ketua Harian Partai Gerindra ini.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.