NGO: Setara Institute

  • Hari HAM Sedunia, Setara Institute Beri Rekomendasi untuk Pemerintahan Prabowo – Page 3

    Hari HAM Sedunia, Setara Institute Beri Rekomendasi untuk Pemerintahan Prabowo – Page 3

    Maka itu, SETARA Institute merekomendasikan beberapa hal untuk pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan DPR selaku pihak legislatif.

    – Presiden Prabowo Subianto bersama DPR RI mengakselerasi agenda pengesahan sejumlah RUU yang kontributif pada pemajuan HAM, seperti RUU Masyarakat Adat, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Tindak Pidana Perdagangan Orang, serta melakukan tinjauan ulang terhadap regulasi yang kontra-produktif terhadap pemajuan HAM seperti RUU Penyiaran maupun upaya pelemahan checks and balances seperti RUU Mahkamah Konstitusi.

    – Presiden Prabowo Subianto segera melakukan penghentian dan/atau evaluasi serius berbagai Proyek Strategis Nasional (PSN) yang tengah berjalan demi mencegah keberulangan atas kriminalisasi dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat maupun aktivis lingkungan dan memberikan hak restitusi terhadap korban akibat PSN.

    – Presiden Prabowo Subianto mengadopsi dan memastikan tata kelola pemerintahan yang inklusif (inclusive governance) sebagai basis dalam penerbitan regulasi dan kebijakan dalam pengelolaan keberagaman.

    – Presiden Prabowo Subianto memastikan penghormatan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat oleh masyarakat, jurnalis, maupun insan akademis, dan menjamin ruang civic tanpa intervensi. Termasuk dan terutama memulihkan lingkungan politik demokratis yang patuh pada prinsip rule of law dan standar-standar etik demokrasi.

    – Presiden Prabowo Subianto memperkuat dukungan kebijakan yang mengikat sektor bisnis dan dukungan penganggaran yang signifikan untuk pengarusutamaan bisnis dan HAM sebagai instrumen perwujudan kesetaraan akses terutama hak atas tanah untuk mencegah keberulangan kasus pelanggaran HAM pada sektor bisnis.

  • Hari HAM Sedunia, Setara Institute Minta Pemerintah Serius Tangani Kasus Intoleransi

    Hari HAM Sedunia, Setara Institute Minta Pemerintah Serius Tangani Kasus Intoleransi

    Jakarta, Beritasatu.com – Memperingati hari HAM sedunia, Setara Institute meminta pemerintah serius menangani kasus intoleransi. Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan mengatakan, ada sejumlah catatan terkait kasus intoleransi.

    Catatan pertama, yakni stagnansi dalam perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). “Setara Institute mencatat angka pelanggaran KBB masih tergolong cukup tinggi, yaitu 217 peristiwa dengan 329 tindakan pada 2023,” kata Halili dalam keterangannya, Selasa (10/12/2024).

    Selanjutnya, kata Halili yakni terkait dugaan keterlibatan Pemerintah Daerah (Pemda) dalam penolakan pembangunan rumah ibadah. “Ketiga, masih adanya 71 regulasi daerah yang intoleran terhadap kelompok agama dan kepercayaan tertentu,” ungkapnya.

    Selain itu, Halili juga menyoroti belum optimalnya tiga unsur kepemimpinan pembangunan ekosistem toleransi, yakni kepemimpinan politik, kepemimpinan birokratik, dan kepemimpinan sosial.

    “Hal ini ditandai dengan adanya favoritisme kebijakan, pembiaran atas diskriminasi, dan tindakan intoleran seperti menolak kegiatan ibadah,” katanya.

    Menurut Halili, pihaknya telah menyerahkan dokumen rencana Ppembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) 2025-2045 guna mengatasi permasalahan intoleransi tersebut ke Presiden Prabowo Subianto.

    Dalam dokumen tersebut, ada delapan strategi dan 25 aksi guna menjawab empat isu strategis dalam pembangunan ekosistem toleransi umat beragama/berkeyakinan. 

    “Dokumen ini diselaraskan dengan salah satu arah pembangunan dalam RPJPN serta Cita ke-8 dalam Asta Cita Presiden Prabowo Subianto untuk peningkatan toleransi, yang dapat mendukung harmonisasi pembangunan daerah untuk pencapaian tujuan pembangunan nasional tersebut dan mencegah kasus intoleransi,” tambah Halili.

  • Dorong Penguatan Toleransi di Daerah, SETARA Institute Tawarkan Aksi Pembangunan Ekosistem Toleransi – Halaman all

    Dorong Penguatan Toleransi di Daerah, SETARA Institute Tawarkan Aksi Pembangunan Ekosistem Toleransi – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA –  Bermulanya kepemimpinan nasional dan kepemimpinan daerah yang baru menandakan perlunya perencanaan pembangunan lebih matang serta mampu menjawab pelbagai permasalahan strategis, terutama guna pemajuan toleransi.

    Dalam rangka hal tersebut, guna mencapai Agenda Ketahanan Sosial, Budaya, dan Ekologi sesuai Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, SETARA Institute merancang suatu dokumen Rencana Aksi Daerah Pembangunan Ekosistem Toleransi.

    Agenda peluncuran dokumen SNAP Pembangunan Ekosistem Toleransi pada Senin (9/12/2024) mengundang majelis-majelis keagamaan dan kepercayaan di Indonesia, sekaligus organisasi masyarakat sipil. 

    Halili Hasan, Direktur Eksekutif SETARA Institute, mengatakan dokumen kebijakan tersebut mencakup pembedahan isu strategis dalam pemajuan toleransi dan formulasi rencana strategi dan aksi untuk mendukung pemerintah.

    “Terutama pemerintah daerah,” ujar Halili Hasan.

    SETARA Institute mendapati empat isu strategis dalam pembangunan ekosistem toleransi.

    Pertama, terdapat stagnansi dalam perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) dari tahun ke tahun.

    “SETARA Institute mencatat angka pelanggaran KBB masih tergolong cukup tinggi, yaitu 217 peristiwa dengan 329 tindakan pada 2023,” ujar Halili Hasan.

    Kedua, kontribusi aktor negara terhadap pelanggaran KBB juga cukup besar.

    “Hal ini ditandai dengan adanya 40 tindakan pelanggaran KBB sepanjang 2023 yang dilakukan oleh aktor Pemerintah Daerah (Pemda), seperti melakukan penolakan pembangunan rumah ibadah,” kata Halili Hasan.

    Ketiga, masih adanya 71 regulasi daerah yang intoleran terhadap kelompok agama/kepercayaan tertentu.

    “Hal ini ditengarai minimnya pemahaman toleransi dan inklusi, serta perencanaan pembangunan yang belum memprioritaskan pembangunan toleransi,” ujarnya.

    Keempat, tiga unsur kepemimpinan pembangunan ekosistem toleransi, yakni kepemimpinan politik, kepemimpinan birokratik, dan kepemimpinan sosial, belum sepenuhnya kuat berkomitmen dalam perwujudan kerukunan.

    “Hal ini ditandai dengan adanya favoritisme kebijakan, pembiaran atas diskriminasi, dan tindakan intoleran seperti menolak kegiatan ibadah,” ujar Halili Hasan.

    Oleh karena itu, lanjut Halili Hasan, rancangan aksi yang disusun SETARA Institute berfungsi sebagai dokumen pendukung (booster) dalam membantu perencanaan pembangunan di tingkat daerah, terutama dalam pembangunan ekosistem toleransi, untuk jangka menengah.

    Lebih jauh, Azeem Marhendra Amedi, Peneliti SETARA Institute, mengatakan dokumen ini diselaraskan dengan salah satu arah pembangunan dalam RPJPN serta Cita ke-8 dalam Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.

    “Tujuannya untuk peningkatan toleransi, yang dapat mendukung harmonisasi pembangunan daerah untuk pencapaian tujuan pembangunan nasional tersebut,” katanya.

    Dia mengatakan dokumen rancangan aksi ini mencakup 8 strategi dan 25 aksi guna menjawab 4 isu strategis dalam pembangunan ekosistem toleransi umat beragama/berkeyakinan.

    “Dokumen ini juga merupakan living document, yang strategi dan aksinya dapat disesuaikan berdasarkan kebutuhan dan konteks sosial pada masyarakat di daerah masing-masing,” ujar Azeem Marhendra Amedi.

     

     

  • Jumlah Pelanggaran Kebebasan Berkeyakinan Tertinggi ada di Jawa Barat

    Jumlah Pelanggaran Kebebasan Berkeyakinan Tertinggi ada di Jawa Barat

    JAKARTA – Jawa Barat jadi daerah paling tidak bebas dalam beragama dan berkeyakinan. Setidaknya itu yang bisa disimpulkan dari hasil survei SETARA Institute tentang kebebasan berkeyakinan. Survei mereka dilakukan dengan cara kualitatif dan kuantitatif serta mengombinasikan desk study dan field study.

    Hasilnya, SETARA mendapatkan data sebanyak 2.400 peristiwa pelanggaran kebebasan berkeyakinan dengan jumlah tindakan mencapai 3.177 tindakan selama 12 tahun terakhir.

    “Jabar ini tetap juara umum dan belum pernah turun atau digantikan oleh provinsi lain,” ungkap Direktur Riset SETARA Institute, Halili dalam sebuah diskusi di kawasan Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Senin, 11 November 2019.

    Rinciannya, Jawa Barat tercatat terjadi tindak pelanggaran sebanyak 629 peristiwa selama 12 tahun terakhir. Selanjutnya, Jakarta dengan jumlah pelanggaran kebebasan berkeyakinan mencapai 291 peristiwa.

    Selanjutnya, Jawa Timur dengan 270 peristiwa, Jawa Tengah 158 peristiwa, Aceh 121 peristiwa, Sulawesi Selatan 112 peristiwa, Sumatera Utara 106 peristiwa. Lalu, Sumatera Barat dengan 104 peristiwa, Banten 90 peristiwa, dan Nusa Tenggara Barat mencapai 76 peristiwa.

    Sementara, untuk lima tahun terakhir atau selama Presiden Joko Widodo menjabat, ada 10 provinsi dengan jumlah pelanggaran kebebasan berkeyakinan. Urutan pertama masih diduduki Jawa Barat dengan 162 peristiwa pelanggaran. Lalu, Jakarta dengan 113 pelanggaran kebebasan berkeyakinan. 

    Dilanjutkan dengan Jawa Timur dengan 98 peristiwa, Jawa Tengah 66 peristiwa, Aceh 65 peristiwa, Yogyakarta 37 peristiwa, Banten 36 peristiwa, Sulawesi Utara 28 peristiwa, Sulawesi Selatan 27 peristiwa, dan Sumatera Barat 23 peristiwa.

    Dilihat dari sisi pelaku, SETARA mencatat, ada dua jenis aktor yang bertanggungjawab; aktor negara dan kedua aktor non-negara. Polisi jadi yang terbanyak melakukan pelanggaran selama 12 tahun ini dengan 480 tindakan yang melanggar kebebasan berkeyakinan.

    “Aktor negara yang paling banyak melakukan pelanggaran dalam 12 tahun terakhir adalah kepolisian kemudian disusul oleh Pemerintah Daerah dengan jumlah tindakan mencapai 383,” ungkapnya.

    Urutan selanjutnya, Kementerian Agama dengan 89 tindakan melanggar kebebasan berkeyakinan, pengadilan dengan 71 tindakan, Satpol PP 71 tindakan, Kejaksaan 68 tindakan, TNI 63 tindakan, DPRD 38 tindakan, institusi pendidikan 35 tindakan, dan Pemerintah Desa mencapai 33 tindakan.

    Sedangkan aktor non-negara pelaku pelanggar kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah kelompok warga dengan 600 tindakan selama 12 tahun. Lalu, ormas keagamaan dengan jumlah 249 tindakan pelanggaran, Majelis Ulama Indonesia dengan jumlah 242 tindakan, Front Pembela Islam 181 tindakan, individu 92 tindakan, Forum Umat Islam 56 tindakan, tokoh agama/masyarakat 35 tindakan, organisasi masyarakat lain 33 tindakan, Gerakan Reformasi Islam (GARIS) 26 tindakan dan perusahaan 26 tindakan.

    Dilihat dari korban tindakan pelanggaran kebebasan berkeyakinan selama 12 tahun terakhir ini, urutan pertama ditempati oleh penganut aliran Ahmadiyah dengan total 554 peristiwa pelanggaran kebebasan berkeyakinan. Selanjutnya, posisi kedua ditempati oleh aliran keagamaan sebesar 334 peristiwa, umat Kristen dengan total 328 peristiwa pelanggaran kebebasan berkeyakinan.

    Tak hanya itu, SETARA juga mencatat ada 314 individu yang menjadi korban pelanggaran kebebasan berkeyakinan. Kemudian, Syiah diurutan selanjutnya dengan 153 peristiwa pelanggaran, warga dengan 139 peristiwa, umat Islam 79 peristiwa, umat Katolik sebesar 51 peristiwa, Gafatar dengan 49 peristiwa, dan pelajar/mahasiswa sebesar 42 peristiwa. 

    Terakhir, mereka juga mencatat selama 12 tahun terakhir ada 199 gereja yang mendapat gangguan dari orang tak bertanggungjawab dan 133 masjid yang mengalami nasib yang sama.

  • Bentuk Toleransi dalam Pengucapan Salam yang Mewakili Semua Agama

    Bentuk Toleransi dalam Pengucapan Salam yang Mewakili Semua Agama

    JAKARTA – Bukan hal baru jika setiap pejabat publik saat mulai berpidato akan mengucap salam berupa ‘Assalamualaikum, salam sejahtera untuk kita semua, Om Swastyastu, Namo Budaya, salam kebajikan’. Salam ini digunakan untuk mewakili lima agama yang ada di Indonesia.

    Namun, penggunaan salam itu kemudian menjadi polemik setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengimbau agar umat Islam tak lagi mengucapkan salam yang mewakili semua agama dalam sambutan di acara resmi. Imbauan itu termaktub dalam dalam surat bernomor 110/MUI/JTM/2019 yang diteken Ketua MUI Jatim KH. Abdusshomad Buchori.

    “Mengucapkan salam pembuka dari semua agama yang dilakukan oleh umat Islam adalah perbuatan baru yang merupakan bid’ah, yang tidak pernah ada di masa lalu. Minimal mengandung nilai syubhat (samar kehalalannya) yang patut dihindari,” kata Buchori dalam keterangan tertulisnya, Sabtu, 9 November.

    Di tingkat pusat, langkah MUI Jatim yang membuat imbauan itu pun telah memperoleh lampu hijau. Sekjen MUI Anwar Abbas menilai, larangan mengucapkan salam semua agama sudah sesuai dengan ketentuan Alquran dan Hadis. Dalam Islam, kata dia, salam adalah doa yang memiliki dimensi teologis. 

    “Adanya fatwa dari MUI Jatim ini menjadi penting karena, dengan adanya fatwa tersebut, maka umat tidak bingung sehingga mereka bisa tertuntun secara agama dalam bersikap dan dalam membangun hubungan baik dengan umat dari agama lain,” kata Anwar dalam keterangan tertulisnya, Senin 11 November. 

    Adapun, pengucapan salam semua agama yang biasa dipakai pejabat adalah Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatu, Salam Sejahtera bagi Kita Semua (salam umat Kristiani), Om Swastyastu (salam umat Hindu), Namo Buddhaya (salam umat Buddha), dan Salam Kebajikan (salam umat Konghucu). Pengucapan semua salam itu selalu digunakan oleh sejumlah pejabat dalam setiap kesempatan, tak terkecuali Presiden Joko Widodo.

    Ketua MPR Bambang Soesatyo (Wardhany/VOI)

    Di sisi lain, Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) ikut merespon imbauan MUI Jatim terkait untuk tidak lagi menggunakan ucapan salam semua agama dalam memulai pidato. Bamsoet justru berpandangan, pengucapan salam itu sebagai salah satu cara untuk mewakili semua agama dan menunjukkan toleransi umat beragama di Indonesia.

    “Saya tidak ada masalah dengan ucapan salam, yang terpenting tidak memengaruhi keyakinan kita masing-masing terhadap agama kita masing-masing,” kata Bamsoet saat ditemui di kawasan Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat.

    Dia menyebut, larangan ini tidak sepenuhnya salah. Namun perlu disadari, salam semua agama tidak bertujuan untuk memengaruhi ajaran agama masing-masing. Sebab, Bamsoet menilai salam semua agama itu mencerminkan sikap toleransi yang tinggi.

    “Jangan ada larangan karena itu urusan individu kita dengan Tuhan Yang Maha Esa. Terpenting, tidak mengganggu keyakinan kita sebagai makhluk yang beragama,” jelas Bamsoet.

    Sedangkan Wakil Ketua SETARA Institute, Bonar Tigor Naipospos mengatakan fatwa MUI Jatim itu bukan menjadi bagian dari hirarki perundangan di Indonesia. Sehingga, untuk menghormati kebebasan berekspresi dan tak ada aturan tegas untuk melaksanakannya.

    “Tidak ada kewajiban, keharusan bagi negara untuk mengikutinya. Harus tegas, mana hirarki perundangan kita,” ungkap Bonar.

    Hanya saja, dia menyayangkan adanya fatwa atau imbauan seperti yang dikeluarkan oleh MUI Jatim. Alasannya, fatwa tersebut dianggap sangat ekslusif. “Fatwa semacam itu sagat eksklusif dan cenderung meninggikan diri sendiri. Tidak menghargai perbedaan,” tegasnya.

    Padahal, Indonesia merupakan negara plural dan diketahui meletakkan lima agama secara sejajar tanpa membeda-bedakan. Sehingga wajar bagi pejabat publik, untuk menyampaikan salam itu ketika akan berbicara di depan umum.

    “Wajar kalau pejabat nasional, pejabat publik membuka percakapan dengan lima salam dari agama yang ada di Indonesia. Kalau tidak (sepakat) ya sudah jangan gunakan lima agama. Gunakan saja salam ‘selamat pagi, selamat sore’ seperti yang diusulkan oleh Gus Dur,” tutupnya.

  • SETARA Institute: Polri di bawah Presiden adalah perintah konstitusi

    SETARA Institute: Polri di bawah Presiden adalah perintah konstitusi

    Menjaga independensi Polri adalah perintah konstitusi.

    Jakarta (ANTARA) – Lembaga SETARA Institute menyatakan bahwa Polri di bawah langsung Presiden merupakan perintah konstitusi dan ketika ada aspirasi mengubah posisi Polri di bawah TNI atau Kemendagri adalah gagasan yang keliru.

    “Usulan agar Polri berada di bawah Kementerian Dalam Negeri juga bertentangan dengan semangat Pasal 30 ayat (2) dan (4) UUD Negara RI Tahun 1945,” kata Ketua Dewan Nasional SETARA Institute Hendardi dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Minggu.

    Menurut dia, ketentuan ini mengatur bahwa usaha keamanan rakyat dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan utama, sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.

    Hendardi menjelaskan bahwa hakikat Polri sebagai alat negara kemudian ditafsirkan dalam UU Polri yakni menjadi berkedudukan di bawah Presiden.

    “Dengan demikian, tanggung jawab pelaksanaan keamanan dan ketertiban nasional dilakukan kepada Presiden,” tuturnya.

    Perlu diingat, kata dia, pemisahan TNI dan Polri sebagaimana TAP MPR No. VI/MPR/2000 adalah amanat reformasi yang harus dijaga.

    Pewarta: Khaerul Izan
    Editor: D.Dj. Kliwantoro
    Copyright © ANTARA 2024

  • Hendardi: Kritik PDIP Harus Dimaknai sebagai Alarm Keras bagi Kualitas Demokrasi dan Integritas Pilkada Serentak 2024

    Hendardi: Kritik PDIP Harus Dimaknai sebagai Alarm Keras bagi Kualitas Demokrasi dan Integritas Pilkada Serentak 2024

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA –Pilkada serentak 2024 yang telah berlangsung beberapa waktu lalu menyisakan perdebatan. Terutama terkait dugaan keterlibatan polri dalam mendukung kontestan tertentu.

    Tidak heran, PDIP dengan tegas mengkritik tajam dugaan keterlibatan polri tersebut. Pasalnya, kondisi itu bisa semakin memperburuk demokrasi di tengah sorotan yang tajam belakangan ini.

    Merespons hal itu, Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi menyatakan evaluasi pelaksanaan Pilkada oleh PDI Perjuangan dapat dimaklumi sebagai aspirasi politik.

    Salah satu evaluasi dari PDIP ialah dugaan keterlibatan Polri dalam pemenangan kontestan tertentu di beberapa daerah dan berujung pada usulan pencopotan Kapolri hingga perubahan posisi kelembagaan Polri.

    Dia menjelaskan diakui atau tidak, dugaan itu tidak perlu dibuktikan kecuali menjadi dalil dalam sengketa pilkada, baik melalui Bawaslu maupun nanti di Mahkamah Konstitusi.

    “Kritik PDI Perjuangan harus dimaknai sebagai alarm keras bagi kualitas demokrasi dan integritas Pilkada serentak 2024, sekaligus juga menjadi dasar akselerasi reformasi dan transformasi Polri pada beberapa peran yang dianggap memperburuk kualitas demokrasi,” kata Hendardi dalam keterangannya, dilansir jpnn, Minggu (1/12).

    Dia menjelaskan baik secara langsung maupun tidak, publik menangkap pesan bahwa terdapat pihak-pihak yang diuntungkan oleh peran-peran Polri, selain peran normatif melakukan pengamanan dan sebagai bagian dari Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) Pilkada.

  • MUI Jateng Umbar Fatwa Pilih Pemimpin Satu Agama Jelang Pilkada, Ini Kata Setara Institute

    MUI Jateng Umbar Fatwa Pilih Pemimpin Satu Agama Jelang Pilkada, Ini Kata Setara Institute

    Bisnis.com, JAKARTA — Beredar Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah terkait dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tiga hari jelang pencoblosan pada 27 November 2024 mendatang. Fatwa MUI Jateng itu pun menuai kritik. 

    Salah satu kritik datang dari Setara Institute, yang menilai fatwa itu diskriminatif, bertentangan dengan hukum serta melemahkan keberagaman. 

    Setara mengkritik fatwa yang keluar, Sabtu (23/11/2024) itu karena pada pokoknya mewajibkan Umat Islam untuk memilih calon pemimpin yang seakidah, amanah, jujur, terpercaya dan memperjuangkan kepentingan syiar Islam. 

    Fatwa tersebut juga menyatakan bahwa memilih pemimpin yang tidak seakidah atau sengaja tidak memilih padahal ada calon yang seakidah hukumnya haram.

    Menurut Setara, fatwa itu bertentangan dengan sejumlah pasal di Undang-undang Dasar (UUD) 1945 seperti pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” 

    Demikian pula UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 43 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih berdasarkan persamaan hak. Dengan demikian, hak memilih dan dipilih melekat pada setiap warga negara, apapun identitas yang bersangkutan. 

    “Mewajibkan pemilih dari kalangan Umat Islam untuk memilih calon yang seakidah merupakan tindakan pembedaan atau diskriminasi yang hanya mengistimewakan calon dari kalangan umat Islam,” ujar Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan dikutip dari siaran pers, Minggu (24/11/2024). 

    Kemudian, fatwa itu juga dinilai bersifat segregatif dan melemahkan kebinekaan Indonesia. Untuk itu, tindakan mewajibkan memilih berdasarkan agama dan mengharamkan memilih calon yang tidak seagama merupakan upaya segregasi yang melemahkan kebinekaan Indonesia.

    Setara memandang fatwa itu bisa berpotensi memecah belah masyarakat yang majemuk.

    “Pemaksaan preferensi agama dalam memilih pemimpin akan menciptakan segregasi sosial-politik dan memantik polarisasi di tengah-tengah masyarakat,” terang Halili. 

    Adapun, suatu fatwa dipandan sebagai pandangan keagamaan biasa, tidak mengikat, dan tidak memiliki kekuatan hukum apapun. 

    “Publik dan pemilih, termasuk pemilih dari kalangan umat Islam dapat mengabaikan pandangan keagamaan yang tidak memiliki kekuatan hukum apapun karena tidak sesuai dengan kebinekaan Indonesia,” imbuhnya. 

    Setara lalu mendesak seluruh pihak, termasuk ormas keagamaan, untuk menjadikan hajatan elektoral seperti Pilkada sebagai sarana untuk mengekspresikan hak konstitusional warga negara dan kedaulatan rakyat secara bebas, di satu sisi, dan wahana kebangsaan untuk memperkuat tata kebinekaan di sisi yang lain.

    Lembaga itu juga mengimbaj agar  organisasi kemasyarakatan, termasuk organisasi keagamaan, memberikan teladan toleransi dan menyuarakan pesan-pesan damai, nondiskriminatif dan nonsegregatif, untuk menguatkan ekosistem toleransi dan mendukung kondusivitas di tengah-tengah masyarakat dalam Pilkada Serentak 2024, terutama menjelang Hari Pemungutan Suara pada 27 November 2024. 

  • Pj Wali Kota Kediri Buka Pameran Foto Jurnalistik “SANTRI”

    Pj Wali Kota Kediri Buka Pameran Foto Jurnalistik “SANTRI”

    Kediri (beritajatim.com) – Pj Wali Kota Kediri Zanariah membuka Pameran Foto Jurnalistik “SANTRI”, Sabtu (23/11). Bertempat di Taman Brantas, pameran foto ini berlangsung mulai tanggal 23-29 November 2024. Acara ini digagas oleh Kantor Berita Nasional Antara.

    “Alhamdulillah kita bisa berkumpul pada momen istimewa Pameran Foto Jurnalistik bertema SANTRI. Acara keren ini digagas oleh Kantor Berita Nasional Antara melalui galeri foto jurnalistik Antara, redaksi foto Kantor Berita Antara, dan Antara Jatim berkolaborasi dengan Pemkot Kediri,” ujarnya.

    Pj Wali Kota Kediri mengatakan sebagai kantor berita nasional, Antara selalu hadir menyajikan berita-berita terkini dan terpercaya. Kali ini, melalui pameran foto jurnalistik, Antara juga hadir mengajak semua untuk merenung, dan mengapresiasi keindahan serta kedalaman pesan yang terkandung dalam setiap karya pewarta foto Antara.

    “Kami atas nama Pemkot Kediri menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada Kantor Berita Nasional Antara yang telah mempercayakan Kota Kediri sebagai lokasi penyelenggaraan pameran foto. Utamanya di Taman Brantas ini selaras dengan tujuan Pemkot Kediri. Dalam menghadirkan ruang terbuka hijau sebagai tempat rekreasi, interaksi sosial, bahkan menjadi wadah berekspresi,” ungkapnya.

    Pj Wali Kota Kediri Buka Pameran Foto Jurnalistik “SANTRI”

    Zanariah menjelaskan Taman Brantas ini merupakan salah satu taman di Kota Kediri yang selalu ramai pengunjung. Apalagi di akhir pekan, banyak keluarga kecil hadir untuk menghabiskan waktu bersama, sembari memberikan pengalaman baru bagi anak-anak bersosialisasi dengan teman baru. Sehingga Taman Brantas ini menjadi lokasi yang tepat untuk digelar pameran foto ini.

    Hidup di Kota Kediri di tengah banyaknya pondok pesantren, tentu menjadikan masyarakat familiar dengan tema SANTRI yang diangkat dalam pameran foto ini. Melalui foto-foto yang dipamerkan masyarakat diajak untuk melihat lebih dekat kehidupan santri di Pulau Jawa. Bahkan mungkin belum pernah diketahui sebelumnya.

    “Para santri dengan segala aktivitas dan semangatnya telah menjadi bagian penting dari sejarah dan perkembangan bangsa kita. Nilai-nilai keagamaan, kedisiplinan, dan toleransi yang mereka junjung tinggi relevan dengan upaya kita dalam menjaga kerukunan dan kedamaian di Kota Kediri,” jelasnya.

    Pj Wali Kota Kediri mengungkapkan toleransi yang ada di Kota Kediri juga tak lepas dari peran penting para Kyai yang senantiasa menebarkan nilai-nilai persaudaraan dan kerukunan. Sehingga, Kota Kediri dapat meraih penghargaan 10 Besar Kota Paling Toleran di Indonesia menurut Setara Institute selama empat tahun berturut-turut. Harapannya hadirnya pameran ini dapat menjadi sarana refleksi untuk bersama merawat toleransi di Kota Kediri.

    “Selain itu dengan sering digelarnya pameran karya di taman-taman Kota Kediri juga dapat mendorong geliat iklim kreatif di kota ini. Selamat dan sukses atas terselenggaranya pameran foto ini. Semoga pameran ini menginspirasi kita semua,” ungkapnya.

    General Manager Redaktur Pelaksana LKBN Antara Sigit menambahkan pameran di Kota Kediri ini merupakan pameran foto kelima. Dimana setiap tahunnya, Antara menyelenggarakan sedikitnya enam pameran foto. Kegiatan ini merupakan bagian penugasan dari pemerintah melalui Kementerian Komdigi untuk menyampaikan berita-berita baik agar masyarakat memiliki harapan. Sehingga masyarakat tidak hanya disuguhi oleh hal-hal negatif. Pameran foto ini dipilih di Kota Kediri karena bertema SANTRI.

    “Kami merasa terhormat bisa mempresentasikan karya teman-teman pewarta foto Antara. Semoga kolaborasi ini tidak berhenti sampai di sini. Selamat menikmati pameran foto ini,” imbuhnya.

    Turut hadir Kapolres Kediri Kota AKBP Bramastyo Priaji, Koordinator Biro dan PSO Irfan Ilmi, Kepala LKBN Antara Biro Jatim Rahmad Hidayat, Kurator Ismar Patrizki, Budayawan Gus Barok, Kepala DLHKP Imam Muttakin, Kepala Disbudparpora Zachrie Ahmad, Kepala Diskominfo Apip Permana, Kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Eko Lukmono, dan tamu undangan lainnya. [nm/kun]

  • Koalisi Masyarakat Sipil Audiensi dengan PDIP Bahas Revisi UU TNI

    Koalisi Masyarakat Sipil Audiensi dengan PDIP Bahas Revisi UU TNI

    Jakarta, Gatra.com – Koalisi Masyarakat Sipil terdiri Imparsial, Setara Institute, KontraS, PBHI, hingga Elsam melakukan audiensi dengan PDI Perjuangan (PDIP) mengenai pembahasan Revisi Undang-Undang (UU) TNI yang saat ini masuk Prolegnas DPR.

    Audiensi tersebut dilakukan di kantor DPP PDIP, Jalan Pangeran Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, pada Kamis (11/7). Adapun perwakilan dari PDIP yang hadir adalah Tubagus Hasanuddin, Andi Widjajanto, dan Andreas Hugo Pareira.

    “Maksud tujuan audiensi kami pada hari ini yaitu terkait dengan Revisi UU TNI. Menurut kami, terkait draft tersebut terdapat beberapa hal yang secara substansi dapat melemahkan demokrasi dan juga menghambat kemajuan HAM di Indonesia,” kata Koordinator Peneliti Imparsial, Ardi Manto Adiputra.

    Sementara itu, Direktur Eksekutif Elsam, Wahyudi Djafar, mengungkapkan bahwa yang menjadi kekhawatiran para koalisi masyarakat sipil adalah selalu ada UU terkait militer yang disahkan pada setiap akhir periode DPR.

    “Yang jadi pertanyaan adalah di akhir 2024 periode ini kira-kira apa yang mau disahkan oleh DPR? Itu yang kemudian kenapa kami was-was masyarakat sipil, karena kita menanti nih akhir periode DPR kira-kira akan mengesahkan apa,” tutur dia.

    Lebih lanjut, dirinya menyoroti bahwa pembahasan Revisi UU TNI terkesan buru-buru dibahas pada periode saat ini.

    “Secara proses, ini seperti diburu-buru, karena kan DPR akan segera berakhir pada 30 September 2024. Sementara masa sidang tinggal tersisa satu kali masa sidang itu, kan. Jadi, apakah itu memungkinkan untuk bisa membahas secara komprehensif sejumlah persoalan terkait dengan implementasi UU TNI?” ujar Wahyudi.

    Wahyudi berpendapat bahwa lebih baik Revisi UU TNI diperbincangkan pada masa DPR periode baru, bukan justru diajukan kepada DPR yang akan segera berakhir masa jabatannya. “Yang semestinya secara moral menghindari usul inisiatif pembahasan RUU baru,” tuturnya.

    Merespons hal tersebut, Politisi PDIP sekaligus Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin, menyampaikan rasa terima kasih kepada para koalisi masyarakat sipil yang mewakili masyarakat pada umumnya.

    “Yang paling penting kami akan mendengar pendapat publik dan hari ini terima kasih dari masyarakat sipil serta mewakili masyarakat pada umumnya,” katanya dalam kesempatan yang sama.

    Kendati demikian, dirinya mengingatkan bahwa hal tersebut juga perlu disampaikan ke fraksi-fraksi yang lain.

    “Tetapi perlu diingat, saya kira apa yang disampaikan beliau-beliau sudah ada kesepahaman ya, tetapi juga di DPR sistem kerja kami tidak bisa mendengarkan satu ide dari satu fraksi. Jadi, ya ide yang bagus ini tolong disampaikan juga kepada fraksi yang lain,” ucap Hasanuddin.

    57