“DPR dan Pemerintah Bahas RUU TNI di Hotel Mewah dan Akhir Pekan, Halo Efisiensi?”
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menggeruduk ruang rapat Ruby 1 dan 2 Hotel Fairmont, Jakarta, Sabtu (15/3/2025).
Mereka tiba pukul 17.50 WIB, aksi tiga orang yang dipimpin anggota Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Andrie itu mencoba masuk ke ruang rapat.
Namun Andrie dan dua aktivis lainnya terjungkal, didorong oleh seorang penjaga berseragam batik. Namun mereka kembali berdiri dan mengangkat poster yang menjadi aspirasi mereka.
“DPR dan Pemerintah Bahas
RUU TNI
di Hotel Mewah dan Akhir Pekan, Halo Efisiensi?” tulis poster yang diangkat tinggi-tinggi oleh Andrie.
Poster lainnya bertuliskan “kayak kurang kerjaan aja, ngambil double job” yang menyindir potensi kembalinya dwifungsi TNI dalam revisi UU yang sedang dibahas.
Ada juga poster yang bertuliskan “Gantian aja gimana, TNI jadi ASN, sipil yang angkat senjata” sebagai sindiran beberapa jabatan sipil di dalam
revisi UU TNI
diperbolehkan untuk diduduki oleh TNI.
Tiga aktivis ini juga meneriakkan tuntutan mereka agar pembahasan revisi UU TNI ini dihentikan karena terkesan tertutup dan tidak memberikan ruang pada partisipasi publik.
“Hentikan bapak ibu. Prosesnya sangat tertutup. Tidak ada pelibatan rakyat di sini,” katanya.
Keprihatinan Koalisi Masyarakat Sipil ini juga disampaikan melalui keterangan tertulis menyoroti sikap Panja revisi UU TNI yang menggelar rapat mewah di tengah efisiensi.
Mereka menyebut, di tengah pemotongan dan efisiensi anggaran besar-besaran, bahkan harus menunda pelantikan ASN, DPR justru membahas RUU TNI yang dilakukan di hotel Hotel Fairmont.
Hal ini dinilai menunjukkan bahwa retorika pemotongan anggaran hanyalah omong kosong belaka dan tidak memiliki kepekaan ditengah sulitnya ekonomi masyarakat.
Maka dari itu, koalisi masyarakat sipil dari 30 NGO mengecam keras pelaksanaan pembahasan revisi UU TNI yang dilakukan secara diam-diam di hotel berbintang lima karena minim transparansi, akuntabilitas dan partisipasi publik.
“Apalagi pelaksanaan pembahasannya dilakukan di akhir pekan dan alam waktu yang singkat di akhir masa reses DPR. Pemerintah dan DPR harus berhenti untuk terus membohongi dan menyakiti rasa keadilan rakyat Indonesia,” ujar Koordinator Kontras Dimas Bagus Arya yang juga anggota koalisi.
Adapun koalisi masyarakat sipil ini terdiri dari mparsial, YLBHI, KontraS, PBHI Nasional, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat.
Ada juga Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), BEM SI, De Jure.
Sebagai informasi, rapat revisi UU TNI di Fairmont Hotel selama dua hari menjadi sorotan karena dilakukan di tengah upaya efisiensi anggaran pemerintah.
DPR dan Kementerian Pertahanan menggelar rapat selama dua hari di hotel bintang lima Fairmont, yang berjarak hanya dua kilometer dari Gedung Parlemen Senayan, Jakarta.
Untuk diketahui, Komisi I DPR tengah membahas revisi UU TNI bersama pemerintah sejak Selasa (12/3/2025).
Perubahan UU TNI akan mencakup penambahan usia dinas keprajuritan hingga peluasan penempatan prajurit aktif di kementerian/lembaga.
Secara spesifik, revisi ini bertujuan menetapkan penambahan usia masa dinas keprajuritan hingga 58 tahun bagi bintara dan tamtama, sementara masa kedinasan bagi perwira dapat mencapai usia 60 tahun.
Selain itu, ada kemungkinan masa kedinasan diperpanjang hingga 65 tahun bagi prajurit yang menduduki jabatan fungsional.
Kemudian, revisi UU TNI juga akan mengubah aturan penempatan prajurit aktif di kementerian/lembaga, mengingat kebutuhan penempatan prajurit TNI di kementerian/lembaga yang semakin meningkat.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
NGO: Setara Institute
-
/data/photo/2025/03/15/67d58699280f6.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
5 "DPR dan Pemerintah Bahas RUU TNI di Hotel Mewah dan Akhir Pekan, Halo Efisiensi?" Nasional
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3913778/original/099751800_1643088559-20220125-TNI-AD-Gelar-Pasukan-Monas-9.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
SETARA Institute Sebut RUU TNI Masih Beri Ruang Dwifungsi Tentara dan Militerisme – Page 3
Selain itu, koalisi menilai penambahan tugas operasi militer selain perang yang meluas, seperti misalnya ikut menangani masalah narkotika adalah terlalu berlebihan. Penanganan narkoba semestinya tetap dalam koridor penegakan hukum.
Sebagai alat pertahanan negara, TNI sepatutnya tidak terlibat di dalamnya. Sebab, penanganan narkotika seharusnya lebih menekankan pada aspek medis, dan penegakan hukum pun harus melakukannya secara proporsional, artinya tidak represif atau bahkan justru melalui operasi militer selain perang dengan pelibatan TNI di dalamnya.
“Karena itu, pelibatan TNI dalam penanganan narkotika adalah berlebihan dan akan meletakkan model penanganan narkotika menjadi war model dengan melibatkan militer di dalamnya dan bukan criminal justice sistem model lagi sehingga ini berbahaya karena akan membuka potensi execive power,” tuturnya.
Lebih berbahaya lagi, sambung Ikhsan, pelibatan tentara dalam operasi militer selain perang tidak lagi memerlukan persetujuan DPR melalui kebijakan politik negara sebagaimana diatur pasal 7 ayat 3 UU TNI 34 Tahun 2004, namun akan diatur lebih lanjut dalam PP sebagaimana draft RUU TNI.
“Draft pasal dalam RUU TNI ini secara nyata justru meniadakan peran parlemen sebagai wakil rakyat. Selain itu, hal ini akan menimbulkan konflik kewenangan dan tumpang tindih dengan lembaga lain khususnya aparat penegak hukum dalam mengatasi masalah di dalam negeri,” tukasnya.
Atas dasar hal tersebut, koalisi dengan tegas menolak DIM RUU TNI yang disampaikan pemerintah ke DPR, sebab masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang tetap akan mengembalikan Dwi Fungsi TNI dan militerisme di Indonesia.
“Pernyataan kepala komunikasi presiden yang menilai tidak ada Dwi Fungsi dalam RUU TNI adalah keliru, tidak tepat dan tidak memahami permasalahan yang ada dalam RUU TNI,” Ikhsan menandaskan.
-

Setara Institute Dorong Inklusi Sosial dalam Perencanaan Pembangunan
Jakarta, Beritasatu.com – Setara Institute merilis Indeks Inklusi Sosial Indonesia (IISI) menyambut kinerja pemerintahan baru. Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan mengatakan IISI akan menjadi penanda awal dan baseline kinerja pembangunan inklusi sosial yang menjadi standar dalam setiap bidang pembangunan pemerintahan baru.
“Salah satu rekomendasi dari studi inklusi sosial yang dilakukan Setara Institute adalah perencanaan pembangunan yang sedang dirancang oleh pemerintah daerah hasil Pilkada 2024, semestinya memastikan inklusi sosial sebagai variabel utama dan standar pembangunan daerah,” ujar Halili dalam siaran pers, Minggu (9/3/2025).
Untuk mendorong perencanaan pembangunan inklusif di daerah, Setara Institute menyusun suatu alat kebijakan yang bisa menjadi komplemen penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD).
“Alat kebijakan ini memuat pedoman penyusunan RPJMD yang inklusif, yang dalam kerangka pengukuran IISI mencakup kelompok perempuan, penyandang disabilitas, minoritas agama/kepercayaan dan masyarakat adat,” kata Halili.
Terdapat empat indikator rencana pembangunan inklusif yang mesti dipedomani oleh Pemerintah Daerah dan juga bagi masyarakat sipil yang hendak mengadvokasi perencanaan pembangunan.
Sebuah perencanaan pembangunan inklusif bisa diukur dengan indikator rekognisi, resiliensi, partisipasi, dan akomodasi.
Selain menyediakan standar RPJMD yang inklusif, alat kebijakan atau policy tools yang dirancang Setara Institute juga memuat agenda rencana aksi strategis yang bisa diadopsi oleh pemerintah daerah untuk memastikan keterpenuhan hak-hak kelompok rentan, utamanya kelompok perempuan, penyandang disabilitas, minoritas agama/kepercayaan, dan masyarakat adat.
-

Mayor Teddy Indra Wijaya Naik Pangkat Jadi Letkol: Apa Alasannya? – Halaman all
TRIBUNNEWS.com – Mayor Teddy Indra Wijaya, Sekretaris Kabinet (Seskab), baru-baru ini resmi naik pangkat menjadi Letnan Kolonel (Letkol) setelah mendapatkan penghargaan dari Markas Besar TNI (Mabes TNI).
Hal ini disampaikan oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Maruli Simanjuntak dalam sebuah konferensi pers.
Maruli menjelaskan bahwa kenaikan pangkat Teddy didasarkan pada penghargaan yang diterimanya dari Mabes TNI.
“Sebaiknya tanya langsung ke Mabes TNI,” ungkap Maruli saat ditanya lebih lanjut mengenai alasan di balik keputusan tersebut, dalam wawancara dengan Kompas.com pada Sabtu, 8 Maret 2025.
Kenaikan pangkat Teddy juga telah dibenarkan oleh Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad) Brigjen Wahyu Yudhayana.
Menurutnya, proses kenaikan pangkat ini telah sesuai dengan aturan dan administrasi yang berlaku di TNI.
“Itu sudah sesuai ketentuan yang berlaku di TNI dan dasar perundang-undangan Perpres,” jelas Wahyu pada Kamis, 6 Maret 2025.
Kritikan Terhadap Kenaikan Pangkat
Meski demikian, keputusan ini menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk SETARA Institute dan pensiunan Perwira Tinggi TNI AD, TB Hasanudin.
Peneliti senior SETARA Institute, Ikhsan Yosarie, meminta TNI untuk transparan mengenai kenaikan pangkat Teddy.
Ia khawatir bahwa keputusan ini berpotensi dipengaruhi oleh unsur politik, mengingat Teddy saat ini menjabat di posisi sipil, bukan dinas kemiliteran.
“Penjelasan ini sangat diperlukan untuk memastikan bahwa kenaikan pangkat ini tidak diwarnai unsur politik dan kekuasaan,” ujar Ikhsan.
Ia juga menekankan pentingnya transparansi untuk mengurangi kecemburuan di antara perwira menengah TNI.
Senada dengan itu, TB Hasanudin meragukan keabsahan kenaikan pangkat Teddy.
Ia menyoroti istilah “Kenaikan Pangkat Reguler Percepatan” yang baru pertama kali didengarnya. “Kenaikan pangkat untuk Mayor Teddy sepertinya tidak sesuai dengan aturan yang biasa,” ungkapnya pada Jumat, 7 Maret 2025.
Tudingan Politisasi Kenaikan Pangkat
Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, juga menilai bahwa kenaikan pangkat Teddy lebih bersifat politis.
Ia mengeklaim bahwa Teddy tidak pernah melaksanakan tugas sebagai prajurit TNI di lapangan dan justru melanggar netralitas TNI saat Pilpres 2024 dengan menggunakan atribut pasangan calon tertentu.
“Jangan salahkan apabila publik menilai bahwa kenaikan pangkat Mayor Teddy bukanlah berdasarkan prestasi, tetapi cenderung berdasarkan politis,” tegas Ardi.
Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).
-

Revisi UU Polri Diharapkan Transparan dan Fokus Buat Efektif Penyidikan – Halaman all
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Riset SETARA Institute yang juga pakar hukum tata negara dari UIN Jakarta, Ismail Hasani menilai revisi Undang-Undang (UU) Polri harus fokus pada peningkatan efektivitas penyidikan.
Dia juga menyebut, upaya revisi ini tanpa perlu memonopoli otoritas penyidikan.
Hal itu disampaikan Ismail Hasani dalam diskusi ‘Akselerasi Pembahasan RUU Polri SETARA Institute’, di Jakarta.
“Dalam point diskusi tersebut, disinyalir ada instansi yang burapaya mengambil alih kewenangan Polri untuk menjadi pengendali penyidikan sesuai dengan asas dominus litis,” kata Ismail, Sabtu (8/3/2025).
Ismail pun mengatakan, dalam rencana perubahan UU TNI, Polri dan Kejaksaan juga terdapat perubahan penambahan kewenangan.
“Yang mana sebenarnya bisa saja dilakukan asalkan tidak keluar dari desain konstitusi kita,” ujar Ismail.
Terkait hal itu, dia menyebut TNI sebagai alat pertahanan, sedangkan Polri mengemban tiga mandat konstitusional yaitu perlindungan/pelayanan kepada masyarakat, menjaga keamanan dan menegakkan hukum.
Khusus UU Polri, kata Ismail kewenangan yang diberikan sudah cukup luas dan sangat mencukupi untuk menjalankan mandat konstitusional.
Artinya, tidak perlu adanya penambahan kewenangan-kewenangan baru.
“Ketika kewenangan bertambah, kewenangan pengawasan juga harus bertambah,” terangnya.
Karena itu, dia mendorong Komisi III DPR RI apabila surat presiden (Surpres) terkait revisi UU tersebut sudah dikirimkan oleh Presiden Prabowo Subianto, agar disampaikan secara terbuka.
“Sehingga baik masyarakat yang mendukung maupun menentang bisa memberikan masukan terhadap perbaikan-perbaikan UU Polri,” jelasnya.
Hadir dalam diskusi sejumlah pakar yakni Prof. Dr. Angel Damayanti (Universitas Kristen Indonesia), Dr. Sarah Nuraini Siregar (Peneliti Senior BRIN-Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dr. Halili Hasan (Dosen Ilmu Politik Universitas Negeri Yogyakarta –UNY/ Direktur Eksekutif SETARA Institute), Ardimanto Putra (Direktur Eksekutif IMPARSIAL), Benny SUkadis (Direktur Laspersi, Dosen UPN Veteran Jakarta) dan Merisa Dwi Juanita (Peneliti SETARA Institute).
-

Setara: Demi Transparansi TNI, Kenaikan Pangkat Seskab Teddy Jadi Letkol Harus Dijelaskan ke Publik – Halaman all
Setara: Demi Transparansi TNI, Kenaikan Pangkat Seskab Teddy Harus Dijelaskan kepada Publik
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kenaikan pangkat satu tingkat Seskab Teddy Indra Wijaya dari mayor menjadi letnan kolonel (letkol) mendapatkan kritikan, salah satunya dari SETARA Institute.
Peneliti senior SETARA Institute Ikhsan Yosarie memahami bahwa kenaikan pangkat bagi prajurit TNI sangat wajar.
“Sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) PP No. 39 tahun 2010 tentang Administrasi Prajurit TNI,” kata Ikhsan dalam keterangannya, Sabtu (8/3/2025).
Namun, Ikhsan mencatat terdapat ketentuan yang eksplisit dalam pasal a quo, yakni berdasarkan prestasinya sesuai dengan pola karier yang berlaku dan memenuhi persyaratan yang ditentukan.
“Dalam konteks ini, kenaikan pangkat dari mayor ke letkol yang dialami Teddy Indra Wijaya perlu dijelaskan kepada publik. Penjelasan ini sangat diperlukan bukan hanya sebagai bentuk akuntabilitas dan transparansi tata kelola di TNI, tetapi juga untuk memastikan bahwa kenaikan pangkat ini tidak diwarnai unsur politik dan kekuasaannya, mengingay Teddy Indra Wijaya ini tengah berada di jabatan sipil, bukan dinas kemiliteran. Sehingga berbagai unsur kenaikan pangkat ini tentu berpotensi minim unsur kemiliterannya,” kata dia.
Ikhsan mengatakan keterbukaan TNI atas kenaikan jabatan Letkol Teddy juga dinilai perlu dilakukan mengurangi adanya kecemburuan di tengah para perwira menengah (pamen) TNI.
“Sebab kenaikan pangkat yang dipermudah karena dekat dengan kekuasaan, tentu akan berdampak negatif terhadap pamen lainnya yang selama ini lebih akrab dengan medan lapangan atau hal-hal berbasis kemiliteran lainnya,” kata dia.
Ikhsan juga mempertanyakan kenaikan pangkat Seskab Teddy dalam segi masa dinas perwira.
Berdasarkan Perpang Nomor 40/2018 Pasal 13 huruf c, terdapat sejumlah rentang waktu kenaikan pangkat dari mayor ke letkol mulai dari 18-25 tahun, sesuai pendidikan yang dijalani.
“Kondisi ini perlu dijelaskan TNI kepada publik untuk menjawab berbagai spekulasi kenaikan pangkat ini tidak berkaitan dengan merit system, tetapi politik dan kekuasaan,” ucapnya.
Selanjutnya, dalam PP Nomor 39 Tahun 2010 tentang Administrasi Prajurit TNI juga dijelaskan Pasal 27 ayat (1) bahwa kenaikan pangkat terdiri atas reguler dan khusus.
Pada ayat (2) dijelaskan bahwa kenaikan pangkat khusus terdiri atas kenaikan pangkat luar biasa dan kenaikan pangkat penghargaan.
“Beragamnya jenis kenaikan pangkat ini semakin menegaskan diperlukannya transparansi dan akuntabilitas institusi TNI, untuk memastikan merit system dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dalam kenaikan pangkat di internalnya,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya Markas Besar TNI Angkatan Darat mengonfirmasi foto salinan dokumen yang beredar di kalangan wartawan terkait kenaikan pangkat satu tingkat Sekretaris Kabinet Mayor Inf Teddy Indra Wijaya menjadi Letnan Kolonel (Letkol) Inf pada Kamis (6/3/2025).
Kadispenad Brigjen TNI Wahyu Yudhayana mengatakan informasi yang beredar tersebut benar adanya.
“Saya sampaikan kepada rekan-rekan media, bahwa informasi tersebut memang betul ya,” kata Wahyu saat dihubungi Tribunnews.com pada Kamis (6/3/2025).
“Dan itu sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku di TNI dan dasar perundang – undangan (Perpres), secara administrasi juga semua sudah dipenuhi,” lanjut dia.
Dokumen Beredar
Sebelumnya beredar salinan surat perintah dengan Kop dan Logo Markas Besar TNI Angkatan Darat nomor Sprin/674/II/2025 yang menyatakan kenaikan pangkat Sekretaris Kabinet Mayor Inf Teddy Indra Wijaya satu tingkat menjadi Letnan Kolonel pada Kamis (6/3/2025).
Foto salinan surat yang beredar di kalangan wartawan tersebut menyebutkan satu poin di bagian Menimbang.
“bahwa untuk kenaikan Pangkat Reguler Percepatan (KPRP) dari Mayor ke Letkol, perlu dikeluarkan surat perintah,” dikutip dari salinan surat bereda tersebut pada Kamis (6/3/2025).
Pada bagian Dasar di foto salinan dokumen tersebut terdapat enam poin yang tertulis:
1. Peraturan Panglima TNI Nomor 53 Tahun 2017 tentang Penggunaan Prajurit Tentara Nasional Indonesia;
2. Peraturan Panglima TNI Nomor 87 Tahun 2022 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Panglima TNI Nomor 50 Tahun 2015 tentang Kepangkatan Tentara Nasiona Indonesia;
3. Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/238/II/2025 tanggal 25 Februari 2025 tentang Penetapan Kenaikan Pangkat Reguler Percepatan (KPRP) dari Mayor ke Letkol a.n. Mayor Inf Teddy Indra Wijaya, S.ST. Han., M.Si NRP 11110010020489, Sekretaris Kabinet RI;
4. Peraturan Kasad Nomor 21 Tahun 2019 tentang Kepangkatan Prajurit Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat;
5. Keputusan Kasad Nomor Kep/462/VIII/2021 tanggal 4 Agustus 2021 tentang Petunjuk Teknis Pembinaan Karier Perwira TNI AD; dan
6. Pertimbangan Pimpinan Angkatan Darat.
“Seterimanya surat perintah ini, segera menggunakan pangkat satu tingkat lebih tinggi dari Mayor ke Letkol terhitung mulai 25 Februari 2025,” dikutip dari salinan dokumen tersebut.
-

Kenaikan Pangkat Mayor Teddy Menjadi Letkol Dipertanyakan, TNI Diminta Beri Penjelasan Terbuka – Halaman all
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Setara Institute menilai kenaikan pangkat bagi prajurit TNI, pada dasarnya, merupakan hal yang wajar dan diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Peneliti Senior Setara Institute Ikhsan Yosarie menjelaskan, berdasarkan Pasal 26 ayat (1) PP No. 39 Tahun 2010 tentang Administrasi Prajurit TNI, setiap prajurit memiliki kesempatan untuk mendapatkan kenaikan pangkat berdasarkan prestasi yang dicapai, sesuai dengan pola karier yang berlaku, serta memenuhi persyaratan yang ditentukan.
“Namun, meskipun hal tersebut merupakan bagian dari regulasi yang ada, proses kenaikan pangkat tetap perlu mendapat perhatian publik, terutama jika terdapat kondisi yang menimbulkan keraguan,” kata Ikhsan dikutip dari keterangan yang diterima, Sabtu (8/3/2025).
Menurutnya, contoh kasus yang belakangan menjadi sorotan adalah kenaikan pangkat Mayor Teddy Indra Wijaya menjadi Letnan Kolonel (Letkol).
“Proses kenaikan pangkat ini memunculkan sejumlah pertanyaan, mengingat saat ini Teddy Indra Wijaya menjabat di bidang sipil, bukan di dinas kemiliteran,” ujarnya.
Ikhsan mengatakan, dengan adanya faktor non-kemiliteran, banyak pihak merasa penting untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut mengenai latar belakang kenaikan pangkat tersebut, apakah terdapat unsur politik atau kekuasaan tertentu yang memengaruhi keputusan tersebut.
“TNI diminta untuk memberikan penjelasan yang transparan mengenai proses kenaikan pangkat Mayor Teddy Indra Wijaya agar publik dapat memahaminya dengan lebih jelas,” katanya.
Penjelasan terbuka ini juga diharapkan dapat meminimalisir potensi kecemburuan di kalangan perwira menengah (Pamen) TNI lainnya, yang mungkin merasa lebih berfokus pada tugas lapangan dan aspek kemiliteran, namun merasa bahwa kenaikan pangkat lebih mudah diperoleh karena kedekatan dengan kekuasaan.
Dia menjelaskan, aspek yang juga patut menjadi perhatian adalah masa dinas prajurit tersebut.
Berdasarkan Perpang No. 40/2018, pada Pasal 13 huruf c, kenaikan pangkat dari Mayor ke Letkol umumnya membutuhkan waktu antara 18 hingga 25 tahun, tergantung pada pendidikan yang dijalani.
“Jika kenaikan pangkat ini terjadi dalam waktu yang jauh lebih singkat, maka hal tersebut dapat menimbulkan pertanyaan besar mengenai kesesuaian dengan regulasi yang ada. Oleh karena itu, TNI diharapkan dapat memberikan penjelasan terkait masa dinas dan proses pendidikan yang dilalui oleh Teddy Indra Wijaya,” ujarnya.
Ikhsan juga menilai penting juga untuk memahami jenis-jenis kenaikan pangkat yang ada dalam regulasi, yakni kenaikan pangkat reguler dan kenaikan pangkat khusus.
Kenaikan pangkat khusus ini dapat dibagi lagi menjadi kenaikan pangkat luar biasa dan kenaikan pangkat penghargaan.
“Penjelasan mengenai jenis kenaikan pangkat yang diterima oleh Teddy Indra Wijaya menjadi sangat penting agar publik dapat menilai apakah keputusan tersebut sesuai dengan mekanisme yang berlaku, dan untuk menghindari spekulasi terkait dengan adanya kepentingan lain di luar regulasi yang sah,” ungkapnya.
Dirinya berharap TNI perlu memastikan bahwa proses kenaikan pangkat prajurit dilakukan dengan transparansi dan akuntabilitas yang tinggi.
“Penjelasan yang terbuka tidak hanya akan menjaga kepercayaan publik, tetapi juga memastikan bahwa keputusan yang diambil mencerminkan integritas dan profesionalisme dalam institusi militer,” katanya.
Respons TNI AD
Kepala Dinas Penerangan (Kadispen) TNI Angkatan Darat (AD) Brigjen Wahyu Yudhayana menyebutkan bahwa alasan utama kenaikan pangkat Mayor Teddy Indra Wijaya tidak perlu diungkapkan kepada publik.
Mayor Teddy naik pangkat satu tingkat menjadi Letnan Kolonel (Letkol) Infanteri.
Dalam hal ini, Wahyu menegaskan sudah banyak pertimbangan dari pimpinan mengenai kenaikan pangkat tersebut.
Wahyu juga mengatakan kenaikan pangkat Mayor Teddy ini sudah sesuai dengan ketentuan TNI.
Karena itu, menurutnya, alasan kenaikan pangkat itu tidak perlu dibeberkan ke publik dan cukup di internal saja.
“Ya, pertimbangan pimpinan kan kita enggak harus kasih tahu kan. Pimpinan itu kan punya pertimbangan karena suatu prestasi, kinerja, atau pertimbangan pimpinan lain. Banyak pertimbangannya. Yang juga mungkin tidak perlu kita sampaikan (menjadi) konsumsi publik.”
“Yang jelas pasti ada pertimbangannya dan sesuai ketentuan, kan gitu. Internal di kita,” ujar Wahyu saat dihubungi Kompas.com, Jumat (7/3/2025).
Mayor Teddy menerima kenaikan pangkat itu lewat Kenaikan Pangkat Reguler Percepatan (KPRP).
Hal tersebut tercantum dalam salinan surat perintah dengan Kop dan Logo Markas Besar TNI Angkatan Darat nomor Sprin/674/II/2025 yang menyatakan kenaikan pangkat Mayor Teddy, pada Kamis (6/3/2025).
Tentang dengan ini, Wahyu mengatakan bahwa KPRP yang diterima Mayor Teddy itu bukanlah hal yang baru di TNI.
“Ya, beda (dengan kenaikan pangkat luar biasa), itu kan ada aturannya, di kita ada aturannya semua, KPLB apa, kenaikan pangkat reguler percepatan itu juga apa, juga semua di ketentuan militer ada. Dan itu sudah berlaku lama,” tuturnya.
“Ya ada, ada. Kan kita enggak melakukan sesuatu hal yang baru. Itu sudah ada ketentuannya diatur dalam peraturan TNI itu sudah ada,” sambung Wahyu.
Mayor Teddy merupakan perwira TNI Angkatan Darat yang ditugaskan menjadi Sekretaris Kabinet (Seskab) pada Kabinet Merah Putih.
Sebelumnya, dia merupakan ajudan Presiden Prabowo Subianto saat masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan pernah menjadi asisten ajudan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Purnawirawan TNI Pertanyakan Kenaikan Pangkat Mayor Teddy
Sementara itu, purnawirawan perwira tinggi (pati) TNI Angkatan Darat (AD) sekaligus anggota Komisi I DPR RI Mayjen TNI (Purn.), T.B. Hasanuddin, mempertanyakan kenaikan pangkat Mayor Teddy.
Hasanuddin menyebut kenaikan pangkat militer itu tidak seperti aturan biasanya.
Menurutnya, kenaikan pangkat militer pada umumnya dilakukan dua periode dalam satu tahun.
Kenaikan itu pada tanggal 1 April dan 1 Oktober, kecuali untuk para perwira tinggi TNI dapat dinaikkan sewaktu-waktu sesuai kebutuhan.
Sementara itu, Kenaikan Pangkat Luar Biasa (KPLB) biasanya diberikan kepada para prajurit yang berprestasi dan menunjukan keberanian yang luar biasa di medan pertempuran.
“Kenaikan pangkat untuk Mayor Teddy menjadi Letkol itu, sepertinya tidak sesuai dengan aturan yang biasa,” kata Hasanuddin kepada wartawan, Jumat.
Hasanuddin juga mengatakan baru kali ini dia mendengar istilah KPRP tersebut.
Dia pun mempertanyakan apakah kenaikan pangkat reguler percepatan ini hanya berlaku kepada Mayor Teddy saja atau berlaku untuk seluruh prajurit TNI juga.
“Lalu kenaikan pangkat reguler percepatan ini hanya berlaku kepada Mayor Teddy atau berlaku kepada seluruh prajurit?” ujarnya.
Tentang hal ini, Hasanuddin menegaskan pentingnya keterbukaan kepada masyarakat mengenai proses pengangkatan dan kenaikan pangkat di lingkungan TNI supaya tidak menimbulkan tanda tanya di lingkungan masyarakat.
6 Pertimbangan Kenaikan Pangkat Mayor Teddy
Berikut enam poin pertimbangan kenaikan pangkat Mayor Teddy yang tertulis pada salinan surat perintah dengan Kop dan Logo Markas Besar TNI Angkatan Darat nomor Sprin/674/II/2025.
1. Peraturan Panglima TNI Nomor 53 Tahun 2017 tentang Penggunaan Prajurit Tentara Nasional Indonesia.
2. Peraturan Panglima TNI Nomor 87 Tahun 2022 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Panglima TNI Nomor 50 Tahun 2015 tentang Kepangkatan Tentara Nasional Indonesia.
3. Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/238/II/2025 tanggal 25 Februari 2025 tentang Penetapan Kenaikan Pangkat Reguler Percepatan (KPRP) dari Mayor ke Letkol a.n. Mayor Inf Teddy Indra Wijaya, S.ST. Han., M.Si NRP 11110010020489, Sekretaris Kabinet RI.
4. Peraturan Kasad Nomor 21 Tahun 2019 tentang Kepangkatan Prajurit Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat.
5. Keputusan Kasad Nomor Kep/462/VIII/2021 tanggal 4 Agustus 2021 tentang Petunjuk Teknis Pembinaan Karier Perwira TNI AD; dan
6. Pertimbangan Pimpinan Angkatan Darat.
“Seterimanya surat perintah ini, segera menggunakan pangkat satu tingkat lebih tinggi dari Mayor ke Letkol terhitung mulai 25 Februari 2025,” dikutip dari salinan dokumen tersebut.
-
/data/photo/2024/10/05/6700c451064ae.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Usia Pensiun TNI Dibahas Lagi di DPR, Perlukah Ditambah?
Usia Pensiun TNI Dibahas Lagi di DPR, Perlukah Ditambah?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Bahasan usia pensiun Tentara Nasional Indonesia (TNI) kembali bergulir di
Komisi I DPR
RI usai Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.
Sejak Senin (3/3/2025), Komisi I DPR RI yang juga mitra TNI, mulai menjaring masukan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) hingga peneliti di bidang pertahanan.
Beberapa pembahasan itu di antaranya usia pensiun tentara, pengisian jabatan sipil, hingga larangan berbisnis.
Nantinya, melalui revisi Undang-Undang TNI, usia pensiun yang sebelumnya ditetapkan pada 58 tahun untuk perwira dan 53 tahun untuk bintara dan tamtama, diusulkan untuk diperpanjang.
Berdasarkan draf RUU TNI yang diterima Kompas.com pada Mei 2024, Pasal 53 Ayat (1) UU TNI akan diubah sebagai berikut, “
Prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 60 tahun bagi perwira dan paling tinggi 58 tahun bagi bintara dan tamtama.
”
Kemudian, pada Ayat (2), khusus jabatan fungsional, prajurit dapat melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 65 tahun sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Adapun usulan ini ditujukan untuk memanfaatkan keahlian dan pengalaman prajurit yang masih produktif, serta menyesuaikan dengan standar usia produktif yang ditetapkan Badan Pusat Statistik (BPS).
Menurut Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, prinsipnya
revisi UU TNI
menyangkut soal perpanjangan usia pensiun prajurit agar menyesuaikan perkembangan yang ada.
”Tentu di TNI juga enggak boleh rata karena usia pensiun bagi prajurit yang berpangkat bawah, sersan ataupun yang di bawahnya, itu kalau enggak salah kan 45 tahun sudah pensiun,” ucap Supratman pada 18 Februari 2025, dikutip dari
Kompas Id
.
“Karena, itu pasukan tempur. Nah, ini akan kita sesuaikan, sesuai dengan dinamika dan perkembangan yang ada,” ujar Supratman menambahkan.
Akan tetapi, wacana penambahan usia pensiun menimbulkan
pro dan kontra
di masyarakat, mulai dari soal anggaran hingga menghambat regenerasi prajurit.
Agar Setara PNS
Merespons ini, Wakil Inspektur Jenderal (Wairjen) TNI, Mayjen Alvis Anwar, menilai, usia pensiun perwira TNI yang diusulkan naik dimaksudkan agar setara dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Selain itu,
usia pensiun TNI
yang dinaikkan kemungkinan berkaitan dengan kebutuhan organisasi.
“Masalah Undang-Undang TNI ya, ya ini kita kan menyetarakan dengan PNS ya, kalau PNS kan usia 60 tahun ya,” kata Alvis, saat ditemui di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Selasa (25/2/2025).
Namun, dirinya tidak bisa memastikan alasan pasti mengapa usia pensiun TNI dinaikkan.
Hal ini pun diserahkannya kepada pembuat Undang-Undang, dalam hal ini pemerintah dan DPR.
“Mungkin itu pertimbangan dari penyusun regulasi Undang-Undang ini untuk rencananya menaikkan usia pensiun dari 58 menjadi 60,” imbuh Alvis.
Banyak yang nganggur
Dalam pembahasan RUU TNI di DPR juga mendapat sorotan.
Anggota Komisi I DPR Irjen Polisi (Purn) Frederik Kalalembang menyindir TNI yang meminta usia pensiun prajurit ditambah.
Pasalnya, menurut purnawirawan jenderal TNI ini, banyak perwira yang menganggur atau nonjob.
“Saya mendapat informasi, dan mungkin juga di TNI, bahwa sekarang banyak perwira, khususnya perwira, ini banyak yang nganggur, Pak. Karena tidak ada jabatan, non-job,” ujar Frederik dalam rapat terkait revisi UU TNI di DPR, Jakarta, Senin.
Politikus Partai Demokrat ini pun menyebut, akan ada triliunan rupiah duit negara yang keluar jika usia tentara diperpanjang.
Meski begitu, Frederik menduga banyaknya tentara non-job karena ada efisiensi anggaran.
“Hanya TNI saja karena mungkin masalah efisiensi anggaran, kemudian banyaknya sekarang perwira non-job karena tidak ada jabatan,” kata dia.
Perlu kajian
Sementara itu, Direktur riset Setara Institute Ismail Hasani meminta Komisi I DPR RI mengkaji pertimbangan cost and benefit atas penambahan batas usia pensiun prajurit.
Dia berpendapat, pertimbangan diperlukan agar tidak mengganggu politik anggaran negara.
“Jadi sebagai sebuah kebijakan hukum terbuka saya kira penting dipertimbangkan cost and benefit analysis, ketersediaan anggaran sehingga tidak mengganggu politik anggaran negara,” kata Ismail Hasani saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi I DPR RI di Kompleks Parlemen, Selasa (4/3/2025) kemarin.
Ia tidak memungkiri, batasan usia prajurit akan berbeda kondisinya dengan batasan usia dosen maupun politikus.
Ismail mengatakan, politikus mungkin sangat matang saat masih bergelut di dunia politik saat usia 62 tahun.
“Penting untuk dikaji cost and benefit analysis, penting juga dikaji transisi ketika batasan usia ini diadopsi. Misalnya apakah 62 masih, ya kalau politisi 62 lagi matang-matangnya,” ucapnya.
Menurutnya, batas usia bagi TNI dan profesi lain seperti politikus tidak bisa disamakan.
“Tapi kalau tentara, usia 62 masih harus memimpin, saya kira beda kebutuhannya,” imbuh Ismail.
Lebih lanjut, ia pun mencontohkan batas usia pensiun guru besar yang bisa diperpanjang hingga 70 tahun.
Di usia tersebut, guru besar tidak lagi membutuhkan energi fisik banyak, melainkan lebih sering mengisi sejumlah acara untuk memberikan pandangan atau pengajaran.
“Guru besar bisa sampai 70 tahun, tapi kan lebih sering duduk dan ngomong gitu, kan. Tidak membutuhkan energi yang banyak, energi fisik maksud saya, meskipun energi pikiran sangat besar,” tandasnya.
Tahun lalu dianggap tak mendesak
Tahun lalu, pembahasan revisi UU TNI yang mencakup perpanjangan batas usia pensiun juga pernah dibahas dan menjadi sorotan.
Mantan Deputi V Bidang Politik, Hukum, Pertahanan, Keamanan, dan Hak Asasi Manusia di Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengatakan, usulan perpanjangan usia pensiun TNI perlu dipertimbangkan kembali karena tak mendesak.
Menurutnya, lebih baik perbaikan TNI difokuskan pada penataan organisasi, alih-alih membahas usia pensiun. Sebab, perpanjangan usia pensiun dinilai dapat menghambat regenerasi dan inovasi di TNI.
“Jika kita bandingkan dengan negara ASEAN, usia prajurit di Indonesia tergolong lebih awal. Begitu juga dengan negara-negara G20,” kata Jaleswari pada 19 Juni 2024 silam.
Selain itu, menurut Jaleswari, penambahan usia pensiun akan meningkatkan beban anggaran negara.
Ia menyebut dari data yang dimilikinya, gaji dan tunjangan selalu menerima proporsi anggaran terbesar.
“Namun, alangkah lebih baik sebagian anggaran tersebut juga dialokasikan untuk mengembangkan alutsista di tengah ketidakpastian geopolitik,” tambahnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Pengamat sebut RUU TNI penting guna cegah munculnya konflik TNI-Polri
“Sebenarnya adalah soal argumen sosiologis pragmatis, ada ketimpangan kesejahteraan, ada ketimpangan peran, ada ketimpangan perlakuan, dan seterusnya, khususnya dalam 20 tahun terakhir,”
Jakarta (ANTARA) – Pengamat demokrasi yang juga Direktur Eksekutif SETARA Institute, Ismail Hasani, mengungkapkan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) penting untuk mencegah munculnya kasus-kasus konflik antara TNI dengan Polri.
Dalam 10 tahun terakhir, dia mencatat ada sekitar 37 kasus ketegangan antara dua institusi aparat negara tersebut di tingkat bawah. Dia menilai ketegangan itu muncul karena masalah sosiologis pragmatis yang dialami TNI.
“Sebenarnya adalah soal argumen sosiologis pragmatis, ada ketimpangan kesejahteraan, ada ketimpangan peran, ada ketimpangan perlakuan, dan seterusnya, khususnya dalam 20 tahun terakhir,” kata Ismail saat rapat dengan Komisi I DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa.
Dalam 20 tahun terakhir, menurut dia, TNI adalah entitas yang keberadaannya sudah tidak lagi dioptimalkan sebagaimana mestinya. Di era sebelumnya, TNI yang masih bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) merupakan institusi militer yang juga memiliki kekuatan sosial dan politik.
Selain itu, menurut dia, TNI merasa terpinggirkan sejak 20 tahun terakhir karena masih ada yang memandang tentara seperti di era-era awal Reformasi. Menurut dia, saat itu banyak kritik keras agar tentara kembali ke barak dan kewenangannya dibatasi sedemikian rupa.
“Yang pada akhirnya dia berada dalam satu handicap yang ‘tidak berguna’, padahal menurut banyak kalangan dan pimpinan TNI banyak keahlian yang bisa dimanfaatkan oleh mereka,” katanya.
Walaupun begitu, dia meminta agar perubahan UU TNI yang kini sedang dirancang harus mempertegas jaminan demokrasi, khususnya dalam penataan hubungan antara sipil dan militer.
“Pendasaran filosofis bahwa Tentara Nasional Indonesia bertugas melindungi dan seterusnya, ini betul, harus dipertahankan, tetapi juga mesti diimbangi dengan pendasaran filosofis,” kata dia.
Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2025
