NGO: Setara Institute

  • Kontroversi Tarik Ulur Mutasi Letjen Kunto Putra Try Sutrisno

    Kontroversi Tarik Ulur Mutasi Letjen Kunto Putra Try Sutrisno

    Bisnis.com, JAKARTA — Tarik ulur mutasi 7 perwira tinggi TNI, salah satunya putra mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, Letjen TNI Kunto Arief Wibowo, memicu polemik. Ada yang menyebut TNI telah ‘diombang-ambing’ politik.

    Seperti diketahui, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto membatalkan mutasi terhadap tujuh perwira tinggi (Pati), termasuk anak Try Sutrisno, Letjen TNI Kunto Arief Wibowo.

    Kapuspen TNI, Brigjen Kristomei Sianturi mengatakan Kunto sejatinya telah dimutasi dalam Keputusan Panglima TNI Kep/554/IV/2025 tanggal 29 April 2025. 

    Namun, keputusan itu diubah selang satu hari kemudian oleh Kep/554.a/IV/2025 yang ditetapkan 30 April 2025.

    “Jadi memang telah dikeluarkan surat keputusan Panglima TNI Nomor Kep/554.a/IV/2025 tanggal 30 April 2025 yang berisi tentang adanya perubahan dari Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/554/IV/2025,” ujar Kristomei kepada wartawan, Jumat (2/5/2025).

    Kristomei menyampaikan alasan dibatalkan surat Keputusan Panglima TNI itu karena terdapat sejumlah Pati TNI yang masih belum bisa dimutasi atau dirotasi. Dengan demikian, Panglima TNI meralat keputusan Nomor Kep/554/IV/2025.

    “Ternyata dari rangkaian gerbongnya, rangkaian yang harus berubah mengikuti alurnya Pak Kunto itu, ada beberapa yang memang belum bisa bergeser saat ini. Sehingga didiskusikan lah untuk meralat atau menanggungkan rangkaian itu, dan dikeluarkan KEP 554A/IV 2025 tanggal 30 April,” jelasnya.

    Tujuh Pati TNI Batal Mutasi

    Adapun, tujuh Pati TNI yang dibatalkan mutasinya yaitu Letjen TNI Kunto Arief Wibowo dari jabatan Stafsus KSAD.

    Pergantian Letjen Kunto sempat memicu kontroversi karena dilakukan tak lama ketika mantan Panglima TNI Try Sutrisno mendukung upaya untuk mengganti wakil presiden, Gibran Rakabuming Raka.

    Alhasil, Arief masih menduduki posisi jabatan lama Pangkogabwilhan I. Kemudian, Laksda TNI Hersan yang tadinya akan menggeser posisi Kunto, kini masih menjabat sebagai Pangkogabwilhan I.

    Selanjutnya, Laksda TNI Krisno Utomo masih menjabat sebagai Pangkolinlamil; Laksda TNI Rudhi Aviantara menjabat Kas Kogabwilhan II; dan Laksma TNI Phundi Rusbandi tetap di jabatan Waaskomlek KSAL.

    Adapun. Laksma TNI Benny tetap di jabatan Kadiskomlekal dan Laksma TNI Maulana masih menduduki posisi Staf Khusus KSAL.

    Sorotan Setara Institute 

    Ketua Dewan Nasional SETARA Institute Hendardi mengatakan bahwa pembatalan keputusan hanya selang sehari tersebut semakin menegaskan spekulasi bahwa mutasi berkaitan dengan dan didorong oleh motif politik.

    Meskipun spekulasi ini dibantah oleh Markas Besar TNI yang menegaskan bahwa mutasi merupakan bagian dari mekanisme pembinaan karier dan kebutuhan organisasi, publik sulit mempercayai hal itu.

    Letjen Kunto baru menjabat selama empat bulan sebagai Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I (Pangkogabwilhan I), maka kalau mutasi itu terbilang cepat dan tidak lazim. Mutasi dan pembatalan mutasi tersebut patut diduga tidak melibatkan kerja profesional Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti).

    Mutasi yang dibatalkan ini merupakan pelajaran sangat penting bahwa TNI tidak boleh menjadi alat politik kekuasaan dan menjadi perpanjangan kepentingan politik pihak tertentu, termasuk Presiden atau pihak lain yang mempengaruhinya. TNI hanya boleh menjadi instrumen politik negara dan menjalankan fungsi utamanya di bidang pertahanan untuk melindungi kedaulatan dan keselamatan negara.

    Di samping itu, pembatalan mutasi dalam sehari itu pasti menggerus kepercayaan publik. “Sulit bagi publik untuk percaya bahwa di mutasi yang dibatalkan itu didasarkan pada profesionalitas tata kelola TNI dan tuntutan objektif untuk TNI beradaptasi, tapi lebih mengakomodasi motif dan kepentingan politik kekuasaan.”

  • Jadi Doktor Hukum, Trimedya: Barang Sitaan Harus Jadi Motor Pemasukan Negara

    Jadi Doktor Hukum, Trimedya: Barang Sitaan Harus Jadi Motor Pemasukan Negara

    Jakarta, Beritasatu.com – Politisi PDIP Trimedya Panjaitan menegaskan, barang sitaan dan rampasan negara dari hasil tindak pidana harus dikelola secara optimal agar menjadi salah satu motor pemasukan keuangan negara.

    Menurut Trimedya, aparat penegak hukum (APH), yakni Kejaksaan, Polri, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus memastikan pengelolaan barang sitaan dan rampasan dilakukan secara profesional, transparan, dan berdaya guna bagi keuangan negara.

    Hal ini disampaikan Trimedya Panjaitan dalam sidang terbuka promosi doktoral hukum di Universitas Borobudur pada Sabtu (19/4/2025). Dalam sidang terbuka tersebut, Trimedya mendapat hasil memuaskan, predikat cumlaude dengan IPK 3,96.

    Trimedya mengangkat disertasi berjudul “Pembaruan Hukum Pengelolaan Barang Sitaan dan Rampasan Negara Yang Adil dan Bermanfaat”.

    “Kalau barang sitaan tidak dirawat dan dikelola, nilainya bisa menyusut drastis. Misalnya, pabrik yang awalnya bernilai Rp 500 miliar bisa jatuh ke Rp 200 miliar-Rp 300 miliar. Negara rugi besar,” ujar Trimedya dalam sidang promosi doktoral tersebut.

    Trimedya mendorong penguatan koordinasi antara lembaga APH serta berkolaborasi mengelola barang sitaan dan rampasan tanpa adanya ego sektoral.

    Menurutnya, Presiden Prabowo Subianto melalui Perpres Nomor 155 Tahun 2024 telah mengambil langkah maju dengan mengalihkan kewenangan pengelolaan barang sitaan dari Kementerian Hukum dan HAM ke Kejaksaan.

    “Sekarang tugas institusi Kejaksaan untuk mulai membangun sistem pengelolaan yang transparan, terukur, dan memberi nilai tambah bagi negara,” tandas mantan anggota Komisi III DPR ini.

    Trimedya juga mengapresiasi langkah KPK yang dianggap sudah lebih maju dalam hal penyimpanan barang sitaan. Menurut dia, aset-aset mewah seperti mobil dan tas branded ditata rapi dan dijaga dengan baik. Namun, dia menekankan, keberhasilan tersebut seharusnya tidak hanya terpusat di satu lembaga atau lokasi saja.

    “Sayangnya, sistem penyimpanan yang baik itu hanya terbatas di satu lokasi milik KPK. Ke depan, kita perlu sistem yang terintegrasi secara nasional,” imbuh dia.

    Trimedya mendorong agar Indonesia bisa mencontoh negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Belanda dalam membangun sistem manajemen aset hasil tindak pidana. Dia menilai bahwa penyelamatan keuangan negara bisa dimulai dari hal-hal konkret seperti optimalisasi aset sitaan.

    “Ini salah satu medium bagi Presiden Prabowo untuk menyelamatkan keuangan negara. Tinggal bagaimana aparat penegak hukum bisa menjalankan perintah ini dengan serius dan kolaboratif,” pungkas Trimedya.

    Sederet tokoh nasional hadir dalam sidang promosi terbuka doktoral tersebut, mulai dari Jampidum Asep Nana Mulyana (penguji eksternal), Wakil Ketua DPR Adies Kadir (penguji eksternal), Ketua Komisi I DPR Utut Adianto, Setara Institute Hendardi, politikus senior PDIP Panda Nababan, Anggota Komisi III Nasir Djamil dan Benny K Harman, pengamat politik Henri Satrio, Wakil Kepala Staf Kepresidenan Qodari, pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin, dan anggota KPU Jakarta Timur Carlos Paath.

    Selain itu, hadir dalam sidang Trimedya, adalah fungsionaris DPP PDIP, antara lain, Bendum PDIP Olly Dondokambey, Wakil Ketua MPR Bambang Wuryanto (Pacul), Arteria Dahlan, Putra Nababan, hingga Ganjar Pranowo.

  • Trimedya Panjaitan Dorong Pengelolaan Barang Sitaan dan Rampasan Negara Jadi Motor Pemasukan Negara – Halaman all

    Trimedya Panjaitan Dorong Pengelolaan Barang Sitaan dan Rampasan Negara Jadi Motor Pemasukan Negara – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengelolaan barang sitaan dan rampasan oleh aparat penegak hukum (APH) dinilai masih belum optimal.

    Hal itu sebagaimana dikayakan Trimedya Panjaitan saat sidang terbuka Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur.

    Trimedya menyampaikan bahwa barang sitaan negara bisa menjadi salah satu sumber pemasukan besar bagi keuangan negara jika dikelola dengan baik.

    Politisi PDIP itu menegaskan pentingnya perubahan paradigma di kalangan APH—yakni Kejaksaan, Polri, dan KPK dalam menangani barang hasil sitaan tindak pidana.

    “Kalau barang sitaan tidak dirawat dan dikelola, nilainya bisa menyusut drastis. Misalnya, pabrik yang awalnya bernilai Rp500 miliar bisa jatuh ke Rp200–300 miliar. Negara rugi besar,” kata Trimedya, Sabtu (19/4/2025).

    Dia pun mendorong agar koordinasi antar lembaga APH diperkuat tanpa ego sektoral. Menurutnya, Presiden Prabowo Subianto melalui Perpres Nomor 155 Tahun 2024 telah mengambil langkah maju dengan mengalihkan kewenangan pengelolaan barang sitaan dari Kementerian Hukum dan HAM ke Kejaksaan.

    “Sekarang tugas institusi Kejaksaan untuk mulai membangun sistem pengelolaan yang transparan, terukur, dan memberi nilai tambah bagi negara,” tambahnya.

    Trimedya juga mengapresiasi langkah KPK yang dianggap sudah lebih maju dalam hal penyimpanan barang sitaan. 

    Dia menyebut bahwa aset-aset mewah seperti mobil dan tas branded ditata rapi dan dijaga dengan baik.

    Namun, ia menekankan bahwa keberhasilan tersebut seharusnya tidak hanya terpusat di satu lembaga atau lokasi saja.

    “Sayangnya, sistem penyimpanan yang baik itu hanya terbatas di satu lokasi milik KPK. Ke depan, kita perlu sistem yang terintegrasi secara nasional,” tuturnya. 

    Lebih lanjut, Trimedya mendorong agar Indonesia bisa mencontoh negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Belanda dalam membangun sistem manajemen aset hasil tindak pidana.

    Menurutnya, penyelamatan keuangan negara bisa dimulai dari hal-hal konkret seperti optimalisasi aset sitaan.

    “Ini salah satu medium bagi Presiden Prabowo untuk menyelamatkan keuangan negara. Tinggal bagaimana aparat penegak hukum bisa menjalankan perintah ini dengan serius dan kolaboratif,” pungkasnya.

    Dalam sidang terbuka tersebut, Trimedya mendapat hasil memuaskan, predikat Cumlaude dengan IPK 3,96. 

    Trimedya mengangkat disertasi berjudul ‘Pembaruan Hukum Pengelilaan Barang Sitaan dan Rampasan Negara Yang Adil dan Bermanfaat’

    Sederet tokoh nasional hadir dalam sidang promosi terbuka tersebut, mulai dari Jampidum Asep Nana Mulyana (Penguji Eksteenal), Wakil Ketua DPR Adies Kadir (Penguji Eksternal), Ketua Komisi I DPR Utut Adianto, Setara Institute Hendardi, Politikus Senior PDIP Panda Nababan, Anggota Komisi III Nasir Djamil, Benny K Harman, 

    Tampak juga Fungsionaris DPP PDIP, antara lain: Bendum PDIP Olly Dondokambey, Wakil Ketua MPR Bambang Wuryanto (Pacul), Arteria Dahlan, Putra Nababan, hingga Ganjar Pranowo. 

    Tampak juga, Mantan Pimpinan DPR Azis Syamsuddin, Pengamat Politik Henri Satrio, Qodari, Pakar Hukum Tata Negara Irman Putra Sidin, Anggota KPU Jakarta Timur Carlos Paath.

     

  • KPK Masuk Kepengurusan BPI Danantara, Setara Institute Pertanyakan Independensi Lembaga Antirasuah – Halaman all

    KPK Masuk Kepengurusan BPI Danantara, Setara Institute Pertanyakan Independensi Lembaga Antirasuah – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Setara Institute mempertanyakan independensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang masuk dalam kepengurusan tim Komite Pengawasan dan Akuntabilitas Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).

    Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan mengatakan, secara normatif, masuknya KPK sebagai pengawas Danantara merupakan sesuatu yang baik.

    Ia menilai, penyelenggaraan negara dalam tata pemerintahan demokratis pada berbagai aspeknya harus menjadi objek pengawasan.

    “Tidak boleh ada penyelenggaraan negara yang berjalan tanpa pengawasan. Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Begitulah bunyi adagium Acton,” kata Halili, saat dihubungi Tribunnews.com, Rabu (9/4/2025).

    Menurutnya, kekuasaan itu cenderung korup, jika kekuasaaan itu mutlak, maka akan korup secara mutlak pula.

    Terkait hal ini, Halili kemudian mempertanyakan independensi lembaga antirasuah itu setelah masuk dalam kepengurusan BPI Danantara.

    “Hanya, apakah KPK sepenuhnya independen dari kekuasaan dalam melaksanakan fungsi pengawasan di Danantara, itu masalahnya,” ucap Halili.

    Ia mengatakan, apabila KPK hanya dilibatkan sebagai selubung politik bagi sentimen negatif di ruang publik yang mengemuka berkaitan dengan Danantara, tidak ada yang bisa diharapkan dari pelibatan KPK.

    Lebih lanjut, menurutnya, butuh waktu untuk KPK bisa membuktikan integritasnya dalam hal pengawasan di Danantara.

    “Butuh pembuktian dari KPK soal integritas mereka dalam hal independensi dan profesionalitas keterlibatan mereka dalam pengawasan tata kelola Danantara,” imbuh Halili.

    Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan tidak akan ada konflik kepentingan meskipun mereka terlibat dalam tim Komite Pengawasan dan Akuntabilitas Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).

    Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, menegaskan bahwa KPK akan tetap menjaga objektivitas dalam setiap keputusan yang diambil.

    “KPK menegaskan bahwa tidak akan ada konflik kepentingan dalam kepengurusan KPK di Danantara. KPK yang terlibat dalam komite pengawasan dan akuntabilitas Danantara akan memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil tidak mempengaruhi objektivitas KPK dalam menjalankan tugasnya,” kata Tessa dalam keterangannya, Senin (7/4/2025).

    Menurutnya, meskipun KPK menjadi bagian dari pengawasan Danantara, lembaga antikorupsi ini tetap berkomitmen untuk bertindak profesional dan transparan, terutama jika terjadi permasalahan hukum.

    Tessa juga menjelaskan bahwa penunjukan KPK dalam struktur Danantara adalah untuk lembaga, bukan individu, sehingga keputusan yang diambil selalu berdasarkan pertimbangan organisasi.

    “Penunjukan KPK sebagai salah satu tim Komite Pengawasan dan Akuntabilitas BPI Danantara tersebut adalah kepada KPK sebagai institusi, bukan merujuk kepada kapasitas personal, dalam hal ini Ketua KPK Setyo Budiyanto,” katanya.

    Meskipun banyak yang mengkritik langkah ini, termasuk peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, yang berpendapat bahwa KPK seharusnya tetap berada di luar struktur Danantara untuk menjaga independensi, Tessa menegaskan bahwa KPK tetap akan menjaga standar tata kelola yang baik dan mengedepankan akuntabilitas.

    Dengan bergabung dalam Komite Pengawasan dan Akuntabilitas, KPK berharap dapat berkolaborasi dengan lembaga-lembaga penting lainnya, seperti PPATK, BPK, BPKP, Polri, dan Kejaksaan Agung, untuk meningkatkan pengawasan terhadap BPI Danantara secara profesional.

    “KPK akan terus mengevaluasi efektivitas keterlibatan KPK, untuk langkah-langkah perbaikan selanjutnya,” kata Tessa.

    Sebagai informasi, Presiden Prabowo Subianto resmi meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) pada 24 Februari 2025.

    Danantara bertugas mengelola dividen BUMN dan langsung bertanggung jawab kepada presiden. Badan ini memiliki Komite Pengawasan dan Akuntabilitas yang terdiri dari berbagai lembaga penting, termasuk KPK, PPATK, BPKP, BPK, Kapolri, dan Kejaksaan Agung.

    Namun, keputusan memasukkan KPK dalam kepengurusan Danantara mendapat kritik dari Zaenur Rohman, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada. Zaenur berpendapat bahwa KPK seharusnya tetap berada di luar struktur Danantara sebagai lembaga independen untuk menghindari potensi konflik kepentingan.

    Dia mengkhawatirkan, jika terjadi kasus korupsi, keberadaan KPK dalam struktur Danantara akan menambah masalah baru.
     “Kalau suatu saat terjadi tindak pidana korupsi, padahal dia menjadi bagian dari Danantara itu sendiri, mau bagaimana? Itu potensi kepentingan yang sangat jelas,” kata Zaenur.

  • SETARA Institute Ungkap Alasan Indonesia Aman dari Serangan Teroris Sejak 2023 – Halaman all

    SETARA Institute Ungkap Alasan Indonesia Aman dari Serangan Teroris Sejak 2023 – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Indonesia berhasil menjaga keamanannya dari serangan teroris dalam beberapa tahun terakhir. Sejak 2023 hingga kini, Indonesia tercatat tidak mengalami serangan teroris secara terbuka, atau yang sering disebut dengan zero terrorist attack.

    Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan menjelaskan, salah satu kunci keberhasilan ini adalah penerapan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE). Keberhasilan ini adalah capaian signifikan dari implementasi fase pertama RAN PE yang dimulai sejak 2021.

    “Saya kira nol-nya angka serangan teroris di Indonesia atau yang sering disebut sebagai zero terrorist attack sejak 2023 itu merupakan salah satu yang bisa kita catat sebagai capaian dari penerapan atau implementasi RAN PE fase pertama,” kata Halili dalam keterangannya, dikutip Jumat (28/3/2025).

    Halili menjelaskan, RAN PE adalah serangkaian kegiatan yang sistematis dan terencana untuk mencegah dan menanggulangi ekstrimisme berbasis kekerasan yang berujung pada terorisme. Kegiatan ini melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat dan daerah, kementerian/lembaga negara seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), serta masyarakat, termasuk lembaga swadaya masyarakat seperti SETARA Institute.

    Tiga pilar utama dalam RAN PE adalah pencegahan, penegakan hukum, dan kemitraan. Semua kegiatan tersebut diatur dalam Perpres Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE).

    “RAN PE itu merupakan agenda sistematis dari negara untuk mencegah dan menanggulangi ekstremisme kekerasan yang mengarah pada terorisme dengan pendekatan utama yaitu soft approach,” ujar Halili.

    Fase pertama RAN PE berlangsung dari 2021 hingga 2024, dengan berbagai program seperti mitigasi, pemetaan aktor teroris, pembekalan aparatur daerah, dan pelibatan masyarakat dalam Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM).

    Halili mengungkapkan, penerapan RAN PE fase pertama telah memberikan dampak positif, baik yang terukur maupun yang tidak terukur. Dampak terukurnya adalah terciptanya zero terrorist attack.

    “Fenomena zero terrorist attack itu adalah dampak terukur yang bisa kita lihat, yakni tidak ada serangan teroris yang sifatnya terbuka dan mematikan di Indonesia,” jelasnya.

    Sementara, dampak tidak terukur yang muncul adalah kesadaran masyarakat akan keberadaan ekstremisme dan pentingnya mitigasi serta kemampuan untuk mencegahnya secara dini.

    Halili juga berharap bahwa pelaksanaan RAN PE fase kedua pada 2025-2029 akan terus memberikan dampak positif dalam mencegah dan menanggulangi terorisme. Target utamanya adalah pencegahan serangan teroris secara terbuka.

    “Saya kira target paling utama adalah pencegahan agar tidak terjadi serangan terorisme yang bersifat terbuka. Ini bisa kita jadikan acuan efektivitas implementasi RAN PE fase kedua. Karena kita tahu serangan teroris itu selalu melahirkan berbagai kerugian, mulai dari kerugian jiwa, fisik, ekonomi, sosial dan budaya, bahkan kerugian politik,” ujar Halili.

    Untuk fase kedua RAN PE, BNPT akan fokus pada penguatan program deradikalisasi dan kesiapsiagaan nasional, yang selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.

    Kepala BNPT, Komisaris Jenderal Polisi Eddy Hartono, menambahkan bahwa penguatan program-program tersebut sejalan dengan visi dan misi presiden dalam RPJMN 2025-2029, khususnya dalam koordinasi dan sinergi antara instrumen pertahanan dan keamanan dalam pencegahan serta penanggulangan aksi terorisme.

    “RPJMN 2025-2029 merupakan penjabaran visi dan misi presiden, salah satunya terkait koordinasi antarinstrumen pertahanan dan keamanan dalam pencegahan dan penanggulangan aksi terorisme. Di sinilah peran RAN PE sangat penting,” ujar Eddy.

  • Tragedi Kekerasan di Kediri: Seorang Remaja Meninggal Dunia Usai Dikeroyok

    Tragedi Kekerasan di Kediri: Seorang Remaja Meninggal Dunia Usai Dikeroyok

    Kediri (beritajatim.com) – Sebuah aksi kekerasan terjadi di Jl. Raya Umum Desa Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, pada Senin (24/3/2025) dini hari pukul 01.00 WIB. Insiden tersebut melibatkan dugaan pengeroyokan terhadap tiga remaja yang berujung tragis.

    Korban dalam kejadian ini adalah Zaki Amani, Hendra Reza, dan Moh. Hidris Rayyan. Berdasarkan laporan kepolisian, ketiga korban mengalami luka-luka serius akibat kekerasan tersebut. Rayyan, yang mengalami luka paling parah, sempat dalam kondisi kritis sebelum akhirnya meninggal dunia setelah bertahan selama 24 jam di rumah sakit.

    Kronologi Kejadian

    Dalam unggahannya di media sosial Facebook, Bambang Rukminto menjelaskan kronologi kejadian.

    “Rayyan berboncengan naik sepeda motor bersama teman-temannya akan pulang ke Pare dari Simpang Lima Gumul (SLG) sekitar pukul 00.30 WIB. Di tengah jalan arah Kecamatan Pagu, mereka berpapasan dengan ‘gerombolan’ anak-anak muda membawa senjata tajam yang kemudian berbalik arah mengejar mereka. Karena panik, satu sepeda motor jatuh, Rayyan pun terjatuh dari boncengan temannya. Sementara teman-temannya melarikan diri dan bersembunyi dari kejaran gerombolan,” terangnya.

    Lebih lanjut, Bambang menambahkan bahwa Rayyan yang memakai helm bertuliskan PN (P*gar N*sa) menjadi sasaran utama pengeroyokan.

    “Naas bagi Rayyan yang memakai helm bertuliskan PN, yang mungkin dikira siswa perguruan silat Pagar Nusa, dikeroyok. Baru kemudian setelah gerombolan pergi, kawan-kawannya yang bersembunyi kembali menemukan Rayyan yang sedang terkapar tak sadarkan diri. Darah mengucur dari telinga dan hidungnya. Hingga kemudian dibawa ke rumah sakit terdekat. Saat ini kondisinya masih kritis,” tulisnya sebelum kabar duka datang.

    Korban dan Kondisi

    Berikut adalah kondisi korban akibat pengeroyokan:

    Zaki Amani mengalami luka lecet pada lutut kanan dan kiri, betis kaki kiri, siku kiri, punggung tangan kiri, pipi, dan dahi. Ia juga mengalami patah tulang pada bagian bahu kanan.

    Hendra Reza mengalami luka lecet pada kaki kanan dan kiri serta pinggul kanan.

    Moh. Hidris Rayyan mengalami luka lecet di lutut kanan dan kiri, tangan kanan, alis mata kiri, tangan kiri, serta telinga kanan yang mengeluarkan darah hingga tak sadarkan diri.

    Ketiga korban awalnya dirawat di RS Simpang Lima Gumul (SLG) Kediri. Namun, karena luka serius yang dialaminya, Rayyan akhirnya meninggal dunia pada Selasa (25/3/2025).

    Polisi Masih Menyelidiki Kasus Ini

    Kanit PPA Satreskrim Polres Kediri, Ipda Hery Wiyono, membenarkan adanya insiden ini dan memastikan bahwa pihak kepolisian masih melakukan penyelidikan.

    “Pelaku masih dalam lidik, mas,” terangnya.

    Kediri dan Konflik Perguruan Silat

    Kasus kekerasan terkait perguruan silat bukanlah hal baru di Kediri. Meskipun kota ini pernah dinobatkan sebagai Kota Paling Toleran oleh Setara Institute pada 2021, nyatanya konflik antaranggota perguruan silat masih kerap terjadi dan memakan korban jiwa.

    Bambang Rukminto juga menyayangkan minimnya pemberitaan mengenai insiden ini.

    “Sehari kemarin, saya cermati media. Saya tak menemukan ada berita maupun informasi terkait insiden tersebut. Apakah kasus-kasus pengeroyokan seperti ini sudah terlalu jamak sehingga tak lagi layak berita? Atau karena bulan puasa sehingga semua harus ikut menciptakan suasana sejuk dan damai? Bagi saya, insiden yang merampas hak hidup seseorang harus tetap dikabarkan. Kekerasan pada sesama harus dihentikan,” tegasnya. [nm/aje]

  • Pernyataan Hasan Nasbi Tuai Kecaman, Minta Prabowo Evaluasi Jubir Istana

    Pernyataan Hasan Nasbi Tuai Kecaman, Minta Prabowo Evaluasi Jubir Istana

    Bisnis.com, JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil mengecam keras pernyataan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi yang dinilai tidak menunjukkan empati atas insiden teror kepala babi di kantor Tempo.

    Hasan Nasbi, yang sebelumnya beprofesi sebagai konsultan politik, itu menyuruh jurnalis Tempo untuk memasak kepala babi yang dikirim oleh orang tidak dikenal.

    Pernyataan Hasan yang pernah berprofesi sebagai wartawan meski hanya sebentar itu, dinilai mencederai prinsip kebebasan pers.

    Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Wahyudi Djafar menilai sikap Hasan Nasbi tidak pantas untuk seorang pejabat yang bertanggung jawab atas komunikasi kepresidenan.

    Pernyataannya dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap jurnalis dan mengindikasikan rendahnya komitmen pemerintah terhadap demokrasi dan kebebasan sipil. Lebih lanjut, mereka menegaskan bahwa pernyataan tersebut bisa memperkuat budaya kekerasan terhadap insan pers.

    Dalam pernyataan resminya, Koalisi Masyarakat Sipil mengingatkan Presiden untuk tidak membiarkan komentar seperti ini tanpa konsekuensi. Sikap meremehkan teror kepada media kritis berpotensi menimbulkan ketakutan di kalangan jurnalis dan menghambat kerja-kerja jurnalistik yang bebas dan independen.

    “Kami mendesak kepada Presiden untuk meninjau kembali posisi Hasan Nasbi dari jabatan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan. Dengan sikap tersebut di atas, nampak dia tidak cukup patut secara etika untuk menyampaikan pesan kepresidenan kepada masyarakat,” tegasnya dalam rilis yang diterima, Sabtu (22/3/2025).

    Koalisi ini juga menyoroti tindakan Hasan Nasbi yang sebelumnya menghapus cuitannya di platform X terkait RUU TNI, yang menurut mereka menunjukkan pola komunikasi yang tidak bertanggung jawab. Hal ini semakin memperkuat alasan untuk mengevaluasi kinerjanya dalam mengemban tugas komunikasi kepresidenan.

    Selain itu, mereka menegaskan pentingnya pengungkapan kasus teror kepala babi di kantor Tempo. Menurut mereka, praktik intimidasi seperti ini tidak boleh dibiarkan dan harus diusut tuntas agar pelaku dapat diidentifikasi dan diproses secara hukum.

    Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari berbagai organisasi, termasuk Centra Initiative, Imparsial, PBHI, ELSAM, Walhi, HRWG, DeJuRe, dan Setara Institute, menegaskan solidaritas mereka terhadap Tempo dan mengutuk segala bentuk teror yang mengancam kebebasan pers serta demokrasi di Indonesia.

  • Penjelasan Hasan Nasbi soal Respons Teror Kepala Babi Jurnalis Tempo yang Tuai Kritik – Halaman all

    Penjelasan Hasan Nasbi soal Respons Teror Kepala Babi Jurnalis Tempo yang Tuai Kritik – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi memberikan penjelasan terkait responsnya terhadap teror kepala babi yang diterima jurnalis media Tempo, Francisca Christy Rosana (Cica).

    Pernyataan Hasan Nasbi yang menyarankan agar kepala babi itu dimasak saja menuai kritikan Koalisi Masyarakat Sipil.

    Hasan Nasbi mengaku apa yang dia sampaikan selaras dengan cara Cica memberikan tanggapan untuk mengecilkan si peneror.

    Diketahui, pascateror pengiriman kepala babi yang diterimanya, Cica memberikan tanggapan melalui unggahan X pribadi miliknya, @chichafrancisca.

    “Lain kali ngirim jangan kepala babi, daging babi gitu lho yg enak. Mana telinganya udah ga ada,” tulis Cica, Kamis (20/3/2025).

    Hasan mengaku justru mendukung cara jurnalis Tempo tersebut merespons.

    “Justru teror harus direspons dengan cara seperti Fransisca merespons teror itu. Biar KPI (target, red) si peneror enggak kesampaian,” ungkap Hasan saat dihubungi Tribunnews.com, Sabtu (22/3/2025).

    “Saya hanya menyempurnakan cara untuk mengecilkan si peneror,” imbuhnya.

    Hasan juga memberi tanggapan terkait penilaian sejumlah pihak yang menganggap pernyataannya tidak pantas.

    “Saya enggak khawatir sama sekali dengan penilaian itu,” ungkapnya.

    Dikritik Koalisi Masyarakat Sipil

    Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil mengecam respons Hasan Nasbi terkait teror pengiriman kepala babi yang diterima Cica.

    Hasan Nasbi memberi tanggapan supaya kepala babi itu dimasak saja.

    Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, respons Hasan Nasbi tidak menunjukkan empati dan dukungan bagi kebebasan pers.

    Diketahui, Koalisi Masyarakat Sipil terdiri dari Centra Initiative, Imparsial, PBHI, ELSAM, Walhi, HRWG, DeJuRe, dan Setara Institute.

    “Pernyataan Hasan Nasbi yang seolah menyuruh ‘memasak kepala babi’ yang tergeletak di jalan itu, selain tidak berempati, juga melanggar prinsip kebebasan pers,” ungkap pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil yang diterima dari Ketua Pehimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani, Sabtu (22/3/2025).

    “Pernyataan tersebut cenderung merendahkan, tidak patut disampaikan oleh seorang Kepala Kantor Komunikasi Presiden,” imbuhnya.

    Pernyataan Hasan Nasbi disampaikan pada Jumat (21/3/2025) di Kompleks Istana Kepresidenan.

    “Udah dimasak aja,” ujar Hasan.

    Awak media sempat mengonfirmasi kembali mengenai pernyataannya.

    Tetapi, Hasan tetap dengan pernyataannya awal.

    “Udah dimasak aja,” tegas Hasan.

    Hasan menilai kasus ini bukan menjadi ancaman bagi Cica lantaran melihat sikap Cica di media sosial tampak santai.

    “Saya lihat ya saya lihat dari media sosialnya Francisca yang wartawan Tempo itu, itu dia justru minta dikirimin daging babi,” ungkap Hasan.

    Komnas HAM: Ancaman Kerja Jurnalistik

    Wakil Ketua Komnas HAM, Abdul Haris Semendawai angkat bicara soal teror kepala babi kepada wartawan Tempo. 

    Menurutnya hal itu sebagai ancaman dari kerja jurnalistik. 

    “Mengirim kepala babi kepada seseorang simbolnya bisa ditafsirkan macam-macam. Selama ini seringkali disimbolkan sebagai salah satu bentuk ancaman,” kata Dawai, sapaannya kepada awak media di Jakarta, Jumat (21/3/2025) malam. 

    Ancaman itu menurut Dawai ditafsirkan lagi karena ditujukan kepada seseorang yang berprofesi jurnalis.

    “Bisa jadi sebagai ancaman karena dia melahirkan sejumlah karya-karya jurnalistik yang mungkin tidak disukai oleh orang tertentu,” terangnya. 

    Sehingga kata Dawai, kemudian seseorang mengirimkan kepala babi itu sebagai salah satu bentuk ancaman agar yang bersangkutan tidak lagi melakukan kerja jurnalistik. 

    “Kalau memang seperti itu tentunya kita sangat menyesalkan. Karena bagaimanapun setiap orang punya hak untuk bebas menyampaikan pendapat dan berekspresi,” imbuhnya. 

    Menurutnya sebagai jurnalis dilindungi dan diberikan hak untuk mencari informasi. 

    “Kalau seorang jurnalis dibatasi ruang geraknya, diancam-ancam itu akan berimplikasi pada tertutupnya informasi kepada publik. Ini berbahaya akhirnya publik hanya dapat informasi yang tertentu saja,” tegasnya. 

    (Tribunnews.com/Gilang Putranto, Rahmat F Nugraha)

  • Masihkah Pengkritik Jadi Sahabat Kapolri?

    Masihkah Pengkritik Jadi Sahabat Kapolri?

    Masihkah Pengkritik Jadi Sahabat Kapolri?
    Aktif sebagai Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute, serta Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Indo Global Mandiri
    PERMINTAAN
    maaf secara terbuka terhadap institusi Polri dan
    Kapolri
    yang dilakukan
    Band Sukatani
    beberapa waktu lalu, atas karya progresif yang mereka ciptakan berupa lagu berjudul “Bayar Bayar Bayar”, membuka tabir kontradiksi serius antara komitmen dan tindakan bagi Kepolisian, terutama berkaitan dengan penyikapan atas berbagai kritikan publik terhadap kinerjanya.
    Dugaan publik perihal keterlibatan aparat yang melatarbelakangi permintaan maaf
    band Sukatani
    nyatanya berada pada
    track
    yang benar.
    Sebab, tidak lama setelah lagu tersebut viral, kedua personel band ini didatangi Direktorat Reserse Siber Polda Jawa Tengah pada 20 Februari 2025.
    Polda Jawa Tengah (21/2) menyatakan bahwa personel mendatangi band tersebut dalam rangka klarifikasi tujuan pembuatan lagu “Bayar Bayar Bayar”.
    Pada bagian inilah ketidaklogisan terjadi. Tindakan klarifikasi yang dilakukan aparat berujung permintaan maaf band Sukatani. Lagu tersebut mereka tarik dari platform musik, bahkan keduanya membuka identitas saat menyampaikan permintaan maaf.
    Pertanyaannya, bagaimana mungkin jika hanya upaya klarifikasi, tapi ujungnya pembungkaman?
    Masyarakat awam pun dapat melihat dengan mudah wajah-wajah penuh tekanan dalam video permintaan maaf yang beredar luas tersebut.
    Selain itu, pertanyaan berikutnya, mengapa aparat perlu menanyakan tujuan pembuatan lagu tersebut? Apakah lirik-lirik lagu tidak cukup jelas memberikan jawaban bahwa lagu tersebut adalah kritikan atas realitas di lapangan?
    Tindakan ini seakan mengisyaratkan bahwa setiap kritikan yang ditujukan kepada Polri dalam berbagai bentuknya, perlu dijabarkan dan dilaporkan kepada Kepolisian perihal maksud dan tujuannya.
    Aparat semestinya memberikan penghargaan kepada band Sukatani, karena mengangkat kritikan terhadap institusi Polri dalam bentuk lagu, sehingga menjangkau khalayak lebih luas dan publik semakin
    aware
    untuk mengawasi oknum polisi.
    Singkatnya, lagu ini semestinya disikapi dan didukung sebagai upaya mendorong reformasi kultural Polri.
    Klarifikasi yang berujung permintaan maaf dari pihak yang didatangi, hingga menarik lagu dari platform musik, semestinya patut dicurigai menyimpan tindakan intimidatif dan represif di dalamnya.
    Meskipun dalam klarifikasinya, sebagaimana disampaikan Polda Jawa Tengah (21/2), lagu tersebut dapat diedarkan kembali, tetapi kondisi ini semakin menebalkan fenomena
    #noviralnojustice
    yang selama ini muncul di tengah masyarakat terhadap kinerja kepolisian.
    Dalam rangka implementasi komitmen Polri menerima dan terbuka atas kritik publik, Kapolri semestinya memimpin pemeriksaan terhadap kasus ini.
    Kasus-kasus seperti ini justru membantah sendiri komitmen Polri menerima kritik. Pihak-pihak yang semestinya diberikan penghargaan atas kritiknya, serta menjadi sahabat Kapolri, justru menjadi pesakitan melalui dugaan intimidasi dan represi.
    Institusi Kepolisian, terutama Kapolri dan jajarannya, sepertinya perlu diingatkan komitmen yang mereka sampaikan tahun 2021 lalu, ketika mengadakan lomba Bhayangkara Mural Festival.
    Dalam lomba tersebut, kritikan kepada Polri disampaikan melalui mural. Bahkan Kapolri menyampaikan bahwa muralis yang paling pedas dalam mengkritik bakal jadi sahabatnya.
    Dalam konteks ini, jika Kapolri dan jajarannya konsisten, semestinya perlakuan yang sama juga ditujukan kepada band Sukatani.
    Band Sukatani dan muralis ketika itu sama-sama menyampaikan kritik melalui seni, yakni lagu dan mural.
    Persoalan ini juga membuka tabir realitas bahwa belum tentu jajaran Polri di level daerah dapat mengikuti komitmen Polri di pusat.
    Jika dibiarkan, komitmen Kapolri untuk memastikan institusi Polri terlibat dalam pemajuan demokrasi di Indonesia dapat bertepuk sebelah tangan.
    Kebebasan berpendapat dan berekspresi menjadi jantung demokrasi. Hambatan dan tantangan visi demokratis ini justru datang dari internal, berupa oknum-oknum aparat yang tidak siap dengan iklim demokrasi, serta pimpinan yang tidak tegas atas perilaku anggotanya.
    Fenomena ini juga menegaskan temuan survei ahli SETARA Institute dalam studi Desain Transformasi Polri (2024), bahwa 51,2 persen ahli, atau mayoritas ahli, menyatakan pelaksanaan kepolisian yang demokratis dan humanis berjalan buruk.
    Salah satu musababnya adalah minimnya pemahaman dan/atau perspektif anggota Polri mengenai perlindungan HAM di lapangan.
    Dalam konteks persoalan band Sukatani, aparat di lapangan semestinya paham itu bagian dari kebebasan berekspresi yang telah dijamin Konstitusi.
    Hal tersebut juga sejalan dengan mayoritas pendapat ahli dalam studi tersebut, bahwa 80,1 persen ahli menyatakan aspek-aspek yang harus diprioritaskan dalam pemolisian demokratis dan humanis adalah menunjung tinggi HAM.
    Selain itu, jika tidak ada evaluasi dan pemeriksaan terkait dugaan pembungkaman atas persoalan ini, pengaruh Polri dalam menjaga demokrasi Indonesia dapat semakin buruk.
    Dalam studi SETARA tersebut, mayoritas ahli atau 49,7 persen menyatakan bahwa pengaruh Polri dalam menjaga demokrasi Indonesia ada di status buruk. Hanya 19,8 persen yang mengatakan Polri memberi pengaruh baik.
    Perlu digarisbawahi bahwa studi SETARA Institute tersebut dilakukan kepada 167 ahli yang memiliki kualifikasi sangat memadai terhadap isu-isu terkait kinerja Kepolisian.
    Mereka memiliki dasar justifikasi berbasis kepakaran dalam memberikan penilaian atas kondisi reformasi Polri. Penilaian mereka perlu dipandang sebagai vitamin dalam pembenahan
    Kondisi ini juga perlu menjadi alarm bagi Polri agar segera melakukan evaluasi kinerja. Evaluasi yang dimaksud dapat berkaitan dengan kinerja pengawasan internal dan implementasi hukuman atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Polri.
    Minimnya pengawasan dan
    punishment
    dapat mengakibatkan kesewenang-wenangan kinerja aparat yang berulang.
    Di balik permintaan maaf band Sukatani, terpampang realitas bahwa komitmen yang disampaikan Kapolri untuk terbuka atas kritikan, bahkan kritik terkeras menjadi sahabat Kapolri, dapat berbanding terbalik dengan respons aparat di tingkat daerah.
    Melalui kasus ini, terlihat bahwa upaya menjadi kepolisian demokratis yang terbuka atas kritik, justru cenderung kuat hanya di tingkat pusat.
    Pada tingkat daerah, perwujudan komitmen Kapolri tersebut masih menjadi PR besar. Bahkan berpotensi tidak inheren dengan sebagian anggotanya di daerah.
    Padahal, lirik lagu yang memuat potret perilaku koruptif aparat di lapangan dalam berbagai urusan pelayanan publik, semestinya menjadi lecutan institusi Polri untuk terus berbenah dan mengakselerasi reformasi kultural hingga level daerah.
    Sebab, berbagai persoalan yang terkandung dalam lirik lagu tersebut juga termasuk ke dalam 130 permasalahan yang menjadi pemicu utama stagnasi reformasi Polri selama ini, sebagaimana hasil identifikasi SETARA Institute dalam studi Desain Transformasi Polri (2024).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 34 Organisasi Sipil Tolak Pembahasan RUU TNI, Ini Segudang Masalahnya

    34 Organisasi Sipil Tolak Pembahasan RUU TNI, Ini Segudang Masalahnya

    Bisnis.com, JAKARTA – 34 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi masyarakat sipil untuk Advokasi HAM Internasional (HRWG) mengecam pembahasan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).

    Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG) Daniel Awigra menilai bahwa revisi ini tidak hanya mengancam profesionalisme militer, tetapi juga mengkhianati komitmen Indonesia dalam menjalankan berbagai rekomendasi PBB dan kewajiban hukum HAM internasional.

    “Draf revisi ini bertentangan dengan rekomendasi Komite Hak Sipil dan Politik [CCPR], Universal Periodic Review [UPR], serta instrumen HAM global seperti Statuta Roma ICC dan Konvensi Anti-Penyiksaan [CAT],” ujarnya dalam keterangan resmi, Minggu (16/3/2025)

    Apalagi, belum lama ini Indonesia telah meratifikasi sejumlah instrumen HAM inti, termasuk Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT), yang mewajibkan negara memastikan akuntabilitas militer dan perlindungan hak sipil

    Dia melanjutkan bahwa revisi UU TNI justru bertentangan dengan rekomendasi dari Komite HAM PBB (2023) yang menuntut Indonesia mengakhiri imunitas TNI, mengadili pelanggaran HAM di pengadilan sipil, dan menghentikan operasi militer berlebihan di Papua.   

    Belum lagi, aturan ini juga bertentangan dengan UPR 2022 yang merekomendasikan penghapusan bisnis militer dan pembatasan peran TNI hanya untuk ancaman eksternal.  

    Termasuk turut bertentangan dengan laporan Khusus PBB tentang penyiksaan yang menyoroti praktik penyiksaan oleh aparat militer di wilayah konflik.   

    Koalisi masyarakat sipil juga menolak rencana revisi UU TNI dengan alasan berikut adanya pelanggaran Terhadap Rekomendasi CCPR/UPR yang tertuang dalam Pasal 65 UU TNI yang mempertahankan yurisdiksi pengadilan militer untuk kasus HAM bertentangan dengan rekomendasi CCPR (No. 45/2023) dan Prinsip Yurisdiksi Universal Statuta Roma ICC.

    Pembiaran operasi militer di Papua tanpa protokol HAM melanggar rekomendasi UPR 2022 tentang perlindungan masyarakat adat dan Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat (UNDRIP).   

    Belum lagi, aturan ini diyakini mengabaikan Prinsip Pemisahan Fungsi Militer-Sipil: Keterlibatan TNI dalam program pembangunan dan keamanan dalam negeri melanggar Prinsip-Prinsip Dasar PBB tentang Peran Militer, yang ditegaskan kembali dalam rekomendasi UPR 2017.  

    Termasuk akan adanya ancaman terhadap Prinsip PBB tentang Bisnis dan HAM Kegagalan revisi UU TNI menghapus bisnis militer bertentangan dengan UN Guiding Principles on Business and Human Rights dan rekomendasi UPR agar Indonesia menghentikan eksploitasi sumber daya alam oleh aktor militer.  

    “Pasal-pasal revisi UU TNI yang melegalkan intervensi TNI dalam urusan sipil, misalnya program TNI Manunggal Membangun Desa dan operasi keamanan domestik, mengembalikan praktik dwifungsi yang menjadi ciri represif Orde Baru,” ujarnya.

    Padahal, dia melanjutkan UU No 34/2004 telah membatasi peran TNI hanya untuk pertahanan eksternal. Menurutnya, dwifungsi militer terbukti menjadi akar pelanggaran HAM, korupsi, dan kontrol militer atas politik sipil pada masa lalu.  

    “Revisi UU TNI ini tidak hanya merusak agenda reformasi sektor keamanan, tetapi juga menjadikan Indonesia sebagai pembangkang terhadap komitmen HAM internasional,” imbuhnya. 

    Tak hanya itu, dia melanjutkan bahwa koalisi yang tergabung pun meminta agar pemerintah segera menghentikan pembahasan revisi UU TNI yang cacat prosedur dan bertentangan dengan rekomendasi CCPR/UPR.   

    Kemudian, dorongan lainnya adalah membentuk panitia independen untuk meninjau ulang draf dengan melibatkan Komnas HAM, korban pelanggaran HAM, dan masyarakat sipil. Serta, mendesak Komnas HAM dan Kementerian HAM memberikan desakan kepada DPR agar menjalankan rekomendasi-rekomendasi dan menolak RUU TNI. 

    “Koalisi memandang, jika draft revisi RUU TNI dipaksakan, Indonesia akan menghadapi konsekuensi serius di berbagai forum HAM PBB, termasuk sanksi diplomatik dan penurunan peringkat kebebasan sipil,” pungkasnya. 

    Sekadar informasi, HRWG adalah koalisi 34 masyarakat sipil Indonesia yang berkomitmen mendorong akuntabilitas Indonesia dalam menjalankan prinsip dan komitmen terhadap hukum HAM internasional, di antaranya: Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, Arus Pelangi, Asosiasi LBH APIK Indonesia, ELSAM, GAYa Nusantara, Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi (GANDI), HuMa, IKOHI, ILRC, IMPARSIAL, INFID.

    Selain itu, koalisi lainnya adalah Institute for Ecosoc Rights, JATAM, Koalisi Perempuan Indonesia, LBH Banda Aceh, LBH Jakarta, LBH Pers, Migrant Care, Mitra Perempuan, PBHI, RPUK Aceh, SBMI, SETARA Institute, SKPKC Papua, Solidaritas Perempuan, TURC, WALHI, YAPPIKA, Yayasan Kalyanamitra, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Yayasan Pulih.