Pemerintah Abai Reformasi Polri
Aktif sebagai Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute, serta Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Indo Global Mandiri
Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
KEBERADAAN
frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) menciptakan ambiguitas konseptual dan mendorong absurditas normatif dalam desain kelembagaan Polri.
Di saat ketentuan Pasal 28 ayat (3) UU Polri secara tegas mengatur bahwa anggota Polri dapat menduduki Jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian, frasa tersebut justru membuka interpretasi kontraproduktif.
Sebab penjelasan bahwa yang dimaksud dengan jabatan di luar kepolisian, salah satunya adalah ”yang tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri”.
Konsekuensinya, terjadi regresi normatif dalam ketentuan Pasal a quo. Ketentuan Pasal yang sebelumnya memastikan bahwa anggota Polri harus mundur atau pensiun sebelum menduduki jabatan di luar institusi kepolisian, justru kehilangan daya paksa ketentuan karena terdapat ruang penafsiran bahwa anggota Polri masih dapat menduduki jabatan di luar ranah kepolisian selama ada penugasan Kapolri.
Rumusan ini pada akhirnya membuyarkan semangat reformasi struktural dan memperpanjang potensi erosi profesionalisme.
Meskipun pada bagian penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri juga terdapat penjelasan lain yang dapat melahirkan penafsiran yang tidak tunggal, bahwa yang dimaksud dengan jabatan di luar kepolisian adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian, tetapi frasa tersebut paling tidak masih memiliki semangat bahwa kepolisian tidak boleh menyebar ke ranah-ranah yang bukan merupakan mandat inti lembaga penegak hukum.
Jika frasa tersebut yang digunakan sebagai justifikasi penempatan anggota Polri di berbagai jabatan sipil, antitesis alaminya dapat mengacu kepada ruang lingkup fungsi kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU Polri.
Dengan merujuk pada batasan fungsional tersebut, maka dapat diidentifikasi secara objektif jabatan-jabatan apa yang memang tidak boleh ditempati oleh anggota Polri aktif tanpa harus memicu ambiguitas. Inilah pekerjaan rumah selanjutnya.
Sebaliknya, frasa “tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” justru menciptakan ruang yang tidak terbatas.
Penugasan Kapolri tidak memiliki parameter objektif, tidak dibatasi oleh fungsi kelembagaan, dan tidak melalui mekanisme kontrol sipil atau legislatif.
Akibatnya, segala jabatan—baik yang memiliki maupun yang tidak memiliki relevansi dengan kepolisian—secara teoritis dapat “dianggap sah” untuk diisi anggota Polri hanya berdasarkan mandat Kapolri.
Dalam kerangka permasalahan tersebut, maka Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang menyatakan bahwa frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, layak dirayakan sebagai kemenangan-kemenangan kecil dalam upaya reformasi Polri.
Putusan ini dapat menjadi landasan, terutama bagi pemerintah dan cermin bagi institusi Polri, untuk mempercepat konsolidasi reformasi kepolisian.
Melalui putusan tersebut, potensi penggunaan frasa tersebut sebagai justifikasi ekspansi penempatan anggota Polri di luar institusi Polri dapat dihentikan.
Argumentasi MK telah menyentuh titik substansial dampak frasa tersebut, yakni telah mengaburkan substansi frasa “setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri.
Menurut MK, perumusan demikian mengakibatkan ketidakpastian hukum dalam jabatan sipil yang dapat diduduki oleh anggota Polri.
Akibat lainnya, juga dialami oleh ASN di institusi terkait, terutama terkait jenjang karier, sistem merit, dan profesionalisme birokrasi.
Motivasi profesional birokrat juga dapat menurun (demotivasi), karena kompetisi jabatan tidak lagi didasarkan pada kualifikasi dan merit, tetapi pada penugasan institusi keamanan.
Namun, momentum perbaikan dan penguatan reformasi Polri kurang diikuti
political will
yang memadai dari pemerintah.
Putusan MK
semestinya menjadi energi korektif yang kuat bagi pemerintah, karena argumentasi MK dalam putusannya menegaskan kembali prinsip-prinsip dasar reformasi kepolisian, serta mengembalikan reformasi Polri sesuai tracknya.
Namun, respons pemerintah justru bergerak ke arah berlawanan ataupun tidak menularkan energi korektif serupa putusan MK.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, misalnya, menyampaikan bahwa putusan MK yang melarang polisi aktif menduduki jabatan sipil tidak berlaku surut.
Artinya, anggota Polri yang telah menjabat jabatan sipil sebelum adanya putusan MK tersebut tidak wajib mengundurkan diri.
Pernyataan ini tentu mereduksi substansi korektif yang dimaksudkan oleh MK dalam putusannya, seperti aspek reformasi Polri, distribusi jabatan, supremasi sipil dan meritokrasi ASN.
Dengan tidak menyambut putusan MK dengan komitmen progresif terhadap reformasi kepolisian, pemerintah dalam hal ini tidak hanya mengabaikan arah reformasi yang ditegaskan melalui putusan MK, tetapi juga memperkuat praktik deviasi yang justru hendak dikoreksi.
Respons seperti ini mengindikasikan bahwa problem reformasi sektor keamanan tidak semata-mata persoalan hukum, tetapi terutama persoalan
political will
, di mana putusan lembaga yudisial tertinggi sekalipun tidak cukup kuat untuk mengubah praktik kekuasaan tanpa komitmen eksekutif yang jelas.
Melalui putusan MK tersebut, dapat dipahami bahwa akselerasi reformasi Polri ternyata tidak dapat bertumpu semata pada kamar yudikatif, bahkan ketika yang berbicara adalah Mahkamah Konstitusi sekalipun.
Putusan MK mampu memberikan koreksi konstitusional dan arah normatif, tetapi tidak serta-merta mengubah praktik kekuasaan tanpa dukungan politik dari cabang eksekutif.
Kondisi ini di satu sisi sangat disayangkan, karena menunjukkan bahwa kekuatan yudisial—yang seharusnya menjadi penjaga konstitusi dan pengawas deviasi regulatif—tidak cukup ampuh mendorong perubahan struktural bila tidak diikuti oleh kemauan politik pemerintah.
Dalam konteks reformasi sektor keamanan, dalam hal ini Polri, SETARA Institute selalu menyampaikan bahwa reformasi tersebut harus berjalan dua arah.
Tidak cukup dari internal institusi terkait, tetapi pemerintah perlu menunjukkan komitmen politik dan tindakan yang jelas untuk menopang dan mengakselerasi reformasi Polri.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
NGO: Setara Institute
-
/data/photo/2025/11/10/691151730e301.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Pemerintah Abai Reformasi Polri
-

Tambang di Konawe buat Ekonomi Turun dan Kesehatan Memburuk
Jakarta, Beritasatu.com – Terjadi perubahan besar pada kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan tambang di Kabupaten Konawe dan Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Para nelayan kini menghadapi sedimentasi serta pencemaran wilayah pesisir. Kondisi ini membuat area penangkapan ikan semakin jauh sehingga mereka harus melaut hingga 2–3 hari.
Hal ini diungkapkan Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, Kendari, Yani Taufik dalam diskusi yang digelar bersama Setara Institute, Kamis (11/12/2025).
“Di wilayah daratan, alih fungsi lahan pertanian menyebabkan luas sawah produktif merosot dari 5.000 hektare menjadi hanya 1.500 hektare, membuat banyak petani kehilangan mata pencaharian,” ujarnya dikutip dari Antara, Jumat (12/12/2025).
Yani juga menuturkan kasus ISPA, iritasi kulit, hingga paparan debu merah meningkat, terutama di sekolah-sekolah yang berada di dekat area izin usaha pertambangan (IUP).
Ia menambahkan perubahan struktur sosial akibat aktivitas pertambangan turut menggerus tradisi lokal, termasuk hilangnya praktik budaya seperti metanduale.
“Penelitian ini juga menemukan adanya pekerja anak, lemahnya standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3), serta kecelakaan kerja fatal yang tidak dilaporkan. Ketimpangan antara tenaga kerja lokal dan pekerja dari luar daerah sangat terlihat, di mana masyarakat lokal kebanyakan hanya menempati posisi buruh kasar,” katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan, mengungkapkan hampir seluruh wilayah penelitian menunjukkan adanya pencemaran air dan laut, debu tambang yang berlebihan, sedimentasi yang tidak terkontrol, serta meningkatnya masalah kesehatan masyarakat.
Ia menyampaikan berbagai fasilitas pengelolaan limbah seperti sediment pond banyak yang tidak berfungsi. Kegiatan reklamasi pascatambang juga tidak berjalan, meskipun tercantum dalam dokumen perusahaan.
“OPD dan warga setempat juga melaporkan hilangnya tutupan vegetasi yang berdampak pada kenaikan suhu mikro. DLH Konawe bahkan menemukan kandungan berbahaya dalam sampel air di sekitar kawasan smelter,” tuturnya.
Berdasarkan temuan tersebut, Halili memberikan sejumlah rekomendasi. Untuk pemerintah pusat, ia menyarankan harmonisasi kebijakan nasional melalui revisi regulasi dalam UU Minerba yang rentan disalahgunakan, penyelarasan aturan antar-kementerian, peningkatan transparansi industri ekstraktif dengan mewajibkan pengungkapan informasi minimum, serta penerapan uji tuntas HAM sesuai amanat Perpres 60/2023—yang akan digantikan oleh peraturan baru mengenai Penilaian Kepatuhan HAM untuk pelaku usaha.
Untuk pemerintah daerah, rekomendasi mencakup penguatan koordinasi pengawasan antara provinsi, kabupaten, dan masyarakat; peninjauan ulang RTRW; percepatan penetapan regulasi LP2B; evaluasi ulang izin IUP berdasarkan prinsip pertambangan yang bertanggung jawab; serta pembentukan mekanisme pengaduan publik melalui kantor pengaduan lokal dan petugas penghubung desa.
“Sedangkan bagi organisasi masyarakat sipil, riset ini mendorong perluasan pemantauan independen, advokasi, pendokumentasian kasus, serta program pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat. Untuk perguruan tinggi, diperlukan penelitian lanjutan mengenai dampak sosial-lingkungan serta penyusunan pedoman ilmiah untuk pengendalian sedimentasi, rehabilitasi pesisir, dan perumusan program PPM yang lebih partisipatif,” jelas Halili.
-

Setara Institute: Rencana Gelar Pahlawan untuk Soeharto Melanggar Hukum
Bisnis.com, JAKARTA – Ketua Dewan Setara Institute Hendardi menilai rencana pemberian gelar pahlawan untuk Presiden ke-2 Soeharto melanggar hukum. Menurutnya, Soeharto lekat dengan masalah pelanggaran HAM, korupsi, dan penyalahgunaan kewenangan.
Hendardi mengatakan, upaya mengharumkan mertua Prabowo Subianto itu sudah berjalan sistematis. Sebab, katanya, tepat sebulan sebelum pelantikan Prabowo sebagai presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) secara resmi mencabut nama Soeharto dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Menurutnya, pencabutan TAP MPR itu mengabaikan fakta historis bahwa 32 tahun masa kepemimpinannya penuh dengan pelanggaran HAM, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Pemerintah dinilai seolah ingin melepaskan nama Soeharto dari masalah-masalah yang pernah dibuatnya.
“Selain itu jika nantinya Soeharto ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, hal itu merupakan tindakan melawan hukum, terutama UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan,” kata Hendardi dalam keterangan tertulis, Senin (27/10/2025).
Dia menuturkan bahwa dalam aturan tersebut, untuk memperoleh gelar tanda jasa harus memenuhi beberapa syarat sebagaimana diatur di Pasal 24, yakni WNI atau seseorang yang berjuang di wilayah yang sekarang menjadi wilayah NKRI; memiliki integritas moral dan keteladanan, berjasa terhadap bangsa dan negara; berkelakuan baik; setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara; dan tidak pernah dipidana, minimal 5 (lima) tahun penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
“Soeharto tidak layak mendapatkan gelar pahlawan nasional. Dugaan pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang pernah terjadi pada masa pemerintahannya yang otoriter dan militeristik tidak dapat disangkal, meskipun juga tidak pernah diuji melalui proses peradilan,” ujar Ketua Dewan Setara Institute Hendardi.
Hendardi juga menyinggung putusan Mahkamah Agung No. 140 PK/Pdt/2005 yang menyatakan Yayasan Supersemar milik Soeharto telah melakukan perbuatan melawan hukum dan wajib membayar uang sebesar US$315.002.183 dan Rp 139.438.536.678,56 kepada Pemerintah RI, atau sekitar Rp4,4 triliun dengan kurs saat itu.
Selain itu, Soeharto turut didakwa karena mengeluarkan sejumlah peraturan dan keputusan Presiden yang menguntungkan setidaknya tujuh yayasan yang dipimpin Soeharto dan kemudian dialirkan ke 13 perusahaan afiliasi keluarga serta pihak-pihak terdekat Cendana
“Jika hal itu tetap dilakukan oleh Presiden sebagai Kepala Negara, maka tidak salah anggapan bahwa Presiden Prabowo menerapkan absolutisme kekuasaan,” tegasnya.
-

Koalisi Sipil Kritik Menhan soal TNI Jaga Gedung DPR: Tak Sejalan Tuntutan 17+8
Jakarta –
Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafri Sjamsuddin mengaku telah menyetujui TNI dikerahkan untuk menjaga gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta. Koalisi Masyarakat Sipil mengkritik keputusan itu.
“Koalisi Masyarakat Sipil menilai pernyataan Menteri Pertahanan tidak sejalan dengan tuntutan rakyat yang tertuang dalam agenda tuntutan 17+8 yang menginginkan agar Pemerintah menghentikan keterlibatan TNI dalam pengamanan sipil dan mengembalikan TNI ke barak. Dengan demikian Menteri Pertahanan jelas-jelas melawan arus kehendak rakyat dan hal itu cermin dari Pejabat Pemerintahan yang tidak mendengarkan suara rakyat,” demikian pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil, Selasa (16/9/2025).
Koalisi Masyarakat Sipil ini terdiri dari IMPARSIAL, CENTRA INITIATIVE, Raksha Initiatives, HRWG, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), DEJURE, PBHI, Setara Institute, LBH Apik dan WALHI. Mereka menilai pernyataan Menhan itu bertentangan dengan UU TNI.
“Lebih dari itu, pelibatan TNI dalam pengamanan Gedung DPR RI sejatinya bukanlah tugas TNI. Konstitusi dan UU TNI telah mengatur bahwa TNI bertugas di bidang pertahanan negara, sedangkan urusan keamanan dan ketertiban masyarakat merupakan ranah Kepolisian. Pelibatan TNI dalam pengamanan gedung DPR RI adalah bentuk penyimpangan dari fungsi dan tugas pokok TNI,” jelasnya.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai Gedung DPR/MPR bukan simbol kedautan negara. Mereka menegaskan bahwa DPR adalah simbol perwakilan rakyat.
“Selain itu Gedung DPR RI juga bukan merupakan simbol kedaulatan negara, melainkan simbol perwakilan rakyat. Karena itu, wajar apabila DPR RI menjadi objek kritik maupun aksi demonstrasi dari masyarakat ketika dianggap melakukan kekeliruan. Menempatkan TNI untuk menjaga DPR RI memberikan kesan mengancam dan mengintimidasi masyarakat yang ingin menyampaikan kritik dan aspirasinya,” tutur dia.
“Menteri Pertahanan seharusnya berfokus pada penguatan TNI dibidang pertahanan, bukan menyeret TNI ke dalam urusan keamanan dan ketertiban masyarakat yang bukan menjadi kewenangannya. Presiden harus melakukan koreksi terhadap tindakan yang dilakukan oleh Menteri Pertahanan tersebut yang tidak sejalan dengan Konstitusi dan UU TNI. Dengan tidak adanya koreksi dari Presiden, maka dapat dianggap Presiden terlibat dalam kekeliruan yang dilakukan oleh Menteri Pertahanan,” imbuhnya.
Koalisi Masyarakat Sipil berpandangan bahwa proses reformasi TNI masih memiliki banyak pekerjaan rumah, termasuk reformasi peradilan militer, restrukturisasi komando teritorial, dan penghapusan budaya kekerasan terhadap masyarakat sipil.
“Alih-alih memperluas tugas TNI ke ranah sipil, perhatian seharusnya diarahkan pada penyelesaian masalah internal reformasi TNI,” jelasnya.
Koalisi Sipil memberikan sejumlah tuntutan, berikut isinya:
1. Menolak rencana pelibatan TNI untuk melakukan pengamanan Gedung DPR RI.
2. Menghentikan segala bentuk pelibatan TNI dalam urusan keamanan dan ketertiban masyarakat.
3. Memprioritaskan agenda reformasi TNI agar benar-benar menjadi tentara profesional di bidang pertahanan.Kata Menhan soal TNI Jaga DPR
Kompleks gedung MPR/DPR/DPD masih dijaga sejumlah personel TNI dan kendaraan taktis atau rantis TNI setelah terjadi kericuhan di sejumlah titik pada akhir Agustus lalu. Sampai kapan gedung DPR akan dijaga personel dan rantis TNI?
Menteri Pertahanan (Menhan), Sjafrie Sjamsoeddin, mengatakan pihaknya sudah menyetujui gedung DPR akan dijaga oleh personel TNI. Sjafrie menilai penjagaan bakal berlangsung sampai keadaan kondusif.
“TNI akan menjaga simbol kedaulatan negara di DPR, jadi saya sudah menyetujui dan Panglima (TNI) akan menindaklanjuti bersama para Kepala Staf (TNI) bahwa instalasi DPR akan dijaga oleh TNI,” kata Sjafrie seusai rapat kerja dengan Komisi I DPR, Selasa (16/9).
Sjafrie mengatakan penjagaan ini akan dilakukan sampai suasana lebih kondusif. Mantan Pangdam Jaya itu menilai, jika diperlukan, TNI akan berada di tengah masyarakat.
“Sampai dengan tadi katanya kondusif, lebih kondusif lagi. Ya, terserah penilaian situasi, kalau memang diperlukan kita harus ada di tengah-tengah rakyat,” ungkap dia.
(lir/eva)
-

Yusril soal Usulan Bentuk TGPF Kericuhan: Penyelidikan Aparat Sudah Tepat
Jakarta –
Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, buka suara soal usulan pembentukan tim gabungan pencari fakta (TGPF) mengusut rentetan kericuhan di sejumlah daerah. Yusril menilai pembentukan TGPF memerlukan waktu, sementara proses penyelidikan kasus itu sudah berjalan tepat.
“Jadi kalau menuntut TPGF itu kan masih perlu waktu, menyusun orang-orangnya lagi, menunggu mereka bekerja untuk mengumpulkan fakta-fakta, sekarang juga fakta-faktanya sudah jelas, langkah hukum sudah diambil dan proses sudah berjalan,” kata Yusril kepada wartawan di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (11/9/2025).
Oleh karena itu, Yusril menilai lebih baik penyelidikan dilakukan aparat penegak hukum. Menurutnya, TGPF bisa dibentuk jika pemerintah dinilai tidak bekerja mengusut kejadian ini.
“Jadi saya kira dari pada menunggu lama pembentukan TPGF saya kira lebih baik kita menggunakan aparat penegak hukum yang ada sekarang, lebih cepat bekerjanya dari pada kita berlama-lama. Kecuali misalnya negara diam tidak berbuat apa-apa, baru dibentuk TPGF,” ujarnya.
Menurutnya, langkah yang dilakukan aparat penegak hukum sudah tepat. Mantan Mensesneg itu sudah turun langsung memantau proses penyelidikan di dua polda yakni Jakarta dan Makassar.
“Sudah dilakukan langkah-langkah hukum yang tepat ya sekarang, pelaku pelakunya juga sudah ditahan, sudah dilakukan juga pemeriksaan. Langkah penyelidikan sudah dilakukan dengan tepat oleh seluruh aparat penegak hukum,” ujarnya.
“Saya sudah melakukan pengecekan di dua polda, Polda Metro Jaya dan Polda (Sulsel) Makassar. Dan dapat memastikan bahwa sudah diambil satu langkah tegas terhadap mereka yang terlibat di dalam aksi unjuk rasa yang berakhir dengan kericuhan beberapa waktu lalu,” lanjutnya.
Pembentukan TGPF sebelumnya diusulkan Koalisi Masyarakat Sipil. Mereka menduga ada keterlibatan militer dalam kerusuhan ini.
Koalisi Masyarakat Sipil gabungan Imparsial, HRWG, Koalisi Perempuan Indonesia, Walhi, Centra Initiative, De Jure, Raksha Initiatives, PBHI hingga Setara Institute. Dalam pernyataannya, Koalisi menilai mestinya kegiatan menyampaikan pendapat tidak diwarnai dengan tindakan represif hingga jatuhnya korban.
“Lebih jauh, merespons dugaan-dugaan tersebut di atas, kami mendesak pemerintah segera membentuk Tim Pencari Fakta independen, untuk mengurai masalah ini secara terang benderang, guna memastikan akuntabilitas atas peristiwa yang terjadi,” tegas Koalisi Masyarakat Sipil dalam pernyataannya, Senin (8/9).
Halaman 2 dari 2
(eva/rfs)
-

Pemerintah Enggan Bentuk TGPF untuk Usut Keterlibatan TNI pada Aksi Ricuh Demo Gaji DPR
Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengaku tidak mau ambil pusing ihwal dorongan pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk usut keterlibatan militer pada aksi anarkis beberapa waktu lalu.
Yusril mengatakan negara memiliki Komnas HAM yang berwenang penyelidiki ada atau tidaknya keterlibatan militer di aksi anarkis tersebut, sehingga tidak perlu membentuk TGPF. Menurut Yusril, melibatkan Komnas HAM dalam kasus dugaan keterlibatan TNI dalam aksi anarkis tersebut sudah sesuai dengan prosedur hukum Indonesia.
“Jadi saya kira cukup dengan perangkat pemerintah dan lembaga negara yang ada saat ini saja bisa kita selesaikan itu,” tutur Yusril di Kantor Imipas Jakarta, Senin (8/9/2025).
Bahkan, kata Yusril, tidak hanya Komnas HAM saja yang dilibatkan untuk ungkap kasus terkait demonstrasi anarkis tersebut, beberapa lembaga negara lainnya seperti Komnas Anak, LPSK, Kompolnas dan KPAI juga dilibatkan sebagai bentuk hadirnya negara dalam demo anarkis beberapa hari lalu.
“Ya tentu kita akan hormati temuan dari lembaga negara itu. Komnas HAM sebagai lembaga negara pun bisa untuk melakukan penyelidikan terkait ini,” katanya.
Sementara itu, Ketua Dewan Nasional dari Setara Institute, Hendardi mendesak agar Presiden Prabowo Subianto membentuk tim pencari fakta independen untuk mengusut keterlibatan militer dalam aksi berdarah beberapa waktu lalu, meskipun Mabes TNI telah membantah keterlibatan anggota TNI, khususnya anggota BAIS.
“Kami menilai keterlibatan BAIS di lapangan bersama massa aksi, adalah tindakan yang salah dan keliru. Sebagai institusi intelijen militer, seharusnya BAIS itu bekerja untuk mendukung TNI sebagai alat pertahanan dalam rangka menjaga kedaulatan negara,” ujarnya
-

Prabowo Didesak Bentuk TGPF Korban Kekerasan Demonstrasi
Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto didesak untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk mengungkap fakta tentang demonstrasi berdarah beberapa hari lalu.
Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi menyarankan TGPF itu harus diisi oleh orang kredibel dan netral, sehingga tidak ada conflict of interest selama proses pengungkapan fakta yang terjadi ketika demonstrasi berdarah beberapa hari lalu di Indonesia.
Hendardi berpandangan publik memiliki hak untuk tahu fakta yang sebenarnya terjadi di lapangan ketika demonstrasi berdarah itu terjadi. Selain itu, menurut Hendardi, warga negara juga merupakan subjek yang berhak diberikan perlindungan dan rasa aman oleh negara.
“Presiden mungkin sudah memiliki data dan analisis serta menyusun langkah-langkah antisipatif lanjutan berkenaan dengan dinamika eskalatif yang terjadi, tetapi keterbukaan tetap mesti ditunaikan oleh pemerintah dan mekanisme partisipasi bermakna atau meaningful participation mesti dibuka seluas-luasnya,” tuturnya dalam keterangan resminya di Jakarta, Minggu (7/9/2025).
Dia menegaskan bahwa Presiden Prabowo sudah berspekulasi ada indikasi makar, terorisme, dan menuding pihak asing yang memainkan eskalasi di tingkat domestik saat demonstrasi kemarin.
Selain itu, menurut Hendardi, publik juga memunculkan dugaan adanya kontestasi politik kekuasaan, dan agenda politik rezim. Untuk itu, Presiden Prabowo harus memberikan klarifikasi dan investigasi mendalam agar rangkaian kerusuhan itu terklarifikasi dengan terang-benderang tentang siapa dalang, bagaimana operasi berlangsung, dan apa tujuan politiknya.
“Jika tidak, maka publik akan terus diliputi kecemasan dan ketidakpastian, bahkan akan memantik kemarahan lanjutan eskalasi yang ada,” katanya.
Dia mengingatkan bahwa pengungkapan data dan fakta merupakan mekanisme cooling down system dari kemarahan publik yang harus berjalan secara simultan dengan agenda mendasar yang harus dilakukan oleh Pemerintah.
“Para elite politik juga harus memperbaiki tata kelola penyelenggaraan negara yang melahirkan kesenjangan dan jauh dari cita-cita ultima berbangsa dan bernegara Indonesia yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” ujarnya.
-
/data/photo/2025/09/02/68b6ea59f3707.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Wacana Darurat Sipil: Dari Penolakan hingga Regresi Demokrasi Nasional 3 September 2025
Wacana Darurat Sipil: Dari Penolakan hingga Regresi Demokrasi
Aktif sebagai Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute, serta Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Indo Global Mandiri
DI TENGAH
ketegangan sosial dan demonstrasi beberapa hari terakhir, darurat sipil mencuat sebagai narasi untuk merespons peningkatan eskalasi demonstrasi.
Darurat sipil merupakan dalam tingkatan keadaan darurat sebagaimana diatur Undang-Undang (Prp) No. 23/1959 tentang Pencabutan UU No. 74 Tahun 1957 dan Penetapan Keadaan Bahaya.
UU a quo menetapkan 3 (tiga) tingkatan keadaan bahaya, yakni tingkatan keadaan darurat sipil, keadaan darurat militer, dan keadaan perang.
Meskipun sejumlah pihak, seperti Wakil Panglima TNI dan Ketua Komisi I DPR, menegaskan dan/atau meyakini tidak ada skenario menuju penetapan darurat militer, tetapi kemunculan wacana tersebut sebagai upaya dalam mengembalikan kondusifitas masyarakat memperlihatkan kegagalan pihak-pihak terkait, terutama jika berasal dari unsur pemerintah, dalam mendeteksi akar persoalan.
Meskipun tidak ditetapkan, narasi darurat sipil telah muncul 2 (dua) kali dalam pemerintahan Joko Widodo, terutama pada periode ke dua.
Pertama, disampaikan Presiden Joko Widodo pada 30 Maret 2020, sebagai wacana untuk menghadapi penyebaran wabah Covid-19, selain dengan menjalankan pembatasan sosial skala besar.
Ke dua, secara tiba-tiba disampaikan oleh salah seorang anggota DPR Komisi I pada 10 Februari 2023, dalam merespons penyanderaan pilot pesawat Susi Air oleh TPNPB-OPM.
Dua istilah darurat sipil dalam bentuk wacana dan pernyataan tersebut sama-sama mendapat kritikan keras dari publik.
Bukan hanya implikasi pendekatan yang digunakan jika status tersebut ditetapkan, tetapi juga kondisi untuk menetapkan status tersebut yang dianggap belum terpenuhi.
Ketentuan mengenai kondisi tersebut diatur pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang (Prp) No. 23/1959 tentang Penetapan Keadaan Bahaya.
Pertama, apabila keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa.
Kedua, timbul perang atau bahaya perang di wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga.
Ketiga, hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.
Pada kondisi pertama, tentu perlu digarisbawahi bahwa semestinya negara telah memiliki kesiapan-kesiapan tertentu dalam mengantisipasi potensi ancaman yang dimaksud.
Sebab, ancaman-ancaman tersebut tentu datang tidak secara tiba-tiba, sehingga mekanisme preventif dapat diupayakan.
Namun, dalam 2 episode munculnya istilah darurat sipil tersebut, bagian ini selalu tidak maksimal. Sehingga, penetapan status darurat sipil cenderung dianggap publik sebagai jalan pintas pemerintah dalam mengarusutamakan pendekatan keamanan untuk segala persoalan.
Wacana penerapan status darurat sipil dalam penanganan Covid-19 di awal mendapat penolakan masyarakat.
Terlebih jika melihat jejak pemerintah di awal yang justru memperlihatkan ketidakseriusan dan ketidaksiapannya dalam menangani wabah ini.
Misalnya, beberapa pejabat yang mencandakan istilah corona dan model penanganan yang tidak berbasis ilmiah. Terlebih dengan kondisi serba kekurangan alat-alat kesehatan.
SETARA Institute dalam siaran persnya (31/03/2020) menjelaskan bahwa wacana penerapan pembatasan sosial disertai kebijakan darurat sipil tersebut mencerminkan watak pemerintah yang ingin menggunakan jalan pintas dalam mengatasi wabah Covid-19 tanpa memenuhi kewajibannya dalam pemenuhan kebutuhan dasar warga negara melalui Undang-Undang (Prp) No. 23/1959 tentang Penetapan Keadaan Bahaya.
Begitupun pernyataan salah satu anggota DPR Komisi I tersebut bahwa Papua berada dalam status Darurat Sipil.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan (RSK) dalam siaran persnya (14/2) menjelaskan bahwa pernyataan tersebut tidak hanya keliru, tetapi juga melampaui kewenangannya.
Sebab tidak pernah ada pernyataan Presiden mengenai penetapan status tersebut sebelumnya, baik untuk sebagian maupun seluruh wilayah negara.
Adapun yang memiliki kewenangan untuk menyatakan keadaan darurat sipil untuk seluruh atau sebagian dari wilayah negara adalah Presiden sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UU (Prp) No. 23/1959.
Penerapan status darurat sipil tentu tidak dapat dilakukan tanpa pertimbangan matang, sebab pelbagai implikasi serius mengekor di belakangnya. Status darurat sipil memiliki cara penyikapan yang berbeda dibanding status tertib sipil.
Implikasi tersebut dapat berupa pengarusutamaan pendekatan keamanan dan regresi demokrasi.
Maka, salah satu desakan koalisi masyarakat sipil untuk RSK adalah anggota DPR Komisi I tersebut segera mengklarifikasi dan mencabut pernyataannya terkait dengan status darurat sipil di Papua.
Dalam konteks Papua, misalnya, penetapan status darurat sipil hanya akan menguatkan spiral kekerasan di Papua.
Sebab, selama ini pendekatan keamanan cenderung menjadi opsi utama pemerintah pusat dalam menangani persoalan di Papua, seperti melalui penambahan pasukan, operasi keamanan, serta terbaru rencana penambahan Komando Daerah Militer (Kodam).
Implikasinya tentu potensi jatuhnya korban semakin luas dari pelbagai pihak.
Kenapa kecenderungan penggunaan pendekatan keamanan oleh pemerintah pusat menjadi persoalan dalam darurat sipil di Papua?
Sederhana, perlu digarisbawahi jika status darurat sipil diterapkan, maka penguasa darurat sipil daerah (Kepala Daerah serendah-rendahnya dari Daerah tingkat II) dalam melakukan wewenang dan kewajibannya menuruti petunjuk dan perintah yang diberikan penguasa darurat sipil pusat, yakni Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang, dan bertanggung-jawab kepadanya, sebagaimana diatur Pasal 7 ayat (1) UU (Prp) No. 23/1959.
Selain itu, tentu menjadi pertanyaan umum mengenai implikasi kasus penyanderaan pesawat di Papua tersebut, apakah memang harus dengan mengubah status daerah menjadi darurat sipil?
Apakah instrumen hukum dan aparat keamanan tidak bisa melakukan tindakan sebagaimana operasi-operasi seperti biasa?
Penetapan status tanpa pertimbangan demikian justru dapat menjadi preseden di masa mendatang ihwal tidak adanya pertimbangan yang matang dalam penetapan status darurat sipil ini.
Implikasi lanjutannya, penetapan status darurat sipil tanpa pertimbangan dan kriteria kondisi yang memadai hanya akan mempercepat terjadinya regresi demokrasi.
Sebab, jika diperhatikan, muatan pengaturan dalam UU (Prp) No. 23/1959 memfasilitasinya, serta cenderung mengarah kepada otoritarianisme, terlebih muatan UU a quo cenderung mengatur wewenang dan kewajiban penguasa darurat sipil, bukan hak masyarakat.
Meskipun juga dapat dipahami bahwa hal tersebut dilatarbelakangi untuk menghadapi ancaman. Namun, muatan pengaturan tersebut dapat menjadi bias lantaran, sekali lagi, penetapan status darurat sipil tanpa pertimbangan.
Muatan pengaturan yang dimaksud, misalnya, hak penguasa darurat sipil untuk membatasi pertunjukan-pertunjukan, percetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian, penyimpanan, penyebaran, perdagangan dan penempelan tulisan-tulisan berupa apapun juga (Pasal 13).
Dapat-menyuruh atas namanya pejabat-pejabat polisi atau pejabat-pejabat pengusut lainnya atau menggeledah tiap-tiap tempat, sekalipun bertentangan dengan kehendak yang mempunyai atau yang menempatinya, dengan menunjukkan surat perintah umum atau surat perintah istimewa (Pasal 14).
Mengetahui semua berita-berita serta percakapan-percakapan yang dipercakapkan kepada kantor telpon atau kantor radio, pun melarang atau memutuskan pengiriman berita-berita atau percakapan-percakapan dengan perantaraan telpon atau radio (Pasal 17).
Membatasi orang berada di luar rumah (Pasal 17), dan memeriksa badan dan pakaian tiap-tiap orang yang dicurigai (Pasal 20).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

/data/photo/2025/09/01/68b54957d656e.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)