Telantarkan Ratusan Calon Pekerja Migran, Penampungan di Bekasi Disegel
Tim Redaksi
BEKASI, KOMPAS.com
– Menteri Pelindungan
Pekerja Migran Indonesia
(P2MI) Abdul Kadir Karding menyegel tempat penampungan
calon pekerja migran
di Kelurahan Jakamulya, Bekasi Selatan, Kota Bekasi, Selasa (8/7/2025).
Penyegelan dilakukan lantaran PT PSM selaku penyalur tak kunjung memberangkatkan ratusan calon pekerja migran ke negara tujuan.
“Tempat ini kami segel karena 326 calon pekerja migran tidak kunjung diberangkatkan bekerja ke luar negeri, paling banyak ke Taiwan,” kata Karding di lokasi, Selasa (8/7/2025).
Karding mengatakan, total tuntutan kerugian dalam kasus ini mencapai Rp 6,3 miliar. Dia pun mendesak perusahaan penyalur bertanggung jawab mengganti kerugian yang dialami calon pekerja migran.
Bahkan, Karding mempertimbangkan membawa kasus ini ke ranah hukum jika perusahaan terbukti menunda pemberangkatan calon pekerja migran.
“Jangan main-main ya, tidak ada urusan, semuanya harus dipenjara, siapun pun yang melanggar, siapa pun yang merugikan pekerja migran harus dipenjara, tidak ada ampun, tanggung jawab pokoknya perusahaan,” tegas dia.
Karding pun menyesalkan sikap perusahaan yang dianggap lalai dalam mengawasi proses penyaluran calon pekerja migran.
“Kalian ini yang punya perusahaan tapi tidak mengawasi, kacau kalian punya saham tapi tidak diawasi, milih orang tidak jelas, kok tidak kasihan sama pekerja migran,” ungkap dia.
Akibat penundaan ini, pemerintah menjatuhkan sanksi ke perusahaan berupa larangan melakukan proses seleksi maupun pengurusan dokumen penempatan calon pekerja migran.
Sanksi ini akan dicabut jika perusahaan mengganti seluruh kerugian para calon pekerja migran.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
NGO: PMI
-

Bilangnya Tercipta 3,6 Juta Lapangan Kerja, Istana Justru Sarankan Masyarakat ke Luar Negeri: Merantau Budaya Kita
GELORA.CO – Pemerintah kembali mengajak warga negara Indonesia untuk bekerja di luar negeri, kali ini lewat anjuran resmi dari Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) sekaligus Kepala BP2MI, Abdul Kadir Karding.
Namun, jangan salah paham. Menurut Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi, seruan agar masyarakat mencari penghidupan di negeri orang bukan berarti pemerintah gagal menyediakan lapangan kerja di dalam negeri.
“Faktanya, dari Februari 2024 sampai Februari 2025, tercipta 3,6 juta lapangan kerja di Indonesia,” ujar Hasan dalam konferensi pers, Selasa 8 Juli 2025.
Menariknya, di tengah klaim penciptaan jutaan lapangan kerja itu, jumlah pengangguran masih terasa nyata oleh masyarakat di lapangan.
Banyak lulusan baru maupun pekerja yang terdampak PHK belum juga mendapatkan pekerjaan.
Tapi alih-alih mengevaluasi kondisi dalam negeri, pemerintah justru mendorong masyarakat untuk merantau ke luar negeri.
Menurut Hasan, bekerja di luar negeri tidak perlu dilihat sebagai “pelarian”, tetapi bagian dari budaya merantau yang sudah mendarah daging di masyarakat Indonesia.
“Sama seperti ketika seseorang kuliah di luar negeri, bukan karena tidak ada universitas bagus di dalam negeri. Tapi karena ada kesempatan di luar yang juga menarik, kenapa tidak diambil?” kata Hasan.
Pernyataan ini menuai respons beragam dari publik.
Beberapa warganet bertanya-tanya, jika memang lapangan kerja dalam negeri berlimpah, mengapa justru rakyat didorong mencari kerja ke luar negeri?
Atau jangan-jangan, lapangan kerja yang diciptakan tidak sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat?
Belum lagi kita menunggu 19 juta lapangan kerja yang menjadi modal kampanye Prabowo-Gibran saat pilpres kemarin, tak kunjung tiba hingga saat ini.
Sementara itu, Menteri Karding sendiri baru saja melantik 301 PNS baru di BP2MI, lembaga yang salah satu tugasnya adalah memfasilitasi pengiriman tenaga kerja ke luar negeri secara legal dan aman.
Tentu saja, ini jadi kabar baik, terutama jika rakyat mulai memahami bahwa mencari kerja ke luar negeri kini bisa dibungkus dengan narasi “semangat nasional merantau”.
-

Momentum Reformasi Industri Nasional
Jakarta –
Ketegangan geopolitik antara Iran dan Israel yang meletus pada pertengahan Juni lalu menyulut kekhawatiran global terhadap stabilitas pasokan energi dan kelancaran rantai logistik internasional. Selat Hormuz, yang menjadi jalur pengangkutan hampir sepertiga minyak dunia, terancam menjadi medan konflik.
Rute dagang strategis seperti Terusan Suez juga mengalami tekanan akibat meningkatnya aksi kelompok bersenjata. Bagi Indonesia, yang selama ini masih bergantung besar pada energi dan bahan baku impor, kondisi ini menjadi pengingat keras bahwa kemandirian industri bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.
Dampaknya sudah terasa. Harga minyak Brent naik signifikan, bergerak di kisaran USD 73–92 per barel sepanjang Juni 2025. Analis memperingatkan kemungkinan harga menembus USD 100 jika konflik bereskalasi dan Selat Hormuz benar-benar ditutup.
Ketegangan ini mendorong volatilitas tajam pasar energi dan bahan baku industri, memicu lonjakan biaya logistik hingga 200 persen, serta memperpanjang waktu pengiriman Asia–Eropa hingga dua pekan lebih lama dari biasanya.
Di tengah kondisi ini, data Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia menunjukkan tren yang memprihatinkan. Pada April 2025, PMI turun ke level 46,7 — kontraksi paling dalam dalam hampir empat tahun terakhir. Sempat membaik ke 47,4 pada Mei 2025, namun pada bulan Juni PMI Indonesia kembali anjlok di angka 46,9. PMI di bawah 50 menunjukkan aktivitas di bawah ambang batas kontraksi.
Sinyal ini bukanlah alarm biasa. Ini adalah panggilan untuk melakukan evaluasi mendasar atas arah pembangunan industri nasional. Sudah terlalu lama sektor industri kita berjalan tanpa arsitektur kebijakan yang tangguh.
Di saat negara-negara besar menggunakan krisis sebagai pendorong reformasi, kita justru masih menunggu “the new normal” untuk bergerak. Padahal, dunia telah berubah, dan kita harus berubah bersamanya.
Amerika Serikat telah menggelontorkan lebih dari USD 300 miliar melalui Inflation Reduction Act (IRA) dan CHIPS Act hanya dalam dua tahun untuk memperkuat basis industrinya, termasuk kendaraan listrik dan semikonduktor. India lewat program Atmanirbhar Bharat berhasil menarik gelombang relokasi industri global dengan pendekatan insentif produksi dan perlindungan pasar domestik. Sementara itu, Indonesia masih mengandalkan pasar ekspor komoditas mentah dan struktur impor bahan baku yang rapuh terhadap gangguan eksternal.
Krisis ini semestinya menjadi “momentum reformasi”. Seyogyanya Pemerintah membentuk sistem cadangan darurat industri nasional, semacam “BNPB untuk sektor industri”, yang memiliki fungsi monitoring, mitigasi, dan respons cepat terhadap gangguan rantai pasok, fluktuasi nilai tukar, maupun lonjakan biaya logistik. Sistem ini bisa berupa pusat pemantauan logistik nasional, gudang cadangan bahan baku seperti semikonduktor, pupuk, dan baja, serta dana tanggap industri yang bisa digunakan secara fleksibel di masa krisis.
Selain itu, arah hilirisasi nasional perlu diperluas. Hilirisasi selama ini lebih difokuskan pada sektor mineral dan tambang, padahal jantung industri Indonesia ada di manufaktur padat karya seperti tekstil, makanan dan minuman, furnitur, alas kaki, dan otomotif ringan. Sektor-sektor ini menyerap jutaan tenaga kerja dan menopang konsumsi rumah tangga nasional. Namun saat ini, mereka menghadapi tekanan berat.
Sektor otomotif dan elektronik, yang 65 persen produksinya bergantung pada impor komponen, menghadapi kelangkaan semikonduktor dengan waktu tunggu hingga 26 minggu. Potensi kerugian ekspor diperkirakan mencapai USD 500 juta.
Di sisi lain, sektor tekstil dan alas kaki menghadapi penyusutan margin laba hingga 7 persen akibat kenaikan tajam biaya logistik dan asuransi. Situasi ini diperparah oleh membanjirnya produk impor murah dari negara produsen besar seperti Tiongkok, di tengah lemahnya proteksi pasar domestik.
Sementara itu, industri petrokimia nasional menghadapi beban ganda. Di satu sisi, kapasitas produksi dalam negeri baru mencapai 3,5 juta ton dari kebutuhan 8 juta ton plastik per tahun. Di sisi lain, bahan baku utama seperti nafta masih 100 persen impor, dengan volume mendekati 3 juta ton per tahun. Ketika harga minyak mentah melonjak dan jalur distribusi terganggu, industri dalam negeri menghadapi tekanan luar biasa.
Di sinilah pentingnya mengembangkan bio-nafta berbasis CPO (crude palm oil), di mana Indonesia memiliki keunggulan sebagai produsen sawit terbesar dunia. Hilirisasi CPO bukan hanya soal ekspor, tetapi juga solusi strategis untuk menggantikan bahan baku fosil dalam industri petrokimia.
Hanya saja, semua ini tidak akan berjalan tanpa reformasi kebijakan energi yang menyeluruh. Pemerintah mengalokasikan subsidi energi dalam RAPBN 2025 sebesar Rp 394,3 triliun. Namun, menurut kajian Bank Dunia, sekitar 72 persen subsidi BBM justru dinikmati kelompok masyarakat 40 persen teratas.
Subsidi yang tidak tepat sasaran ini tidak memperkuat fondasi industri. Negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan sudah lama memiliki cadangan strategis energi setara konsumsi 200–240 hari. Indonesia? Masih nihil.
Kita perlu merumuskan ulang kebijakan industri dan energi dalam satu ekosistem terintegrasi. Kementerian Perindustrian harus diberi mandat lebih kuat sebagai “arsitek industrialisasi nasional”, didukung oleh koordinasi lintas sektor: fiskal (Kemenkeu), investasi (BKPM), BUMN, dan perdagangan. Roadmap industri harus terintegrasi dari hulu ke hilir, dari bahan baku hingga produk jadi, dari pasar lokal hingga ekspor.
Investasi baru yang masuk harus dipastikan membawa teknologi, menciptakan lapangan kerja, dan memperkuat rantai pasok dalam negeri. Infrastruktur yang dibangun pun harus mendukung kawasan industri, pusat logistik, dan pelabuhan produksi. Kita tidak hanya butuh investasi yang besar, tetapi investasi yang bermakna dan berkelanjutan.
Terakhir, kita perlu memahami bahwa industri bukan lagi sekadar sektor ekonomi. Dalam situasi global yang penuh ketidakpastian, industri adalah alat pertahanan nasional.
Di Amerika Serikat, kebijakan industri ditautkan langsung dengan strategi keamanan nasional. India memosisikan sektor manufakturnya sebagai pengungkit kekuatan geopolitik. Maka Indonesia pun harus menjadikan industri sebagai bagian dari sistem pertahanan non-militer — karena siapa yang menguasai pasokan energi dan pangannya sendiri, akan bertahan.
Sejarah membuktikan hal ini. Saat industri nasional tumbang pada krisis 1998, tekanan sosial dan politik meningkat tajam. Namun saat industri bangkit pada era pasca-2004, stabilitas dan pertumbuhan berjalan beriringan. Maka menjaga industri bukan hanya menjaga ekonomi, tapi menjaga masa depan bangsa.
Penurunan PMI selama dua bulan terakhir bukanlah kebetulan statistik. Ini adalah panggilan untuk bertindak. Pemerintah, DPR, pelaku industri, dan masyarakat harus duduk bersama membangun arah baru: sebuah peta jalan industrialisasi yang bukan hanya berorientasi ekonomi, tetapi berlandaskan pada kemandirian, keberlanjutan, dan ketahanan nasional.
Indonesia punya segalanya: pasar domestik yang besar, tenaga kerja muda (bonus demografi), sumber daya alam yang melimpah, dan posisi geografis yang strategis. Dengan kepemimpinan nasional yang kuat di bahwa Presiden Prabowo, Indonesia seharusnya optimis bisa menjadi jangkar stabilitas kawasan lewat kekuatan industrinya. Semoga..
Ilham Permana. Anggota Komisi VII DPR RI, Fraksi Partai Golkar
(imk/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
-

Mau Dengar yang Mana? Menteri P2MI Sarankan Cari Kerja di Luar Negeri Atasi Pengangguran, Menaker Minta WNI Tak Kabur ke Luar Negeri
“Anda (mahasiswa) calon (tenaga kerja) yang tidak terserap, maka segera berpikir ke luar negeri,” kata Karding.
Sementara jumlah pengangguran nasional mencapai 70 juta orang, sehingga untuk mengatasi banyaknya pengangguran di dalam negeri, Karding menilai bekerja di luar negeri dapat menjadi salah satu solusi.
Nah, pandangan Menteri Karding ini ditanggapi Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli, beberapa hari kemudian.
Yassierli berpendapat WNI tidak perlu ke luar negeri untuk mencari peluang kerja. Jika Menteri Karding menilai kerja di luar negeri adalah solusi mengatasi pengangguran, maka Menteri Yassierli menilai bekerja ke luar negeri menjadi solusi terakhir dari kebutuhan lapangan pekerjaan di dalam negeri.
Yassierli merespons saran dari Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Karding di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/7/2025).
Yassierli menegaskan, masyarakat harus mengoptimalkan semua peluang kerja yang ada di dalam negeri. Salah satunya adalah dari program prioritas Presiden.
“Ada Program makan bergizi gratis 50.000 satuan SPPG, (ada) 80.000 Koperasi Desa Merah Putih. Nanti kemudian ada hilirisasi, kemudian ada ketahanan pangan, ketahanan energi. Itu adalah lapangan pekerjaan yang ada di depan mata,” katanya.
Memang diakuinya, beberapa program pemerintah masih berproses. Kementerian Ketenagakerjaan mengklaim membantu menyiapkan tenaga kerja dalam program yang ada.
Misalnya, pelatihan pengelola Koperasi Desa Merah Putih bersama Kementerian Koperasi.
-

Sosialisasi stop BAB sembarangan upaya ciptakan Jakarta kota sehat
Ilustrasi – Pemasangan tangki septik atau Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) di Pondok Labu untuk mewujudkan Jakarta Selatan sebagai kawasan bebas BAB sembarangan, Jakarta, Selasa (18/3/2025). ANTARA/Luthfia Miranda Putri
Sosialisasi stop BAB sembarangan upaya ciptakan Jakarta kota sehat
Dalam Negeri
Editor: Calista Aziza
Sabtu, 05 Juli 2025 – 12:50 WIBElshinta.com – Pemerintah Kota (Pemkot) Jakarta Timur (Jaktim) berkomitmen untuk memperkuat sosialisasi stop Buang Air Besar (BAB) Sembarangan atau Open Defecation Free (ODF) sebagai upaya menciptakan Jakarta kota sehat.
“Kami berkomitmen untuk terus mendorong inovasi dalam sektor sanitasi, dan menjadikan gerakan stop buang air besar sembarangan sebagai bagian dari gerakan kolektif menuju kota sehat, tangguh dan mandiri,” kata Sekretaris Kota Administrasi Jakarta Timur Eka Darmawan saat dikonfirmasi di Jakarta, Sabtu.
Eka menyebutkan gerakan stop buang air besar sembarangan bukan hanya tentang infrastruktur, tetapi perubahan perilaku masyarakat dalam memiliki tanggung jawab terhadap kebersihan lingkungan mereka.
Sehingga, Pemkot Jakarta Timur akan terus melakukan edukasi, dukungan (advokasi), dan pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan untuk mempercepat pencapaian target 100 persen ODF di wilayahnya.
Pada Kamis (3/7), Pemkot Jaktim telah melakukan sosialisasi BAB sembarangan di Kelurahan Rambutan, Kecamatan Ciracas. Kegiatan itu memberikan edukasi kepada masyarakat pentingnya peduli stop BAB sembarangan dengan pemanfaatan teknologi tepat guna, yakni pemanfaatan biogas.
Eka menilai pemahaman masyarakat terkait teknologi dapat menjadi bagian dari upaya percepatan peningkatan derajat kesehatan masyarakat Jakarta Timur.
“Perilaku buang air besar sembarangan masih menjadi tantangan serius dalam pembangunan kesehatan dan sanitasi,” ujarnya.
Namun, melalui pendekatan inovatif berbasis teknologi tepat guna, seperti pemanfaatan tangki septik komunal biogas dari limbah feses manusia, Pemkot Jaktim tidak hanya fokus mengatasi masalah sanitasi, tetapi juga menciptakan sumber energi alternatif yang ramah lingkungan.
“Sumber energi alternatif ramah lingkungan merupakan bentuk nyata dari transformasi masalah menjadi peluang dengan penggunaan teknologi biogas diterapkan secara partisipatif di masyarakat,” jelas Eka.
Adapun kegiatan stop BAB sembarangan tersebut didukung oleh PMI Jakarta Timur, Baznas Bazis Jakarta Timur dan PT Swen Inovasi Transfer.
Kegiatan juga menggandeng pemerintah tokoh agama, masyarakat, akademisi, dan para stakeholders dalam mewujudkan perubahan perilaku dan penguatan infrastruktur sanitasi yang berkelanjutan.
Sebelumnya, Wali Kota Jakarta Timur (Jaktim) Munjirin terus menggencarkan deklarasi Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) untuk mencegah perilaku warga yang Buang Air Besar (BAB) Sembarangan di wilayahnya.
“Pentingnya deklarasi, kesepakatan bersama, untuk menjaga kebersihan lingkungan dan stop Buang Air Besar Sembarangan (BABS) di lingkungannya,” kata Munjirin saat deklarasi STBM di Kelurahan Ciracas, Jakarta Timur, Senin (19/5).
Dia mengatakan, para ketua RW, lurah, dan camat yang telah bersama-sama mendeklarasikan STBM ini hendaknya dapat merawat dan menjaga kebersihan lingkungannya.
Proses sosialisasi dan edukasi agar masyarakat tidak BABS ini membutuhkan waktu sekitar 1,5 tahun.
Adapun masyarakat yang terbukti melakukan BABS dapat dikenakan sanksi sesuai dengan UU Lingkungan Hidup maupun Perda Ketertiban Umum.
Sumber : Antara
/data/photo/2025/07/09/686daa7a296f7.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)



/data/photo/2025/07/06/686a307b42811.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/07/05/6868c31c74c3e.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)