Komisi II Pertimbangkan Putusan MK soal Bentuk Lembaga Independen Pengawas ASN
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Ketua Komisi II DPR RI Muhammad Rifqinizamy Karsayuda menyatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) akan menjadi pertimbangan dalam revisi UU ASN.
Rifqi menyebutkan, salah satu poin putusan MK yang menjadi pertimbangan adalah permintaan untuk membentuk lembaga independen pengawas aparatur sipil negara (ASN).
“Pertama, tentu Komisi II DPR RI menghormati putusan Mahkamah Konstitusi. Hal ini akan menjadi salah satu masukan dalam revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara yang saat ini sudah teragendakan dalam Prolegnas Prioritas yang disepakati antara DPR dengan pemerintah,” ujar Rifqi dalam siaran pers, Sabtu (18/10/2025).
Rifqi menuturkan, sejak Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dihapus, fungsi pengawasan dan pembinaan terhadap sistem merit dalam birokrasi dijalankan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Politikus Partai Nasdem ini berpandangan, putusan MK ini menekankan perlunya lembaga independen baru yang berfungsi secara otonom.
“Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi ini, maka kita semua wajib mengikhtiarkan hadirnya satu lembaga baru yang bertugas secara otonom untuk memastikan bagaimana seluruh proses mulai dari pengangkatan, mutasi, rotasi, demosi, promosi, sampai dengan pemberhentian aparatur sipil negara dapat dilakukan dengan baik,” kata dia.
Ia pun mengungkapkan Komisi II bersama Badan Keahlian DPR RI tengah melakukan kajian mendalam terkait dua hal penting dalam revisi UU ASN.
Pertama, memastikan sistem meritokrasi diterapkan secara merata di seluruh Indonesia tanpa kesenjangan antara ASN pusat dan daerah.
“Tidak boleh lagi ada kejomplangan antara ASN yang ada di daerah satu dengan daerah lain, maupun ASN di pemerintahan daerah dengan kementerian lembaga,” ucap Rifqi.
Kedua, menjamin kesetaraan kesempatan bagi seluruh ASN untuk menduduki jabatan di kementerian, lembaga, maupun pemerintahan daerah.
Ia menambahkan, Komisi II DPR RI berkomitmen agar niat baik dalam menjaga profesionalitas ASN sejalan dengan semangat putusan MK, terutama untuk mencegah politisasi birokrasi menjelang pemilu maupun pilkada.
“Sehingga niat baik Komisi II DPR RI dengan kehendak putusan Mahkamah Konstitusi ini memiliki keinginan yang sama,” kata Rifqi.
Sebelumnya diberitakan, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, dan Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait ditiadakannya Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
MK memerintahkan pemerintah untuk membuat lembaga independen untuk mengawasi ASN setelah KASN tidak ada.
Dalam sidang pengucapan putusan pada Kamis (16/10/2025), Ketua MK Suhartoyo mengatakan lembaga independen harus segera dibentuk.
MK pun memberikan batas waktu maksimal 2 tahun dalam membentuk lembaga tersebut.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
NGO: Perludem
-
/data/photo/2025/07/23/6880bb2c5b0bf.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Komisi II Pertimbangkan Putusan MK soal Bentuk Lembaga Independen Pengawas ASN Nasional 18 Oktober 2025
-

MK: Lembaga Pengawas Independen Bagi ASN Harus Dibentuk
Bisnis.com, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian uji materiil terhadap aturan pengawasan sistem merit sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (2) huruf d dan Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN).
Gugatan tersebut diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, dan Indonesia Corruption Watch (ICW).
Melalui putusan Nomor 121/PUU-XXII/2024, MK mengharuskan pembentukan lembaga pengawas independen bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), termasuk di dalamnya pengawasan terhadap penerapan asas, nilai dasar, kode etik dan kode perilaku.
“Menyatakan Pasal 26 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6897) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai: Penerapan pengawasan Sistem Merit, termasuk pengawasan terhadap penerapan asas, nilai dasar, kode etik dan kode perilaku Aparatur Sipil Negara yang dilakukan oleh suatu lembaga independen,” kata Ketua MK Suhartoyo, dilansir dari laman resmi MK, Kamis (16/10/2025).
Dalam amar putusan lembaga independen harus dibentuk paling lama 2 tahun setelah pembacaan putusan.
Menurut pandangan Mahkamah pembentukan lembaga independen tidak lepas dari banyaknya intervensi kepentingan politik maupun pribadi kepada pegawai ASN yang berpotensi memengaruhi akuntabilitas para pegawai.
Lembaga independen juga diperuntukkan sebagai penyeimbang pengawas di luar pembuat pelaksana kebijakan untuk memastikan sistem merit berjalan optimal.
“Guna memastikan Sistem Merit berjalan dengan baik, akuntabel, dan transparan, sehingga mampu menciptakan birokrasi yang profesional, efisien, dan bebas dari intervensi politik serta mampu melindungi karier ASN,” ujar Hakim MK, Guntur.
Perintah pembentukan ini sekaligus mewujudkan undang-undang untuk mengatur penyelenggaraan pemerintah yang efektif dan akintabel. Selain itu, menjaga kemandirian ASN serta melindungi karir pegawai ASN.
Dia menuturkan adanya lembaga independen turut membantu manajemen dan tata kelola ASN menjadi lebih baik.
-

Perludem dan FISIP Unair Dorong Kodifikasi UU Pemilu untuk Wujudkan Demokrasi yang Lebih Representatif
Surabaya (beritajatim.com) – Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) bersama Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga mendorong lahirnya Kodifikasi Undang-Undang Pemilu untuk memperkuat sistem demokrasi yang lebih representatif dan efisien.
Seminar bertajuk “Usulan Masyarakat Sipil untuk Perbaikan UU Pemilu” digelar di kampus FISIP Unair, Rabu (8/10/2025), menghadirkan perwakilan akademisi, aktivis, dan pembuat kebijakan.
Direktur Eksekutif Perludem, Heroik Mutaqin Pratama, menegaskan bahwa kodifikasi UU Pemilu merupakan kebutuhan mendesak untuk memperbaiki tata kelola demokrasi dan memperkuat representasi rakyat. Menurutnya, partai politik perlu menjadi institusi yang kuat dan terstruktur agar tidak sekadar menjadi kendaraan politik pragmatis.
“Partai politik yang kuat adalah partai yang memiliki kendali terhadap calon yang diusung dan konsisten antara janji politik serta pelaksanaannya di lapangan,” ujar Heroik.
“Reformasi sistem kepartaian dan pemilu perlu diarahkan agar fungsi representasi tidak hanya bersifat prosedural, tetapi juga substantif,” tambah dia.
Heroik menambahkan, kodifikasi UU Pemilu versi masyarakat sipil mencakup tiga aspek utama yak i sistem, aktor, dan manajemen pemilu. Dia menjelaskan, penyederhanaan regulasi diperlukan untuk menghindari tumpang tindih antara UU Pemilu, UU Partai Politik, dan UU Pilkada.
“Kodifikasi bukan hanya soal penyatuan aturan, tetapi juga tentang memperbaiki cara kita memaknai pemilu sebagai sarana kedaulatan rakyat,” tegas Heroik.
Ketua Komisi II DPR RI, Dr. Muhammad Rifqinizamy Karsayuda, yang hadir secara daring, menilai bahwa proses kodifikasi UU Pemilu harus menjamin keseimbangan antara kepastian hukum dan fleksibilitas pelaksanaan. Dia menyebut, DPR membuka ruang dialog konstruktif dengan masyarakat sipil agar revisi undang-undang tidak sekadar menjadi produk politik, melainkan memperkuat integritas demokrasi .
“Kodifikasi adalah langkah penting untuk menata ulang sistem elektoral kita agar lebih sederhana, efisien, dan selaras dengan prinsip kedaulatan rakyat,” ujarnya.
Dari kalangan akademisi, Drs. Kris Nugroho, M.A., mengungkap lemahnya hubungan antara pemilih dan calon legislatif di Indonesia. Berdasarkan hasil survei FISIP Unair, sebagian besar pemilih tidak memiliki kedekatan langsung dengan calon yang mereka pilih.
“Kondisi ini menunjukkan adanya krisis legitimasi dalam sistem representasi kita. Karena itu, kodifikasi UU Pemilu perlu mengatur mekanisme yang memperkuat akuntabilitas wakil rakyat terhadap pemilih,” jelas Kris.
Sementara itu, Dr. Mohammad Syaiful Aris mengusulkan agar sistem pemilu ke depan mempertimbangkan model Mixed Member Proportional (MMP) kombinasi antara sistem proporsional tertutup dan distrik tunggal. Dia menilai, model ini bisa memperkuat hubungan pemilih dengan wakilnya tanpa mengorbankan stabilitas pemerintahan.
“Model ini bisa memperkuat hubungan pemilih dengan wakilnya, sekaligus menjaga stabilitas pemerintahan dalam sistem presidensial,” ujarnya.
Melalui seminar ini, Perludem dan FISIP Unair berharap proses kodifikasi RUU Pemilu dapat dilakukan secara inklusif, berbasis riset, dan melibatkan partisipasi publik luas.
“Semoga upaya ini mampu melahirkan sistem pemilu yang sederhana, transparan, dan benar-benar mencerminkan kehendak rakyat dalam memperkuat demokrasi Indonesia,” pungkas Heroik.[asg/kun]
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2728662/original/025423800_1550131524-20190214-Pemilu-Disabilitas-8.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Perludem Ungkap Sederet Urgensi Pembahasan RUU Pemilu – Page 3
Perludem menyakini apabila RUU Pemilu menjadi usulan pemerintah maka prosesnya akan lebih cepat lewat pembentukan tim khusus yang bersifat independen sekaligus bertugas menyiapkan naskah akademik.
“Saya rasa tim khusus ini akan lebih objektif, karena kita tahu Undang-Undang Pemilu ini dekat sekali dengan kompetisi,” kata dia.
Yang tidak kalah penting adalah pembahasan RUU Pemilu harus melibatkan partisipasi publik seluas-luasnya, sebab tujuan akhir dari RUU ini untuk meningkatkan kualitas demokrasi atau tidak hanya sebatas kepentingan partai politik.
“Warga berhak tahu apa yang kemudian diusulkan dalam desain Pemilu ke depannya,” ujar Direktur Eksekutif Perludem.
-

Koalisi Masyarakat Sipil Rekomendasikan Prabowo dan DPR Pecat Anggota KPU
Bisnis.com, JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri atas berbagai lembaga demokrasi dan politik, mendesak kepada Presiden Prabowo Subianto dan DPR untuk mengeluarkan rekomendasi pemberhentian atau pemecatan terhadap seluruh Anggota KPU RI periode 2022-2027 kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati yang mewakili koalisi itu, menilai keputusan dan kebijakan buruk yang dikeluarkan oleh KPU, termasuk kebijakan terbaru soal dokumen persyaratan calon presiden dan wakil presiden yang sempat ingin dirahasiakan, tak terlepas dari etika anggotanya yang bermasalah.
“Kami dari koalisi ini juga merasakan penting buat pemerintah, dalam hal ini Presiden untuk melihat kembali kinerja dari KPU periode 2022-2027 untuk dilaporkan kepada DKPP,” kata Mike dikutip dari Antara, Minggu (21/9/2025).
Dia mengatakan permasalahan mendasar pada kelembagaan KPU menjadi salah satu penyebab banyaknya persoalan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 dan Pilkada 2024.
Dia menambahkan, Ketua KPU yang dilantik pada 2022 tersandung kasus yang berkaitan dengan kesusilaan dan kekerasan seksual. Di sisi lain, kata dia, perilaku Anggota KPU juga disorot karena adanya sejumlah penggunaan jet pribadi yang dinilai sebagai praktik pemborosan.
Selain itu, dia juga mendorong kepada DPR sebagai pembentuk undang-undang agar melakukan penataan ulang secara menyeluruh terhadap kelembagaan KPU, membentuk tim seleksi dan mekanisme rekrutmen anggota KPU, dengan merevisi UU Pemilu.
“Kami harap revisi UU Pemilu ini disegerakan,” kata dia.
Dalam hal itu, dia pun mendorong nantinya pemerintah melakukan moratorium pengisian jabatan Anggota KPU hingga disahkannya UU Pemilu yang baru, guna menata ulang seluruh sistem kelembagaan penyelenggaraan pemilu yang selama ini bermasalah.
Sementara itu, Pengajar Hukum Pemilu Universitas Indonesia Titi Anggraini mengatakan bahwa saat ini merupakan momentum yang tepat bagi pemerintah dan DPR berbenah diri dan mengevaluasi proses seleksi anggota KPU atau penyelenggara pemilu.
Dia mengatakan bahwa desakan pemecatan itu sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 120/PUU-XX-2022 yang salah satu poinnya memutuskan bahwa proses rekrutmen anggota KPU harus selesai sebelum tahapan pemilu dimulai.
Artinya, kata dia, proses rekrutmen tidak boleh berlangsung di tengah tahapan pemilu. Maka dari itu, menurut dia, pemerintah perlu menjadikan momen ini sebagai pembenahan bagi masa jabatan penyelenggara pemilu.
Menurut dia, penyelenggara yang bermasalah adalah buah dari proses seleksi yang memiliki problematik. Pemerintah dan DPR harus bertanggung jawab atas permasalahan yang terjadi pada penyelenggara pemilu.
“Mau tak mau harus ada penataan akhir masa jabatan, dan ini momentumnya, makanya tadi tuntutan teman-teman menjadi sangat relevan,” kata Titi.
Dia mengatakan seluruh pihak perlu merekonstruksi model seleksi yang tidak membuat KPU, Bawaslu, DKPP, sebagai bancakan kepentingan politik pragmatis partisan.
“Kita tidak ingin KPU menjadi komisi permasalahan umat,” kata dia.
Adapun koalisi tersebut terdiri dari Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Pusat Studi Hukum Kebijakan (PSHK) Indonesia, Indonesian Corruption Watch (ICW), hingga Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas.
-
/data/photo/2025/05/20/682bfa0e82734.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Perludem Ungkap KPU Sediakan Opsi Caleg Sembunyikan Riwayat Pendidikan Nasional 20 September 2025
Perludem Ungkap KPU Sediakan Opsi Caleg Sembunyikan Riwayat Pendidikan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Direktur Eksekutif Perludem Heroik Mutaqin Pratama mengungkapkan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) memang menyediakan opsi bagi calon anggota legislatif untuk menutupi riwayat pendidikan mereka.
Hal ini disampaikan Heroik menanggapi temuan Badan Pusat Statistik yang menyebut ada 211 anggota DPR-RI yang tidak menyebutkan latar belakang pendidikan mereka saat mendaftar sebagai caleg.
“Kami melihat hal ini tidak terlepas dari situasi yang pada saat pemilu waktu itu KPU memberlakukan opsi bagi calon anggota legislatif untuk bersedia membuka atau menutup CV-nya,” kata Heroik melalui pesan singkat, Jumat (19/9/2025).
Padahal, menurut Perludem, daftar riwayat hidup sangat penting bagi pemilih untuk mengenal lebih jauh calon yang hendak dipilih.
“Selain itu, hal ini tentunya bertentangan dengan prinsip transparansi serta akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemilu,” tandasnya.
Sebelumnya, BPS merilis data Statistik Politik 2024 yang salah satunya membahas soal latar belakang anggota DPR-RI terpilih.
Dalam data BPS tersebut dijelaskan bahwa dari 580 anggota DPR-RI, 211 orang tidak menyebutkan latar belakang pendidikan saat melakukan pendaftaran di KPU.
Saat dikonfirmasi mengenai hal ini, KPU RI meminta waktu karena data terkait latar belakang pendidikan caleg ini perlu diperiksa kembali secara perinci.
“Karena ini persoalan data terinci, maka saya cek terlebih dahulu agar data yang disampaikan terverifikasi,” kata Komisioner KPU Idham Holik, Jumat.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Koalisi Masyarakat Sipil: KPU patut batalkan aturan dokumen capres
Jakarta (ANTARA) – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kodifikasi RUU Pemilu menilai sudah sepatutnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) membatalkan Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025 soal 16 dokumen syarat pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden sebagai informasi publik yang dikecualikan atau tidak bisa dibuka untuk publik tanpa persetujuan capres-cawapres terkait.
Perwakilan koalisi sekaligus Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Heroik Mutaqin Pratama menjelaskan dokumen persyaratan pencalonan menjadi rujukan bagi publik untuk melihat rekam jejak dari para kontestan yang akan menjadi wakil di pemerintahan, sehingga penting untuk dibuka ke publik.
“Jadi, ini bagian dari transparansi publik, yang juga ada dalam Undang-Undang Pemilu,” ucap Heroik dalam konferensi pers usai audiensi dengan Menko Kumham Imipas Yusril Ihza Mahendra di Jakarta, Selasa.
Ia menyampaikan dalam UU Pemilu berbunyi “aspek transparansi merupakan asas dari penyelenggara pemilu di Indonesia sehingga harus dikedepankan”.
Heroik tak menampik pembukaan dokumen persyaratan pendaftaran calon bersinggungan dengan UU Keterbukaan Informasi Publik dan UU Perlindungan Data Pribadi.
Namun, dalam konteks calon eksekutif maupun legislatif, sudah sepatutnya berbagai dokumen persyaratan itu dibuka ke publik karena hal tersebut akan menjadi bentuk transparansi untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap para calon yang akan berkontestasi.
“Ini yang kami dorong juga dalam penyusunan RUU Pemilu, terutama terkait manajemen transparansi penyelenggaraan pemilu,” ucapnya.
Sebelumnya, KPU RI telah membatalkan Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025 soal 16 dokumen syarat pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden sebagai informasi publik yang dikecualikan atau tidak bisa dibuka untuk publik tanpa persetujuan dari capres-cawapres terkait.
“Kami secara kelembagaan memutuskan untuk membatalkan keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025 tentang penetapan dokumen persyaratan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagai informasi publik yang dikecualikan KPU,” kata Ketua KPU RI Afifuddin di Kantor KPU Jakarta, Selasa.
Afif mengatakan KPU telah berkoordinasi dengan sejumlah pihak, salah satunya Komisi Informasi Pusat (KIP), terkait keputusan soal pengecualian informasi publik tersebut.
Ia mengungkapkan peraturan tersebut dibuat dengan menyesuaikan Peraturan KPU, Undang-Undang Pemilu maupun undang-undang terkait lainnya.
“KPU juga harus memedomani hal tersebut sebagaimana saya sampaikan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008 dan juga ada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 terkait Perlindungan Data Pribadi,” ujarnya.
KPU juga mengapresiasi pendapat publik yang banyak disuarakan lewat media sosial sebagai bentuk partisipasi publik terkait Keputusan KPU Nomor 731 tersebut.
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

/data/photo/2024/01/10/659e82d05a7d3.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
