Di Balik Keindahan Monas, PKL Bertahan Hidup Sambil Terus Kucing-kucingan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com —
Kerapian kawasan Monumen Nasional (Monas) kembali dipertanyakan setelah deretan pedagang kaki lima (PKL) dan pedagang asongan memenuhi akses masuk IRTI Monas, Jakarta Pusat.
Di tengah gencarnya penataan oleh Pemprov DKI, kerumunan pedagang justru menjadi pemandangan yang kontras dengan wajah Monas yang semakin tertata.
Deru kendaraan dari Jalan Medan Merdeka tak mampu meredam riuhnya suasana di pintu masuk Monas siang itu. Wisatawan datang silih berganti, ada yang membawa anak kecil berlari menuju gerbang, ada pula yang sibuk berfoto dengan latar Monumen Nasional.
Namun, di balik keriuhan itu, pemandangan lain langsung mencuri perhatian, yaitu pedagang asongan dan PKL yang memadati kiri-kanan jalur masuk. Meski beberapa tahun terakhir Monas terlihat lebih rapi, para pedagang tetap bermunculan—bertahan, berpindah, bahkan kucing-kucingan dengan petugas.
Sejumlah wisatawan mengaku tidak keberatan dengan kehadiran pedagang, karena mereka merasa terbantu. Namun, mereka juga menilai kondisi pintu masuk menjadi semrawut.
Rama (26) pekerja swasta yang datang bersama temannya dari Bandung, mengaku terkejut sekaligus bingung melihat pemandangan pedagang yang ia jumpai.
“Masuk dari pintu utara, kiri-kanan langsung ada pedagang duduk. Saya enggak terlalu terganggu, mengerti ini tempat ramai. Tapi kalau pengunjung banyak, jadi agak sempit,” ujar Rama, Kamis (20/11/2025).
Ia melihat beberapa pedagang tampak waspada seolah takut razia. Meski begitu, ia tetap membeli minuman karena akses ke IRTI cukup jauh.
“Jujur membantu. Kalau harus ke IRTI itu jauh,” katanya.
Menurut dia, penataan kawasan Monas perlu konsisten, tidak terlalu steril namun tidak juga dibiarkan semrawut.
Cinta (38), pengunjung lain asal Bekasi, merasakan hal serupa. Ia tidak mempermasalahkan pedagang minuman atau mainan anak, tetapi jalur masuk menjadi kacau.
“Beberapa kali saya mesti menepi karena kerumunan kecil di depan pedagang es krim,” ujarnya.
Ia melihat petugas Satpol PP lewat, tetapi pedagang tampak tetap bertahan.
“Kasihan juga kalau mereka harus kucing-kucingan terus,” ungkapnya.
Ferdy (19) juga menilai pedagang adalah hal biasa, tetapi merasa terganggu ketika ada pedagang yang mengikuti sambil menawarkan barang.
“Beberapa pedagang nawarin minum sambil ngikutin sedikit. Itu agak mengganggu,” katanya.
Ia turut mendengar keluhan pedagang soal razia dan berharap aturan lebih manusiawi diberlakukan.
Tati (47), pedagang minuman yang sudah lebih dari sepuluh tahun berjualan di sekitar Monas, mengaku tidak punya pilihan selain duduk di pintu masuk.
“Kalau jauh sedikit saja, pembeli enggak nengok. Saya enggak punya modal buat sewa kios,” katanya.
Ia membawa dua kantong besar berisi air mineral, teh botol, dan kopi sachet.
“Kalau hujan, bubar. Kalau razia, baru buka sedikit sudah disuruh pindah,” ujarnya.
Penertiban sering membuatnya tertekan. Menurut dia, aturan penertiban ketat membuat pedagang seperti harus hidup di bawah tekanan.
“Enggak pernah marah sama petugas. Mereka cuma jalankan tugas. Tapi tolong kasih kami tempat khusus dekat pintu,” katanya.
Pada momentum tertentu seperti demonstrasi di sekitar Patung Kuda, Tati memanfaatkan keramaian itu untuk berjualan. Setelah demo berakhir, biasanya dia akan kembali ke Monas.
Pedagang lain Rudi (41) menjual camilan dan mainan anak, pernah punya lapak di dekat IRTI. Namun sejak renovasi beberapa tahun lalu, ia tak bisa lagi masuk ke dalam.
“Kata pengelola nanti ada penataan UMKM. Tapi sampai sekarang enggak jelas,” ucapnya.
Setiap razia, ia mengangkat barang dagangannya dan berpindah ke balik tiang atau tembok untuk menghindari penyitaan. Ia menilai Monas seharusnya bisa menata pedagang, bukan menghilangkan mereka.
“Pengunjung juga beli kok. Artinya kami ada manfaatnya,” katanya.
Nana (32), pedagang permen kapas, mengaku tidak bisa lari saat razia karena barang jualannya besar.
“Jadi saya pura-pura enggak jualan,” ujarnya pelan.
Ia mengakui malu saat digusur di depan umum, namun kebutuhan keluarga membuat ia tetap kembali setiap hari.
Adapun Kamal (58) pedagang es krim dorong, mengaku termasuk yang paling kesulitan saat penertiban.
“Gerobak saya berat. Enggak mungkin kabur. Jadi saya duduk diam saja. Habis petugas pergi, saya buka lagi,” kata pria berusia 58 tahun itu sambil tertawa pahit.
Ia mengakui keberadaan gerobaknya memang mempersempit jalur masuk. Namun ia hanya berharap ada titik yang disediakan pemerintah.
“Kami enggak bandel. Kami cuma hidup,” ujarnya.
Sukma (63), pedagang senior, mengatakan hanya membutuhkan tempat kecil untuk berjualan tanpa diusir. Monas baginya adalah satu-satunya sumber pendapatan.
“Di seberang halte pernah saya coba jualan. Tapi enggak ada yang beli. Jadi balik lagi,” katanya.
Kepala UPK Monas, Muhammad Isa Sanuri, menegaskan pedagang tidak diperbolehkan berjualan di dalam maupun di pintu masuk kawasan Monas.
“Pedagang tidak ada yang masuk kawasan Monas. Tidak boleh ada transaksi jual beli,” ujarnya.
Satu-satunya area yang legal untuk kegiatan usaha adalah Lenggang Jakarta. Isa menyebut koordinasi dengan Satpol PP dilakukan secara rutin, khususnya dengan Satpol PP Kecamatan Gambir.
Penertiban memang kerap dilakukan, bahkan pada 2 Juli 2025 terjadi kericuhan kecil antara PKL dan petugas.
Kepala Satpol PP Jakarta Pusat saat itu, Tumbur Parluhutan Purba, menegaskan bahwa pihaknya wajib menjaga kawasan tetap steril.
“Ada sedikit cekcok karena PKL tidak mengindahkan petugas. Tapi kami lakukan penghalauan semaksimal mungkin, baik stasioner maupun mobile,” ujarnya waktu itu.
Pantauan
Kompas.com
pada Kamis siang menunjukkan pintu masuk Monas tampak semrawut. Jalur pedestrian di sisi pagar berubah menjadi “pasar kecil” spontan.
Pedagang duduk di pot beton, gerobak es krim mangkal di pilar gerbang, dan jajanan anak digantung di bilah bambu.
Di satu sisi, wisatawan tampak terbantu. Di sisi lain, papan larangan berdagang yang terpasang jelas tidak membuat pedagang berhenti.
Ketika petugas berseragam lewat, pedagang cepat gelisah—ada yang menunduk, ada yang mengemas dagangannya sebagian. Kontras antara ketegasan aturan dan kerasnya kebutuhan hidup tampak nyata.
Papan larangan berdagang dipasang jelas di dekat pintu, tetapi tidak membuat pedagang berhenti beraktivitas.
“Ya tetap saja namanya cari rezeki,” kata Kamal.
Monas, ikon wajah Ibu Kota, memperlihatkan tarik-menarik yang belum selesai, yakni wisatawan menginginkan kenyamanan, pengelola menuntut ketertiban, sementara pedagang membutuhkan ruang untuk bertahan hidup.
Hingga solusi permanen ditemukan, pemandangan pedagang memenuhi pintu masuk Monas tampaknya masih akan menjadi bagian dari denyut kawasan tersebut.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
NGO: KontraS
-

Aspermigas Sebut Investasi Hulu Migas RI Tergerus Persaingan Global
Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) menilai kelemahan investasi di sektor hulu minyak dan gas (migas) nasional sebagai ironi.
Pasalnya, Indonesia memiliki potensi sumber daya (resources) migas terbesar di Asia Tenggara. Namun, investasi di sektor yang berisiko tinggi ini dinilai masih lesu, terutama pada kegiatan eksplorasi.
Ketua Komite Investasi Aspermigas Moshe Rizal menyoroti bahwa masalah utama yang dihadapi Indonesia adalah persaingan investasi yang semakin ketat di tingkat global. Kondisi ini diperburuk oleh pergeseran minat investor migas yang kini mulai bertransisi dan beralih ke sektor-sektor baru.
Menurutnya, salah satu tren baru yang kini menjadi pesaing serius adalah investasi di pusat data. Bahkan, berdasarkan laporan International Energy Agency (IEA), investasi data center sudah melampaui investasi di sektor migas.
Dia juga menyebut, sektor migas juga sebelumnya sudah dilewati oleh investasi energi terbarukan (renewable).
“Investor di sektor migas itu semakin lama semakin beralih karena mereka bertransisi juga kan ke sektor-sektor yang baru,” ucap Moshe kepada Bisnis, Selasa (18/11/2025).
Dia menuturkan, saat ini banyak negara lain juga gencar menawarkan insentif dan kemudahan investasi. Hal ini membuat persaingan semakin ketat.
Oleh karena itu, jika Indonesia tidak dapat bergerak dengan kecepatan yang sama, sulit untuk menarik modal investasi hulu migas.
Menurut Moshe, pemerintah perlu lebih cermat dalam menilai kondisi ini. Pemerintah juga perlu fokus pada indikator kunci yang menunjukkan minat investasi baru.
Dia menuturkan, dalam melihat iklim investasi yang sehat di sektor migas, investor selalu memperhatikan dua hal utama. Kedua faktor itu yakni investasi baru dan alokasi dana untuk sektor yang paling berisiko, yaitu eksplorasi.
Faktanya, tren investasi di Indonesia menunjukkan bahwa investasi eksplorasi menurun dan bidding round (lelang wilayah kerja) di Indonesia juga dinilai tidak moncer jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Hal ini kontras dengan potensi resources migas Indonesia yang paling besar di kawasan Asia Tenggara.
Sejatinya, cadangan migas di Indonesia memang terbilang besar. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat cadangan minyak bumi dan kondensat Indonesia mencapai 4,42 miliar barel pada 2025. Sementara itu, cadangan untuk gas mencapai 55,85 triliun kaki kubik (TCF).
Di samping itu, dari total 128 cekungan atau basin yang dimiliki Indonesia, 65 di antaranya belum tereksplorasi.
Perinciannya, 128 cekungan tersebut terdiri atas 20 cekungan yang sudah berproduksi. Lalu, 27 cekungan discovery, 5 cekungan terbukti dengan sistem petroleum, dan 3 cekungan indikasi hidrokarbon.
Kemudian, sebanyak 8 cekungan dengan data geologi dan geofisika serta 65 cekungan belum tereksplorasi. Data tersebut tidak berubah dalam 1 dekade terakhir.
-

Ekonomi Indonesia 2025: Antara ‘Mimpi’ dan Realita
Jakarta –
Proyeksi ekonomi Indonesia 2025 kurang menggembirakan. Hal ini tercermin dalam perkiraan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) bahwa perekonomian Indonesia hanya bisa tumbuh 4,9% tahun 2025. Angka ini jauh dari “mimpi” pemerintah sebesar 6 – 8% hingga tahun 2029.
Sementara, World Economic Outlook (WEO) edisi Oktober 2025 dari International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2025 sekitar 4,9%. Proyeksi ini lebih tinggi 0,1% dari perkiraan sebelumnya sebesar 4,8% tahun 2025.
Selanjutnya, Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2025 dalam rentang 4,6 – 5,4%. Di sisi lain, pemerintah Indonesia menargetkan pertumbuhan ekonomi secara nasional sekitar 5,2% tahun 2025 yang jauh lebih tinggi dari proyeksi World Bank (WB) sebesar 4,8%.
Jika diamati pertumbuhan secara tahunan (year-on-year) per kuartal, pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal pertama hanya 4,87%, meningkat menjadi 5,12% pada kuartal kedua dan melambat menjadi 5,04% pada kuartal ketiga tahun 2025. Realisasi pertumbuhan kuartal ketiga lebih tinggi dibandingkan konsensus ekonom sebesar 5,0%.
Pelambatan pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal ketiga disebabkan oleh penurunan pertumbuhan investasi, yaitu dari 6,99% pada kuartal kedua menjadi hanya 5,04% pada kuartal ketiga tahun 2025. Hal ini, sejalan dengan besarnya proporsi investasi terhadap Gross Domestic Product (GDP) yang hanya 31,48%, sehingga dengan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) sebesar 6,245 maka pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sebesar 5,04%.
Syarkawi Rauf Foto: detikcom/Reno Hastukrisnapati Widarto
Jika besaran investasi sebagai proporsi terhadap GDP, paling tinggi sekitar 33,22% dengan angka ICOR sebesar 6,245, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal keempat 2025 diperkirakan maksimum hanya sekitar 5,32%.
Secara tahunan, masih merujuk pada angka ICOR, yaitu rasio antara investasi per GDP terhadap pertumbuhan output. Dengan angka ICOR sebesar 6,245 dan%tase investasi terhadap GDP sekitar 31 – 32%, maka pertumbuhan ekonomi tahun 2025 hanya akan berada pada rentang antara 4,96 – 5,12%.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2025 masih jauh dari visi jangka panjang pemerintahan Prabowo sekitar 6 – 8%. Proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2025 juga lebih rendah dari target pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 5,2%.
Stagnasi Ekonomi
Stagnasi pertumbuhan ekonomi nasional di sekitar angka 5,0% disebabkan oleh tingginya inefisiensi perekonomian nasional. Hal ini tercermin pada angka ICOR tahun 2025 yang diperkirakan sebesar 6,245.
Angka ICOR Indonesia masih jauh lebih tinggi dibandingkan Vietnam yang hanya 4,6%, Thailand 4,4%, Malaysia 4,5%, dan India 4,5%. Hal ini mencerminkan bahwa perekonomian Indonesia jauh lebih boros, yaitu membutuhkan lebih banyak barang modal atau investasi untuk menghasilkan satu unit tambahan output.
Sebagai perbandingan, dalam kasus India, proporsi investasi terhadap GDP relatif sama dengan Indonesia, yaitu 31,2%. Namun, dengan angka ICOR yang lebih rendah, hanya 4,5, pertumbuhan ekonomi India jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia, yaitu sebesar 6,93%.
Target pemerintah India hingga tahun 2030 adalah menurunkan angka ICOR menjadi hanya 2,7 dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 10%. Dimana, kebutuhan investasi untuk mencapai pertumbuhan 10% hanya sekitar 27% dari GDP India.
Hal ini kontras dengan Indonesia, dengan ICOR sebesar 6,245 maka untuk mencapai pertumbuhan 8,0% saja maka kebutuhan investasinya jauh lebih besar, yaitu sebesar 49,96% dari GDP. Lalu, apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mencapai target pertumbuhan sebesar 6 – 8%?
Langkah paling penting adalah mendorong efisiensi dan mengurangi kebocoran dalam perekonomian nasional, dengan menurunkan angka ICOR dari 6,245 saat ini menjadi hanya 5-6 dalam lima tahun ke depan.
Strategi jangka pendek hingga panjang yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah mendorong inovasi teknologi melalui transformasi digital perekonomian nasional. Akses digital oleh seluruh propinsi dan kabupaten/kota harus mencapai 90%.
Meningkatkan indeks kemudahan berbisnis. Hal ini dapat dilakukan dengan reformasi kelembagaan (institutional reform), khususnya yang berkaitan dengan rule of law yang inklusif, birokrasi yang efisien, tidak ada pungutan liar, transaction cost yang rendah dan lainnya.
Langkah ini tidak hanya akan menurunkan angka ICOR tetapi sekaligus meningkatkan daya tarik investasi Indonesia. Harapannya, peringkat kemudahan dalam berbisnis di Indonesia semakin baik. Paling tidak mendekati peringkat kemudahan berbisnis India pada peringkat 27.
Mengadopsi teknologi digital terbaru melalui penggunaan Artificial Inteligent (AI), machine learning (ML), big data, Internet of Thing (IoT) dan automation dalam perekonomian nasional. Adopsi teknologi digital terbaru akan meningkatkan efisiensi dan mengurangi angka ICOR dari 6,245 menjadi sekitar 5 – 6 dalam lima tahun ke depan.
Menetapkan national champion di sektor manufaktur sebagai fokus pengembangan. Sehingga sebagian besar sumber daya nasional diarahkan untuk meningkatkan efisiensi sektor manufaktur unggulan. Langkah serupa juga pernah dilalukan oleh Jepang dan Korea, dengan sektor manufaktur yang efisien memberikan daya saing di pasar ekspor.
Muhammad Syarkawi Rauf
Dosen FEB Unhas
Ketua KPPU RI 2015-2018Halaman 2 dari 2
(ara/ara)
-

Taufiq MS: Penganugerahan Pahlawan Nasional Harus Jadi Refleksi, Ada Ironi Marsinah dan Soeharto
Surabaya (beritajatim.com) – Politisi muda Surabaya, Taufiq MS, mengajak publik menjadikan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional tahun ini sebagai bahan refleksi sejarah. Menurutnya, ada ironi ketika nama Marsinah, aktivis buruh yang gugur karena melawan represi, bersanding dengan Soeharto, yang berkuasa pada masa ketika penindasan itu terjadi.
“Ada ironi sejarah di sana. Di satu sisi, kita memuliakan korban perjuangan buruh; di sisi lain, kita juga memuliakan penguasa pada masa ketika suara buruh dibungkam,” ujar Taufiq, yang juga Ketua IKA FISIP UINSA, Selasa (11/11/2025).
Ia menilai publik pasti menangkap kontras tersebut sebagai bagian dari perjalanan sejarah bangsa. Situasi itu, kata Taufiq, perlu menjadi renungan bersama agar penghargaan pahlawan tidak berhenti pada seremoni semata. “Ini paradoks yang perlu menjadi bahan refleksi bersama,” tambahnya.
Meski demikian, Taufiq menyampaikan apresiasi terhadap penganugerahan gelar pahlawan kepada seorang kiai asal Madura yang dikenal sebagai guru KH Hasyim Asy’ari. Ia menyebut keputusan itu menunjukkan bahwa perjuangan kemerdekaan tidak hanya terjadi di medan pertempuran.
“Pemerintah telah menunjukkan sikap berkeadilan sejarah. Bahwa pahlawan bukan hanya mereka yang berjuang di medan tempur, tetapi juga para kiai dan guru bangsa yang menanamkan nilai keislaman, kebangsaan, dan kemerdekaan,” kata politisi muda dari Partai NasDem tersebut.
Taufiq juga memberi penghormatan terhadap penganugerahan gelar pahlawan untuk Marsinah, aktivis buruh perempuan yang gugur karena perjuangannya. Ia menyebut figur Marsinah sebagai simbol keberanian perempuan dan keteguhan kelas pekerja melawan ketidakadilan.
“Marsinah adalah simbol perjuangan kelas pekerja dan keberanian perempuan melawan ketidakadilan. Dia pantas mendapatkan gelar itu, bahkan mungkin sudah lama layak,” ujarnya.
Taufiq menegaskan, penghormatan kepada para pahlawan harus diwujudkan melalui kebijakan dan keberpihakan nyata kepada rakyat. Menurutnya, semangat keadilan sosial adalah fondasi yang tidak boleh dilepaskan dari makna kepahlawanan.
“Semangat para kiai dan aktivis seperti Marsinah adalah napas bangsa ini. Jangan sampai penghargaan itu berhenti sebagai simbol dan mengaburkan makna perjuangan,” pungkasnya. [asg/kun]
-
/data/photo/2025/11/10/6911ba9821a46.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Mimpi Besar Layanan Imunoterapi di Indonesia, Jangkau Pelosok hingga Jadi Rujukan Internasional
Mimpi Besar Layanan Imunoterapi di Indonesia, Jangkau Pelosok hingga Jadi Rujukan Internasional
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Rumah Sakit Pusat Pertahanan Negara (RSPPN) Panglima Besar Sudirman, Jakarta Selatan, menjadi saksi peralihan wacana menjadi layanan nyata.
Setelah lama dibicarakan, Imunoterapi Nusantara dan Digital Subtraction Angiography (DSA) kini resmi beroperasi, bukan hanya untuk prajurit TNI, tetapi juga masyarakat umum.
Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin meresmikan layanan tersebut, ditemani Prof.
Terawan
Agus Putranto dan Menteri PPN Rachmat Pambudy pada Senin (10/11/2025).
Pada hari yang sama, Sjafrie menjadi salah satu peserta pertama yang menjalani prosedur: darahnya diambil, diproses, dan akan kembali disuntikkan beberapa hari kemudian.
Menhan Sjafrie
menceritakan, darahnya telah diambil untuk menguji metode baru ini.
“Saya kebetulan diminta mencoba, diambil darah sekitar 40 cc, kemudian diolah di laboratorium,” cerita Menhan.
“Setelah lima sampai tujuh hari, darah itu akan disuntikkan kembali. Semoga ini memberi berkah kesehatan untuk melanjutkan tugas kita,” ujarnya.
Menurutnya, layanan imunoterapi dan DSA tidak hanya diperuntukkan bagi kalangan militer, namun juga masyarakat umum.
“Kita harapkan dapat memberi dorongan kesehatan bagi bangsa Indonesia, terutama bagi mereka yang sudah berusia lanjut,” tambah Sjafrie.
Dalam kesempatan yang sama, Prof. Terawan Agus Putranto menjelaskan bahwa pelayanan imunoterapi dan DSA kini telah siap beroperasi secara penuh di RSPPN Sudirman.
“Menhan sudah meresmikan pelayanan imunoterapi Nusantara dan juga DSA yang hari ini langsung dilakukan. Jadi ini semua sudah siap untuk melayani masyarakat,” kata Terawan.
Ia menuturkan, proses pelayanan berjalan beriringan antara pemrosesan imunoterapi dan pelaksanaan DSA.
“Baik proses DSA maupun imunoterapinya sudah berlangsung hari ini,” ungkap Terawan.
Dia juga berharap RSPPN bisa menjadi rujukan pasien dari luar negeri untuk berobat.
“Rumah sakit ini diharapkan menjadi rumah sakit rujukan internasional, dan memang sudah terbukti, karena pasien-pasien dari luar negeri pun mulai berdatangan ke RSPPN,” lanjutnya.
Menurut Terawan, sejak pekan sebelumnya sudah ada pasien dari luar negeri yang datang untuk mendapatkan layanan tersebut, dan jumlahnya diperkirakan akan terus meningkat.
“Dimulai dari minggu lalu sudah mulai ada yang datang, minggu depan juga akan ada lagi pasien dari luar negeri,” kata dia.
“Kami berharap ini dapat meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat sekaligus menumbuhkan budaya riset dan pengembangan (R&D) di bidang medis nasional,” tambahnya.
Menhan Sjafrie melanjutkan, keberhasilan RSPPN Sudirman dalam layanan imunoterapi dan DSA akan menjadi model pengembangan untuk rumah sakit TNI di seluruh wilayah Indonesia.
“Yang jelas, ilmunya ini dimiliki anak bangsa, oleh Pak Terawan. Karena ini rumah sakit pusat, tentu akan berkembang ke rumah sakit-rumah sakit TNI di daerah melalui kaderisasi yang dilakukan oleh dokter Terawan dan timnya,” ungkapnya.
Imunoterapi merupakan metode pengobatan yang memanfaatkan sistem kekebalan tubuh untuk melawan berbagai penyakit, terutama kanker.
Mekanismenya adalah dengan meningkatkan kemampuan sistem imun mengenali dan menghancurkan sel abnormal, baik melalui pemberian obat, vaksin, antibodi monoklonal, maupun sitokin.
Tujuan utama terapi ini adalah meningkatkan daya tahan tubuh dan mengembalikan kemampuan alami tubuh dalam melawan penyakit, termasuk kanker paru, serviks, ginjal, dan alergi kronis.
Sementara itu, DSA merupakan prosedur pencitraan radiologi untuk menampilkan gambaran pembuluh darah secara detail menggunakan sinar-X dan zat kontras.
Teknologi ini memungkinkan dokter mendeteksi kelainan pembuluh darah seperti aneurisma, penyumbatan, atau malformasi dengan sangat akurat.
Dalam konteks medis modern, DSA dan imunoterapi saling melengkapi DSA untuk diagnosis, imunoterapi untuk pengobatan.
Kombinasi keduanya dapat digunakan, misalnya dalam penanganan penyakit saraf atau kanker otak, di mana DSA membantu memetakan aliran darah dan imunoterapi memperkuat respons tubuh terhadap sel yang rusak.
Terawan menjelaskan, melalui imunoterapi, jika sistem imun terlalu tinggi, terapi ini dapat menurunkannya, dan sebaliknya, jika terlalu rendah, terapi akan meningkatkan kinerja sistem imun. Hal ini, penting untuk menangani inflamasi yang menjadi akar dari berbagai penyakit.
“Imunoterapi itu adalah terapi imun kita. Kalau (imun) terlalu tinggi, akan diturunkan, dikontrol kalau terlalu rendah akan dinaikkan karena itu sangat mempengaruhi inflamasi kita, diabetes dan lain sebagainya,” kata Terawan mengutip Antaranews, November 2024 silam.
Lebih lanjut, Terawan menyoroti potensi imunoterapi dalam mengurangi efek inflamasi dan memacu produksi interleukin yang bersifat anti-inflamasi.
Dengan riset yang sudah berjalan, ia optimistis terapi ini dapat menjadi solusi medis yang andal di masa depan.
Menurut Terawan, inovasi di bidang imunologi juga dapat menjawab tantangan pengobatan modern.
Namun, terkadang riset medis terganjal adanya permasalahan pembiayaan. Hal ini yang ia harapkan dapat dibantu lewat berbagai skema pembiayaan riset, salah satunya lewat sektor perbankan.
Dirinya menyampaikan bahwa pemerintah dan lembaga terkait dapat memberikan dukungan penuh untuk pengembangan riset-riset kesehatan yang relevan, sehingga masyarakat Indonesia dapat menikmati layanan pengobatan yang lebih baik.
“Imunoterapi sudah saya bangun di tujuh tempat. Nanti beberapa negara juga ikut akan saya bangun tapi yang paling dekat adalah Dili, di Timur Leste supaya mereka ada kemajuan teknologi, Karena ini (imunoterapi) merupakan teknologi yang baru, dan kebetulan jurnalnya terbit terus. Kalau jurnalnya terbit terus, itu kan di-review seluruh dunia,” tuturnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5407980/original/014821100_1762759851-Remala.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Remala Ekspansi Jaringan FTTH dari Jawa hingga Bali, Jawab Tantangan Rendahnya Penetrasi Fixed Broadband!
Liputan6.com, Jakarta – Target pemerintah untuk mencapai 50% penetrasi fixed broadband rumah tangga pada 2029 dengan kecepatan 100 Mbps dihadapkan pada realitas data yang menunjukkan kesenjangan signifikan.
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mencatat, jangkauan fixed broadband di Indonesia saat ini baru menyentuh sekitar 21% rumah tangga. Angka ini sangat kontras jika dibandingkan dengan penetrasi internet seluler yang telah meroket hingga 80,66%.
Rendahnya angka tersebut juga diperkuat oleh hasil Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2025 yang menyebutkan hanya 28,43% masyarakat Indonesia yang mengakses fixed broadband terpasang di rumah.
Wakil Presiden Revenue Assurance PT Remala Abadi Tbk. (Remala), Samuel Adi Mulia, menilai rendahnya penetrasi fixed broadband ini justru merupakan peluang emas yang harus dimanfaatkan oleh seluruh pelaku usaha jasa internet di bawah naungan APJII.
Dalam upaya mendukung percepatan dan perluasan fixed broadband pemerintah, Remala mengambil langkah agresif melalui pembangunan dan penggelaran jaringan Fiber To The Home (FTTH) yang membentang dari Jawa hingga Bali.
“Untuk dapat mendukung program pemerintah dalam percepatan serta memperluas fixed broadband di Indonesia, Remala melakukan pembangunan dan penggelaran jaringan FTTH dari Jawa hingga Bali,” ujar Samuel dalam keterangannya, Senin (10/11/2025).
Dalam hal ini Remala tidak hanya mengandalkan pengembangan organik, tetapi juga mengoptimalkan perluasan jaringan FTTH melalui skema Kerja Sama Operasi (KSO) dengan berbagai mitra strategis.
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5407412/original/064794200_1762716411-TV_Samsung.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Samsung Perluas Smart TV hingga 115 Inci, Apa Saja Teknologi Barunya?
Liputan6.com, Jakarta – Di tengah meningkatnya kebutuhan hiburan digital, televisi (smart TV) tetap menjadi pusat aktivitas keluarga di rumah.
Menurut studi terbaru, sebagaimana dikutip dari Samsung Newsroom, Senin (10/11/2025), sekitar 38,7% pengguna internet di Indonesia masih menjadikan smart TV sebagai perangkat utama untuk menikmati konten digital, setelah smartphone dan laptop.
Menariknya, tren menunjukkan permintaan terhadap TV berlayar besar–khususnya di atas 70 inci–terus meningkat.
Menjawab kebutuhan itu, Samsung menghadirkan lini TV layar besar dengan pilihan ukuran mulai dari 75 inci hingga 115 inci, menawarkan pengalaman menonton yang lebih imersif dan jernih.
“Sebagai merek TV nomor satu di dunia selama 19 tahun berturut-turut, Samsung terus menghadirkan inovasi melalui seri Crystal UHD, QLED, The Frame, OLED, Neo QLED 4K, hingga Neo QLED 8K. Big Screen TV kami dirancang bukan hanya untuk hiburan, tapi juga mendukung pekerjaan, pendidikan, dan momen kebersamaan keluarga,” ujar Head of Audio Visual Business Samsung Electronics Indonesia, Lo Khing Seng.
Layar yang lebih besar tidak hanya memperluas pandangan, tetapi juga membawa detail gambar yang lebih tajam dan warna yang lebih kaya.
Samsung menyematkan teknologi baru Big Inch Picture Enhancer yang mampu meredam noise dan memperkuat warna hitam, menghasilkan kontras yang lebih dalam dan realistis.
Selain itu, teknologi Glare Free membantu mengurangi pantulan cahaya dari sinar matahari atau lampu ruangan, sehingga tayangan tetap nyaman ditonton di segala kondisi pencahayaan.
Samsung juga menghadirkan pengalaman menonton layaknya di bioskop melalui teknologi AI Picture dan AI Sound pada seri Neo QLED dan QLED. Kedua fitur berbasis kecerdasan buatan (AI) ini secara otomatis menyesuaikan tampilan dan suara sesuai jenis konten, memberikan hasil gambar yang optimal dan audio seimbang.
Ada pula fitur Active Voice Amplifier (AVA) yang mampu menganalisis kebisingan di sekitar ruangan. Jika suara vacuum cleaner atau percakapan lain mengganggu, TV akan menyesuaikan volume agar dialog di film tetap terdengar jelas.
Dengan kemampuan ini, tayangan film, serial, atau olahraga favorit dapat dinikmati dengan kualitas gambar ultra-detail dan suara sinematik, langsung dari ruang keluarga.
/data/photo/2025/11/20/691f2d6d9a2af.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)

/data/photo/2024/02/19/65d2f4c50dc4f.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
