NGO: KontraS

  • Anggota DPR Dapat Tunjangan Rp 600 Juta untuk Kontrak Rumah 5 Tahun

    Anggota DPR Dapat Tunjangan Rp 600 Juta untuk Kontrak Rumah 5 Tahun

    GELORA.CO – Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menjelaskan polemik soal tunjangan rumah anggota dewan sebesar Rp 50 juta per bulan. Menurutnya, tunjangan tersebut hanya diberikan selama satu tahun, bukan selama lima tahun masa jabatan.

    Tunjangan itu diberikan sejak Oktober 2024 hingga Oktober 2025, dan totalnya mencapai Rp 600 juta. Uang tersebut, kata Dasco, digunakan untuk mengontrak rumah selama lima tahun masa kerja anggota DPR periode 2024–2029.

    “Rp 50 juta dari bulan Oktober 2024 sampai dengan bulan Oktober 2025, yang mana uang tersebut akan dipakai untuk kontrak rumah selama masa jabatan anggota DPR 5 tahun yaitu selama 2024 dan sampai dengan 2029,” kata Dasco di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (26/8/2025).

    Take Home Pay Dipastikan Turun

    Oleh karena itu, Dasco memastikan, pada November 2025 seluruh anggota Dewan tidak lagi mendapatkan tunjangan rumah.

    “Jadi nanti jikalau temen-temen melihat daftar tunjangan di bulan November 2025, itu yang Rp 50 juta sudah nggak ada lagi. Ya mungkin memang penjelasannya kemarin kurang lengkap, kurang detail, sehingga menimbulkan polemik di masyarakat luas,” kata Dasco.

    Selain itu, lanjutnya, pada November 2025, maka take home pay anggota dewan tidak sampai Rp 100 juta sebulan.

    “Kalau tunjangan perumahan itu sudah hilang, ya kan tidak segitu besar lagi,” pungkasnya.

    Besarnya Tunjangan Anggota DPR Lukai Hati Rakyat

    Direktur Indonesia Political Review (IPR) Iwan Setiawan menilai besarnya tunjangan dan gaji anggota DPR sangat melukai hati rakyat yang mereka wakili. Dia menegaskan, tidak ada anggota DPR yang hidup dalam kekurangan sehingga tambahan tunjangan besar dinilai berlebihan.

    “Malahan justru harus dikurangi. Mestinya Menteri Keuangan mengikuti semangat efisiensi dan penghematan anggaran yang digaungkan Presiden Prabowo Subianto,” ujarnya.

    Iwan bahkan memperingatkan, kebijakan seperti ini bisa memicu keresahan publik.

    “Bisa saja akan menciptakan demo besar-besaran,” katanya.

    Ketidakadilan Sosial

    Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal pun menilai tunjangan jumbo DPR sebagai bentuk nyata ketidakadilan sosial.

    “Saya baca suatu rilis dari BBC Online yang dari Inggris, di situ dikatakan pendapatan DPR Rp 104 jutaan per bulan, memang paling besar tunjangan perumahan Rp 50 juta saya lihat,” ujarnya, Kamis (21/8/2025).

    Menurut Said, jika dihitung, gaji pokok dan tunjangan DPR berada di kisaran Rp 54 juta. Ditambah fasilitas lainnya, total bisa mencapai lebih dari Rp 100 juta per bulan atau sekitar Rp 3 juta lebih per hari.

    Kondisi ini, kata Said, sangat kontras dengan nasib buruh yang upah minimumnya di Jakarta hanya sekitar Rp 5 juta per bulan, atau Rp 150 ribu per hari.

    “Kita bandingkan karyawan outsourcing kontrak yang di Jakarta upahnya Rp 5 juta bagi 30 hari hanya sekitar Rp 150 ribuan, anggota DPR Rp 3 juta lebih per hari, buruh yang pontang-panting Rp 150 ribu per hari,” ujarnya.

    Said menegaskan, saat buruh masih berjuang keras menuntut kenaikan upah minimum, wakil rakyat justru menikmati fasilitas dan tunjangan besar. Hal ini dianggap mencerminkan sistem yang tidak adil di tengah kesulitan ekonomi masyarakat.

  • Menghitung Anggaran yang Dikeluarkan Negara untuk Tunjangan Rumah Anggota DPR Total Rp 348 Miliar – Page 3

    Menghitung Anggaran yang Dikeluarkan Negara untuk Tunjangan Rumah Anggota DPR Total Rp 348 Miliar – Page 3

    Direktur Indonesia Political Review (IPR) Iwan Setiawan menilai besarnya tunjangan dan gaji anggota DPR sangat melukai hati rakyat yang mereka wakili. Dia menegaskan, tidak ada anggota DPR yang hidup dalam kekurangan sehingga tambahan tunjangan besar dinilai berlebihan.

    “Malahan justru harus dikurangi. Mestinya Menteri Keuangan mengikuti semangat efisiensi dan penghematan anggaran yang digaungkan Presiden Prabowo Subianto,” ujarnya.

    Iwan bahkan memperingatkan, kebijakan seperti ini bisa memicu keresahan publik.

    “Bisa saja akan menciptakan demo besar-besaran,” katanya.

    Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal pun menilai tunjangan jumbo DPR sebagai bentuk nyata ketidakadilan sosial.

    “Saya baca suatu rilis dari BBC Online yang dari Inggris, di situ dikatakan pendapatan DPR Rp 104 jutaan per bulan, memang paling besar tunjangan perumahan Rp 50 juta saya lihat,” ujarnya, Kamis (21/8/2025).

    Menurut Said, jika dihitung, gaji pokok dan tunjangan DPR berada di kisaran Rp 54 juta. Ditambah fasilitas lainnya, total bisa mencapai lebih dari Rp 100 juta per bulan atau sekitar Rp 3 juta lebih per hari.

    Kondisi ini, kata Said, sangat kontras dengan nasib buruh yang upah minimumnya di Jakarta hanya sekitar Rp 5 juta per bulan, atau Rp 150 ribu per hari.

    “Kita bandingkan karyawan outsourcing kontrak yang di Jakarta upahnya Rp 5 juta bagi 30 hari hanya sekitar Rp 150 ribuan, anggota DPR Rp 3 juta lebih per hari, buruh yang pontang-panting Rp 150 ribu per hari,” ujarnya.

    Said menegaskan, saat buruh masih berjuang keras menuntut kenaikan upah minimum, wakil rakyat justru menikmati fasilitas dan tunjangan besar. Hal ini dianggap mencerminkan sistem yang tidak adil di tengah kesulitan ekonomi masyarakat.

  • Rakyat Diimbau Patuh Pajak, Tapi Korupsi Datang Silih Berganti

    Rakyat Diimbau Patuh Pajak, Tapi Korupsi Datang Silih Berganti

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah terus berupaya meningkatkan rasio pajak. Mereka mengimbau kepada masyarakat supaya patuh melaporkan pajaknya. Tak tanggung-tanggung, pemerintah bahkan akan melibatkan aparat penegak hukum untuk mendukung tujuannya. Belum lagi beban pungutan yang menumpuk, semakin menghimpit posisi masyarakat.

    Namun demikian, imbauan itu seolah kontras dengan praktik korupsi yang terjadi belakangan ini. Ibarat parasit, praktik korupsi terjadi begitu akut, tidak hanya anggaran yang menjadi bancakan, penyelenggaraan haji hingga bantuan orang miskin pun tidak luput dari praktik tercela tersebut. Indikasi massifnya praktik korupsi itu bisa dilihat dari indeks persepsi korupsi yang nyaris terjebak di kisaran

    Sekadar informasi, skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia selama lima tahun ke belakang cenderung stagnan hingga menurun. Baru pada 2024, skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Indonesia yang dinilai secara global pada total 180 negara oleh Transparency International, menguat ke 37 setelah tiga tahun sebelumnya melemah. 

    Dalam catatan Bisnis, skor IPK pernah melambung tinggi hingga 40 pada 2019. Namun, saat itu juga terjadi kontroversi revisi UU KPK yang dinilai banyak kalangan melemahkan kewenangan pemberantasan korupsi dari lembaga warisan pascareformasi itu. 

    Setelah itu, skor IPK mengalami penurunan dan stagnasi yakni menjadi 37 pada 2020, naik tipis ke 38 pada 2021, dan akhirnya turun dan diam di level 34 pada 2022 dan 2023. “Hari ini CPI Indonesia sepanjang 2024 ada dengan skor 37 dan rangkingnya 99. Artinya apa? Terjadi peningkatan 3 poin dari tahun 2023 ke 2024,” ujar Deputi Sekjen TII Wawan Heru Suyatmiko pada Peluncuran CPI 2024, beberapa bulan lalu.

    Adapun pada 2024, peringkat Indonesia di 180 negara juga naik yakni ke peringkat ke-99 dari sebelumnya ke-115 pada 2023 lalu. Di Asean, dari segi skor IPK atau CPI, Indonesia masih menduduki peringkat ke-5 di bawah Singapura (83), Malaysia (50), Timor Leste (43) dan Vietnam (41). Namun, skor Indonesia terpantau naik dari tahun sebelumnya jika dibandingkan sejumlah negara Asean lain.  

    Sementara itu kalau mengacu data KPK, saat ini pelaku korupsi telah menyebakar ke seluruh lapisan kekuasaan termasuk swasta. Sampai 11 Agustus 2025 lalu, setidaknya mayoritas koruptor berlatar belakang swasta dengan jumlah sebanyak 485. Pejabat eselon 1 hingga IV menyusul dengan angka 443. Anggota DPR dan DPRD, berada di peringkat 3 dengan jumlah koruptor sebanyak 364 orang.

    Selain peringkat tiga besar, data KPK tersebut juga merekam profesi hakim, jaksa, dan polisi sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Keterlibatan penegak hukum itu menujukkan bahwa, korupsi tidak mengenal latar belakang, seorang penegak hukum yang harusnya menegakan hukum juga tidak luput dari praktik korup tersebut.

    Presiden Prabowo Subianto sejatinya telah mengingatkan bahwa pemerintahannya akan menindak para perwira aktif maupun mantan dari TNI maupun Polri, hingga politisi partai politik yang melakukan korupsi dan melakukan perbuatan ilegal. Dia tak mengecualikan peringatan itu kepada partainya sendiri, Partai Gerindra. 

    Bahkan, Kepala Negara menyarankan para terduga pelaku dari kalangan pejabat-pejabat itu untuk melaporkan diri sendiri ke aparat. 

    “Sebagai sesama pimpinan partai saya ingatkan anggota-anggota semua partai termasuk partai saya Gerindra, cepat-cepat kalau ada terlibat anda jadi justice collaborator. Anda laporan saja, karena walaupun kau Gerindra, tidak akan saya lindungi saudara-saudara. Kalau ada yang berani. Saya telah perintahkan Panglima TNI dah Kapolri,” tuturnya.

    Rakyat Disuruh Patuh Bayar Pajak

    Adapun pemerintah telah berulangkali mengimbau supaya masyarakat tetap patuh membayar pajak.  Pemerintah bahkan akan melibatkan aparat penegak hukum untuk melakukan penindakan demi mengejar target penerimaan pajak di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 sebesar Rp2.357,7 triliun. 

    Pada paparannya kepada Komisi XI DPR, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa target penerimaan pajak 2026 itu merupakan bagian dari target pendapatan negara yang dipatok Rp3.147,7 triliun.

    Khusus untuk pajak, Sri Mulyani menyebut akan melakukan berbagai langkah reformasi (reform) untuk mencapai target rasio pendapatan negara yakni 12,24% terhadap PDB.  “Rasio pendapatan negara diharapkan naik ke 12,24% [terhadap] PDB. Rasio pajak naik ke 10,47%,” terang Bendahara Negara di hadapan Komisi XI DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (22/8/2025). 

    Ada 4 langkah yang disiapkan pemerintah untuk memastikan kepatuhan wajib pajak. Pertama, pemanfaatan Coretax dan sinergi pertukaran data kementerian/lembaga atau stakeholders lain.  Kedua, sistem pemungutan transaksi digital dalam negeri dan luar negeri.

    “Sudah kita rintis tahun ini, dan kita harap main efektif,” tambahnya. 

    Ketiga, joint program dalam analisis data, pengawasan, pemeriksaan, intelijen, dan kepatuhan perpajakan. Upaya yang ditempuh di antaranya adalah menggaet penegak hukum.  “Termasuk dalam hal ini Dirjen Pajak bekerja erat dengan aparat penegak hukum, KPK, Kejaksaan dan Kepolisian, bahkan NGO dalam rangka untuk menciptakan enforcement yang reliable dan credible,” tuturnya. 

    Keempat, yakni memberikan insentif daya beli, investasi dan hilirisasi. Kini, pendapatan negara maupun belanja dan rencana defisitnya akan dibahas lebih lanjut oleh Panja DPR sebelum diambil keputusan sore ini.

    Pajak Daerah Semakin Mencekik

    Selain dikejar pajak dari pemerintah pusat, masyarakat belakangan ini juga dihimpit oleh kenaikan pajak daerah yang naiknya ratusan hingga ribuan persen.

    Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto menyebut bahwa Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) masih menjadi sumber utama Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi sebagian besar pemerintah kota/kabupaten di Indonesia.

    Bima mengungkapkan, rata-rata kontribusi PBB-P2 terhadap PAD mencapai 30—40% dari total pendapatannya di seluruh kabupaten/kota. Kondisi itu menunjukkan ketergantungan fiskal daerah yang cukup tinggi terhadap PBB-P2 demi menaikkan pendapatannya.

    Dia tidak menampik bahwa ada ratusan daerah yang menaikkan tarif PBB-P2 selama 2025, di tengah adanya efisiensi anggaran transfer ke daerah (TKD) pada tahun ini dan tahun depan.

    “Secara umum, PBB-P2 lah yang jadi andalan atau primadona dari kota dan kabupaten seluruh Indonesia,” ujar Bima dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR, Senin (25/8/2025).

    Apabila dirincikan, dia menjelaskan bahwa karakteristik pajak daerah sangat bergantung pada potensi lokal. Misalnya, pajak kendaraan bermotor dominan di provinsi dengan populasi besar seperti Jawa Barat dan Jawa Timur.

    Sementara itu, pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) seperti pajak jasa perhotelan dan hiburan menjadi penyumbang signifikan di daerah wisata dan kota metropolitan seperti Yogyakarta dan Medan. Hanya saja, di luar karakteristik spesifik tersebut, PBB-P2 menjadi andalan hampir di seluruh daerah.

    Lebih lanjut, Bima menjelaskan bahwa Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) membagikan kapasitas fiskal daerah menjadi tiga. Dari 38 provinsi, hanya 11 provinsi atau 29% yang memiliki kapasitas fiskal kuat, dengan rasio PAD lebih tinggi dari transfer pusat.

    Di tingkat kabupaten, dari 415 kabupaten, hanya 4 kabupaten atau 1% yang mampu berdiri dengan kapasitas fiskal kuat. Untuk 93 kota, hanya 11 kota yang masuk kategori kuat, sedangkan mayoritas atau 70 kota masih memiliki kapasitas fiskal rendah.

    “Ini mengkonfirmasi bahwa sebagian besar kapasitas fiskal daerah masih lemah. Pekerjaan kita ke depan adalah meningkatkan kemandirian fiskal daerah,” ujarnya.

    Kemendagri, sambungnya, melakukan mitigasi dengan berkoordinasi dengan pemerintah daerah. Kemendagri mendorong untuk melakukan pendataan ulang, mendorong untuk meningkatkan kesadaran masyarakat pajak, memberikan pelatihan berkala kepada petugas pemungutan, penguatan regulasi, bangun sistem pemungutan pajak yang berbasis digital, dan juga sinergi antar lembaga.

    Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi II DPR Aria Bima menyebutkan bahwa penurunan anggaran transfer ke daerah (TKD) sebesar 24,8% dari Rp864,1 triliun (outlook APBN 2025) menjadi Rp650 triliun (RAPBN 2026) mendorong banyak pemerintah daerah melakukan langkah instan.

    Menurut Bima, banyak kepala daerah yang manaikkan tarif PBB-P2 untuk menggenjot PAD. Masalahnya, kebijakan ini akan menimbulkan resistensi sosial karena akan langsung membebani masyarakat. “Kemendagri menyebut kurang lebih 104 daerah mengalami kenaikan PBB tahun 2025. Sebanyak kurang dari 20 daerah mengalami kenaikan di atas 100%,” kata dia.

  • Noel dan Kegagalan Memaknai Amnesti
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        26 Agustus 2025

    Noel dan Kegagalan Memaknai Amnesti Nasional 26 Agustus 2025

    Noel dan Kegagalan Memaknai Amnesti
    Analis Hukum dan Politik dari Gajah Mada Analitika

    Constitution is a flexible and pragmatic charter, not a fixed and immutable artifact
    ” – Farah Peterson (2020).
    PETERSON
    tepat, perubahan konstitusi memang suatu keniscayaan sebab ia bukan artefak yang tetap.
    Sehubungan itu, publik kembali dikejutkan oleh operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjerat Immanuel “Noel” Ebenezer, Wakil Menteri Ketenagakerjaan.
    Tak lama setelah ditetapkan sebagai tersangka, ia menyampaikan permintaan maaf sekaligus harapan agar Presiden Prabowo Subianto memberinya amnesti.
    Seturutnya, dalam Seminar Konstitusi bertema Dialektika Konstitusi yang diselenggarakan MPR, Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul selaku salah satu narasumber turut menyinggung ihwal abolisi dan amnesti sebagai ‘terobosan’ yang menyiratkan adanya peran “Korea” di baliknya.
    Ada relasi implisit yang terhubung antara harapan Amnesti Noel, “Korea”, dan amandemen konstitusi.
    Sebetulnya, harapan Noel bukan tanpa alasan. Publik tentu mengingat, beberapa waktu sebelumnya, Presiden Prabowo telah memberikan pengampunan berupa abolisi dan amnesti kepada Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto. Dua figur politik yang bukan loyalis pemerintahan saat ini.
    Ucapan Noel jelas sarat makna. Baginya, jika pihak yang berada di luar lingkaran politik presiden saja bisa mendapat pengampunan, maka sebagai loyalis tentu tidak mustahil ia berharap mendapat perlakuan serupa.
    Namun, harapan itu justru memunculkan problem tidak sederhana: apakah kewenangan konstitusional presiden memberi abolisi dan amnesti memang sepenuhnya dapat digunakan atas dasar pertimbangan politik, nir-indikator hukum yang jelas?
    Hal demikian menjadi relevan di tengah wacana keinginan MPR untuk melakukan amandemen konstitusi seperti terefleksi dalam kegiatan Seminar Konstitusi yang diselenggarakan oleh MPR di Gedung Nusantara V belum lama ini (21/8/2025).
    Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 telah menegaskan: “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”. Rumusannya sederhana, bahkan minim kriteria substantif.
    Di sinilah ruang tafsir menjadi terbuka. Padahal, dalam teori konstitusi, setiap teks konstitusi adalah janji yang harus ditafsirkan dalam bingkai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum (Alexander Bickel, 1986).
    Jimly Asshiddiqie (2005) menekankan, konstitusi tidak boleh dipahami semata sebagai teks normatif, melainkan sebagai
    living constitution
    yang senantiasa ditafsirkan sesuai semangat zaman.
    Maka, pemberian pengampunan oleh presiden semestinya ditafsirkan bukan hanya sebagai hak prerogatif politik, melainkan sebagai kewenangan konstitusional yang terikat pada prinsip keadilan publik.
    Dari perspektif teori penafsiran konstitusi, memang ada ruang elastis untuk memberikan makna baru atas pasal-pasal UUD 1945.
    Tidak heran bila Alexander Bickel dalam uraiannya yang lain menyebut: konstitusi selalu lebih besar daripada teksnya, sebab nilainya hidup dalam tafsir.
    Dalam episentrum itu, maka butuh tafsir yang sehat guna melahirkan praktik ketatanegaraan yang adil. Namun sebaliknya, tafsir yang politis berpotensi menggerus legitimasi demokrasi konstitusional.
    Di titik inilah pernyataan Bambang Pacul dalam forum Seminar Konstitusi menjadi relevan. Ia menyatakan bahwa kebijakan pengampunan Prabowo terhadap Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto tak lepas dari peran “Korea” di balik hak prerogatif presiden itu.
    Istilah “korea” merupakan metafora yang menggambarkan mereka yang selalu melompat lebih maju dibanding orang lain, berusaha keras menaikkan derajat sosial melalui kerja keras, bukan jalan pintas.
    Dalam tafsir simbolik ini, seorang “Korea” sebetulnya menyiratkan kita pada konsep negarawan: sosok yang menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi. Boleh jadi, ia justru menjadi salah satu ciri dari kenegarawanan itu sendiri.
    Dalam kaitan itu, kasus korupsi yang menjerat Noel sesungguhnya menunjukkan kebalikan dari semangat kenegarawanan dalam konstitusi. Sebagai pejabat negara, dengan segala fasilitas dan kepercayaan publik, korupsi sama sekali tidak bisa dibenarkan.
    Lompatan status sosial, sebagaimana menjadi ciri “Korea” yang acapkali digaungkan Bambang Pacul, yang mestinya dicapai melalui kerja keras dan integritas, malah ditempuh dengan jalan tikus bernama korupsi. Makna “korea” dalam kasus Noel pun mengalami degradasi.
    Jika konsep “Korea” hendak dijadikan pijakan, maka perubahan konstitusi yang kini didiskusikan semestinya mengarah pada perumusan syarat negarawan bagi jabatan-jabatan publik.
    Ini menjadi momen mengonstruksi makna “korea” sejati: seorang negarawan yang menjauhi korupsi.
    Selama ini, hanya hakim Mahkamah Konstitusi yang secara eksplisit dipersyaratkan sebagai negarawan (Pasal 24C ayat 5). Jabatan menteri dan wakil menteri pun luput dari syarat kenegarawanan.
    Di sisi lain, amat mungkin aspek kenegarawanan dijadikan sebagai salah satu indikator konstitusional bagi presiden dalam memberikan pengampunan melalui abolisi dan amnesti.
    Dengan begitu, jabatan publik akan diisi oleh orang-orang yang menghayati integritas, bukan sekadar mencari celah untuk memperkaya diri. Pun demikian, amnesti yang diberikan dapat benar-benar mengarah hanya kepada mereka yang memang pantas untuk mendapatkannya.
    Kasus pengampunan yang diberikan kepada Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong telah menunjukkan pro dan kontra.
    Di satu sisi, ia dipuji sebagai langkah berani presiden untuk menutup polemik hukum yang berbau politik. Di sisi lain, publik khawatir amnesti dan abolisi bisa menjadi instrumen politisasi hukum.
    Pada titik inilah gagasan amandemen konstitusi relevan dilakukan: merumuskan kriteria obyektif agar pengampunan tidak semata-mata bergantung pada selera politik.
    Manakala mereka “para Korea” mengalami kriminalisasi berbau politik kuasa, maka jalan pengampunan melalui amnesti atau abolisi dengan indikator konstitusional yang jelas terbuka lebar.
    Amnesti dalam makna “Korea”—memang bisa saja dimaknai bahwa pengampunan itu sebagai terobosan politik. Namun, dalam optik kenegarawanan, “Korea” boleh dimaknai dalam konteks bahwa seorang negarawan adalah mereka yang menjauhi segala tindakan koruptif.
    Kerja keras, berfikir “out of the box”, dan konsistensi untuk melakukan lompatan bukan berarti harus melanggar konstitusi, termasuk korupsi.
    Seorang “Korea sejati” akan memaknainya sebagai instrumen keadilan restoratif yang mengembalikan marwah hukum.
    Jika syarat negarawan ini diperluas dalam konstitusi, maka pemberian pengampunan pun akan lebih legitimate dan terjaga dari manipulasi politik.
    Kasus Noel seharusnya menjadi pelajaran kolektif. Sebagai wakil menteri, ia sudah menapaki tangga sosial tertinggi yang mestinya tidak lagi memerlukan korupsi. Namun, jalan pintas tetap dipilih dan kini ia justru berharap presiden mau menurunkan “tali pengampunan.”
    Di sinilah publik melihat kontras tajam antara mereka yang “Korea sejati” dengan yang bukan. Tak ayal, ini momentum untuk memaknai kembali apa sebetulnya “korea” dalam optik ketatanegaraan dan kenegarawanan.
    Momentum Seminar Konstitusi oleh MPR baru-baru ini yang membicarakan amandemen UUD 1945 tidak boleh berhenti pada wacana.
    Ia mesti menjadi kesempatan berharga untuk menyempurnakan aturan tentang abolisi dan amnesti, memperluas syarat kenegarawanan, dan memperkuat integritas jabatan publik.
    Dengan begitu, konstitusi benar-benar hadir sebagai benteng yang melindungi rakyat dari politisasi hukum. Sekaligus, mencegah lahirnya pejabat “setengah Korea” yang mudah tergelincir dalam korupsi.
    Karena itu, pertanyaan paling menggugah hari ini bukanlah apakah Noel akan mendapat amnesti, melainkan: apakah bangsa ini berani memastikan hanya “Korea” sejati—negarawan yang berintegritas—yang layak duduk di kursi kekuasaan?
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • “Dia Baik, Tapi” Eks Karyawan Ungkap Fakta Beda Otak Pembunuh Kacab Bank BRI

    “Dia Baik, Tapi” Eks Karyawan Ungkap Fakta Beda Otak Pembunuh Kacab Bank BRI

    GELORA.CO –  “Dia baik, tapi…,” begitu pengakuan seorang mantan karyawan yang pernah bekerja dengan sosok otak pembunuh Kepala Cabang Bank BUMN Muhammad Ilham Pradipta (MIP) berinisial DH.

    Kesaksian itu membuka tabir sisi kontras sang pelaku DH, yang di balik sikap ramah dan perilaku seolah tak mencurigakan.

    Kini justru seorang pelaku yang dikenalnya itu diduga terlibat dan menjadi otak pembunuhan Ilham Pradipta.

    Pengakuan itu disampaikan seseorang dengan akun TikTok obat nyamuk.

    Ia mengaku mengenal secara jelas pria berkaos garis-garis itu berinisial DH yang baru saja ditangkap polisi menjadi otak pembunuhan MIP.

    Pria itu disebut-sebut pernah mengisi sebuah seminar.

    Akun itu menduga kalau motif penculikan dan pembunuhan Ilham Pradipta karena kredit fiktif.

    “kredit fiktif si dugaannya,” tulis dia dikutip dari TribunBogor, Senin (25/8/2025)

    Ia pun mengungkap sosok DH saat ia masih bekerja dengannya.

    Menurutnya, DH merupakan orang yang baik dan sering memberikan beasiswa.

    Sebagai mantan karyawannya, ia mengaku kaget dengan berita tersebut.

    Ia menyebutkan, sosok DH sangat baik, tapi sosok DH juga sering menebar kebaikan lainnya dengan memberikan beasiswa kepada karyawannya.

    “engga kak,orangnya baik banget soalnya,suka kasih beasiswa juga,makannya lumayan kaget denger beritanya,” tulis dia lagi.

    Otak Pembunuhan MIP Ditangkap

    Di sisi lain, otak pelaku penculikan dan pembunuhan Kepala Cabang Bank BUMN Mohamad Ilham Pradipta sudah ditangkap.

    Polda Metro Jaya menangkap empat tersangka yang berinisial C, DH, YJ, dan AA.

    Empat orang yang merupakan aktor intelektual kasus penculikan dan pembunuhan Ilham Pradipta itu ditangkap tim gabungan dari Polda Metro Jaya, Polda Kota Semarang, dan Polda Demak.

    DH, YJ, dan AA ditangkap pada 23 Agustus 2025, pukul 20.15 WIB, di wilayah Solo, Jawa Tengah.

    Sementara C ditangkap pada 24 Agustus 2025, di wilayah Pantai Indah Kapuk (PIK), Jakarta Utara.

    Tiga otak pelaku pembunuhan ditangkap pada Sabtu (23/8/2025), pukul 20.15 WIB.

    Tiga pelaku yang ditangkap berinisial DH, YJ, dan AA.

    Dalam video yang dibagikan Instagram @jacklyn_choppers, terekam jelas aksi kejar-kejaran yang berakhir dengan penangkapan para pelaku.

    Sosok polisi legendaris di balik operasi itu yang terlihat di kamera adalah Jacklyn Choppers.

    Polisi nyentrik yang dikenal pernah “selamat dari 11 tembakan” dalam aksinya memburu penjahat itu ikut terlibat dalam operasi ini.

    Kehadirannya membuat momen penangkapan terasa dramatis, sebab publik kembali disuguhkan keberanian dan insting tajam seorang aparat dalam melakukan perburuan penjahat.

    Dalam video yang dibagikan, tampak aksi kejar-kejaran mobil Tim gabungan unit Jatanras Polda Metro Jaya, Polrestabes Semarang dan Polres Demak.

    Mereka mengejar mobil pelaku di jalanan. 

    Mobil polisi berhasil memepet hingga akhirnya menghentikan mobil pelaku. 

    Suasana kejar-kejaran itu sempat pecah.

    “Pepet, pepet! Cepet!” kata polisi di dalam mobil. 

    Setelah berhasil menghentikan kendaraan para pelaku, polisi pun meminta mereka semua untuk segera keluar. 

    “Turun semua!”

    Para pelaku dipaksa keluar dari mobil dan diperintahkan untuk tiarap di jalanan basah. 

    Dengan gerakan cepat, tangan polisi lalu memborgol pergelangan tangan mereka.

    Proses penangkapan para pelaku kejahatan yang mengorkestrasi pembunuhan Ilham sempat mencuri perhatian warga sekitar. 

    “Diam-diam,” teriak aparat ke para pelaku. 

    Anggota Subdit Jatanras Polda Metro Jaya, Aiptu “Jacklyn Choppers” Zakaria alias Bang Jack, ikut dalam proses kejar-mengejar itu. 

    Di dalam mobil, ia langsung melakukan interogasi singkat. 

    Telepon genggam pelaku tampak diperiksa. 

    MIP Tewas

    Mohamad Ilham Pradipta merupakan Kepala Cabang Bank BUMN di Cempaka Putih, Jakarta Pusat.

    Ia tinggal di Jalan Rimba, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor.

    Ilham diculik sejumlah orang menggunakan mobil putih di parkiran supermarket kawasan Pasar Rebo, Jakarta Timur, Rabu (20/8/2025).

    Jasadnya kemudian ditemukan di Desa Nagasari, Serang Baru, Bekasi, pada pukul 05.30 WIB pada Kamis (21/8/2025).

    Kondisi Ilham saat ditemukan yakni tangan dan kakinya terikat.

    Ilham juga masih mengenakan pakaian yang sama seperti saat ia diculik.

  • Habis Nyakitin Rakyat, Nafa Urbach Minta Maaf Soal Dukungan Tunjangan Rumah DPR Rp50 Juta

    Habis Nyakitin Rakyat, Nafa Urbach Minta Maaf Soal Dukungan Tunjangan Rumah DPR Rp50 Juta

    GELORA.CO –  Nafa Urbach minta maaf. Nafa Urbach kembali menjadi sorotan publik setelah pernyataannya soal tunjangan rumah DPR menuai kritik luas.

    Artis yang kini duduk sebagai anggota DPR RI periode 2024–2029 itu sempat mendukung adanya tunjangan rumah DPR sebesar Rp50 juta per bulan.

    Menurut Nafa Urbach, tunjangan rumah DPR dianggap sebagai bentuk kompensasi setelah fasilitas rumah jabatan tidak lagi diberikan kepada para anggota dewan.

    Namun, dukungan terhadap tunjangan rumah DPR tersebut memicu tanggapan negatif dari publik yang menilai pernyataan Nafa Urbach tidak peka terhadap kondisi masyarakat.

    Gelombang kritik dari warganet membuat nama Nafa Urbach masuk dalam jajaran trending topik yang ramai dibahas di media sosial.

    Merespons hal itu, Nafa Urbach akhirnya menyampaikan permintaan maaf secara terbuka melalui unggahan di akun Instagram pribadinya.

    Unggahan tersebut kemudian disebarkan ulang oleh akun gosip di Instagram pada Sabtu, 23 Agustus 2025 dan mendapat perhatian luas.

    “Guyss maafin aku yah klo statement aku melukai kalian,” tulis Nafa Urbach di Instagram Story-nya.

    Ia menambahkan komitmen untuk terus memperjuangkan kepentingan rakyat meskipun sebelumnya menuai kontroversi atas ucapannya soal tunjangan rumah DPR.

    “Percayalah aku gak akan tutup mata untuk memberikan hidup aku buat rakyat di dapil aku sebaik mungkin yg bisa aku kerjakan saat ini,” lanjut Nafa.

    Permintaan maaf tersebut menjadi bagian dari klarifikasi dirinya yang saat ini tercatat sebagai anggota DPR RI dari Fraksi Partai Nasdem.

    Nafa Urbach juga diketahui menduduki kursi di Komisi IX DPR RI yang membidangi persoalan kesehatan, tenaga kerja, dan kependudukan.

    Isu tunjangan rumah DPR sendiri belakangan ramai diperbincangkan karena dianggap tidak sejalan dengan kondisi ekonomi masyarakat.

    Publik menilai kebijakan tunjangan rumah DPR Rp50 juta per bulan terlihat kontras dengan realitas warga yang masih berjuang menghadapi kesulitan ekonomi.

    Kontroversi ini juga semakin ramai dibicarakan karena melibatkan figur publik seperti Nafa Urbach yang sebelumnya dikenal luas sebagai artis sebelum terjun ke dunia politik.

    Meski demikian, melalui permintaan maafnya Nafa Urbach berupaya menunjukkan bahwa dirinya tetap terbuka terhadap kritik dari masyarakat.

    Nafa Urbach menegaskan bahwa ia tidak akan menutup mata terhadap aspirasi rakyat di daerah pemilihan yang diwakilinya.

    Klarifikasi tersebut juga dimaksudkan agar masyarakat memahami posisinya sebagai anggota DPR RI yang tetap memiliki tanggung jawab memperjuangkan kepentingan rakyat.

    Sorotan publik terkait tunjangan rumah DPR diprediksi masih akan menjadi isu hangat karena menyangkut transparansi penggunaan anggaran negara.

    Banyak pihak yang berharap agar anggota DPR RI, termasuk Nafa Urbach, bisa lebih peka dalam memberikan pernyataan terkait fasilitas dan hak keuangan dewan.

    Permintaan maaf Nafa Urbach menjadi salah satu contoh bagaimana respons publik di era media sosial bisa cepat memengaruhi citra seorang pejabat.

    Dalam hal ini, kritik warganet terbukti berperan penting dalam memberikan masukan langsung terhadap kebijakan maupun pernyataan anggota DPR RI.

    Kasus Nafa Urbach dengan pernyataan soal tunjangan rumah DPR juga menjadi pengingat bagi politisi untuk berhati-hati dalam menyampaikan pendapat di ruang publik.

    Nafa Urbach berharap ke depannya masyarakat bisa melihat kerja nyatanya sebagai wakil rakyat, bukan hanya menilai dari pernyataan yang pernah dilontarkan.

    Permintaan maafnya pun dianggap sebagai langkah awal untuk memperbaiki hubungan dengan publik yang sempat terganggu akibat isu tunjangan rumah DPR.

    Dengan klarifikasi yang disampaikan, Nafa Urbach menutup kontroversi ini dengan menekankan bahwa dirinya akan terus fokus melayani rakyat.***

  • 1
                    
                        Kekayaan Rp 17,62 Miliar, Ini Penampakan 2 Rumah Immanuel Ebenezer di Depok
                        Megapolitan

    1 Kekayaan Rp 17,62 Miliar, Ini Penampakan 2 Rumah Immanuel Ebenezer di Depok Megapolitan

    Kekayaan Rp 17,62 Miliar, Ini Penampakan 2 Rumah Immanuel Ebenezer di Depok
    Tim Redaksi
    DEPOK, KOMPAS.com
    – Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) nonaktif Immanuel Ebenezer atau Noel tengah menjadi sorotan setelah ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka dugaan pemerasan dalam pengurusan sertifikat keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
    Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) 2024 yang disampaikan pada 17 Januari 2025, Noel tercatat memiliki total kekayaan Rp 17,62 miliar.
    Sebagian besar asetnya berupa tanah dan bangunan senilai Rp 12,14 miliar, termasuk sejumlah properti di Depok, Jawa Barat.
    Penelusuran
    Kompas.com
    pada Minggu (24/8/2025) mendapati Noel memiliki dua rumah di Perumahan Taman Manggis Permai, Sukamaju, Cilodong, Depok.
    Rumah pertama terletak di samping Musala Al Ikhlas, bercat dominan ungu dan putih, dengan garasi berpintu besi hitam serta gerbang putih sebagai akses utama.
    Lokasinya berada di nomor dua dari pintu masuk Jalan Tole Iskandar menuju kompleks.
    Menurut warga, rumah tersebut dulunya ditempati orangtua Noel sebelum ia pindah ke rumah lain di Blok P.
    “Katanya rumah yang dekat musala itu rumah orangtuanya, terus pindah ke sini setelah menikah,” kata Ina (31), tetangga Noel.
    Sementara itu, rumah kedua berada di Blok P Nomor 12, tepat di ujung jalan kompleks yang berbatasan dengan lapangan bola.
    Bangunan berlantai satu di bagian depan dan dua lantai di bagian belakang itu dicat putih dengan pagar besi bermotif floral.
    Pagar renggang membuat bagian dalam rumah terlihat jelas, termasuk carport luas yang dipenuhi mobil dan sepeda.
    Dinding carport dicat oranye, berpadu kontras dengan dominasi putih pada bangunan, sementara atap seng abu-abu menaungi rumah yang memanjang sekitar 15 meter ke belakang dan 10 meter ke samping.
    “Kalau dilihat dari luar, memang lebih baru dari rumah orangtuanya di dekat musala,” ujar Ina.
    Ina menyebut Noel sudah tinggal di Blok P 12 bersama istri dan dua anaknya sekitar lima tahun.
    “Saya di sini sudah lima tahun, kayanya bareng pindah sama bapak (Noel). Kalau suami saya asli sini, sudah sepuluh tahun tinggal di komplek ini,” katanya.
    Ia menambahkan, Noel memiliki dua anak laki-laki, masing-masing duduk di bangku SMA dan SMP.
    “Biasanya kalau pagi saya sering lihat beliau antar anak ke sekolah atau jalan pagi,” ujarnya.
    Rino (32), tetangga lain, mengatakan keseharian Noel tampak biasa saja.
    “Kadang keluar rumah buat olahraga pagi atau antar anak sekolah. Kalau ketemu suka senyum, nyapa, tapi enggak terlalu sering ngobrol lama,” tuturnya.
    Meski jarang terlibat dalam kegiatan RT, Noel dan istrinya beberapa kali hadir dalam acara 17 Agustus atau bazar warga. Noel juga disebut memiliki seorang asisten rumah tangga.
    “Ada asistennya, biasanya dipanggil kak. Tapi sehari-hari Noel juga sering kelihatan di rumah, karena mobilnya hampir selalu ada di carport,” kata Ina.
    Karena itu, warga mengaku terkejut ketika kabar Noel ditetapkan sebagai tersangka mencuat.
    “Enggak nyangka, soalnya kesehariannya biasa banget. Ramah juga, enggak kelihatan tertutup. Baru tahu dari berita kalau katanya dulu sempat jadi ojol,” kata Rino.
    KPK menetapkan Noel sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan terkait pengurusan sertifikat K3 di Kemenaker.
    Ia diduga mengetahui, membiarkan, bahkan meminta jatah dari praktik pemerasan yang dijalankan bawahannya.
    “Peran IEG (Immanuel Ebenezer) itu adalah dia tahu dan membiarkan, bahkan kemudian meminta. Jadi, artinya proses yang dilakukan para tersangka ini bisa dikatakan sepengetahuan oleh IEG,” ujar Ketua KPK Setyo Budiyanto di Jakarta, Jumat (22/8/2025).
    Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menambahkan, Noel seharusnya mencegah praktik tersebut, namun justru membiarkannya sejak 2019.
    “Sampai dengan 2025 praktik pemerasan ini masih berjalan. Bahkan saat tangkap tangan dilakukan, Noel mengetahui dan membiarkan,” kata Asep.
    Dalam perkara ini, Noel diduga menerima aliran dana hingga Rp 3 miliar. Saat ini ia ditahan KPK untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut.
    Immanuel Ebenezer dikenal sebagai mantan Ketua Relawan Jokowi Mania (Joman) yang kemudian mendirikan Relawan Prabowo Mania pada Pilpres 2024.
    Setelah Pilpres, ia ditunjuk Presiden Prabowo Subianto sebagai Wamenaker di Kabinet Merah Putih.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Antara Sri Mulyani, Pajak, dan Ketimpangan Pendapatan

    Antara Sri Mulyani, Pajak, dan Ketimpangan Pendapatan

    Bisnis.com, JAKARTA – Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menyamakan pajak dengan zakat viral. Pernyataannya kurang lebih begini: “Dalam setiap rezeki ada hak orang lain. Ada yang disalurkan melalui zakat dan wakaf, ada juga melalui pajak.”

    Sontak, hal itu segera menuai polemik. Banyak yang mengkritisi. Apalagi, pernyataan eks Direktur Pelaksana Bank Dunia itu diungkapkan ketika publik sedang dibebani dengan berbagai macam persoalan ekonomi. Pendapatan antara si Kaya dan si Miskin sangat timpang. Rakyat juga sedang dihantui oleh berbagai macam kenaikan pungutan.

    Wajar, jika pernyataan Sri Mulyani menjadi bulan-bulanan di media sosial. Berbagai macam meme satire muncul. Semuanya mengkritisi perkataan Sri Mulyani. Meskipun kalau dicermati secara lebih detail, pernyataan Menkeu sejatinya ingin menempatkan bahwa pajak dan zakat memiliki esensi yang sama, yakni sebagai alat untuk distribusi pendapatan. Hanya saja, momentumnya yang tidak tepat.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati./JIBI

    Semua tahu, pajak adalah sebuah kewajiban yang harus dipikul oleh warga negara. Benjamin Franklin, salah satu founding fathers Amerika Serikat, bahkan pernah berujar bahwa di dunia ini tidak ada yang pasti kecuali kematian dan pajak. Semua orang pasti mati. Itu adalah hukum alam. Orang lahir berwujud bayi kemudian tumbuh menjadi remaja, dewasa kemudian tua. Ujungnya tentu akan dipanggil lagi oleh sang pencipta. 

    Sementara, sebagai makhluk hidup yang tinggal di sebuah wilayah negara, manusia dari lahir hingga mati tidak bisa lepas dari pajak. Kebutuhan bayi hingga tetek bengek-nya pasti kena pajak. 

    Beli barang konsumsi kena pajak. Terus ketika bekerja, pendapatannya melebihi baseline penghasilan tidak kena pajak (PTKP) orang mulai membayar pajak penghasilan alias PPh. Punya usaha kena pajak korporasi. Bahkan saat meninggal, berbagai barang keperluan pemakaman juga ada yang kena pajak. Intinya manusia sulit lepas dari kewajiban membayar pajak.

    Apalagi dalam konteks Indonesia, konstitusi telah secara jelas memberikan kewenangan kepada negara untuk memungut pajak. Pasal 23A UUD 1945, misalnya, menekankan bahwa pajak dan pungutan lain bersifat memaksa. Tidak ada istilah sukarela, negara dibekali kewenangan konstitusional untuk memaksa warga negara membayar pajak. Tetapi tentu saja sifat memaksa ini dibatasi oleh ketentuan dan kewenangan yang berlaku.

    Seperti yang sudah selintas disinggung di atas, orang menjadi wajib pajak dan dipungut pajaknya ketika telah memperoleh penghasilan dengan batasan tertentu. Tidak semua orang berpenghasilan kena pajak. Tidak setiap badan usaha wajib menjadi pengusaha kena pajak. Kalau mereka berstatus UMKM, perlakuan pajaknya berbeda dengan korporasi besar.

    Wajib pajak (WP) berpuluh-puluh tahun tidak mempersoalkan itu. Mereka tetap bayar pajak, apalagi karyawan, yang secara otomatis dipotong pajaknya oleh pemberi kerja.

    Hanya saja, kalau melihat tren 5 tahun belakangan ini, ada sebuah fenomena dimana pemerintah cenderung fokus untuk memajaki ‘masyarakat kebanyakan’. Hal ini dimulai dengan berlakunya Undang-undang No.7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Salah satu mandat dalam UU HPP adalah kenaikan PPN dari 10% ke 11%. PPN adalah pajak yang sifatnya berlaku umum. Tidak peduli kaya atau miskin. Kalau mereka beli barang konsumsi, mereka harus membayar PPN.

    Beli air mineral kena pajak 11%, beli barang konsumsi yang di luar barang yang dikecualikan juga kena pajak 11%. Alhasil, beban masyarakat naik. Padahal, sampai kuartal II/2025 kemarin, konsumsi rumah tangga adalah backbone perekonomian. Kenaikan pungutan pajak, berarti menambah beban konsumsi mayarakat. Sejatinya pada awal tahun lalu, UU HPP mengamanatkan PPN naik menjadi 12%. Namun karena sorotan dan desakan banyak pihak, kenaikan tarif itupun diberlakukan terbatas, hanya untuk barang mewah.

    Belum reda masyarakat menanggung kenaikan PPN, pemerintah menerapkan UU No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah atau UU HKPD, yang intinya mendorong daerah untuk mandiri secara fiskal. Namun bukannya daerah makin inovatif, yang terjadi justru kenaikan dan perlombaan tarif untuk sejumlah pajak yang diatur pemerintah daerah.

    Ada opsen pajak yang ikut mengerek tagihan pajak kendaraan bermotor hingga kenaikan PBB-P2 dari ratusan persen hingga ribuan persen. Kasus yang terakhir sempat memunculkan perlawanan dari masyarakat. Di Pati, warga memprotes dan melawan kebijakan tersebut, di Bone juga sama. Mereka bentrok dengan aparat.

    Berbagai kericuhan itu sejatinya tidak akan terjadi ketika pemerintah benar-benar tahu kondisi di masyarakat. Distribusi pendapatan bisa berlangsung secara merata. Jurang antara yang kaya dan miskin tidak begitu lebar.

    Adapun Indonesia secara formal memang tergolong sebagai negara dengan ketimpangan rendah. Meski demikian, ketimpangan antara golongan yang kaya dengan yang miskin masih sangat lebar.

    Di sisi lain, alih-alih melakukan efisiensi, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan yang kontroversial dengan memberikan fasilitas ke pejabatnya. Yang terbaru tentu keputusan memberikan tunjangan perumahan Rp50 juta kepada anggota dewan.

    Hal ini kontras dengan situasi riil di akar rumput. Kalau mengacu kepada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis 25 Juli 2025 lalu, saat ini ada banyak orang yang masih hidup dengan pendapatan Rp609.160 per kapita per bulan atau Rp566.655 per kapita per bulan. Jauh dari nilai tunjangan perumahan yang didapatkan oleh DPR.

    Selain itu, masih menggunakan data BPS, pengeluaran masyarakat juga masih timpang. Distribusi pengeluaran masih dikuasai oleh 20% penduduk teratas. Mereka berkontribusi terhadap 45,56% pengeluaran secara nasional per Maret 2025 lalu. Sementara itu, 40% penduduk menengah hanya berkontribusi sebesar 35,79%.

    Sedangkan 40% penduduk terendah hanya berkontribusi di angka 18,65% dari total pengeluaran nasional. Meski ada peningkatan dibandingkan posisi Maret 2024 yang tercatat sebesar 18,40%, namun jumlah itu tidak sampai separuhnya pengeluaran dari penduduk 20% teratas.

    Dengan potret ketimpangan pengeluaran tersebut, wajar jika setiap upaya menaikkan pungutan entah itu pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat maupun daerah, akan menimbulkan protes dari kalangan masyarakat.

    Pati dan Bone bisa menjadi peringatan bagi pemerintah supaya behati-hati menerapkan kebijakan pajak. Pemerintah perlu mencermati pernyataan Jean Baptiste Colbert, Menkeu Prancis pada era monarki absolut ratusan tahun lalu: “agar bagaimana bulu angsa bisa dicabut sebanyak mungkin tetapi dengan koak yang sepelan mungkin.”

  • Menguji Keadilan Tunjangan DPR
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        23 Agustus 2025

    Menguji Keadilan Tunjangan DPR Nasional 23 Agustus 2025

    Menguji Keadilan Tunjangan DPR
    Dosen Fakultas Hukum Universitas YARSI Jakarta

    Bangsa Mati di Tangan Politikus
    ” -M. Subhan S.D.
    HIDUP
    dalam kemewahan di tengah penderitaan. Mungkin itulah gambaran yang muncul di benak banyak rakyat Indonesia ketika mendengar kabar tunjangan dan fasilitas yang dinikmati oleh para Wakil Rakyat di Senayan, Jakarta.
    Di satu sisi, jutaan rakyat masih berjuang untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasar, bahkan sulit mendapatkan tempat tinggal yang layak, mencari pekerjaan, atau sekadar makan sehari-hari.
    Namun, di sisi lain, pejabat negara yang seharusnya menjadi jembatan aspirasi rakyat justru diselimuti segudang fasilitas yang dianggap tidak masuk akal.
    Tambahan tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan dengan total penghasilan sekitar Rp 100 jutaan per bulan, menjadi sorotan tajam yang membuat publik bertanya: apakah para wakil rakyat ini benar-benar mewakili penderitaan kita, ataukah mereka hanya mementingkan kesejahteraan pribadi?
    Isu ini semakin memanas ketika Ketua DPR RI Puan Maharani memberikan klarifikasi. Ia membantah adanya kenaikan gaji yang fantastis tersebut, tapi membenarkan bahwa tunjangan kompensasi uang rumah diberikan karena para anggota Dewan tidak lagi mendapatkan rumah dinas.
     
    Sebuah pernyataan yang, alih-alih meredam amarah, justru semakin memicu perdebatan publik tentang urgensi dan kewajaran tunjangan tersebut.
    Para pihak yang pro (mungkin saja anggota DPR itu sendiri) terhadap tunjangan ini berargumen bahwa fasilitas tersebut adalah bentuk apresiasi negara atas tanggung jawab besar yang diemban oleh anggota Dewan.
    Mereka adalah pejabat tinggi negara yang bekerja 24 jam sehari, 7 hari seminggu, untuk merumuskan undang-undang, mengawasi pemerintah, dan mengemban amanah rakyat.
    Tunjangan ini juga dianggap sebagai kompensasi agar anggota Dewan dapat fokus bekerja tanpa perlu memikirkan kebutuhan finansial pribadi.
    Pandangan ini juga seringkali menyebut bahwa tunjangan ini sah secara hukum karena telah diatur undang-undang.
    Dengan demikian, apa yang diterima oleh para anggota Dewan adalah hak mereka yang dilindungi oleh hukum positif.
    Alasan ini menjadi tameng yang kuat bagi DPR untuk menepis kritik publik, seolah-olah apapun yang legal sudah pasti etis dan adil.
    Dalam konteks tata kelola pemerintahan modern, tentu diperlukan sistem penggajian dan tunjangan yang memadai untuk menjamin independensi lembaga legislatif dari intervensi eksternal, terutama dari pihak swasta yang berpotensi menyuap.
    Namun, persoalan ini tidak sesederhana itu. Perlu ada kajian lebih mendalam untuk melihat isu ini, yang tidak hanya terpaku pada legalitas formal semata.
    Ada asas-asas hukum dan etika publik yang seharusnya menjadi pedoman dalam menentukan kewajaran suatu kebijakan, apalagi yang menyangkut uang rakyat.
    Di sinilah letak pertentangan utama antara legalitas dan moralitas. Adagium hukum Latin
    fiat justitia ruat caelum
    , yang berarti “tegakkan keadilan walau langit runtuh,” mengingatkan kita bahwa keadilan substantif jauh lebih penting daripada sekadar kepatuhan formal terhadap undang-undang.
    Asas Keadilan (
    Principle of Justice
    ) menjadi pilar pertama yang perlu dipertanyakan. Gaji yang fantastis, bahkan tunjangan untuk biaya sewa rumah saja, sangat kontras dengan realitas ekonomi masyarakat.
    Ketika miliaran rupiah dari pajak rakyat dialokasikan untuk memfasilitasi gaya hidup mewah para pejabat, sementara di luar sana masih banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan, lantas di mana letak keadilan sosial yang selalu digaungkan?
    Pemberian tunjangan ini seolah-olah menciptakan kasta sosial antara para wakil rakyat dan rakyat yang mereka wakili.
    Bahkan salah satu politisi sampai mengatakan “jangan samakan DPR dengan rakyat jelata”, pernyataan yang menusuk hati terdalam masyarakat Indonesia.
    Kondisi ini secara etis tidak sesuai dengan semangat demokrasi di mana para pejabat seharusnya hidup berdampingan dengan rakyat, memahami, dan merasakan langsung penderitaan mereka.
    Asas keadilan menuntut adanya kesetaraan dan proporsionalitas dalam alokasi sumber daya negara.
    Selanjutnya, kita harus menguji dengan Asas Kemanfaatan (
    Principle of Utility
    ). Tunjangan besar yang dikeluarkan dari kas negara haruslah memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi publik.
    Pertanyaannya, apakah tunjangan rumah sebesar Rp 50 juta per bulan benar-benar meningkatkan kinerja anggota Dewan?
    Apakah tunjangan tersebut secara signifikan mendorong mereka untuk merumuskan undang-undang yang lebih berkualitas atau melakukan pengawasan lebih ketat?
    Alih-alih menjadi pendorong kinerja, tunjangan dan fasilitas berlebihan justru berpotensi menjadi bumerang.
    Rakyat melihatnya sebagai pemborosan dan penyalahgunaan wewenang, yang pada akhirnya merusak kepercayaan publik terhadap institusi DPR.
    Hal ini berujung pada menurunnya partisipasi politik dan sikap apati masyarakat, yang sangat berbahaya bagi keberlanjutan demokrasi.
    Ketidakwajaran tunjangan ini juga dapat dianalisis melalui Asas Kepatutan dan Kewajaran (
    Principle of Appropriateness and Reasonableness
    ).
    Dalam konteks Indonesia sebagai negara berkembang dengan keterbatasan anggaran, apakah pantas bagi para pejabat negara menerima tunjangan yang melebihi kebutuhan dasar?
    Seberapa rasional pengeluaran puluhan juta rupiah per bulan hanya untuk biaya sewa rumah, ketika banyak masyarakat bahkan tidak memiliki tempat tinggal permanen?
    Tunjangan perumahan hanyalah salah satu dari sekian banyak tunjangan yang diterima. Para anggota Dewan juga menikmati tunjangan komunikasi intensif, tunjangan alat kelengkapan, hingga tunjangan dana aspirasi.
    Jika semua tunjangan ini dijumlahkan, total yang dikeluarkan negara untuk satu orang anggota Dewan dalam satu tahun mencapai angka miliaran rupiah, belum termasuk biaya perjalanan dinas dan fasilitas pendukung lainnya.
    Pajak yang dibayarkan rakyat, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23A, harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
    Tunjangan yang tidak proporsional ini dapat dianggap sebagai penyalahgunaan pajak rakyat, karena penggunaannya tidak efektif dan tidak memenuhi prinsip keadilan sosial.
    Terdapat ketidakseimbangan yang mencolok antara kewajiban rakyat membayar pajak dan pemanfaatannya oleh para wakilnya.
    Masyarakat sipil, akademisi, dan media massa secara luas menyoroti isu ini sebagai cerminan dari kegagalan para wakil rakyat untuk berempati.
    Pandangan kontra ini menganggap bahwa tunjangan dan fasilitas berlebihan hanyalah bentuk legitimasi atas prinsip oligarki, di mana kekuasaan dan kekayaan hanya berputar di kalangan elite.
    Isu ini menjadi salah satu pemicu utama rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif.
    Lebih jauh, isu ini juga terkait erat dengan Asas Akuntabilitas Publik. Sebagai lembaga perwakilan, DPR memiliki kewajiban untuk mempertanggungjawabkan setiap penggunaan anggaran kepada publik.
    Transparansi dan akuntabilitas tidak hanya berarti melaporkan angka-angka, tetapi juga menjelaskan dasar dan urgensi dari setiap pengeluaran.
     
    Ketika tunjangan tidak dapat dijelaskan dengan rasionalitas yang memuaskan publik, maka asas akuntabilitas ini telah gagal ditegakkan.
    Inilah ironi terbesar yang harus kita hadapi. Di tengah janji-janji kesejahteraan yang sering digaungkan, para Wakil Rakyat justru menikmati kemewahan yang jauh dari realitas kehidupan mayoritas masyarakat.
    Mereka seolah hidup dalam gelembung yang terpisah dari penderitaan rakyat, mengabaikan fakta bahwa masih banyak anak kekurangan gizi, pembangunan infrastruktur yang belum merata, dan layanan publik yang masih jauh dari kata ideal.
    Melihat praktik di beberapa negara lain, sistem penggajian dan tunjangan bagi legislator seringkali disesuaikan dengan standar hidup umum dan diawasi oleh komite independen.
    Hal ini bertujuan mencegah potensi konflik kepentingan dan memastikan bahwa fasilitas yang diberikan benar-benar proporsional dengan kebutuhan dan tanggung jawab, bukan hanya didasarkan pada keinginan pribadi.
    Maka secara tegas seluruh kalangan harus menyerukan agar DPR melakukan kajian ulang secara menyeluruh terhadap semua tunjangan dan fasilitas yang mereka terima.
    Kajian ini harus dilakukan secara transparan, melibatkan partisipasi publik, dan didasarkan pada asas-asas hukum yang berpihak pada keadilan, kemanfaatan, dan kewajaran.
    DPR harus membuktikan bahwa mereka benar-benar mewakili rakyat, bukan sekadar memanfaatkan pajak rakyat.
    Sudah saatnya DPR kembali pada khittah-nya sebagai lembaga yang berjuang untuk rakyat, bukan untuk kemewahan pribadi.
    Penggunaan anggaran negara harus dipertanggungjawabkan dengan penuh integritas dan keberpihakan pada kepentingan umum.
    Tunjangan yang berlebihan bukan hanya masalah legalitas, tetapi juga masalah moralitas dan etika yang akan menentukan apakah DPR pantas disebut sebagai lembaga perwakilan rakyat atau hanya perwakilan elite.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 10
                    
                        Gaji Rp 100 Juta Wakil Rakyat
                        Nasional

    10 Gaji Rp 100 Juta Wakil Rakyat Nasional

    Gaji Rp 100 Juta Wakil Rakyat
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    KABAR
    bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat menerima
    take-home pay
    yang menembus angka seratus juta rupiah per bulan, kembali menampar nurani publik.
    Angka itu muncul setelah adanya tambahan tunjangan perumahan yang menggantikan rumah dinas.
    Dengan tambahan puluhan juta rupiah per bulan, penghasilan wakil rakyat disebut bisa menyentuh Rp 100 juta, setara Rp 3 juta per hari.
    Kabar ini segera bergulir menjadi polemik. Media sosial penuh dengan komentar sinis, rakyat berang, dan akademisi geleng kepala.
    Angka itu bukan sekadar soal matematika gaji, melainkan simbol jurang yang kian menganga antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya.
    Bagaimana mungkin, di tengah harga beras yang terus melonjak, gizi anak yang masih bermasalah, dan rakyat yang kesulitan mengakses pekerjaan layak, para legislator justru tenang duduk di kursi empuk dengan jaminan penghasilan yang tak masuk akal bagi banyak warga?
    Polemik gaji wakil rakyat bukanlah cerita baru. Sejak era Orde Baru hingga pasca-Reformasi, isu penghasilan pejabat publik kerap menjadi bahan perdebatan.
    Secara resmi, gaji pokok anggota DPR hanya Rp 4,2 juta sesuai PP Nomor 75 Tahun 2000. Angka ini kecil. Namun publik tahu, yang membuat penghasilan mereka gemuk adalah aneka tunjangan: tunjangan jabatan, komunikasi intensif, kehormatan, hingga bantuan listrik dan telepon.
    Dulu, polemik soal rumah dinas sempat merebak. Ada anggota DPR yang tak mau menempati rumah dinas, memilih menyewakan, atau malah membiarkan kosong.
    Akhirnya, kebijakan bergeser: rumah dinas kini diganti dengan tunjangan perumahan, dengan angka fantastis hingga puluhan juta rupiah per bulan. Di sinilah letak lonjakan yang membuat
    take-home pay
    DPR melonjak hingga seratus juta rupiah.
    Kisah ini mencerminkan ironi: gaji pokok memang kecil, tapi tunjangan menjadikannya berlipat. Di situlah sering muncul perasaan tak adil: seolah DPR bukan lagi mewakili rakyat, melainkan mewakili kepentingan kesejahteraan dirinya sendiri.
    Di lapangan, realitas rakyat berbicara lain. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat upah minimum provinsi 2025 rata-rata nasional hanya Rp 3,5 juta per bulan. Bahkan di banyak daerah, upah minimum masih di bawah angka itu.
    Seorang buruh pabrik, pekerja informal, atau tenaga kontrak harus berjibaku setiap hari untuk memenuhi kebutuhan hidup yang kian mahal.
    Ketimpangan semakin terasa bila kita menengok ke desa-desa. Seorang petani di Indramayu, misalnya, bisa menghabiskan sebulan penuh hanya untuk menghasilkan Rp 2 juta dari panen padi.
    Nelayan kecil di pesisir utara Jawa hanya memperoleh Rp 1,5 juta sebulan bila cuaca bersahabat.
    Di Nusa Tenggara Timur, banyak keluarga masih kesulitan mengakses air bersih, sementara anak-anak menderita stunting.
    Kontraskah? Sangat. Ketika wakil rakyat bisa menikmati Rp 3 juta sehari, banyak rakyatnya justru tak mampu membeli lauk layak setiap hari.
    Tentu, ada yang membela. Anggota DPR disebut memiliki tanggung jawab besar: menyusun undang-undang, mengawasi pemerintah, memperjuangkan aspirasi rakyat. Mereka bekerja tujuh hari seminggu, dengan beban politik, risiko reputasi, bahkan ancaman keamanan.
    Benar, tanggung jawab mereka besar. Namun, apakah besar tanggung jawab harus dibayar dengan angka yang melampaui batas rasa keadilan publik?
    Sistem demokrasi perwakilan seharusnya menuntut Wakil Rakyat untuk berkorban, bukan berfoya-foya. Tugas legislatif memang berat, tapi ia adalah amanat, bukan ladang penghasilan.
    Ada pula argumen bahwa gaji besar akan mengurangi potensi korupsi. Namun, sejarah membuktikan sebaliknya. Tak sedikit anggota DPR yang tetap tersangkut kasus suap dan korupsi meski penghasilan mereka sudah lebih dari cukup.
    Artinya, masalahnya bukan sekadar besaran gaji, melainkan integritas moral dan mekanisme akuntabilitas.
    Pertanyaan mendasar muncul: apakah para wakil rakyat itu masih bisa merasakan denyut nadi rakyat yang diwakilinya? Empati seolah kian menipis ketika angka-angka fantastis itu diucapkan tanpa beban di ruang publik.
    Publik menuntut wakil rakyat untuk lebih rendah hati. Bukan soal menolak gaji, tetapi soal kepekaan.
    Andai saja pernyataan tentang gaji seratus juta itu disertai refleksi: bahwa angka itu kontras dengan penderitaan rakyat, bahwa legislator harus bekerja keras membuktikan mereka layak menerima itu, mungkin polemik ini tak akan sebesar sekarang.
    Sayangnya, yang terdengar justru pembenaran. Kalimat “cukup bagi kami” melukai nurani rakyat. Bagi rakyat kecil, Rp 100.000 saja bisa menentukan apakah dapur berasap hari itu.
    Filsafat politik mengajarkan, legitimasi kekuasaan lahir bukan hanya dari prosedur, melainkan dari moral. Wakil rakyat yang dipilih sah secara demokratis pun bisa kehilangan legitimasi bila gagal menjaga moralitas publik.
    Moralitas bukan sesuatu yang bisa dibeli dengan gaji. Ia lahir dari keadilan, kejujuran, dan pengabdian. Bila DPR tak lagi merefleksikan kepentingan rakyat, maka angka seratus juta di kursi mereka hanya akan menjadi simbol keserakahan.
    Negara yang sehat menempatkan etika di atas materi. Namun, Indonesia seakan terjebak dalam paradoks: gaji wakil rakyat terus meningkat, tetapi indeks korupsi, kualitas legislasi, dan kepercayaan publik terhadap DPR justru menurun.
    Apa yang bisa dilakukan? Pertama, DPR harus membuka data penghasilan mereka secara transparan. Komponen gaji, tunjangan, hingga fasilitas harus diungkap tanpa ditutup-tutupi. Transparansi adalah cara untuk mengembalikan kepercayaan publik.
    Kedua, perlu mekanisme pengendali independen—semacam komisi etik atau lembaga audit publik—yang bisa mengukur kewajaran tunjangan DPR. Jangan sampai DPR menetapkan sendiri berapa ia harus dibayar. Itu konflik kepentingan yang nyata.
    Ketiga, DPR harus menyadari bahwa legitimasi mereka ditentukan rakyat. Setiap rupiah yang mereka terima berasal dari pajak rakyat, dari keringat buruh, petani, pedagang, dan nelayan. Uang negara bukan milik negara, melainkan uang rakyat yang dititipkan.
    Apa yang seharusnya menjadi jalan keluar? Polemik gaji DPR ini seharusnya membuka ruang bagi refleksi kolektif: untuk apa seseorang menjadi wakil rakyat?
    Menjadi anggota DPR bukanlah pekerjaan biasa. Ia adalah panggilan. Kursi DPR bukan kursi bisnis, melainkan kursi pengabdian.
    Maka, jalan yang layak ditempuh adalah membangun keseimbangan: gaji dan tunjangan cukup untuk hidup layak, tetapi tidak berlebihan sehingga memutus empati pada rakyat.
    Kita perlu menegaskan bahwa ukuran kesejahteraan wakil rakyat tidak boleh jauh melampaui kesejahteraan rakyat yang diwakilinya. Angka seratus juta terlalu jauh dari realitas. Jika tetap dipertahankan, jarak antara rakyat dan wakilnya hanya akan semakin melebar.
    Sejarah bangsa ini penuh dengan pengorbanan. Para pendiri republik hidup sederhana, bahkan Bung Hatta terkenal menolak hak pensiun. Ia meninggalkan jejak teladan bahwa kekuasaan bukan jalan memperkaya diri, melainkan mengabdi.
    Hari ini, para wakil rakyat kita seolah melupakan ingatan itu. Mereka terjebak dalam kenyamanan kursi dan tunjangan. Padahal, bangsa ini tidak sedang surplus moral. Yang kita butuhkan bukan angka seratus juta, melainkan seratus persen integritas.
    Ingatan akan pengorbanan para pendiri bangsa seharusnya menjadi cermin bahwa kekuasaan tanpa moral hanyalah panggung sandiwara.
    Polemik gaji seratus juta anggota DPR bukan sekadar soal angka. Ia adalah cermin tentang bagaimana republik ini memandang kekuasaan, keadilan, dan pengabdian.
    Rakyat boleh marah, boleh kecewa. Di balik itu, ada harapan: semoga polemik ini menjadi tamparan, agar wakil rakyat kembali ke fitrah tugasnya.
    Agar kursi yang mereka duduki bukan sekadar kursi empuk dengan gaji ratusan juta, tetapi kursi yang penuh tanggung jawab moral untuk membela rakyat.
    Karena pada akhirnya, gaji besar tanpa kepekaan hanyalah angka kosong. Yang membuat wakil rakyat benar-benar mulia bukan seratus juta di slip gaji, melainkan seratus persen keberpihakan kepada rakyat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.