NGO: KontraS

  • Bukan Jasad Papa! Sayembara Rp 1 Miliar Bongkar Dugaan Pemalsuan Kematian Rudy Watak
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        20 Desember 2025

    Bukan Jasad Papa! Sayembara Rp 1 Miliar Bongkar Dugaan Pemalsuan Kematian Rudy Watak Megapolitan 20 Desember 2025

    Bukan Jasad Papa! Sayembara Rp 1 Miliar Bongkar Dugaan Pemalsuan Kematian Rudy Watak
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com-
     Imelda (51), wanita asal Manado yang kini tinggal di Tangerang, Banten, kehilangan ayahnya, Rudy Watak, sejak 2022.
    Rudy tinggal seorang diri di salah satu apartemen di Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan.
    Hilangnya Rudy pertama kali dilaporkan ke Polres Jakarta Selatan pada Maret 2022 oleh kakak Imelda,
    Namun, Imelda baru mengetahui hal itu setelah enam bulan berlalu.
    Imelda menduga hilangnya Rudy berkaitan dengan transaksi jual beli tanah yang saat itu sedang dalam proses pembayaran.
    “Sebelumnya itu Papa kan ada jual tanah, transaksi bodong. Papa sempat dibawa ke Bali sama orang-orang itu, katanya untuk pelunasan,” ujar Imelda saat ditemui di Mapolda Metro Jaya, Jumat (19/12/2025).
    Sepulangnya dari Bali, ternyata tidak ada pembayaran yang dilakukan.
    Sang ayah pun berusaha menagih dengan bantuan adik-adiknya. Setelah itu, tak ada lagi kabar tentang dia.
    Imelda membuat laporan ke berbagai instansi untuk mencari ayahnya.
    *Cari bantuan lewat Kamisan*
    Pada awal 2025, ia sempat ingin melapor ke Presiden Prabowo karena tak ada perkembangan signifikan dari kepolisian.
    Namun, Imelda terhalang izin untuk melakukan orasi langsung di depan Istana Negara.
    Pada suatu Kamis, Imelda yang melintas di sekitar Monumen Nasional (Monas) melihat adanya sekumpulan orang berbaju hitam di depan Istana Presiden.
    Aksi mereka yang membawa atribut seperti poster dan pengeras suara menarik perhatiannya. Ia pun menghampiri kelompok itu.
    Ia berbincang dengan Sumarsih sebagai penanggung jawab aksi.
    Kepada Imelda, Sumarsih menjelaskan bahwa aksi tersebut bertujuan menyuarakan nasib kerabat mereka yang hilang dalam peristiwa pelanggaran HAM pada 1998.
    “Saya mampir, saya kenalan dengan penanggung jawab, Bu Sumarsih ya. Oh, ternyata di sini orang-orang Kontras, LBH Jakarta, dan Amnesty. Itu acara mereka dan di situ Tragedi Semanggi, yang mahasiswa-mahasiswa hilang, untuk orang-orang hilang di situ,” jelas Imelda.
    Imelda menyampaikan bahwa ia juga sedang berusaha mencari ayahnya yang hilang.
    Sumarsih pun mengajak dia untuk ikut bergabung di aksi Kamisan ini.
    Imelda setuju. Dia dan suaminya melakukan orasi selama empat kali.
    Terakhir kalinya, pada 28 Agustus 2025, Imelda membawa spanduk berukuran 2 meter berisi permintaan tolong mencari ayahnya dengan imbalan Rp 1 miliar.
    “Jadi saya mau ke mana lagi? Akhirnya saya minta rakyat yang tolong saya. Makanya saya bikin sayembara, siapa yang bisa menemukan
    Rudy Watak
    akan diberikan hadiah Rp 1 miliar,” tutur Imelda.
    Ia mencantumkan nomor khusus untuk informasi terkait keberadaan ayahnya pada spanduk itu. Keesokan harinya, ratusan pesan masuk ke nomor itu.
    Salah satu pesan dari nomor tak dikenal mengarahkan Imelda untuk mencari ayahnya ke Panti Sosial Cipayung.
    Imelda pun menghubungi nomor itu untuk mengonfirmasi lebih lanjut.
    “Nah, berarti orang itu tahu bahwa ini kayak sayembara. Dia akan dapat duit dari saya karena dia ngasih tahu tempatnya Papa. Berarti tujuannya dia bukan duit,” kata Imelda.
    *Dugaan pemalsuan kematian*
    Begitu Imelda menyambangi panti tersebut, ia diinformasikan bahwa ayahnya telah meninggal dunia pada Mei 2022, dua bulan sejak ia diantar ke panti dengan dugaan gangguan jiwa.
    Pihak panti menunjukkan sejumlah dokumen kepadanya. Ia juga ditunjukkan foto saat Rudy diantar ke panti dan meninggal.
    Imelda merasa janggal. Ia tidak yakin orang yang meninggal itu benar ayahnya. Ditambah lagi kejanggalan pada dokumen-dokumen yang diberikan.
    Salah satunya surat rekomendasi dari Polsek Pasar Minggu kepada Satpol PP Pasar Minggu untuk membawakan Rudy yang ditemukan dalam keadaan linglung di pinggir jalan dan memiliki gangguan jiwa.
    “Masa iya di keterangan kejadiannya 2022, tapi di nomor suratnya 2021. Suratnya juga cuma dikasih foto, enggak kelihatan itu ditanda tangan sama siapa karena ketutupan informasi tempat pengambilan fotonya,” jelas Imelda.
    Ia meminta kepada Polres Jakarta Selatan untuk membongkar makam ayahnya.
    Benar saja, hasil tes DNA menunjukkan sampel kerangka tidak identik dengan sampel Imelda dan adik ayahnya.
    “Hasil yang keluar bahwa sampel saya, pembandingnya adik kandung papa juga, dan dua orang adik, tidak identik dengan kerangka tulang,” kata Imelda.
    Lantas Imelda melaporkan kejadian ini ke Bareskrim Polri.
    “Ini memang
    pemalsuan jenazah
    , soalnya kalau saya enggak bongkar kubur, saya enggak ekshumasi, mau sampai kapan pun. Memang secara hukum bahwa papa saya itu sudah meninggal dan dikuburkan, enggak akan ketahuan,” tutur dia.
    Dugaan pemalsuan data jenazah ini ditujukan kepada pihak Panti Sosial Cipayung yang diduga memanipulasi data seolah ayah Imelda sudah meninggal.
    *Dilimpahkan ke Polda Metro Jaya*
    Kini, laporan Imelda dilimpahkan ke Polda Metro Jaya untuk ditindak lanjut.
    Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol. Budi Hermanto mengatakan berkas kasus ini diterima Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) pada Kamis (18/12/2025).
    Selanjutnya akan dilakukan penetapan terhadap sub-direktorat yang akan menangani kasus ini.
    “Benar, sudah diterima Ditreskrimum kemarin, dan saat ini masih menunggu untuk ditangani oleh Subdit mana,” kata Budi kepada Kompas.com dikonfirmasi lewat pesan singkat, Jumat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Trasa Balong, Kebun Sayur di Bawah Kolong Flyover Jakarta
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        19 Desember 2025

    Trasa Balong, Kebun Sayur di Bawah Kolong Flyover Jakarta Megapolitan 19 Desember 2025

    Trasa Balong, Kebun Sayur di Bawah Kolong Flyover Jakarta
    Tim Redaksi

    JAKARTA, KOMPAS.com –
     Di kolong
    flyover
    Jalan Haji Darip, RW 08, Kelurahan Cipinang Melayu, Kecamatan Makasar, Jakarta Timur, Kamis (18/12/2025), denyut khas kawasan perkotaan terus berlangsung.
    Deru sepeda motor dan mobil bersahut-sahutan melintas di atas jalur layang Becakayu. Sesekali, bunyi klakson dari jalan arteri di sisi kawasan memecah ritme lalu lintas yang nyaris tanpa jeda.
    Getaran halus kendaraan berat terasa hingga ke bawah
    flyover
    , menjadi latar konstan bagi aktivitas warga dan petugas di kawasan tersebut.
    Namun, tepat di bawah struktur beton raksasa itu, tampak pemandangan yang kontras.
    Area yang sebelumnya identik dengan tanah gersang, kotor, dan tak terurus kini menjelma menjadi
    kebun kota
    yang tertata rapi.
    Bedeng-bedeng tanaman berjajar mengikuti kontur lahan, dipisahkan oleh jalur paving yang bersih. Tanah terlihat gembur dan lembap, menandakan perawatan rutin.
    Di beberapa titik, papan kecil penanda jenis tanaman tertancap di bedeng, memberi kesan kebun edukatif di tengah hiruk-pikuk kota.
    Sejumlah petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) tampak berjongkok di antara tanaman.
    Dengan seragam oranye yang kontras dengan hijaunya dedaunan, mereka merapikan daun, mencabut gulma, dan memastikan tanaman tumbuh dengan baik.
    Di sudut lain, beberapa warga duduk sejenak di tepi bedeng, mengamati tanaman di sela aktivitas harian mereka. Semua berlangsung tanpa menghilangkan kebisingan lalu lintas di sekitarnya.
    Kawasan ini dikenal sebagai
    Trasa Balong
    , akronim dari Sentra Sayur Bawah Kolong, kebun kota yang berdiri di bawah kolong
    flyover
    Becakayu.
    Di tempat ini, beragam tanaman tumbuh subur, mulai dari sawi, kangkung, cabai, jagung, tomat, terong, hingga tanaman hias dan pohon tabebuya.
    Pepohonan dan semak hijau berfungsi sebagai peneduh alami, membuat udara di kolong
    flyover
    terasa lebih sejuk dibandingkan kawasan jalan di sekitarnya.
    Bau tanah basah dan dedaunan segar sesekali tercium, menetralkan aroma asap kendaraan.
    Pilar-pilar
    flyover
    yang sebelumnya kusam kini dihiasi mural berwarna cerah. Lukisan-lukisan itu menambah kesan hidup pada ruang publik yang dulunya terabaikan.
    Di tengah keterbatasan ruang dan kebisingan kota, Trasa Balong menjelma menjadi oase hijau, contoh nyata perubahan fungsi kolong
    flyover
    dari ruang tak terawat menjadi area produktif yang memberi manfaat lingkungan sekaligus sosial bagi warga Cipinang Melayu.
    “Dari awal saya ikut. Dulu masih jalan biasa, belum seperti sekarang,” ujar Ajul saat ditemui langsung di Trada Balong.
    Ia mengatakan, inisiatif awal datang dari lurah setempat, bersama Nahdlatul Ulama (NU) dan warga.
    Sejak awal, warga dilibatkan dalam proses penataan dan penanaman. Awalnya, area tersebut langsung ditanami sayuran, lalu berkembang dengan penambahan berbagai jenis tanaman lain.
    “Bibit tanamannya macam-macam. Kadang cari sendiri, kadang minta dari kelurahan. Warga juga ikut kalau ada,” kata Ajul.
    Perawatan dilakukan secara rutin, meski dengan keterbatasan. Sayuran dipanen kurang lebih sebulan sekali dan dihitung per ikat, bukan ditimbang. Hasil panen tidak diperjualbelikan, melainkan dibagikan kepada warga sekitar.
    “Semua kebagian. Warga ikut, PPSU juga kebagian,” ujar dia.
    Ajul menambahkan, warga kerap memasak hasil panen dan membagikannya kembali kepada petugas.
    Menurutnya, Trasa Balong terasa berbeda dibandingkan kolong
    flyover
    lain yang banyak dibiarkan kosong dan tak terurus.
    “Ini bisa jadi contoh. Kolong lain kan banyak yang kosong,” ucap Ajul.
    Bagi Darma (40), warga RW 08 Cipinang Melayu, perubahan kolong
    flyover
    ini terasa nyata. Ia mengingat betul kondisi kawasan tersebut sebelum ditata.
    “Dulu di sini gelap, kotor, orang juga jarang lewat,” kata Darma.
    “Sekarang sudah beda. Lebih terang, bersih, dan enak dilihat. Kalau lewat juga rasanya lebih adem karena banyak tanaman,” lanjutnya.
    Menurut Darma, keberadaan kebun kota membuat warga lebih peduli terhadap lingkungan sekitar. Ia menyebut warga kerap menyiram tanaman atau membersihkan area kebun ketika melintas.
    “Kadang kalau lihat tanaman kering ya disiram, atau ada sampah langsung dibersihin. Soalnya ini buat kita juga,” ujar dia.
    Rasa memiliki tumbuh seiring keterlibatan warga. Darma berharap kebun kota ini dapat terus dipertahankan dan menjadi contoh bagi kolong-kolong
    flyover
    lain di Jakarta yang masih terbengkalai.
    Hal senada disampaikan Risa (38). Ia menilai Trasa Balong memberi manfaat nyata, terutama bagi warga sekitar.
    “Sekarang anak-anak juga sering lewat sini, lihat tanaman, tanya-tanya. Jadi bukan cuma jalan kosong, tapi ada fungsinya,” kata Risa.
    Sebelum ditata, kolong
    flyover
    kerap menjadi tempat parkir liar dan penumpukan sampah. Setelah dijadikan kebun kota, kondisi tersebut perlahan berkurang.
    “Kalau sudah jadi kebun begini, orang juga sungkan buang sampah sembarangan,” ujar Risa.
    Menurut dia, ruang di kolong
    flyover
    dan kolong tol dapat disebut sebagai residual urban space atau ruang sisa perkotaan yang selama ini jarang dimanfaatkan.
    “Padahal ruang sisa ini merupakan salah satu aset lingkungan perkotaan,” ujar Mahawan saat dihubungi.
    Pemanfaatan ruang sisa menjadi kebun kota, lanjutnya, dapat menjadi bentuk
    nature-based solution
    untuk meningkatkan layanan ekosistem perkotaan, termasuk mengurangi fenomena
    urban heat island
    atau kantong-kantong panas di kota akibat dominasi bangunan dan minimnya ruang hijau.
    “Kehadiran tumbuhan di kolong
    flyover
    bisa membantu menurunkan suhu dan membuat lingkungan lebih sejuk,” kata dia.
    Selain itu, kebun kota berpotensi meningkatkan infiltrasi air, meski tantangannya tidak kecil karena kolong
    flyover
    tidak selalu terpapar hujan.
    Jika tanah dibiarkan terbuka dan tidak ditutup beton, air hujan tetap dapat diserap. Namun, Mahawan mengingatkan bahwa manfaat lingkungan ini perlu dicermati secara ilmiah.
    “Bukan berarti manusia terus menghasilkan polusi, lalu tumbuhan disuruh menyerap semuanya,” ujar Mahawan.
    Pemilihan jenis tanaman, menurut dia, harus mempertimbangkan ketahanan terhadap panas, polusi, keterbatasan sinar matahari, serta ketersediaan air.
    Aspek estetika juga dinilai penting agar ruang tersebut menyenangkan untuk dipandang.
    Terkait urban farming, Mahawan mengingatkan agar aspek pangan tidak dilihat secara gegabah. Menanam tanaman pangan di kolong tol, misalnya, perlu kehati-hatian karena risiko pencemaran.
    “Kalau menanam cabai di kolong tol, polusinya kan tinggi. Harus dipastikan apakah layak dikonsumsi,” kata dia.
    Ia juga menyoroti tantangan keberlanjutan program. Karena berstatus ruang sisa, pemanfaatan kolong
    flyover
    kerap tidak menjadi prioritas kebijakan dan mudah berganti seiring pergantian kepemimpinan.
    “Jangan sampai hanya program sesaat. Setelah ditanam, tidak dirawat, lalu mati dan malah jadi kumuh,” ujar dia.
    Menurut Mahawan, pemanfaatan kolong
    flyover
    perlu diintegrasikan dalam perencanaan kota, lengkap dengan desain, teknologi pendukung, pendanaan berkelanjutan, serta sistem monitoring dan evaluasi.
    Di tengah keterbatasan ruang terbuka di Jakarta, kebun kota dinilainya menjadi alternatif ruang publik gratis yang inovatif.
    “Kalau direncanakan secara holistik, ini bisa menjadi solusi penyediaan ruang terbuka hijau bagi masyarakat,” kata Aziz saat dihubungi.
    Ia menekankan pentingnya koordinasi lintas instansi, termasuk dengan pengelola jalan tol, agar pemanfaatan kolong
    flyover
    tidak mengganggu fungsi infrastruktur dan keselamatan.
    Selain meningkatkan kualitas lingkungan, Aziz melihat kebun kota sebagai ruang temu yang dapat memperkuat interaksi sosial warga, terutama bagi anak-anak yang semakin sulit menemukan ruang bermain di kota.
    Namun, ia mengingatkan bahwa tantangan terbesar terletak pada aspek pemeliharaan dan rasa memiliki.
    Partisipasi warga menjadi kunci agar ruang publik seperti Trasa Balong tidak hanya dibangun, tetapi juga dirawat bersama.
    Trasa Balong menunjukkan bahwa ruang yang selama ini terabaikan dapat diubah menjadi kebun kota yang produktif.
    Di bawah bayang-bayang beton
    flyover
    , sayuran tumbuh, warga berinteraksi, dan lingkungan menjadi lebih hijau, tanpa sepenuhnya menghilangkan denyut keras kehidupan kota Jakarta.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • ChatGPT Bukukan Transaksi Rp50,1 triliun dalam 2,5 Tahun, Rekor Baru!

    ChatGPT Bukukan Transaksi Rp50,1 triliun dalam 2,5 Tahun, Rekor Baru!

    Bisnis.com, JAKARTA — Aplikasi kecerdasan artifisial (KA) ChatGPT besutan OpenAI mencatatkan pencapaian bersejarah dengan total belanja konsumen mencapai US$3 miliar atau sekitar Rp50,1 triliun di seluruh dunia.

    Pencapaian ini diraih hanya dalam waktu 31 bulan sejak peluncuran perdana versi iOS pada Mei 2023. Kecepatan pertumbuhan ini menempatkan ChatGPT sebagai salah satu aplikasi dengan monetisasi tercepat di dunia, melampaui berbagai raksasa media sosial dan layanan hiburan global.

    Sebagai perbandingan, laporan Appfigures yang dilansir dari TechCrunch Jumat (19/12/2025) menyebutkan bahwa TikTok membutuhkan waktu 58 bulan untuk mencapai angka belanja konsumen sebesar Rp50,1 triliun.

    Sementara itu, platform streaming populer seperti Disney+ dan HBO Max masing-masing memerlukan waktu 42 bulan dan 46 bulan untuk mencapai angka yang sama.

    Dominasi ChatGPT di pasar aplikasi smartphone, baik pada perangkat iOS maupun Android, kian tak terbendung sepanjang tahun ini. Data menunjukkan bahwa mayoritas pendapatan tersebut justru mengalir pesat pada 2025.

    Konsumen global diperkirakan telah membelanjakan sekitar US$2,48 miliar atau sekitar Rp41,4 triliun di aplikasi ChatGPT sepanjang 2025.

    Angka tersebut menunjukkan kenaikan sebesar 408% secara tahunan (YoY) jika dibandingkan dengan perolehan tahun lalu yang tercatat sebesar US$487 juta atau sekitar Rp8,1 triliun.

    Pertumbuhan ini terlihat kontras jika ditarik ke masa awal peluncurannya. Pada 2023, yang merupakan tahun pertama ChatGPT, aplikasi ini menghasilkan Rp716 miliar.

    Namun, angka tersebut melonjak drastis sebesar 1.036% untuk mencapai angka capaian di tahun 2024, sebelum akhirnya meledak di 2025.

    Keberhasilan finansial ChatGPT didorong oleh strategi langganan berbayar yang agresif. Pengguna HP diketahui melakukan pembelian paket langganan seperti ChatGPT Plus seharga Rp334 ribu per bulan, serta paket ChatGPT Pro senilai Rp3,34 juta per bulan yang ditargetkan bagi konsumen tingkat lanjut atau profesional.

    Selain dari langganan individu, OpenAI tengah mengeksplorasi sumber pendapatan baru. Baru-baru ini, perusahaan meluncurkan semacam toko aplikasi internal yang diproyeksikan akan dimonetisasi di masa depan.

    Tidak hanya itu, potensi pemasangan iklan juga mulai dipertimbangkan sebagai langkah strategis berikutnya.

    Meskipun ChatGPT memimpin pasar, persaingan di sektor AI makin kompetitif. xAI melalui aplikasinya, Grok, menunjukkan traffic pendapatan yang serupa dengan ChatGPT jika dibandingkan dengan rival AI lainnya.

    Sejak mulai dimonetisasi, Grok menjadi aplikasi yang paling mendekati kecepatan pendapatan kumulatif ChatGPT pada titik waktu yang sama. Sementara itu, pemain besar lainnya juga menyiapkan strategi berbeda.

    Google sedang melakukan transisi besar-besaran dengan mengintegrasikan iklan pada fitur berbasis AI seperti AI Mode, AI Overviews, AI Shopping, hingga halaman Discover.

    Sementara Anthropic lebih fokus menyasar segmen pasar pelaku usaha. Perusahaan ini diproyeksikan berada pada jalur yang tepat untuk meraih pendapatan hingga US$70 miliar atau Rp1.169 triliun pada 2028. (Muhammad Diva Farel Ramadhan)

  • Dana Tak Kunjung Turun, SPPG di Blitar yang Berhenti Beroperasi Terus Bertambah

    Dana Tak Kunjung Turun, SPPG di Blitar yang Berhenti Beroperasi Terus Bertambah

    Blitar (beritajatim.com) – Harapan ribuan siswa di Blitar Raya untuk mendapatkan asupan gizi konsisten melalui program Makanan Bergizi Gratis (MBG) kini berada di titik nadir. Setelah lumpuhnya Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Pakunden dan Klampok Kota Blitar, kini giliran SPPG Talun 2 yang resmi mengumumkan penghentian operasional sejak Senin (15/12/2025).

    Penghentian ini disampaikan secara terbuka melalui akun Instagram resmi SPPG Talun 2 Kabupaten Blitar. Dalam pengumuman tersebut, pihak pengelola mengakui tidak lagi memiliki finansial untuk menyediakan bahan baku makanan maupun mendukung proses produksi.

    “Dapur SPPG Talun 2 Blitar terpaksa tidak dapat beroperasi untuk sementara waktu dikarenakan dana bantuan operasional dari pemerintah yang belum turun,” tulis pengumuman tersebut.

    Kondisi ini menciptakan ironi besar. Program yang digadang-gadang menjadi tonggak perbaikan gizi nasional justru terhenti di tengah jalan akibat kendala birokrasi anggaran. Penundaan distribusi ini berlaku hingga batas waktu yang tidak ditentukan, menunggu pencairan dana dari pusat.

    Dampak dari berhentinya dapur produksi ini langsung dirasakan oleh sekolah-sekolah di bawah naungan SPPG Talun 2 Kabupaten Blitar. Pihak pengelola bahkan mengeluarkan imbauan yang cukup memprihatinkan bagi sebuah program pemenuhan gizi pemerintah.

    “Kami sangat menyarankan agar seluruh siswa, guru, dan staf membawa bekal makanan dan minuman dari rumah selama masa penundaan ini,” lanjut pengelola dalam surat resminya.

    Masalah Klasik, Pencairan Dana

    Ketiga SPPG yang ada di Blitar ini memiliki permasalahan yang sama yakni belum cairnya dana dari pemerintah pusat. Sehingga baik SPPG Talun 2, Pakunden hingga Klampok Kota Blitar tak mampu lagi beroperasi seperti biasa.

    Terkait hal itu Koordinator Wilayah SPPI-Ka SPPG Kota Blitar, Imam Samsudin, sebenarnya sudah angkat bicara. Menurut Imam menegaskan bahwa masalah yang dihadapi oleh SPPG yang ada di Kota Blitar hanyalah persoalan teknis belaka. Bukan karena krisis anggaran.

    Imam Samsudin mengklaim bahwa lumpuhnya dua dapur umum yang menyediakan Makan Bergizi Gratis (MBG) itu bukan disebabkan oleh kendala yang berarti, melainkan murni karena faktor antrian saja dalam proses pencairan dana.

    “Tidak ada kendala yang cukup berarti, itu hanya karena faktor antrian saja mas. Sebenarnya untuk proposal pengajuan dari masing-masing SPPG, statusnya sudah disetujui,” ujar Imam Samsudin, Senin (15/12/2025) lalu.

    Fakta Kontras: Antrian atau Keterlambatan Serius?

    Klaim Koordinator ini menuai sorotan tajam. Jika proposal telah disetujui, publik mempertanyakan mengapa proses pencairan dana bisa terhenti sedemikian rupa hingga memaksa dapur umum berhenti total beroperasi, sebuah keputusan yang sangat berdampak pada asupan gizi ribuan penerima manfaat.

    Imam Samsudin mengakui bahwa kendala ini terjadi juga disebabkan karena momentum akhir tahun. “Cuma ya masalah antrian pencairan saja, sama mungkin karena ini akhir tahun, jelang tutup buku, sehingga agak terkendala sedikit,” tambahnya.

    Publik hanya bisa berharap

    Di Tengah ketidakpastian itu, kini publik hanya berharap berhentinya program makan bergizi gratis (MBG) ini tidak terus meluas. Meski diawal dulu sempat dikritik sejumlah pihak, namun kini dampak MBG jelas dirasakan manfaatnya oleh warga.

    “Cukup ironis ya, kami berharap sebagai warga agar MBG ini bisa berjalan seperti dulu,” ungkap Ali, warga Blitar.

    Selain memberikan gizi, program MBG ini juga memberikan efek ekonomi bagi masyarakat. Tidak sedikit masyarakat yang bekerja di SPPG.

    “Kalau terus begini kan kasihan juga yang bekerja di SPPG, apalagi kalau sampai bubar kan kasihan jadi menganggur lagi,” tandasnya. [owi/aje]

  • Lukisan Raksasa Curi Perhatian di Festival Kendeng Pati, Pernah Dipamerkan di Australia
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        18 Desember 2025

    Lukisan Raksasa Curi Perhatian di Festival Kendeng Pati, Pernah Dipamerkan di Australia Regional 18 Desember 2025

    Lukisan Raksasa Curi Perhatian di Festival Kendeng Pati, Pernah Dipamerkan di Australia
    Tim Redaksi

    PATI, KOMPAS.com
    – Komunitas seni rupa Taring Padi memeriahkan Festival Kendeng 2025 yang digelar di Dukuh Misik, Desa Sukolilo, Kabupaten Pati, Kamis (18/12/2025).
    Mereka memamerkan sejumlah karya lukis yang merekam
    perjuangan masyarakat
    mempertahankan
    Pegunungan Kendeng
    dari kerusakan lingkungan.
    Di berbagai sudut festival, lukisan-lukisan bertema pelestarian Kendeng terpajang.
    Namun, satu karya raksasa berukuran 4 x 6 meter paling menyita perhatian pengunjung.
    Lukisan berjudul “
    Kendeng Lestari
    , Nyawiji Kanggo Ibu Bumi” itu menjadi representasi visual paling kuat yang menggambarkan perjuangan warga Kendeng.
    “Ini adalah potret dari apa yang dilakukan sedulur-sedulur Kendeng, JMPPK, Sedulur Sikep, dan Wiji Kendeng. Kami mencoba mengilustrasikan aktivitas dan semangat mereka dalam menjaga Kendeng,” ujar Fitri, salah satu seniman
    Taring Padi
    .
    Lukisan tersebut terbagi dalam dua sisi kontras.
    Di sisi kiri, wajah Samin Surosentiko dan sejumlah tokoh perjuangan pelestarian Kendeng.
    Sementara di sisi kanan, sosok Joko Widodo, Ganjar Pranowo, serta aparat negara. 
    Di bagian tengah lukisan, tergambar aksi pengecoran kaki, simbol ikonik perlawanan warga Kendeng.
    “Sisi kiri menggambarkan aktivitas yang dilakukan masyarakat Kendeng, sementara sisi kanan adalah gambaran pihak-pihak yang merusak Pegunungan Kendeng melalui penambangan dan kebijakan,” jelas Fitri.
    Proses pengerjaan lukisan ini memakan waktu tiga hingga empat pekan, melibatkan sekitar 10 seniman dan relawan.
    Karya tersebut rampung pada 2023 dan sempat dipamerkan di Australia sebelum akhirnya “pulang” ke Kendeng.
    Menurut Fitri, proses kreatif lukisan ini bukan sekadar kerja artistik, melainkan perjalanan belajar yang panjang.
    Diskusi demi diskusi dilakukan untuk merumuskan konsep, tema, hingga detail terkecil.
    “Yang paling lama justru proses diskusinya, sampai akhirnya menemukan bentuk yang tepat,” tandasnya.
    Taring Padi sendiri telah konsisten membersamai perjuangan warga Kendeng sejak 2006.
    Dalam
    Festival Kendeng
    2025, Taring Padi menampilkan
    lukisan raksasa
    ini bersama puluhan karya lain sebagai penanda bahwa karya tersebut telah menjadi satu kesatuan utuh dengan perjuangan warga.
    Tak hanya lukisan, Taring Padi juga memamerkan sepuluh panji berisi tembang-tembang perlawanan khas Samin.
    Panji-panji tersebut turut dipasang di Pendopo Pengayoman, Blora.
    “Festival Kendeng menjadi momen penting. Karya ini akhirnya kami persembahkan kembali kepada warga. Ia kembali ke tanahnya, tidak lagi menjadi beban, tapi menjadi milik bersama,” ujar seniman Taring Padi lainnya, Bebe.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Lukisan Raksasa Curi Perhatian di Festival Kendeng Pati, Pernah Dipamerkan di Australia
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        18 Desember 2025

    Lukisan Raksasa Curi Perhatian di Festival Kendeng Pati, Pernah Dipamerkan di Australia Regional 18 Desember 2025

    Lukisan Raksasa Curi Perhatian di Festival Kendeng Pati, Pernah Dipamerkan di Australia
    Tim Redaksi

    PATI, KOMPAS.com
    – Komunitas seni rupa Taring Padi memeriahkan Festival Kendeng 2025 yang digelar di Dukuh Misik, Desa Sukolilo, Kabupaten Pati, Kamis (18/12/2025).
    Mereka memamerkan sejumlah karya lukis yang merekam
    perjuangan masyarakat
    mempertahankan
    Pegunungan Kendeng
    dari kerusakan lingkungan.
    Di berbagai sudut festival, lukisan-lukisan bertema pelestarian Kendeng terpajang.
    Namun, satu karya raksasa berukuran 4 x 6 meter paling menyita perhatian pengunjung.
    Lukisan berjudul “
    Kendeng Lestari
    , Nyawiji Kanggo Ibu Bumi” itu menjadi representasi visual paling kuat yang menggambarkan perjuangan warga Kendeng.
    “Ini adalah potret dari apa yang dilakukan sedulur-sedulur Kendeng, JMPPK, Sedulur Sikep, dan Wiji Kendeng. Kami mencoba mengilustrasikan aktivitas dan semangat mereka dalam menjaga Kendeng,” ujar Fitri, salah satu seniman
    Taring Padi
    .
    Lukisan tersebut terbagi dalam dua sisi kontras.
    Di sisi kiri, wajah Samin Surosentiko dan sejumlah tokoh perjuangan pelestarian Kendeng.
    Sementara di sisi kanan, sosok Joko Widodo, Ganjar Pranowo, serta aparat negara. 
    Di bagian tengah lukisan, tergambar aksi pengecoran kaki, simbol ikonik perlawanan warga Kendeng.
    “Sisi kiri menggambarkan aktivitas yang dilakukan masyarakat Kendeng, sementara sisi kanan adalah gambaran pihak-pihak yang merusak Pegunungan Kendeng melalui penambangan dan kebijakan,” jelas Fitri.
    Proses pengerjaan lukisan ini memakan waktu tiga hingga empat pekan, melibatkan sekitar 10 seniman dan relawan.
    Karya tersebut rampung pada 2023 dan sempat dipamerkan di Australia sebelum akhirnya “pulang” ke Kendeng.
    Menurut Fitri, proses kreatif lukisan ini bukan sekadar kerja artistik, melainkan perjalanan belajar yang panjang.
    Diskusi demi diskusi dilakukan untuk merumuskan konsep, tema, hingga detail terkecil.
    “Yang paling lama justru proses diskusinya, sampai akhirnya menemukan bentuk yang tepat,” tandasnya.
    Taring Padi sendiri telah konsisten membersamai perjuangan warga Kendeng sejak 2006.
    Dalam
    Festival Kendeng
    2025, Taring Padi menampilkan
    lukisan raksasa
    ini bersama puluhan karya lain sebagai penanda bahwa karya tersebut telah menjadi satu kesatuan utuh dengan perjuangan warga.
    Tak hanya lukisan, Taring Padi juga memamerkan sepuluh panji berisi tembang-tembang perlawanan khas Samin.
    Panji-panji tersebut turut dipasang di Pendopo Pengayoman, Blora.
    “Festival Kendeng menjadi momen penting. Karya ini akhirnya kami persembahkan kembali kepada warga. Ia kembali ke tanahnya, tidak lagi menjadi beban, tapi menjadi milik bersama,” ujar seniman Taring Padi lainnya, Bebe.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Beban Dunia Usaha Kala Pemerintah Getol Tarik Penerimaan dari Minerba

    Beban Dunia Usaha Kala Pemerintah Getol Tarik Penerimaan dari Minerba

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah makin getol mencari tambahan penerimaan negara salah satunya dari industri pertambangan mineral dan batu bara. Mulai dari kebijakan kenaikan tarif royalti hingga pengenaan bea keluar untuk mendongkrak penerimaan. 

    Untuk diketahui pada tahun ini, pemerintah mengerek tarif royalti batu bara, nikel, tembaga, emas, hingga bauksit. Sementara itu, pada 2026, pemerintah juga berencana mengenakan tarif bea keluar terhadap batu bara dan emas.

    Direktur Eksekutif Indonesia Mining and Energy Watch Ferdy Hasiman mengatakan, kebijakan-kebijakan tersebut memang efektif dan potensial untuk menambah pundi-pundi penerimaan negara. Namun, implementasi kebijakan tersebut dipertanyakan karena dinilai tidak disusun secara sistematis.

    Menurut Ferdy, pola kebijakan yang ditempuh pemerintah cenderung reaktif. Ketika penerimaan negara menurun, pemerintah langsung menaikkan berbagai pungutan tanpa mempertimbangkan dampaknya secara menyeluruh. 

    “Dari sudut pandang korporasi, kebijakan seperti ini menjadi tidak menarik dan berpotensi menimbulkan ketidakadilan,” kata Ferdy kepada Bisnis, dikutip Kamis (18/12/2025). 

    Apalagi selama ini perusahaan-perusahaan tambang sudah menanggung beban royalti yang cukup besar, ditambah lagi dengan pajak-pajak lain di luar royalti. 

    Di sisi lain, pemerintah juga mewajibkan perusahaan untuk membangun smelter, seperti pada komoditas tembaga, yang nilai investasinya bisa mencapai puluhan hingga lebih dari Rp60 triliun. Menurutnya, secara ekonomi pembangunan smelter tersebut sebenarnya tidak sepenuhnya layak. Namun, tetap dijalankan karena merupakan kewajiban undang-undang.

    Padahal, pembangunan smelter memiliki dampak berganda (multiplier effect) yang besar, mulai dari peningkatan nilai tambah, pertumbuhan ekonomi lokal, hingga berkembangnya industri turunan. 

    Namun, Ferdy menilai setelah kewajiban pembangunan smelter dipenuhi, seharusnya pemerintah memberikan insentif kepada perusahaan agar manfaat ekonomi tersebut dapat terus diperluas.

    “Kalau kewajiban sudah dijalankan, mestinya pemerintah kasih insentif. Jangan justru bebannya terus ditambah. Kalau bebannya makin berat, ini jadi tidak menarik bagi perusahaan,” tuturnya.

    Lebih lanjut, dia mendorong pemerintah untuk segera menyusun desain industrialisasi pertambangan yang lebih komprehensif. Menurut Ferdy, saat ini smelter yang dibangun sebagian besar masih menghasilkan produk antara, sementara industri hilir lanjutan belum siap. 

    “Jika diarahkan dengan benar, hilirisasi lanjutan justru bisa meningkatkan penerimaan negara secara berkelanjutan,” jelasnya. 

    Ferdy menilai, sebagai jalan tengah, kenaikan royalti atau bea keluar seharusnya dilakukan secara proporsional dan melalui dialog dengan para produsen. 

    Dengan begitu, pemerintah dapat menentukan titik yang adil sehingga ketika perusahaan memperoleh keuntungan, penerimaan negara juga meningkat, tanpa mendorong perusahaan ke risiko kerugian atau kebangkrutan yang berujung pada berkurangnya lapangan kerja.

    “Perusahaan-perusahaan yang sudah menjalankan hilirisasi mestinya diberi insentif agar bisa masuk lebih jauh ke industri hilir. Dampak ekonominya besar, tapi ini sering tidak terlihat oleh pemerintah,” pungkasnya.

    Ferdy menegaskan bahwa kebijakan peningkatan penerimaan negara melalui kenaikan royalti memang memiliki tujuan baik. Namun, tanpa desain yang matang dan berimbang, kebijakan tersebut berisiko menekan dunia usaha dan justru melemahkan fondasi ekonomi jangka panjang.

    Senada, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan Bisman Bakhtiar mengatakan, kebijakan pemerintah untuk menarik penerimaan negara dari perusahaan tambang kontras dengan upaya mengendalikan produksi. 

    “Pengendalian produksi bertujuan menjaga harga, keberlanjutan SDA [sumber daya alam], dan stabilitas pasar, sementara monetisasi agresif tersebut berorientasi pada optimalisasi penerimaan jangka pendek,” terangnya, dihubungi terpisah. 

    Oleh karena itu, Bisman menilai perlu rancangan kebijakan terpadu selaras dan tidak kontradiktif. Sebab, jika produksi ditekan, tetapi biaya usaha dinaikkan maka margin pelaku usaha berkurang sehingga akan pengaruh pada investasi. 

    Dalam jangka pendek, menurut dia, kebijakan ini relatif efektif menambah penerimaan negara, khususnya saat harga komoditas tinggi dan terdapat stockpile besar. Namun secara struktural, kontribusinya tidak berkelanjutan.

    “Potensi penerimaan bisa signifikan, tetapi sangat bergantung pada harga global, volume produksi, dan kepatuhan pelaku usaha. Tetapi sebaliknya jika beban keuangan pelaku usaha terlalu berat, justru berisiko menurunkan produksi,” tambahnya. 

    Alih-alih mengejar penerimaan negara dari monetisasi komoditas minerba, Bisman menyarankan pemerintah sebaiknya fokus pada perbaikan tata kelola dan pengawasan, seperti menekan kebocoran penerimaan, transfer pricing, dan tambang ilegal. 

    “Selain itu peningkatan nilai tambah hilirisasi dan pengembangan industri turunannya atau bisa juga menerapkan skema fiskal adaptif atau royalti progresif berbasis harga, artinya besarnya persentase royalti fluktuatif mengikuti harga komoditas. Ini akan lebih fair dan proporsional,” pungkasnya. 

    Respons Pelaku Usaha

    Industri pertambangan nasional diproyeksikan menghadapi tahun yang penuh tantangan pada 2026. Tak hanya gejolak harga komoditas, pengusaha juga dihadapkan pada tekanan kebijakan yang memicu penambahan biaya produksi. 

    Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia menilai tahun 2026 bukanlah periode yang mudah bagi sektor ini karena ketidakpastian gejolak ekonomi global dan dinamika regulasi domestik yang terus bergerak.

    “Jadi uncertainty-nya masih menjadi tantangan, dan juga kita di domestiknya tentu saja banyak regulasi yang berubah dan juga ada tambahan kewajiban dari berbagai regulasi ini yang membuat perusahaan-perusahaan ini yang menjadi tantangan ya,” kata Hendra, belum lama ini. 

    Salah satu isu yang menjadi perhatian adalah wacana penerapan bea keluar untuk komoditas emas dan batu bara. Sebab, tak hanya meningkatkan biaya produksi, dia juga menilai kebijakan tersebut kurang tepat secara fungsi karena mestinya bea keluar digunakan untuk melindungi kebutuhan domestik.

    Hendra menyebut penerapan bea keluar emas dan batu bara ini akan berdampak signifikan pada ongkos produksi penambang yang memicu tekanan margin profit. 

    “Menurut kami bukan instrumen untuk penerimaan negara, tapi untuk melindungi industri domestiknya, sementara kan kebutuhan domestik batu bara kita kan masih sangat kecil ya, masih 30%, jadi harusnya sih itu nggak diterapkan,” ujarnya.

    IMA juga menyoroti kebijakan pemerintah yang tetap berkomitmen menerapkan bea keluar meski harga komoditas tengah melemah. Kondisi ini diperparah oleh potensi meluasnya aturan tersebut ke komoditas lain seperti nikel dan mineral strategis lainnya.

    “Itu yang ketidakpastian regulasi juga menjadi tantangan, dan belum tahu lagi nih ada cukai juga kan, bisa saja nanti diterapkan,” jelasnya.

    Dengan bertambahnya wacana pungutan dan kewajiban baru, ketidakpastian regulasi dipandang sebagai salah satu risiko terbesar yang harus diantisipasi perusahaan tambang pada tahun mendatang. 

    Penambang menilai dibutuhkan kejelasan dan konsistensi agar industri dapat merancang strategi jangka panjang dengan lebih pasti.

  • Registrasi SIM Pakai Pengenalan Wajah Tuai Pro Kontra, Pakar Soroti Risiko Data Biometrik

    Registrasi SIM Pakai Pengenalan Wajah Tuai Pro Kontra, Pakar Soroti Risiko Data Biometrik

    Sebelumnya, Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) akan menerapkan kebijakan registrasi kartu SIM berbasis biometrik dengan teknologi pengenalan wajah (face recognition) mulai 1 Januari 2026.

    Langkah ini diambil untuk memperkuat akurasi identitas pelanggan seluler sekaligus menekan maraknya kejahatan digital yang memanfaatkan nomor telepon sebagai sarana utama penipuan.

    Pada tahap awal, penerapan registrasi biometrik dilakukan secara sukarela bagi pelanggan baru dengan skema hybrid hingga akhir Juni 2026. Selanjutnya, mulai 1 Juli 2026, seluruh pelanggan baru diwajibkan menggunakan metode biometrik dalam proses registrasi kartu SIM.

    Kebijakan tersebut disampaikan dalam diskusi bertajuk “Ancaman Kejahatan Digital serta Urgensi Registrasi Pelanggan Seluler Berbasis Biometrik Face Recognition” yang digelar Komdigi bersama Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) di Jakarta, Rabu (17/12/2025).

    Lonjakan Penipuan Digital Jadi Latar Belakang

    Direktur Jenderal Ekosistem Digital Komdigi, Edwin Hidayat Abdullah, mengatakan kebijakan registrasi biometrik lahir dari tingginya angka penipuan digital yang terus meningkat setiap tahun.

    Hampir seluruh modus kejahatan siber—mulai dari scam call, spoofing, smishing, hingga social engineering—berbasis pada penyalahgunaan identitas nomor telepon.

    “Kerugian akibat penipuan digital telah melampaui Rp7 triliun. Setiap bulan terjadi lebih dari 30 juta panggilan penipuan, dan rata-rata masyarakat menerima setidaknya satu panggilan spam setiap pekan,” ujar Edwin.

    Data Indonesia Anti Scam Center (IASC) mencatat hingga September 2025 terdapat 383.626 rekening yang terindikasi terkait penipuan dengan total kerugian mencapai Rp4,8 triliun. Angka tersebut kontras dengan jumlah pelanggan seluler tervalidasi yang telah melampaui 332 juta nomor.

    ATSI: Operator Seluler Siap Jalankan Kebijakan

    Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) menyatakan kesiapan operator seluler dalam mendukung penuh implementasi registrasi SIM berbasis biometrik.

    Direktur Eksekutif ATSI, Marwan O. Baasir, menegaskan kebijakan ini krusial untuk melindungi kepentingan pelanggan di tengah pesatnya digitalisasi layanan.

    “Mulai dari mobile banking, transaksi digital, hingga akses layanan publik, semuanya bergantung pada nomor seluler. Karena itu, diperlukan sistem identifikasi yang lebih kuat dan akurat,” kata Marwan.

    Ia menjelaskan, peralihan dari validasi berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Kartu Keluarga menuju biometrik merupakan kelanjutan kebijakan know your customer (KYC) yang telah diterapkan sejak 2005. Teknologi biometrik dinilai mampu mencegah identitas ganda serta mempersempit ruang kejahatan seperti SIM swap fraud.

    “Pada masa transisi, pelanggan baru masih dapat memilih antara registrasi menggunakan NIK atau verifikasi biometrik. Namun, mulai 1 Juli 2026, seluruh registrasi pelanggan baru wajib menggunakan biometrik. Kebijakan ini tidak berlaku bagi pelanggan lama,” ujar Marwan.

  • 3
                    
                        Terbengkalai sejak 2007, Kenapa Menara Saidah Tak Dirobohkan?
                        Megapolitan

    3 Terbengkalai sejak 2007, Kenapa Menara Saidah Tak Dirobohkan? Megapolitan

    Terbengkalai sejak 2007, Kenapa Menara Saidah Tak Dirobohkan?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Hampir dua dekade telah berlalu sejak aktivitas terakhir di Menara Saidah berhenti pada 2007.
    Bangunan setinggi 28 lantai yang berdiri di tepi Jalan MT Haryono, Jakarta Selatan, itu hingga kini tetap tegak, namun kosong, terkurung pagar seng, dan dijauhkan dari denyut kehidupan kota yang terus bergerak di sekitarnya.
    Di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur dan properti di Jakarta, publik pun kerap mempertanyakan hal yang sederhana namun penting: Mengapa
    Menara Saidah
    tidak juga dirobohkan?
    Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menegaskan bahwa hingga kini tidak ada dasar hukum maupun teknis untuk melakukan pembongkaran bangunan tersebut.
    Ketua Subkelompok Penggunaan Bangunan Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan (Citata) DKI Jakarta, Kartika Andam Dewi, mengatakan bahwa Menara Saidah pernah melalui kajian teknis dan tidak dinyatakan membahayakan.
    Ia menjelaskan, dalam tata kelola bangunan gedung, pembongkaran tidak bisa dilakukan serta-merta hanya karena bangunan terbengkalai atau tidak difungsikan.
    “Pun apabila suatu bangunan dinyatakan membahayakan, lalu ada penetapan pembongkaran oleh pemerintah daerah, yang melakukan pembongkaran tetap pemilik bangunan,” kata Andam.
    Menara Saidah sendiri merupakan aset milik swasta, bukan milik Pemprov DKI Jakarta. Karena itu, kewenangan pemerintah daerah terbatas pada pengawasan dan penilaian teknis, bukan eksekusi langsung.
    Ketika ditanya apakah kajian teknis tersebut dilakukan oleh Dinas Citata atau pihak lain, Andam menegaskan bahwa pengkajian tidak dilakukan langsung oleh pemerintah.
    “Yang melakukan pengkajian dari penyedia jasa pengkajian teknis bersertifikat yang di-
    hire
    oleh pemilik bangunan,” ujarnya.
    Dengan kata lain, selama tidak ada laporan resmi, aduan masyarakat, atau hasil penilaian teknis terbaru yang menyatakan bangunan itu berbahaya, pemerintah daerah tidak memiliki dasar untuk memerintahkan pembongkaran.
    Selain itu, Andam juga tidak bisa memberikan informasi terkait alasan detail
    kenapa Menara Saidah tidak dirobohkan
    , karena bangunan milik perorangan, dan hanya pemilik yang mengetahui alasannya.
    Dari sudut pandang tata kota, keberadaan Menara Saidah yang terbengkalai di lokasi strategis menjadi anomali sekaligus ironi.
    Pengamat perkotaan Universitas Indonesia (UI), Muh Aziz Muslim, menyebutkan, Menara Saidah dulunya adalah salah satu bangunan paling ikonik di wilayah Pancoran dan Cawang.
    “Menara Saidah ini kan pernah menjadi salah satu bangunan yang paling ikonik di Jakarta, terutama di kawasan Pancoran. Dibandingkan dengan gedung-gedung di sekitarnya, dia relatif menjulang tinggi,” kata Aziz saat dihubungi, Selasa (16/12/2025).
    Namun, justru karena posisinya yang strategis itulah, ketidakjelasan nasib gedung ini kerap memicu spekulasi publik.
    “Kalau pertanyaannya kenapa belum dibongkar, itu yang justru jadi misteri. Karena dari aspek kepemilikan, gedung ini dimiliki oleh perorangan, keluarga Saidah. Maka pertanyaan utama sebenarnya harus diajukan kepada pemiliknya,” ujar Aziz.
    “Gedung ini memberi pelajaran bahwa pembangunan tidak bisa hanya mengandalkan estetika dan kemegahan. Yang lebih penting adalah aspek struktur dan keamanan,” kata dia.
    Ia mengingatkan, pengosongan Menara Saidah pada 2007 terjadi bersamaan dengan munculnya isu perubahan struktur bangunan, termasuk dugaan kemiringan gedung.
    “Dulu informasinya diduga karena dibangun di kawasan rawa. Ini tentu perlu dikonfirmasi ulang, tapi yang jelas saat itu aspek keamanan gedung mulai diragukan,” ucap Aziz.
    Dalam konteks Jakarta hari ini, Aziz menilai Menara Saidah gagal beradaptasi dengan perubahan standar keselamatan dan pergeseran pusat bisnis.
    “Sekarang sentra bisnis bergerak ke Kuningan, Sudirman, Simatupang. Jadi, selain faktor struktur, ada juga faktor perubahan lokasi strategis,” tutur dia.
    Soal pembongkaran, Aziz menilai keputusan itu tidak bisa dilihat secara sederhana.
    “Merobohkan gedung setinggi Menara Saidah itu bukan perkara mudah. Ada banyak kebutuhan teknis, pertimbangan dampak lingkungan, dan dampak sosial bagi kawasan sekitarnya. Semua itu tentu menjadi pertimbangan pemilik gedung,” kata Aziz.
    Dari perspektif lingkungan, pembongkaran bangunan sebesar Menara Saidah di kawasan padat lalu lintas dan penduduk bukan tanpa risiko.
    Pengamat lingkungan Mahawan Karuniasa menegaskan bahwa pembongkaran bangunan besar di wilayah perkotaan memiliki potensi dampak lingkungan yang signifikan.
    “Yang pertama tentu dampak kualitas udara, terutama debu halus atau PM 2,5 dan PM 10,” ujar Mahawan saat dihubungi, Rabu (17/12/2025).
    Debu halus hasil pembongkaran, kata Mahawan, berbahaya bagi kesehatan karena dapat masuk ke sistem pernapasan, bahkan aliran darah.
    “Tanpa pengendalian basah seperti
    water spraying
    , PM 2,5 bisa meningkat dua sampai lima kali lipat di sekitar lokasi pembongkaran,” kata dia.
    Selain polusi udara, kebisingan juga menjadi persoalan serius.
    “Pembongkaran bisa menghasilkan kebisingan 70 sampai 90 desibel, sementara standar WHO maksimal 55 desibel,” ujar Mahawan.
    Ia menambahkan, getaran akibat pembongkaran juga berisiko merusak bangunan di sekitarnya, terutama bangunan lama dan infrastruktur seperti pipa air atau gas.
    “Belum lagi dampak sosial. Aktivitas ekonomi warga terganggu, kenyamanan hidup menurun, dan bisa memicu konflik jika tidak ada komunikasi yang baik,” tutur dia.
    Karena itu, Mahawan menekankan bahwa persoalan utama bukan hanya ada atau tidaknya kajian, tetapi implementasi dan pengawasan di lapangan.
    “Sering kali administrasinya lengkap, tapi pengawasannya lemah. Komunikasi publik juga sering tertinggal,” kata Mahawan.
    Sebelumnya, 
    Kompas.com
    telah melakukan penelusuran ke Menara Saidah pada Jumat (7/11/2025). Bangunan tersebut kini lebih menyerupai artefak kota yang terlupakan.
    Di depan gedung, pagar seng abu-abu kusam setinggi dua meter membentang dengan tulisan merah mencolok DILARANG MASUK.
    Di atasnya, lintasan LRT menjulang, sementara halte TransJakarta Cawang di bawahnya dipadati penumpang setiap hari. Ribuan orang berlalu-lalang, hanya beberapa meter dari bangunan kosong itu.
    Begitu pagar dibuka oleh petugas keamanan, suasana berubah drastis. Sunyi. Hanya dengung kendaraan dari kejauhan dan lolongan anjing penjaga yang terdengar.
    Kompas.com
    mendapat kesempatan untuk memasuki gedung yang justru tidak satu orang pun yang diperbolehkan memasuki gedung ini kecuali penjaga dan pemilik.
    Melangkah masuk di halaman depan, marmer lobi tertutup debu dan dedaunan. Rumput liar tumbuh di sela ubin. Pilar-pilar besar bergaya Romawi memudar warnanya, sementara beberapa kaca jendela pecah.
    Di dalam, saat menjelajahi lantai satu hingga sembilan, terlihat lift menyisakan poros besi. Kabel-kabel menjuntai berkarat. Tangga darurat gelap, lembap, dan berbau besi tua.
    Di lantai atas, jendela pecah memperlihatkan kontras mencolok Jakarta yang terus bergerak di luar, sementara Menara Saidah membeku dalam waktu.
    Menara Saidah dibangun pada 1998 oleh PT Hutama Karya atas pesanan Mooryati Soedibyo dengan nama Menara Gracindo.
    Gedung itu kemudian berpindah tangan ke keluarga Saidah Abu Bakar Ibrahim dan direnovasi menjadi 28 lantai.
    Namun, bangunan yang digunakan untuk perkantoran itu ditinggalkan penyewa sejak 2007. Pengelola saat itu membantah isu kemiringan, menyebut pengosongan hanya karena masa sewa habis.
    Menurut Andam, bangunan yang tidak difungsikan otomatis kehilangan Sertifikat Laik Fungsi (SLF).
    “Pengawasan kami bergilir. Menara Saidah belum masuk jadwal pengawasan 2025,” kata Andam.
    Karena tidak ada laporan atau aktivitas, pengawasan lanjutan belum dilakukan.
    Bagi warga sekitar, Menara Saidah kini lebih dari sekadar gedung kosong.
    “Kalau malam sepi banget. Padahal di seberang sudah banyak gedung baru,” kata Puji (29), pengemudi ojek
    online
    .
    Warga lain, Wati (50), menyebut Menara Saidah seperti simbol kota yang dibiarkan tanpa arah.
    “Kalau enggak bisa dipakai lagi, ya paling tidak dirapikan. Jangan dibiarkan kumuh,” ujar dia.
    Menara Saidah berdiri di tengah megaproyek Jakarta, namun tak ikut bergerak.
    Ia menjadi pengingat bahwa pembangunan fisik tanpa kepastian hukum, tata kelola, dan keberanian mengambil keputusan, hanya akan melahirkan monumen kebisuan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Cerita WNI Terpapar Kabut Beracun yang Selimuti Ibu Kota India

    Cerita WNI Terpapar Kabut Beracun yang Selimuti Ibu Kota India

    Jakarta

    Sekolah-sekolah di Delhi dan sekitarnya telah memindahkan kelas ke daring dan pembangunan konstruksi telah dilarang karena ibu kota India itu diselimuti kabut beracun yang berbahaya. Dua orang WNI menceritakan dampak yang mereka alami akibat kualitas udara yang buruk di kota itu.

    Pada Senin (15/12) pagi, kabut beracun menyelimuti Ibu kota India, Delhi, yang mempengaruhi jarak pandang dan mengakibatkan jadwal penerbangan dan kereta api tertunda.

    Indeks kualitas udara (AQI) di Delhi yang mengukur PM2.5, partikel halus yang dapat menyumbat paru-paru, dan polutan lainnya lebih dari 30 kali batas yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

    Paparan polusi tingkat ini dapat menyebabkan masalah kesehatan serius, terutama pada anak-anak dan orang lanjut usia.

    Udara beracun adalah masalah yang berulang di Delhi dan pinggiran kotanya, terutama selama musim dingin.

    Masalah ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti emisi industri, knalpot kendaraan, penurunan suhu, kecepatan angin yang rendah, dan pembakaran jerami tanaman musiman di negara bagian tetangga.

    Dan pada Rabu (17/12), indeks kualitas udara di Delhi masuk dalam kategori parah.

    “Dibanding kualitas udara di Jakarta, ini di Delhi lebih parah. Terasa perih di mata kalau kita keluar dan terpapar udara di luar,” kata Dita kepada wartawan Riana Ibrahim yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Selasa (16/12).

    “Napas tidak enak dan berat, tenggorokan cepat gatal seperti mau batuk terus. Saya jadi gampang bersin alergi juga,” tambah Dita yang baru pindah ke Delhi pada Juni 2025.

    ‘Polusi udara merupakan pandemi kesehatan’

    Pada Senin (15/12) lalu, rata-rata Indeks Kualitas Udara (AQI) di Delhi mencapai 471, menurut aplikasi Safar milik pemerintah.

    Badan pengawas polusi India mengklasifikasikan tingkat AQI 101200 sebagai moderat, 201300 sebagai buruk, 301400 sebagai sangat buruk, dan di atas 400 sebagai parah.

    Aplikasi yang didukung pemerintah membatasi pembacaan hingga 500, meskipun pemantau swasta dan internasional sering mencatat tingkat yang jauh lebih tinggi.

    Pada Desember tahun lalu, situasi serupa juga terjadi.

    Kepala eksekutif global perusahaan teknologi udara IQAir, Frank Hammes memperingatkan tingkat polusi udara yang mengkhawatirkan merupakan pandemi kesehatan masyarakat.

    Kepada BBC, ia menjelaskan bagaimana udara beracun mempengaruhi segala hal mulai dari angka kematian hingga tingkat IQ.

    “Ini akan berdampak jauh lebih besar pada kesehatan masyarakat daripada Covid-19.”

    Kabut Pagi terlihat di salah-satu ruas jalan di Delhi, India, Minggu (14/12). (Vipin Kumar/Hindustan Times melalui Getty Images)

    Akibat situasi ini, Pemerintah India mengalihkan sekolah-sekolah di Delhi dan daerah sekitarnya ke pembelajaran daring.

    Kegiatan konstruksi juga dilarang sementara. Kabut beracun yang menyelimuti kota ini juga mengganggu visibilitas dan menunda penerbangan serta kereta api.

    Mahkamah Agung India juga mengeluarkan surat edaran pada Minggu, mengimbau pengacara dan pihak yang berperkara untuk hadir secara virtual dalam sidang.

    ‘Bawa alat nebulizer ke sekolah’

    Dita, warga negara Indonesia yang tinggal di Delhi, mengatakan, aturan sekolah secara daring yang dikeluarkan pemerintah “tidak berlaku untuk semua”.

    “Sekolah baru ditetapkan online hanya untuk nursery sampai grade 5, di atas grade 5 boleh dengan hybrid,” ujar Dita.

    “Itu juga baru diterapkan di akhir November saat AQI nggak turun dari 300+. Dan enggak semua sekolah menerapkan hybrid, termasuk sekolah anakku. Dia sekarang grade 11 dan sedang ada exam. Sampai bawa alat nebu ke sekolah dong,” ungkapnya

    Ia juga mengaku asmanya kambuh karena terpapar udara ketika harus tetap keluar rumah menjemput anaknya.

    “Kalau keluar pakai masker N95 dan di mobil juga taruh portable air purifier,” ujarnya.

    Ketika baru datang pada Juni 2025, cuaca masih panas tapi masuk ke perubahan menuju musim gugur.

    “Di India ditandai dengan hujan tiap hari di bulan Juni-Juli yang disebut Monsoon season. Jadi belum terlihat asap polusi karena masih banyak hujan,” tutur Dita.

    Menurut dia, asap dan kabut polusi tipis-tipis mulai muncul sejak akhir Oktober 2025.

    Sebelumnya, ada perayaan Diwali dan festivalnya yang dimulai 20 Oktober sampai seminggu lebih.

    “Asap pun makin tebal karena hampir seisi kota bakar petasan dan kembang api selama semingguan itu.”

    Sejak polusi tinggi dan AQI naik drastis, ia merasakan penanganan pemerintah sangat lambat.

    “Mereka malah menganggap asap akan reda karena musim dingin biasanya waktu buat petani bakar sisa tanaman di lahan, untuk lahan tanam baru (dari padi ke gandum),” kata Dita.

    “Tapi ternyata sampai ada demo dan protes, baru ada aturan khusus dan itu pun sekolah dan kantor masih offline di angka AQI tembus 500+. Tidak ada advice juga dari pemerintah soal penggunaan masker,” ujar Dita.

    Belakangan, pemerintah kota menerapkan kegiatan penyemprotan air smoke gun patroli keliling dari pagi sampai sore dengan menggunakan truk tangki air.

    Namun menurut Dita, tindak lanjut tersebut juga belum merata di berbagai wilayah.

    Dita membandingkan dengan kondisi di Jakarta yang juga penuh polusi.

    “Jakarta cenderung stabil tapi lembap dan bikin pengap. Polusi udara Delhi jauh lebih parah dan berdampak langsung, contohnya penderita sakit pernapasan makin banyak bahkan sekitar saya pada batuk dan bahkan asma.”

    Dita juga berkata Delhi merupakan kota dengan iklim subtropis dan Jakarta beriklim tropis.

    Dengan kondisi tersebut, kondisi Delhi lebih ekstrem dan kontras, bahkan sangat tidak ramah buat tubuh manusia.

    “Kalau gambaran di jalanan, langit keruh cenderung abu-abu kayak mau hujan tapi enggak ada hujan. Berasap dan kabut terutama pagi dan malam selama musim dingin ini.”

    Kabut tebal telah menyelimuti Delhi dalam beberapa hari terakhir. (Getty Images)

    Warga Negara Indonesia lainnya yang juga tinggal di Delhi, Leni, lebih dulu sampai pada Oktober 2024.

    Ia turut menjadi saksi kabut serupa pernah menyelimuti Delhi hingga banyak orang jatuh sakit.

    “AQInya pernah sampai 1000, bahkan di beberapa tempat ada yang lebih tinggi. Kabut polusi dengan jarak pandang cuma sampai ujung mobil kita sendiri. Kalau tahun ini, suhu lebih dingin dari pada tahun lalu. AQInya masih di kisaran paling tinggi sampai 700an,” kata Leni.

    Leni berpendapat kondisi udara memburuk hanya pada musim dingin.

    Hal ini juga disebabkan lokasi geografis dari Delhi yang berada seperti dalam cekungan.

    “Saat musim dingin dan tidak ada angin, maka polusi tidak bisa naik ke atas. Jadi mengendap. Ditambah pembakaran dari pabrik, sampah yang dibakar, dan polusi dari kendaraan nambah parah.”

    Selain penyemprotan air dari pemerintah, penanganan yang dilakukan Leni dan keluarga adalah memakai masker dan menggunakan air purifier di rumah.

    Untuk sekolah, pembelajaran hybrid diberlakukan di tempat anaknya belajar.

    Namun, tetap disarankan untuk masuk dengan alasan sudah terpasang 2 smoke air gun di sekolah dan air purifier di setiap kelas.

    “Tetap disarankan anak-anak menggunakan masker juga. Tapi berdasarkan imbauan pemerintahnya kelas anak saya diharuskan online mode dan ada kelas lainnya offline mode.”

    Sementara itu, baik Dita maupun Leni belum menerima tindak lanjut juga dari pemerintah Indonesia untuk warga negara yang terdampak.

    BBC telah mencoba menghubungi pihak Kementerian Luar Negeri, tapi belum memperoleh jawaban.

    Warga berkendara di tengah kabut asap tebal di New Delhi, 21 Oktober 2025. (Arun Sankar/AFP via Getty Images)

    ‘Penurunan kualitas udara’

    Penurunan tiba-tiba tingkat kualitas udara terjadi sejak Sabtu (13/12) setelah ibu kota India itu menunjukkan perbaikan selama seminggu terakhir, yakni ketika tingkat polusi berfluktuasi antara “buruk” dan “sangat buruk”.

    Pada Minggu (14/12), Komisi Pengelolaan Kualitas Udara India (CAQM) mengaktifkan tingkat tertinggi dari rencana tanggapan berjenjang (GRAP) untuk menangani polusi, meningkatkan dari “tingkat III” menjadi “tingkat IV” dalam rencana tersebut.

    Akibatnya, truk diesel tua dilarang masuk ke Delhi, aktivitas konstruksi dihentikan, dan sekolah-sekolah diinstruksikan untuk beralih ke kelas hybrid, dengan anak-anak usia lebih muda diwajibkan belajar secara daring.

    CAQM menyatakan bahwa penurunan kualitas udara terbaru disebabkan oleh tingkat kelembapan yang tinggi dan perubahan arah angin, yang mengurangi penyebaran polutan dan mendorong pembentukan kabut asap.

    Pihak berwenang telah memperingatkan warga, terutama anak-anak dan orang dengan kondisi jantung atau pernapasan, untuk tinggal di dalam ruangan dan diimbau mengenakan masker jika harus keluar.

    Paparan jangka panjang terhadap AQI yang parah dapat menyebabkan masalah pernapasan bahkan pada orang sehat.

    Lebih dari 200.000 kasus penyakit pernapasan akut tercatat di enam rumah sakit milik negara di Delhi pada periode 2022-2024.

    Saat itu, Delhi berjuang melawan peningkatan tingkat polusi, seperti yang dilaporkan pemerintah federal kepada parlemen awal bulan ini.

    Lihat juga Video ‘Dubes India soal Film ‘Taj Mahal An Eternal Love Story’: Penonton Indonesia akan Relate’:

    (ita/ita)