NGO: Komnas HAM

  • Perjuangan Nani Nurani Puluhan Tahun Bebaskan Diri dari Stigma PKI
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        2 Oktober 2025

    Perjuangan Nani Nurani Puluhan Tahun Bebaskan Diri dari Stigma PKI Megapolitan 2 Oktober 2025

    Perjuangan Nani Nurani Puluhan Tahun Bebaskan Diri dari Stigma PKI
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Perjuangan Nani Nurani (84), membebaskan dirinya dari stigma Partai Komunis Indonesia (PKI) bukan hal yang mudah.
    Padahal Nani merupakan korban salah tangkap pemerintah karena dituding terlibat dalam Gerakan 30 September (G30S) PKI.
    Perempuan asal Cianjur, Jawa Barat ini dituding terlibat karena pernah mengisi acara di ulangtahun PKI pada Juni 1965, ketika organisasi itu belum dilarang pemerintah.
    Meski tak ada bukti yang kuat, Nani tetap ditahan di Penjara Perempuan Bukit Duri, Jakarta Utara, sejak 29 Januari 1969 hingga 19 November 1975.
    Setelah bebas penuh di tahun 1976, Nani mengaku pernah diminta bersumpah untuk tidak menutut pemerintah atas peristiwa salah tangkap yang dialami dirinya.
    “Terus karena penasaran saya nanya kepala bagian umumnya Pak Situmeang ‘Pak, saya ini gimana?’ Dia bilang ‘kau mau ke ujung dunia juga boleh’ ternyata bohong. Boro-boro ke ujung dunia, KTP ditandai tahun 1978 ditandai ET. Terus tahu-tahu wajib lapor lagi,” ujar Nani.
    Wajib lapor Nani dimulai tahun 1984 ketika peristiwa Tanjung Priok tersebut terjadi. Ia diwajibkan lapor ke kecamatan satu bulan sekali dan ke keluarahan tiga bulan sekali.
    Hal itu sempat membuat Nani menutup diri selama 17 tahun karena stigma negatif terhadap para eks tapol masih sangat kuat.
    Ia baru berani membuka diri dengan dunia luar sekitar tahun 1999 ketika terjadi reformasi dan Abdurahman Wahid atau Gusdur resmi menjadi presiden.
    Kemudian, di tahun 2000 perjuangan Nani untuk merehabilitasi namanya sebagai eks tapol G30S dimulai.
    “Saya ke Komnas HAM bagus sekali responnya langsung kirim ke Sekertaris Negara, tapi enggak dibalas,” ucap Nani.
    Perjuangan Nani memperbaiki nama baiknya di tahun 2000 berlanjut ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
    “Di tahun 2000 itu ngurus lah ke LBH waktu itu. Langsung diurus ke kecamatan yang dampingi Pak Suma Miharja sama Taufik Basari, jawabannya (dari kelurahan) tidak ada dasar hukumnya wajib lapor,” ujar Nani.
    Mendengar hal itu, Suma Miharja kesal dan langsung mengirim surat resmi ke kelurahan dan kecamatan. Sejak itu, Nani sudah tidak lagi wajib lapor.
    Diskriminasi yang Nani alami tidak hanya sampai KTP-nya diberi tanda ET dan wajib lapor puluhan tahun. Namun, dia juga dipersulit mendapatkan KTP seumur hidup.
    Akhirnya, Nani kembali didampingi Taufik Basari mengajukan banding ke pengadilan dan menang pada tahun 2003. Kini, perempuan tersebut sudah memiliki KTP seumur hidup.
    Tak hanya sampai situ, di tahun 2008, Nani juga dinyatakan menang oleh Mahkamah Agung dengan putusan dirinya tidak terlibat G30S dan bukan bagian dari organisasi terlarang.
    “Dengan modal itu maju lah saya ke pengadilan untuk rehabilitasi nama mulai 28 Otktober 2011, membawa saksi dan saksi ahli delapan, bukti 52 berkas, pemerintah tidak punya bukti, tidak punya saksi, tapi keputusannya tidak berwenang,” ucap Nani.
    Kini, upaya Nani merehabilitasi namanya dari stigma PKI sudah mentok. Ia tak mau lagi berjuang dan memilih menikmati sisa hidupnya di rumah sederhana di Jakarta Utara sambil tekun beribadah.
    Nani dikenal sebagai seniman lokal Cianjur, Jawa Barat. Pada masa mudanya, ia kerap diundang Presiden pertama RI, Soekarno untuk menari dan menyanyi di Istana Cipanas dalam acara resmi.
    Ketenaran itulah yang membuat Nani kemudian diundang Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk mengisi acara ulang tahun partai ini pada tahun 1965.
    Setahun kemudian, PKI ditetapkan sebagai organisasi terlarang karena diduga menjadi dalang peristiwa G30S yang menewaskan tujuh jenderal TNI.
    Sejumlah simpatisan dan orang-orang yang terafiliasi dengan PKI lantas ditangkap dan dipenjara oleh pemerintah.
    Nani termasuk salah satu yang ditangkap pemerintah pada tahun 1968 serta ditahan tanpa melalui proses pengadilan.
    Pada tahun 1975, Nani dibebaskan. Status sosialnya pun dibatasi karena kartu tanda penduduknya (KTP) dilabeli “ET” atau eks tahanan politik (eks-tapol).
    Karena kekhawatirannya, Nani bahkan memilih untuk tidak menikah karena takut stigma eks tapol akan menurun kepada anaknya kelak.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Perjumpaan Terakhir di Mako Brimob Kwitang, Menanti Kabar 2 Orang yang Masih Hilang

    Perjumpaan Terakhir di Mako Brimob Kwitang, Menanti Kabar 2 Orang yang Masih Hilang

    KontraS melalui surat resminya yang diterima Liputan6.com, mendesak dengan segera dan tegas kepada seluruh lembaga negara yang memiliki mandat perlindungan HAM dan pengawasan terhadap aparat keamanan, untuk segera:

    1. Melakukan pencarian intensif dan menyeluruh terhadap Muhammad Farhan Hamid dan Reno Syachputra Dewo.

    2. Membuka akses atas data dan proses investigasi di seluruh lokasi penahanan resmi maupun non-resmi yang berada di bawah kewenangan Polri dan TNI.

    3. Menindak secara tegas dan transparan seluruh pihak yang bertanggung jawab atas praktik penghilangan paksa, baik pelaku langsung maupun atasan dalam rantai komando, sesuai prinsip akuntabilitas hukum dan HAM.

    4. Melibatkan lembaga independen seperti Komnas HAM dan LPSK dalam proses investigasi, pencarian, serta perlindungan terhadap korban dan keluarga, guna menjamin independensi dan transparansi.

    5. Menjamin keterbukaan informasi secara berkala kepada publik dan keluarga korban, serta memastikan seluruh proses pencarian dan penegakan hukum dilakukan dengan prinsip transparansi dan partisipasi.

    6. Memastikan pemulihan hak-hak korban dan keluarga, termasuk hak atas keadilan, kebenaran, dan reparasi menyeluruh sesuai dengan standar HAM internasional.

    7. Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan dan prosedur pengamanan aksi massa oleh aparat keamanan, guna mencegah terulangnya penggunaan kekuatan berlebihan, penangkapan sewenang-wenang, dan pelanggaran terhadap kebebasan sipil.

    8. Menghentikan segala bentuk intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi terhadap Pembela HAM, pendamping hukum, dan masyarakat sipil, serta menjamin ruang aman bagi mereka yang menjalankan mandat konstitusional dalam memperjuangkan HAM.

  • Keluarga Korban Minta Komnas HAM Tetapkan Tragedi Kanjuruhan Sebagai Pelanggaran HAM Berat
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        1 Oktober 2025

    Keluarga Korban Minta Komnas HAM Tetapkan Tragedi Kanjuruhan Sebagai Pelanggaran HAM Berat Megapolitan 1 Oktober 2025

    Keluarga Korban Minta Komnas HAM Tetapkan Tragedi Kanjuruhan Sebagai Pelanggaran HAM Berat
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Keluarga korban meminta agar Komnas HAM menetapkan tragedi Kanjuruhan sebagai pelanggaran HAM berat.
    Hal itu disampaikan massa aksi Jaringan Solidaritas Keadilan Korban Kanjuruhan usai bertemu perwakilan Komnas HAM pada Rabu (1/10/2025).
    “Sekarang kan kita menuntut terhadap Komnas HAM agar segera menetapkan status tragedi Kanjuruhan,” ucap Sanuar, salah satu keluarga korban di kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta, Rabu.
    Sementara Dermawan selaku pendamping hukum keluarga korban mengaku kecewa tidak ada komisioner Komnas HAM yang hadir dalam audiensi tersebut. 
    “Entah alasannya apa, komisionernya pada hari ini tidak ada gitu. Jadi pada intinya hari ini tidak ada komisionernya,” jelasnya.
    Menurut dia, hasil audiensi tidak ada jawaban dari Komnas HAM. Namun ia meminta Komnas HAM segera menuntaskan Tragedi Kanjuruhan.
    “Jadi pada intinya belum-belum ada jawaban konkret gitu ya soal apakah akan dilakukan pro yustisia gitu. Hanya komitmen saja secara lisan dan itu juga masih perlu dipertanyakan apalagi yang kita temui tadi ini ya bukan komisionernya hanya perwakilan saja,” tambah Dermawan.
    Dermawan mengatakan bahwa pendamping hukum dan keluarga korban masih berusaha agar Komnas HAM menetapkan tragedi Kanjuruhan sebagai pelanggaran HAM Berat dan melakukan penyelidikan pro yustisia. 
    “Tentu langkah yang akan kita lakukan tetap mendorong Komnas HAM agar menetapkan tragedi Kanjuruhan sebagai pelanggaran HAM berat dan melakukan proses penyelidikan pro yustisia,” kata dia.
    Tragedi Kanjuruhan terjadi pada 1 Oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, usai pertandingan Arema FC melawan Persebaya. 
    Kericuhan pecah setelah polisi menembakkan gas air mata ke arah tribun, sehingga penonton panik dan berdesak-desakan keluar stadion. 
    Akibatnya, setidaknya 135 orang meninggal dunia, sebagian besar karena sesak napas dan terinjak dalam kepanikan massal. Ratusan lainnya mengalami luka fisik maupun trauma psikologis.
    Enam orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Mereka berasal dari unsur penyelenggara pertandingan maupun kepolisian, termasuk Direktur Utama PT LIB, Ketua Panpel Arema, hingga pejabat kepolisian Polres Malang dan Brimob Polda Jawa Timur.
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Keluarga Korban Minta Komnas HAM Tetapkan Tragedi Kanjuruhan Sebagai Pelanggaran HAM Berat
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        1 Oktober 2025

    Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan Cari Keadilan: Melempem dan Bobrok Megapolitan 1 Oktober 2025

    Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan Cari Keadilan: Melempem dan Bobrok
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS com
    – Keluarga korban tragedi Kanjuruhan mendatangi Komnas HAM, Jakarta Pusat, Rabu (1/10/2025), dalam rangka memperingati tiga tahun peristiwa itu.
    Mereka berdiri berjejer sambil memegang poster bergambar wajah-wajah korban, lengkap dengan nama dan keterangan meninggalnya.
    Lutfi, seorang ibu yang keluarganya meninggal pada tragedi tersebut, menyampaikan kekecewaannya karena hingga saat ini suami dan anaknya belum mendapatkan keadilan.
    “Saya ke sini mencari keadilan tetapi keadilannya di Indonesia ini. Maaf seribu maaf, melempem dan bobrok. Saya kehilangan suami dan kedua anak saya. Di mana keadilan ini?” ucap dia.
    Lutfi mengatakan, suami dan anaknya menonton pertandingan sepak bola sebagai harapan tetapi mereka justru menjadi korban pada tragedi Kanjuruhan.
    “Suami dan anak saya melihat sepakbola membawa harapan tetapi mereka membunuh anak saya dan suami saya. Apa mereka tidak punya hati?” tutur dia.
    Iswandi, yang kedua anaknya menjadi korban juga menyampaikan kekecewaannya terhadap keadilan yang belum ia dapatkan hingga sekarang.
    “Apa yang dikatakan Pancasila sila ke-5, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, mana? Kami orangtua sudah tiga tahun ke sana ke mari belum mendapatkan keadilan yang sebenar-benarnya,” kata dia saat berorasi.
    Sebelumnya, massa aksi yang terdiri dari keluarga korban dan aktivis HAM memadati area depan kantor Komnas HAM.
    Mereka memperingati tiga tahun Tragedi Kanjuruhan yang merenggut setidaknya 135 nyawa pada 1 Oktober 2022.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Massa Aksi Tragedi Kanjuruhan Nyala Lilin di Komnas HAM Sebelum Bubarkan Diri 
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        1 Oktober 2025

    Massa Aksi Tragedi Kanjuruhan Nyala Lilin di Komnas HAM Sebelum Bubarkan Diri Megapolitan 1 Oktober 2025

    Massa Aksi Tragedi Kanjuruhan Nyala Lilin di Komnas HAM Sebelum Bubarkan Diri
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Massa aksi Jaringan Solidaritas Keadilan Korban Kanjuruhan menyalakan lilin sebelum membubarkan diri di depan kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM RI), Jalan Latuharhari, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (1/10/2025).
    Pantauan Kompas.com di lokasi pukul 20.45 WIB, massa aksi melanjutkan dengan membaca zine mengenai tragedi Kanjuruhan secara bergiliran.
    Sebelum membubarkan diri, massa aksi melakukan foto bersama sambil menyalakan flare dengan meneriakan “135 bukan hanya angka”.
    Kemudian massa aksi membereskan spanduk, poster dan bunga sisa aksi simbolik.
    Lalu lintas di depan Komnas HAM terpantau sudah sepi saat massa aksi membubarkan diri.
    Sanuar, salah satu keluarga korban tragedi Kanjuruhan menyampaikan bahwa aksi simbolis tersebut dilakukan sebagai penanda masih berjuangnya para keluarga korban mencari keadilan. 
    “Penting sekali sebagai pengingat tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober tahun 2022. Jadi bisa dilihat semangat berbagai pihak seperti Kontras dan mahasiswa untuk mendoakan bagi keluarga korban,” tutur Sanuar di lokasi.
    Dermawan, selaku pendamping hukum para keluarga korban, menyatakan bahwa dari aksi simbolis tersebut sebagai pesan terhadap masyarakat bahwa kasus Kanjuruhan belum tuntas.
    “Dari aksi simbolis ini harapan yang ingin disampaikan tentu adalah menyampaikan ke masyarakat bahwa tragedi Kanjuruhan belum usai dan belum mendapatkan keadilan,” ujarnya.
    Dermawan menambahkan bahwa hingga kini para pendamping hukum dan keluarga korban masih berusaha agar Komnas HAM menetapkan tragedi tersebut sebagai pelanggaran HAM.
    “Tentu langkah yang akan kita lakukan tetap mendorong Komnas HAM agar menetapkan tragedi Kanjuruhan sebagai pelanggaran HAM berat dan melakukan proses penyelidikan Pro Yustisia. Tentu pendamping dan keluarga korban tetap akan mengupayakan itu,” ucap dia.
    Tragedi Kanjuruhan terjadi pada 1 Oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, usai pertandingan Arema FC melawan Persebaya. 
    Kericuhan pecah setelah polisi menembakkan gas air mata ke arah tribun, sehingga penonton panik dan berdesak-desakan keluar stadion. 
    Akibatnya, setidaknya 135 orang meninggal dunia, sebagian besar karena sesak napas dan terinjak dalam kepanikan massal. Ratusan lainnya mengalami luka fisik maupun trauma psikologis.
    Enam orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Mereka berasal dari unsur penyelenggara pertandingan maupun kepolisian, termasuk Direktur Utama PT LIB, Ketua Panpel Arema, hingga pejabat kepolisian Polres Malang dan Brimob Polda Jawa Timur.
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Refleksi G30S dan Pentingnya Nilai Kemanusiaan

    Refleksi G30S dan Pentingnya Nilai Kemanusiaan

    Refleksi G30S dan Pentingnya Nilai Kemanusiaan
    Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UNNES, Direktur Eksekutif Amnesty UNNES, dan Penulis
    SETIAP
    akhir September, perdebatan tentang G30S selalu kembali: siapa dalang, versi mana yang benar, film mana yang layak diputar?
    Namun, di tengah hiruk-pikuk tafsir dan propaganda, ada satu hal yang sering tercecer: manusia. Nyawa, martabat, dan akal sehat warga biasa—yang terseret, distigma, ditahan, atau dibunuh—sering hanya jadi catatan kaki.
    Menjaga kemanusiaan sejatinya bukan soal membenarkan satu kubu dan menyalahkan kubu lain. Ini soal standar dasar: hak untuk hidup, bebas dari penyiksaan, proses hukum yang adil, dan kebebasan dari stigma kolektif.
    Ketika negara, media, dan lembaga pendidikan mengajarkan sejarah, pertanyaannya bukan sekadar versi mana yang dipilih, melainkan apakah cara kita bercerita memulihkan martabat korban, membuka ruang kebenaran, dan mendorong pertanggungjawaban.
    Refleksi G30S seharusnya mengajak untuk waspada pada tiga hal: betapa mudahnya kebencian dioperasikan, betapa cepatnya hukum bisa disingkirkan atas nama “stabilitas”, dan betapa lamanya luka sosial bertahan jika kebenaran dan pemulihan ditunda.
    Jika kita sepakat bahwa Pancasila berakar pada kemanusiaan yang adil dan beradab, maka pekerjaan rumahnya jelas: menolak kekerasan sebagai alat politik, merawat ingatan yang jujur, serta memastikan keadilan dan pemulihan bagi mereka yang selama ini dibungkam.
    Tragedi 1965–1966 sejatinya merupakan salah satu episode paling kelam dalam sejarah Indonesia modern, bukan hanya karena skala kekerasannya, tetapi juga karena cara negara menutupinya selama puluhan tahun.
    Data yang tersedia memang beragam, tetapi semuanya menunjukkan angka yang mengerikan.
    Komnas HAM dalam laporan hasil Penyelidikan Pro Justisia tahun 2012 menyatakan terdapat sembilan bentuk pelanggaran HAM berat dalam peristiwa ini: pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan paksa, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, pemerkosaan dan kekerasan seksual, penganiayaan, serta penghilangan orang secara paksa.
    Jumlah korban jiwa diperkirakan antara 500.000 hingga lebih dari 1 juta orang (Robinson,
    The Killing Season
    , 2018; Bevins,
    The Jakarta Method
    , 2020).
    Sementara itu, Amnesty International (dalam
    Friend
    , 2005) melaporkan bahwa pada saat itu ada sekitar satu juta kader PKI dan orang-orang yang dituduh terlibat dalam PKI ditahan.
    Tragedi ini bukan hanya pembantaian massal, melainkan juga proses sistematis penghancuran hak-hak sipil.
    Mereka yang selamat dipaksa menjalani kerja paksa, wajib lapor, kehilangan pekerjaan, dilarang mengakses pendidikan tinggi, bahkan hak politiknya dicabut selama puluhan tahun melalui tanda “ET” (eks-tapol) dalam dokumen kependudukan.
    Efek diskriminasi ini menurun hingga ke anak-cucu korban, menjadikannya bentuk
    collective punishment
    yang jelas bertentangan dengan prinsip hukum HAM internasional.
    John Roosa dalam bukunya
    Dalih Pembunuhan Massal
    (2006) menunjukkan bagaimana peristiwa G30S yang berlangsung singkat kemudian dimanipulasi oleh Orde Baru menjadi dalih pembenaran untuk operasi pembasmian massal.
    Roosa menekankan bahwa tidak ada bukti komando jelas dari PKI sebagai partai, melainkan tindakan kelompok kecil yang kemudian dimanfaatkan oleh militer, khususnya Jenderal Soeharto, untuk merebut legitimasi kekuasaan.
    Hal senada ditegaskan oleh Robinson (2018), yang menunjukkan bahwa Angkatan Darat memainkan peran sentral dalam mengorkestrasi pembantaian, sementara negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Inggris memberikan dukungan politik, logistik, hingga daftar nama target.
    Salah satu propaganda paling efektif adalah fitnah terhadap Gerwani, organisasi perempuan progresif kala itu.
    Seperti dicatat oleh Wieringa, Gerwani dijadikan kambing hitam melalui narasi “kebiadaban seksual” di Lubang Buaya—padahal laporan visum resmi menunjukkan tidak ada bukti penyiksaan seperti pencungkilan mata atau pemotongan alat kelamin.
    Namun, kebohongan yang diproduksi oleh militer itu dibiarkan beredar luas di media, menciptakan histeria moral yang mendorong partisipasi masyarakat dalam pembantaian.
    Laporan
    International People’s Tribunal 1965
    (IPT 65) di Den Haag pada 2015, bahkan menegaskan bahwa negara Indonesia bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan ini.
    Majelis hakim IPT menilai negara gagal memenuhi kewajiban hukumnya: tidak mencegah, tidak menghukum pelaku, dan tidak memulihkan korban.
    Mereka mendesak pemerintah Indonesia untuk menyampaikan permintaan maaf resmi, membuka akses arsip, melakukan penyidikan, dan memberi reparasi. Namun, hingga kini, rekomendasi tersebut belum direspons serius.
    Luka sejarah ini belum sembuh karena ada tiga alasan mendasar. Pertama, narasi resmi Orde Baru yang menyederhanakan G30S menjadi sekadar “pengkhianatan PKI” masih terus direproduksi, baik melalui buku pelajaran maupun film.
    Kedua, ketiadaan mekanisme akuntabilitas: Kejaksaan Agung berkali-kali menolak menindaklanjuti laporan Komnas HAM dengan alasan “kurang bukti”, padahal bukti-bukti primer dan kesaksian korban berlimpah.
    Ketiga, politik impunitas yang masih kuat: banyak aktor militer dan sipil yang terlibat dalam pembantaian tetap berada dalam lingkaran kekuasaan selama puluhan tahun, membuat pengungkapan kebenaran menjadi tabu.
    Jika refleksi G30S ingin bermakna, maka ini harus berangkat dari nilai kemanusiaan yang universal. Tidak ada ideologi, dalih politik, ataupun alasan stabilitas yang bisa membenarkan pembunuhan massal, penyiksaan, atau diskriminasi lintas generasi.
    Mengakui kebenaran, mendengar suara korban, dan membuka jalan menuju keadilan bukanlah ancaman bagi bangsa ini—justru itu fondasi untuk membangun demokrasi yang sehat.
    Tanpa keberanian menghadapi masa lalu, kita hanya akan terus mewariskan trauma, kebisuan, dan politik kebencian bagi generasi berikutnya.
    Tragedi 1965–1966 sejatinya tidak hanya soal pembunuhan massal, tetapi juga bagaimana sejarah dijadikan instrumen politik untuk mengontrol masyarakat.
    Sejak awal Orde Baru, narasi resmi dibangun dengan satu tujuan: melegitimasi kekuasaan yang lahir dari darah.
    Film Pengkhianatan G30S/PKI yang diwajibkan tayang setiap tahun, buku pelajaran sejarah yang menyederhanakan peristiwa, hingga sensor terhadap karya akademis, semuanya merupakan bagian dari proyek indoktrinasi negara.
    Indoktrinasi sejarah ini juga memelihara stigma. Anak-anak korban, yang bahkan lahir setelah peristiwa, tetap mendapat label “ET” (eks-tapol) dalam KTP orangtuanya. Mereka kesulitan masuk sekolah negeri, dilarang menjadi PNS atau tentara, dan sering diawasi intel.
    Dengan kata lain, sejarah dipakai bukan untuk membangun ingatan kolektif yang sehat, melainkan sebagai senjata diskriminasi lintas generasi.
    Inilah yang disebut Geoffrey Robinson (2018) sebagai “politik kebisuan” (
    politics of silence
    ). Dengan menghapus atau memelintir fakta, negara mencegah masyarakat untuk memahami bahwa tragedi 1965 adalah pelanggaran HAM berat.
    Tanpa kesadaran kritis, publik mudah diarahkan untuk melihat kekerasan massal sebagai sesuatu yang “patriotik” atau “terpaksa”.
    Padahal, justru manipulasi sejarah inilah yang membuat luka kolektif bangsa terus terbuka, karena korban dipaksa bungkam, sementara pelaku tetap bebas tanpa akuntabilitas.
    Maka, refleksi G30S bukan hanya soal membuka fakta kekerasan, melainkan juga membongkar konstruksi sejarah yang menindas.
    Sejarah harus dipulihkan sebagai ruang kebenaran, bukan alat propaganda. Selama narasi resmi dibiarkan mendominasi tanpa koreksi, bangsa ini akan terus hidup dengan warisan ingatan palsu—yang membuat demokrasi rapuh dan nilai kemanusiaan mudah dikorbankan.
    Refleksi atas G30S kehilangan makna apabila nyawa manusia hanya ditempatkan sebagai alat legitimasi politik.
    Di balik jargon ideologi dan klaim stabilitas, terdapat fakta gamblang: ratusan ribu hingga jutaan orang dibunuh tanpa proses hukum, jutaan lainnya dipaksa menjalani penahanan, kerja paksa, penyiksaan, pemerkosaan, hingga pengucilan sosial yang diwariskan lintas generasi.
    Semua ini terjadi bukan karena “kekacauan” semata, melainkan karena negara secara sadar mengabaikan prinsip dasar kemanusiaan.
    Hukum HAM internasional menegaskan hak untuk hidup, bebas dari penyiksaan, dan hak atas pengadilan yang adil adalah hak
    non-derogable
    —hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
    Amnesty International (2012) mengingatkan bahwa penundaan penyidikan hanya memperpanjang penderitaan korban.
    International People’s Tribunal 1965 di Den Haag (2015) menegaskan kegagalan negara dalam memenuhi kewajiban hukumnya: tidak mencegah, tidak menghukum pelaku, dan tidak memulihkan korban.
    Fakta-fakta ini memperlihatkan bahwa impunitas telah menjadi norma, sementara korban terus dipaksa menanggung stigma dan diskriminasi.
    Narasi resmi yang terus direproduksi menunjukkan betapa mudahnya sejarah dipelintir untuk mengaburkan kejahatan terhadap kemanusiaan.
    Manipulasi semacam ini berfungsi sebagai perpanjangan dari kekerasan itu sendiri: membungkam suara korban, menghapus kesaksian, dan menormalisasi pembantaian sebagai sesuatu yang “wajar”.
     
    Dengan cara itu, nilai kemanusiaan tidak hanya diabaikan, tetapi juga diinjak-injak secara sistematis.
    Nilai kemanusiaan menuntut akuntabilitas. Tidak ada ideologi, kepentingan politik, atau alasan stabilitas yang dapat membenarkan pembunuhan massal maupun diskriminasi struktural lintas generasi.
    Selama kebenaran ditutup dan pelaku tidak dimintai pertanggungjawaban, luka sosial akan terus terpelihara.
    Tragedi G30S seharusnya menjadi peringatan keras: begitu negara menanggalkan prinsip kemanusiaan, hukum dan moralitas ikut runtuh, dan yang tersisa hanyalah kekerasan yang dilegalkan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Sikap Komnas HAM Terkait Kasus Keracunan MBG

    Sikap Komnas HAM Terkait Kasus Keracunan MBG

    Anis Hidayah selaku Ketua Komnas HAM menyatakan bahwa mereka akan segera ambil sikap terkait masalah keracunan pada program Makan Bergizi Gratis (MBG). Anis pastikan bahwa Komnas HAM menaruh atensi pada kasus ini. Komnas HAM juga akan menyampaikan dugaan potensi pelanggaran dan berikan saran mereka ke pemerintah.

    Isu utama yang menjadi perhatian terhadap MBG adalah tingginya kasus keracunan makanan di berbagai daerah. Pengelolaan serta penyimpanan makanan diduga menjadi penyebab keracunan tersebut.

    Tonton video lainnya di sini ya!

  • Komnas HAM Targetkan Penyelidikan Demo Rusuh 28 Agustus Rampung Desember, Lalu Dilaporkan ke Presiden – Page 3

    Komnas HAM Targetkan Penyelidikan Demo Rusuh 28 Agustus Rampung Desember, Lalu Dilaporkan ke Presiden – Page 3

    Komnas HAM melakukan penyelidikan bersama enam LNHAM yang membentuk Tim Independen Pencari Fakta. Tim ini bertugas mengumpulkan data lapangan, memverifikasi dugaan pelanggaran, serta merumuskan rekomendasi bagi pemerintah dan DPR.

    Anis mengatakan temuan awal menunjukkan adanya dugaan kesalahan prosedur aparat, penangkapan sewenang-wenang, hingga dugaan 10 orang menjadi korban jiwa.

    “Perkembangan kami masih mengidentifikasi terkait dengan temuan awal. Termasuk kami melakukan penyelidikan terhadap 10 orang yang diduga menjadi korban jiwa selama kerusuhan Agustus-September,” katanya.

  • LBH Surabaya Ungkap Kronologi Penangkapan Aktivis Yogyakarta Paul
                
                    
                        
                            Surabaya
                        
                        29 September 2025

    LBH Surabaya Ungkap Kronologi Penangkapan Aktivis Yogyakarta Paul Surabaya 29 September 2025

    LBH Surabaya Ungkap Kronologi Penangkapan Aktivis Yogyakarta Paul
    Tim Redaksi
    SURABAYA, KOMPAS.com
    – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya mengungkap kronologi penangkapan aktivis sosial asal Yogyakarta, Muhammad Fatkhurrozi atau Paul, oleh Polda Jatim.
    Direktur LBH Surabaya, Habibus Shalihin mengatakan bahwa Paul ditangkap di rumahnya, Yogyakarta, pada Sabtu (27/9/2025) sekitar pukul 14.30 WIB.
    “Diketahui polisi juga melakukan penyitaan terhadap puluhan buku hingga perangkat elektronik,” kata Habibus, Minggu (28/9/2025).
    Setelah ditangkap di rumahnya, Paul langsung dibawa ke Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk menjalani pemeriksaan.
    Sekitar tiga jam berselang, ia diboyong ke Polda Jatim, Surabaya.
    “Tanda ada pendampingan baik dari pihak keluarga maupun pendampingan hukum. Penangkapan ini jelas tidak sesuai dengan Pasal 17 KUHP,” ucap dia. 
    Paul kemudian tiba di Markas Polda Jatim sekitar pukul 22.10 WIB di hari yang sama penangkapan.
    Ia menunggu pendampingan hukum dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
    “Tim LBH Surabaya bersama keluarga Paul kemudian tiba di Polda Jatim sekitar pukul 23.05 WIB. Setiba di Polda Jatim, Paul tidak langsung diperiksa,” ujar Habibus.
    Namun, LBH Surabaya mendapat informasi awal dari penyidik bahwa Paul ditangkap atas pengembangan kasus penangkapan sejumlah aktivis yang ada di Kediri.
    Hal itu sesuai dengan Laporan Polisi Nomor: LP/A/17/IX/2025/SPKT.SATRESKRIM/Polres Kediri Kota/Polda Jawa Timur, tanggal 1 September 2025.
    Ia dijerat Pasal 160 KUHP juncto Pasal 187 KUHP juncto Pasal 170 KUHP juncto Pasal 55 KUHP.
    Paul baru diperiksa tim penyidik pada Minggu (28/9/2025) pukul 00.30 WIB dipimpin oleh Kanit IV Subdit I Ditreskrimum Polda Jatim.
    “Di akhir pemeriksaan, penahanan terhadap Paul langsung dilakukan,” ucap dia. 
    LBH Surabaya menilai, penangkapan terhadap Paul tak sesuai dengan prosedur yang ditetapkan sebagaimana tertera dalam KUHP dan disempurnakan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No 2/PUU-XII/2014.
    “Di mana putusan tersebut menjelaskan penetapan tersangka harus berdasarkan minimal dua alat bukti sebagaimana termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya,” ujar dia. 
    Oleh sebab itu, Tim Hukum LBH Surabaya mendesak agar Polda Jatim membebaskan Paul atas dugaan penangkapan sewenang-wenang.
    “Kemudian mendorong Komnas HAM untuk melakukan pengawasan dan investigasi atas kriminalisasi terhadap sejumlah aktivis pro-demokrasi,” kata dia.
    Lalu, mendorong Ombudsman RI untuk melakukan pengawasan terhadap dugaan malaadministrasi dan penangkapan sewenang-wenang yang diduga dilakukan oleh Polda Jatim.
    “Terakhir, kami mendesak Kompolnas melakukan pengawasan terhadap Polda Jatim,” katanya. 
    LBH Surabaya juga mengunggah pesan yang disampaikan Paul melalui tulisan tangannya usai ditangkap.
    “Dear TemanTaman Seperjuangan, penangkapan & penetapan terhadap saya telah direncanakan sejak 1 September 2025. Ironi dan sedih sebab skenario ini disusun dengan cermat oleh rezim agar rakyat tak lagi berani menyuarakan keresahannya,”
    tulisnya.
    “Tetapi ini juga membuktikan kita ada di jalan yang benar, mereka takut melihat anak muda berani menyuarakan kebenaran. Saya harap kita tak surut dalam bersuara, mempertebal solidaritas serta memperkuat keyakinan atas apa yang telah kita pilih. Waktunya gerakan rakyat bersatu dan membangun garis batas terhadap mereka yang kompromi dengan rezim hari ini. Terima kasih,”
     tulis Paul. 
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Keracunan Massal MBG dan Pelanggaran HAM Negara
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        27 September 2025

    Keracunan Massal MBG dan Pelanggaran HAM Negara Nasional 27 September 2025

    Keracunan Massal MBG dan Pelanggaran HAM Negara
    Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UNNES, Direktur Eksekutif Amnesty UNNES, dan Penulis
    PADA
    Mei 2025 lalu, penulis telah menyoroti persoalan keracunan massal Program Makan Bergizi Gratis (MBG) melalui opini berjudul “
    Bukan Sekadar Statistik: Keracunan Massal MBG dan Alarm bagi Komitmen HAM
    ” (Kompas.com, 14/05/2025).
    Kala itu, kasus di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Sumatera Selatan, menyebabkan ratusan anak dilarikan ke rumah sakit setelah menyantap MBG. Peristiwa ini telah diperingatkan sebagai alarm dini atas bahaya sistemik dalam pelaksanaan program.
    Kini, peringatan itu bukan hanya terbukti, melainkan menjelma menjadi tragedi besar. Di Bandung Barat saja, lebih dari 1.300 siswa dilaporkan keracunan MBG pada September 2025, menjadikannya episentrum krisis gizi yang ironis.
    Secara nasional, Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat lebih dari 4.600 kasus keracunan sejak Januari hingga September 2025, sedangkan CISDI menemukan sedikitnya 6.600 kasus melalui pemantauan media massa.  Perbedaan angka ini menunjukkan adanya persoalan transparansi, sekaligus menandakan kemungkinan besar bahwa jumlah korban sesungguhnya jauh lebih besar dari data resmi.
    Fakta bahwa program yang dirancang untuk memenuhi gizi anak justru telah mencatat lebih dari lima ribu kasus keracunan dalam sembilan bulan pertama adalah bukti kegagalan negara. Krisis ini tidak dapat lagi dipandang sebagai masalah teknis distribusi pangan semata, melainkan telah beralih menjadi isu pelanggaran hak asasi manusia — khususnya hak anak atas kesehatan, keselamatan, dan hidup yang layak sebagaimana dijamin oleh konstitusi dan instrumen HAM internasional.
    Dalam perspektif hukum hak asasi manusia, kasus keracunan massal MBG tidak dapat dipandang sekadar sebagai kelalaian administratif, melainkan merupakan pelanggaran kewajiban negara dalam menjamin hak-hak dasar warganya, khususnya anak-anak.
    Konstitusi Indonesia telah secara tegas memberikan jaminan. Pasal 28B ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
    Sementara itu, Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945 menjamin hak setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, serta mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
    Namun, fakta ribuan anak justru mengalami keracunan akibat program negara memperlihatkan bahwa jaminan konstitusional tersebut telah nyata tercederai. Tidak hanya dalam tataran konstitusi, hukum nasional juga mengatur kewajiban negara untuk memastikan pelindungan hak anak dan keamanan pangan.
    UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan hak setiap anak atas pelindungan, kesejahteraan, dan perawatan yang layak. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 2014, memandatkan negara untuk menjamin kesehatan anak serta menyediakan sarana layanan kesehatan yang aman. Pun, UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan memberikan pengakuan eksplisit atas hak setiap warga negara untuk memperoleh pangan yang aman, bermutu, dan bergizi.
    Maka, keracunan massal MBG menandakan tidak dijalankannya kewajiban hukum positif yang sudah lama berlaku di Indonesia. Kewajiban negara semakin jelas ketika dilihat dari perspektif hukum internasional.
    Konvensi Hak Anak (CRC) 1989, melalui Keppres No. 36 Tahun 1990, mewajibkan negara menjamin hak hidup dan standar kesehatan tertinggi bagi anak sebagaimana tertuang dalam Pasal 6 dan 24. Demikian pula, Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR), yang telah diaksesi dengan UU No. 11 Tahun 2005, mengikat Indonesia untuk menjamin hak atas standar hidup layak, termasuk pangan yang aman dan bergizi (Pasal 11), serta hak atas kesehatan (Pasal 12).
    Prinsip
    non-retrogression
    dalam ICESCR secara tegas melarang negara mengambil kebijakan yang menyebabkan kemunduran dalam pemenuhan hak-hak tersebut. Keracunan massal akibat MBG dengan sendirinya merupakan bentuk regresi yang serius, sebab program yang ditujukan untuk meningkatkan gizi anak justru menurunkan kualitas kesehatan mereka secara signifikan.
    Maka, tragedi MBG bukan hanya kesalahan teknis dalam tata kelola distribusi makanan, melainkan kegagalan struktural negara dalam memenuhi kewajiban
    to respect, to protect, and to fulfill
    hak asasi manusia, khususnya hak-hak anak. Negara tidak hanya lalai dalam menyediakan makanan yang aman, tetapi juga gagal melindungi anak-anak dari bahaya yang dihasilkan oleh programnya sendiri.
    Situasi ini mencerminkan pelanggaran serius terhadap konstitusi, undang-undang nasional, maupun instrumen HAM internasional yang telah menjadi bagian dari hukum positif Indonesia.
    Alih-alih menjadi solusi atas masalah gizi anak, program Makan Bergizi Gratis (MBG) kini justru dijuluki sinis sebagai “Makan Beracun Gratis” oleh sebagian masyarakat. Julukan ini bukanlah sekadar ekspresi emosional, melainkan cerminan dari krisis kepercayaan publik akibat berulangnya insiden keracunan massal.
    Program yang di atas kertas diproyeksikan untuk meningkatkan status gizi dan kualitas hidup anak-anak, dalam praktiknya berubah menjadi sumber ketakutan baru: apakah makanan yang dikonsumsi anak di sekolah benar-benar aman?
    Dalam kerangka teori legitimasi kebijakan publik, suatu program hanya dapat dipertahankan ketika tujuan normatifnya selaras dengan hasil empiris yang dirasakan masyarakat (Suchman, 1995). MBG dirancang sebagai instrumen keadilan sosial, namun kegagalan memastikan aspek keamanan pangan membuatnya kehilangan legitimasi.
    Ketika masyarakat menyebutnya “beracun”, hal itu menandakan hilangnya kepercayaan sosial (
    social trust
    ) terhadap negara sebagai penyelenggara layanan dasar. Kritik ini pun dapat dibaca melalui konsep “banalitas keburukan” (
    banality of evil
    ) ala Arendt. Bahaya bukan hanya muncul dari niat jahat, tetapi juga dari kelalaian sistemik yang dinormalisasi.
    Ketika keracunan ribuan anak direduksi menjadi “hanya sebagian kecil” atau dianggap
    acceptable risk
    dari sebuah program nasional, negara sedang melakukan banalitas terhadap penderitaan manusia—membiarkan pelanggaran hak anak berlangsung di bawah retorika keberhasilan statistik.
    Istilah “Makan Beracun Gratis” merupakan simbol perlawanan moral, yang menyuarakan bahwa setiap nyawa anak tidak boleh ditukar dengan klaim administratif tentang distribusi gizi. Negara tidak bisa menjustifikasi keracunan ribuan anak dengan narasi pencapaian angka, sebab dalam hukum hak asasi manusia, satu nyawa yang terabaikan saja sudah terlalu banyak.
    Tragedi berulang yang menimpa ribuan anak menunjukkan bahwa program MBG tidak dapat lagi dipertahankan dengan logika tambal sulam. Evaluasi parsial terhadap dapur atau sekadar pemberhentian sementara penyedia layanan tidak akan cukup. Yang dibutuhkan adalah evaluasi total terhadap desain, tata kelola, dan mekanisme implementasi program MBG.
    Hal ini sejalan dengan prinsip kehati-hatian (
    precautionary principle
    ) dalam layanan publik: ketika suatu kebijakan berisiko besar menimbulkan bahaya, negara wajib menghentikan atau mengubah kebijakan tersebut hingga dapat dipastikan aman bagi penerima manfaat.
    Salah satu opsi reformasi yang patut dipertimbangkan adalah desentralisasi mekanisme penyediaan makanan, misalnya dengan mengalihkan sebagian besar anggaran MBG ke sekolah dan orang tua melalui skema yang lebih transparan dan partisipatif.
    Model distribusi terpusat yang bergantung pada ribuan dapur SPPG terbukti rawan salah kelola, tidak efisien dalam logistik, serta berulang kali menimbulkan insiden keracunan massal. Alternatifnya, dana bisa disalurkan untuk memperkuat kantin sekolah berbasis lokal atau langsung diberikan kepada keluarga dalam bentuk bantuan gizi, sehingga ada kontrol kualitas yang lebih dekat dan sesuai kebutuhan anak.
    Pun, evaluasi total juga harus mencakup aspek akuntabilitas dan transparansi. Negara perlu membuka kanal pelaporan publik, melibatkan lembaga independen seperti Komnas HAM dan Ombudsman, serta memastikan adanya mekanisme pengaduan yang cepat dan efektif bagi korban.
    Tanpa langkah ini, MBG akan terus menjadi sumber ancaman, bukan pelindungan. Intinya, program yang semula digadang sebagai simbol kepedulian negara terhadap gizi anak telah kehilangan legitimasi moral dan hukum akibat kegagalannya menjamin keamanan.
    Jika pemerintah sungguh ingin menjaga masa depan generasi, maka moratorium MBG untuk evaluasi total adalah keharusan, bukan pilihan. Reformasi mekanisme, partisipasi masyarakat, dan pengawasan independen harus menjadi fondasi baru agar tragedi keracunan massal tidak lagi berulang pada masa depan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.