NGO: Komnas HAM

  • Komnas HAM & Komnas Perempuan: Teror Kepala Babi ke Jurnalis Tempo Bentuk Ancaman Kebebasan Pers

    Komnas HAM & Komnas Perempuan: Teror Kepala Babi ke Jurnalis Tempo Bentuk Ancaman Kebebasan Pers

    Laporan Wartawan TribunJakarta.com Elga Hikari Putra

    TRIBUNJAKARTA.COM – Komnas HAM dan Komnas Perempuan mengecam aksi teror berupa kiriman kepala babi kepada jurnalis Tempo.

    Diketahui, paket kepala babi itu dialamatkan kepada Fransisca Christy Rosana atau Cica, wartawan desk politik dan host siniar Bocor Alus Politik

    Menurut Wakil Ketua Komnas HAM, Abdul Haris Semendawai, teror kepala babi itu sebagai bentuk upaya pembungkaman terhadap pers.

    Sebab, diduga kuat, pengiriman teror itu berkaitan dengan pekerjaan Cica sebagai jurnalis.

    “Jurnalis itu juga dilindungi dan diberikan hak untuk mencari informasi.

    Jadi mencari informasi dia punya hak, punya kebebasan untuk mencari informasi dan punya kebebasan juga untuk menyampaikan informasi itu kepada publik,” kata Haris saat ditemui di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (21/3/2025).

    Haris mengatakan, jika ruang kerja jurnalis dibungkam maka tentu akan berdampak terhadap informasi yang diterima publik.

    Polres Metro Bekasi Kota berhasil meringkus Suhada, preman sok jagoan yang berasal dari Cikiwul viral minta THR ke perusahaan di Bantargebang. Ia sempat kabur, namun polisi berhasil meringkusnya di Sukabumi.

    Menurutnya, hal itu sangat berbahaya karena masyarakat tidak bisa mendapatkan informasi yang utuh dan bisa dipertanggungjawabkan.

    “Jadi kalau jurnalis dikekang ruang geraknya itu akan berimplikasi pada tertutupnya informasi kepada publik dan ini berbahaya.

    Akhirnya publik hanya dapat informasi yang tertentu saja, bisa jadi publik tidak mengetahui sesuatu secara utuh,” kata dia.

    Haris menilai teror semacam ini tak boleh dibiarkan. Ia meminta aparat penegak hukum mengusut tuntas untuk mengungkap siapa sosok peneror jurnalis tersebut.

    Abdul Haris Semendawai di kantornya, Ciracas, Jakarta Timur, Kamis (5/7/2018). (TRIBUNJAKARTA.COM/NAWIR ARSYAD AKBAR)

    “Karena mungkin sekarang hanya wartawan Tempo saja ya. Bisa jadi di kesempatan yang lain ada wartawan-wartawan yang lain yang juga mengalami hal yang sama.

    Jadi situasi seperti itu kalau dibiarkan bisa tercipta situasi yang tidak kondusif bagi jurnalistik untuk melakukan tugas-tugas jurnalistiknya.

    Dan kalau itu terjadi yang dirugikan ya publik bukan hanya orang yang bersangkutan,” paparnya.

    Hal senada disampaikan Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi.

    “Tentunya Komnas Perempuan mengecam pengiriman kepala babi kepada jurnalis Tempo. Karena ini seperti proksi atau perantara intimidasi terhadap kerja-kerja jurnalis,” kata dia.

    Siti mengatakan, apa yang dialami Cica menambah panjang daftar perempuan yang menjadi korban teror dan intimidasi.

    “Jadi memang di dalam pemantauan Komnas Perempuan, jurnalis perempuan menjadi salah satu perempuan pembela HAM yang mendapatkan serangan baik intimidasi, ancaman maupun misalnya dalam bentuk serangan siber,” tuturnya.

    Karenanya, ia meminta aparat untuk mengungkap siapa peneror yang mengirimkan kepala babi tersebut.

    “Dan yang tak kalah penting kami mengajak seluruh elemen bangsa untuk menguatkan fondasi penghormatan kepada kebhinekaan Indonesia dan mengawal demokrasi yang nir  kekerasan dan memajukan hak asasi manusia,” kata dia.

    Bahkan, Komnas Perempuan akan berkoordinasi dengan Komnas HAM dan LPSK untuk memberikan perlindungan.

    “Dan tentu yang terakhir Komnas Perempuan akan berkoordinasi dengan pihak-pihak yang relevan termasuk dengan Komnas HAM dan LPSK untuk bagian dari mekanisme pengembangan respon cepat terhadap perempuan pembela HAM untuk memastikan mendapatkan perlindungan dari intimidasi maupun serangan lebih lanjut,” ujarnya. 

    (TribunJakarta)

    Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel https://whatsapp.com/channel/0029VaS7FULG8l5BWvKXDa0f.

    Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya

  • ICJR: Revisi KUHAP Harus Fokus Pada Pengawasan Antar Lembaga, Jangan Hanya Bahas Dominus Litis

    ICJR: Revisi KUHAP Harus Fokus Pada Pengawasan Antar Lembaga, Jangan Hanya Bahas Dominus Litis

    Laporan Wartawan TribunJakarta.com Elga Hikari Putra

    TRIBUNJAKARTA.COM – Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Iftitahsari meminta Revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) fokus pada pengawasan antar lembaga penegak hukum.

    Demikian disampaikannya dalam diskusi membahas “RUU KUHP Memperkuat Sistem Peradilan Pidana Terpadu”.

    Diskusi ini turut dihadiri sejumlah narasumber diantaranya yakni Wakil Ketua Komnas HAM AH Semendawai, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, Ketua DPN Peradi Luhut MP Pangaribuan dan Pakar Hukum Margarito Kamis.

    Iftitahsari meminta pembahasan mengenai Revisi KUHAP tak hanya berkutat pada narasi polarisasi tentang diferensiasi fungsional dan asas dominus litis.

    Dikatakannya, publik harus waspada terhadap adanya kepentingan terselubung dari para lembaga penegak hukum yang ingin memperluas kewenangannya melalui Revisi KUHAP dengan melemparkan narasi tersebut.

    “Selama ini diskusi mengenai Revisi KUHAP selalu ada polarisasi antara diferensiasi fungsional dan asas dominus litis.

    Dan kita jangan sampai terjebak di narasi yang itu sebetulnya kepentingan-kepentingan lembaga tertentu yang tujuannya ingin memperbesar kewenangan,” kata Iftitahsari dalam diskusi yang digelar di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (21/3/2025).

    Menurut ICJR, yang terpenting dalam Revisi KUHAP nantinya tak boleh ada kewenangan powerful yang dimiliki satu lembaga.

    Karenanya, ia menyebut pengawasan antar lembaga mutlak diperlukan.

    “Kan tadi sudah disampaikan yang penting ada balancing pemenuhan HAM dan juga akuntabilitas. Jangan sampai ada kesewenangan,” tuturnya.

    Sementara itu, Ketua DPN Peradi Luhut MP Pangaribuan menyebut bagaimana para lembaga penegak hukum saling berlomba untuk memperkuat kewenangan mereka melalui Revisi KUHAP ini.

    “Mereka berlomba-lomba menambah kewenangannya masing-masing. Polisi adalah penyidik utama tidak bisa diganggu. Jaksa adalah penuntut tidak bisa diganggu,” kata Luhut.

    “Dengan kata lain ini ada benturan antara diferensiasi fungsional yang dipertahankan polri dan asas dominus litis yang diperjuangkan kejaksaan,” sambung dia.

    Pernyataan tersebut turut diperkuat oleh Wakil Ketua Komnas HAM, AH Semendawai. Ia mengingatkan bahwa semakin besar kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki suatu lembaga maka akan memperbesar peluang adanya korupsi di dalamnya.

    “Jadi harus tetap ada balancing, bagaimana harus ada keseimbangan di dalam proses pidana ini.

    Jadi kalau sepenuhnya kepada satu lembaga misalnya tanpa ada pengawasan yang lain, ini kan kalau dia enggak jalan kan berarti berhenti tuh kasusnya, jadi bagaimana masyarakat bisa mencari keadilan,” paparnya.

    Semendawai kemudian mengevaluasi kondisi peradilan pidana di Indonesia saat ini, dimana proses penuntutan sepenuhnya merupakan kewenangan kejaksaan.

    “Masalahnya kalau ternyata jaksa tidak melakukan penuntutan suatu perkara sementara publik merasa harusnya dituntut, nah itu bagaimana kan harus ada solusinya. Kalau tidak ada solusi maka publik akan menganggap mereka tidak bisa mendapat keadilan,” jelasnya.

    Oleh karena itu, Semendawai berharap diferensiasi fungsional dan asas dominus litis dikembalikan pada fungsi seharusnya.

    “Tujuan sistem peradilan pidana ini kan untuk memproses pihak yang melakukan perbuatan melanggar hukum. Terlepas siapa yang punya peran itu kan tinggal bagi-bagi saja tetapi harus diawasi agar kewenangan itu tidak hanya diserahkan kepada satu lembaga supaya tidak disalahgunakan,” paparnya.

    Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi menjelaskan bahwa dalam sistem pidana di Indonesia, jaksa bukan berada di posisi mewakili korban.

    “Jaksa itu sebetulnya tidak mewakili korban tetapi dia mewakili Undang-Undang, dia mewakili norma yang ada. Sehingga dengan standar itu perlakuan terhadap korban tidak seimbang dengan perlakuan terhadap terdakwa,” ujarnya.

    Padahal, kata dia, yang harus ditekankan yakni mengenai peran jaksa dalam memberikan hak yang sama kepada korban dan terdakwa.

    Menurutnya, yang masih jadi sorotan dalam sitem pidana di Indonesia yakni bagaimana mewujudkan sistem pidana yang terpadu.

    “Sementara dalam praktiknya itu banyak perkara adanya penundaan peradilan karena bolak-baliknya berkas antara polisi dan kejaksaan,” kata dia.

    Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis menyebut penerapan asas dominus litis pada Revisi KUHAP berpotensi memonopoli kewenangan terhadap suatu lembaga.

    Adapun salah satu hal yang paling jelas dalam penerapan asas dominus litis pada revisi KUHAP adalah kejaksaan bisa memiliki dominasi pada penyidikan dan penyelidikan.

    “Tidak boleh ada lembaga negara mendominasi lembaga negara lain karena harus balancing,” kata Margarito.

    “Kalau ini dikembalikan ke jaksa yang bertugas maka menjadi tidak sehat. Itu jadi tidak sehat.

    Dari segi hukum, gagasan, kalau ada satu lembaga memonopoli kewenangan, itu sudah tidak sehat itu. Demokrasi itu menghendaki keseimbangan,” sambungnya.

    Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya

  • Teror Kepala Babi di Tempo: Negara Wajib Tegas
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        21 Maret 2025

    Teror Kepala Babi di Tempo: Negara Wajib Tegas Megapolitan 21 Maret 2025

    Teror Kepala Babi di Tempo: Negara Wajib Tegas
    Kritikus, Aktivis HAM, Pemerhati Politik dan Hukum
    KANTOR
    redaksi
    Tempo
    di Jakarta, menerima paket berisi kepala babi, sebuah simbol yang sarat makna ancaman. Paket ini ditujukan kepada wartawan sekaligus host siniar
    Bocor Alus
    , Francisca Christy atau Cica (
    Kompas.com
    , 21/03/2025).
    Tak ada surat ancaman dalam paket tersebut, hanya nama Cica yang tertulis di kardus. Namun, pesan yang ingin disampaikan jelas: intimidasi terhadap jurnalis yang menjalankan tugasnya.
    Insiden ini bukanlah yang pertama kali terjadi terhadap
    Tempo
    . Tahun lalu, mobil jurnalis
    Tempo
    , Hussein Abri, dirusak oleh orang tak dikenal setelah ia meliput isu-isu politik yang sensitif.
    Kini, dengan teror kepala babi, ancaman terhadap
    kebebasan pers
    semakin nyata. Dewan Pers dan berbagai organisasi jurnalis telah menyatakan keprihatinan mereka, menyebut insiden ini sebagai bentuk kekerasan terhadap pers yang mesti diusut tuntas.
    Kasus ini mengingatkan kita bahwa ancaman terhadap kebebasan pers di Indonesia masih terus berlangsung. Pasal 28F UUD 1945 menjamin hak setiap orang untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi.
    Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara tegas melindungi jurnalis dalam menjalankan tugasnya.
    Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa jurnalis masih menjadi target intimidasi, terutama ketika mengungkap fakta-fakta yang mengusik kepentingan tertentu.
    Tidak bisa dimungkiri bahwa independensi media adalah salah satu pilar demokrasi. Tanpa pers yang bebas, masyarakat kehilangan akses terhadap informasi yang jujur dan transparan.
    Teror seperti ini bukan hanya serangan terhadap individu jurnalis, tetapi juga terhadap hak publik untuk mengetahui kebenaran.
    Jika kasus ini dibiarkan, kita membuka ruang bagi praktik pembungkaman pers yang lebih sistematis. Jurnalis akan semakin dibayang-bayangi ketakutan dalam menjalankan tugasnya.
    Efeknya tidak hanya pada individu wartawan yang diteror, tetapi juga pada kebebasan media secara keseluruhan.
    Atmosfer ketakutan dapat membuat media enggan mengangkat isu-isu sensitif, menghambat transparansi, dan pada akhirnya merugikan masyarakat yang berhak mendapatkan informasi yang jujur dan berimbang.
    Pembiaran terhadap aksi teror semacam ini akan menciptakan preseden buruk, seolah-olah intimidasi terhadap jurnalis adalah sesuatu yang dapat diterima.
    Jika para pelaku tidak diusut dan diproses hukum, maka bukan tidak mungkin kejadian serupa akan terus berulang, baik terhadap
    Tempo
    maupun media lainnya.
    Kita mesti menyadari bahwa kebebasan pers bukan sekadar hak jurnalis, tetapi juga elemen esensial dalam menjaga demokrasi yang sehat dan berfungsi dengan baik.
    Karena itu, negara wajib hadir dan bertindak tegas. Aparat penegak hukum mesti segera mengusut kasus ini hingga tuntas, menangkap pelaku, dan memastikan mereka mendapatkan hukuman setimpal.
    Pemerintah juga perlu memberikan jaminan perlindungan bagi jurnalis yang menghadapi ancaman, agar mereka dapat bekerja tanpa rasa takut.
    Masyarakat harus bersuara lantang dalam menolak segala bentuk kekerasan terhadap pers. Dukungan publik terhadap kebebasan media sangat penting untuk menekan pihak-pihak yang berusaha membungkam jurnalis.
    Jika kita membiarkan teror ini berlalu tanpa pertanggungjawaban, maka kita turut memberi ruang bagi kegelapan informasi, di mana kebenaran dikendalikan oleh mereka yang memiliki kekuatan untuk menindas.
    Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dengan tegas mengecam aksi ini sebagai bentuk penghalangan terhadap kerja jurnalistik.
    Sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU Pers, setiap upaya menghambat atau menghalangi tugas jurnalis dapat dikenai sanksi pidana hingga dua tahun penjara atau denda maksimal Rp 500 juta.
    Namun, peristiwa ini bukan hanya soal pelanggaran hukum, melainkan ancaman terhadap demokrasi.
    Sebagai pilar keempat demokrasi, pers memiliki peran sentral dalam melakukan
    checks and balances
    terhadap kekuasaan.
    Jika kebebasan pers terus dikekang melalui teror dan intimidasi, maka publik akan kehilangan akses terhadap informasi yang akurat dan independen.
    Kekerasan terhadap jurnalis bukan hanya melanggar hak mereka atas rasa aman, tetapi juga mencederai hak publik untuk mengetahui kebenaran.
    Lebih dari sekadar ancaman terhadap kebebasan pers, insiden ini juga merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
    Hak atas kebebasan berekspresi—termasuk kebebasan pers, adalah bagian dari hak fundamental yang dijamin dalam Pasal 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.
    Negara memiliki kewajiban (
    duty bearer
    ) untuk melindungi hak ini dan memastikan bahwa jurnalis dapat bekerja tanpa rasa takut.
    Teror terhadap jurnalis pun melanggar hak atas rasa aman, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
    Ancaman dan intimidasi terhadap jurnalis tidak hanya menimbulkan ketakutan individu, tetapi juga menciptakan efek jera yang dapat membatasi kebebasan berekspresi secara lebih luas.
    Ketika jurnalis merasa tidak aman dalam menjalankan tugasnya, masyarakat kehilangan akses terhadap informasi yang jujur dan independen.
    Negara sejatinya berkewajiban untuk segera mengusut kasus ini dan memastikan adanya keadilan bagi korban.
    Lembaga-lembaga negara, termasuk Komnas HAM dan Polri, mesti turut berperan aktif dalam memberikan pelindungan bagi jurnalis yang menghadapi ancaman.
    Jika negara gagal bertindak, maka hal ini dapat dianggap sebagai bentuk pembiaran terhadap pelanggaran HAM yang semakin menggerus demokrasi di Indonesia.
    Masyarakat sipil harus turut serta dalam mengawal kasus ini. Dukungan publik yang kuat dapat memberikan tekanan bagi pemerintah dan aparat penegak hukum untuk bertindak lebih tegas dalam melindungi kebebasan pers.
    Dalam era digital yang semakin terbuka, solidaritas publik terhadap jurnalis dan media independen sangat diperlukan untuk memastikan bahwa hak atas kebebasan berekspresi tetap terjaga.
    Jika negara tidak segera bertindak, maka kita mesti menghadapi kenyataan bahwa kebebasan berekspresi dan HAM di Indonesia semakin terancam.
    Teror terhadap jurnalis bukan hanya persoalan individu, tetapi juga ancaman terhadap kebebasan fundamental yang menjadi pilar utama negara demokratis.
    Oleh karena itu, pelindungan terhadap jurnalis mesti menjadi prioritas utama bagi pemerintah, aparat penegak hukum, dan seluruh elemen masyarakat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 4 Rekomendasi Komnas HAM yang Wajib Diperhatikan Pemerintah dan DPR dalam Revisi UU TNI

    4 Rekomendasi Komnas HAM yang Wajib Diperhatikan Pemerintah dan DPR dalam Revisi UU TNI

    PIKIRAN RAKYAT – Komnas HAM sudah mengkaji proses pembahasan hingga isu-isu fundamental terkait revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI). Dari kajian yang dilakukan pada 2024, Komnas HAM menemukan dua temuan utama terkait RUU tersebut.

    Pertama yakni mengenai usulan perluasan jabatan sipil bagi prajurit aktif yang berisiko menghidupkan kembali praktik dwifungsi TNI. Menurut Komnas HAM, dwifungsi bertentangan dengan Tap MPR 7 MPR 2000 tentang peran TNI dan Polri serta prinsip supremasi sipil dalam negara demokrasi.

    “Tap MPR tersebut menegaskan TNI sebagai bagian dari rakyat, lahir dan berjuang bersama rakyat demi membela kepentingan negara yang berperan sebagai komponen utama dalam sistem pertahanan negara,” kata koordinator sub Komisi Pemajuan HAM, Anis Hidayah dalam konferensi pers di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Rabu, 19 Maret 2025.

    Anis menyebut dalam perkembangan pembahasan RUU TNI, Komnas HAM mencatat adanya perubahan yang memungkinkan prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan pada 16 kementerian/lembaga sipil. Selain itu, kata dia, adanya pengaturan bahwa presiden bisa membuka ruang penempatan prajurit TNI aktif di sejumlah kementerian lainnya.

    Lebih lanjut, Anis mengungkap temuan kedua yang diperoleh Komnas HAM yaitu terkait perpanjangan usia pensiun prajurit TNI. Menurutnya, hal ini berisiko menyebabkan stagnasi regenerasi kepemimpinan, inefisiensi anggaran, dan penumpukan personel tanpa kejelasan penempatan tugas.

    “Pengaturan Pasal 53 ayat 2 dan 4 usulan perubahan ini akan menjadikan pengelolaan jabatan di lingkungan organisasi TNI menjadi politis dan memperlambat generasi tubuh di TNI,” ujar Anis.

    Tak hanya itu, lanjut Anis, alasan jaminan kesejahteraan prajurit tidak dapat dijawab semata-mata dengan perpanjangan usia prajurit aktif. Ia menyebut isi kesejahteraan seharusnya direspons melalui penguatan jaminan kesejahteraan yang lebih komprehensif, mulai dari penggajian dan tunjangan lainnya.

    Oleh sebab itu, Komnas HAM memberikan rekomendasi sebagai pertimbangan bagi pemerintah dan DPR dalam proses revisi UU TNI sebagai berikut:

    Melakukan evaluasi implementasi uu 34/2004 tentang TNI secara menyeluruh. pemerintah perlu melakukan audit komprehensif terhadap implementasi UU TNI dan efektivitas peran TNI dalam sistem pertahanan negara sebelum mengusulkan perubahan regulasi. Menjamin partisipasi publik yang bermakna dalam proses legislasi. penyusunan RUU harus dilakukan secara transparan dan inklusif dengan melibatkan akademisi, masyarakat sipil, serta komunitas yang berdampak langsung dari kebijakan ini. Mencegah kembalinya dwifungsi TNI. Revisi UU TNI harus memperkuat peran TNI yang profesional dalam sektor keamanan serta memperkuat supremasi sipil. Mengkaji ulang perpanjangan usia pensiun. usulan perpanjangan masa dinas prajurit harus mempertimbangkan struktur organisasi TNI, regenerasi kepemimpinan, demi kesejahteraan dan profesionalisme TNI dan efisiensi anggaran pertahanan. Prajurit Aktif Bisa Duduk di 16 Kementerian dan Lembaga

    Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDIP, TB Hasanuddin menyatakan, pihaknya bersama Pemerintah telah menyepakati soal perluasan peran TNI untuk menduduki jabatan sipil di 16 kementerian dan lembaga. Hal tersebut termaktub dalam revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau RUU TNI.

    TB Hasanuddin mengebut, prajurit TNI aktif bisa menduduki lembaga Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) Kemendagri. Kesepakatan itu diputuskan dalam rapat Panitia Kerja (Panja) RUU TNI yang digelar di di Hotel Fairmont, Jakarta, Sabtu, 15 Maret 2025.

    “Sudah (sepakat). Kan saya bilang dari 15 jadi 16. Satu adalah badan perbatasan,” kata TB Hasanuddin.

    TB Hasanuddin menjelaskan alasan DPR dan pemerintah menyepakati TNI bisa menempati posisi di BNPP. Menurutnya, daerah perbatasan memiliki tingkat kerawanan tinggi sehingga memerlukan keterlibatan TNI untuk menjaga wilayah tersebut.

    “Karena dalam perpres itu dan dalam pernyataannya badan pengelola perbatasan yang rawan, berbatasan itu memang ada penempatan anggota TNI,” tutur TB Hasanuddin.

    Meskipun begitu, TB Hasanuddin menegaskan, prajurit harus mengundurkan diri jika ingin menduduki jabatan di luar kementerian dan lembaga yang telah disepakati dalam revisi UU TNI.

    “Soal penempatan prajurit TNI di tempat lain di luar yang 16 itu tetap harus mengundurkan diri. Jadi kalau itu sudah final,” ujar TB Hasanuddin.

    Sebelumnya, Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin mengungkapkan ada 15 Kementerian dan Lembaga yang bisa dijabat oleh prajurit TNI aktif tanpa harus mengundurkan diri atau pensiun dari kedinasan, yakni:

    Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara Pertahanan Negara Sekretaris Militer Presiden Intelijen Negara Sandi Negara Lemhannas DPN SAR Nasional Narkotika Nasional Kelautan dan Perikanan BNPB BNPT Keamanan Laut Kejaksaan Agung Mahkamah Agung

    “Soal penempatan prajurit TNI di tempat lain di luar yang 16 itu tetap harus mengundurkan diri. Jadi kalau itu sudah final,” ujar TB Hasanuddin.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • 3 Polisi Ditembak, Natalius Pigai: Peradilan Militer Solusi Tepat

    3 Polisi Ditembak, Natalius Pigai: Peradilan Militer Solusi Tepat

    Sukabumi, Beritasatu.com – Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menilai peradilan militer adalah solusi tepat untuk penyelesaian kasus penembakan yang menewaskan tiga anggota Polri oleh oknum TNI di Kabupaten Way Kanan, Lampung.

    “Terkait penembakan terhadap tiga anggota polisi, ada sistem peradilan militer yang akan menangani kasus ini. Saya kira peradilan militer adalah yang terbaik di Indonesia,” ujar Natalius Pigai setelah mengisi kuliah umum di Universitas Nusa Putra Sukabumi kepada wartawan, Rabu (19/3/2025).

    Menurut Pigai, sistem peradilan militer memiliki mekanisme yang lebih tegas dan cepat dalam menangani pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anggota TNI.

    “Ketika anggota TNI melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum, maka mereka langsung dicopot dari jabatannya, kemudian diproses di peradilan militer, dan diberhentikan dari institusi,” jelasnya.

    Pigai menambahkan, proses hukum militer lebih cepat dibandingkan peradilan umum, yang dapat memakan waktu lima hingga sepuluh tahun.

    Dengan adanya mekanisme yang sudah ada, pelaku akan diproses sesuai dengan aturan yang berlaku, yang berpedoman pada tiga hal utama: Pencopotan jabatan, proses pidana militer, dan pemberhentian.

    Terkait apakah kasus ini bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat, Pigai mengatakan bahwa hal tersebut merupakan kewenangan pengadilan.

    “Sulit untuk menentukannya karena saya bukan hakim. Yang berhak menyatakan status itu adalah pengadilan,” ujarnya.

    “Itu bukan wewenang saya untuk menentukan. Hanya pengadilan yang memiliki otoritas untuk menyebutnya sebagai pelanggaran HAM. Pengawasan penanganan perkara ada di Komnas HAM,” jelas Menteri HAM Natalius Pigai soal penembakan tiga polisi saat penggerebekan sabung ayam di Kabupaten Way Kanan, Lampung.

  • Komnas HAM Minta DPR dan Pemerintah Perpanjang Pembahasan Revisi UU TNI, Ini Alasannya

    Komnas HAM Minta DPR dan Pemerintah Perpanjang Pembahasan Revisi UU TNI, Ini Alasannya

    PIKIRAN RAKYAT – Komnas HAM berharap DPR RI dan pemerintah dapat memperpanjang pembahasan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia atau RUU TNI. Sebab, revisi UU TNI banyak mendapat atensi dan kritik dari publik lantaran berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi.

    “Memang seharusnya proses pembahasan ini diperpanjang. Sehingga apa yang menjadi aspirasi dan perhatian publik dapat didiskusikan lebih lanjut,” kata Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro saat konferensi pers di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Rabu, 19 Maret 2025.

    Lebih lanjut, Atnike mengatakan pihaknya sudah memberikan catatan terkait risiko-risiko yang akan muncul akibat perluasan jabatan sipil bagi militer dan persoalan HAM. Ia menyatakan, Komnas HAM bakal melakukan pemantauan dan pengamatan jika pada akhirnya RUU TNI disahkan menjadi undang-undang.

    “Kami nanti akan melakukan tentunya pengamatan ketika Undang-Undang ini nanti dilaksanakan, apakah memang apa yang kami rekomendasikan di dalam temuan-temuan kajian Komnas HAM termasuk dalam siaran pers hari ini terjadi atau tidak,” ucap Atnike.

    Atnike menuturkan, sejak awal Komnas HAM sudah merekomendasikan untuk memitigasi timbulnya ekses-ekses yang tidak diinginkan dari substansi perluasan jabatan sipil. Ia berharap temuan soal catatan risiko tidak terjadi apabila RUU TNI disahkan.

    Komnas HAM juga mendorong seluruh RUU yang dibahas di DPR agar dilakukan secara transparan dan memberikan ruang partisipasi yang bermakna bagi setiap warga negara.

    “Proses revisi UU TNI ini kami menilai adanya kurang transparansi yang bertentangan dengan prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang demokratis dan berbasis HAM sebagaimana diatur dalam UU tentang pembentukan peraturan perundang-undangan,” ujar Atnike.

    4 Rekomendasi Komnas HAM

    Komnas HAM sudah mengkaji proses pembahasan hingga isu-isu fundamental terkait RUU TNI. Dari kajian yang dilakukan pada 2024, Komnas HAM menemukan dua temuan utama terkait RUU tersebut.

    Pertama yakni mengenai usulan perluasan jabatan sipil bagi prajurit aktif yang berisiko menghidupkan kembali praktik dwifungsi TNI. Menurut Komnas HAM, dwifungsi bertentangan dengan TAP MPR 7 MPR 2000 tentang peran TNI dan Polri serta prinsip supremasi sipil dalam negara demokrasi.

    “TAP MPR tersebut menegaskan TNI sebagai bagian dari rakyat, lahir dan berjuang bersama rakyat demi membela kepentingan negara yang berperan sebagai komponen utama dalam sistem pertahanan negara,” kata koordinator sub Komisi Pemajuan HAM, Anis Hidayah dalam konferensi pers di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Rabu, 19 Maret 2025.

    Anis menyebut dalam perkembangan pembahasan RUU TNI, Komnas HAM mencatat adanya perubahan yang memungkinkan prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan pada 16 kementerian/lembaga sipil. Selain itu, kata dia, adanya pengaturan bahwa presiden bisa membuka ruang penempatan prajurit TNI aktif di sejumlah kementerian lainnya.

    Lebih lanjut, Anis mengungkap temuan kedua yang diperoleh Komnas HAM yaitu terkait perpanjangan usia pensiun prajurit TNI. Menurutnya, hal ini berisiko menyebabkan stagnasi regenerasi kepemimpinan, inefisiensi anggaran, dan penumpukan personel tanpa kejelasan penempatan tugas.

    “Pengaturan Pasal 53 ayat 2 dan 4 usulan perubahan ini akan menjadikan pengelolaan jabatan di lingkungan organisasi TNI menjadi politis dan memperlambat generasi tubuh di TNI,” ujar Anis.

    Tak hanya itu, lanjut Anis, alasan jaminan kesejahteraan prajurit tidak dapat dijawab semata-mata dengan perpanjangan usia prajurit aktif. Ia menyebut isi kesejahteraan seharusnya direspons melalui penguatan jaminan kesejahteraan yang lebih komprehensif, mulai dari penggajian dan tunjangan lainnya.

    Oleh sebab itu, Komnas HAM memberikan rekomendasi sebagai pertimbangan bagi pemerintah dan DPR dalam proses revisi UU TNI sebagai berikut:

    Melakukan evaluasi implementasi UU 34/2004 tentang TNI secara menyeluruh. pemerintah perlu melakukan audit komprehensif terhadap implementasi UU TNI dan efektivitas peran TNI dalam sistem pertahanan negara sebelum mengusulkan perubahan regulasi. Menjamin partisipasi publik yang bermakna dalam proses legislasi. penyusunan RUU harus dilakukan secara transparan dan inklusif dengan melibatkan akademisi, masyarakat sipil, serta komunitas yang berdampak langsung dari kebijakan ini. Mencegah kembalinya dwifungsi TNI. Revisi UU TNI harus memperkuat peran TNI yang profesional dalam sektor keamanan serta memperkuat supremasi sipil. Mengkaji ulang perpanjangan usia pensiun. Usulan perpanjangan masa dinas prajurit harus mempertimbangkan struktur organisasi TNI, regenerasi kepemimpinan, demi kesejahteraan dan profesionalisme TNI dan efisiensi anggaran pertahanan.

    “Alasan jaminan kesejahteraan prajurit tidak dapat dijawab semata-mata dengan perpanjangan usia prajurit aktif,“ ujar Anis.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Staf Hasto Ajukan Praperadilan, Sidang Perdana Senin Pekan Depan

    Staf Hasto Ajukan Praperadilan, Sidang Perdana Senin Pekan Depan

    Bisnis.com, JAKARTA — Staf Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto, Kusnadi mengajukan gugatan praperadilan terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. 

    Gugatan itu terdaftar dengan nomor perkara 39/Pid.Pra/2025/PN JKT.SEL. Permohonan praperadilan itu didaftarkan Kusnadi sepekan sebelum Hasto resmi disidang perdana, yakni pekan lalu,  Jumat (7/3/2025). 

    Dilansir dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakarta Selatan, gugatan praperadilan yang dilayangkan Kusnadi berkaitan dengan penyitaan yang dilakukan KPK. 

    “Sah atau tidaknya penyitaan,” bunyi klasifikasi perkara praperadilan yang diajukan Kusnadi berdasarkan data SIPP PN Jakarta Selatan, dikutip Jumat (14/3/2025). 

    Adapun status perkara itu masih dalam sidang pertama. Saat dikonfirmasi, PN Jakarta Selatan menjadwalkan sidang perdana praperadilan Kusnadi dalam sekitar dua pekan mendatang. 

    “Senin, 24 Maret 2025 sidang perdananya,” kata Ketua PN Jakarta Selatan Djuyamto belum lama ini.

    Kasus Kusnadi

    Sekadar informasi, tim penyidik menyita sejumlah barang milik Kusnadi ketika menggeledahnya pada saat Hasto diperiksa sebagai saksi di kasus Harun Masiku, pada Juni 2024 lalu. Saat itu, Kusnadi diketahui mendampingi Hasto yang diperiksa. 

    Dari penggeledahan tersebut, penyidik menyita tiga buah handphone, kartu ATM, serta buku catatan Hasto dari Kusnadi. Upaya paksa penyidik KPK itu berbuntut panjang usai pihak PDIP melaporkan perbuatan penyidik ke berbagai pihak.

    Misalnya, tim hukum Hasto dan Kusnadi langsung melaporkan penyitaan barang-barang Kusnadi dan Hasto ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK pada 11 Juni 2024. 

    Tidak hanya itu, Kusnadi didampingi tim hukumnya melaporkan KPK ke Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), pada 12 Februari 2025. 

    Laporan tersebut dilayangkan lantaran Kusnadi merasa lembaga antirasuah telah melanggar HAM ketika menyita ponsel dan buku catatan Hasto.

    Pada pekan yang sama, Kusnadi dan juga tim hukumnya turut membuat laporan terhadap penyidik KPK ke Bareskrim Polri. Akan tetapi, laporan dugaan terjadinya perampasan barang milik pribadi tersebut ditolak pihak Bareskrim. 

    Gugatan praperadilan yang dilayangkan Kusnadi sejatinya adalah saran dari Bareskrim. Saat itu, pihak Kepolisian menyarankan Kusnadi untuk menggugat KPK melalui praperadilan, ketimbang laporan polisi. 

    Pada perkembangan lain, dua permohonan praperadilan yang diajukan Hasto ke PN Jakarta Selatan juga digugurkan sejalan dengan dimulainya persidangan Hasto di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat. 

    Praperadilan Hasto terkait dengan surat perintah penyidikan (sprindik) kasus suap telah digugurkan sejak Senin (10/3/2025), sedangkan praperadilan terkait dengan perintangan penyidikan gugur di hari yang sama dengan sidang dakwaan Hasto, Jumat (14/3/2025). 

    Dua gugatan terpisah itu diajukan usai praperadilan pertama yang diajukan Hasto dinyatakan tidak dapat diterima, Kamis (13/3/2025). 

    Adapun, Hasto kini telah didakwa dengan dua pasal yakni perintangan penyidikan dan suap. Pada dakwaan pertama, Hasto didakwa melakukan perbuatan selama kurun waktu Desember 2019 sampai dengan Juni 2024, atau sekitar 2019 hingga 2024, di Kantor DPP PDIP, Jakarta, yakni dengan sengaja mencegah, merintangi dan mengagalkan secara langsung arau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pada pengadilan terhadap terdakwa, tersangka atau saksi perkara korupsi. 

    “Yaitu dengan sengaja telah melakukan perbuatan mencegah merintangi atau menggagalkan secara langsung penyidikan terhadap tersangka Harun Masiku,”  tutur JPU di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat pagi ini, Jumat (14/3/2025).

    Kemudian, pada dakwaan kedua, Hasto disebut memberikan suap kepada Anggota Komisi Pemilihan Umum 2017-2022 Wahyu Setiawan untuk meloloskan Harun Masiku sebagai anggota DPR PAW 2019–2024. 

    Berdasarkan dakwaan yang dibacakan, Hasto disebut dalam kurun waktu Juni 2019 sampai dengan Januari 2020, atau sekitar 2019-2020, di beberapa lokasi memberikan suap kepada anggota KPU 2017–2022, Wahyu Setiawan. Uang suap itu diberikan bersama-sama dengan tiga kader PDIP yaitu Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri serta Harun Masiku. 

    Uang suap itu berjumlah SGD57.350 serta Rp600 juta. Tujuannya, agar Wahyu bersama dengan Agustina Tio Fridelina menyetujui permohonan pergantian antarwaktu (PAW) DPR 2019-2024 caleg terpilih Dapil Sumatera Selatan I. Permohonan itu ditujukan agar Riezky Aprilia diganti dengan Harun Masiku. 

    Padahal, Riezky Aprilia merupakan caleg yang saat itu memeroleh suara kedua terbesars setelah Nazarudin Kiemas, caleg terpilih dapil Sumsel I yang meninggal dunia. Akan tetapi, Hasto menginginkan agar Harun yang lolos menjadi anggota DPR menggantikan almarhum, kendati suaranya merupakan terbesar ketiga. 

    Oleh sebab itu, Hasto disebut meminta Donny Tri dan Saeful Bahri agar mengupayakan lolosnya Harun sebagai anggota DPR 2019-2024. 

    “Terdakwa menyampaikan bahwa Harun Masiku harus dibantu untuk menjadi anggota DPR RI karena sudah menjadi keputusan partai dan memberi perintah kepada Donny Tri Istiqomah dan Saeful Bahri untuk mengurus Harun Masiku di KPU RI agar ditetapkan sebagai Anggota DPR RI dan melaporkan setiap perkembangan, baik mengenai komitmen, penyerahan uang dan segala hal terkait pengurusan Harun Masiku,” demikian bunyi dakwaan jaksa. 

  • 34 Organisasi Sipil Tolak Pembahasan RUU TNI, Ini Segudang Masalahnya

    34 Organisasi Sipil Tolak Pembahasan RUU TNI, Ini Segudang Masalahnya

    Bisnis.com, JAKARTA – 34 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi masyarakat sipil untuk Advokasi HAM Internasional (HRWG) mengecam pembahasan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).

    Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG) Daniel Awigra menilai bahwa revisi ini tidak hanya mengancam profesionalisme militer, tetapi juga mengkhianati komitmen Indonesia dalam menjalankan berbagai rekomendasi PBB dan kewajiban hukum HAM internasional.

    “Draf revisi ini bertentangan dengan rekomendasi Komite Hak Sipil dan Politik [CCPR], Universal Periodic Review [UPR], serta instrumen HAM global seperti Statuta Roma ICC dan Konvensi Anti-Penyiksaan [CAT],” ujarnya dalam keterangan resmi, Minggu (16/3/2025)

    Apalagi, belum lama ini Indonesia telah meratifikasi sejumlah instrumen HAM inti, termasuk Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT), yang mewajibkan negara memastikan akuntabilitas militer dan perlindungan hak sipil

    Dia melanjutkan bahwa revisi UU TNI justru bertentangan dengan rekomendasi dari Komite HAM PBB (2023) yang menuntut Indonesia mengakhiri imunitas TNI, mengadili pelanggaran HAM di pengadilan sipil, dan menghentikan operasi militer berlebihan di Papua.   

    Belum lagi, aturan ini juga bertentangan dengan UPR 2022 yang merekomendasikan penghapusan bisnis militer dan pembatasan peran TNI hanya untuk ancaman eksternal.  

    Termasuk turut bertentangan dengan laporan Khusus PBB tentang penyiksaan yang menyoroti praktik penyiksaan oleh aparat militer di wilayah konflik.   

    Koalisi masyarakat sipil juga menolak rencana revisi UU TNI dengan alasan berikut adanya pelanggaran Terhadap Rekomendasi CCPR/UPR yang tertuang dalam Pasal 65 UU TNI yang mempertahankan yurisdiksi pengadilan militer untuk kasus HAM bertentangan dengan rekomendasi CCPR (No. 45/2023) dan Prinsip Yurisdiksi Universal Statuta Roma ICC.

    Pembiaran operasi militer di Papua tanpa protokol HAM melanggar rekomendasi UPR 2022 tentang perlindungan masyarakat adat dan Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat (UNDRIP).   

    Belum lagi, aturan ini diyakini mengabaikan Prinsip Pemisahan Fungsi Militer-Sipil: Keterlibatan TNI dalam program pembangunan dan keamanan dalam negeri melanggar Prinsip-Prinsip Dasar PBB tentang Peran Militer, yang ditegaskan kembali dalam rekomendasi UPR 2017.  

    Termasuk akan adanya ancaman terhadap Prinsip PBB tentang Bisnis dan HAM Kegagalan revisi UU TNI menghapus bisnis militer bertentangan dengan UN Guiding Principles on Business and Human Rights dan rekomendasi UPR agar Indonesia menghentikan eksploitasi sumber daya alam oleh aktor militer.  

    “Pasal-pasal revisi UU TNI yang melegalkan intervensi TNI dalam urusan sipil, misalnya program TNI Manunggal Membangun Desa dan operasi keamanan domestik, mengembalikan praktik dwifungsi yang menjadi ciri represif Orde Baru,” ujarnya.

    Padahal, dia melanjutkan UU No 34/2004 telah membatasi peran TNI hanya untuk pertahanan eksternal. Menurutnya, dwifungsi militer terbukti menjadi akar pelanggaran HAM, korupsi, dan kontrol militer atas politik sipil pada masa lalu.  

    “Revisi UU TNI ini tidak hanya merusak agenda reformasi sektor keamanan, tetapi juga menjadikan Indonesia sebagai pembangkang terhadap komitmen HAM internasional,” imbuhnya. 

    Tak hanya itu, dia melanjutkan bahwa koalisi yang tergabung pun meminta agar pemerintah segera menghentikan pembahasan revisi UU TNI yang cacat prosedur dan bertentangan dengan rekomendasi CCPR/UPR.   

    Kemudian, dorongan lainnya adalah membentuk panitia independen untuk meninjau ulang draf dengan melibatkan Komnas HAM, korban pelanggaran HAM, dan masyarakat sipil. Serta, mendesak Komnas HAM dan Kementerian HAM memberikan desakan kepada DPR agar menjalankan rekomendasi-rekomendasi dan menolak RUU TNI. 

    “Koalisi memandang, jika draft revisi RUU TNI dipaksakan, Indonesia akan menghadapi konsekuensi serius di berbagai forum HAM PBB, termasuk sanksi diplomatik dan penurunan peringkat kebebasan sipil,” pungkasnya. 

    Sekadar informasi, HRWG adalah koalisi 34 masyarakat sipil Indonesia yang berkomitmen mendorong akuntabilitas Indonesia dalam menjalankan prinsip dan komitmen terhadap hukum HAM internasional, di antaranya: Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, Arus Pelangi, Asosiasi LBH APIK Indonesia, ELSAM, GAYa Nusantara, Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi (GANDI), HuMa, IKOHI, ILRC, IMPARSIAL, INFID.

    Selain itu, koalisi lainnya adalah Institute for Ecosoc Rights, JATAM, Koalisi Perempuan Indonesia, LBH Banda Aceh, LBH Jakarta, LBH Pers, Migrant Care, Mitra Perempuan, PBHI, RPUK Aceh, SBMI, SETARA Institute, SKPKC Papua, Solidaritas Perempuan, TURC, WALHI, YAPPIKA, Yayasan Kalyanamitra, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Yayasan Pulih.

  • Komisi III DPR Akan Panggil Kapolda Jateng, Buntut Kasus-Kasus Mencolok – Page 3

    Komisi III DPR Akan Panggil Kapolda Jateng, Buntut Kasus-Kasus Mencolok – Page 3

    Komisi III DPR merupakan salah satu dari 13 komisi yang ada di DPR dengan fokus utama pada penegakan hukum. Komisi ini memiliki tugas dan wewenang yang sangat penting, termasuk mengawasi lembaga-lembaga penegak hukum seperti Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

    Dalam menjalankan fungsinya, Komisi III juga terlibat dalam pembentukan undang-undang serta pengawasan anggaran yang berkaitan dengan sektor hukum, HAM, dan keamanan. Ruang lingkup tugas Komisi III telah mengalami perubahan seiring berjalannya waktu.

    Pada periode 2019-2024, tugasnya mencakup hukum, HAM, dan keamanan, sementara pada periode 2024-2029, fokus utama beralih pada penegakan hukum.

    Meskipun demikian, pengawasan terhadap lembaga-lembaga terkait HAM dan keamanan tetap menjadi bagian penting dari tugas Komisi III. Komisi ini juga menerima dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat terkait masalah hukum, HAM, dan keamanan. Sebagai contoh, pada Maret 2025, Komisi III menerima pengaduan dari korban robot trading Net89 yang melaporkan kasus yang belum tuntas.

  • Cabuli Anak di Bawah Umur, Eks Kapolres Ngada Dinilai Melanggar HAM

    Cabuli Anak di Bawah Umur, Eks Kapolres Ngada Dinilai Melanggar HAM

    Cabuli Anak di Bawah Umur, Eks Kapolres Ngada Dinilai Melanggar HAM
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) menyatakan, Kapolres nonaktif Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman melanggar HAM karena telah merenggut hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan fisik atau mental.
    “Terjadinya pelanggaran HAM terhadap hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan fisik atau mental, dan terjadi pelecehan seksual, dan atau pencabulan yang diduga dilakukan oleh Kapolres nonaktif Ngada,” ujar Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing melalui keterangan resminya, Kamis (13/3/2025).
    Komnas HAM mendesak agar Fajar disanksi tegas, baik secara etika dan pidana.
    Bahkan, sanksi terhadap Fajar diharapkan bisa diperberat dengan adanya pertimbangan hukum yang diatur dalam undang-undang nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
    “Dengan mempertimbangkan pemberatan hukuman terhadap pelaku yaitu pelaku sebagai aparat penegak hukum berdasarkan pertimbangan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS),” lanjut Uli.
    Komnas HAM juga meminta agar para korban dapat dibantu proses pemulihannya melalui layanan psikologi serta restitusi atau kompensasi.
    Komnas HAM juga mendesak Polri memastikan peristiwa serupa tidak lagi terjadi, khususnya di lingkungan kepolisian.
    Untuk itu, Polri diminta untuk melakukan evaluasi secara berkala melalui uji narkoba secara rutin dan asesmen psikologi.
    Sebelumnya, eks
    Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma
    Lukman telah ditetapkan sebagai tersangka di kasus pencabulan anak. Lukman juga langsung ditahan di Rutan Bareskrim Polri, Jakarta Selatan.
    “Hari ini statusnya sudah menjadi tersangka dan ditahan di Bareskrim Polri,” ujar Karo Wabprof Divisi Propam Polri Brigjen Agus Wijayanto dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (13/3/2025).
    Fajar disangkakan dengan tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 huruf c, Pasal 12 dan Pasal 14 Ayat 1 huruf a dan b, dan Pasal 15 Ayat 1, huruf e g c i, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Pasal 25 Ayat 1 jo Pasal 27 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua Undang-Undang ITE juncto Pasal 55 dan 56 KUHP.
    Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko mengungkapkan, eks Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman telah mencabuli empat orang korban, di mana 3 di antaranya adalah anak di bawah umur.
    Trunoyudo menyebutkan, fakta itu terkuak dari hasil penyelidikan dan pemeriksaan kode etik yang dilakukan oleh Biro Pertanggung Jawaban Profesi Divisi Profesi dan Pengamanan Polri (Wabprof Propam Polri).
    Truno menuturkan, 3 anak yang menjadi korban pencabulan itu masing-masing berusia 6 tahun, 13 tahun, dan 16 tahun, sedangkan orang dewasa yang dicabuli berusia 20 tahun.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.