NGO: Komnas HAM

  • Korban Tuntut Keadilan, TSI Enggan Dikaitkan

    Korban Tuntut Keadilan, TSI Enggan Dikaitkan

    PIKIRAN RAKYAT – Kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami mantan pemain Oriental Circus Indonesia (OCI) kembali mencuat ke publik setelah sejumlah korban menyampaikan aduan ke Kementerian Hukum dan HAM, pada Selasa, 15 April 2025.

    Mereka mengaku pernah menjadi korban kekerasan, kehilangan identitas, hingga tidak mendapatkan hak pendidikan saat bekerja sebagai bagian dari sirkus tersebut.

    Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merespons laporan ini dengan serius. Dalam keterangan resminya, Komnas HAM meminta agar penyelesaian kasus dilakukan melalui jalur hukum dan pemberian kompensasi kepada para korban.

    “Komnas HAM meminta agar kasus ini diselesaikan secara hukum atas tuntutan kompensasi untuk para mantan pemain OCI,” ujar Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing, di Jakarta, Jumat 18 April 2025.

    Sejarah Panjang Pelanggaran di Lingkungan OCI

    Komnas HAM sebenarnya telah menyoroti praktik-praktik di lingkungan OCI sejak tahun 1997. Saat itu, mereka menemukan setidaknya empat jenis pelanggaran hak anak:

    Anak-anak tidak mengetahui asal-usul, identitas, dan hubungan keluarganya. Terjadi eksploitasi ekonomi terhadap anak-anak. Anak-anak tidak mendapatkan pendidikan umum yang layak. Tidak ada jaminan perlindungan keamanan dan sosial bagi anak-anak.

    Namun, penyelidikan terhadap dua tokoh yang disebut bertanggung jawab, yakni FM dan VS, dihentikan oleh Direktorat Reserse Umum Polri berdasarkan Surat Ketetapan Nomor Pol. G.Tap/140-J/VI/1999/Serse Um pada 22 Juni 1999.

    Kasus ini kembali mencuat setelah Komnas HAM menerima aduan dari Ari Seran Law Office pada Desember 2024, yang menyebutkan belum adanya penyelesaian atas tuntutan kompensasi sebesar Rp3,1 miliar kepada pihak OCI.

    Uli menegaskan bahwa pelatihan keras kepada anak-anak dalam sirkus tidak boleh menjurus pada penyiksaan.

    “Anak-anak tersebut juga mengalami pelanggaran atas hak untuk memperoleh pendidikan yang layak serta hak untuk memperoleh perlindungan keamanan dan jaminan sosial sesuai peraturan perundangan yang ada,” tuturnya.

    Wamenkumham: Ada Kemungkinan Banyak Tindak Pidana

    Wakil Menteri Hukum dan HAM, Mugiyanto, menerima langsung audiensi para korban. Ia mengatakan bahwa pengakuan yang disampaikan mengarah pada potensi pelanggaran pidana berat, termasuk kekerasan dan penghilangan identitas.

    “Banyak kekerasannya. Ada aspek penting yang orang tidak pikirkan, itu soal identitas mereka. Mereka tidak tahu asal usul, tidak tahu orang tuanya—beberapa dari mereka. Ini harus kita buka jalan supaya mereka bisa mengidentifikasi keluarga mereka,” kata Mugiyanto.

    Dia juga menyatakan bahwa pemerintah akan berkoordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) serta Komnas HAM untuk menyelidiki lebih lanjut. Rencana pemanggilan kepada pihak-pihak terkait, termasuk pihak Taman Safari Indonesia, telah disiapkan.

    “Kami akan meminta keterangan dari pihak Taman Safari Indonesia. Pemanggilan itu akan dilakukan secepatnya,” ujarnya.

    Taman Safari Indonesia Tolak Dihubungkan

    Menanggapi sorotan publik, Taman Safari Indonesia (TSI) Group menyatakan dengan tegas bahwa pihaknya tidak memiliki keterkaitan atau hubungan bisnis dengan mantan pemain sirkus OCI.

    “Kami menilai bahwa permasalahan tersebut bersifat pribadi dan tidak ada kaitannya dengan Taman Safari Indonesia Group secara kelembagaan,” kata Head of Media and Digital TSI Group, Finky Santika Nh, di Kabupaten Bogor.

    Finky juga meminta publik untuk tidak menyebarkan informasi yang tidak berdasar, karena dapat berdampak hukum terhadap reputasi perusahaan.

    “Kami mengajak masyarakat untuk bersikap bijak dalam menyikapi informasi yang beredar di ruang digital dan tidak mudah terpengaruh oleh konten yang tidak memiliki dasar fakta maupun keterkaitan yang jelas,” tuturnya.

    Penjelasan Tony Sumampau: TSI dan OCI Adalah Entitas Berbeda

    Komisaris TSI Group, Tony Sumampau, yang diketahui pernah menjadi pelatih hewan di OCI, juga memberikan klarifikasi. Dia menyatakan bahwa TSI dan OCI adalah dua badan hukum yang berbeda, meski dirinya aktif di keduanya pada masa lalu.

    Menurut Tony, anak-anak memang tinggal sepenuhnya di lingkungan sirkus pada masa itu, namun semua kegiatan termasuk makan, tidur, dan belajar tetap ada porsinya.

    “Ketika itu memang bekerja semua, anak-anak makan, istirahat, show, sampai belajar ada waktunya. Kalau ada kekerasan mungkin saya juga kena karena saya kan di sana juga,” ujarnya.

    Upaya Negara Menjembatani Korban dan Pihak Terlapor

    Kementerian Hukum dan HAM berkomitmen untuk menjadi penghubung antara para korban dan pihak-pihak yang diduga terlibat. Meskipun peristiwa ini terjadi puluhan tahun lalu, pemerintah menegaskan bahwa tidak ada daluwarsa terhadap pelanggaran HAM.

    “Kami dengarkan dari mereka, ada kemungkinan banyak sekali tindak pidana yang terjadi di sana,” ujar Mugiyanto.

    Dia juga menambahkan bahwa pihaknya akan memberi ruang bagi korban yang ingin menempuh jalur hukum secara formal.

    “Kalau memang mau ditempuh jalur hukum, ya silakan jika korban mau menempuh jalur itu,” ucap Mugiyanto.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Mengungkap Kasus Pelanggaran HAM Anak yang Menggegerkan 1997

    Mengungkap Kasus Pelanggaran HAM Anak yang Menggegerkan 1997

    PIKIRAN RAKYAT – Kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap anak-anak di lingkungan Oriental Circus Indonesia (OCI) kembali mencuat ke publik.

    Dugaan eksploitasi terhadap anak-anak pemain sirkus ini pertama kali ditindaklanjuti oleh Komnas HAM pada 1997 dan kini kembali ramai dibicarakan setelah sejumlah informasi simpang siur menyebar di media sosial.

    Laporan Dugaan Pelanggaran HAM terhadap Anak di OCI

    Pada 1 April 1997, Komnas HAM menerbitkan pernyataan resmi yang ditandatangani oleh Ketua Komnas HAM saat itu, Munawir Sjadzali. Dalam pernyataan tersebut, Komnas HAM menyebutkan telah menerima sejumlah laporan terkait kemungkinan terjadinya pelanggaran hak anak oleh pihak Oriental Circus Indonesia di Cisarua, Bogor.

    “Komnas HAM setelah menerima beberapa laporan tentang kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM terhadap anak-anak (child abuse) pemain sirkus di lingkungan Oriental Circus Indonesia, telah membentuk Tim untuk memantau kasus tersebut,” tutur Komnas HAM dalam dokumen resminya.

    Pemantauan dilakukan melalui pertemuan dengan pengelola OCI dan pelapor di kantor Komnas HAM. Dari hasil kajian mendalam, Komnas HAM menyimpulkan bahwa meski pihak OCI menunjukkan keterbukaan dan menjalin kerja sama dengan baik, sejumlah pelanggaran tetap terjadi.

    Komnas HAM menyatakan bisa memahami “budaya keras dan kekeluargaan dalam lingkungan sirkus,” serta “keinginan tulus pengelola OCI untuk menolong anak-anak terlantar.” Namun, hal itu dinilai tidak bisa dijadikan pembenar atas berbagai pelanggaran hak anak.

    Dalam kesimpulannya, Komnas HAM menyebutkan empat bentuk pelanggaran hak anak yang terjadi di lingkungan Oriental Circus Indonesia:

    Hak anak atas identitas dan asal-usulnya
    Anak-anak pemain sirkus disebut tidak mengetahui asal-usul, hubungan kekeluargaan, atau siapa orang tuanya. Eksploitasi ekonomi terhadap anak
    Anak-anak tersebut diduga dimanfaatkan secara ekonomis tanpa perlindungan hukum yang memadai. Pelanggaran hak atas pendidikan yang layak
    Komnas HAM menyoroti bahwa anak-anak tersebut tidak mendapatkan akses pendidikan umum yang dapat menjamin masa depannya. Pelanggaran hak atas keamanan dan jaminan sosial
    Anak-anak tidak memperoleh perlindungan hukum dan sosial yang layak sesuai peraturan yang berlaku. Rekomendasi Komnas HAM kepada Oriental Circus Indonesia

    Komnas HAM dalam pernyataan tahun 1997 memberikan beberapa rekomendasi yang ditujukan langsung kepada Oriental Circus Indonesia, bukan pihak lain. Beberapa rekomendasi tersebut antara lain:

    OCI diminta bekerja sama secara koordinatif dengan Komnas HAM, Depdikbud, Menpora, dan instansi terkait untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM serupa. OCI diminta menjernihkan asal-usul anak-anak pemain sirkus yang belum jelas identitasnya. Latihan keras terhadap anak-anak agar tidak menjurus ke arah penyiksaan fisik maupun mental. Menyelesaikan sengketa antara OCI dan para mantan atlet sirkus secara kekeluargaan.

    Komnas HAM juga menekankan pentingnya menjadikan kasus ini sebagai pelajaran berharga.

    “Sejak Indonesia meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak, maka sudah waktunya kita meningkatkan perhatian terhadap nasib anak-anak,” ujar Komnas HAM.

    Klarifikasi PT. Taman Safari Indonesia: Bukan Subjek Hukum Kasus OCI

    Di tengah maraknya pemberitaan dan unggahan media sosial terkait kasus OCI, PT. Taman Safari Indonesia (TSI) merilis klarifikasi resmi pada Jumat, 18 April 2025. Klarifikasi ini menyanggah tuduhan yang menyebut bahwa TSI terlibat atau pernah diperiksa dalam kasus tersebut.

    “Subyek hukum dalam dokumen rekomendasi Komnas HAM adalah Oriental Circus Indonesia (OCI), dan tidak pernah sekalipun disebutkan PT. Taman Safari Indonesia,” kata Barata Mardikoesno, VP Legal dan Corporate Secretary TSI.

    TSI juga menegaskan bahwa dalam rekomendasi Komnas HAM tidak ada satu pun permintaan agar membayar kompensasi finansial kepada mantan atlet sirkus. Barata menyebut tuduhan tersebut tidak sesuai dengan dokumen resmi Komnas HAM yang justru meminta OCI bekerja sama dengan lembaga negara terkait.

    “Berdasarkan proses mediasi dan dokumen pernyataan Komnas HAM di atas, TSI bukanlah pihak yang dimintai tindakan atau pertanggungjawaban oleh Komnas HAM,” tutur Barata.

    TSI menegaskan pihaknya tidak membenarkan bahkan menolak segala bentuk kekerasan terhadap siapa pun, termasuk anak-anak.

    Taman Safari Indonesia: Profil Singkat dan Reputasi

    Taman Safari Indonesia dikenal sebagai tempat wisata keluarga berwawasan lingkungan dan konservasi satwa. Unit bisnis TSI tersebar di berbagai daerah seperti Taman Safari Bogor, Prigen, Solo Safari, Bali Safari & Marine Park, hingga Jakarta Aquarium & Safari.

    Perusahaan ini mempekerjakan sekitar 3.000 karyawan dan telah memperoleh sejumlah penghargaan nasional seperti Indonesia Green Award dan Satyalancana Pembangunan.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • 8
                    
                        Taman Safari Indonesia Kena Imbas Kemelut OCI Vs Eks Pemain Sirkus 
                        Nasional

    8 Taman Safari Indonesia Kena Imbas Kemelut OCI Vs Eks Pemain Sirkus Nasional

    Taman Safari Indonesia Kena Imbas Kemelut OCI Vs Eks Pemain Sirkus
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Taman Safari Indonesia
    (TSI) ikut terseret dalam pusaran
    tuntutan mantan pemain sirkus

    Oriental Circus Indonesia
    (OCI).
    Baik TSI maupun OCI, keduanya merupakan perusahaan keluarga. Namun, keduanya adalah entitas bisnis yang berbeda.
    Vice President Legal & Corporate Secretary Taman Safari Indonesia, Barata Mardikoesno mengatakan, pihaknya sebelumnya menerima somasi dari para pemain sirkus OCI yang menuntut pertanggungjawaban dengan nilai total Rp 3,1 miliar.
    Somasi pertama dilayangkan pada 10 Oktober 2024 oleh salah satu kantor hukum yang mewakili enam orang mantan pemain, termasuk Ida, Butet dan Vivi.
    “Mereka menuntut masing-masing Rp 300 juta, khusus untuk Ida mereka meminta Rp 1 miliar. Jadi total nilainya mencapai kurang lebih Rp 3,1 miliar,” ujar Barata dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (17/4/2025).
    Ida adalah salah seorang mantan pemain sirkus OCI yang mengalami cacat seumur hidup usai terjatuh saat melakukan show.
    Barata mengatakan, somasi kembali dikirim pada 31 Oktober 2024 oleh kelompok yang sama secara kolektif.
    Tidak hanya itu, pada 12 Desember 2024, tuntutan tersebut juga sampai ke Komnas HAM dan tembusan untuk Taman Safari.
    “Mereka meminta waktu lima hari untuk kami memenuhi permintaan tersebut,” ungkapnya.
    “Namun kami sudah menjelaskan, bahwa orang-orang ini tidak pernah terdaftar sebagai karyawan Taman Safari Indonesia,” tegas Barata.
    Dia juga menegaskan bahwa TSI dan OCI adalah dua entitas bisnis yang berdiri secara terpisah, dengan latar belakang dan badan hukum berbeda.
    “Mereka adalah karyawan OCI, OCI dan TSI merupakan entitas berbeda,” jelasnya.
    “OCI itu didirikan tahun 1967 dan beroperasi sampai 1997. Sedangkan Taman Safari berdiri tahun 1981 dan sampai sekarang masih berjalan. Jadi dari struktur organisasi dan hukum, dua-duanya berbeda,” jelas Barata.
    Founder OCI sekaligus Komisaris TSI,
    Tony Sumampau
    mengatakan, bahwa dirinya mendirikan kerajaan bisnis konservasi satwa TSI bersama kedua saudaranya, Jansen Manansang dan Frans Manansang, serta ayahnya, Hadi Manansang.
    Meski ada hubungan keluarga di balik kepemilikan OCI dan TSI, keduanya merupakan entitas berbeda yang tidak saling berkaitan secara bisnis maupun hukum.
    Adapun OCI secara entitas, menurut Tony, sudah tidak ada. 
    Ia mengaku, ada sosok yang memiliki peran penting di balik gugatan tersebut sehingga berupaya memeras TSI, lantaran OCI sudah tidak ada.
    “Kalau mereka mengajukan sesuatu ke OCI, ya OCI sudah tidak ada. Jadi mereka berusaha mengaitkan ke Taman Safari, pasti ada maksud lain di balik itu,” kata Tony.
    Tony mencium adanya provokator yang diduga sengaja menggiring mantan pemain sirkus untuk membuat narasi negatif.
    “Ya, di belakang semua ini memang ada sosok provokator yang memprovokasi mereka. Kita sudah tahu siapa, karena sebelumnya juga dia sempat minta sesuatu kepada kami,” ujar Tony.
    Sebelumnya, sejumlah perempuan mantan pemain sirkus OCI menguak kisah kelam selama puluhan tahun menjadi pemain sirkus yang beratraksi di berbagai tempat.
    Cerita memilukan ini diungkap para perempuan tersebut di hadapan Wakil Menteri HAM Mugiyanto, Selasa (15/4/2025), saat mengadukan pengalaman pahit yang mereka alami selama bertahun-tahun, mulai dari kekerasan fisik, eksploitasi, hingga perlakuan tidak manusiawi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Komnas HAM Minta Kasus Eksploitasi Pemain Sirkus Dituntaskan Secara Hukum
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        18 April 2025

    Komnas HAM Minta Kasus Eksploitasi Pemain Sirkus Dituntaskan Secara Hukum Nasional 18 April 2025

    Komnas HAM Minta Kasus Eksploitasi Pemain Sirkus Dituntaskan Secara Hukum
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (
    Komnas HAM
    ) merekomendasikan agar kasus dugaan eksploitasi eks pemain sirkus pada
    Oriental Circus Indonesia
    (OCI) diselesaikan secara hukum.
    Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM Uli Parulian Sihombing menyatakan, langkah itu perlu ditempuh karena kasus dugaan eksploitasi ini telah berlangsung sejak lama dan belum diselesaikan sebagaimana mestinya.
    “Komnas HAM meminta agar kasus ini diselesaikan secara hukum atas tuntutan kompensasi untuk para mantan pemain OCI,” kata Uli dalam siaran pers, Kamis (17/4/2025).
    Komnas HAM  juga meminta agar asal-usul para pemain sirkus OCI segera dijernihkan.
    “Hal ini sangat penting untuk mengetahui asal-usul, identitas, dan hubungan kekeluargaannya,” imbuh Uli.
    Uli menjelaskan, Komnas HAM telah memantau kasus anak-anak pemain sirkus di lingkungan OCI, Cisarua, Bogor, Jawa Barat, sejak tahun 1997.
    Ketika itu, Komnas HAM menemukan dugaan pelanggaran HAM berupa pelanggaran terhadap hak anak untuk mengetahui asal-usul, identitas, hubungan kekeluargaan dan orang tuanya; elanggaran terhadap hak-hak anak untuk bebas dari eksploitasi yang bersifat ekonomis.
    Kemudian, pelanggaran terhadap hak-hak anak untuk memperoleh pendidikan umum yang layak yang dapat menjamin masa depannya; serta pelanggaran terhadap hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan keamanan dan jaminan sosial yang layak, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
    “Namun, pada 22 Juni 1999, Komnas HAM mendapatkan informasi bahwa Direktorat Reserse Umum Polri menghentikan penyidikan tindak pidana menghilangkan asal-usul dan perbuatan tidak menyenangkan atas nama FM dan VS,” kata Uli.
    Kasus ini pun kembali bergulir pada Desember 2024 ketika Komnas HAM menerima menerima pengaduan dari Ari Seran Law Office yang menyampaikan permasalahan kasus OCI belum terselesaikan.
    “Karena belum adanya upaya untuk memenuhi tuntutan ganti rugi sebesar Rp. 3.1 milyar yang ditujukan kepada OCI,” ujar Uli.
    Di samping itu, Komnas HAM juga menegaskan bahwa pelatihan keras utamanya kepada anak-anak tidak boleh menjurus pada penyiksaan dan bilamana hal ini dilakukan maka telah terjadi pelanggaran hak anak.
    “Anak-anak tersebut juga mengalami pelanggaran atas hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, serta hak untuk memperoleh perlindungan keamanan dan jaminan sosial sesuai peraturan perundangan yang ada,” kata Uli.
    Diberitakan sebelumnya, sejumlah perempuan mantan pemain sirkus OCI mengadukan pengalaman pahit mereka selama menjadi pemain sirkus kepada Wakil Menteri HAM Mugiyanto, Selasa (15/4/2025).
    Di hadapan Mugiyanto, mereka mengaku mengalami kekerasan fisik, eksploitasi, hingga perlakuan tidak manusiawi selama bertahun-tahun, misalnya disetrum, dirantai, hingga dipisahkan dengan anaknya.
    Sebagian dari mereka pun mengaku tidak mengetahui identitas dan asal-usulnya karena sudah dilatih menjadi pemain sirkus sejak kecil.
    Respons Oriental Circus Indonesia
    Pendiri OCI sekaligus Komisaris Taman Safari Indonesia Tony Sumampau membantah tudingan bahwa terdapat eksploitasi terhadap para pemain sirkus.
    Tony mengakui bahwa pada medio tahun 1970-1980, didikan yang diberikan OCI kepada para pemain sirkusnya cukup keras, jika dibandingkan dengan upaya pendisiplinan pada saat ini.
    Namun, ia menegaskan, proses latihan di sirkus memang memerlukan kedisiplinan tinggi yang kerap kali melibatkan tindakan tegas.
    Menurut Tony, hal tersebut wajar dalam dunia olahraga dan bukan bentuk kekerasan yang disengaja.
    “Betul, pendisiplinan itu kan dalam pelatihan ya, pasti ada. Saya harus akui. Cuma kalau sampai dipukul pakai besi, itu nggak mungkin,” ujar Tony saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (17/4/2025).
    “Kalau mereka luka, justru nggak bisa tampil atraksi,” ujarnya. Tony juga menepis tudingan soal penyiksaan yang dialami mantan pemain sirkus.
    Menurut dia, pernyataan yang disampaikan para eks pemain sirkus hanyalah pernyataan sensasional, yang tidak logis dan bertujuan untuk menarik simpati publik.
    “Kalau dibilang penyiksaan, ya itu membuat sensasi saja. Supaya orang yang dengar jadi kaget, serius gitu ya. Kalau benar-benar seperti itu, ya tidak masuk akal,” ujarnya.
    Tony pun menuding ada upaya pemerasan di balik tuntutan kompensasi senilai Rp 3,1 miliar.
    Menurut dia, ada sosok tertentu yang memprovokasi para mantan pemain sirkus untuk mengangkat narasi negatif.
    Tony juga mengaku telah mengantongi bukti-bukti terkait dugaan adanya upaya pemerasan yang sempat menuntut angka hingga lebih dari Rp 3,1 miliar.
    Namun, Tony menegaskan bahwa dari awal pihaknya memilih untuk diam agar tidak melukai perasaan mantan anak didiknya.
    “Kita memang tidak merespon, karena mau lihat siapa dalangnya. Anak-anak itu hanya ‘alat’. Kita nggak mau cederai mereka. Tapi siapa yang ada di belakang ini, ya itu yang jadi perhatian kami,” ungkap Tony.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 8
                    
                        Taman Safari Indonesia Kena Imbas Kemelut OCI Vs Eks Pemain Sirkus 
                        Nasional

    9 OCI Akhirnya Buka Suara Soal Dugaan Eksploitasi Eks Pemain Sirkusnya Nasional

    OCI Akhirnya Buka Suara Soal Dugaan Eksploitasi Eks Pemain Sirkusnya
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Oriental Circus Indonesia
    (OCI) buka suara terkait dengan perseteruannya dengan mantan pemain sirkus binaan mereka.
    Founder OCI sekaligus Komisaris Taman Safari Indonesia,
    Tony Sumampau
    , mengatakan, pembentukan OCI berawal dari situasi politik Indonesia yang memanas pasca peristiwa G30S pada tahun 1966.
    Saat itu, kebutuhan hiburan untuk prajurit yang bertugas menjaga keamanan mendorong lahirnya kelompok akrobatik yang akhirnya dikenal sebagai Oriental Circus.
    “ABRI waktu itu butuh hiburan. Kostrad punya band, kita punya tim akrobat. Gabung jadi satu, lalu keliling ke berbagai daerah pakai pesawat Hercules, tampil di markas-markas militer, mulai dari Tasik sampai Jawa Tengah,” ujar Tony, saat jumpa pers, Kamis (17/4/2025).
    Seiring berjalannya waktu, Tony menilai bahwa performa tim sirkus di bawah naungan OCI tidak cukup maksimal.
    Akhirnya, orangtua Tony mengajak anak-anak perempuan dari sebuah panti asuhan di kawasan Kalijodo, Penjaringan, Jakarta Utara untuk bergabung ke dalam kelompok tersebut.
    “Anak-anak itu dari bayi dibesarkan, usia 6-7 tahun baru diajak bergabung dan mulai berlatih di sirkus,” kata Tony.
    Tony mengakui bahwa pada medio tahun 1970-1980, didikan yang diberikan OCI kepada para pemain sirkusnya cukup keras, jika dibandingkan dengan upaya pendisiplinan pada saat ini.
    “Tahun 70-80-an itu, dan memang ada tindakan disiplin untuk mendisiplinkan anak-anak. Waktu itu kita bisa bilang eranya keras lah ya,” kata Tony.
    Namun, ia mengklaim bahwa pendisiplinan keras merupakan hal yang wajar bila melihat kultur sosial pada tahun tersebut. Ia pun mengklaim turut merasakan hal serupa.
    “Tapi kalau anak-anak itu malas, tidak mau keluar tenaga, kalau (dipukul) pakai rotan itu biasa (saat itu), dan konteksual pada masa tahun itu, memang begitu itu kulturnya. Bukan cuma di sirkus saja,” ujarnya.
    “Di luar sirkus pun kita di rumah pun mengalami gitu ya. Di sekolah juga gitu. Dipukul pakai rotan sama guru. Jadi konteksual pendidikan memang ada ketika itu,” tambahnya.
     
    Walaupun ada pendisiplinan keras, Tony membantah, pihaknya melakukan praktik eksploitasi dan perbudakan kepada para pemain sirkus di bawah naungan OCI.
    Tony menegaskan, proses latihan di sirkus memang memerlukan kedisiplinan tinggi yang kerap kali melibatkan tindakan tegas.
    Namun ia menyebut hal tersebut wajar dalam dunia olahraga dan bukan bentuk kekerasan yang disengaja.
    “Betul, pendisiplinan itu kan dalam pelatihan ya, pasti ada. Saya harus akui. Cuma kalau sampai dipukul pakai besi, itu nggak mungkin,” ujar Tony saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (17/4/2025). “Kalau mereka luka, justru nggak bisa tampil atraksi,” ujarnya.
    Tony juga menepis tudingan soal penyiksaan yang dialami mantan pemain sirkus. Menurutnya, pernyataan yang disampaikan mereka hanyalah pernyataan sensasional, yang tidak logis dan bertujuan untuk menarik simpati publik.
    “Kalau dibilang penyiksaan, ya itu membuat sensasi saja. Supaya orang yang dengar jadi kaget, serius gitu ya. Kalau benar-benar seperti itu, ya tidak masuk akal,” ujarnya.
    Di balik itu semua, Tony menilai ada sosok yang memiliki peran inti yang berusaha melakukan pemerasan kepadanya. Hanya saja, karena OCI sudah tidak beroperasi lagi, maka tuntutan disuarakan kepada Taman Safari Indonesia.
    Tony mencium adanya provokator yang diduga sengaja menggiring mantan pemain sirkus untuk membuat narasi negatif.
    “Ya, di belakang semua ini memang ada sosok provokator yang memprovokasi mereka. Kita sudah tahu siapa, karena sebelumnya juga dia sempat minta sesuatu kepada kami,” ujar Tony.
    Tony menyebut, pihaknya tidak berniat memperkarakan para mantan pemain sirkus, yang disebutnya sudah seperti anak sendiri.
    Namun berbeda dengan “aktor” yang berada di balik tuduhan tersebut.
    “Kalau anak-anak, ya kasihan. Tapi kalau provokatornya, itu lain cerita. Kita sedang mengupayakan langkah hukum terhadap pihak yang memanfaatkan mereka,” kata Tony.
    Menurut Tony, pihaknya telah mengantongi bukti-bukti terkait dugaan adanya upaya pemerasan yang sempat menuntut angka hingga lebih dari Rp 3,1 miliar.
    Namun, Tony menegaskan bahwa dari awal pihaknya memilih untuk diam agar tidak melukai perasaan mantan anak didiknya.
    “Kita memang tidak merespon, karena mau lihat siapa dalangnya. Anak-anak itu hanya ‘alat’. Kita nggak mau cederai mereka. Tapi siapa yang ada di belakang ini, ya itu yang jadi perhatian kami,” ungkap Tony.
     
    Tony mengaku sebagian bukti sudah dikantongi, meskipun belum sempat bertemu langsung dengan para korban.
    “Sebagian bukti sudah ada. Kalau mereka (anak-anak) yang kemarin itu, saya belum pernah ketemu lagi. Mungkin karena merasa malu setelah ramai bicara seperti ini,” ujarnya.
    Sementara itu, Vice President Legal & Corporate Secretary Taman Safari Indonesia, Barata Mardikoesno, menegaskan persoalan ini tidak ada kaitannya dengan Taman Safari Indonesia.
    “Langkah hukum ini nanti akan diambil oleh OCI. Taman Safari Indonesia tidak ada hubungannya dengan persoalan ini, bisnisnya memang terpisah,” tegas Barata.
    Barata juga menilai ada motif tertentu yang berusaha menyeret nama Taman Safari ke dalam polemik yang seharusnya tidak terkait.
    “Kenapa mereka mengincar TSI, kami juga tidak paham. Yang jelas, secara posisi hukum dan dokumen, TSI berdiri terpisah dari OCI. Jadi kalau ada langkah hukum, itu murni dari Pak Tony, bukan atas nama TSI,” tandasnya.
    Pengacara para korban, Muhammad Soleh, mengungkapkan bahwa salah satu kliennya, Fifi, sempat melaporkan dugaan pelanggaran itu ke Mabes Polri sejak tahun 1997, dengan sangkaan pelanggaran Pasal 277 KUHP tentang penghilangan asal-usul.
    Namun, kasus tersebut dihentikan dengan alasan tidak cukup bukti.
    “Dulu Bu Fifi pernah melaporkan ke Mabes Polri tentang penghilangan asal-usul, tapi akhirnya SP3 dikeluarkan. Alasannya, bukti tidak ada,” kata Soleh usai melaporkan kasus ini ke Kementerian HAM, Selasa (15/4/2025).
    “Kami bingung, karena dari 16 korban yang kami dampingi, hingga hari ini baru lima orang yang berhasil menemukan orang tua mereka, itu pun hasil usaha pribadi. Sementara 11 orang lainnya masih belum mengetahui siapa orang tua kandung mereka,” tambah dia.
     
    Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia (RI), Uli Parulian Sihombing, mengatakan, di awal tahun pihaknya sempat memberikan saran kepada para mantan pemain sirkus OCI untuk menempuh jalur hukum dalam memperjuangkan hak-hak mereka.
    Sebelumnya, para mantan pemain sirkus OCI, sempat melaporkan dugaan
    pelanggaran HAM
    berat yang dialami kepada Komnas HAM pada tahun 1997, atau tepat 28 tahun yang lalu.
    Sayangnya, kasus ini nyatanya tidak terselesaikan hingga saat ini.
    “Pada 6 Januari 2025, Komisioner pengaduan Komnas HAM memberikan saran menyelesaikan permasalahannya melalui jalur hukum,” kata Uli saat dihubungi Kompas.com, Rabu (16/4/2025).
    Dia mengatakan, saat itu Komnas HAM sudah melakukan identifikasi masalah dan mengeluarkan rekomendasi atas pengaduan pekerja OCI Taman Safari Indonesia.
    Komnas HAM juga menyatakan adanya pelanggaran HAM atas hak-hak anak.
    “Pelanggaran tersebut di antaranya, hak untuk mengetahui asal usul, identitas, dan hubungan kekeluargaan. Kemudian, hak untuk bebas dari eksploitasi ekonomi,” ujarnya.
    “Lalu, hak untuk memperoleh pendidikan yang layak yang dapat menjamin masa depannya, serta hak untuk memperoleh perlindungan keamanan, dan jaminan sosial, sesuai peraturan perundang-undangan,” tambah dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Tangis Vivi, Eks Pemain Sirkus Taman Safari, Mengaku Disetrum dan Dikurung di Kandang Macan

    Tangis Vivi, Eks Pemain Sirkus Taman Safari, Mengaku Disetrum dan Dikurung di Kandang Macan

    GELORA.CO – Sebuah pengakuan mengejutkan datang dari Vivi, perempuan yang pernah menjadi bagian dari pertunjukan sirkus di Taman Safari Indonesia (TSI), Cisarua, Bogor.

    Dalam sebuah video wawancara yang viral di media sosial sejak awal pekan ini, Vivi dengan air mata mengisahkan pengalaman kelamnya selama bertahun-tahun sebagai pemain sirkus. Ia mengaku menjadi korban kekerasan fisik, eksploitasi, dan penyiksaan seksual di balik panggung hiburan yang selama ini dianggap ramah keluarga.

    “Vagina saya disetrum. Saya pernah dipasung. Saya juga pernah dirantai dan dikurung seperti binatang,” ungkap Vivi dalam video berdurasi lebih dari 10 menit yang pertama kali diunggah oleh seorang aktivis kemanusiaan dan satwa. Dalam rekaman tersebut, Vivi tampak masih trauma, suaranya bergetar saat mencoba mengingat ulang kejadian yang dialaminya sejak belia.

    Menurut penuturannya, Vivi direkrut ke dalam dunia sirkus sejak usia sangat muda. Ia kemudian tinggal dan bekerja di kawasan Taman Safari, di mana ia tidak hanya tampil dalam pertunjukan, tetapi juga harus menjalani hidup dalam keterbatasan dan ketakutan.

    Vivi mengklaim bahwa ia tidak diberi kebebasan untuk meninggalkan lokasi, dan sempat dikurung di kandang harimau untuk waktu yang tidak dijelaskan secara rinci.

    “Saya tidak bisa keluar. Saya tidak boleh ke mana-mana. Seperti tahanan. Saya juga tidak tahu harus lapor ke mana waktu itu,” kata Vivi.

    Ia menambahkan bahwa selama bertahun-tahun dirinya mengalami siksaan berupa setrum di area sensitif tubuh, pemukulan, serta dipaksa tidur di lantai tanpa alas di dalam kandang bekas binatang.

    Menanggapi pengakuan tersebut, pihak Taman Safari Indonesia memberikan klarifikasi resmi. Melalui Kepala Humas TSI, Yulius H. Suprihardo, pihaknya menyatakan bahwa mereka menyesalkan beredarnya video tersebut, dan saat ini sedang melakukan penelusuran internal. “Kami sedang mengecek kebenaran informasi yang disampaikan. Jika memang benar ada pelanggaran, tentu harus ada proses hukum,” ujar Yulius kepada Tirto, Rabu (17/4/2025).

    Yulius juga menambahkan bahwa sejak beberapa tahun terakhir, TSI telah melakukan reformasi besar-besaran dalam sistem atraksi dan pertunjukan. “Kami sudah tidak lagi menampilkan pertunjukan sirkus manusia atau sirkus dengan kekerasan terhadap satwa. Kami lebih fokus pada aspek edukasi dan konservasi,” jelasnya.

    Namun, hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari Taman Safari mengenai apakah Vivi benar pernah bekerja atau tinggal di lokasi tersebut secara legal atau sebagai bagian dari sistem kerja yang tercatat. Pihak manajemen juga belum memastikan apakah akan membuka jalur pelaporan dan pemulihan bagi Vivi maupun dugaan korban lainnya.

    Kisah Vivi menuai simpati dan kemarahan luas dari publik. Tagar #KeadilanUntukVivi dan #StopEksploitasiManusia menduduki posisi trending topic di media sosial Indonesia sejak Rabu pagi. Banyak pengguna internet meminta pihak berwenang, termasuk Komnas HAM dan Komnas Perempuan, untuk turun tangan menyelidiki kasus tersebut.

    Komnas Perempuan, dalam pernyataan singkat yang diunggah di akun media sosialnya, menyatakan akan mengkaji video pengakuan tersebut dan membuka ruang konsultasi dengan Vivi jika ia bersedia.

    Sementara itu, LSM pemerhati hak anak dan perempuan menyebut pengakuan Vivi mengindikasikan adanya kemungkinan perdagangan manusia dan eksploitasi anak dalam sistem kerja hiburan yang tertutup. “Ini bisa jadi fenomena gunung es. Kita tidak tahu berapa banyak anak-anak yang mengalami hal serupa di masa lalu,” ujar Koordinator SAFEnet, Damar Juniarto.

    Pengamat sosial dan aktivis hak pekerja, Luviana, menyebut bahwa kasus seperti ini membutuhkan investigasi lintas lembaga, mengingat potensi pelanggaran multidimensi yang terjadi. “Kalau benar ia tinggal di sana sejak kecil, ini masuk ranah eksploitasi anak. Kalau dia mengalami kekerasan seksual, harus ada proses pidana. Negara tak boleh diam,” tegasnya.

    Luviana juga menyoroti potensi minimnya pengawasan terhadap sistem kerja informal di sektor hiburan dan pariwisata. “Kita terlalu lama menganggap industri seperti sirkus atau atraksi sebagai hiburan netral, padahal sering jadi tempat rawan pelanggaran hak asasi manusia,” tambahnya.

    Di akhir video, Vivi berharap pengakuannya dapat membuka mata banyak pihak bahwa pertunjukan bukan selalu sekadar hiburan. “Saya cuma ingin orang tahu. Di balik sirkus, bisa saja ada orang seperti saya yang tersiksa,” ujarnya sambil menitikkan air mata.

    Hingga berita ini diturunkan, belum ada laporan resmi dari aparat kepolisian mengenai tindak lanjut terhadap pengakuan Vivi. Namun desakan publik agar kasus ini diselidiki secara tuntas terus bergema, menandai dimulainya upaya pencarian keadilan yang lama tertunda.***

  • Taman Safari Indonesia Bantah Setrum dan Siksa eks Karyawan OCI yang Ngadu ke Komnas HAM

    Taman Safari Indonesia Bantah Setrum dan Siksa eks Karyawan OCI yang Ngadu ke Komnas HAM

    PIKIRAN RAKYAT – Citra Taman Safari Indonesia (TSI) sedang diguncang kabar tak sedap. TSI Group buka suara, meluruskan isu eksploitasi, penyiksaan hingga penyetruman terhadap sejumlah terduga mantan pemain sirkusnya.

    Isu tersebut mencuat setelah para mantan pemain melakukan audiensi dengan Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) beberapa hari lalu.

    Dalam pernyataan tertulis, TSI menegaskan bahwa mereka tidak memiliki hubungan bisnis apa pun dengan para mantan pemain sirkus yang dimaksud. Artinya, mereka membantah adanya ikatan hukum dengan para pengadu.

    “Perlu kami sampaikan bahwa Taman Safari Indonesia Group adalah badan usaha berbadan hukum yang berdiri secara independen dan tidak terafiliasi dengan pihak yang dimaksud (eks pemain sirkus)” demikian bunyi pernyataan Manajemen TSI, dikutip dari keterangan resmi tertulis, Kamis, 17 April 2025.

    “Adalah hak setiap individu untuk menyampaikan pengalaman pribadinya, namun kami berharap agar nama dan reputasi Taman Safari Indonesia Group tidak disangkut pautkan dalam permasalahan yang bukan menjadi bagian dari tanggung jawab kami, terutama tanpa bukti yang jelas karena dapat berimplikasi kepada pertanggungjawaban hukum,” ujar pernyataan itu lagi.

    Sebelumnya, Pada Selasa, 15 April 2025, Wakil Menteri HAM, Mugiyanto, menerima kunjungan sejumlah mantan pekerja Oriental Circus Indonesia di Kantor Kementerian HAM, Jakarta.

    Dalam pertemuan tersebut, ia mendengarkan keluhan mengenai dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh para mantan pekerja.

    Walaupun dugaan kekerasan yang mengarah pada pelanggaran HAM terjadi di masa lalu, menurutnya hal tersebut tidak berarti bahwa tindakan pidana yang terjadi tidak dapat diselidiki.

    “Kami dengarkan dari mereka, ada kemungkinan banyak sekali tindak pidana yang terjadi di sana,” ujarnya dikutip Antara.

    “Apalagi, kita sudah punya KUHP sejak Indonesia merdeka,” katanya.

    Kementerian HAM berencana memfasilitasi upaya pencarian keadilan bagi mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia yang diduga mengalami pelanggaran HAM selama bekerja di Taman Safari Indonesia sejak tahun 1970-an.

    Mugiyanto menyampaikan bahwa Kementerian HAM akan menjalin koordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) serta Komnas HAM, mengingat para korban telah menyampaikan laporan kepada kedua lembaga tersebut.

    Selain itu, guna memperoleh informasi yang lebih menyeluruh, Kementerian HAM juga berencana meminta penjelasan langsung dari pihak Taman Safari Indonesia.

    TSI Minta Masyarakat Bijak Saring Informasi

    Dalam pernyataan serupa, Manajemen TSI mengaku paham situasi sehingga forum terbentuk. Namun, TSI menilai bahwa yang diungkap merupakan bagian dari ranah pribadi dan tak berkelindaan apa pun dengan mereka secara kelembagaan.

    “Selama lebih dari 40 tahun, kami senantiasa mengutamakan konservasi, edukasi, dan pelayanan terbaik bagi masyarakat Indonesia dan mancanegara,” ucapnya.

    Dengan begitu, TSI mengklaim bahwa mereka selalu berkomitmen untuk menjalankan kegiatan usaha dengan mengedepankan prinsip Good Corporate Governance (GCG), kepatuhan hukum, serta etika bisnis yang bertanggung jawab.

    Oleh karena itu, TSI turut mengimbau masyarakat agar lebih cermat dan bijaksana dalam menanggapi berbagai informasi yang tersebar, khususnya di ranah digital.

    “Kami mengajak masyarakat untuk bersikap bijak dalam menyikapi informasi yang beredar di ruang digital dan tidak mudah terpengaruh oleh konten yang tidak memiliki dasar fakta maupun keterkaitan,” ucapnya menandaskan. ***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Taman Safari Indonesia Jawab Isu Eksploitasi Eks Pemain Sirkus, Seluruh Tudingan Hoaks?

    Taman Safari Indonesia Jawab Isu Eksploitasi Eks Pemain Sirkus, Seluruh Tudingan Hoaks?

    PIKIRAN RAKYAT – Taman Safari Indonesia (TSI) Group merilis pernyataan untuk mengklarifikasi berbagai tudingan terkait isu dugaan eksploitasi terhadap sejumlah eks pemain sirkus. Apa kata mereka?

    Sebelumnya, kabar negatif itu muncul usai sejumlah eks pemain sirkus bersangkutan melakukan audiensi di Kementerian Hak Asasi Manusia (Kementerian HAM) beberapa waktu lalu.

    Melalui pernyataan resminya, TSI mengaku tidak punya sama sekali hubungan bisnis dengan mantan pemain sirkus yang disebutkan dalam forum. Ia juga menegaskan tak ada ikatan hukum di antara kedua belah pihak berkonflik.

    “Perlu kami sampaikan bahwa Taman Safari Indonesia Group adalah badan usaha berbadan hukum yang berdiri secara independen dan tidak terafiliasi dengan pihak yang dimaksud (eks pemain sirkus)” demikian bunyi pernyataan Manajemen TSI, dikutip dari keterangan tertulis, Kamis, 17 April 2025.

    Meski mengaku memahami situasi sehingga forum terbentuk, TSI menilai bahwa yang diungkap merupakan bagian dari ranah pribadi dan tak berkelindaan apa pun dengan lembaga mereka.

    “Adalah hak setiap individu untuk menyampaikan pengalaman pribadinya, namun kami berharap agar nama dan reputasi Taman Safari Indonesia Group tidak disangkut pautkan dalam permasalahan yang bukan menjadi bagian dari tanggung jawab kami, terutama tanpa bukti yang jelas karena dapat berimplikasi kepada pertanggungjawaban hukum,” ujar pernyataan itu lagi.

    “Selama lebih dari 40 tahun, kami senantiasa mengutamakan konservasi, edukasi, dan pelayanan terbaik bagi masyarakat Indonesia dan mancanegara,” tegasnya.

    Dengan demikian, TSI mengklaim bahwa mereka selalu berkomitmen untuk menjalankan kegiatan usaha dengan mengedepankan prinsip Good Corporate Governance (GCG), kepatuhan hukum, serta etika bisnis yang bertanggung jawab.

    Oleh karena itu, TSI turut mengimbau masyarakat agar lebih cermat dan bijaksana dalam menanggapi berbagai informasi yang tersebar, khususnya di ranah digital.

    “Kami mengajak masyarakat untuk bersikap bijak dalam menyikapi informasi yang beredar di ruang digital dan tidak mudah terpengaruh oleh konten yang tidak memiliki dasar fakta maupun keterkaitan,” ucapnya menandaskan.

    Sekilas Kasus TSI

    Pada Selasa, 15 April 2025, Wakil Menteri HAM, Mugiyanto, menerima kunjungan sejumlah mantan pekerja Oriental Circus Indonesia di Kantor Kementerian HAM, Jakarta.

    Dalam pertemuan tersebut, ia mendengarkan keluhan mengenai dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh para mantan pekerja.

    Walaupun dugaan kekerasan yang mengarah pada pelanggaran HAM terjadi di masa lalu, menurutnya hal tersebut tidak berarti bahwa tindakan pidana yang terjadi tidak dapat diselidiki.

    “Kami dengarkan dari mereka, ada kemungkinan banyak sekali tindak pidana yang terjadi di sana,” ujarnya dikutip Antara.

    “Apalagi, kita sudah punya KUHP sejak Indonesia merdeka,” katanya menegaskan.

    Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) berencana memfasilitasi upaya pencarian keadilan bagi mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia yang diduga mengalami pelanggaran HAM selama bekerja di Taman Safari Indonesia sejak tahun 1970-an.

    Mugiyanto menyampaikan bahwa Kementerian HAM akan menjalin koordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) serta Komnas HAM, mengingat para korban telah menyampaikan laporan kepada kedua lembaga tersebut.

    Selain itu, guna memperoleh informasi yang lebih menyeluruh, Kementerian HAM juga berencana meminta penjelasan langsung dari pihak Taman Safari Indonesia. ***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Siapa Pendiri Oriental Circus Indonesia? Viral Aduan Eks Pemain Sirkus Diduga Disiksa

    Siapa Pendiri Oriental Circus Indonesia? Viral Aduan Eks Pemain Sirkus Diduga Disiksa

    PIKIRAN RAKYAT – Nama Oriental Circus Indonesia (OCI), atau yang akrab dikenal sebagai OCI Taman Safari, kembali mencuat ke permukaan.

    Namun, kali ini bukan karena sorak sorai penonton yang terkesima oleh atraksi spektakuler, melainkan oleh pengakuan getir para mantan pemainnya.

    Di balik kilauan kostum dan gemuruh tepuk tangan masa lalu, tersembunyi cerita tentang dugaan kekerasan fisik, tekanan mental, upah yang tak layak, hingga paksaan untuk terus tampil meski tubuh merintih kesakitan.

    Sebelum tabir kelam ini tersibak, Oriental Circus Indonesia adalah ikon hiburan keliling yang berjaya di Tanah Air, sebuah mimpi yang dirajut oleh satu sosok visioner Hadi Manansang.

    Dilansir Pikiran-Rakyat.com dari berbagai sumber, Hadi Manansang, sang pendiri, memulai perjalanan OCI dari kerasnya jalanan kota. Jauh sebelum dekade 1960-an, ia dikenal sebagai seniman jalanan yang gigih, seorang pegiat obat tradisional yang tak gentar mempertontonkan atraksi ekstrem yang memukau sekaligus mendebarkan.

    Salto berbahaya, lemparan trisula yang mengancam, hingga aksi menancapkan besi ke dada menjadi santapan sehari-hari bagi para pejalan kaki yang berkerumun di sekelilingnya. Jiwa seni dan keberanian yang membara dalam diri Hadi menjadi cikal bakal lahirnya sebuah legenda hiburan.

    Oriental Circus Indonesia, di bawah kepemimpinan Hadi Manansang, menjelma menjadi sebuah tontonan yang memadukan keajaiban akrobatik yang memukau, ilusi sulap yang membingungkan, kelihaian juggling yang menakjubkan, hingga interaksi yang mendebarkan dengan hewan-hewan liar.

    Era 1990-an menjadi puncak kejayaan OCI. Mereka tak hanya merajai panggung-panggung hiburan di berbagai pelosok Indonesia, tetapi juga melebarkan sayap ke kancah internasional. China, Inggris, dan Amerika Serikat menjadi saksi bisu kehebatan para seniman OCI.

    Saat itu, Oriental Circus Indonesia bukan hanya sekadar grup hiburan, melainkan juga representasi kebanggaan Indonesia di mata dunia.

    Nama Hadi Manansang pun tak terpisahkan dari kesuksesan ini, menjadi motor penggerak yang mengubah pertunjukan jalanan sederhana menjadi hiburan berskala global yang mampu memukau penonton dari berbagai latar belakang budaya.

    Namun, roda kehidupan terus berputar. Memasuki dekade 2010-an, gaung pertunjukan OCI Taman Safari mulai meredup. Tingginya biaya produksi, tekanan yang semakin kuat dari kelompok pemerhati satwa terkait penggunaan hewan dalam pertunjukan, serta perubahan selera dan tren hiburan menjadi tantangan berat yang dihadapi.

    Salah satu penampilan terakhir mereka yang tercatat adalah “Hanoman The Dreamer” pada tahun 2016 di Jakarta Utara, sebuah kolaborasi artistik dengan para pemain sirkus dari Eropa.

    Namun, pada April 2025, sejumlah mantan pemain perempuan memberanikan diri untuk menyampaikan pengalaman traumatis mereka kepada Wakil Menteri HAM (Wamenham), mengungkap dugaan kekerasan fisik, tekanan mental yang menghimpit, upah yang seringkali tak dibayarkan sesuai perjanjian, hingga paksaan untuk terus tampil di bawah sorot lampu panggung meskipun tubuh mereka dilanda sakit dan kelelahan.

    Butet, salah satu mantan pemain sirkus OCI Taman Safari, dengan suara bergetar menceritakan perlakuan kasar yang kerap ia terima selama menjalani latihan keras dan tampil di bawah tekanan.

    “Kalau main saat show tidak bagus, saya dipukuli. Pernah dirantai pakai rantai gajah di kaki, bahkan untuk buang air saja saya kesulitan,” ungkap Butet di Kantor Kementerian HAM, Jakarta, pada Selasa, 15 April 2025.

    Bantahan dari Pihak Taman Safari

    Rombongan Wakil Menteri Pariwisata Ni Luh Puspa berfoto bersama pengelola Taman Safari Indonesia di lingkungan Taman Safari Indonesia di Puncak, Bogor, Jawa Barat, Rabu (25/12/2024). (ANTARA/HO-Kemenpar)

    Di tengah badai pengakuan yang viral di berbagai platform media sosial dan pemberitaan, salah satu pendiri Taman Safari Indonesia, Tony Sumampau, tampil untuk memberikan jawaban atas tudingan yang dilayangkan.

    Dalam konferensi pers yang digelar di Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada Rabu, 17 April 2025, Tony Sumampau dengan nada tegas membantah seluruh tuduhan kekerasan fisik, eksploitasi, dan perlakuan tidak manusiawi yang dialami oleh para mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI).

    “Sama sekali tidak benar. Kalau memang itu benar kejadiannya karena tahun 1997 itu kan ada yang melapor,” ujar Tony Sumampau.

    Ia juga menyangkal adanya penyiksaan yang dilakukan oleh pihak TSI terhadap para mantan pemain sirkus OCI yang telah bertahun-tahun beratraksi di berbagai tempat, termasuk di dalam kawasan Taman Safari Indonesia.

    “Itu sama sekali apa yang disampaikan kayaknya tidak masuk di akal juga gitu ya. Seperti dipukul pakai besi, mati mungkin kalau dipukul. Jadi nggak benar itu hanya, apa, suatu difitnahkan seperti itu. Nah itu kan akan kita klarifikasi juga,” lanjutnya.

    Lebih lanjut, Tony Sumampau menantang para mantan pemain sirkus tersebut untuk menunjukkan bukti-bukti konkret yang mendukung klaim mereka mengenai adanya perilaku kekerasan yang dilakukan oleh pihak Taman Safari Indonesia.

    Ia menekankan bahwa tuduhan tanpa bukti yang jelas tidak dapat diterima dan pihak TSI siap untuk melakukan klarifikasi lebih lanjut guna meluruskan permasalahan yang berkembang di masyarakat.

    Tak hanya itu, Tony Sumampau juga mengungkapkan narasi yang berbeda mengenai latar belakang para mantan pemain sirkus tersebut.

    Ia mengklaim bahwa mereka telah dirawat oleh pihaknya sejak usia bayi, setelah diselamatkan dari lingkungan prostitusi di kawasan Kalijodo, Jakarta.

    “Dari bayi, masih bayi. Membesarkan mereka bukannya gampang, ada suster yang jagain,” ungkapnya.

    Tony Sumampau juga menyinggung pernyataan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) beberapa tahun lalu, yang menurutnya memberikan apresiasi terhadap langkah Taman Safari Indonesia dalam menampung anak-anak dari Kalijodo.

    “Ingat saya dari Komnas HAM itu menyatakan, sudah ditampung saja sudah bagus itu sehingga sehat-sehat gitu. Waktu itu kan, kalau kamu tidak ditampung mungkin kamu orang sudah nggak ada kali.

    “Siapa yang mau kasih makan kamu orang dari bayi. Sampai kamu besar gini, kenapa tidak ucapkan terima kasih,” pungkasnya.

    Polemik ini semakin menarik perhatian publik dan memunculkan pertanyaan mendasar mengenai etika bisnis di industri hiburan, perlindungan hak-hak pekerja seni, serta tanggung jawab sosial sebuah institusi besar seperti Taman Safari Indonesia terhadap individu-individu yang pernah bekerja di bawah naungannya.

    Investigasi yang komprehensif dan transparan diharapkan dapat mengungkap kebenaran di balik kisah yang kontradiktif ini dan memberikan keadilan bagi pihak-pihak yang dirugikan.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Terkuak Asal Usul Pemain Sirkus OCI Taman Safari, Ada yang Ngaku Dipisahkan dari Orangtua Sejak Bayi

    Terkuak Asal Usul Pemain Sirkus OCI Taman Safari, Ada yang Ngaku Dipisahkan dari Orangtua Sejak Bayi

    TRIBUNJAKARTA.COM — Terkuak asal usul pemain mantan pemain sirkus dari Oriental Circus Indonesia (OCI) Taman Safari Indonesia yang sempat misterius.

    Pada pertemuan dengan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Mugiyanto, di Jakarta, Selasa (15/4/2025), para mantan pemain sirkus tersebut mengaku kerap disiksa dan tidak tahu soal identitas asli diri mereka sendiri.

    Mereka tidak pernah diberi tahu nama lengkap, usia, bahkan siapa keluarganya, karena sejak kecil sudah dibesarkan di lingkungan sirkus.

    Vivi salah satu mantan pemain sirkus OCI mengaku sudah sejak kecil dipekerjakan di sirkus tersebut.

    “Saya nggak tau orang tua. Saya kan dari kecil sudah diambil sama yang punya Oriental Circus Indonesia itu,” katanya.

    Vivi melanjutkan ceritanya, selama bekerja sebagai pemain sirkus, ia tinggal di rumah milik Frans Manansang, keluarga pendiri Taman Safari Indonesia.

    Rumah Frans berada di area Taman Safari Cisarua Bogor.

    Terkuak Asal Usulnya

    Founder Oriental Circus Indonesia (OCI) yang juga menjabat sebagai Komisaris Taman Safari Indonesia, Tony Sumampau, mengungkapkan asal-usul para pemain sirkus tersebut.

    Menurut Tony, banyak di antara pemain sirkus tersebut berasal dari panti asuhan dan diasuh sejak mereka masih bayi oleh ibunya. 

    Sebelumnya Tony juga membantah melakukan penyiksaan dan eksploitasi kepada para pemain sirkus.

    “Orang tua suka menampung anak. Waktu saya tanya dari mana asalnya, katanya dari panti asuhan di daerah sekitar Kalijodo,” ujar Tony saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (17/4/2025). 

    Tony menambahkan, sebagian anak-anak itu dibesarkan sejak usia dini di lingkungan keluarga sirkus sebelum mulai dikenalkan pada latihan akrobat. 

    Biasanya, setelah mencapai usia sekitar 6 hingga 7 tahun, mereka mulai dilatih keterampilan sirkus. 

    “Jadi dari bayi dibesarkan, usia 6-7 tahun baru dibawa ke sirkus untuk mulai dilatih,” jelas Tony. 

    Ia juga mengaku tidak hanya anak-anak dari panti asuhan yang berada di lingkungan sirkus, melainkan juga anak-anak dari keluarga pemain sirkus sendiri, termasuk anak-anaknya. 

    “Saya sendiri juga waktu main sirkus, anak saya tinggal di Jakarta bersama ibu saya. Karena hidup di sirkus itu tidak mudah. Hujan, angin, dan kondisi yang keras buat anak-anak,” ungkap Tony. 

    Lebih lanjut, ia mengungkapkan pada tahun 1997, ketika Komnas HAM turun melakukan investigasi, barulah diketahui lebih pasti asal panti asuhan beberapa anak tersebut. 

    “Waktu itu tim dari Komnas HAM yang menelusuri, dan ternyata panti asuhannya memang ada di sekitar Kalijodo,” ujarnya.

    Tony menegaskan, anak-anak yang dibesarkan di lingkungan sirkus juga mendapatkan perhatian, termasuk pendidikan, seperti pelajaran bahasa Inggris sejak usia dini. 

    “Dari umur 7-8 tahun mereka sudah diajar bahasa Inggris, karena sering bertemu turis yang datang menonton pertunjukan,” kata Tony.

    Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel TribunJakarta.com. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya