NGO: Komnas HAM

  • Kasus Dugaan Eksploitasi OCI, Polri Telusuri Kembali Data yang Pernah Dilaporkan Tahun 1997 – Halaman all

    Kasus Dugaan Eksploitasi OCI, Polri Telusuri Kembali Data yang Pernah Dilaporkan Tahun 1997 – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Polisi kembali menelusuri kasus dugaan eksploitasi yang dialami para korban Oriental Circus Indonesia (OCI).

    Direktur Tindak Pidana Perdagangan Perempuan dan Anak (PPA)-Tindak Pidana Perdagangan Orang (PPO) Bareskrim Polri Brigjen Pol Nurul Azizah mengatakan kasus tersebut pernah dilaporkan 28 tahun silam.

    “Terkait dengan laporan di tahun 1997 tentu kami masih proses mencari datanya mengingat kejadian sudah sangat lama,” ungkapnya kepada wartawan, Kamis (24/4/2025).

    Polisi juga sudah berkoordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) yang turut mendampingi para korban.

    Beberapa pertemuan sudah dilakukan untuk memperbarui informasi dan mendalami penanganan kasus ini.

    “Dan kami sudah bersurat ke fungsi yang membidangi (Kemen PPPA),” tandasnya.

    Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Sugiat Santoso mengungkapkan bahwa kasus dugaan pelanggaran HAM oleh Oriental Circus Indonesia (OCI) mengandung unsur-unsur tindak pidana.

    Termasuk dugaan perdagangan anak, eksploitasi, dan penyiksaan. 

    Komisi XIII pun mendesak agar Polri membuka kembali kasus ini yang sebelumnya telah diberi status SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan).

    Hal itu disampaikannya usai audiensi Komisi XIII DPR bersama eks pegawai OCI, Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Kementerian HAM.

    “Ada banyak tindakan kejahatan yang terjadi terkait kasus ini. Misalnya, ditemukan bahwa sejak umur bayi, ada yang usia 2 tahun, 5 tahun, mereka diperdagangkan, katakanlah oleh oknum orang tuanya ke OCI dan dieksploitasi untuk bekerja sebagai pemain sirkus,” kata Sugiat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (23/4/2025).

    Sugiat mengungkapkan, dari berbagai keterangan para korban, ditemukan indikasi kuat adanya penyiksaan dan berbagai bentuk kekerasan lainnya yang dialami mereka selama bertahun-tahun.

    Bahkan, para korban telah memperjuangkan keadilan sejak tahun 1997, namun belum mendapatkan kejelasan hukum hingga kini.

    “Dan dari beberapa penjelasan mereka, ternyata banyak sekali tindak kejahatan, penyiksaan, dan sebagainya. Mereka sudah melakukan pencarian keadilan sejak tahun 1997,” ujarnya.

    Komisi XIII telah menyepakati untuk mendorong Polri membuka kembali penyelidikan kasus tersebut, dengan pintu masuk pada indikasi perdagangan manusia. 

    Sugiat mengakui bahwa untuk pembuktian kekerasan fisik mungkin sudah sulit, mengingat kasus ini terjadi puluhan tahun lalu.

    “Kalau pintu masuknya adalah tadi saya katakan, bisa saja terkait dengan kejahatan perdagangan manusia. Kalau penyiksaan fisik karena sudah 28 tahun, mungkin agak sulit menemukan bukti-bukti atau visum. Tapi OCI dan eks-karyawan ini sudah sepakat bahwa sejak umur bayi mereka sudah diperdagangkan di OCI. Saya pikir itu bisa jadi pintu masuk,” kata Sugiat.

    Ia juga menekankan pentingnya kehadiran negara dalam proses pemulihan para korban yang selama ini merasa ditelantarkan dan dieksploitasi sejak anak-anak.

    “Kehadiran negara dalam proses pemulihan itu penting. Mereka rakyat Indonesia, mereka sejak dari umur bayi sudah ditelantarkan dan dieksploitasi oleh oknum OCI. Saya pikir harus ada kehadiran negara untuk proses pemulihan itu,” ujar Sugiat.

    Menurutnya, berdasarkan keterangan korban, kuasa hukum, serta hasil investigasi dari Komnas HAM dan Komnas Perempuan, kasus ini sudah layak dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat.

    “Kalau dilihat dari temuan, saya pikir sudah dijelaskan kuasa hukum, para korban, dan dikuatkan oleh temuan investigasi Komnas HAM dan Komnas Perempuan, ini pelanggaran HAM berat,” ucapnya.

    Sebagai tindak lanjut, Komisi XIII sepakat untuk berkolaborasi antara Kementerian HAM sebagai leading sector bersama Komnas HAM dan Komnas Perempuan guna mendorong Polri membuka kembali kasus ini.

    Kekerasan dan Pelecehan

    Sejumlah mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) mengungkapkan pengalaman pahit mereka menjadi korban kekerasan fisik, eksploitasi, hingga pelecehan seksual selama bertahun-tahun terlibat dalam pertunjukan.

    Pengakuan ini mereka sampaikan di hadapan Komisi XIII DPR RI pada Rabu (23/4/2025).

    Rapat Dengar Pendapat (RDP) ini menghadirkan perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).

    Fifi Nurhidayah, korban yang hadir dalam audiensi, menuturkan bahwa ia dibawa ke OCI oleh Frans Manansang sejak usia belia, ia bahkan tidak mengetahui pasti umurnya saat itu.

    Kekerasan fisik seperti pukulan, tendangan, dan cambukan rotan, menjadi bagian tak terpisahkan dari kesehariannya jika ia gagal menampilkan pertunjukan dengan baik.

    Akibat penyiksaan yang terus-menerus selama bertahun-tahun, membuat Fifi akhirnya melarikan diri dari Taman Safari.

    Namun, pelariannya hanya berlangsung tiga hari sebelum ia ditangkap kembali oleh pihak keamanan dan dibawa pulang.

    Akibat pelarian itu, ia mengaku mendapatkan hukuman berupa setruman di badan hingga alat kelamin, yang kemudian membuatnya mengompol.

    “Setelah saya melarikan diri, 3 hari saya menghirup udara luar, saya ditangkap lagi dengan security. Di tengah jalan saya dipukulin, dikata-katain kasar seperti binatang. Sampai rumah saya dimasukkan ke kantor dan saya disetrum pakai setruman gajah. Sampai saya lemas. Sampai alat kelamin saya disetrum. Akhirnya saya jatuh, saya lemas, saya minta ampun, saya sakit. Tapi dia tidak mendengarkan omongan saya, malah dia menambahkan pukulan itu,” ungkap Fifi dengan suara bergetar.

    “Setelah itu, saya jatuh lemas, ditarik lagi rambut saya, dijedotin ke dinding, dan saya ditampar. Akhirnya saya ngompol di situ. Setelah itu, saya dirantai selama 2 minggu, dipasung. Setelah 2 minggu dipasung, saya dibebaskan. Dan seperti biasa, saya latihan seperti biasa,” lanjutnya.

    Bertahun-tahun kemudian, Fifi akhirnya menemukan celah untuk kabur dan meninggalkan Taman Safari dengan bantuan sang mantan kekasih.

    Hingga sekarang, menurut Fifi, rangkaian peristiwa di Taman Safari masih membekas dan meninggalkan trauma mendalam.

    Dalam kesempatan yang sama, Ida mengatakan bahwa ia pernah terjatuh dari ketinggian 13-14 meter saat melakukan atraksi di Bandar Lampung pada tahun 1989.

    Ironisnya, setelah jatuh, pihak sirkus tidak langsung membawanya ke rumah sakit.

    Ia mengaku hanya dipijat di belakang panggung.

    “Setelah kira-kira beberapa jam (setelah jatuh) baru saya dibawa ke rumah sakit. Kejadiannya di Bandar Lampung. Satu malaman saya menunggu rasa sakit, belum ditangani sama dokter. Pagi baru mendapat penanganan, di-gips. Di-gips itu saya sudah tidak merasa sakit, karena mungkin dibius ya,” katanya.

    Setelah di gips, Ida dibawa ke Jakarta oleh pihak OCI untuk menjalani operasi dan terapi.

    Ia kemudian tak lagi menjadi pemain sirkus.

    Dalam keterbatasan fisik, Ida kemudian bekerja dalam naungan manajemen Taman Safari dengan kondisi menggunakan kursi roda.

    Pada tahun 1997 ia akhirnya mengajukan diri untuk keluar dari Taman Safari.

    “Sekitar tahun 1997 saya lalu izin keluar. Saya sudah tidak mau ikut lagi di situ. Setelah saya keluar, saya diminta buat surat pengunduran diri. Padahal saya pikir untuk apa saya bikin, karena saya sebetulnya kan bagian dari keluarga katanya. Tapi saya dipaksa membuat surat sebelum saya meninggalkan Taman Safari. Jadi setelah saya tanda tangan, saya diizinkan keluar, tapi saya tidak menerima apa-apa. Jadi saya keluar, tidak dapat satu rupiah pun, saya keluar meninggalkan Taman Safari pada saat itu seperti itu gitu,” katanya.

    Lisa, mantan pemain sirkus OCI lainnya, mengungkapkan bagaimana pihak OCI tidak mengizinkannya untuk bertemu keluarga kandungnya.

    Menurut pengakuannya, istri dari Yansen, seorang pengelola sirkus, mengatakan bahwa Lisa adalah anak yang dijual oleh orang tuanya.

    “Setelah usia saya 12 tahun, saya minta sama Pak Tony untuk dipertemukan dengan keluarga saya. Tapi Tony bilang, nanti suatu saat kalau kamu ada waktunya, kamu akan saya pertemukan. Setelah 15 tahun, saya juga minta lagi dengan Ibu Yansen. Kita panggil dia Sausau. Sau, saya ingin ketemu orang tua saya. Sausau terus bilang, kamu itu dijual. Kamu itu anak yang dijual. Saya sedih dari saat itu,” ungkapnya.

    Lisa juga mengaku bahwa ia tidak diizinkan untuk memiliki KTP pada usia 17 tahun.

    Ia akhirnya berhasil keluar dari sirkus pada usia 19 tahun setelah memiliki seorang pacar, namun hingga kini ia tak tahu asal usul keluarganya dan tidak menerima upah sepeserpun selama menjadi pemain sirkus.

    “Sampai sekarang saya pun belum bisa ketemu orang tua saya. Identitas saya juga tidak tahu. Dari mana saya, nama orang tua saya itu siapa,” imbuh Lisa.

  • Cerita-cerita Pilu Pemain Sirkus OCI: Dirantai-Dipaksa Makan Kotoran

    Cerita-cerita Pilu Pemain Sirkus OCI: Dirantai-Dipaksa Makan Kotoran

    Jakarta, Beritasatu.com – Sejumlah mantan pemain sirkus anak di Oriental Circus Indonesia (OCI) akhirnya angkat bicara, mengungkap dugaan kekerasan dan eksploitasi yang mereka alami sejak usia dini.

    Dalam rapat bersama Komisi XIII DPR RI, mereka membeberkan pengalaman hidup yang jauh dari gemerlap panggung sirkus. Berikut cerita-cerita pilu mantan pemain sirkus OCI yang diduga mendapat eksploitas.

    Cerita-cerita Pilu Pemain Sirkus OCI

    Vivi Nurhidayah: Disetrum, Dirantai, dan Kabur Demi Kebebasan

    Vivi mengaku tidak ingat sejak kapan ia diambil dari keluarganya. Namun, yang ia ingat, sejak usia dua tahun, ia telah menjalani latihan keras di sebuah rumah milik Fran, Toni, dan Yansen.

    “Sejak umur segitu, saya sudah dapat kekerasan. Kalau tidak bisa latihan, dipukul, ditendang, dirotan. Itu sudah hal biasa buat kami,” ujar Vivi.

    Pindah ke Taman Safari Indonesia di usia 12 tahun, Vivi berharap kehidupannya membaik. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.

    “Saya melarikan diri karena tidak tahan. Tiga hari kemudian, saya ditangkap security, dibawa pulang, dan di tengah jalan sudah dipukuli, dikata-katai seperti binatang,” kata Vivi.

    Siksaan berlanjut setibanya di rumah. “Saya disetrum pakai setruman gajah sampai lemas, bahkan sampai ke kelamin. Saya jatuh, minta ampun, tapi mereka tidak peduli. Rambut saya dijambak, kepala dijedotin ke dinding, perut ditonjok. Saya sampai ngompol di situ.” jelasnya.

    Ia dirantai selama dua minggu sebelum dipaksa kembali berlatih. Bertahun-tahun kemudian, Vivi melarikan diri dan berhasil bebas berkat bantuan mantan kekasihnya. Ia kemudian melapor ke Komnas HAM.

    Lisa: Dijual Tanpa Identitas, Dipukul hingga Lupa Keluarga

    Lisa dibawa dari keluarganya sekitar tahun 1976 oleh seseorang bernama Yansen. Saat itu, ia masih kecil dan belum memahami apa yang terjadi.

    “Saya dibawa ke Balikpapan, dimasukkan ke karavan gelap. Saya nangis terus, cari mama, sampai akhirnya capek dan ketiduran,” kenangnya.

    Di sana, Lisa menyaksikan anak-anak lain yang juga dipaksa berlatih di bawah tekanan kekerasan.

    “Setiap ada masalah, kami dipukul, ditampar, ditendang, disambit pakai sandal kayu. Saya selalu mencari mama, tapi lama-lama saya mulai melupakan orang tua saya,” ungkap Lisa.

    Saat berusia 12 tahun, ia meminta dipertemukan dengan keluarganya. “Nanti suatu saat kalau sudah waktunya, kamu akan saya pertemukan,” jawab Tony.

    Lisa tidak pernah diberi identitas resmi. Saat ia meminta izin menikah dan keluar dari sirkus, Tony justru mengamuk: “Enak aja! Kamu itu saya yang pelihara, kok kamu yang ambil?” kata Lisa mencontohkan.

    Lisa akhirnya memilih kabur dan hingga kini tidak tahu siapa orang tuanya.

    Butet: Dipaksa Makan Kotoran Gajah, Dirantai Pakai Rantai Hewan

    Meliliana Damayanti, atau Butet, adalah korban lain yang diambil sejak 1975 dan hingga kini tidak tahu asal-usul dirinya. “Saya juga nggak tahu jelas berapa usia saya. Mereka (OCI) tidak memberikan identitas buat saya,” ungkapnya.

    Salah satu bentuk penyiksaan yang paling ia ingat adalah saat ia dipaksa memakan kotoran gajah karena mencuri makanan. “Itu saya dijejali tahi gajah. Pokoknya mereka memperlakukan saya tidak manusiawi sama sekali,” ungkap Butet.

    Saat berusia 17 tahun, ia pernah dirantai dengan rantai besar bekas gajah sebagai hukuman karena berpacaran dengan seorang karyawan sirkus.

    “Dirantai sampai buang air saja kesulitan. Saya dibantu teman-teman. Pakai rantai gajah yang besar itu.” jelasnya.

    Hingga kini, hidup Butet berjalan tanpa arah, tanpa identitas, dan tanpa kepastian tentang siapa dirinya.

    Rita Louisa: Dilempar Seperti Bola, Disiksa dengan Senyuman

    Rita diambil dari keluarganya saat berusia 3 tahun dengan bujukan balon dan permen. “Saya dilatih dengan keras. Fran melempar saya seperti bola—atas, bawah, ditendang, dilempar lagi. Dia tidak peduli kepala saya masih kecil,” ceritanya.

    Kekerasan yang diterima selalu dibarengi dengan senyum. “Kalau kami salah sedikit, langsung dipukul. Saya pernah ditonjok sampai mata bengkak berdarah. Mereka tidak pernah kasihan,” ungkapnya.

    Rita melarikan diri di usia 14 tahun, dan secara tidak sengaja akhirnya menemukan keluarganya kembali.

    “Saya buka pintu salah, ternyata itu rumah keluarga saya. Mama bilang, ‘Kamu punya kakak kandung yang juga pemain sirkus.’ Saya kaget, ternyata kami semua korban.” pungkas Rita.

    Yuli: Jatuh Koma, Tetap Dipaksa Tampil

    Yuli bersama kakaknya diambil saat masih kecil. Saat ayahnya datang menjenguk, ia malah diusir dengan ancaman. “Papa bilang, ‘Ayo pulang,’ tapi kami diumpetin. Beberapa minggu kemudian, kami dibawa ke sirkus,” kata Yuli.

    Ia dipaksa tampil dalam atraksi berbahaya. Suatu hari, ia jatuh dari kawat dan koma selama 14 jam. “Saya tidak diobati. Begitu sadar, langsung disuruh tampil lagi,” ungkapnya.

    Yuli pernah melarikan diri bersama temannya Eva, tapi mereka ditangkap dan disiksa.

    “Eva lebih menderita. Dia ditelanjangi dan dilecehkan oleh Fran. Saya selamat karena harus segera tampil.” pungkas Yuli.

    Akhirnya Yuli bisa kabur dengan menikahi sesama pemain sirkus.

    Anton: Dibohongi, Dihantui Ancaman Kematian

    Anton dijanjikan akan disekolahkan saat diambil dalam usia 8 tahun. “Mereka bilang, ‘Nanti kalau sudah pintar, akan dikembalikan ke orang tua.’ Tapi ternyata bohong.” kata Anton.

    Saat ia kabur, ia dibohongi bahwa ibunya telah meninggal. “Ibu Yansen bilang, ‘Mama lu udah mati, yang ngurusin kamu cuma saya.’ Saya percaya sampai bertemu kakak saya dan tahu itu dusta,” ucapnya.

    Ketika mencoba melawan, Anton disiksa habis-habisan. “Fran bilang, ‘Ambil belati, mau belek mukanya!’ Saya hampir loncat dari Pondok Indah.” jelas Anton.

    Cerita-cerita memilukan para mantan pemain sirkus OCI membuka mata tentang adanya dugaan eksploitasi. Mereka bukan sekadar penghibur di atas panggung, mereka adalah anak-anak yang dirampas haknya untuk tumbuh dalam cinta dan perlindungan.

  • TNI AU tegaskan Puskopau Halim bukan bagian dari pemilik OCI

    TNI AU tegaskan Puskopau Halim bukan bagian dari pemilik OCI

    Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara Marsma TNI Ardi Syahri di Mabes AU, Jakarta Timur, Rabu (11/12/2024). ANTARA/Walda Marison

    TNI AU tegaskan Puskopau Halim bukan bagian dari pemilik OCI
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Kamis, 24 April 2025 – 12:42 WIB

    Elshinta.com – Markas Besar TNI Angkatan Udara menegaskan Pusat Koperasi Angkatan Udara (Puskopau) Lanud Halim Perdanakusuma bukan bagian dari pemilik Oriental Circus Indonesia (OCI).

    “TNI AU menegaskan bahwa Oriental Circus Indonesia (OCI) bukan merupakan unit usaha milik Puskopau Lanud Halim Perdanakusuma. Puskopau tidak pernah memiliki atau mengelola dari kegiatan sirkus yang dimaksud,” kata Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsekal Pertama TNI Ardi Syahri di Jakarta, Kamis.

    Ardi melanjutkan OCI dan Puskopau Halim Perdanakusuma memang pernah bekerja sama, tetapi terbatas hanya pada dukungan surat-menyurat untuk penyelenggaraan acara di area-area yang dikelola oleh Lanud Halim Perdanakusuma.

    “Yang pernah terjadi pada masa lalu adalah bentuk kerja sama operasional terbatas, terutama dalam bentuk perbantuan dukungan pengurusan surat-menyurat penyelenggaraan acara pertunjukan OCI di beberapa aset Lanud,” kata Kadispenau.

    Kerja sama itu, Ardi kembali menegaskan, bukan bentuk kepemilikan.

    “Puskopau Halim juga tidak turut campur di dalam manajemen, pembinaan, dan urusan dalam mitra,” kata Ardi.

    Terkait dugaan penyiksaan dan pelanggaran HAM yang saat ini ditujukan kepada OCI, Ardi menyatakan TNI AU siap kooperatif dan membantu memberikan keterangan-keterangan yang dibutuhkan untuk membantu penelusuran fakta, serta penyelidikan terkait lainnya.

    “TNI AU menghargai dan mendukung upaya Komnas HAM dalam menegakkan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM). Apabila dibutuhkan, TNI AU siap memberikan keterangan tambahan secara transparan dan kooperatif untuk membantu penelusuran fakta secara adil dan berimbang,” kata Marsma Ardi.

    Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro saat audiensi dengan Komisi XIII DPR RI di Jakarta, Rabu (23/4), mencurigai ada keterkaitan OCI dengan Puskopau Lanud Halim Perdanakusuma. Kecurigaan itu karena adanya dokumen SK yang terbit pada 1997.

    Atnike, dalam acara audiensi, menyebutkan masih perlu menelusuri lebih lanjut karena tahun terbit dokumen yang cukup lama. Dia pun menyebut bakal meminta penjelasan kepada Markas Besar TNI AU terkait temuan Komnas HAM itu, karena ada beberapa hal yang perlu diklarifikasi.

    Komnas HAM menyatakan ada empat pelanggaran HAM yang diduga terjadi di lingkungan OCI, yaitu pelanggaran hak anak untuk mengetahui asal usul identitas dan hubungan kekeluargaan baik dengan keluarga maupun dengan orang tuanya, pelanggaran hak anak untuk bebas dari eksploitasi yang bersifat ekonomis, pelanggaran hak anak untuk memperoleh pendidikan umum yang layak yang dapat menjamin masa depannya, pelanggaran hak anak untuk mendapatkan perlindungan keamanan dan jaminan sosial yang layak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

    Sumber : Antara

  • Hanya Pernah Kerja Sama Operasional, TNI AU Bantah Miliki Sirkus OCI

    Hanya Pernah Kerja Sama Operasional, TNI AU Bantah Miliki Sirkus OCI

    Jakarta, Beritasatu.com – TNI AU membantah grup sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) milik Pusat Koperasi Angkatan Udara (Puskopau) Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. OCI hanya pernah bekerja sama dengan Puskopau, bukan sebagai pemilik.

    Hal itu disampaikan Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara Marsekal Pertama Ardi Syahri menanggapi informasi yang berkembang di sejumlah media terkait sirkus OCI milik Puskopau.

    “TNI AU menegaskan bahwa Oriental Circus Indonesia (OCI) bukan merupakan unit usaha milik Puskopau Lanud Halim Perdanakusuma. Puskopau tidak pernah memiliki ataupun mengelola dari kegiatan sirkus dimaksud,” kata Ardi dalam keterangannya diterima Beritasatu.com, Kamis (24/4/2025).

    Ardi Syahri mengakui Puskopau pernah melakukan kerja sama operasional terbatas dengan sirkus OCI, terutama dalam bentuk dukungan pengurusan surat-surat izin melaksanakan pertunjukkan. 

    “Kerja sama ini dilakukan secara terbuka dan bertujuan semata-mata untuk mempermudah akses dan kelancaran pelaksanaan pertunjukan OCI yang digelar untuk masyarakat umum, bukan sebagai bentuk kepemilikan,” ujar Ardi.

    Ardi menegaskan TNI AU berkomitmen dalam penegakan hak asasi manusia (HAM), menghargai dan mendukung upaya Komnas HAM dalam menegakkan prinsip-prinsip HAM terutama terkait sirkus OCI.

    “Apabila dibutuhkan, TNI AU siap memberikan keterangan tambahan secara transparan dan kooperatif untuk membantu penelusuran fakta secara adil dan berimbang,” katanya.

    TNI AU, lanjut dia, tetap berkomitmen menjaga integritas institusi dan senantiasa mendukung prinsip-prinsip hukum dan HAM dalam setiap pelaksanaan tugas.

    Temuan Komnas HAM

    Sebelumnya, Komnas HAM menemukan surat pada 1997 yang menunjukkan sirkus OCI pernah tercatat sebagai unit usaha milik TNI AU melalui Puskopau Lanud Halim Perdanakusuma.

    Temuan itu diungkapkan Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro dalam rapat bersama Komisi XIII DPR dan para mantan pemain sirkus OCI pada Rabu (23/4/2025). 

    Dalam dokumen tersebut tercantum Surat Keputusan Nomor SKep/20/VII/1997 tentang Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Puskopau Halim, yang menyebutkan unit usaha jasa niaga umum milik Puskopau termasuk sirkus.

    Kasus sirkus OCI mencuat karena sejumlah eks pemain melaporkan perlakuan eksploitasi terhadap anak-anak dalam sirkus, termasuk pelanggaran hak atas pendidikan, kekerasan fisik, psikis, dan seksual.

    Para korban mengaku selama 20 tahun pengelola sirkus OCI mengeksploitasi pemain tetapi tidak tersentuh hukum. Mereka berharap ada keadilan setelah kasus ini viral.

  • Eks Pemain Sirkus OCI Berencana Temui Gubernur Dedi Mulyadi Hari Ini

    Eks Pemain Sirkus OCI Berencana Temui Gubernur Dedi Mulyadi Hari Ini

    Bisnis.com, JAKARTA — Mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia atau OCI direncanakan akan bertemu dengan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi hari ini, Kamis (24/4/2025) di Bandung, Jawa Barat.

    Penasihat hukum mantan pemain OCI, Muhammad Soleh menerangkan pihaknya ingin bertemu Dedi lantaran Taman Safari Indonesia (TSI) yang dimaksud lokasinya di Jawa Barat dan beberapa mantan pemain OCI juga ber-KTP Jawa Barat.

    “Dedi Mulyadi juga menyampaikan mau ketemu. Maka besok [Kamis] pagi kita ke Bandung, minta dukungan moral, supaya kasus ini, proses hukumnya tidak boleh mandek. Jangan sampai diselewengkan,” ujarnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, dikutip Kamis (24/4/2025).

    Lebih jauh, Soleh menyebut sejak awal yang pihaknya inginkan adalah pembentukan tim pencari fakta yang baru untuk mengusut dugaan eksploitasi dan penganiyaan terhadap eks pemain OCI.

    Menurutnya, ini dibutuhkan karena rekomendasi Komnas HAM pada 1997 lalu tidak pernah dijalankan. Kemudian, nama pelaku seperti Tony Sumampau, Frans Manansang, hingga Jansen Manansang tidak pernah disebutkan.

    “Yang ketiga, kami melihat, apa yang direkomendasikan tadi oleh Komnas HAM pun tidak ada giginya. Yang punya gigi itu dari rekomendasi Komnas Perempuan. Itu sesuai dengan keinginan kami bahwa hukum harus didahulukan,” bebernya.

    Sementara itu, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyampaikan keprihatinannya atas dugaan kasus tersebut. Dia juga menyatakan akan segera menemui pihak OCI dan TSI.

    Melalui akun Instagram @dedimulyadi71 yang dikutip Kamis (24/4/2025), Kang Dedi Mulyadi (KDM), sapaan akrabnya, berharap kasus ini bisa segera dituntaskan, baik dari aspek ketenagakerjaannya maupun dugaan tindak pidananya.

    “Sebagai Gubernur Jawa Barat, saya nanti akan menemui keluarga dan menanyakan langsung bagaimana peristiwa tersebut. Dan saya juga akan menemui manajemen Taman Safari untuk mendapat klarifikasi dari peristiwa tersebut,” ucap KDM.

  • Pengacara Johanes Dipa Widjaja Terima Beritajatim.com Award 2025 sebagai Pendukung Kebebasan Demokrasi

    Pengacara Johanes Dipa Widjaja Terima Beritajatim.com Award 2025 sebagai Pendukung Kebebasan Demokrasi

    Surabaya (beritajatim.com) – Pengacara sekaligus kurator, Johanes Dipa Widjaja SH SPsi MH MM, menerima Beritajatim.com Award 2025 dalam rangka peringatan HUT ke-19 media daring tersebut. Dalam acara penghargaan yang berlangsung di Jawa Timur, Johanes menerima apresiasi untuk kategori Pengacara Pendukung Kebebasan Demokrasi. Penghargaan diserahkan langsung oleh Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Elestianto Dardak.

    Johanes menjadi salah satu dari empat tokoh yang mendapat penghargaan pada kategori penguat demokrasi. Tiga tokoh lainnya yang turut diapresiasi adalah Wali Kota Kediri Vinanda Prameswati SH MKn, Bupati Ngawi H. Ony Anwar Harsono ST MH untuk kategori Pemda Penggerak Ekonomi Masyarakat Melalui Pelayanan Masyarakat, dan Bupati Jember Muhammad Fawait SE MSc untuk kategori Penggerak Keterbukaan Informasi dan Demokrasi.

    “Terimakasih atas penghargaan yang telah diberikan. Ini menjadi bara api dan pengingat untuk dapat memberikan yang terbaik khususnya bagi masyarakat Jawa Timur,” ujar Johanes Dipa usai menerima penghargaan.

    Penghargaan ini menjadi simbol apresiasi terhadap dedikasi Johanes dalam memperjuangkan prinsip-prinsip dasar demokrasi, termasuk kebebasan berpendapat, kebebasan pers, kebebasan beragama, dan kebebasan berserikat. Sebagai seorang advokat, Johanes dikenal vokal membela hak-hak masyarakat dalam berbagai kasus yang berkaitan dengan kebebasan sipil.

    Pendukung kebebasan demokrasi memainkan peran penting dalam memperkuat sistem politik yang sehat dan bertanggung jawab. Mereka percaya bahwa kebebasan dan hak-hak warga negara merupakan fondasi utama dalam membangun masyarakat yang adil dan sejahtera. Kebebasan berpendapat misalnya, dipandang sebagai instrumen penting agar pemerintah tetap akuntabel dan terbuka terhadap aspirasi rakyat.

    Dalam konteks Indonesia, prinsip-prinsip kebebasan demokrasi dijamin dalam UUD 1945 serta berbagai regulasi lainnya. Lembaga-lembaga seperti Komnas HAM dan sejumlah organisasi non-pemerintah turut aktif dalam menjaga dan memperjuangkan hak-hak sipil masyarakat.

    Pemberian penghargaan kepada tokoh-tokoh seperti Johanes Dipa Widjaja menjadi pengingat bahwa perjuangan untuk menjaga dan merawat demokrasi harus terus digalakkan, terlebih di tengah tantangan zaman yang terus berubah. [uci/suf]

    Resepsi HUT ke-19 Beritajatim.com tidak akan terlaksana secara meriah tanpa keterlibatan sejumlah pihak, terutama para sponsor yang telah memberikan dukungan begitu besar. Untuk itu, Beritajatim.com menghaturkan ucapan terima kasih kepada:

    1. PT. Semen Imasco Asiatic
    2. Kominfo Jatim
    3. Bumi Suksesindo
    4. Pertamina EP Cepu JTB
    5. PT. Petrogas Jatim Utama
    6. Bank UMKM Jatim
    7. Bank Jatim
    8. ExxonMobil Cepu Limited
    9. Pertamina EP Sukowati Field
    10. Safe & Lock
    11. PT INKA (Persero)
    12. Djarum Foundation
    13. HM Sampoerna
    13. Pertamina EP Cepu Field
    15. PHE WMO
    16. PT Pelindo Multi Terminal
    17. HCML
    18. PHE TEJ
    19. Pertamina EP Poleng Field
    20. PT. Pelindo Marine Service
    21. PT. SIER
    22. PT. Gudang Garam
    23. Prima Energi Bawean
    24. Pertamina EP Cepu ADK
    25. Medco Sampang
    26. Medco Madura Offshore
    27. Saka Indonesia Pangkah Limited
    28. Kangean Energi Indonesia
    29. Petronas Carigali Ketapang
    30. Saka Energi Muriah Limited
    31. JIIPE
    32. Hayyu Clinic
    33. DPD Ivendo Jatim
    34. Flat Production
    35. Rokins
    36. Whize Luxe Spazio Hotel
    37. Java Paragon
    38. Fiesta / Charoen Pokphand
    39. LNK Krimer
    40. Jamoe Iboe
    41. Itikminton
    42. JatimPark
    43. DNY Skincare
    44. Bola Mas
    45. Esbeeyee
    46. Make Over
    47. Enkai
    48. Dishub Provinsi Jatim
    49. Dinas Kelautan Perikanan Provinsi Jatim

  • Komnas HAM Temukan Dokumen Lama yang Tunjukkan Sirkus OCI Pernah Dimiliki TNI AU – Halaman all

    Komnas HAM Temukan Dokumen Lama yang Tunjukkan Sirkus OCI Pernah Dimiliki TNI AU – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Oriental Circus Indonesia (OCI) tercatat pernah dimiliki oleh TNI Angkatan Udara.

    Hal itu terungkap berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh tim Komnas HAM pada tahun 1997 lalu, saat kasus dugaan pelanggaran HAM tersebut terungkap.

    Demikian disampaikan Ketua Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) Atnike Nova Sigiro, dalam rapat bersama Komisi XIII DPR RI, pada Rabu (23/4/2025).

    “Komnas HAM juga menerima SK Nomor SKep/20/VII/1997 tentang Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Pusat Koperasi Pangkalan TNI AU Halim Perdana Kusuma yang pada pasal 10 huruf (a) terkait Unit Usaha Jasa Niaga Umum milik Puskopau salah satunya sirkus,” kata Atnike, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.

    Saat ditanya usai rapat, Atnike mengatakan bahwa perlu menelusuri lebih lanjut apakah saat ini TNI AU masih memiliki OCI atau tidak.

    Hal ini mengingat kasus dugaan pelanggaran HAM yang terungkap pada 1997 silam.

    “Badan Hukum Puskopau ya, salah satunya pemilikan atas sirkus. Itu perlu kita lihat, itu kan tahun 1997 dokumen itu,” ujarnya.

    Sebab itu, Atnike mengatakan, pihaknya bakal melakukan penelusuran kembali terhadap temuan-temuan Komnas HAM tahun 1997. 

    “Maka kita perlu melakukan penelusuran kembali atas informasi yang sudah pernah diperoleh oleh Komnas HAM di periode yang lalu, dan itu periode Komnas HAM yang masih sangat awal ya 1997,” pungkasnya.

    Diketahui, para mantan pemain sirkus itu belakangan buka suara soal kekerasan yang mereka dapat selama bekerja di tempat hiburan keluarga itu.

    Salah seorang korban, Fifi, mengaku mendapat perlakuan kejam. Ia sempat diseret hingga dikurung di kandang macan.

    Mendapati perlakuan kejam, ia mengaku sempat kabur.

    “Saya sempat diseret dan dikurung di kandang macan, susah buang air besar. Saya nggak kuat, akhirnya saya kabur lewat hutan malam-malam, sampai ke Cisarua. Waktu itu sempat ditolong warga, tapi akhirnya saya ditemukan lagi,” tutur Fifi di hadapan Wakil Menteri HAM, Selasa, dilansir Tribun Jabar.

    Bukannya evaluasi, pihak atau oknum Taman Safari kembali memberikan siksaan kepada Fifi, bahkan berkali-kali lipat lebih kejam.

    Setelah kembali, ia diseret, dipasung hingga disetrum di bagian sensitifnya.

    “Saya diseret, dibawa ke rumah, terus disetrum,” ujar Fifi dengan suara lirih.

    Selain mendapatkan kekerasan, Fifi ternyata juga tak mengetahui identitas aslinya.

    Sejak lahir, Fifi memang dibesarkan di lingkungan sirkus tanpa mengetahui siapa orang tuanya.

    Ia diambil oleh salah satu bos sirkus saat ia baru lahir.

    Belakangan terungkap bahwa Fifi anak seorang pemain sirkus lainnya bernama Butet.

    Saat beranjak dewasa, Butet mengaku menyerahkan Fifi untuk diasuh orang lain lantaran belum memiliki kehidupan yang layak.

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

  • Kasus Eks Pemain Sirkus OCI, Komnas HAM Akan Klarifikasi ke TNI AU

    Kasus Eks Pemain Sirkus OCI, Komnas HAM Akan Klarifikasi ke TNI AU

    Jakarta, Beritasatu.com – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkapkan temuan mengejutkan terkait kasus eks pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) yang tengah menjadi sorotan publik.

    Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyebutkan, pihaknya menemukan surat pada 1997 yang menunjukkan OCI pernah tercatat sebagai unit usaha milik TNI Angkatan Udara (AU), melalui Pusat Koperasi Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma (Puskopau).

    Atnike menyampaikan hal ini dalam rapat bersama Komisi XIII DPR dan para eks pemain sirkus OCI, Rabu (23/4/2025). Dalam dokumen tersebut tercantum Surat Keputusan Nomor SKep/20/VII/1997 tentang Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Puskopau Halim, yang menyebutkan unit usaha jasa niaga umum milik Puskopau termasuk sirkus.

    Akan Klarifikasi ke TNI AU

    Atnike menyatakan, Komnas HAM akan melakukan klarifikasi lebih lanjut ke TNI AU terkait status kepemilikan OCI yang kini menjadi bagian dari Taman Safari Indonesia.

    “Kami perlu menelusuri kembali apakah TNI AU masih memiliki keterkaitan dengan OCI sampai hari ini karena dokumen yang kami miliki itu berasal dari 1997,” jelasnya.

    Atnike menambahkan, Komnas HAM juga akan menggali kembali hasil temuan investigasi mereka dari periode awal lembaga tersebut berdiri, terutama karena munculnya kembali laporan dugaan pelanggaran HAM terhadap mantan pemain sirkus OCI pada akhir 2024.

    Dugaan Pelanggaran HAM Berat

    Kasus ini mencuat kembali setelah Komnas Perempuan dan sejumlah eks pemain melaporkan dugaan eksploitasi terhadap anak-anak dalam sirkus, termasuk pelanggaran hak atas pendidikan, kekerasan fisik, psikis, dan seksual.

    “Temuan lama ini harus dikaitkan dengan laporan yang masuk baru-baru ini. Perlu investigasi menyeluruh untuk mengungkap apakah ada pelanggaran HAM berat yang terjadi secara sistemik,” tutup Atnike mengenai temuan Komnas HAM terkait kasus eks pemain sirkus OCI di Taman Safari Indonesia.

  • Kasus Eks Pemain Sirkus OCI, Komnas Perempuan Desak TPF Independen

    Kasus Eks Pemain Sirkus OCI, Komnas Perempuan Desak TPF Independen

    Jakarta, Beritasatu.com – Komnas Perempuan mendesak pemerintah segera membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) independen guna mengusut tuntas dugaan eksploitasi terhadap eks pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI). 

    Permintaan ini disampaikan Anggota Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor dalam rapat Komisi XIII DPR bersama para korban di Jakarta, Rabu (23/4/2025).

    Menurut Maria, pembentukan TPF lintas lembaga sangat penting mengingat kasus ini telah berlangsung lama, sejak 1979. Tim ini diharapkan melibatkan Komnas HAM, LPSK, Kementerian Hukum, Kementerian HAM, KPPPA, Kemenaker, hingga Polri untuk mengusut dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami para korban.

    “Kasus ini bukan hanya soal kekerasan fisik, tetapi juga menyangkut pelanggaran hak-hak anak, identitas, pendidikan, hingga kekerasan berbasis gender dan eksploitasi ekonomi,” ujar Maria terkait desakan Komnas Perempuan terkait pembentukan TPF Independen kasus dugaan eksploitasi terhadap eks pemain sirkus OCI.

    Komnas Perempuan juga merekomendasikan KPPPA untuk memberikan pendampingan psikologis serta pemulihan ekonomi korban. Kementerian Ketenagakerjaan turut diminta untuk melakukan investigasi kerugian kerja serta memberikan rekomendasi penegakan hukum terhadap pelaku.

    Pemilik OCI Diminta Beri Kompensasi

    Maria menegaskan, Jansen Manansang selaku pemilik Oriental Circus Indonesia harus bertanggung jawab memberikan kompensasi kepada para korban. Menurutnya, penentuan nilai kompensasi memerlukan kajian para ahli mengingat kompleksitas kerugian yang diderita korban, baik secara fisik, psikis, hingga ekonomi.

    “Beberapa korban mengalami trauma berat, bahkan bisa berlangsung seumur hidup. Maka pendampingan psikologis wajib dilakukan,” kata Maria.

    Komnas Perempuan juga menilai kasus dugaan eksploitasi terhadap eks pemain sirkus OCI dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM, baik menurut hukum nasional maupun internasional, terutama dalam konteks perbudakan anak (child slavery) dan kekerasan berbasis gender.

  • Pengakuan Eks Pemain OCI ke DPR: Disetrum, Dipasung, Hingga Pelecehan Seksual

    Pengakuan Eks Pemain OCI ke DPR: Disetrum, Dipasung, Hingga Pelecehan Seksual

    Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) beraudiensi dengan Komisi XIII DPR atas dugaan eksploitasi dan penganiayaan.

    Audiensi tersebut digelar di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (23/4/2025) yang juga di dihadiri oleh Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan tentunya kuasa hukum mantan OCI.

    Salah satu mantan pemain OCI, Vivi Nurhidayah menceritakan dirinya tidak tahu pasti dari mana dan pada usia berapa dirinya diambil oleh pihak OCI. 

    Yang dia tahu sejak usia 2 tahun, sudah dilatih menjadi pemain sirkus di rumah pondok indah dan setelah usia 3-4 tahun, dia dibawa ke OCI.

    “Setelah itu saya dilatih seperti biasa. Masih umur segitu sudah mendapatkan kekerasan ketika saya tidak bisa dikasih latihan saya nggak bisa, itu saya dapat pukulan kaya tendangan di rotan itu sudah biasa buat kami,” bebernya dalam ruang audiensi, Rabu (23/4/2025).

    Kemudian, saat berusia 12-13 tahun, Vivi dipindah ke Taman Safari Indonesia (TSI), Cisarua, Bogor. Dirinya berpikir di sini hidupnya akan lebih baik dan tak mendapatkan siksaan. Namun, nyatanya itu hanya di angan-angannya saja. Pasalnya, dia mendapatkan penyiksaan yang lebih keras saat dilatih.

    Karena sudah tidak tahan, dia akhirnya melarikan diri. Namun, setelah tiga hari, dia tertangkap oleh sekuriti dan akhirnya dibawa ke pos sekuriti.

    “Di tengah jalan pun saya dipukuli, dikata-katian kasar, sampai rumah saya dimasukin ke kantornya dan saya disetrum sama setruman gajah. Sampai  kelamin saya disetrumin, saya jatuh, sampai lemes,” tuturnya.

    Kemudian, lanjutnya, dirinya dirantai atau dipasung selama dua minggu. Setelah dibebaskan, kembali latihan seperti biasa dan akhirnya juga melarikan diri lagi.

    “Akhirnya saya ditolongin oleh mantan saya melarikan diri dari Taman Safari itu. Akhirnya saya lolos, saya dibawa ke Semarang dinikahkan dan akhirnya saya memberanikan diri melapor ke Komnas HAM,” kata Vivi.

    Sementara itu, mantan pemain OCI, Yuli juga mengaku heran OCI menganggap mereka itu sebenarnya seperti apa. Seharusnya, OCI memiliki surat adopsi.

    Yuli mengaku dirinya bisa bertemu orang tua karena menemukan suatu surat kelahiran. Dia menekankan pertemuan dengan orang tuanya ini bukanlah dari OCI.

    “Saya mencari orang tua saya di tahun 1987. Akhirnya orang tua saya pun mendengar, bahwa pada saat itu sirkus kan main di lapangan Bekasi. Kan mama saya orang Bekasi, akhirnya datang dan menemui saya gitu kan,” urainya seusai audiensi.

    Adapun, Yuli menyebut dia sempat kabur pada 1986 dan akhirnya ketahuan oleh Frans Manansang. Akhirnya dia dipukuli sampai terkena pelecehan seksual.

    “Saya disuruh buka baju di situ. Tapi saya nggak sampai diapa-apain. Karena saya terselamatkan oleh jamnya pertunjukan untuk saya. Tapi teman saya Eva itu sampai dilakukan pelecehan seksual sama si Frans,” pungkasnya.