NGO: Komnas HAM

  • Viral Kenakalan Remaja di Jabar, Curi Mobil hingga Bacok Teman, Dedi Mulyadi: Cerita Menyedihkan – Halaman all

    Viral Kenakalan Remaja di Jabar, Curi Mobil hingga Bacok Teman, Dedi Mulyadi: Cerita Menyedihkan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menanggapi berita viral yang menyangkut remaja di Jawa Barat, ada yang curi mobil hingga bacok teman karena kerap diejek.

    Sebelumnya, diberitakan dua remaja mencuri mobil di Apartemen Bandung pada Kamis (24/4/2025).

    Diketahui, pelaku masih di bawah umur, mereka adalah A (13) dan saudaranya S (10).

    Kasus ini diungkap Polsek Cicendo, setelah petugas menangkap dua pelaku di Calincing, Cianjur.

    Peristiwa pencurian terjadi saat dua pelaku menyewa kamar di sebuah apartemen di Kota Bandung, pada Rabu (23/4/2025).

    “Pelaku mengambil kendaraan itu memang kendaraan dalam kondisi hidup.”

    “Pemilik mengakui mobil dalam keadaan hidup karena mau dipanasi, lalu ditinggal berenang di sekitar situ,” ungkap Kapolsek Cicendo, Kompol Dadang Gunawan, pada Kompas TV.

    Mobil yang dibawa pelaku sempat kejar-kejaran dengan polisi.

    Hingga, kedua pelaku yang disebut anak putus sekolah tersebut tertangkap di wilayah Calincing, Cianjur.

    Menurut pemaparannya, mobil tersebut sengaja dicuri untuk jalan-jalan dan keliling Bandung.

    Namun, karena pelaku anak di bawah umur, pihak kepolisian mengembalikannya ke pihak orang tua untuk dibina.

    Setelah viral, kasus tersebut terdengar sampai telinga Dedi Mulyadi.

    Dedi Mulyadi mengaku sudah berkomunikasi dengan kedua orang tua pelaku.

    “Pagi hari ini kita mendapat banyak hal atau cerita atau berita yang menyedihkan, menyangkut remaja,” ungkap Dedi Mulyadi, dikutip dari Instagram @dedimulyadi71 pada Minggu (4/4/2025)

    “Ada remaja yang mencuri mobil dan kemudian tertangkap di Cianjur. Orang tuanya sore hari nanti akan menemui saya untuk mendiskusikan jalan keluarnya,” tambahnya.

    Dedi Mulyadi tak menampik apa yang dilakukan dua remaja tersebut adalah tindakan hukum.

    Namun, Dedi Mulyadi menilai harus ada pembimbingan lanjutan untuk kedua pelaku yang masih di bawah umur tersebut.

    “Betul, itu kriminal iya. Tapi, penanganan pasca-proses pidananya dan proses bimbingan berikutnya harus dilakukan,” tegasnya.

    Selain kasus pencurian mobil, Dedi Mulyadi juga mendapat kabar ada anak yang membacok temannya karena kerap diejek.

    “Yang kedua, remaja SMP anak yatim piatu karena diejekin terus sama temennya, akhirnya dia membacok orang yang mengejek,” ungkap Dedi Mulyadi.

    Dedi Mulyadi berharap para remaja yang terseret kasus pidana masih memiliki masa depan.

    “Hari ini orang tua (red-wali) mau dateng dalam proses pidana dan saya akan mendampinginya. Agar dia tetap punya masa depan,” terangnya lagi.

    Hal ini mengingatkan dia tentang kebijakan Barak Militer yang baru dia gaungkan.

    Mendisiplinkan anak yang memiliki gejala ‘nakal’ dengan Barak Militer bertujuan agar anak memiliki benteng dan menahan godaan untuk melakukan kenalan atau bahkan tindak pidana.

    “Dan proses-proses yang saya jalani barak militer sesungguhnya adalah upaya pencegahan. Jadi anak-anak SMP yang masih gejala, diperlukan upaya-upaya kita untuk gejala itu dihilangkan. Dan dia punya antibody sehingga ke depan dia tahan terhadap godaan. Sesunguhnya itu tujuannya,” tungkasnya.

    Komnas HAM sebut Kebijakan Barak Militer Langgar Hak Anak

    Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) tidak setuju dengan kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang mengirim siswa nakal ke barak militer.

    Ketua Komnas HAM RI, Atnike Nova Sigiro, menyatakan hal tersebut dianggap melanggar hak anak.

    Atnike pun memperingatkan, mengirim siswa ke barak militer sebagai bentuk hukuman adalah bentuk penegakan hukum yang tidak sah. 

    Terlebih, jika dilakukan kepada anak-anak di bawah umur yang seharusnya mendapatkan perlindungan hukum.

    “Oh iya dong (keliru). Itu proses di luar hukum kalau tidak berdasarkan hukum pidana bagi anak di bawah umur,” tegasnya saat ditemui di kantor Komnas HAM RI, Jakarta Pusat, Jumat (2/5/2025).

    Selain itu, TNI juga tidak mempunyai kewenangan untuk mendidik pelajar dalam bentuk ‘wajib militer’.

    “Itu bukan kewenangan TNI melakukan edukasi-edukasi civic education,” ujar Atnike. 

    Pelibatan TNI dalam kegiatan pendidikan hanya dapat dibenarkan jika bersifat mengenalkan profesi, seperti melalui kunjungan ke markas TNI atau lembaga publik lain.

    Namun, jika dilakukan dalam bentuk pendidikan militer, apalagi sebagai bentuk hukuman, maka hal itu keliru dan melanggar prinsip hak anak.

    “Pendidikan karier ke markas TNI, rumah sakit, atau tempat kerja itu boleh saja. Tapi kalau dalam bentuk pendidikan militer, itu mungkin tidak tepat,” katanya.

    Sebelumnya, Pemerintah Provinsi Jawa Barat resmi meluncurkan program wajib militer untuk pelajar pada Jumat, 2 Mei 2025 lalu.

    Program ini diluncurkan Dedi Mulyadi sebagai respons terhadap meningkatnya kasus kenakalan remaja, termasuk penyalahgunaan narkoba, tawuran, dan seks bebas.

    Dalam program ini, pelajar yang dianggap bermasalah akan dijemput langsung oleh personel TNI dari rumah masing-masing untuk mengikuti pembinaan selama enam bulan di barak militer. 

    Di sana, mereka akan dilatih oleh TNI dan Polri dengan fokus pada karakter dan disiplin.

    Namun, kebijakan tersebut menuai pro dan kontra.

    Sebagian pihak mendukung program tersebut sebagai solusi tegas untuk menekan kenakalan remaja.

    Sebagian lainnya lagi, termasuk Komnas HAM menganggap bahwa pendekatan militeristik bertentangan dengan prinsip pendidikan dan perlindungan anak. (*)

    (Tribunnews.com/Siti N/ Rifqah/Fersianus Waku)

  • Ramai Kritik Dedi Mulyadi Jadikan Vasektomi Syarat Dapat Bansos: Dianggap Haram hingga Langgar HAM

    Ramai Kritik Dedi Mulyadi Jadikan Vasektomi Syarat Dapat Bansos: Dianggap Haram hingga Langgar HAM

    Ramai Kritik Dedi Mulyadi Jadikan Vasektomi Syarat Dapat Bansos: Dianggap Haram hingga Langgar HAM
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Usulan Gubernur Jawa Barat
    Dedi Mulyadi
    yang menjadikan program Keluarga Berencana (KB), khususnya
    vasektomi
    sebagai syarat menerima
    bantuan sosial
    (bansos) menuai polemik dan mendapat
    penolakan
    dari berbagai pihak.
    Untuk diketahui, ide tersebut diungkapkan Dedi dalam rapat koordinasi bidang kesejahteraan rakyat bertajuk “Gawé Rancagé Pak Kadés jeung Pak Lurah” di Pusdai Jawa Barat, Senin (28/4/2025).
    Dalam rapat itu, Dedi mewacanakan kepesertaan KB, khususnya KB pria, menjadi prasyarat masyarakat prasejahtera menerima berbagai program bantuan dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat, mulai dari beasiswa pendidikan hingga bansos non-tunai.
    “Jadi seluruh bantuan pemerintah nanti akan diintegrasikan dengan KB. Jangan sampai kesehatannya dijamin, kelahirannya dijamin, tapi negara menjamin keluarga itu-itu juga,” kata Dedi Mulyadi di hadapan para pejabat kementerian dan kepala daerah.
    Dedi menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk distribusi bansos yang lebih merata dan adil.
    Ia menilai selama ini bantuan banyak tertumpu pada keluarga miskin yang memiliki anak dalam jumlah besar.
    “Pak Menteri, saya tidak tahu kok rata-rata keluarga miskin itu anaknya banyak. Sementara orang kaya susah punya anak. Saya pernah menemukan satu keluarga punya 22 anak, punya 16 anak,” ucapnya.
    Dalam penjelasannya, Dedi juga menyebut fenomena keluarga kurang mampu yang justru memilih melahirkan dengan operasi sesar sebagai bentuk pengeluaran tidak efisien.
    “Uang segitu bisa untuk bangun rumah kan. Makanya berhentilah bikin anak kalau tidak sanggup, menafkahi dengan baik,” ujarnya.
    Dia menekankan bahwa KB pria dipilih karena metode kontrasepsi pada perempuan dinilai kerap bermasalah dan rentan tidak konsisten dilakukan.
    “Kenapa harus laki-laki? Karena misalnya nanti perempuannya banyak problem. Misalnya lupa minum pilnya atau lainnya,” kata Dedi.
    Di samping itu, Dedi menekankan bahwa program vasektomi adalah bentuk tanggung jawab pria terhadap keluarga.
    Ia berharap, suami atau ayah di keluarga prasejahtera bisa menjadi peserta KB.
    “Saya harapkan yang laki-lakinya, saya harapkan suaminya atau ayahnya yang ber-KB sebagai bentuk tanda tanggung jawab terhadap diri dan keluarganya, jangan terus-terusan dibebankan pada perempuan,” jelas Dedi.
    Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat Abdul Muhaimin Iskandar alias Cak Imin menegaskan bahwa tidak ada aturan vasektomi sebagai syarat penerima bansos.
    “Enggak ada, enggak ada. Enggak ada syarat itu,” tegas Muhaimin di Kompleks Parlemen, Sabtu (3/5/2025).
    Menurutnya, pemerintah telah memiliki regulasi penyalur bansos, termasuk di dalamnya kriteria masyarakat yang berhak menerima.
    Cak Imin mencontohkan ibu hamil, anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas yang masuk kategori penerima bansos pemerintah.
    Oleh karena itu, Cak Imin menegaskan bahwa aturan dan kriteria terkait bansos tidak boleh diubah atau ditambah secara sepihak.
    “Aturan enggak ada. Tidak boleh bikin aturan sendiri,” katanya.
    Senada dengan Cak Imin, Menteri Sosial Saifullah Yusuf atau Gus Ipul juga menyatakan bahwa wacana tersebut perlu dipertimbangkan secara matang, termasuk dari sisi agama dan hak asasi manusia (HAM).
    “Kalau maksa, ya enggak boleh. Itu hanya imbauan sifatnya. Saya lihatnya baru sebatas gagasan saja,” kata Gus Ipul kepada Kompas.com, Sabtu (3/5/2025).
    Gus Ipul menegaskan, bansos diberikan sebagai bentuk perlindungan terhadap kelompok rentan dan tidak bisa dikaitkan dengan syarat yang menyentuh wilayah hak tubuh seseorang.
    “Program KB itu sendiri kan sudah lama berjalan, dan itu pun hanya berupa imbauan. Tidak ada unsur paksaan,” katanya.
    Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro turut mengkritik usulan tersebut.
    Menurutnya, menjadikan vasektomi sebagai syarat bansos berpotensi melanggar hak privasi warga negara.
    “Vasektomi apa yang dilakukan terhadap tubuh itu bagian dari hak asasi. Jadi sebaiknya tidak dipertukarkan dengan bantuan sosial atau hal-hal lain,” ujar Atnike di Jakarta, Jumat (2/5/2025).
    Dia menambahkan, pemaksaan tindakan medis seperti vasektomi, bahkan dalam konteks hukum pidana, tidak dibenarkan.
    Apalagi, jika itu dilakukan terhadap warga miskin demi menerima hak sosial mereka.
    “Pemaksaan KB saja itu kan pelanggaran HAM,” tegas Atnike.
    Penolakan
    terhadap ide Dedi Mulyadi juga datang dari kalangan organisasi keagamaan.
    Ketua Bidang Keagamaan PBNU, Ahmad Fahrur Rozi menyatakan bahwa pemaksaan vasektomi adalah tindakan yang bertentangan dengan ajaran Islam.
    “Kami tidak mendukung pemaksaan vasektomi untuk penerima bansos,” kata Gus Fahrur, Sabtu (3/5/2025).
    Menurutnya, mayoritas ulama mengharamkan metode vasektomi karena dianggap sebagai tindakan pemandulan permanen.
    “Karena vasektomi itu ulama masih berbeda pendapat dan mayoritas mengharamkan apabila mencegah kelahiran secara total,” ucapnya.
    Dia menambahkan, pemerintah seharusnya cukup menganjurkan KB tanpa memaksakan jenis kontrasepsi tertentu.
    “Saya kira ajaran ber-KB sudah cukup, tidak harus dipaksakan vasektomi,” ujarnya.
    Sementara itu, Ketua MUI Jawa Barat KH Rahmat Syafei menegaskan bahwa vasektomi bertentangan dengan syariat Islam, kecuali dalam kondisi tertentu yang mendesak secara medis.
    “Pada intinya vasektomi itu haram dan itu sesuai Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia IV di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat pada 2012,” kata Rahmat, Jumat (2/5/2025).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Operasi Pencarian Iptu Tomi Marbun Ditutup, Berikut Respons sang Istri – Halaman all

    Operasi Pencarian Iptu Tomi Marbun Ditutup, Berikut Respons sang Istri – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, Teluk Bintuni – Pencarian Iptu Tomi Marbun, mantan Kasat Reskrim Polres Teluk Bintuni, resmi ditutup setelah operasi Alpha Bravo Moskona 2025 berakhir.

    Pernyataan ini disampaikan oleh istri Tomi, Riah Tarigan, dalam konferensi pers di aula Polres Teluk Bintuni pada Kamis, 1 Mei 2025.

    Iptu Tomi Marbun dilaporkan hilang di Sungai Rawara, Distrik Moskana Barat, Kabupaten Teluk Bintuni pada 18 Desember 2024.

    Meskipun upaya pencarian melibatkan 510 personel gabungan dari Polri, TNI, Basarnas, dan Pemerintah Daerah, hasil pencarian belum memenuhi harapan keluarga.

    “Belum ada titik terang seperti yang kami harapkan,” ungkap Riah Tarigan.

    Keluarga Iptu Tomi Marbun berencana untuk menindaklanjuti laporan ke berbagai instansi, termasuk Mabes Polri dan Komnas HAM RI.

    “Kami juga sudah membuat laporan kehilangan orang di Polda Papua Barat,” jelas Riah.

    Meskipun merasa kecewa, Riah mengucapkan terima kasih kepada tim gabungan yang telah bekerja keras dalam pencarian suaminya.

    “Terima kasih untuk tim gabungan yang sudah bekerja dengan tulus untuk mencari suami saya,” kata Riah.

    Detail Operasi Pencarian

    Operasi Alpha Bravo Moskona 2025 melibatkan 510 personel, termasuk 155 dari Mabes Polri, 191 dari Polda Papua Barat, dan 74 dari Polres Teluk Bintuni.

    Dua jenderal dari Mabes Polri, Brigjen Gatot Mangkurat Putra Perkasa Jomantara dan Brigjen Auliansyah Lubis, juga turut memimpin misi ini.

    Dua helikopter, Bell 412 dan Bell 429, digunakan untuk mempercepat pencarian, dengan fokus pada area yang sulit dijangkau.

    “Kami melakukan patroli udara dan pemetaan lokasi dari udara,” kata Kompol Prasetyo Wibowo, pilot helikopter Bell 429.

    Kapolda Papua Barat, Johnny Eddizon Isir, menyatakan bahwa tim gabungan telah berusaha maksimal dalam pencarian.

    “Meski Iptu Tomi Marbun belum ditemukan, operasi besar pencarian ditutup. Hasilnya akan kami pertanggungjawabkan dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi III DPR RI,” tegasnya.

    (Tribunpapuabarat.com/Syahrul Said Refideso)

    Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).

  • Dedi Mulyadi Mau Jadikan Vasektomi Syarat Terima Bansos, Komnas HAM: Langgar Hak Privasi

    Dedi Mulyadi Mau Jadikan Vasektomi Syarat Terima Bansos, Komnas HAM: Langgar Hak Privasi

    GELORA.CO – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebut rencana Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang akan menjadikan vasektomi sebagai syarat bantuan sosial (bansos) bisa melanggar hak privasi.

    Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigito mengatakan, vasektomi adalah bentuk pelanggaran hak privasi jika dilakukan secara paksa, terlebih oleh otoritas pemerintahan.

    “Itu juga privasi ya, vasektomi apa yang dilakukan terhadap tubuh itu bagian dari hak asasi. Jadi sebaiknya tidak dipertukarkan dengan bantuan sosial atau hal-hal lain gitu,” ujar Atnike saat ditemui di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Jumat (2/5/2025).

    Atnike menjelaskan, jangankan untuk syarat penerima bantuan sosial.

    Penghukuman pelanggar pidana pun tidak diperbolehkan untuk memberikan hukuman yang bersifat melanggar hak privasi.

    “Penghukuman saja enggak boleh, pidana dengan penghukuman badan yang seperti itu tuh sebetulnya bagian yang ditentang di dalam diskursus hak asasi,” ucapnya.

    “Apalagi itu dipertukarkan dengan bantuan sosial atau itu otoritas tubuh ya. Pemaksaan KB aja itu kan pelanggaran HAM,” ujarnya lagi.

    Diketahui, Gubernur Jabar Dedi Mulyadi mengungkapkan rencana kebijakan KB sebagai syarat penerimaan bansos dalam rapat koordinasi bidang kesejahteraan rakyat bertajuk “Gawé Rancagé Pak Kadés jeung Pak Lurah” di Pusdai Jawa Barat, Senin (28/4/2025).

    Acara itu dihadiri Mensos Saifullah Yusuf, Mendes PDT Yandri Susanto, Mendukbangga/Kepala BKKBN Wihaji, Menkes Budi Gunadi Sadikin, dan perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).

    Dalam rapat tersebut, Dedi mengatakan KB, terlebih KB pria berupa vasektomi (Metode Operasi Pria/MOP), akan menjadi syarat untuk penerimaan bantuan sosial.

    Hal itu mengingat dari temuannya banyak keluarga prasejahtera ternyata memiliki banyak anak, padahal kebutuhan tidak tercukupi.

    “Pak Menteri, saya tidak tahu kok rata-rata keluarga miskin itu anaknya banyak. Sementara orang kaya susah punya anak. Sampai bayi tabung bayar Rp 2 miliar tetap tidak punya anak,” ucap Dedi.

    “Saya pernah menemukan satu keluarga punya 22 anak, punya 16 anak. Saya di Majalengka bertemu dengan anak-anak yang jualan kue di alun-alun,” lanjutnya.

    “Akhirnya, saya bertemu dengan orang tuanya yang lagi di kontrakan. Bapaknya ada, anaknya jualan kue. Ternyata, sudah punya 10 anak dan ternyata ibunya lagi hamil lagi yang ke-11,” ucap Dedi.

  • Soroti Klausul Masa Penahanan di Draft RKUHAP, Kompolnas: Tak Sejalan dengan Perlindungan Tersangka – Halaman all

    Soroti Klausul Masa Penahanan di Draft RKUHAP, Kompolnas: Tak Sejalan dengan Perlindungan Tersangka – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Komisioner Kompolnas, Choirul Anam menyoroti aturan masa penahanan maksimal 60 hari di tahap penyidikan yang tercantum pada draft Revisi Kitab Undan-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) .

    Anam menilai, aturan masa penahanan maksimal 60 hari itu justru membuat status tersangka lama mendapat keadilan.

    Hal ini disampaikan Anam, dalam diskusi publik yang digelar Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) bertajuk ‘Revisi KUHAP dan Ancaman Pidana: Ruang Baru Abuse of Power?’, di Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (2/5/2025), pada Jumat (2/5/2025).

    “Orang ditahan kalau kemarin 20 (hari) enggak cukup, ditambahin 20. Sekarang 20 tambahin 40. 60 hari statusnya enggak jelas. Ya kan kalau ini pacaran kan serem ini 60 hari statusnya enggak jelas,” kata Anam, Jumat ini.

    Untuk diketahui, klausul masa penahanan maksimal 60 hari di tahap penyidikan diatur dalam Pasal 94 draft revisi KUHAP. Berikutnya, pasal 95 mengatur penahanan oleh penuntut umum maksimal selama 50 hari.

    Terkait klausul Pasal 94 draft RKUHAP itu, Anam kemudian meyoroti semangat perluasan kewenangan penyidik untuk membuktikan sebuah perkara tak sejalan dengan kecepatan penanganan perkara serta perlindungan hak tersangka.

    “Tapi di sisi yang lain, karakter dasar kecepatan pembuktian tersebut tidak berimbang dengan perlindungan hak tersangka dan sebagainya itu,” ucap Anam.

    “Kenapa kok hukumannya kelamaan? Ini dalam semua lini loh. Enggak hanya di penyidikan, sampai di level hakim. Harusnya sudah lah. Kalau dikatakan misalnya video itu, firm misalnya, bukti elektronik ada video, ada CCTV yang firm, ya ngapain kok harus ditahan? Misalnya begitu. Sampai dibuktikan misalnya begitu,” tambahnya.

    Oleh karena itu, mantan Komisioner Komnas HAM itu mengatakan, klausul Pasal 94 draf revisi KUHAP tak sejalan dengan perlindungan tersangka. 

    Sebab, ia juga mengingatkan, pidana itu merampas hak orang.

    “Ada logika yang menurut saya dalam konteks perkembangan zaman, tidak seiring dengan karakter bagaimana perlindungan tersangka dan sebagainya tersebut. Nah salah satunya adalah kecepatan. Sekali lagi, pidana itu merampas orang,” ucap Anam.

    “Ya sekali keserepet, ya ditahan. Sah penahanannya. Tapi kalau logikanya enggak seiring dengan logika pembuktian dan perkembangan zaman, ya jangan,” imbuhnya.

     

  • Polisi Sita Rp 75 Miliar Hasil Kasus Judi Online – Page 3

    Polisi Sita Rp 75 Miliar Hasil Kasus Judi Online – Page 3

    Sebagaimana ramai diberitakan, aktivitas perjudian online yang merajalela, sistematis dan masif telah menyebabkan munculnya banyak perilaku kriminal turunan. Seperti meningkatnya kasus bunuh diri dan pembunuhan antar anggota keluarga.

    Pada akhir tahun lalu, seorang pria di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, nekat merampok dan membunuh ibu kandungnya sendiri berinisial R berusia 80 tahun. Ia membunuh ibunya sendiri demi bisa bermain judi online.

    Puan menyoroti bagaimana judi online telah memengaruhi banyak sendi kehidupan.

    “Judi online benar-benar telah merusak sendi-sendi kehidupan bangsa, termasuk ketahanan keluarga. Fenomena seperti ini harus dihentikan,” tegasnya.

    Adapun Komnas HAM hingga LPSK melaporkan, lonjakan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), penelantaran anak, hingga bunuh diri dalam beberapa tahun terakhir kerap memiliki benang merah dengan keterlibatan anggota keluarga dalam praktik judi daring. 

    “Dari situ kita dapat melihat bahwa dampak judi online bukan hanya finansial, tapi juga dari sisi sosial dan psikologis. Pemerintah harus secepatnya memberantas judi online ini sampai ke akar-akarnya,” ujar Puan.

    Puan pun menilai, penanganan judi online harus dilakukan secara komprehensif dengan melibatkan berbagai pihak dan menggunakan pendekatan yang berkelanjutan.

    “Mengatasi judi online, termasuk bagi anak-anak dan remaja, memerlukan kerja sama antara pemerintah, platform media sosial, penyedia layanan internet, serta masyarakat luas,” jelasnya.

    Lebih lanjut, Puan menanggapi laporan dari Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang mengungkap bahwa nilai perputaran dana judi online di Indonesia telah mencapai Rp 1.200 triliun sepanjang tahun berjalan. Menurutnya, laporan ini mengejutkan sekaligus menyentak nurani kolektif bangsa. 

    “Bukan hanya karena besarnya nilai uang tersebut yang melampaui anggaran pendidikan nasional tetapi juga fakta ini mengindikasikan bahwa sistem pengawasan finansial digital memiliki masalah yang sangat krusial,” terang Puan.

  • Komnas HAM Kecam KKB Papua Tembaki Tim Pencari Iptu Tomi Marbun – Page 3

    Komnas HAM Kecam KKB Papua Tembaki Tim Pencari Iptu Tomi Marbun – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Ketua Komnas HAM Papua, Frits Ramandey, menceritakan pengalaman mencekam saat rombongannya bersama Satgas AB Moskona 2025 mendapat tembakan dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).

    Adapun, insiden itu terjadi saat mereka tengah mencari Kasat Reskrim Polres Teluk Bintuni, Iptu Tomi Marbun, yang dilaporkan hilang sejak 18 Desember 2024.

    Terkait hal tersebut, Komnas HAM RI mengecam aksi tersebut. “Komnas HAM mengecam terjadinya penembakan atau serangan terhadap operasi SAR (pencarian dan pertolongan) Tahap III yang sedang menjalankan tugas-tugas kemanusiaan,” kata Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM Uli Parulian seperti dilansir dari Antara, Jumat (2/5/2025).

    Dia menjelaskan, kronologi penembakan berawal ketika tim operasi pencarian Iptu Tomi melakukan pencarian ulang pada 21 April–4 Mei 2025 di Kabupaten Teluk Bintuni dan sekitarnya.

    Tim tersebut di antaranya terdiri dari Mabes Polri, Polda Papua Barat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana Daerah (BNPD) Papua Barat, dan Tim SAR. Pencarian ulang yang dilakukan karena Komnas HAM menerima pengaduan dari pihak keluarga Iptu Tomi.

    Menurut Uli, pengadu menyatakan bahwa pengungkapan kasus Iptu Tomi yang hilang sejak Desember 2024 saat mengejar KKB di wilayah hukum Polres Teluk Bintuni belum dilakukan secara profesional.

    “Dan oleh karena itu, (pengadu) meminta agar dilakukan pencarian ulang secara maksimal,” ucap Uli.

  • Aksi Pungli Ganggu Perekonomian, Banyak Preman Ditemukan Tewas di Karung

    Aksi Pungli Ganggu Perekonomian, Banyak Preman Ditemukan Tewas di Karung

    GELORA.CO – Kisah ini merupakan cerita di zaman pemerintahan Soeharto saat tindak pidana premanisme sedang liar-liarnya.

    Aksi premanisme di zaman pemerintahan Soeharto terbilang sangat mewabah dan mengerikan.

    Para pelaku premanisme di saat itu sudah kelewat batas sehingga pemerintah ambil sikap tegas dengan menurunkan penembak misterius alias petrus.

    Para preman di era 1980-an itu dikenal dengan sebutan GALI alias gerombolan anak liar yang menjadi perhatian khusus pemerintah Orba.

    Akibat aksi mereka roda perekonomian RI sebenarnya sering terganggu.

    Banyak dari para preman ini yang memanfaatkan kekuatan dan kekuasaan untuk menarik pungutan liar.

    Satu contohnya adalah kawasan terminal yang sudah dikuasai oleh para gali membuat para pengusaha bus terus mengalami kerugian, banyaknya begal yang membajak bus dan truk di jalanan, dan lainnya.

    Presiden Soeharto lalu memerintahkan agar segera dibentuk tim yang beranggotakan aparat TNI/Polri (saat itu ABRI) untuk melaksanakan operasi penumpasan kejahatan terhadap para begal yang makin marak dan merugikan.

    Dikutip Tribunmedan.com dari Tribun Jambi, hingga tahun 1982, Polri di bawah pimpinan Kapolri Jenderal Awaloedin Djamin telah melakukan berbagai operasi penumpasan kejahatan.

    Dilansir dari Surya.co.id, polri melancarkan Operasi Sikat, Linggis, Operasi Pukat, Operasi Rajawali, Operasi Cerah, dan Operasi Parkit di seluruh wilayah Indonesia serta berhasil menangkap 1.946 penjahat.

    Meski sudah banyak penjahat yang diringkus, operasi penumpasan kejahatan terus berlanjut.

    Seperti yang dilakukan oleh Komando Daerah Militer (Kodim) 0734 Yogyakarta di bawah pimpinan Kolonel Muhamad Hasbi.

    Kolonel Hasbi saat itu (1983) menyatakan perang terhadap para preman atau gali yang aksinya makin meresahkan masyarakat Yogyakarta.

    Dia menggelar Operasi Pemberantasan Keamanan (OPK) yang bekerja sama dengan intelijen AD, AU, AL dan kepolisian.

    Kodim Yogyakarta lalu melakukan pendataan terhadap para gali melalui operasi intelijen dan para gali yang berhasil didata diwajibkan melapor serta diberi kartu khusus.

    Setelah mendapat kartu, para gali tersebut dilarang bikin ulah lagi dan harus mau memberitahukan dimana para gali lain yang tidak mau melapor.

    Para gali yang tidak melapor kemudian diburu oleh tim OPK Kodim untuk ditangkap dan bagi yang lari atau melawan akan langsung ditembak mati.

    Mayat para gali yang ditembak mati dibiarkan tergeletak di mana saja dengan tujuan membuat jera (shock therapy).

    OPK yang digelar aparat keamanan di Yogyakarta sudah diketahui oleh masyarakat.

    Setiap ada mayat yang ditemukan di pinggir jalan, tepi hutan, bawah jembatan, dan lainnya, mayat dengan luka tembak itu kerap dinamai sebagai korban penembakan misterius (petrus).

    Istilah ‘petrus’ kemudian menjadi sangat populer sekaligus menakutkan.

    Kinerja OPK yang dilaksanakan di Yogyakarta ternyata mendapat perhatian khusus dari Kepala Intelijen RI LB Moerdani dan diapresiasi sebagai `kerja bagus dan lanjutkan!’.

    Cara penanganan gali dengan cara OPK pun diterapkan di berbagai wilayah di Indonesia dan korban `petrus’ pun bertumbangan di mana-mana.

    Yang pasti OPK memang terbukti efektif menumpas para gali dan sebenarnya juga mendapat dukungan dari masyrakat luas.

    Hingga kini masyarakat kadang masih mengharapkan munculnya `petrus’ untuk menangani aksi kejahatan yang makin marak dan brutal.

    Terkait OPK yang sukses di era Orde Baru, Presiden Soeharto dalam buku otobiografinya bertajuk Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, keberadaan `petrus’ memang ditujukan untuk menimbulkan efek jera kepada para penjahat.

    “Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu itu bukan lantas dengan tembakan, begitu saja.

    Bukan! Tetapi yang melawan, ya, mau tidak mau harus ditembak,” ujarnya dalam buku yang terbit pada 1989 itu.

    Pada 2012, Komnas HAM pernah mengumpulkan fakta-fakta tentang petrus.

    Wakil Ketua Komnas HAM saat itu, Yosep Adi Prasetyo, menyatakan korban penembakan misterius atau akrab dikenal petrus terjadi pada kurun 1982-1985.

    Para korban ada di semua daerah dan umumnya memiliki tato.

    Uniknya, cara mereka tewas, dalam kondisi yang hampir sama.

    “Tangan mereka diikat ke belakang. Tali sepatu sebagai ciri, dipakai untuk mengunci kedua jempol mereka.

    Ini agar tidak bergerak. Kan jempolnya terkunci,” ujar Wakil Ketua Komnas HAM Yosep Adi Prasetyo di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Selasa (24/7/2012) lalu.

    Penggunaan tali sepatu untuk mengikat dua ibu jari korban petrus pernah terjadi kala Vietkong melawan Amerika dalam perang Vietnam.

    Menurut Yosep yang juga Ketua Tim Penyelidikan Proyustisia Komnas HAM 2011, setelah dibunuh, korban petrus diletakkan depan umum dan di atas badannya diletakkan uang Rp 10 ribu.

    Mereka dibuang ke tempat sepi, dibuang ke jurang dan ada juga yang dibuang ke Luweng Grubuk, Wonosari, Yogyakarta.

    Penyelidikan Komnas HAM, estimasi korban petrus mencapai 2 ribu orang.

    Temuan David Bourchier, dalam karyanya yang berjudul Crime, Law, and State Authority in Indonesia pada 1990, yang diterjemahkan oleh Arief Budiman, mencapai angka 10 ribu.

    Pelaku petrus dilakukan bukan orang sembarangan. Mereka sangat terlatih.

    Wajar jika eksekutor sangat terlatih, mengingat dari korban petrus ditemukan sejumlah timah panas, dan saat itu senjata api dipegang oleh aparat keamanan.

    Selain senpi, ada senjata khusus yang mereka siapkan untuk membunuh para preman yang menjadi daftar korban.

    “Selain senpi, mereka menggunakan tambang dengan kayu untuk menghabisi korbannya.

    Alat ini telah dipersiapkan sebelum eksekusi karena nampak dari takik pada kayu pegangan.

    Jenis ikatan ‘clove hitch’ menunjukkan pembuatnya orang terlatih dan mengerti tali temali,” terangnya.

  • KemenHAM Terus Kawal Penyelesaian Kasus Sirkus OCI: Pastikan Dapat Keadilan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        29 April 2025

    KemenHAM Terus Kawal Penyelesaian Kasus Sirkus OCI: Pastikan Dapat Keadilan Nasional 29 April 2025

    KemenHAM Terus Kawal Penyelesaian Kasus Sirkus OCI: Pastikan Dapat Keadilan
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) memastikan bakal mengawal penyelesaian dugaan kasus pelanggaran HAM terhadap para eks pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI).
    Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan Hak Asasi Manusia
    Kementerian HAM
    RI Munafrizal Manan mengatakan, komitmen itu akan dipegang agar para eks pemain
    sirkus OCI
    mendapatkan keadilan.
    “Kami pastikan bahwa, karena kami sudah mendapatkan kepercayaan dan harapan dari para mantan pemain sirkus, kami akan mengawal kasus ini,” kata Munafrizal Manan dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi XIII DPR RI bersama Kementerian HAM di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (28/4/2025), dikutip dari
    Antaranews
    .
    “Kami akan tetap untuk dalam posisi karena mandat diberikan kepada Kementerian HAM melakukan pembelaan HAM, kami pastikan keadilan itu akan bisa diberikan kepada mereka,” ujarnya lagi.
    Kemudian, dia mengungkapkan bahwa penanganan penyelesaian permasalahan kasus eks
    pemain sirkus OCI
    tersebut saat ini masih berproses di kementeriannya.
    “Karena ini memang kasus yang sudah lama maka tindak lanjutnya juga tentu saja butuh waktu,” katanya
    Munafrizal juga menjelaskan bahwa pihaknya sendiri telah menerima aduan dari para mantan pemain sirkus OCI pada 15 April 2025.
    “Para mantan pemain sirkus ini sudah berupaya ke berbagai tempat untuk mencari keadilan, tetapi mereka merasa seolah tertutup jalan sehingga kemudian mereka memberikan kepercayaan dan harapan kepada Kementerian HAM,” ujarnya.
    Menurut Munafrizal, Kementerian HAM langsung menindaklanjuti aduan tersebut dengan melakukan pemetaan masalah.
    Terkait penyelesaian kasus, dia mengatakan, pihaknya juga telah sampai pada proses meminta keterangan dari para ahli dan berkoodinasi dengan kementerian/lembaga (K/L) terkait lainnya.
    “Kami sudah melakukan pendalaman kepada para ahli, pakar hak asasi manusia, pakar hukum pidana, dan juga kemudian koordinasi-koordinasi dengan lembaga yang terkait,” kata Munafrizal.
    Sementara itu, Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Dewi Asmara memberikan dukungan fungsi pengawasan pihaknya bila pemerintah membentuk tim pencari fakta (TPF) independen atas dugaan kekerasan hingga eksploitasi yang dialami oleh para mantan pemain sirkus OCI.
    “Kita kan akan mengawasi pemerintah untuk itu. Ya, dikembalikan kepada pemerintah yang di sektornya itu ada Kementerian Hukum, ada Kementerian HAM,” kata Dewi ditemui usai rapat.
    “Mengenai dugaan, kemungkinan pelanggaran HAM itu akan tercermin nanti bagaimana pemerintah dengan tim mencari fakta, tetapi keperluan nanti sampai terlaksana (pembentukan TPF) atau tidak, serahkan pemerintah karena ini semua juga masih berproses,” ujarnya lagi.
    Diketahui, Wakil Menteri Hak Asasi Manusia Mugiyanto menerima audiensi dari sejumlah mantan pekerja sirkus OCI di Kantor Kementerian HAM, Jakarta pada 15 April 2025.
    Mugiyanto mengatakan bahwa Kementerian HAM akan berkoordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dan Komnas HAM, mengingat para korban sebelumnya telah melapor ke dua pihak tersebut.
    Di samping itu, untuk mendapatkan informasi yang komprehensif, Kementerian HAM berencana meminta keterangan dari pihak Taman Safari Indonesia.
    Diberitakan sebelumnya, salah satu
    eks pemain sirkus OCI
    yang juga menjadi korban, Fifi Nur Hidayah, mengaku bahwa dia mendapat penyiksaan selama dirinya dilatih sirkus baik oleh OCI atau Taman Safari Indonesia.
    Di hadapan jajaran Komisi XIII DPR RI, Fifi bahkan mengungkapkan, penyiksaan semakin terjadi ketika dipindah ke Taman Safari Indonesia sekitar tahun 1980-an.
    Bukan hanya pukulan, Fifi juga sempat disetrum hingga dipasung akibat pernah kabur namun tertangkap.
    “Saya pikir hidup saya lebih baik di sana. Saya tidak dapat penyiksaan. Ternyata di taman safari saya lebih,” ujar Fifi sembari menangis.
    “Lebih keras lagi saya dilatih. Saya dapat penyiksaan lagi pak. Sampai saya melarikan diri Karena saya enggak tahan,” katanya lagi.
    Sementara itu, Founder Oriental Circus Indonesia (OCI) dan Komisaris Taman Safari Indonesia, Tony Sumampau, membantah semua tuduhan para eks pemain sirkus.
    Menurut Tony, pelatihan sirkus memang menuntut kedisiplinan tinggi, tetapi bukan berarti ada praktik kekerasan atau penyiksaan seperti yang dituduhkan oleh sejumlah pihak.
    “Betul, pendisiplinan itu kan dalam pelatihan ya, pasti ada. Saya harus akui. Cuma kalau sampai dipukul pakai besi, itu nggak mungkin,” ujar Tony di Jakarta pada Kamis, 17 April 2025.
    Tony juga menepis kabar mengenai penyiksaan terhadap pemain sirkus yang beredar di media.
    “Kalau dibilang penyiksaan, ya itu membuat sensasi saja. Supaya orang yang dengar jadi kaget, serius gitu ya. Kalau benar-benar seperti itu, ya tidak masuk akal,” katanya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Mabes Polri Buka Suara Soal Operasi Pencarian Iptu Tomi Diwarnai Insiden Penembakan – Halaman all

    Mabes Polri Buka Suara Soal Operasi Pencarian Iptu Tomi Diwarnai Insiden Penembakan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia membenarkan adanya insiden penembakan saat operasi pencarian Iptu Tomi Samuel Marbun, Kasat Reskrim Polres Teluk Bintuni yang hilang saat mengejar KKB.

    Peristiwa penembakan terjadi di Sungai Rawara, Dstrik Moskona, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat, Minggu (27/4/2025).

    Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan tim Brimob yang tergabung dalam Satgas AB Moskona 2025 telah sigap memberikan perlindungan.

    Pihak kepolisian berhasil menyelamatkan Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits Ramandey beserta rombongan ketika terjadi serangan.

    “Benar, saat operasi kemanusiaan dalam pencarian Iptu Tomi Marbun di Sungai Rawara, Distrik Moskona, pada pukul 07.10 WIT, rombongan mendapatkan serangan tembakan dari kelompok sipil bersenjata,” ucap Trunoyudo dalam keterangan Senin (28/4/2025).

    “Tim Brimob segera melakukan tindakan perlindungan dan berhasil menyelamatkan Ketua Komnas HAM Papua dan rombongan,” ungkapnya.

    Setelah kejadian, Frits Ramandey dan rombongan berhasil dievakuasi dari lokasi kejadian.

    Mereka kemudian diterbangkan menggunakan helikopter menuju Pos Komando Taktis (Poskotis) Meyado untuk mendapatkan pengamanan lebih lanjut.

    “Alhamdulillah, atas kejadian tersebut tidak ada korban jiwa maupun luka-luka di pihak tim pencarian maupun rombongan yang diserang,” tambahnya.

    Brigjen Trunoyudo memastikan, operasi pencarian ini merupakan bagian dari misi kemanusiaan untuk menemukan keberadaan Iptu Tomi Marbun yang hilang sejak 18 Desember 2024. 

    Dalam operasi ini, Polri melibatkan berbagai unsur, termasuk Basarnas, TNI, Komnas HAM, tokoh masyarakat, dan tokoh agama, sebagai wujud transparansi dan sinergi dalam penanganan kasus.

    Meski dihadapkan pada tantangan medan berat, Polri memastikan operasi kemanusiaan ini tetap berjalan dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia.

    Sebelumnya, Iptu Tomi dilaporkan hanyut saat menyeberangi Kali Rawara, Kampung Meyah Lama, Distrik Moskona Barat saat memimpin operasi penangkapan KKB pada 18 Desember 2024.

    Operasi Moskona AB 2025 merupakan tahap ketiga setelah upaya sebelumnya pada 18–31 Desember 2024 dan 27 Januari–2 Februari 2025.

    Kasus ini turut disorot Komisi III DPR. 

    Dalam rapat di DPR RI, Senin (17/3/2025) Kapolri diminta membentuk tim pencari fakta di bawah pengawasan Komisi III. (Tribunnews.com/Reynas Abdila)