NGO: Komnas HAM

  • Komitmen segera rampungkan RUU PPRT, Baleg: Jadi atensi Presiden

    Komitmen segera rampungkan RUU PPRT, Baleg: Jadi atensi Presiden

    Jakarta (ANTARA) – Badan Legislasi (Baleg) DPR RI berkomitmen untuk segera merampungkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) karena telah menjadi atensi Presiden Prabowo Subianto.

    “RUU yang urgen itu, salah satunya adalah RUU PPRT karena ini menjadi atensi Presiden agar segera disahkan,” ucap Wakil Ketua Baleg DPR RI Ahmad Iman Sukri saat ditemui di Jakarta, Jumat.

    Menurut dia, RUU PPRT perlu segera disahkan karena Indonesia merupakan salah satu negara yang mengirim pekerja migran terbanyak ke luar negeri. Adapun rata-rata pekerja migran Indonesia (PMI) bekerja di sektor PRT.

    “[RUU PPRT] ini menjadi penting. Tujuannya apa? Agar negara memberikan perlindungan terhadap para pekerja rumah tangga,” kata Iman.

    Di sisi lain, dia menyoroti banyaknya jumlah PRT di dalam negeri. Namun, saat ini para pekerja tersebut belum mempunyai perlindungan hukum sama sekali, bahkan untuk hal paling dasar seperti kontrak kerja.

    “Karena itu, kita dorong agar RUU PPRT ini dalam masa sidang setelah reses ini akan kita bahas secara serius. Drafnya sudah ada. Ini ‘kan RUU carry over (operan), jadi tinggal melanjutkan pembahasan periode lalu dan saya yakin ini bisa segera cepat selesai,” ujar Iman.

    Sebelumnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengatakan bahwa pengesahan Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga merupakan kewajiban konstitusional sehingga perlu dilakukan segera.

    Selain itu, pengesahan RUU yang telah bergulir 21 tahun di DPR ini juga dinilai langkah penting demi memenuhi kewajiban Indonesia terhadap instrumen HAM, mewujudkan keadilan, dan memberikan perlindungan maksimal kepada kelompok rentan.

    “Komitmen Presiden Prabowo Subianto pada May Day 2025 dan dimasukkannya RUU PPRT ke Prolegnas Prioritas 2025–2029 menjadi momentum penting dan sinyal positif demi segera disahkannya RUU PPRT,” kata Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM RI Putu Elvina, Kamis (19/6).

    Komnas HAM mendorong pembentuk undang-undang, yakni DPR dan Pemerintah untuk menggunakan momentum tersebut secara maksimal, demi memberikan kepastian hukum, perlindungan, dan keadilan kepada sekitar 4,2 juta PRT di Indonesia.

    “Yang mayoritas merupakan perempuan dan kelompok rentan,” tuturnya.

    Pewarta: Fath Putra Mulya
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Menolak Penyangkalan Sejarah Kekerasan Seksual Mei 1998

    Menolak Penyangkalan Sejarah Kekerasan Seksual Mei 1998

    Jakarta

    Sudah 27 tahun berlalu sejak tragedi kelam Mei 1998 meletus di Indonesia. Namun luka sejarah itu belum benar-benar sembuh, terlebih ketika muncul upaya untuk meragukan bahkan menghapusnya dari memori kolektif bangsa.

    Yang paling menyakitkan adalah ketika negara, lewat pernyataan pejabat setingkat menteri, secara terbuka menyangkal tragedi pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa yang terjadi dalam kerusuhan tersebut.

    Pernyataan ini bukan hanya menyakiti para penyintas, tetapi juga merobek kejujuran sejarah yang telah dirawat selama puluhan tahun oleh para relawan, akademisi, dan aktivis kemanusiaan.

    Saya menilai bahwa sikap ini bukan sekadar keliru, tetapi berbahaya. Ia tidak berdiri sendiri, melainkan berkelindan dengan proyek besar yang tengah digagas pemerintah: penulisan ulang sejarah nasional.

    Jika tidak diawasi dan dikawal secara ketat, proyek ini dapat berubah menjadi upaya sistematis untuk mengaburkan kebenaran, melemahkan demokrasi, dan memutihkan pelanggaran hak asasi manusia yang telah nyata terjadi dalam sejarah bangsa ini.

    Kekerasan Seksual Mei 1998 adalah Fakta Sejarah

    Bahkan Komnas HAM telah menegaskan bahwa kekerasan seksual dalam peristiwa tersebut merupakan bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana didefinisikan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

    Tidak hanya itu, pengakuan negara pun pernah ada. Presiden BJ Habibie saat itu mengakui secara terbuka terjadinya kekerasan seksual dan membentuk Komnas Perempuan melalui Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998.

    Penyangkalan: Luka Kedua bagi Para Penyintas

    Apa yang lebih menyakitkan dari menjadi korban adalah ketika keberadaan dan pengalamannya diragukan? Inilah yang kini dialami para penyintas kekerasan seksual Mei 1998. Mereka yang telah bertahun-tahun diam dalam trauma, kini dipaksa menanggung luka kedua: penyangkalan oleh negara.

    Padahal sebagian besar dari mereka memilih diam karena khawatir keselamatannya terancam, sebagaimana yang terjadi pada aktivis relawan mendiang Ita Martadinata dan dokter Lie Dharmawan.

    Saya menolak tegas setiap bentuk upaya penyangkalan yang dilontarkan secara sepihak oleh pejabat negara. Pernyataan semacam ini bukan hanya bentuk pembelokan sejarah, tetapi juga tindakan yang tidak berempati dan melecehkan martabat para korban.

    Sejarah tidak boleh ditulis ulang demi membela nama baik elite tertentu, apalagi jika yang dipertaruhkan adalah nasib dan penghormatan terhadap korban pelanggaran HAM berat.

    DPR Akan Bertindak

    Sebagai Wakil Ketua Komisi X DPR RI, saya menyampaikan bahwa Komisi X akan memanggil Menteri Kebudayaan untuk dimintai klarifikasi. Sebab apa yang diucapkan dalam kapasitas sebagai pejabat negara tidak bisa dianggap sebagai pendapat pribadi semata. Kementerian Kebudayaan bukan sekadar institusi pelestarian seni, tetapi juga penjaga warisan sejarah. Maka jika narasi yang dibangun adalah narasi penyangkalan, ini menandakan kegagalan mendasar dalam menjalankan mandat kebudayaan bangsa.

    Saya pun mendorong agar proses penulisan ulang sejarah nasional dilakukan secara ilmiah, terbuka, dan partisipatif. Tidak boleh ada intervensi politik yang mengarah pada penyederhanaan narasi atau peniadaan fakta-fakta penting. Sejarah Indonesia tidak bisa disajikan dalam narasi tunggal yang steril dari kritik. Justru bangsa yang dewasa adalah bangsa yang berani melihat masa lalunya dengan jujur dan penuh tanggung jawab.

    Melindungi Ingatan, Merawat Keadilan

    Sejarah bukan milik penguasa, sejarah adalah milik rakyat. Ia bukan dokumen yang bisa dihapus dan ditulis ulang semaunya, tetapi kesaksian kolektif bangsa yang dibangun dari penderitaan, perjuangan, dan pengorbanan rakyat. Kita tidak boleh membiarkan tragedi sebesar pemerkosaan massal 1998 dipelintir menjadi “isu yang belum terbukti.”

    Sebab kita tahu, bukan kurang bukti yang membuat kebenaran terlambat diakui, tapi kurangnya keberanian untuk bertanggung jawab.

    Saya mengajak semua elemen bangsa, akademisi, aktivis, penyintas, jurnalis, dan warga sipil untuk tidak berhenti bersuara. Melawan lupa adalah bagian dari tanggung jawab moral generasi hari ini terhadap generasi mendatang. Karena bangsa yang besar bukanlah bangsa yang selalu merasa suci, melainkan bangsa yang mampu berdamai dengan masa lalunya, termasuk saat itu begitu kelam.

    Lalu Hadrian Irfani. Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Fraksi PKB.

    (rdp/rdp)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Ribuan Massa Grib dan MAKI Hadang Eksekusi Rumah di dr Soetomo Surabaya, Tuding Ada Mafia Tanah

    Ribuan Massa Grib dan MAKI Hadang Eksekusi Rumah di dr Soetomo Surabaya, Tuding Ada Mafia Tanah

    Surabaya (beritajatim.com) – Ribuan massa dari organisasi Grib dan MAKI memadati kawasan Jalan Dr Soetomo, Surabaya, Kamis (19/6/2025), sebagai bentuk penolakan terhadap rencana eksekusi satu unit rumah nomor 55 oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Aksi ini menjadi buntut dari polemik hukum berkepanjangan yang memicu pro dan kontra di tengah masyarakat.

    Ketua MAKI Jawa Timur, Heru Satrio, menegaskan bahwa pihaknya akan terus melakukan perlawanan terhadap proses eksekusi tersebut. Ia menyebut perkara ini menyimpan banyak kejanggalan dan sarat praktik mafia tanah.

    “Kita akan terus melawan dan akan kita buktikan bahwa ada mafia tanah dibalik ini,” ujar Heru.

    Heru menyebut, ada sekitar 500 orang dari MAKI yang turun ke lapangan, dan jumlah tersebut diperkirakan akan terus bertambah seiring partisipasi dari Grib dan berbagai elemen lainnya.

    Eksekusi rumah yang dilakukan hari ini merupakan yang ketiga kalinya, setelah dua upaya sebelumnya pada 13 dan 27 Februari 2025 gagal akibat adanya perlawanan dari pihak termohon eksekusi.

    Pembina GRIB Jawa Timur yang juga juru bicara termohon eksekusi, drg David Andreasmito, menyatakan bahwa pihaknya akan terus berupaya agar eksekusi tidak dilaksanakan. Ia menyebut bahwa eksekusi seharusnya ditunda karena berpotensi memicu konflik sosial.

    “Rencana ada 4 ribu (anggota Grib) yang akan turun. Kita tidak ada niat, cuma inisiatif masing-masing DPC kirim orang. Saya sarankan agar tiap DPC maksimal 50 supaya kondusif,” ujar David.

    Ia juga menuding bahwa proses hukum dalam perkara ini penuh rekayasa. Menurutnya, objek sengketa diperoleh dari transaksi jual beli menggunakan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) yang sudah tidak berlaku sejak 1980.

    “Sebaiknya ditunda (eksekusinya) untuk didamaikan. Sebab sudah terbukti melakukan pemalsuan. Yang menang ini calon tersangka pemalsuan, termasuk notaris. Dia beli SHGB mati sejak 1980 dari tersangka dan DPO Polda Jatim,” ujarnya.

    Lebih jauh, drg David menyebut bahwa Komnas HAM telah memberikan surat rekomendasi agar eksekusi ditunda. Ia mempertanyakan alasan pengadilan tetap memaksakan pelaksanaan eksekusi meskipun sudah ada keberatan dan indikasi pelanggaran hak.

    “Kalau tetap dilakukan eksekusi ya sama saja, pengadilan, polisi ngantar perampok untuk masuk rumah,” tegasnya.

    Sementara itu, kuasa hukum dari Handoko Wibisono, pihak yang memenangkan gugatan atas rumah tersebut, meminta semua pihak untuk menghormati putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Menurut Reno Suseno selaku tim kuasa hukum, eksekusi ini merupakan hasil dari proses jual beli sah antara kliennya dengan pemilik sebelumnya, Rudianto Santoso.

    “Tanah dan bangunan klien kami itu hasil dari jual beli yang sah dari pemilik sebelumnya Bapak Rudianto Santoso, bukan peninggalan dari Pahlawan Yos Sudarso seperti yang diklaimkan selama ini,” kata Reno.

    Ia juga mengingatkan bahwa keberhasilan atau kegagalan eksekusi ini akan berdampak besar terhadap marwah peradilan. “Jika putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap dan sudah akan dilaksanakan oleh pengadilan saja mau dilawan dan apabila sampai gagal, ke depan tentu akan menjadi preseden buruk. Eksekusi ini marwah pengadilan yang akan dipertaruhkan,” ujarnya.

    Sebagai antisipasi terhadap kemungkinan gesekan, tim kuasa hukum telah mengirimkan surat permohonan perlindungan hukum ke 42 instansi, termasuk Mahkamah Konstitusi, Komisi III DPR RI, dan Kepolisian Republik Indonesia.

    Kini, semua mata tertuju pada pelaksanaan eksekusi tersebut, di tengah ketegangan dan desakan dari berbagai pihak untuk membatalkannya demi menghindari konflik yang lebih luas. [uci/ian]

  • Muslim Arbi Khawatir Kasmudjo Meninggal Mendadak setelah Bantah sebagai Dosen Pembimbing Jokowi: Dia Saksi Kunci

    Muslim Arbi Khawatir Kasmudjo Meninggal Mendadak setelah Bantah sebagai Dosen Pembimbing Jokowi: Dia Saksi Kunci

    GELORA.CO – Kekhawatiran mendalam disampaikan pengamat politik Muslim Arbi atas keselamatan Kasmudjo, seorang dosen senior dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), yang kini tengah menjadi sorotan publik. Kasmudjo sebelumnya membuat pengakuan mengejutkan dengan menyatakan bahwa dirinya bukan pembimbing akademik Joko Widodo (Jokowi), mantan Presiden Republik Indonesia.

    Pengakuan Kasmudjo yang disampaikan dalam sebuah wawancara beberapa waktu lalu mengguncang narasi yang selama ini dibangun oleh pihak Jokowi mengenai latar belakang akademiknya di UGM. Jokowi sebelumnya menyebut bahwa Kasmudjo adalah pembimbing akademik, bahkan pernah dalam sebuah kesempatan menyatakan bahwa Kasmudjo adalah pembimbing skripsinya—klaim yang kemudian secara terang-terangan dibantah oleh Kasmudjo sendiri.

    Dalam keterangannya kepada media, Muslim Arbi menyampaikan kekhawatirannya secara terbuka:

    “Saya khawatir Pak Kasmudjo mengalami kejadian tak terduga. Pengakuan beliau sangat penting dalam membongkar kebenaran soal dugaan ijazah palsu Jokowi. Kalau sampai beliau mendadak meninggal, maka satu-satunya saksi kunci yang bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi akan hilang. Kita tidak ingin kasus ini senyap karena hilangnya bukti hidup,” ujar Muslim Arbi dalam pernyataannya kepada Radar Aktual, Selasa (17/6).

    Muslim menambahkan bahwa keselamatan Kasmudjo harus menjadi perhatian publik dan lembaga penegak hukum. Ia bahkan meminta perlindungan hukum dan jaminan keselamatan diberikan kepada dosen tersebut.

    Kasmudjo sebelumnya menyampaikan bahwa pada tahun 1985—masa ketika Jokowi diklaim sedang menyusun skripsi—dirinya belum menjadi dosen tetap, melainkan masih berstatus asisten dosen (asdos). Dalam pernyataannya, ia mengatakan:

    “Saya tidak pernah menjadi dosen pembimbing akademik Pak Jokowi. Saya juga tidak pernah membimbing skripsinya. Kalau klaim itu beredar, saya harus luruskan. Pada masa itu saya masih asisten dosen,” ujarnya dalam wawancara yang telah viral di media sosial.

    Pernyataan itu mempertegas keraguan publik terhadap validitas ijazah Jokowi dari UGM, terlebih setelah tidak ada dokumen SK penunjukan resmi yang menyatakan bahwa Kasmudjo adalah pembimbing akademik Jokowi.

    Kasmudjo kini menjadi satu-satunya figur penting yang bisa dimintai keterangan dalam proses hukum menyangkut dugaan pemalsuan ijazah Presiden ke-7 RI tersebut. Sejumlah laporan dari masyarakat sipil dan pengacara independen telah dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi maupun ke Komnas HAM, mendesak pembukaan kembali investigasi terhadap latar belakang akademik Jokowi.

    Muslim Arbi menganggap bahwa kehadiran Kasmudjo di persidangan sangat penting dan tidak bisa digantikan oleh dokumen tertulis semata.

    “Kasmudjo bukan hanya saksi biasa, tapi saksi utama. Tanpa beliau, publik kehilangan jendela utama untuk mengetahui kebenaran sejarah pendidikan Jokowi,” tegas Muslim.

    Kekhawatiran Muslim bukan tanpa alasan. Dalam beberapa kasus besar di Indonesia, saksi-saksi kunci sering kali dikabarkan wafat secara mendadak. Peristiwa semacam itu menimbulkan kecurigaan dan memunculkan istilah “silent operation” untuk menutup kasus yang berpotensi membahayakan elite kekuasaan.

    Muslim Arbi mengingatkan, jangan sampai publik kehilangan lagi orang-orang yang menyimpan informasi kunci hanya karena negara tidak memberi perlindungan memadai.

    Aktivis dan tokoh masyarakat sipil lain mulai angkat suara, meminta Komisi Yudisial, Komnas HAM, hingga KPK untuk ikut mencermati perkembangan situasi yang menimpa Kasmudjo. Mereka mendesak agar negara menjamin keselamatan pihak-pihak yang memiliki informasi penting mengenai Jokowi, khususnya dalam hal validitas ijazah sarjana yang kerap dikritik publik.

    Selain itu, dorongan agar UGM membuka dokumen asli, arsip akademik, dan SK-SK resmi terkait proses akademik Jokowi terus menguat. Jika Kasmudjo sampai meninggal dunia secara mendadak, hal itu bisa mengubur peluang kebenaran terungkap.

    “Jangan sampai ini menjadi sejarah kelam. Rakyat berhak tahu siapa yang memimpin mereka dan bagaimana latar belakang akademiknya. Negara tidak boleh tutup mata,” pungkas Muslim Arbi.

    Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak Jokowi atau UGM terkait klarifikasi ulang atas status akademik Jokowi maupun keamanan Kasmudjo sebagai saksi kunci.

  • Setara Institute: Fadli Zon Ngawur dan Manipulatif soal Pemerkosaan Massal 98

    Setara Institute: Fadli Zon Ngawur dan Manipulatif soal Pemerkosaan Massal 98

    Bisnis.com, JAKARTA — Setara Institute menilai pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon cenderung manipulatif dan sarat sensasi terkait proyek penulisan ulang sejarah Indonesia.

    Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi mengatakan penilaian pihaknya itu bersumber dari pernyataan-pernyataan Fadli Zon sejauh ini.

    “Narasi yang sejauh ini disampaikan oleh Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan terkait dengan penulisan ulang sejarah Indonesia hampir semuanya cenderung manipulatif, sarat sensasi dan muslihat alias ngawur,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (16/6/2025).

    Dia menambahkan salah satu pernyataan Fadli Zon yang dinilai keliru adalah terkait tragedi pemerkosaan massal pada 1998. Menurutnya, Fadli Zon tidak mempunyai empati saat menyangkal peristiwa tersebut.

    Terlebih, hal tersebut juga bertentangan dengan penyelidikan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) besutan Presiden ke-3 RI BJ Habibie serta temuan dari Komnas HAM maupun perempuan.

    “Fadli Zon harus menarik berbagai ucapannya yang menyangkal pemerkosaan massal dan pelanggaran HAM masa lalu serta segera meminta maaf kepada publik, khususnya para korban dan keluarga mereka,” tutur Hendardi.

    Kemudian, Hendradi menyatakan bahwa kementerian yang saat ini dipimpin oleh Fadli Zon itu tifak memiliki otoritas dalam membuat ulang narasi sejarah Indonesia. Pasalnya, pembuatan narasi itu lebih baik diserahkan kepada Kementerian yang mengurusi pendidikan.

    Di lain sisi, secara waktu pembuatan narasi ulang sejarah Indonesia harus rampung hingga 17 Agustus 2025 dinilai kurang tepat. Sebab, saat ini tidak ada urgensi atau keadaan yang mendesak untuk membuat narasi sejarah Indonesia.

    “Hal tersebut justru menguatkan kesan publik bahwa di balik proyek ini terdapat ambisi politik rezim untuk merekayasa dan membelokkan sejarah, memanfaatkan ungkapan ‘Sejarah adalah Milik Kaum Pemenang’,” imbuhnya.

    Dengan demikian, Hendradi menyarankan pemerintahan yang dipimpin Presiden Prabowo bisa mengurungkan niat untuk menulis ulang sejarah Indonesia.

    Sebab, selain perlu dialog yang panjang dan mendalam. Pemerintah juga harus dapat mengungkap terlebih dahulu kasus pelanggaran HAM di masa lampau.

     “Pada saat yang sama, Pemerintah RI harus menunjukkan i’tikad untuk mengungkapkan kebenaran di balik kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu dan saat ini, alih-alih secara instan dan represif menulis ulang sejarah sesuai dengan selera rezim,” pungkas Hendardi.

  • 2 Hal dari Fadli Zon yang Dikritik Koalisi Sipil soal Perkosaan Massal ’98

    2 Hal dari Fadli Zon yang Dikritik Koalisi Sipil soal Perkosaan Massal ’98

    2 Hal dari Fadli Zon yang Dikritik Koalisi Sipil soal Perkosaan Massal ’98
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Koalisi Masyarakat Sipil
    Melawan Impunitas mengecam keras pernyataan Menteri Kebudayaan
    Fadli Zon
    yang dinilai menyesatkan dan merendahkan perjuangan para korban kekerasan seksual dalam Peristiwa Mei 1998.
    “Pertama, ia menyatakan bahwa tidak terdapat bukti kekerasan terhadap perempuan, termasuk
    perkosaan massal
    , dalam peristiwa tersebut,” kata Koalisi, dilansir siaran pers di situs web KontraS, Senin (16/6/2025).
    Kecaman tersebut disampaikan dalam pernyataan bersama yang dirilis pada 12 Juni 2025, menanggapi pernyataan Fadli dalam video wawancara bertajuk “Real Talk: Debat Panas!! Fadli Zon vs Uni Lubis Soal Revisi Buku Sejarah” yang tayang di kanal YouTube IDN Times pada 10 Juni 2025.
    Poin kedua yang disoroti Koalisi, Fadli Zon mengeklaim bahwa isu tersebut hanyalah “rumor” dan tidak pernah tercatat dalam buku sejarah.
    Pernyataan ini dinilai merupakan bentuk manipulasi, pengaburan sejarah, serta pelecehan terhadap upaya pengungkapan kebenaran atas tragedi kemanusiaan yang terjadi, khususnya kekerasan terhadap perempuan.
    Koalisi menilai pernyataan tersebut juga melecehkan kerja-kerja investigatif Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Komnas HAM yang telah mendokumentasikan secara rinci berbagai bentuk kekerasan seksual yang terjadi selama kerusuhan Mei 1998, termasuk perkosaan massal terhadap perempuan, mayoritas dari etnis Tionghoa.
    Menurut laporan akhir TGPF pada 23 Oktober 1998, ditemukan setidaknya 52 korban perkosaan, 14 korban perkosaan disertai penganiayaan, serta puluhan korban serangan dan pelecehan seksual lain di Jakarta, Medan, Surabaya, dan sejumlah wilayah lainnya.
    TGPF juga mencatat bahwa sebagian besar kekerasan seksual yang terjadi adalah “gang rape”, dilakukan oleh beberapa pelaku secara bergantian dan kerap disaksikan orang lain.
    Koalisi menyebut bahwa pernyataan Fadli Zon mengingkari bukti-bukti tersebut dan berpotensi memperkuat budaya impunitas atas pelanggaran berat HAM masa lalu.
    Lebih dari itu, sikap tersebut juga dianggap sebagai upaya sistematis untuk menghapus narasi kekerasan seksual Mei 1998 dari sejarah resmi Indonesia.
    “Pernyataan Fadli Zon mencerminkan upaya sistematis untuk menghapus jejak pelanggaran HAM di masa Orde Baru, dengan cara meniadakan narasi tentang peristiwa kekerasan seksual Mei 1998 dan pelanggaran berat HAM lainnya dari buku-buku sejarah yang sedang direvisi,” ungkap koalisi.
    Negara pun disebut mengalami kemunduran dalam menjamin perlindungan kepada perempuan jika sepakat dengan pernyataan Fadli Zon.
    Koalisi juga mengkritik peran Fadli Zon yang saat ini memimpin proyek revisi penulisan sejarah nasional dan menjabat sebagai Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK).
    Jabatan strategis ini dinilai memberi Fadli ruang untuk mengarahkan narasi sejarah nasional, termasuk potensi rehabilitasi politik terhadap figur-figur kontroversial dari era Orde Baru.
    Salah satu kekhawatiran Koalisi adalah menguatnya kembali wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Soeharto.
    Padahal, Soeharto dinilai sebagai tokoh sentral dalam berbagai pelanggaran HAM berat dan praktik korupsi selama masa kepemimpinannya.
    “Fadli Zon secara terbuka pernah menyatakan bahwa Soeharto layak mendapat gelar pahlawan. Ini jelas bertolak belakang dengan fakta sejarah dan menyinggung rasa keadilan para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di masa lalu,” tutur koalisi.
    Dalam pernyataan tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas menyampaikan sejumlah tuntutan:
    1. Menuntut Fadli Zon mencabut pernyataannya dan meminta maaf secara terbuka kepada para korban kekerasan seksual Mei 1998.
    2. Mendesak pembatalan pengangkatan Fadli Zon sebagai Ketua GTK (Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan -red)
    3. Meminta Kementerian Kebudayaan menghentikan proyek penulisan sejarah nasional yang dinilai tidak partisipatif dan berpotensi ahistoris.
    4. Menolak segala bentuk upaya rehabilitasi politik terhadap tokoh-tokoh bermasalah dari Orde Baru, termasuk wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto.
    5. Mendesak Jaksa Agung segera menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM sesuai UU Pengadilan HAM.
    6. Menegaskan pentingnya menjaga hasil kerja TGPF, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan sebagai pijakan sejarah bangsa yang adil dan bermartabat.
    Sebelumnya, banyak pihak mengecam pernyataan Fadli Zon yang menyangkal terjadinya pemerkosaan massal pada Mei 1998 lalu.
    Dalam wawancara bersama IDN Times, Fadli Zon mengeklaim peristiwa pemerkosaan massal tahun 1998 tidak ada buktinya.
    Menurutnya, peristiwa itu hanya berdasarkan rumor yang beredar dan tidak pernah ada bukti pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 1998.
    “Nah, ada perkosaan massal. Betul enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu enggak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada,” ucap Fadli Zon dalam program Real Talk with Uni Lubis, Senin (8/6/2025).
    Fadli mengaku pernah membantah keterangan tim pencari fakta yang pernah memberikan keterangan ada pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 98.
    “Saya sendiri pernah membantah itu dan mereka tidak bisa buktikan. Maksud saya adalah, sejarah yang kita buat ini adalah sejarah yang bisa mempersatukan bangsa dan tone-nya harus begitu,” ujar Fadli Zon.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Perjanjian Helsinki: Begini Isi, Proses Perdamaian, hingga Dampaknya

    Perjanjian Helsinki: Begini Isi, Proses Perdamaian, hingga Dampaknya

    Jakarta, Beritasatu.com – Kesepakatan Helsinki kembali menjadi sorotan setelah munculnya sengketa mengenai empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara, yakni Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Kecil, dan Pulau Mangkir Besar.

    Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang menjadi salah satu tokoh penting dalam proses perdamaian ini, menegaskan bahwa wilayah Aceh merujuk pada batas yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara.

    Perjanjian yang dicapai pada 2005 ini merupakan tonggak penting dalam sejarah perdamaian Indonesia, khususnya dalam mengakhiri konflik berkepanjangan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah pusat.

    Lantas, apa sebenarnya isi, proses terjadinya, dan dampak dari kesepakatan Helsinki ini? Dihimpun dari berbagai sumber, berikut penjelasannya!

    Isi Kesepakatan Helsinki

    Mengacu pada dokumen resmi kesepakatan Helsinki yang dipublikasikan oleh PPID Provinsi Aceh, isi perjanjian ini terdiri dari enam poin utama:

    1. Pemerintahan Aceh

    Bagian pertama membahas penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, termasuk pengakuan atas batas wilayah berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara.

    Aceh mendapatkan hak otonomi khusus, pembentukan peraturan daerah (Qanun), dan kehadiran lembaga adat seperti Wali Nanggroe. Selain itu, partisipasi politik masyarakat Aceh juga dijamin secara sah.

    2. Hak asasi manusia (HAM)

    Pemerintah Indonesia menyatakan komitmennya terhadap Kovenan Internasional HAM PBB, termasuk pembentukan Pengadilan HAM di Aceh dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

    3. Amnesti dan reintegrasi

    Pemerintah memberikan amnesti kepada anggota GAM dengan syarat tertentu, serta memungkinkan mereka yang sempat kehilangan kewarganegaraan untuk kembali menjadi warga Indonesia.

    4. Pengamanan

    Kesepakatan Helsinki juga mencakup penyerahan senjata oleh GAM, demobilisasi pasukan mereka, serta penghentian kekerasan oleh semua pihak. Pemerintah diwajibkan menarik pasukan militer dan polisi nonorganik dari Aceh.

    5. Misi pemantauan Aceh

    Uni Eropa dan sejumlah negara ASEAN membentuk Misi Monitoring Aceh (AMM) untuk mengawasi implementasi perjanjian dan memastikan kepatuhan dari semua pihak.

    6. Penyelesaian perselisihan

    Jika terjadi perselisihan dalam implementasi perjanjian, penyelesaiannya dilakukan secara musyawarah melalui kepala AMM. Bila musyawarah gagal, masalah akan dilaporkan kepada menkopolhukam RI, pimpinan GAM, dan pihak internasional terkait.

    Proses Terbentuknya Kesepakatan Helsinki

    Kesepakatan Helsinki tidak terjadi begitu saja. Salah satu pemicunya adalah bencana dahsyat tsunami Aceh pada akhir 2004. Secara umum, ada tiga faktor utama yang mendorong GAM dan pemerintah Indonesia untuk duduk bersama:

    Bencana tsunami 2004 yang menghancurkan sebagian besar wilayah Aceh.Pelemahan kekuatan militer GAM setelah diberlakukannya darurat militer pada 2003.Naiknya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla yang dikenal memiliki komitmen terhadap demokrasi dan penyelesaian konflik secara damai.

    Putaran pertama (28-30 Januari 2005)

    Diselenggarakan di Vantaa, Finlandia, suasana awal perundingan berlangsung cukup menegangkan. Meski begitu, kedua belah pihak menyetujui untuk melanjutkan perundingan.

    Putaran kedua (21-23 Februari 2005)

    Fokus utama diskusi adalah mengenai otonomi khusus untuk Aceh. Meskipun belum menghasilkan kesepakatan final, dialog tetap berjalan.

    Putaran ketiga (12-16 April 2005)

    Ketegangan mulai mencair. Kedua pihak bertukar rancangan tertulis terkait keinginan masing-masing. Salah satu hasil penting adalah komitmen bersama untuk tidak mengerahkan pasukan dan menyepakati transparansi dalam pengelolaan dana.

    Putaran keempat (26-31 Mei 2005)

    Pembahasan berfokus pada pembentukan partai politik lokal. Meskipun cukup kompleks, disepakati bahwa poin ini akan dimasukkan dalam draf kesepakatan sebagai bagian dari otonomi khusus.

    Putaran kelima (12-17 Juli 2005)

    Dalam pertemuan penutup ini, naskah memorandum of understanding (MoU) dirumuskan dan ditandatangani oleh Hamid Awaluddin mewakili Pemerintah Indonesia, Malik Mahmud dari pihak GAM, dan Martti Ahtisaari selaku fasilitator internasional.

    Dampak Kesepakatan Helsinki

    Menurut Komnas HAM, Kesepakatan Helsinki memberi dampak besar dalam menghentikan konflik antara GAM dan pemerintah Indonesia. Ini tidak hanya menghentikan pertumpahan darah, tapi juga membawa perubahan positif di berbagai bidang.

    1. Stabilitas keamanan

    Pasca penandatanganan, konflik bersenjata di Aceh berhenti total. Masyarakat bisa kembali hidup dalam suasana damai dan aman.

    2. Pembangunan sosial dan ekonomi

    Dengan terciptanya perdamaian, pembangunan kembali dilakukan. Infrastruktur seperti jalan, irigasi, dan fasilitas air bersih dibangun kembali. Bantuan sosial dan kemanusiaan juga meningkat.

    3. Representasi politik

    Aceh memperoleh hak membentuk partai lokal. Hal ini memperkuat demokrasi lokal dan memberikan ruang lebih luas untuk keterwakilan masyarakat Aceh dalam pemerintahan.

    4. Pengakuan sejarah

    Sebagaimana disampaikan oleh Jusuf Kalla, wilayah seperti Pulau Panjang dan Pulau Lipan memiliki ikatan historis dengan Aceh. Kesepakatan Helsinki mengacu pada UU 1956, yang menjadi dasar pengakuan atas wilayah Aceh, menjadikannya relevan dalam isu batas wilayah yang kini kembali diperbincangkan.

    Kesepakatan Helsinki merupakan hasil dari niat baik dan kesungguhan semua pihak dalam menyelesaikan konflik Aceh secara damai dan bermartabat. Perjanjian ini menjadi simbol keberhasilan diplomasi dan dialog dalam menyelesaikan konflik yang telah berlangsung puluhan tahun. 

  • 1
                    
                        Profil Novel Baswedan, Eks Penyidik KPK yang Jadi Wakil Kepala Satgassus Optimalisasi Penerimaan Negara
                        Nasional

    1 Profil Novel Baswedan, Eks Penyidik KPK yang Jadi Wakil Kepala Satgassus Optimalisasi Penerimaan Negara Nasional

    Profil Novel Baswedan, Eks Penyidik KPK yang Jadi Wakil Kepala Satgassus Optimalisasi Penerimaan Negara
    Editor
    KOMPAS.com

    Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo
    menunjuk
    Novel Baswedan
    sebagai
    Wakil Kepala Satgassus Optimalisasi Penerimaan Negara
    .
    Nama Novel Baswedan sudah tak asing lagi di publik.
    Pria kelahiran Semarang pada 22 Juni 1977 itu merupakan lulusan akademi kepolisian (akpol) tahun 1998.
    Mabes Polri kemudian menugaskan Novel untuk bergabung dengan
    KPK
    pada tahun 2007.
    Setelah lima tahun menjadi anggota Polri yang bertugas sebagai penyidik di KPK, Novel memutuskan untuk pensiun dini dari Korps Bhayangkara.
    Ia mundur dari institusi kepolisian untuk fokus bekerja di KPK.
    Dilansir dari Tribunnews, Novel Baswedan mengungkapkan alasan berhenti menjadi anggota polisi dan tetap memilih bekerja di KPK saat diwawancara Pandji Pragiwaksono di channel YouTube Pandji Pragiwaksono, Senin (25/3/2019).
    Novel menyebut, setelah diterima menjadi penyidik KPK, ada kendala saat menduduki dua jabatan secara bersamaan di Polri dan KPK.
    Ia menjadi tidak bisa maksimal dalam melakukan penyidikan terhadap suatu kasus karena rawan diintervensi atasannya di Polri.
    Untuk itu, Novel memutuskan berhenti menjadi anggota Polri dan memilih melanjutkan di KPK.
    “Ternyata problematikanya itu ketika saya masih menjadi anggota Polri, saya dengan sangat mudah terintervensi dengan atasan saya,” ujar Novel.
    “Ketika itu yang terjadi, pada saat saya melakukan penyidikan perkara terkait dengan petinggi Polri, maka saya memilih jalan terbaik untuk memilih salah satu dan saya mengajukan pensiun di Polri dan saya kira itu bentuk profesionalisme,” tutur dia.
    Novel pun mengaku bisa bekerja optimal tanpa intervensi setelah memilih menjadi pegawai KPK.
    “Saya ingin sekarang berbuat semaksimal mungkin untuk kepentingan bangsa dan negara dan saya juga enggak tahu berapa lama saya mati,” kata dia.
     
    Novel tercatat menangani beberapa kasus mega korupsi, bahkan yang terjadi di tubuh kepolisian, salah satunya pengungkapan kasus korupsi simulator SIM yang melibatkan sejumlah pejabat kepolisian pada tahun 2012.
    Mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Djoko Susilo dan mantan Wakil Kepala Korlantas Polri Brigjen (Pol) Didik Purnomo adalah dua nama pejabat yang tersandung kasus tersebut.

    Novel juga ikut serta dalam penetapan tersangka Komisaris Jenderal Budi Gunawan pada tahun 2015.
    Budi Gunawan ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK atas dugaan transaksi mencurigakan atau tak wajar. Saat itu, Budi Gunawan merupakan calon tunggal Kepala Kepolisian RI yang ditunjuk oleh Presiden Jokowi.
    Novel dikenal kritis dan tak ragu menyampaikan sikap meskipun kadang tak sejalan dengan pimpinan KPK.
    Karir Novel di KPK terhenti setelah ia diberhentikan dari lembaga antirasuah.
    Novel merupakan satu dari 75 pegawai yang dinyatakan tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai syarat alih status pegawai KPK menjadi ASN.
    Kemudian, dari 75 pegawai itu, 24 orang dinyatakan masih dapat dibina dan diangkat menjadi ASN, sedangkan 51 sisanya dianggap punya rapor merah dan tidak bisa lagi mendapatkan pembinaan.
    Dari 24 orang tersebut, hanya 18 orang yang bersedia mengikuti diklat bela negara untuk dapat menjadi ASN dan bertahan di KPK.
    Dengan begitu, ada 56 pegawai yang akhirnya tak bisa berstatus ASN dan harus diberhentikan dari KPK. Novel menjadi salah satu dari 56 pegawai yang diberhentikan dengan hormat oleh KPK pada 30 September.
     
    Nama Novel Baswedan menjadi sorotan setelah menjadi korban penyerangan oleh orang tak dikenal dengan air keras.
    Dilansir dari Surya.co.id, kejadian itu terjadi pada subuh 11 April 2017.
    Novel disiram dengan air keras oleh orang tak dikenal di dekat kediamannya di Kelapa Gading, Jakarta Utara.
    Serangan tersebut terjadi di tengah upaya Novel menyelidiki kasus korupsi pengadaan KTP Elektronik yang melibatkan anggota DPR serta oknum pemerintah, dan telah menjerat Ketua DPR Setya Novanto.
    Akibat serangan dengan air keras, keesokan harinya, Novel diterbangkan ke Singapura untuk menjalani operasi dan perawatan matanya, yang berakhir pada Februari 2018 ketika ia kembali ke Indonesia.
    Serangan itu menyebabkan kebutaan permanen pada mata kirinya akibat air keras yang mengenai wajah.
    Polri kemudian membentuk tim gabungan pencari fakta yang terdiri dari penyidik KPK, anggota kepolisian, Komnas HAM, serta akademisi pada Januari 2019 sebagai upaya penyelidikan serangan terhadap Novel.
    Tim gabungan tersebut berjalan di bawah komando mantan Kapolri Tito Karnavian.
    Setelah penyelidikan berjalan beberapa bulan tanpa perkembangan, Presiden ke-7 RI Joko Widodo pada saat itu memberikan tenggat 1 bulan kepada Idham Azis untuk menyelesaikan kasus penyerangan Novel setelah pelantikannya sebagai Kapolri pada 1 November 2019.
    Pada 26 Desember 2019, Polri menyatakan bahwa pelaku penyerangan Novel telah berhasil ditangkap.
    Dua pelaku tersebut adalah Ronny Bugis dan Rahmat Kadir, dan merupakan anggota aktif kepolisian.
    Novel menyatakan, bahwa kedua pelaku tersebut hanyalah orang suruhan, dan meminta kepolisian mengungkap dalang utama yang memerintahkan kedua pelaku.
    (KOMPAS.COM/IRFAN KAMIL)
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Komnas HAM Desak Presiden Prabowo Bentuk Tim Penyelesaian Konflik di Papua
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        16 Juni 2025

    Komnas HAM Desak Presiden Prabowo Bentuk Tim Penyelesaian Konflik di Papua Regional 16 Juni 2025

    Komnas HAM Desak Presiden Prabowo Bentuk Tim Penyelesaian Konflik di Papua
    Tim Redaksi
    JAYAPURA, KOMPAS.com

    Konflik bersenjata
    antara Tentara Nasional Pembebasan
    Papua
    Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) dan aparat keamanan
    TNI-Polri
    terus meningkat di Papua, menyebabkan banyak korban jiwa dan luka-luka setiap tahun.
    Komnas HAM
    Papua mencatat, pada semester pertama tahun ini, terdapat 75 korban, di mana 50 orang di antaranya meninggal dunia dan 25 orang mengalami luka-luka.
    Dari total 75 korban, mayoritas adalah warga sipil, dengan 48 orang teridentifikasi, di mana 35 di antaranya meninggal dan 13 lainnya luka-luka.
    Menanggapi situasi ini, Ketua Komnas HAM RI Perwakilan Papua, Frits Ramandey, mengingatkan Presiden Prabowo Subianto untuk segera membentuk tim penyelesaian konflik kekerasan di Papua.
    “Ini sebagai bagian dari langkah konkret untuk menyelesaikan berbagai kekerasan yang menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM di Papua,” ungkapnya dalam keterangan pers di Kantor Komnas HAM RI Perwakilan Papua, Minggu (15/6/2025).
    Frits juga meminta pemerintah pusat dan daerah memberikan jaminan keamanan bagi seluruh warga negara Indonesia yang tinggal di Papua.
    “Mari menciptakan situasi keamanan yang kondusif dan tidak menggunakan security approach serta membenahi tata kelola keamanan wilayah dan melakukan pendekatan sosial budaya sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal setempat,” ujarnya.
    Dia mendorong para gubernur, bupati, dan wali kota di seluruh Papua untuk mengambil langkah konkret melalui program kerja atau kebijakan yang sejalan dengan semangat afirmasi.
    Itu untuk memastikan pemenuhan hak-hak dasar warga negara dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya, termasuk jaminan keamanan.
    “Meminta para Kapolda se-tanah Papua untuk melakukan penegakan hukum secara cepat, tepat, dan terukur terhadap para pelaku kekerasan, dengan memastikan tindakan anggota dalam penegakan hukum dilakukan secara profesional, objektif, akuntabel, serta menjunjung tinggi nilai-nilai dan prinsip HAM,” ujarnya.
    Frits juga meminta aparat keamanan dan TPNPB-OPM menghormati hukum HAM dan hukum humaniter, serta memastikan rasa aman bagi warga sipil.
    “Mendesak kelompok sipil bersenjata atau TPNPB-OPM, untuk tidak melakukan tindakan perusakan yang mengakibatkan kerusakan harta benda dan terganggunya kondisi keamanan di wilayah Papua,” tegasnya.
    Dia mengekspresikan duka cita mendalam kepada seluruh keluarga korban yang meninggal dan terluka akibat rentetan kekerasan yang terus terjadi di Papua.
    “Kondisi ini harus menjadi perhatian serius semua pihak, terutama pemerintah, bahwa siklus kekerasan di tanah Papua selalu merenggut nyawa manusia dan cenderung meningkat,” tutup Frits.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Membaca Kembali Penyesalan Habibie atas Pemerkosaan Massal 1998, Saat Fadli Zon Menyebutnya Hanya Rumor

    Membaca Kembali Penyesalan Habibie atas Pemerkosaan Massal 1998, Saat Fadli Zon Menyebutnya Hanya Rumor

    Membaca Kembali Penyesalan Habibie atas Pemerkosaan Massal 1998, Saat Fadli Zon Menyebutnya Hanya Rumor
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pada 15 Juli 1998, Presiden Ketiga Republik Indonesia,
    BJ Habibie
    , mengeluarkan pernyataan genting atas peristiwa yang turut menjadi warna kelam sejarah bangsa Indonesia untuk melahirkan era reformasi.
    Pernyataan itu berkaitan dengan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam bentuk perkosaan yang terjadi dalam proses pergantian rezim saat itu.
    Habibie membacakan selembar kertas pernyataan yang kini diabadikan dalam prasasti yang terpampang di depan pintu masuk kantor Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.
    Pernyataan itu dengan jelas memberikan pengakuan dan penyesalan negara atas peristiwa pemerkosaan yang pernah terjadi.
    “Setelah saya mendengar laporan dari ibu-ibu tokoh Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan, dengan bukti-bukti yang nyata dan otentik, mengenai kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apa pun juga di bumi Indonesia pada umumnya dan khususnya yang terjadi pada pertengahan bulan Mei 1998, menyatakan penyesalan yang mendalam terhadap terjadinya kekerasan tersebut yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia,”
    kata Habibie.
    Dalam pernyataannya, Habibie atas nama kepala negara saat itu tidak hanya mengakui dan menyesal. Habibie juga menjanjikan pemerintah akan memberikan perlindungan keamanan kepada seluruh masyarakat untuk menghindari terulangnya kasus serupa yang disebut “sangat tidak manusiawi dalam sejarah bangsa Indonesia”.
    Habibie juga meminta agar masyarakat meningkatkan kewaspadaan dan melaporkan segera jika melihat adanya kekerasan terhadap perempuan di mana pun.
    Di akhir pernyataannya, Habibie kembali menegaskan atas nama pemerintah mengutuk aksi kekerasan dan peristiwa kerusuhan yang terjadi, termasuk kekerasan terhadap perempuan.
    Pergantian tampuk kepemimpinan negeri ini dari rezim Orde Baru menuju Era Reformasi diawali dengan pembentukan berbagai lembaga baru.
    Kelahiran pertama lembaga baru tersebut adalah Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (
    Komnas Perempuan
    ) yang ditetapkan lewat Presiden No. 181 Tahun 1998, pada tanggal 9 Oktober 1998.
    Karenanya, lembaga yang berkantor di Jalan Latuharhary Nomor 4B, Menteng, Jakarta Pusat ini sering dijuluki sebagai “Anak Sulung Reformasi”.
    Mereka kemudian dikuatkan oleh Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 Junto Peraturan Presiden No 8 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005 Tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.
    Lembaga yang berusia 26 tahun ini ditugaskan untuk menjaga agar peristiwa perkosaan massal tidak terulang lagi.
    Namun, peristiwa yang telah diakui negara itu kini hanya disebut sebagai rumor oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon.
    Dalam wawancara bersama IDN Times, Fadli Zon mengeklaim peristiwa pemerkosaan massal tahun 1998 tidak ada buktinya.
    Menurutnya, peristiwa itu hanya berdasarkan rumor yang beredar dan tidak pernah ada bukti pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 1998.
    “Nah, ada perkosaan massal. Betul enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu enggak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada,” ucap Fadli Zon dalam program Real Talk with Uni Lubis, Senin (8/6/2025).
    Fadli mengaku pernah membantah keterangan tim pencari fakta yang pernah memberikan keterangan ada pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 98.
    “Saya sendiri pernah membantah itu dan mereka tidak bisa buktikan. Maksud saya adalah, sejarah yang kita buat ini adalah sejarah yang bisa mempersatukan bangsa dan
    tone
    -nya harus begitu,” ujar Fadli Zon.
    Namun, laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kasus Kerusuhan 13-15 Mei 1998 berkata lain dengan pernyataan Fadli Zon.
    Sebagai informasi, TGPF Kasus Kerusuhan 13-15 Mei 1998 dibentuk berdasarkan keputusan bersama Menteri Pertahanan/Panglima ABRI, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Negara PEranan Wanita, dan Jaksa Agung.
    Adapun anggota TGPF terdiri dari unsur pemerintah, Komnas HAM, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan organisasi kemasyarakatan (ormas) lainnya.
    Dalam laporan tersebut, TGPF menemukan adanya tindak kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta, Medan, dan Surabaya dalam kerusuhan 1998. Bentuk kekerasan seksual dibagi dalam empat kategori, yakni pemerkosaan (52 korban), pemerkosaan dengan penganiayaan (14 orang), penyerangan/penganiayaan seksual (10 orang), dan pelecehan seksual (9 orang).
    Hal ini yang menjadi pengakuan resmi negara terkait fakta kekerasan seksual terhadap perempuan dalam Tragedi Mei 1998, yang ditindaklanjuti dengan pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melalui Keppres No. 181 Tahun 1998.
    Komisioner Komnas Perempuan, Dahlia Madanih, mengatakan, sikap Fadli Zon yang menyebut fakta ini sebagai rumor sangat menyakitkan, khususnya bagi para korban.
    “Penyintas sudah terlalu lama memikul beban dalam diam. Penyangkalan ini bukan hanya menyakitkan, tapi juga memperpanjang impunitas,” katanya.
    Dia juga mengingatkan, dokumen TGPF dan pengakuan Presiden Habibie adalah produk resmi negara.
    Mengatakan perkosaan sebagai rumor bisa saja menyebut negara membuat sebuah kebohongan di tengah-tengah masyarakat.
    “Oleh karenanya, menyangkal dokumen resmi TGPF berarti mengabaikan jerih payah kolektif bangsa dalam menapaki jalan keadilan. Sikap semacam itu justru menjauhkan kita dari pemulihan yang tulus dan menyeluruh bagi para penyintas,” imbuh Dahlia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.