NGO: Komnas HAM

  • Konflik Agraria yang Tak Kunjung Usai
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        3 Desember 2025

    Konflik Agraria yang Tak Kunjung Usai Nasional 3 Desember 2025

    Konflik Agraria yang Tak Kunjung Usai
    Seorang yang suka menulis
    PENEMBAKAN
    lima petani di Desa Kembang Seri, Kecamatan Pino Raya, Kabupaten Bengkulu Selatan, pada 24 November 2025 menjadi alarm keras tentang betapa rapuhnya tata kelola agraria di Indonesia. Ketika tanah yang menjadi sumber hidup warga diperlakukan sebagai objek ekonomi semata, konflik hanya menunggu pemicu terakhir.
    Di Pino Raya, pemicu itu hadir dalam bentuk buldoser yang meratakan tanaman milik warga dan dugaan senjata api yang meletus di tengah keributan.
    Peristiwa bermula saat petani memergoki alat berat PT ABS merusak lahan garapan mereka. Protes spontan berubah menjadi benturan fisik. Situasi memanas, hingga muncul dugaan bahwa petugas keamanan perusahaan menembakkan pistol ke arah warga. Lima petani terluka di lutut, paha, betis, dada, dan rusuk bawah ketiak. Satu korban mengalami luka berat akibat tembakan di dada.
    Pemerintah Provinsi Bengkulu menyiapkan kuasa hukum untuk mendampingi para korban, tetapi upaya pendampingan tidak menghapus trauma yang tertanam. Penyelidikan masih berjalan. Kepolisian memeriksa izin dan kepemilikan senjata api yang digunakan dalam insiden tersebut.
    Manajer kebun PT ABS mengaku tidak mengetahui keberadaan senjata api di tangan satuan keamanan perusahaan. Pengakuan ini justru menambah ketidakpastian dan memperkuat dugaan adanya kelalaian dalam pengelolaan keamanan perusahaan. Reaksi publik berlangsung cepat.
    WALHI Bengkulu mendesak kepolisian menetapkan tersangka. Komnas HAM mengecam penggunaan kekerasan bersenjata terhadap warga sipil dan meminta Kementerian ATR/BPN segera menangani
    konflik agraria
    yang telah menahun. KontraS mengkritik lemahnya pengawasan terhadap kepemilikan senjata oleh perusahaan. Mahasiswa dan berbagai organisasi masyarakat turun ke jalan, bahkan menyegel aula kantor BPN Bengkulu sebagai bentuk protes.
    DPRD Bengkulu Selatan berencana memanggil PT ABS untuk dimintai keterangan. Pemerintah Kabupaten Bengkulu Selatan membentuk tim khusus dengan tenggat waktu satu bulan. Namun, pembentukan tim tidak serta-merta menyentuh akar persoalan yang sudah mengakar sejak 2012, ketika Surat Keputusan Bupati menetapkan izin lokasi perkebunan bagi PT ABS.
    Konflik agraria Pino Raya bukan soal sengketa sesaat. Konflik ini mencerminkan masalah struktural dalam kebijakan agraria yang terlalu mudah mengorbankan ruang hidup warga.
    Pino Raya bukan kasus tunggal. Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat 241 konflik pada tahun 2023 dengan ratusan ribu keluarga terdampak. Konflik di Rempang, Wadas, dan berbagai wilayah perkebunan sawit memperlihatkan pola yang serupa. Ketika hak ulayat atau tanah garapan tidak diakui, dan ketika izin perusahaan dikeluarkan tanpa konsultasi bermakna, benturan menjadi tak terhindarkan.
    Di Rempang, proyek Eco City memicu perlawanan masyarakat adat Melayu Tua yang menolak relokasi dari kampung tua. Di Wadas, warga memprotes tambang andesit untuk Bendungan Bener karena khawatir kehilangan lahan pertanian dan mengalami kerusakan lingkungan.
    Konflik sawit berlangsung konsisten selama satu dekade, termasuk kasus antara warga dengan PTPN V di Riau maupun berbagai perusahaan lainnya. Di sejumlah wilayah, konflik serupa dipicu oleh pertambangan, pembangunan Ibu Kota Nusantara, serta proyek strategis nasional lainnya.
    Akar konflik sebenarnya jelas. Ketimpangan penguasaan tanah terlalu besar, kepastian hukum
    hak atas tanah
    sangat lemah, dan negara belum menunjukkan keberpihakan yang tegas terhadap masyarakat yang tinggal di atas tanah yang mereka kelola turun-temurun.
    Konflik agraria tidak pernah berdiri di ruang kosong. Konflik adalah hasil dari keputusan administratif yang mengabaikan partisipasi publik. Proses konsultasi kerap bersifat formalitas. Dialog tidak ditempatkan sebagai mekanisme utama dalam penyelesaian masalah. Ketika konflik pecah, aparat dipanggil, warga terluka, dan negara kembali bertanya bagaimana semua ini bisa terjadi.
    Penembakan di Pino Raya adalah cerminan kehadiran negara yang terlambat. Negara hadir hanya setelah ada korban. Padahal, pemerintah memiliki mandat untuk memastikan proses perizinan, pengawasan kepemilikan senjata, dan pengelolaan investasi berjalan tanpa melanggar hak dasar warga.
    Penyelesaian konflik agraria membutuhkan komitmen yang lebih kuat daripada sekadar membentuk tim ad hoc. Beberapa langkah penting perlu menjadi agenda prioritas:
    Reformasi agraria tidak dapat ditunda. Konflik agraria tidak boleh menjadi bab berulang yang terus ditulis dengan tinta darah warga.
    Tragedi di Pino Raya seharusnya menjadi momentum evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan agraria. Petani adalah penjaga lanskap pangan, bukan ancaman bagi investasi. Tanah adalah sumber kehidupan, bukan sekadar angka dalam rencana bisnis.
    Selama investasi lebih penting daripada keamanan rakyat, konflik akan terus muncul. Selama dialog tidak diberi ruang yang memadai, peluru akan terus menemukan korbannya. Negara memiliki pilihan yang jelas: memperbaiki tata kelola agraria atau membiarkan konflik Pino Raya menjadi bagian dari daftar panjang tragedi yang sebenarnya dapat dicegah.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 8
                    
                        Menanti Kemunculan Anggota DPR dari Masyarakat Adat…
                        Nasional

    8 Menanti Kemunculan Anggota DPR dari Masyarakat Adat… Nasional

    Menanti Kemunculan Anggota DPR dari Masyarakat Adat…
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pada November tahun lalu, anggota parlemen suku Maori asli menghentikan sidang parlemen Selandia Baru dengan tarian perang “haka Ka Mate”.
    Tarian ini dipantik oleh Hana-Rawhiti Maipi-Clarke (22) yang meneriakkan “Ka mate, ka mate, ka ora, ka ora!” di ruang sidang. Suara itu menggelegar.
    Teriakan yang berarti “aku mati, aku mati, aku hidup, aku hidup,” itu dilakukan oleh Hana dalam pembahasan rancangan undang-undang terkait prinsip-prinsip perjanjian.
    Dikutip dari
    Kompas.id
    , RUU rancangan undang-undang yang diajukan partai sayap kanan itu memang telah memicu protes di seluruh negeri sejak dibahas di Parlemen Selandia Baru pekan lalu.
    Rancangan itu menginginkan adanya penafsiran ulang
    Perjanjian Waitangi
    yang ditandatangani 500 kepala suku
    masyarakat adat
    Maori dengan pendatang Inggris pada tahun 1840.
    Sejak disepakati di 1840, Perjanjian Waitangi dianggap sebagai dokumen pendirian negara Selandia Baru.
    Perjanjian tersebut menetapkan hak antara kaum suku pribumi dan pendatang Eropa.
    Terdapat tiga prinsip utama dalam perjanjian itu, yaitu kemitraan, partisipasi, dan perlindungan.
    Hingga sekarang, penafsiran klausul dalam dokumen tersebut masih digunakan dalam undang-undang dan kebijakan Selandia Baru.
    Aspirasi suku Maori dalam parlemen Selandia Baru memperlihatkan entitas masyarakat adat yang bisa memperjuangkan suara politik mereka secara konstitusional, memberikan ruang dialog konstruktif terkait konflik negara dengan masyarakat adat di tempat itu.
    Dalam konteks Tanah Air, keberadaan masyarakat adat sendiri pun belum sepenuhnya diakui oleh negara.
    Tak usah jauh-jauh mengharapkan ada keterwakilan mereka duduk di kursi parlemen atau melakukan tarian perang saat menolak kebijakan yang berseberangan dengan kepentingan mereka.
    Saat ini, hak mereka untuk memilih saja masih menjadi kontroversi.
    Pada
    pemilu 2024
    , Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI sendiri mengakui masyarakat adat menjadi salah satu kelompok pemilih rentan.
    Kerentanan masyarakat adat berangkat dari pendataan.
    Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, mekanisme penyusunan daftar pemilih dilakukan secara de jure.
    Itu artinya, pendekatan untuk memverifikasi pemilih dilakukan berdasarkan identitas kependudukan, dalam hal ini KTP elektronik.
    Sementara itu, perekaman KTP elektronik masih menjadi tantangan untuk masyarakat adat.
    Anggota KPU RI Betty Epsilon Idroos dalam sebuah diskusi pada Februari 2023 pernah mengatakan, ada data yang menyebut sekitar 1,5-2 juta masyarakat adat yang belum mendapatkan hak pilih dalam pesta demokrasi 2024.
    Perekaman KTP elektronik untuk masyarakat adat menjadi tantangan karena berbagai faktor.
    Betty menyinggung faktor keterbatasan akses dan transportasi hingga sosial-budaya.
    Beberapa kelompok masyarakat adat disebut tak membutuhkan KTP, sedangkan beberapa kelompok lain memiliki nilai-nilai lain yang dianut yang tak memungkinkan mereka dipotret.
    Pada diskusi 19 November 2025, Komisioner KPU RI August Mellaz juga mengakui, problem administrasi terkait hak pilih masyarakat adat muncul.
    Problem yang telah berlalu ini tentu akan dirumuskan dan dicari jalan keluarnya dalam revisi UU Pemilu yang terus bergulir di parlemen.
    “Prinsipnya kalau itu menyangkut hak warga negara, maka dia harus diberikan. Nah, soal nanti sudah diberikan dan kemudian warga tidak menggunakan, itu soal lain,” tutur dia.
    August mengatakan, syarat administrasi ini mutlak harus dipenuhi karena berkaitan dengan kesiapan tempat pemilihan dan juga penentuan daftar pemilih tetap.
    “Karena itu basisnya secara de jure itu kan memang posisinya berdasarkan KTP setempat,” ucap dia.
    Hal ini dipastikan August akan masuk dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) terkait revisi UU Pemilu.
    Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Muhammad Nuh Al Azhar mengatakan, selama ini negara telah berusaha memenuhi hak administrasi warga negara masyarakat adat.
    Termasuk dalam konteks pemilu, Dukcapil mencoba menjemput bola sampai ke pelosok agar masyarakat adat ini bisa menggunakan hak pilihnya.
    “Jadi, mendatangi untuk melakukan perekaman. Karena ada banyak warga negara Indonesia yang belum ada perekaman. Jadi didatangi, ayo dilakukan perekaman,” kata Nuh, Rabu (19/11/2025).
    Nuh mengatakan, upaya jemput bola ini tidak hanya dilakukan untuk masyarakat adat yang dalam kondisinya masih sehat dan bisa melakukan aktivitas.
    Upaya jemput bola juga dilakukan untuk mereka yang sakit dan mengalami keterbatasan karena kondisi disabilitas.
    Namun, Nuh mengakui, upaya jemput bola yang mereka lakukan belum maksimal.
    Bukan karena mereka tak bekerja, tetapi wilayah Indonesia yang begitu luas.
    “Kalau misalnya belum bisa maksimal, ya Indonesia memang luas sekali, oleh karena itu butuh kerja sama,” ucap dia.
    Dalam catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait penyelenggaraan pemilu 2024, terdapat lebih dari 600 orang masyarakat adat Baduy Luar yang tidak masuk dalam daftar pemilih.
    Hal ini disebabkan dari minimnya atensi penyelenggara pemilu terhadap pemenuhan hak pilih kelompok masyarakat adat.
    Kekhususan wilayah masyarakat adat juga disebut Komnas HAM menjadi tantangan yang belum mampu diatasi penyelenggara pemilu bagi pemenuhan hak pilih kelompok masyarakat adat.
    Namun, isu terkait suara masyarakat adat pada dasarnya bukan hanya pada hak memilih semata, tetapi juga pada hak untuk dipilih.
    Direktur Eksekutif Deep Indonesia Neni Nurhayati mengatakan, masyarakat adat memiliki segmentasi yang jelas dan tidak menutup kemungkinan mereka bisa menjadi perwakilan dalam parlemen di kemudian hari.
    Masyarakat punya kepala suku dan pengikut, dan partai politik seharusnya mulai memberikan pintu masuk keterlibatan masyarakat adat untuk bergabung menjadi parlemen.
    “Atau bahkan menurut saya masyarakat adat yang di situ ada kelompok perempuan dan anak muda harusnya bisa terbuka. Karena ketika mereka jadi, mereka pasti akan menyuarakan untuk kepentingan masyarakat adat itu sendiri,” kata dia.
    Adanya
    keterwakilan masyarakat adat
    di Senayan akan memberikan kemudahan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat adat untuk membentuk suatu kebijakan yang baik.
    Neni juga menyinggung, momentum revisi UU Pemilu bisa dijadikan untuk membuat kebijakan afirmatif terkait hak dipilih dan hak memilih masyarakat adat.
    Regulasi tersebut bisa jadi tak seluas afirmasi keterwakilan perempuan pada pemilihan legislatif, tapi lebih kepada keterbukaan kesempatan masyarakat adat jika hendak mencalonkan diri.
    “Di situ tuh misalnya ada klausul, ada khusus misalnya poin yang menjelaskan tentang terbuka untuk teman-teman juga masyarakat adat ikut dicalonkan dan mencalonkan,” imbuh dia.
    Hal ini perlu dilakukan karena tidak menutup kemungkinan masyarakat adat ada yang juga ingin menyuarakan pendapat mereka di parlemen layaknya Suku Maori di Selandia Baru, tetapi kesempatan itu tak pernah dibuka oleh partai politik.
    “Tapi, kalau ruangnya ditutup, ruangnya disumbat, sulitlah mereka untuk bisa mengimplementasikan itu semua,” ujar dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Komnas HAM Investigasi Kasus Kematian Irene Sokoy yang Ditolak 4 Rumah Sakit Jayapura

    Komnas HAM Investigasi Kasus Kematian Irene Sokoy yang Ditolak 4 Rumah Sakit Jayapura

    JAKARTA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menginvestigasi kasus kematian Irene Sokoy dan bayi yang dikandung setelah ditolak empat rumah sakit di Jayapura pada 17 November 2025.

    Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Saurlin Siagian mengatakan pihaknya secara serius mendalami peristiwa tersebut dan menjadikan kasus ini sebagai prioritas Komnas HAM untuk segera dituntaskan sebab ini berkaitan dengan masa depan anak bangsa.

    “Ini terkait dengan masa depan anak sehingga sudah seharusnya seorang ibu hamil diperlakukan khusus dalam kondisi harus dilayani dengan baik,” katanya dilansir ANTARA, Jumat, 26 November.

    Menurut Siagian, pihaknya menilai peristiwa ini sebagai bentuk pengabaian kepada seorang ibu hamil sehingga menyebabkan kematian ibu bersama bayi yang dikandung.

    “Itulah mengapa kami mengutuk keras peristiwa ini karena dalam konteks HAM ini merupakan pengabaian,” ujarnya.

    Ketua Penegakan dan Pemajuan HAM, Komnas HAM Perwakilan Papua Melchior Weruin mengatakan sebenarnya hari ini pihaknya meminta keterangan dari RS Yowari hanya saja di waktu yang bersamaan Kepolisian Daerah (Polda) Papua masih meminta keterangan dari pihak rumah sakit.

    “Sehingga besok pagi baru kami memintai keterangan dari RS Yoware selanjutnya ke RS Abepura,” katanya.

    Dia mengatakan peristiwa ini telah mendapat perhatian dari Presiden Prabowo Subianto sehingga Komnas HAM segera melakukan penyelidikan agar secepatnya menyampaikan rekomendasi kepada publik siapa yang harus bertanggung jawab dalam kasus tersebut.

  • 9
                    
                        Ada 2 Demo di Jakarta Hari ini, Hindari Wilayah Berikut
                        Megapolitan

    9 Ada 2 Demo di Jakarta Hari ini, Hindari Wilayah Berikut Megapolitan

    Ada 2 Demo di Jakarta Hari ini, Hindari Wilayah Berikut
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
     Sebanyak dua demo akan digelar di wilayah Jakarta Pusat pada hari ini, Jumat (29/11/2025).
    Kepala Seksi Humas Polres Metro Jakarta Pusat Iptu Ruslan Basuki mengatakan, demo yang pertama digelar di wilayah Gambir.
    “Ada unjuk rasa dari aliansi masyarakat Sobang – Panimbang dan mahasiswa, pemuda Kabupaten Pandeglang dan beberapa elemen masyarakat lain pada Jumat pagi,” ujar Ruslan dalam keterangannya, Jumat.
    Sementara itu, demo kedua digelar oleh Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Front Persaudaraan Islam.
    Rencananya demo yang dilakukan oleh DPD Front Persaudaraan Islam akan digelar di Kantor Komnas HAM yang berada di Menteng.
    Ruslan menyampaikan, 833 personel polisi akan disiagakan untuk menjaga dua demo tersebut.
    Ia pun mengimbau agar masyarakat menghindari area sekitar demonstrasi untuk menghindari terjadinya kemacetan lalu lintas.
    “Warga bisa mencari jalan alternatif lain selama unjuk rasa berjalan. Untuk rekayasa lalu lintas akan dilakukan situasional melihat ekskalasi jumlah massa di lapangan,” katanya.
    Ia melanjutkan, selain demo, ada satu acara olahraga yang digelar di wilayah Jakarta Pusat dan membutuhkan pengamanan ekstra.
    Acara itu merupakan pertandingan sepakbola game week 14 BRI Super League Tahun 2025/2026 antara Persija Jakarta vs PSIM Yogyakarta di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, pada Jumat sore.
    Sebanyak 2.200 personel polisi disiagakan untuk pengamanan pertandingan bola tersebut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Panas Konflik Agraria di Bengkulu Selatan, 5 Petani Kena Tembak saat Adang Alat Berat

    Panas Konflik Agraria di Bengkulu Selatan, 5 Petani Kena Tembak saat Adang Alat Berat

    Liputan6.com, Jakarta – Konflik agraria antara karyawan PT ABS dan masyarakat yang mengatasnamakan Forum Masyarakat Pino Raya (FMPR) pecah di Pino Raya, Kabupaten Bengkulu Selatan pada Senin (24/11) siang. Lima petani menjadi korban penembakan, satu di antaranya terkena tembakan di perut tembus ke punggung.

    Kepala Bidang Humas Polda Bengkulu Kombes Pol. Andy Pramudya Wardana mengatakan, penyidik sedang mendalami kepemilikan senjata api dan penggunaan senjata tajam dalam konflik tersebut. Selain itu, penyidik sedang mencari barang bukti senjata tajam yang belum ditemukan.

    “Terkait masalah senjata api ini masih dalam proses pendalaman oleh penyidik Satreskrim Polres Bengkulu Selatan,” kata dia.

    Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengecam keras penembakan terhadap lima orang petani dalam polemik konflik agraria tersebut.

    “Komnas HAM menyampaikan keprihatinan mendalam dan kecaman keras atas peristiwa penembakan terhadap lima orang petani Pino Raya yang diduga dilakukan oleh pihak keamanan PT Agro Bengkulu Selatan,” kata Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Saurlin P. Siagian.

    Dia mengatakan penembakan itu merupakan pelanggaran serius terhadap hak untuk hidup, hak atas rasa aman, serta hak atas perlindungan dari tindak kekerasan, sebagaimana dijamin dalam konstitusi, Undang-Undang HAM, serta prinsip HAM internasional.

  • Patroli Rutin Tak Pernah Buat Warga Kolong Terusir dari Menteng
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        24 November 2025

    Patroli Rutin Tak Pernah Buat Warga Kolong Terusir dari Menteng Megapolitan 24 November 2025

    Patroli Rutin Tak Pernah Buat Warga Kolong Terusir dari Menteng
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
     Sejumlah warga kolong, sebutan untuk orang-orang yang hidup di jalanan, di Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, mencoba terus bertahan tinggal di tepi rel kereta dan trotoar sempit meski sudah berulang kali ditertibkan aparat.
    Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Jakarta Selatan, Nanto Dwi Subekti, menegaskan, keberadaan
    warga kolong
    terus dipantau melalui patroli rutin.
    “Saat ini kita hanya penjangkauan atau patroli rutin. Kalau ada yang bandel baru kita lakukan penertiban. Kalau kedapatan saat operasi PMKS, kita kirim ke panti sosial,” ujarnya saat dihubungi, Jumat (21/11/2025).
    Nanto menambahkan, pihaknya rutin melakukan patroli melalui pendekatan yang humanis dan disesuaikan dengan kondisi di lapangan.
    “Kalau patroli rutin tiap hari. Kalau hambatan selama ini belum ada, hanya harus rajin di patroli saja,” kata dia.
    “Mereka pergi sebentar saat razia, tapi begitu patroli selesai, biasanya balik lagi ke kolong atau trotoar. Kami sudah terbiasa melihat itu,” kata Ningsih.
    Sementara itu, Riyan (31), pengemudi ojek pangkalan yang mangkal tak jauh dari lintasan rel, merasa kasihan dengan warga kolong.
    “Kasihan sih, tapi hidup di Jakarta memang harus siap punya duit buat tempat tinggal. Kalau tidak ada alternatif, ya mereka kembali ke trotoar atau kolong. Mereka sudah biasa hidup di jalan,” ucapnya.
    Sejumlah warga kolong yang ditemui
    Kompas.com
    mengungkapkan alasannya tetap bertahan di trotoar dan tepi rel meski sering didatangi aparat.
    Salah satunya adalah Ale (40), warga asal Bogor, Jawa Barat, yang sudah hampir dua tahun tinggal di tepi rel dekat Latuharhary.
    “Awalnya cuma numpang lewat, nyari barang bekas. Lama-lama susah, jadi bertahan di sini saja. Uang enggak cukup buat kontrakan. Mau ke mana kalau pergi jauh?” katanya.
    Sehari-hari Ale mencari botol plastik dan kardus dari kantor serta pasar sekitar untuk dijual kembali.
    “Kalau ramai, satu gerobak bisa dapat Rp 15.000. Kalau sepi, cuma Rp 7.000,” ujarnya.
    Sukinem (38), perempuan asal Brebes, Jawa Tengah, menuturkan pengalaman serupa.
    “Kadang pagi-pagi Satpol PP datang, suruh bubar. Saya ngerti, tapi mau pindah ke mana? Gerobak berat, barang banyak. Setelah mereka pergi, kami balik lagi,” katanya.
    Warga kolong lainnya, Sarwono (42) bercerita bahwa dirinya tinggal bersama istri dan anaknya di pertigaan dekat Kantor Komnas HAM.
    “Tempat ini agak aman, lampunya terang, dekat kantor pemerintah. Kalau malam tetap waspada, tapi di sini dekat jalur kerja mulung. Anak dan istri ikut, jadi pilih lokasi yang memungkinkan semua aman,” kata dia.
    Meski begitu, ia tak menampik bahwa tidur di atas trotoar tidaklah nyaman.
    “Pakai kardus atau terpal seadanya, sambil menaruh gerobak sebagai penghalang agar barang tidak dicuri,” ujarnya.
    Pengamat perkotaan Yayat Supriyatna menekankan bahwa warga kolong memilih lokasi secara strategis.
    “Mereka paham wilayah secara teritorial, menempati lokasi yang relatif aman dari razia Satpol PP, dan dekat dengan mata pencaharian,” kata Yayat.
    “Kalau mereka punya komunitas, ada keberanian untuk mencari ruang yang bisa digunakan bersama,” ujarnya.
    Yayat menjelaskan bahwa mobilitas warga kolong cukup terukur.
    “Radius aktivitas sekitar 1–3 km, dan biasanya mereka menempati lokasi yang dianggap paling aman mulai jam 8 pagi hingga malam,” tuturnya.
    Dengan strategi ini, warga kolong bisa menjaga barang-barang, bekerja, dan bertahan di ruang publik dengan risiko minimal.
    Fenomena ini menunjukkan keterkaitan erat antara perilaku warga kolong dengan kondisi ekonomi dan kemampuan adaptasi terhadap ruang kota.
    “Kelompok ini termarjinalkan, namun mereka paham memilih tempat tinggal yang efisien, dekat mata pencaharian, aman dari gangguan, dan memiliki kemudahan sanitasi,” ujar Yayat.
    Di trotoar Latuharhary, Ale memilah-milah botol plastik dan kardus yang dikumpulkan dari kantor-kantor sekitar. Barang-barang ini dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
    “Kalau sepi, hanya cukup buat makan. Kalau ramai, bisa sedikit lebih. Tapi tetap hidup seadanya,” kata Ale.
    Sukinem biasanya memulai pagi dengan berkeliling trotoar dan kantor-kantor Menteng untuk mengumpulkan plastik dan kardus.
    “Kalau hujan atau banyak penertiban, tidak dapat apa-apa. Tapi yang penting bisa hidup, bisa kirim sedikit ke anak di Brebes,” ujarnya.
    Ia tidur di kolong jembatan dekat terowongan kecil, menggunakan kardus dan terpal sebagai alas, sambil menjaga barang-barang agar tidak hilang.
    Sarwono menekankan pentingnya lokasi bagi keselamatan keluarganya.
    “Kalau jauh dari sini, istri dan anak saya susah kalau hujan atau ada apa-apa. Jadi kami bertahan di sini, walau tiap malam was-was. Gerobak kami taruh di depan sebagai penghalang,” katanya.
    Hidup di tepi rel dan trotoar membuat warga kolong harus menghadapi berbagai risiko, di antaranya hujan, kebisingan kereta, hingga potensi kehilangan barang.
    “Tidur malam selalu waspada. Kalau ada suara keras, langsung bangun. Barang-barang kami harus dijaga, gerobak jadi penghalang sekaligus tempat penyimpanan,” tutur Sarwono.
    Sukinem menambahkan, anak-anaknya tetap tinggal di kampung halaman karena keterbatasan ekonomi.
    “Kalau anak ikut, lebih sulit menjaga barang dan keamanan. Saya bertahan sendiri, kirim sedikit uang ke rumah. Hidup ini cuma buat makan dan bertahan,” katanya.
    Ale pun sependapat dengan Sukinem.
    “Kalau pergi jauh, mau tidur di mana. Uang enggak cukup buat kontrakan. Jadi tetap di sini, cari makan seadanya,” ujarnya.
    Yayat menekankan bahwa pilihan lokasi warga kolong sangat pragmatis.
    “Tempat itu relatif aman, tidak mengganggu warga, dekat mata pencaharian, dan ada kemudahan untuk kebutuhan sanitasi. Mereka memahami wilayah secara teritorial, mengatur hidup secara kolektif, dan menempati lokasi pada jam-jam paling aman,” ujarnya.
    Ketimpangan ekonomi dan keterbatasan akses terhadap hunian layak membuat warga kolong harus mengisi ruang publik yang tersedia, sekaligus menyesuaikan diri dengan patroli aparat dan perubahan lingkungan sekitar.
    Menurut Yayat, adaptasi warga kolong mencakup berbagai strategi pemilihan lokasi yang aman, pengelolaan barang dan gerobak, mobilitas terukur, serta pembentukan jaringan komunitas untuk saling menjaga.
    “Mereka mengisi ruang kota yang gratis dengan strategi adaptasi yang sangat terukur,” ujarnya.
    Yayat menambahkan, komunitas ini memudahkan warga kolong menyesuaikan diri dengan patroli aparat. Dengan mengetahui lokasi yang aman, mereka dapat menghindari razia sementara dan kembali menempati ruang ketika situasi aman.
    “Mobilitas mereka terbatas, tapi efektif. Radius aktivitas hanya 1–3 km, cukup untuk mencari nafkah dan bertahan hidup,” tuturnya.
    Yayat menambahkan Patroli rutin Satpol PP tidak mengubah pola hidup mereka secara signifikan.
    Keberadaan mereka adalah hasil adaptasi terhadap kondisi ekonomi, keterbatasan ruang, dan kemampuan membentuk jaringan sosial yang memungkinkan bertahan hidup di kota besar.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Patroli Rutin Tak Pernah Buat Warga Kolong Terusir dari Menteng
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        24 November 2025

    Potret Kaum Marginal di Jakarta: Diusir dari Kolong, "Terdampar" di Trotoar Megapolitan 24 November 2025

    Potret Kaum Marginal di Jakarta: Diusir dari Kolong, “Terdampar” di Trotoar
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Di trotoar sempit yang seharusnya diperuntukkan bagi pejalan kaki, Ale (40) duduk bersandar pada dinding penuh coretan grafiti.
    Terlihat barang-barang miliknya tas, kantong plastik, dan gerobak kayu menempel di sampingnya.
    “Sudah hampir dua tahun saya di sini. Awalnya cuma numpang lewat nyari barang bekas, tapi lama-lama susah, jadi saya bertahan saja,” kata Ale warga kolong asal Bogor, saat ditemui
    Kompas.com
    di tepi rel Jalan Latuharhary, Menteng,
    Jakarta
    Pusat, Jumat (21/11/2025).
    Tak jauh dari lokasi itu, tumpukan karung dan kantong plastik hitam berisi barang bekas tampak rapi, siap dijual kembali.
    Seorang pria tampak memilah botol plastik, kardus, dan barang bekas lainnya, aktivitas yang menjadi sumber nafkah sehari-hari.
    Dua gerobak kayu besar yang sudah usang berdiri di dekatnya, menjadi alat kerja sekaligus tempat penyimpanan.
    Setelah beberapa kali dipindahkan dari kolong jembatan oleh petugas, mereka kini mengisi celah publik trotoar dan tepi rel untuk bertahan hidup.
    Karno (50), asal Banyumas, Jawa Tengah, sudah hampir tiga tahun hidup di tepi rel setelah penertiban kolong jembatan dekat stasiun.
    “Awalnya tidur di kolong jembatan, tapi sering ada penertiban. Akhirnya pindah ke tepi rel di sini. Agak aman, walau tetap harus waspada kalau malam,” ujar dia.
    Sukinem (38), perempuan asal Brebes, menceritakan pengalamannya yang berbeda. Ia datang ke Jakarta sendiri, meninggalkan anak-anaknya yang tinggal bersama orang tua di kampung.
    “Suami sudah tidak ada. Saya ke sini untuk cari uang. Kalau ada lebih, saya kirim. Tapi sehari-hari cukup buat makan. Kalau hujan atau banyak penertiban, ya tidak dapat apa-apa,” ujar dia sambil menata gerobak berisi kardus dan botol plastik.
    Sementara Sarwono (42) memilih pertigaan setelah kantor Komnas HAM sebagai tempat tinggal sementara bersama istri dan anaknya.
    “Kami tidur bertiga di pojokan pertigaan, pakai terpal dan kardus. Malam jarang tidur pulas, harus jaga anak dan barang. Dekat sini lebih mudah kerja, dekat kantor dan jalan-jalan Menteng,” ujar dia.
    Bagi mereka, pindah ke trotoar dan tepi rel bukan pilihan ideal, tapi terpaksa karena tidak ada alternatif tempat tinggal.
    Meski sempit dan berisiko, lokasi ini dianggap lebih aman daripada tidur di kolong jembatan yang sering menjadi sasaran penertiban.
    Hidup di jalanan berarti harus kreatif mencari penghasilan.
    Warga kolong mengandalkan barang bekas, botol plastik, kardus, dan sisa makanan dari pedagang pasar atau kantor di sekitar Menteng.
    “Kalau ada acara kantor atau pasar buang botol plastik, satu gerobak bisa dapat Rp 15.000. Kalau sepi, cuma Rp 7.000,” kata Ale.
    Pendapatannya juga tak menentu.
    Jika sedang banyak barang bekas, ia bisa mengantongi Rp 50.000. Paling sedikit, ia mendapat Rp 10.000.
    Uang tersebut hanya cukup untuk makan sehari-hari.
    Sementara Sukinem memiliki penghasilan yang lebih terbatas.
    “Rata-rata Rp 30.000–40.000. Kalau hujan atau ada penertiban, ya tidak dapat apa-apa. Yang penting bisa dikirim sedikit ke anak di kampung,” ujarnya.
    Pendapatan yang tidak menentu memaksa warga kolong hidup sederhana, berbagi barang, dan memaksimalkan apa yang mereka miliki.
    Gerobak dan karung menjadi alat kerja sekaligus tempat penyimpanan sementara barang-barang mereka.
    Kasatpol PP Jakarta Selatan, Nanto Dwi Subekti, memastikan penertiban dilakukan secara humanis.
    “Saat ini kami hanya melakukan penjangkauan dan patroli rutin. Kalau ada yang bandel, baru dilakukan penertiban. Kalau kedapatan saat operasi PMKS, mereka dikirim ke panti sosial,” jelasnya.
    Patroli rutin dilakukan tiap hari untuk menjaga ruang publik tetap aman.
    Namun kenyataannya, warga kolong tetap kembali ke trotoar atau tepi rel karena tidak memiliki alternatif tempat tinggal permanen.
    Ningsih (45), pemilik warung di dekat lintasan rel Jalan Guntur, mengamati fenomena ini dari dekat.
    “Kalau hujan, mereka pergi sebentar, lalu balik lagi. Ada bantuan pemerintah, tapi memang tidak mengubah pilihan mereka. Tetap hidup di jalan,” ujarnya.
    Warga sekitar sudah terbiasa melihat aktivitas warga kolong.
    “Liat saja mereka, kadang ke Pasar Rumput berpindah-pindah. Ada yang sama anaknya, ada yang berdua sama istrinya, atau ada yang sendiri,” ujar Ningsih.
    Sedangkan Riyan (31), ojek pangkalan di sekitar lokasi juga berpendapat mengenai keberadaan warga kolong.
    “Kasihan sih, tapi hidup di Jakarta memang harus siap punya uang untuk tempat tinggal. Kalau tidak ada pilihan, mereka balik lagi ke kolong atau trotoar,” kata dia.
    Bagi warga kolong, Menteng dan sekitarnya bukan hanya sekadar lokasi, tetapi juga sumber mata pencaharian.
    “Kalau jauh dari sini, istri dan anak saya susah kalau hujan atau ada apa-apa. Dekat sini lebih mudah kerja mulung plastik dan kardus,” kata Ale.
    Menurut pengamat perkotaan Yayat Supriyatna, warga kolong memilih lokasi strategis karena faktor ekonomi dan keamanan.
    “Mereka memilih tempat yang relatif aman dari razia Satpol PP, tidak mengganggu permukiman warga, dan dekat dengan mata pencaharian,” ujar Yayat saat dihubungi Kompas.com, Jumat.
    Keberadaan komunitas juga penting.
    Dukungan komunitas memungkinkan warga kolong berbagi ruang, menjaga keamanan barang-barang mereka, dan mengurangi risiko gangguan dari aparat maupun warga sekitar.
    Selain itu, lokasi yang dekat fasilitas umum, seperti WC publik atau taman, juga memudahkan mereka memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.
    “Gerobak berfungsi ganda sebagai tempat tinggal sekaligus alat kerja. Mereka memilih tempat dekat fasilitas umum untuk kebutuhan sanitasi,” tutur Yayat.
    Menurut Yayat Supriyatna, strategi warga kolong mencerminkan adaptasi terhadap keterbatasan ekonomi dan ruang kota.
    “Mobilitas mereka terbatas, radius aktivitas sekitar 1–3 km, dan biasanya menempati lokasi yang dianggap paling aman mulai jam 8 pagi hingga malam,” ujar dia.
    Yayat menekankan, perilaku warga kolong tidak sekadar soal kemiskinan, tetapi juga tentang pemahaman terhadap ruang kota.
    “Kelompok ini termarginalkan, namun mereka paham memilih tempat tinggal yang efisien, dekat mata pencaharian, aman dari gangguan, dan memiliki kemudahan sanitasi,” kata dia.
    Lokasi yang dipilih bukan sembarangan.
    “Mereka memahami wilayah itu secara teritorial, mengatur hidup secara kolektif, dan menempati lokasi pada jam-jam paling aman. Ini strategi bertahan hidup kelompok termarjinalkan yang sangat pragmatis,” ujar Yayat.
    Fenomena warga kolong di Menteng dan sekitar lintasan rel menjadi contoh nyata kompleksitas urban Jakarta.
    Kota yang berkembang pesat dengan kawasan elite tetap menyisakan ruang bagi mereka yang kurang beruntung secara ekonomi, memaksa mereka mengisi celah-celah kota yang bersifat publik.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kisah Natalius Pigai Menolak Pelanggar HAM Jadi Pahlawan Nasional

    Kisah Natalius Pigai Menolak Pelanggar HAM Jadi Pahlawan Nasional

    JAKARTA – Rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Sarwo Edhie Wibowo sempat heboh. Jenderal penumpas simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) 1965-1966 dianggap belum layak jadi pahlawan nasional.

    Protes itu disampaikan oleh Natalius Pigai. Komisioner Komnas HAM era 2012-2017 menolak pelanggar HAM jadi pahlawan nasional. Ia menganggap tak etis memberikan penghargaan kepada Sarwo yang punya dosa masa lalu.

    Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo dikenal sebagai duet yang mematikan eksistensi Partai Komunis Indonesia (PKI). Keduanya bergerak menumpas pemberontakan Gerakan 30 September (G30S) 1965. Tragedi pemberontakan berdarah itu segera dibereskan secara terukur.

    Soeharto kala itu sebagai Pangkostrad. Sarwo Edhie sebagai Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) – kini Kopassus. Soeharto yang mendapatkan kepercayaan dari rakyat Indonesia mencoba mengamankan negara dari jeratan PKI.

    Narasi itu membuatnya bergerak menyingkirkan simpatisan PKI di seantero negeri – utamanya di Pulau Jawa-Bali. Sarwo Edhie pun kebagian peran. Ia mencoba memimpin operasi penumpasan simpatisan PKI. Sarwo Edhie pun memandang operasi itu memakan korban jiwa hingga tiga juta orang dari 1965-1966.

    Komandan RPKAD, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo (tengah) mendampingi Pangkostrad Mayjen Soeharto (kiri). (Istimewa/Dok. Pribadi) 

    Upaya itu dianggap Sarwo Edhie sebagai ajian menyelamatkan negara. Namun, tak sedikit yang melihat penumpasan itu sebagai pelanggaran HAM berat. Banyak yang mengungkap bahwa tak semua simpatisan PKI terlibat dalam G30S. Belum lagi banyak pula mereka yang dituduh PKI dan ditumpas.

    Mereka harus tanggung akibat. Apalagi, sampai nyawa melayang. Keluarga mereka pun tak bisa hidup tenang di masyarakat. Sarwo Edhie sendiri memang sudah meninggal dunia pada 1989. Soeharto juga sudah meninggal dunia pada 2008.

    Namun, Sarwo Edhie yang notabene dianggap punya dosa masa lalu malah diusulkan mendapat gelar pahlawan nasional sedari 2013. Proyek itu dikenang bak aji mumpung. Semuanya karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jadi Presiden Indonesia era 2004-2014 adalah menantu Sarwo Edhie.

    “(Secara peraturan) gelar diusulkan oleh pemerintah daerah tapi masih menunggu (tindak lanjut), karena masih banyak yang harus ditanyakan ke pemerintah pusat mengenai usulan itu. Soal pencalonan tersebut, saya akan tanyakan ke Bupati.”

    “Semuanya karena yang mengusulkan adalah Bupati dan masyarakat Purworejo. Gelar diusulkan memang oleh Pemerintah Daerah tapi saya masih menunggu, dan akan berkomunikasi dengan Bupati mengenai pertimbangannya,” ucap adik ipar SBY, Pramono Edhie sebagaimana dikutip laman ANTARA, 9 November 2013.

    Tolak Pelanggar HAM

    Wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Sarwo Edhie banjir protes. Mereka yang mengecam dan mengkritik bejibun. Mereka meminta pula kepada Presiden SBY tak menjadikan Sarwo sebagai pahlawan karena nantinya berpotensi memunculkan konflik kepentingan.

    Reaksi paling keras muncul dari Natalius Pigai. Komisioner itu jadi orang yang paling berisik menolak rencana Sarwo Edhie jadi pahlawan. Pigai menegaskan andil Sarwo dalam operasi penumpasan PKI seraya noda hitam sejarah.

    Wacana itu dianggapnya dapat menyakiti perasaan keluarga, anak, hingga cucu korban. Alih-alih mendukung wacana pahlawan ke Sarwo Edhie, Pigai justru meminta pemerintah segera menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat 1965-1966.

    Pemerintah diminta untuk adili pelaku dan meminta maaf kepada keluarga korban. Kondisi itu membuat pemerintah tak lagi punya utang kepada keluarga korban. Pandangan Pigai didukung oleh banyak pihak. Kondisi itu membuat orang yang meneken petisi penolakan Sarwo Edhie jadi pahlawan nasional bejibun.

    Pemerintah SBY akhirnya bergerak merespons. SBY memilih takkan mengangkat Sarwo Edhie sebagai pahlawan nasional di era kepemimpinannya. Namun, jika pemimpin Indonesia ke depan ingin mengangkat, SBY tak masalah.

    Pigai pun terhitung paling berisik kala Sarwo Edhie yang dianggapnya pelanggar HAM jadi pahlawan nasional. Namun, sebaliknya, Pigai yang kemudian jadi Menteri HAM sedari 2024 tak banyak bicara kala Soeharto diangkat jadi pahlawan nasional pada 10 November 2025.

    “Terkait dengan pemberian gelar pahlawan kepada Sarwo Edhie, kami berpandangan bahwa sangat tidak etis gelar tersebut diberikan kepada seseorang yang diduga ikut berperan atas peristiwa 1965 karena akan menyakiti perasaan keluarga, anak, cucu korban peristiwa itu. Komnas HAM telah berupaya agar hasil penyelidikan kami ditindaklanjuti oleh pemerintah namun justru Presiden sendiri belum pernah merespons secara positif.”

    “Bagaimanapun Jendral Sarwo Edhie memegang posisi yang penting pada saat itu, karenanya nama beliau tetap dianggap masyarakat sebagai salah satu orang yang ikut terlibat di dalam Peristiwa 1965-1966, yang menjadi noda hitam bangsa Indonesia. Oleh karena itu saya menolak tegas jika gelar pahlawan nasional diberikan kepada Sarwo Edhie Wibowo sebelum dilalukan dengan penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu,” ujar Pigai sebagaimana dikutip laman Wartakota, 28 November 2013.

  • Dilaporkan ke Polisi, Ini Tanggapan Ribka Tjiptaning Terkait Gelar Pahlawan Soeharto

    Dilaporkan ke Polisi, Ini Tanggapan Ribka Tjiptaning Terkait Gelar Pahlawan Soeharto

    Jakarta (beritajatim.com) – Ketua PDI Perjuangan, Dr. Ribka Tjiptaning, menyatakan kesiapannya menghadapi pemeriksaan di Bareskrim Polri terkait laporan terhadap dirinya setelah menyebut Soeharto tidak layak dianugerahi gelar pahlawan nasional.

    Ribka menegaskan bahwa pernyataannya didasarkan pada pengalaman pribadi sebagai korban dan hasil penyelidikan resmi yang pernah dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

    “Selain pengalaman saya sendiri sebagai korban, saya juga akan meminta kesaksian Tim Ad Hoc bentukan Komnas HAM yang menyelidiki peristiwa 1965. Kita bisa dengar kesaksian bagaimana mereka menemukan korban-korban pelanggaran HAM Soeharto itu. Apa benar atau cuma fiksi?” ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (15/11).

    Menurut Ribka, temuan utama Tim Ad Hoc Komnas HAM menunjukkan adanya pelanggaran HAM berat yang dilakukan secara luas dan sistematis pada masa tersebut. Pelanggaran itu meliputi pembunuhan massal, penghilangan orang secara paksa, penahanan sewenang-wenang terhadap sekitar 41 ribu orang, penyiksaan, perampasan kemerdekaan fisik, hingga kekerasan seksual.

    Ia menambahkan, data investigasi Komnas HAM mencatat sekitar 32.774 orang hilang, sementara sejumlah lokasi di berbagai daerah diidentifikasi sebagai tempat pembantaian.

    Masih merujuk laporan Komnas HAM, Ribka menegaskan bahwa pihak yang dianggap paling bertanggung jawab adalah Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), lembaga yang berada langsung di bawah kendali Soeharto.

    “Itu bisa di-googling dan diunduh hasil laporannya. Dan itu penyelidikan pro yustisia lho. Itu sesuai perintah undang-undang, tetapi sampai sekarang belum ditindaklanjuti oleh negara. Silakan cari, ada itu ‘ringkasan eksekutif tim ad hoc peristiwa 65’.” tegasnya.

    Ribka juga menyampaikan bahwa anggota Tim Ad Hoc Komnas HAM yang menyusun laporan tersebut masih hidup dan dapat dimintai keterangan apabila proses hukum memerlukan. “Ketua timnya adalah Nur Kholis, wakilnya Kabul Supriadi, dan ada juga Johny Nelson Simanjuntak serta Yosep Adi Prasetyo,” paparnya.

    Ia menilai, kesaksian tidak hanya bisa datang dari tim penyelidik Komnas HAM, namun juga dari korban penculikan era Orde Baru yang hingga kini masih hidup—termasuk yang kini berada dalam kabinet Presiden Prabowo Subianto.

    “Ini kesempatan bangsa ini kembali membuka sejarah kelam yang sedang berusaha ditutup oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon,” pungkasnya. (ted)

  • 4 Demo Kepung Jakarta Hari Ini, Dimana Saja?

    4 Demo Kepung Jakarta Hari Ini, Dimana Saja?

    Jakarta: Sejumlah aksi unjuk rasa berlangsung di beberapa lokasi strategis di Jakarta hari ini. 
    Kepolisian pun menyiapkan pengamanan ketat dengan mengerahkan lebih dari seribu personel untuk memastikan situasi tetap kondusif.
    Empat titik demo 
    Menurut, Molecool, layanan real time live CCTV dalam cuitan diakun resminya pada Jumat, 14 November 2025 menyebutkan setidaknya ada empat titik aksi demo di Jakarta hari ini.

    Pertama, di Kawasan Gambir tepatnya di Silang Selatan Monas terdapat aksi dari Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI).
     

    Kedua, di Jalan Medan Merdeka Barat, sekitar Gedung MK. Aliansi Pemuda Mahasiswa Pemerhati Bangsa menuntut sejumlah isu kebangsaan.

    Ketiga, di Kantor PSSI. Aksi tersebut dilakukan oleh massa Ultras Garuda Indonesia. Sedangkan titik keempat adalah Kantor Komnas HAM. Aksi yang digelar leh DPD Front Persaudaraan Islam menyuarakan isu hak asasi manusia.

    Keempat titik tersebut diketahui rawan memicu kepadatan lalu lintas sehingga masyarakat diimbau mengatur perjalanan.

    Bagi sobat Medcom.id yang ingin melakukan perjalanan sebaiknya menghindari jalan-jalan yang menjadi titik aksi massa.

    Jakarta: Sejumlah aksi unjuk rasa berlangsung di beberapa lokasi strategis di Jakarta hari ini. 
    Kepolisian pun menyiapkan pengamanan ketat dengan mengerahkan lebih dari seribu personel untuk memastikan situasi tetap kondusif.
    Empat titik demo 
    Menurut, Molecool, layanan real time live CCTV dalam cuitan diakun resminya pada Jumat, 14 November 2025 menyebutkan setidaknya ada empat titik aksi demo di Jakarta hari ini.
     
    Pertama, di Kawasan Gambir tepatnya di Silang Selatan Monas terdapat aksi dari Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI).
     

    Kedua, di Jalan Medan Merdeka Barat, sekitar Gedung MK. Aliansi Pemuda Mahasiswa Pemerhati Bangsa menuntut sejumlah isu kebangsaan.
     
    Ketiga, di Kantor PSSI. Aksi tersebut dilakukan oleh massa Ultras Garuda Indonesia. Sedangkan titik keempat adalah Kantor Komnas HAM. Aksi yang digelar leh DPD Front Persaudaraan Islam menyuarakan isu hak asasi manusia.

    Keempat titik tersebut diketahui rawan memicu kepadatan lalu lintas sehingga masyarakat diimbau mengatur perjalanan.
     
    Bagi sobat Medcom.id yang ingin melakukan perjalanan sebaiknya menghindari jalan-jalan yang menjadi titik aksi massa.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di

    Google News


    Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id

    (ANN)