NGO: IPW

  • Menunggu Keberanian Propam Polri Tindak Istri Jenderal Polisi Bergaya Glamor

    Menunggu Keberanian Propam Polri Tindak Istri Jenderal Polisi Bergaya Glamor

    JAKARTA – Mabes Polri terbitkan Surat Telegram dengan nomor ST/30/XI/HUM.3.4/2019/DIVPROPAM yang berisi tentang aturan disiplin anggota Polri, kode etik profesi Polri dan kepemilikan barang mewah oleh pegawai negeri di Polri.

    Surat ini ditandatangani oleh Kadiv Propam Polri Irjen Sulistyo Sigit Prabowo pada 15 November 2019. Ada enam poin imbauan dalam surat itu, di antaranya adalah imbauan tidak menunjukkan, memakai, memamerkan barang mewah dalam interaksi sosial di kedinasan maupun di area publik bagi anggota Polri.

    Selain itu, ada juga imbauan yang melarang anggota Polri mengunggah foto atau video pada media sosial yang menunjukkan gaya hidup yang hedonis. Sebab, hal ini dianggap bisa menimbulkan kecemburuan sosial.

    Kemudian, surat itu juga berisi imbauan agar pimpinan kasatwil, perwira dapat memberikan contoh perilaku dan sikap yang baik, tidak memperlihatkan gaya hidup yang hedonis terutama Bhayangkari dan keluarga besar Polri.

    Jika nantinya anggota kepolisian tak menjalankan imbauan itu, akan ada sanksi tegas yang bakal diberikan oleh Divisi Propam Polri. Hanya saja tak dijelaskan seperti apa sanksinya.

    Walau surat tersebut menyebut ada sanksi tegas bagi pelanggar, pertanyaan justru muncul dari Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Nate S Pane. Dia mengakui, imbauan yang baru saja dikeluarkan ini adalah hal positif.

    Namun, Nate sedikit skeptis dengan kinerja Propam Polri dalam melakukan pengawasan terkait surat telegram itu. Utamanya, keberanian Propam Polri dalam melakukan pengawasan terhadap istri maupun keluarga jenderal di lingkungan kepolisian. Apalagi, sanksi dari imbauan hidup sederhana tersebut masih belum jelas.

    “Jika TR (telegram) hidup sederhana tidak dipenuhi, apa sanksinya? Beranikah (Propam) menindak istri-istri jenderal yang kerap bergaya hidup glamor dengan barang branded berharga super mahal?” kata Nate kepada wartawan di Jakarta, Minggu, 17 November.

    Tak hanya skeptis soal keberanian Propam Polri, Nate juga sebenarnya bingung bagaimana bisa anggota Polri kemudian hidup bak selebriti dengan menggunakan barang serba branded dan memamerkannya di media sosial.

    Apalagi, Nate menganggap, masih banyak polisi yang gajinya di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) Bekasi yang berkisar di angka Rp4 juta-an. Anggapan itu juga tak sepenuhnya salah. Sebab,  berdasarkan PP Nomor 17 Tahun 2019 disebutkan untuk golongan I Tamtama Bhayangkara Dua biasa menerima gaji dimulai dari Rp1.643.500 sampai Rp2.538.100.

    Untuk pangkat Bhayangkara Satu, biasanya menerima gaji berkisar Rp1.649.900 sampai Rp2.617.500. Selanjutnya Bhayangkara Kepala biasa menerima gaji berjumlah Rp1.747.900 dan tertinggi sebesar Rp2.699.400.

    Kemudian untuk jabatan Ajun Brigadir Polisi dua, bisa menerima gaji berkisar Rp1.802.600 sampai Rp 2.783.900. Lalu Ajun Brigadir polisi satu Rp1.858.900. Sementara itu untuk gaji Ajun Brigadir Polisi di antara Rp1.917.100 sampai Rp 2.960.700.

    Selanjutnya, untuk golongan Bintara Brigadir Polisi Dua Rp2.103.700 sampai Rp3.457.100. Kemudian Brigadir Polisi Satu biasanya menerima gaji sebesar Rp2.169.500 sampai Rp3.565.200.

    Sedangkan, pangkat Brigadir Polisi bisa menerima gaji dengan kisaran Rp2.237.400 sampai Rp3.676.700 dan gaji Brigadir Polisi Kepala sekitar Rp2.307.400 hingga Rp3.791.900. Untuk golongan Perwira Menengah gaji komisaris polisi dimulai dari Rp3.000.100 sampai Rp4.930.100. Terakhir, untuk golongan Perwira Tinggi Jenderal biasa menerima gaji dengan kisaran Rp5.328.200 sampai Rp5.930.800.

    Bukan hanya soal polisi yang bergaji tak berbeda dengan UMP Bekasi bisa bergaya hidup mewah, Nate menilai, edaran ini sebenarnya juga menunjukkan adanya keresahan di internal Polri karena gaya hidup abnormal yang tak sesuai gaji.

    “Ada rasa malu yang berkembang di lingkup internal Polri terhadap sorotan dan kecaman masyarakat terhadap gaya hidup sebagian besar polisi di negeri ini, sehingga untuk menyikapi hal itu Propam Polri perlu mengeluarkan TR gaya hidup sederhana,” ungkapnya.

    Sehingga, bukan hanya memberikan sanksi tegas secara jelas. Ke depan, IPW juga berharap, Propam Polri juga berani mengeluarkan data dan mengungkap siapa saja anggota Polri yang bergaya melebihi penghasilannya.

    “Sebab, dari pantauan IPW, cukup banyak anggota Polri, terutama para istri jenderal, yang suka pamer kekayaan dengan barang-barang branded yang supermahal,” tutupnya.

  • Kriminal kemarin, pemeriksaan eks Kadisbud DKI lalu bar LGBT Jaksel

    Kriminal kemarin, pemeriksaan eks Kadisbud DKI lalu bar LGBT Jaksel

    Jakarta (ANTARA) – Sejumlah berita kriminal di kanal Metro ANTARA pada Senin (6/1) antara lain pemeriksaan mantan Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Iwan Henry atas kasus korupsi, personel Polres Kepulauan Seribu dipecat hingga fakta baru bar LGBT di Jakarta Selatan.

    Berikut rangkumannya:

    1. Kejati DKI Jakarta periksa Iwan Henry terkait korupsi di Disbud DKI

    Jakarta (ANTARA) – Penyidik dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta memeriksa mantan Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Iwan Henry Wardhana (IHW) sebagai tersangka korupsi anggaran tahun 2023 di instansi tersebut.

    “Pada Senin, IHW dan MFM memenuhi panggilan penyidik Kejati DKI Jakarta untuk menjalani pemeriksaan,” kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta Syahroni Hasibuan di Jakarta, Senin.

    Baca selengkapnya di sini

    2. Polisi masih kejar lima pelaku pencurian di pintu Tol Plumpang Jakut

    Jakarta (ANTARA) – Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Metro Jakarta Utara masih mengejar lima pelaku pencuri disertai kekerasan yang menjalankan aksinya di pintu masuk tol Plumpang, Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada Jumat (3/1) malam.

    “Identitas lima orang tersebut sudah kami dikantongi,” kata Kepala Unit (Kanit) Kejahatan dan Kekerasan (Jatanras) Satreskrim Polres Metro Jakarta Utara, AKP Fauzan di Jakarta, Senin.

    Baca selengkapnya di sini

    3. Uang pemerasan DPW bakal dikembalikan, IPW: Polisi tidak serius

    Jakarta (ANTARA) – Indonesia Police Watch (IPW) menyebutkan pihak Kepolisian tidak serius menangani kasus pemerasan oleh oknum personelnya yang terjadi di acara Djakarta Warehouse Project (DWP) jika berencana mengembalikan uang korban.

    “Rencana pengembalian uang hasil pemerasan Rp2,5 miliar oleh Polri kepada korban penonton DWP membuktikan bahwa institusi Polri tidak serius menuntaskan kasus yang melibatkan anggotanya ke ranah pidana dan cukup berhenti di Komisi Kode Etik Polri (KKEP),” kata Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso dalam keterangannya di Jakarta, Senin.

    Baca selengkapnya di sini

    4. Akibat narkoba-desersi, tujuh personel Polres Kepulauan Seribu dipecat

    Jakarta (ANTARA) – Tujuh personel Kepolisian Resor Kepulauan Seribu dipecat akibat melakukan pelanggaran seperti penyalahgunaan narkoba dan meninggalkan tugas tanpa izin resmi atau desersi.

    Pemberhentian resminya dilakukan melalui Upacara Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) di Mako Perwakilan Polres Kepulauan Seribu, di Marina Ancol, Jakarta Utara, pada Senin.

    Baca selengkapnya di sini

    5. Bar LGBT di Jakarta Selatan sudah setahun operasi

    Jakarta (ANTARA) – Polisi menyebutkan tempat hiburan (bar), Bunker Bar diduga tempat aktivitas lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) di pusat perbelanjaan (mal) kawasan Grogol Utara, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan sudah setahun beroperasi.

    “Sejauh ini kita menanyakan karyawannya sudah buka satu tahun, dari mulai Januari 2024, kemudian kemarin tutup permanen mulai Rabu (1/1),” kata Kasi Humas Polres Metro Jakarta Selatan Kompol Nurma Dewi kepada wartawan di Jakarta, Senin.

    Baca selengkapnya di sini

    Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
    Editor: Budhi Santoso
    Copyright © ANTARA 2025

  • Kasus Pemerasan Penonton DWP Coreng Muka Indonesia, DPR Dorong Polri Tindak Tegas Para Pelaku – Halaman all

    Kasus Pemerasan Penonton DWP Coreng Muka Indonesia, DPR Dorong Polri Tindak Tegas Para Pelaku – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kasus pemerasan berkedok razia narkoba ilegal yang terjadi di acara Djakarta Warehouse Project atau DWP 2024 mencuri perhatian publik setelah melibatkan 18 anggota polisi.

    Belasan oknum polisi menggunakan modus ancaman terhadap penonton, terutama warga negara Malaysia, dengan tuduhan penyalahgunaan narkoba meskipun hasil tes menunjukkan negatif.

    Tindakan tersebut dilakukan untuk memperoleh uang tebusan, yang totalnya mencapai Rp 2,5 miliar dari 45 korban.

    Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi III DPR RI, Rudianto Lallo mengecam keras laku lancung para oknum tersebut.

    Ia meminta Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit prabowo memberikan tindakan tegas dengan menyeret para pelaku ke meja peradilan umum pidana.

    “Diberi sanksi yang berat seberat-beratnya berupa apa? berupa pemberhentian dan kalau perlu diseret ke peradilan umum untuk dimintai tanggung jawabnya gitu, jangan ada kesan melindungi anggota dilakukan perbuatan tercela kita dorong itu,” katanya kepada wartawan, Senin (6/1/2025). 

    Politikus NasDem ini mengaku kecewa dengan tindak tanduk oknum Polda Metro Jaya yang mencoreng nama Indonesia di mata internasional khusunya dalam hubungan bilateral RI-Malaysia.

    “Kita dorong pimpinan Polri untuk mengambil langkah tegas iya terhadap siapapun oknum di anggota Polri yang melakukan pelanggaran pidana. Apalagi kasus ini mencoreng institusi Polri bukan hanya di mata nasional tapi sudah mata internasional iya, sehingga tindakan pelaku perbuatan anggota Polri yang pemerasan ini harus diberi sanksi yang sekeras kerasnya,” katanya.

    Sementara itu, Anggota Komisi I DPR Yoyok Riyo Sudibyo berpandangan perbuatan tersebut hanya merupakan segelintir oknum saja.

    “Ini oknum sama dengan Malaysia juga pasti ada oknum-oknumnya. Dan secara gamblang Indonesia juga sudah memproses secara hukum dengan baik. Jadi Malaysia juga pasti mengerti,” katanya.

    Meski begitu, Rudianto acungan jempol kepada Polri yang tegas memecat anggotanya di kasus pemerasan pengunjung Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024. Rudianto menyebut hal inilah yang menjadi harapan publik.

    “Kita patut acungi jempol pimpinan Polri karena berani mengambil langkah tegas. Seperti inilah harusnya yang diharapkan publik, masyarakat di mana ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh alat negara kita, Polri, yang tugasnya mengayomi melindungi ya. Lantas kemudian dia melakukan kejahatan maka diharapkan masyarakat itu adalah langkah tegas menindak,” ucapnya.

    Indonesia Police Watch (IPW) menyebutkan pihak Kepolisian tidak serius menangani kasus pemerasan oleh oknum personelnya yang terjadi di acara Djakarta Warehouse Project (DWP) jika berencana mengembalikan uang korban.

    “Rencana pengembalian uang hasil pemerasan Rp2,5 miliar oleh Polri kepada korban penonton DWP membuktikan bahwa institusi Polri tidak serius menuntaskan kasus yang melibatkan anggotanya ke ranah pidana dan cukup berhenti di Komisi Kode Etik Polri (KKEP),” kata Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso dalam keterangannya di Jakarta, Senin.

    Sugeng menjelaskan bahwa menurut hukum uang yang disita tersebut adalah merupakan barang bukti hasil kejahatan.

    “Sehingga, kalau uang yang disita dikembalikan maka tidak ada barang bukti yang bisa dijadikan penyidik untuk menjerat pelaku yang juga anggota Polri tersebut,” katanya.

    Sugeng menambahkan, penegak hukum tahu bahwa barang bukti itu akan dibawa ke peradilan dan hakim yang memutus perkara pemerasan terhadap warga negara Malaysia untuk menentukan apakah uang yang disita dimasukkan ke kas negara atau dikembalikan kepada para korban atau dimusnahkan.

    “Polisi sebagai penyidik tidak memiliki kewenangan menetapkan status lebih lanjut atas barang bukti uang Rp2,5 miliar tersebut selain menyita sesuai hukum dan menjadikannya sebagai barang bukti hasil pemerasan,” katanya.

    Sebelumnya, majelis sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) telah menggelar sidang etik pertama Selasa (31/12). Sidang etik itu dipantau langsung oleh Kompolnas.

    Hasil sidang etik itu, dua oknum polisi dijatuhi sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) atau dipecat. Dua oknum polisi itu yakni mantan Dirresnarkoba Polda Metro Jaya Kombes Donald Parlaungan Simanjuntak dan mantan Panit 1 Unit 3 Subdit 3 Ditresnarkoba Polda Metro Jaya AKP Yudhy Triananta Syaeful.

    “Terhadap terduga masing-masing 2 terduga pelanggar telah diberikan putusan Majelis Komisi sidang kode etik profesi Polri dijatuhi sanksi berupa Pemberhentian dengan Tidak Hormat (PTDH),” kata Karo Penmas Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko dalam keterangan tertulis, Rabu (1/1/2025).

    Polri melanjutkan sidang etik terhadap mantan Kasubdit III Ditresnarkoba Polda Metro Jaya AKBP Malvino Edward Yusticia (MEY). AKBP Malvino dinyatakan melakukan pelanggaran etik dugaan pemerasan pengunjung konser DWP.

    “Pemberhentian tidak dengan hormat atau PTDH sebagai anggota Polri,” kata Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko dalam jumpa pers di Mabes Polri, Kamis (2/1/2025).

    Proses sidang etik kasus ini masih terus berjalan. Ada potensi jumlah anggota yang dipecat akan bertambah.

  • IPW Kritik Polri akan Kembalikan Uang Rp 2,5 M Hasil Pemerasan Penonton DWP, Kenapa Prabowo Diam?

    IPW Kritik Polri akan Kembalikan Uang Rp 2,5 M Hasil Pemerasan Penonton DWP, Kenapa Prabowo Diam?

  • IPW Sebut Rencana Pengembalian Uang Pemerasan Bisa Hilangkan Proses Pidana Kasus DWP

    IPW Sebut Rencana Pengembalian Uang Pemerasan Bisa Hilangkan Proses Pidana Kasus DWP

    Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia Police Watch (IPW) menilai keliru rencana pengembalian uang hasil dugaan pemerasan oknum Polisi sebesar Rp2,5 miliar dalam acara DWP 2024.

    Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso mengatakan uang miliar itu seharusnya menjadi barang bukti dalam kasus pemerasan terhadap WNA Malaysia tersebut.

    Dengan demikian, IPW menduga rencana pengembalian uang tersebut bisa jadi merupakan upaya penghilangan alat bukti oleh kepolisian.

    “Kalau uang yang disita sebesar Rp2,5 Miliar dari 45 korban pemerasan WN Malaysia tersebut jadi dikembalikan maka sama saja dengan meniadakan atau menghilangkan barang bukti untuk proses hukum [pidana],” ujar Sugeng dalam keterangan tertulis, Senin (6/1/2025).

    Lebih lanjut, kata Sugeng, pengembalian uang Rp2,5 miliar itu juga berpeluang membuat penegakan hukum pidana terhadap belasan oknum tidak dilanjutkan.

    Selain itu, IPW juga menekankan bahwa kasus dugaan pemerasan ini masuk dalam kualifikasi tindak pidana korupsi yang tidak bisa diselesaikan dengan restorative justice (RJ).

    “Dugaan tindak pidana pemerasan dalam jabatan dalam kasus DWP ini masuk dalam kualifıkasi tindak pidana korupsi yang tidak dapat diselesaikan dengan jalur restorative justice,” tutur Sugeng.

    Sebelumnya, wacana pengembalian uang Rp2,5 miliar dikemukakan oleh Karowabprof Divpropam Polri, Brigjen Pol Agus Wijayanto. Menurutnya, uang tersebut direncanakan bakal kembali kepada pihak yang berwenang.

    “Terkait barang bukti, tadi disampaikan barang bukti yang berhasil kita amankan, kita sita Rp2,5 miliar sekian, dan nanti akan dikembalikan ke yang berhak,” kata Agus saat jumpa pers, Kamis (2/1/2025).

    Nantinya, menurut Agus, proses pengembalian Rp2,5 miliar itu akan melalui mekanisme yang disusun Div Propam Polri. Setelah uang tersebut selesai dijadikan sebagai barang bukti dalam proses etik.

    “Tentunya ini dalam rangka pendataan dilakukan oleh Div Propam baik Biro Paminal kita temui dan nanti akan ada proses di sana untuk barang bukti Rp2,5 M sekian,” pungkasnya.

  • IPW Nilai Polisi Tak Serius Tuntaskan Kasus Pemerasan Penonton DWP

    IPW Nilai Polisi Tak Serius Tuntaskan Kasus Pemerasan Penonton DWP

    Jakarta, Beritasatu.com – Mabes Polri berencana mengembalikan uang Rp 2,5 Miliar ke penonton yang menjadi korban pemerasan berkedok tes urine di Djakarta Warehouse Project (DWP). Indonesia Police Watch (IPW) menilai Polri tak serius menuntaskan kasus tersebut.

    Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso menjelaskan, apabila hal itu dilakukan, maka Polri hanya menyelesaikan kasus tersebut melalui Komisi Kode Etik Polri (KKEP) bukan pidana.

    “Ini membuktikan bahwa institusi Polri tidak serius menuntaskan kasus pemerasan penonton DWP yang melibatkan anggotanya ke ranah pidana,” kata Sugeng dalam keterangannya Senin (6/1/2025).

    Sugeng mengungkapkan, uang Rp 2,5 miliar merupakan bukti kejahatan. Apabila uang tersebut dikembalikan, maka kasus tersebut hanya berhenti di sidang etik.

    “Penegak hukum tahu bahwa barang bukti itu akan dibawa ke pengadilan dan nanti hakim yang memutus perkara pemerasan terhadap warga negara Malaysia untuk menentukan apakah uang yang disita dimasukkan ke kas negara atau dikembalikan kepada para korban atau dimusnahkan,” ungkapnya.

    Seharusnya, kata Sugeng, uang dari pemerasan penonton DWP tersebut dikembalikan seusai persidangan pidana kasus tersebut tuntas.

    “Kalau uang yang disita sebesar Rp 2,5 miliar dari 45 korban pemerasan WN Malaysia tersebut jadi dikembalikan maka sama saja dengan meniadakan atau menghilangkan barang bukti,” katanya.

    Sugeng mendesak Polri lebih serius menuntaskan kasus  pemerasan penonton DWP tersebut. Alasannya, hal itu bisa menjadi preseden buruk penuntasan kasus pemerasan di lingkungan Polri. 

    “Yang dibutuhkan oleh Institusi Polri adalah ketegasan dan komitmen memberantas polisi-polisi nakal seperti pemerasan penonton DWP,” pungkasnya.

  • Uang pemerasan DPW bakal dikembalikan, IPW: Polisi tidak serius

    Uang pemerasan DPW bakal dikembalikan, IPW: Polisi tidak serius

    Jakarta (ANTARA) – Indonesia Police Watch (IPW) menyebutkan pihak Kepolisian tidak serius menangani kasus pemerasan oleh oknum personelnya yang terjadi di acara Djakarta Warehouse Project (DWP) jika berencana mengembalikan uang korban.

    “Rencana pengembalian uang hasil pemerasan Rp2,5 miliar oleh Polri kepada korban penonton DWP membuktikan bahwa institusi Polri tidak serius menuntaskan kasus yang melibatkan anggotanya ke ranah pidana dan cukup berhenti di Komisi Kode Etik Polri (KKEP),” kata Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso dalam keterangannya di Jakarta, Senin.

    Sugeng menjelaskan bahwa menurut hukum uang yang disita tersebut adalah merupakan barang bukti hasil kejahatan.

    “Sehingga, kalau uang yang disita dikembalikan maka tidak ada barang bukti yang bisa dijadikan penyidik untuk menjerat pelaku yang juga anggota Polri tersebut,” katanya.

    Sugeng menambahkan, penegak hukum tahu bahwa barang bukti itu akan dibawa ke peradilan dan hakim yang memutus perkara pemerasan terhadap warga negara Malaysia untuk menentukan apakah uang yang disita dimasukkan ke kas negara atau dikembalikan kepada para korban atau dimusnahkan.

    “Polisi sebagai penyidik tidak memiliki kewenangan menetapkan status lebih lanjut atas barang bukti uang Rp2,5 miliar tersebut selain menyita sesuai hukum dan menjadikannya sebagai barang bukti hasil pemerasan,” katanya.

    Sugeng menjelaskan jika uang yang disita sebesar Rp2,5 miliar dari sejumlah korban pemerasan tersebut dikembalikan, maka sama saja dengan meniadakan atau menghilangkan barang bukti untuk proses hukum yang tentunya tanda tanya masyarakat serta akan menimbulkan kepercayaan publik terhadap institusi Polri merosot.

    “Sebab, pemerasan yang dilakukan oleh satuan kerja di reserse narkoba secara berjamaah itu tidak akan diproses secara hukum padahal sudah terlanjur ramai di media sosial, baik di tanah air maupun di luar negeri,” katanya.

    Dugaan tindak pidana pemerasan dalam jabatan pada kasus DWP ini masuk dalam kualifikasi tindak pidana korupsi yang tidak dapat diselesaikan dengan jalur “restorative justice”.

    Kepala Biro Pengawasan dan Pembinaan Profesi Divisi Propam Polri Brigadir Jenderal Polisi Agus Wijayanto mengatakan bahwa uang hasil kejahatan dalam kasus dugaan pemerasan pada DWP 2024 akan dikembalikan kepada korban.

    “Barang bukti yang berhasil kita amankan, kita sita Rp2,5 miliar sekian dan nanti dikembalikan kepada yang berhak,” ucap Agus Wijayanto di Gedung TNCC Mabes Polri, Jakarta, Kamis (2/1).

    Mengenai mekanisme pengembalian, Agus mengatakan bahwa Polri akan mengatur pengembalian uang tersebut kepada para korban.

    “Ini dalam rangka pendataan dilakukan oleh Divisi Propam, baik Biro Paminal kita temui dan nanti ada proses di sana untuk barang bukti Rp2,5 miliar,” katanya.

    Pewarta: Ilham Kausar
    Editor: Sri Muryono
    Copyright © ANTARA 2025

  • IPW Kritisi Rencana Pengembalian Uang Hasil Pemerasan Rp2,5 Miliar di Kasus DWP – Halaman all

    IPW Kritisi Rencana Pengembalian Uang Hasil Pemerasan Rp2,5 Miliar di Kasus DWP – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Indonesia Police Watch Sugeng Teguh Santoso mengkritisi rencana pengembalian uang hasil pemerasan Rp2,5 Miliar oleh Polri kepada korban penonton Djakarta Warehouse Project (DWP).

    Menurutnya langkah itu membuktikan bahwa institusi Polri tidak serius menuntaskan kasus yang melibatkan anggotanya ke ranah pidana dan cukup berhenti di Komisi Kode Etik Polri (KKEP). 

    Pasalnya, kalau Institusi Polri merupakan penyidik seperti yang diamanatkan oleh peraturan perundangan dan menurut hukum maka uang yang disita itu adalah merupakan barang bukti hasil kejahatan. 

    Sehingga kalau uang yang disita dikembalikan maka tidak ada barang bukti  yang bisa dijadikan penyidik menjerat pelaku yang juga anggota Polri tersebut. 

    “Penegak hukum tahu, bahwa barang bukti itu akan dibawa ke peradilan dan nanti hakim yang memutus perkara pemerasan terhadap Warga Negara Malaysia untuk menentukan apakah uang yang disita dimasukkan ke kas negara atau dikembalikan kepada para korban atau dimusnahkan,” kata Sugeng kepada wartawan, Senin (6/1/2025).

    Polisi sebagai penyidik tidak memiliki kewenangan menetapkan status lebih lanjut atas barang bukti uang Rp2,5 miliar tersebut selain menyita sesuai hukum dan menjadikannya sebagai barang bukti hasil kejahatan pemerasan.

    Kalau uang yang disita sebesar Rp 2,5 Miliar dari 45 korban pemerasan WN Malaysia tersebut jadi dikembalikan maka sama saja dengan meniadakan/menghilangkan barang bukti untuk proses hukum.

    “Tentunya menjadi tanda tanya masyarakat serta  akan menimbulkan kepercayaan publik terhadap institusi Polri akan merosot,” imbuhnya.

    Sebab, pemerasan yang dilakukan oleh satuan kerja di reserse narkoba secara berjamaah itu tidak akan diproses secara hukum padahal sudah terlanjur ramai di media sosial, baik di tanah air maupun di luar negeri. 

    Dugaan tindak pidana pemerasan dalam jabatan dalam kasus DWP ini masuk dalam kualifikasi tindak pidana korupsi yang tidak dapat diselesaikan dengan jalur Restorarive justice. 

    Hanya melalui proses pemeriksaan pidana maka dugaan pemerasan dalam jabatan ini bisa didalami modus,.motif serta aliran dana kepada pihak lain dan juga adanya potensi TPPU bisa muncul karena uang hasil pemerasan tersebut ditampung pada rekening tertentu milik pihak2 lain. 

    Oleh karena itu, Indonesia Police Watch (IPW) menilai yang dibutuhkan oleh Institusi Polri adalah ketegasan dan komitmen memberantas polisi-polisi nakal. 

    Hal ini sesuai yang disampaikan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dengan memberi perintah tegas kepada jajarannya agar tak segan memberi hukuman kepada anggota yang melanggar hukum.

    “Perlu tindakan tegas, jadi tolong tidak pakai lama, segera copot, PTDH, dan proses pidana. Segera lakukan dan ini menjadi contoh bagi yang lainnya. Saya minta tidak ada Kasatwil yang ragu, bila ragu, saya ambil alih,” kata Kapolri dalam arahannya kepada jajaran. (Tribunnews/Reynas Abdila)

  • Chuck Putranto Dapat Jabatan di PMJ, Polri Disebut Tak Serius Berbenah

    Chuck Putranto Dapat Jabatan di PMJ, Polri Disebut Tak Serius Berbenah

    Jakarta, CNN Indonesia

    Indonesia Police Watch (IPW) menilai Polri tak serius membenahi persoalan internal usai sejumlah polisi yang terlibat kasus Ferdy Sambo kembali menduduki jabatan.

    Salah satunya adalah Kompol Chuck Putranto yang naik pangkat ke AKBP, dan saat ini menduduki posisi Kabagbinopsnal Ditreskrimum Polda Metro Jaya. Chuck terlibat dalam perintangan penyidikan kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat, 8 Juli 2022. Dia berperan merusak dan menghilangkan CCTV di sekitar rumah Irjen Ferdy Sambo.

    Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso memahami promosi jabatan adalah kewenangan Polri, tapi ia berpendapat seharusnya Chuck Putranto dan kawan-kawan tak mendapatkan promosi.

    “Ini menunjukkan bahwa Polri belum serius belum serius di dalam melakukan penindakan kepada anggotanya yang melanggar,” kata Sugeng saat dihubungi CNNIndonesia.com, Sabtu (4/1).

    Dia berkata banyak polisi yang berprestasi dan menunggu kenaikan pangkat dan jabatan, tapi Polri malah memberikan kenaikan pangkat ke sejumlah polisi yang bermasalah.

    Sugeng mengatakan kenaikan pangkat dan jabatan bagi polisi-polisi yang terlibat kasus Sambo contoh buruk dan ia khawatir polisi-polisi lain menyepelekan pelanggaran hukum.

    “Tentu, seperti itu (preseden buruk). ‘Kita lakukan pelanggaran saja, bisa diurus, bisa dilakukan lobi-lobi,’,” ujarnya.

    Sebelumnya, Polri menyertakan sejumlah polisi yang pernah terlibat kasus Ferdy Sambo dalam daftar promosi jabatan. Hal itu tertuang dalam Surat Telegram (TR) Nomor ST/1/KEP/2025 tanggal 2 Januari 2025.

    Chuck Putranto sendiri divonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan satu tahun penjara dan denda Rp10 juta subsider tiga bulan penjara. Vonis itu lebih rendah dari tuntutan jaksa dua tahun penjara dan denda Rp 10 juta subsider tiga bulan penjara.

    Ia bebas dari penjara pada Juni 2023 usai mendapatkan asimilasi karena Covid-19.

    Chuck Putranto sempat dijatuhi hukuman pemecatan tidak dengan hormat (PTDH) oleh kepolisian. Ia dinilai melanggar etik karena menghalangi proses hukum dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua.

    Meski demikian, hukuman itu dibatalkan setelah Chuck banding. Ia hanya dijatuhi hukuman demosi dan tetap menjadi anggota Polri.

    (dhf/vws)

    [Gambas:Video CNN]

  • IPW Khawatir Kasus Pemerasan DWP Tak Diseret ke Jalur Hukum

    IPW Khawatir Kasus Pemerasan DWP Tak Diseret ke Jalur Hukum

    Jakarta, CNN Indonesia

    Indonesia Police Watch (IPW) khawatir kasus pemerasan oleh oknum kepolisian di acara Djakarta Warehouse Project (DWP) tidak dilanjutkan ke jalur pidana.

    Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso menangkap sinyal itu dari pernyataan Karowabprof Divpropam Polri Brigjen Agus Wijayanto tentang pengembalian uang bukti Rp2,5 miliar kepada korban pemerasan.

    “Kalau ini dikembalikan, ada potensi kehilangan barang bukti. Kalau tidak ada barang buktinya, tidak bisa untuk dilakukan proses pidana, kekurangan alat buktinya. Apakah dimaksudkan dengan hal ini supaya proses pidananya tidak dilakukan?” kata Sugeng saat dihubungi CNNIndonesia.com, Sabtu (4/1).

    Sugeng mengatakan uang tersebut seharusnya berstatus disita penyidik dan dijadikan barang bukti selama persidangan.

    Pengembalian dilakukan setelah persidangan selesai. Itu pun harus menunggu putusan pengadilan apakah uang-uang itu dikembalikan, dimusnahkan, atau dikembalikan ke negara.

    “Mohon menjadi perhatian Pak Kapori jangan dilakukan kembalikan barang bukti sebelum dilakukan proses pidana dan ditetapkan oleh pengadilan,” ujarnya.

    “Soal kasus DWP ini kalau tidak dilakukan proses pidana, semakin menguatkan bahwa belum seriusnya institusi Polri menindak,” imbuh Sugeng.

    Kepolisian sebelumnya menyatakan 18 orang polisi terlibat pemerasan DWP. Mereka melakukan pemeriksaan tes urin kepada penonton dan meminta sejumlah uang dengan ancaman proses hukum.

    Sebagian polisi telah diproses etik. mantan Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya Kombes Donald P Simanjuntak dijatuhi sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) karena membiarkan anak buahnya melakukan pemerasan di DWP.

    Iptu Sehatma disanksi demosi delapan tahun. Brigadir Fahrudun disanksi demosi lima tahun.

    (dhf/sfr)

    [Gambas:Video CNN]