NGO: INDEF

  • Ekonom Minta Skema MBG Diubah, UMKM Harus Dilibatkan – Page 3

    Ekonom Minta Skema MBG Diubah, UMKM Harus Dilibatkan – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Ekonom Senior Indef Aviliani menilai program Makan Bergizi Gratis (MBG) masih memiliki banyak kelemahan dalam pelaksanaannya. Menurutnya, program ini berpotensi baik untuk memperbaiki gizi anak-anak, tetapi model yang dipakai saat ini perlu untuk diubah.

    “Jadi, saya melihat program ini paling tidak untuk generasi ke depan itu bagus. Tapi mungkin metodenya perlu diubah,” kata Aviliani dalam Diskusi Publik INDEF: Menakar RAPBN 2026, ditulis Jumat (5/9/2025).

    Salah satu kelemahan yang disorot adalah persyaratan teknis yang terlalu berat. Misalnya, adanya kewajiban penyediaan dapur khusus dan pengelola tertentu, yang membuat pelaku usaha kecil sulit terlibat. Padahal, UMKM bisa menjadi tulang punggung dalam mendistribusikan makanan bergizi jika mekanisme program lebih sederhana.

    “MBG itu sebenarnya kalau kita lihat, kalau itu berdampaknya juga pada UMKM, itu akan membantu peningkatan pendapatan mereka. Tapi sayangnya kalau kita lihat persyaratannya terlalu berat, harus ada dapur, kemudian juga orang yang menangani itu tidak mungkin yang UMKM,” jelasnya.

    Aviliani menegaskan, jika MBG hanya dijalankan sebagai proyek distribusi makanan tanpa mengaitkannya dengan struktur ekonomi rakyat, manfaatnya akan terbatas.

    “Oleh karena itu, mungkin program ini perlu dikaitkan juga, selain tadi makanan bergizi, dikaitkan juga dengan UMKM. Mungkin perlu dirubah model dalam pelaksanaannya,” usulnya.

    Menurutnya, sudah saatnya MBG tidak hanya dipandang sebagai program sosial semata, melainkan sebagai bagian dari strategi pemulihan ekonomi. Caranya adalah dengan mengaitkan langsung MBG dengan aktivitas ekonomi rakyat, terutama UMKM.

     

  • Indef Bandingkan Skema Program MBG Prabowo dengan Brasil hingga India

    Indef Bandingkan Skema Program MBG Prabowo dengan Brasil hingga India

    Bisnis.com, JAKARTA — Institute for Development of Economics and Finance (Indef) membandingkan skema program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Indonesia dengan beberapa negara berkembang lainnya yang telah lebih dulu menerapkan program serupa, seperti Brasil, Nigeria hingga India.

    Kepala Pusat Ekonomi Digital dan UMKM Indef, Izzudin Al Farras mengatakan, ketiga negara itu dipilih karena memiliki karakteristik geografis dan jumlah penduduk yang mirip dengan Indonesia. Alhasil, menurutnya Indonesia dapat mengambil pembelajaran dari negara-negara tersebut.

    Lebih lanjut dia mengatakan, selama 8 bulan pelaksanaan program MBG, Indonesia justru lebih banyak mengadopsi skema dari India, dengan menyiapkan dapur umum dan mendistribusikannya ke berbagai sekolah. Menurutnya, hal itu tidak relevan jika diterapkan di Indonesia.

    “Nah, itu tentu sebuah model yang barangkali cocok di India, tapi ternyata dalam 8 bulan terakhir, model tersebut tidak cocok dilaksanakan di Indonesia,” ujar Izzudin dalam diskusi publik secara virtual pada Kamis (4/9/2025).

    Pasalnya, dia menilai skema tersebut berpotensi timbul masalah tata kelola, serta minimnya pengawasan dari Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Terbukti, dalam kurun waktu 8 bulan pelaksanaannya, korban keracunan makanan akibat MBG tembus 4.000 orang.

    Sementara itu di Nigeria, program makan bergizi gratis melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat. Tujuan utamanya untuk meningkatkan kehadiran anak ke sekolah, mengatasi malnutrisi, hingga meningkatkan konsentrasi dan kinerja akademis.

    Dari ketiga negara yang dijadikan perbandingan, Indef menilai skema distribusi makanan ala Brasil lebih relevan diterapkan di Indonesia dibanding meniru model India. 

    Di Brasil, distribusi dilakukan bekerja sama dengan dinas pendidikan setempat dan komite sekolah, sedangkan penyajian makanan berlangsung di kantin, sehingga alur program lebih terorganisir dan dekat dengan murid.

    “Skema yang di Brasil itu disalurkan bantuannya melalui kerja sama dengan dinas pendidikan setempat, kemudian bekerja sama dengan komite sekolah, dan penyajian makanannya dilaksanakan di kantin sekolah,” ujarnya. 

    Pendekatan ini memberi masyarakat lokal peran aktif dalam mengawasi jalannya program. Menurut Indef, pelibatan masyarakat mampu meminimalisir risiko keracunan, penyalahgunaan anggaran, dan minimnya pengawasan. 

    Skema ini juga dinilai sesuai kultur Indonesia yang menekankan partisipasi masyarakat dalam pendidikan dan kesehatan. Misalnya, kader PKK, posyandu, dan komite sekolah yang telah lama aktif dapat dilibatkan secara formal. Dengan mekanisme partisipatif, kualitas makanan lebih terjamin, sementara pengelolaan anggaran menjadi transparan.

    “Jadi, ini sudah ada best practice-nya, bahwa kalau skema yang kita lakukan dengan India ini belum berhasil, kita perlu exercise dengan pelibatan masyarakat yang lebih masif melalui percontohan atau skema yang telah dilaksanakan di Brazil,” pungkasnya.

    Sebagai tambahan informasi, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, pemerintah mengalokasikan sebesar Rp335 triliun untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG). Besaran alokasi anggaran MBG pada 2026 melonjak drastis sebesar 371,8% dari tahun 2025 yang hanya senilai Rp71 triliun.

  • RAPBN 2026 Abaikan Kelas Menengah Bawah yang Kian Terjepit – Page 3

    RAPBN 2026 Abaikan Kelas Menengah Bawah yang Kian Terjepit – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Ekonom Senior INDEF Aviliani menyoroti bahwa kelompok kelas menengah bawah menjadi pihak paling rentan dalam kondisi ekonomi saat ini.

    “Sekarang kan problemnya adalah pada kelas menengah bawah. Nah jadi kebijakan di dalam RAPBN seharusnya memang sudah harus ada keberpihakan di dalam peningkatan pendapatan masyarakat,” kata Aviliani dalam Diskusi Publik INDEF: Menakar RAPBN 2026, Kamis (4/9/2025).

    Lantaran kelompok ini tidak masuk dalam kategori miskin sehingga tidak mendapat bantuan langsung tunai (BLT), tetapi juga tidak cukup kuat secara finansial untuk menanggung beban hidup tanpa bantuan. Akibatnya, kelompok ini semakin terhimpit oleh tekanan ekonomi.

    Menurut Aviliani, kelompok menengah bawah umumnya masih membayar BPJS secara mandiri. Berbeda dengan masyarakat miskin yang mendapat subsidi dari pemerintah, mereka harus mengalokasikan pendapatan untuk kebutuhan dasar sekaligus iuran kesehatan. Kondisi ini semakin berat ketika pendapatan mereka justru menurun.

    “Yang sekarang sedang butuh bantuan itu adalah menengah bawah. Yang mereka tidak tersentuh BLT, mereka tidak tersentuh dengan BPJS yang dibayarkan oleh pemerintah, tapi mereka biasa cenderung bayar BPJS sendiri,” ujarnya.

    Menurutnya, situasi tersebut memaksa banyak rumah tangga kelas menengah bawah mengandalkan tabungan untuk bertahan hidup. Fenomena ini populer disebut “mantab” atau makan tabungan, di mana masyarakat tidak lagi bisa mengandalkan penghasilan utama. Jika berlangsung lama, kondisi ini bisa memicu kerentanan sosial-ekonomi baru.

    “Mereka sedang menghadapi penurunan pendapatan yang akhirnya orang katakan mantab atau makan tabungan,” Ujar Aviliani.

    Aviliani menegaskan, RAPBN seharusnya tidak hanya fokus pada kelompok miskin, tetapi juga menyentuh persoalan kelas menengah bawah. Jika dibiarkan, daya beli masyarakat akan terus melemah dan berpotensi memperlambat pemulihan ekonomi nasional.

     

     

  • Program MBG Bakal Serap 10% APBN 2026, Indef Ingatkan Risiko Ini – Page 3

    Program MBG Bakal Serap 10% APBN 2026, Indef Ingatkan Risiko Ini – Page 3

    Ia menambahkan, program MBG sebenarnya memiliki tujuan mulia untuk meningkatkan gizi anak sekolah, namun pelaksanaannya harus realistis. Jika program dipaksakan dalam skala nasional tanpa uji coba terbatas, maka risiko kebocoran anggaran maupun kegagalan implementasi semakin besar.

    Karena itu, INDEF menilai bahwa pemerintah perlu meninjau ulang skema yang dipilih, termasuk mempertimbangkan model yang lebih efektif dan berbiaya lebih rendah, seperti yang telah diterapkan di Brazil.

    “Jadi, ini sudah ada best practice-nya, nilai bahwa skema yang kita lakukan dengan India ini belum berhasil, kita perlu exercise dengan pelibatan masyarakat yang lebih masif melalui percontohan atau skema yang telah dilaksanakan di Brazil,” ujarnya.

     

  • Kalau Pasar Panik karena Kerusuhan, Kita yang Bayar Mahal: Ini Penjelasannya

    Kalau Pasar Panik karena Kerusuhan, Kita yang Bayar Mahal: Ini Penjelasannya

    Jakarta

    Meski aksi demonstrasi di sejumlah daerah termasuk Jakarta relatif mulai reda, namun unjuk rasa berkepanjangan dinilai dapat menggoyahkan ekonomi nasional. Pada akhirnya kondisi ini diramal akan merugikan masyarakat ke depan.

    Danpak ekonom ini dinilai sebagai efek samping dari gagalnya pemerintah untuk menjaga stabilitas ekonomi dalam negeri. Semisal karena ketidakpastian keamanan akibat demo, investor asing ditakutkan bisa meninggalkan Indonesia.

    “Iklim investasi kita menjadi kurang baik, terutama salah satu parameternya adalah stabilitas sosial, politik, dan keamanan. Saya kira ini penting karena yang menjadi titik sentralnya adalah kantor-kantor kepolisian yang dibakar, dan itu tentu berdampak pada makna bagaimana negara memberikan kepastian keamanan atau tidak bagi para investor,” kata Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad, kepada detikcom, Selasa (2/9/2025).

    Ketidakpastian dari sisi keamanan inilah yang kemudian mendorong para investor asing menarik kembali dananya, terutama dari investasi di pasar modal maupun saham dalam negeri. Alhasil dalam proses penarikan dana ini nilai tukar rupiah biasanya juga akan melemah. Sebab para investor asing akan menjual rupiah yang dimilikinya untuk ditukar dengan mata uang lain seperti dolar.

    “Jangka pendek pasti direspons dengan saham kita turun, nilai rupiah kita sedikit terdepresiasi. Saya kira jangka pendek biasanya langsung direspons seperti itu,” ujarnya.

    “Kalau kita bandingkan sebelumnya, satu minggu atau dua minggu yang lalu sempat Rp 16.300. Ini agak melemah sekitar Rp 100 jadi 16.400 per satu dolar,” paparnya.

    Masalahnya, pelemahan nilai rupiah imbas aksi tarik dana investor ini juga berpotensi memberikan dampak lain terhadap ekonomi Indonesia alias menciptakan multiplier effect. Di mana menurut Tauhid salah satu dampak buruknya adalah naiknya harga barang atau produk impor, hingga beban utang negara dalam mata uang asing seperti dolar akan semakin berat.

    “Kalau sekarang masih relatif kecil. Tapi kalau ini melemahnya nggak bisa diperkuat dari upaya BI, maka otomatis dampaknya banyak hal. Barang impor naik, kemudian beban utang kita yang dalam bentuk mata uang asing juga naik, kemudian bahan baku untuk industri harganya naik,” terangnya.

    Jika kondisi ini benar terjadi, ujung-ujungnya yang merasakan dampak buruk adalah masyarakat sendiri. Sebab harga-harga komoditas yang bersumber dari impor seperti untuk pangan dan energi kemudian ikut meningkat, walau tidak dalam waktu dekat.

    “Ada time lag periodnya, apakah 2 bulan, 3 bulan. Karena bisa saja yang diedarkan itu masih yang dalam gudang lah. Harga impor yang lalu. Jadi kalau yang terkait kenaikan dolar ini saya kira masih belum sampai kita rasakan sekarang. Tapi akan ada penyesuaian pastinya,” ucap Tauhid.

    Di sisi lain, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal, juga melihat pelemahan nilai tukar rupiah menjadi salah satu dampak ekonomi dari aksi unjuk rasa dan kericuhan belakangan ini. Walau pelemahan ini hanya dampak jangka pendek karena demonstrasi massa sudah mulai berkurang.

    Belum lagi menurutnya Bank Indonesia (BI) juga dinilai cukup memiliki kemampuan untuk menginterferensi pelemahan rupiah. Dengan begitu nilai mata uang Indonesia ini dapat terjaga di level tertentu.

    “Nah nilai tukar rupiah, sebetulnya ini kalau melihat dari pergerakannya, kalaupun melemah ini sifatnya sesaat ya, karena dari kemampuan BI untuk melakukan intervensi, karena cadangan devisanya cukup bagus, cukup tinggi, mestinya bisa,” papar Faisal.

    Namun di luar pelemahan nilai rupiah imbas banyaknya investor asing yang kabur imbas demo, pemerintah tetap harus memperbaiki iklim investasi dalam negeri secara keseluruhan. Sebab menurutnya investor asing tidak akan kabur hanya karena aksi sesaat seperti demonstrasi, namun ada hal struktural lainnya yang mempengaruhi.

    “Tapi memang kalau terkait dengan capital outflow, sebetulnya sudah terjadi sebelum ada demo. Jadi memang kecenderungan untuk capital outflow yang menekan rupiah itu sudah terjadi terlepas dari ada tidaknya demonstrasi dan juga kekacauan kemarin,” jelasnya.

    “Dari sisi makroekonomi pun, dan juga efektivitas kebijakan pemerintah memang perlu meningkatkan keyakinan investor itu, bahwa bisa membawa ekonomi ini ke yang lebih baik. Jadi investor ingin melihat itu dari pemerintah efektivitas kebijakannya,” pungkas Faisal.

    (igo/fdl)

  • Indef nilai peran swasta harus diperkuat guna dukung peneriman pajak

    Indef nilai peran swasta harus diperkuat guna dukung peneriman pajak

    Jakarta (ANTARA) – Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menilai peran sektor swasta perlu diperkuat untuk mengoptimalkan penerimaan pajak negara.

    Menurutnya, selama ini pemerintah cenderung lebih menitikberatkan pada program langsung ke masyarakat, sementara kontribusi swasta sebagai mitra pembangunan belum digarap optimal.

    “Selama ini kita hanya konsen pada MBG (Makan Bergizi Gratis), koperasi (KDMP) gitu, tapi bagaimana sektor swasta itu menjadi partner daripada program-program pemerintah. Saya rasa ini juga menjadi hal yang penting,” ujar Aviliani dalam webinar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) secara daring, Jakarta, Selasa.

    Aviliani menekankan bahwa keterlibatan swasta sangat penting karena penerimaan negara dari pajak tidak hanya bergantung pada kepatuhan wajib pajak perorangan atau badan usaha milik negara (BUMN). Perusahaan swasta, baik skala besar, menengah, maupun kecil, juga memiliki kontribusi signifikan terhadap penerimaan pajak.

    Ia menerangkan, perusahaan besar relatif sudah lebih patuh dalam membayar pajak, apalagi dengan adanya sistem Coretax yang nantinya diharapkan bisa memperkuat transparansi.

    Meski demikian, di sisi UMKM, pendampingan pajak masih perlu ditingkatkan.

    “Di sini UMKM yang nanti perlu pendampingan supaya mereka bayar pajaknya itu benar-benar memang atas pengetahuan mereka, karena selama ini sosialisasi mungkin terhadap UMKM ini masih perlu ditingkatkan. Mungkin orang mengatakan sudah sering, ya sudah sering tetapi yang namanya UMKM,” ujarnya.

    Lebih lanjut, Aviliani juga mengingatkan bahwa pemerintah tidak bisa terus mengandalkan penerimaan dari komoditas.

    Harga komoditas global yang fluktuatif membuat penerimaan negara rentan turun. Karena itu, insentif perlu diarahkan pada sektor-sektor yang mampu menyerap tenaga kerja dan memperkuat basis pajak, seperti pertanian, manufaktur, dan pertambangan.

    “Oleh karena itu kalau diberikan insentif harus lebih pada sektor yang menciptakan lapangan kerja, tidak pada semua sektor. Harus ada kontribusi terhadap sektor yang berpengaruh terhadap ekonomi lebih cepat,” jelas Aviliani.

    Menurutnya, penguatan sektor swasta akan memberi efek ganda: memperluas kesempatan kerja sekaligus memperluas basis pajak. Dengan demikian, stabilitas fiskal bisa lebih terjaga tanpa harus mengubah tarif pajak yang berlaku.

    Pewarta: Bayu Saputra
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Indef sebut sektor UMKM berpotensi sumbang pajak Rp56 triliun

    Indef sebut sektor UMKM berpotensi sumbang pajak Rp56 triliun

    Menimbang potensi tersebut, sektor UMKM seharusnya bisa berkontribusi lebih besar terhadap perpajakan tanah air.

    Jakarta (ANTARA) – Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menilai, potensi penerimaan negara dari sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) bisa mencapai Rp56 triliun per tahun.

    Hal itu bisa dicapai melalui skema pajak penghasilan (PPh) final sebesar 0,5 persen dari omzet untuk UMKM dengan pendapatan hingga Rp4,8 miliar per tahun. Meski demikian, saat ini kepatuhan pajak dari pelaku UMKM masih rendah.

    “Tetapi juga ini kepatuhannya (pajak) masih sangat rendah karena memang kita sosialisasinya perlu lebih banyak, kemudian sistem kita juga mungkin perlu diperbaiki agar memudahkan orang untuk membayar pajak,” ujar Aviliani dalam webinar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), di Jakarta, Selasa.

    Berdasarkan data yang ia paparkan, saat ini UMKM berkontribusi sekitar 60,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, atau setara Rp12.639,9 triliun dari total PDB Rp20.892,4 triliun.

    Menimbang potensi tersebut, sektor UMKM seharusnya bisa berkontribusi lebih besar terhadap perpajakan tanah air.

    Aviliani juga menilai insentif tarif 0,5 persen dari omzet tidak bisa diterapkan terlalu lama. Sebab, kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan moral hazard, yakni pelaku usaha bisa saja memecah usaha mereka agar tetap berada di bawah batas omzet Rp4,8 miliar.

    UMKM dikenai PPh final 0,5 persen apabila memiliki omzet (peredaran bruto) tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 Tahun 2022.

    “Karena juga bisa terjadi moral hazard dari pelaku lain, di mana mereka bisa membuat perusahaan banyak dengan (omzet) di bawah Rp4,8 miliar, bikin lagi perusahaan (omzet) Rp4,8 miliar,” ujarnya pula.

    Lebih lanjut, selain UMKM, Aviliani menyoroti sektor digital yang berkembang pesat. Ia menegaskan pentingnya penerapan pajak secara adil pada ekonomi digital untuk menghindari ketimpangan dan menjaga keadilan bagi seluruh pelaku usaha.

    “Saya rasa itu juga perlu karena jangan sampai akhirnya merugikan. Di satu sisi karena kena pajak, di sisi yang lain tidak kena pajak. Jadi saya mendukung pajak terhadap digitalisasi, sehingga ini juga akan bukan hanya menambah pendapatan negara, tapi menurut saya kesejahteraan masyarakat juga perlu diperhatikan dari kontribusi pajak,” ujar Aviliani.

    Pewarta: Bayu Saputra
    Editor: Budisantoso Budiman
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Analis nilai program Polantas Menyapa sentuh kebutuhan masyarakat

    Analis nilai program Polantas Menyapa sentuh kebutuhan masyarakat

    “Publik menilai ‘Polantas Menyapa’ dan Polisi Senyum sangat edukatif, humanis, dan inovatif. Program ini lahir dari aspirasi masyarakat yang ingin pelayanan lalu lintas yang ramah, proaktif, dan solutif. Inilah semangat Polri Presisi yang benar-benar

    Jakarta (ANTARA) – Analis politik sekaligus alumni Indef School of Political Economy Nasky Putra Tandjung menilai bahwa program “Polantas Menyapa” merupakan inovasi Korlantas Polri dalam bidang lalu lintas yang mampu menyentuh kebutuhan riil masyarakat.

    “Publik menilai ‘Polantas Menyapa’ dan Polisi Senyum sangat edukatif, humanis, dan inovatif. Program ini lahir dari aspirasi masyarakat yang ingin pelayanan lalu lintas yang ramah, proaktif, dan solutif. Inilah semangat Polri Presisi yang benar-benar dirasakan rakyat,” katanya dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin.

    Nasky mengatakan, lalu lintas merupakan cerminan budaya bangsa. Program “Polantas Menyapa” pun menjadi langkah strategis untuk membangun budaya tertib dalam berlalu lintas.

    “Petugas polisi lalu lintas adalah wajah pertama kepolisian yang bersentuhan langsung dengan rakyat. Maka, perubahan sikap menjadi ramah, menyapa, dan memberi edukasi adalah simbol kedekatan, keramahan, dan empati. Itu yang dihadirkan Kakorlantas melalui Polantas Menyapa,” ucapnya.

    Kendati demikian, ia menekankan agar program ini dibarengi dengan pelatihan pelayanan publik bagi anggota di pos jaga, lokasi tilang, maupun kantor SIM dan di Samsat.

    Ia juga menekankan agar kehadiran polisi tidak boleh hanya saat razia, tetapi juga hadir aktif memberikan edukasi, arahan, bahkan motivasi bagi pengguna jalan.

    “Diperlukan kanal umpan balik publik agar masyarakat bisa menilai langsung kualitas pelayanan Polantas. Dengan begitu, perubahan akan berjalan konsisten dan terukur,” ujarnya.

    Lebih jauh, Nasky menilai bahwa Kepala Korlantas (Kakorlantas) Polri Irjen Pol. Agus Suryonugroho memiliki berbagai prestasi selama menakhodai Korlantas Polri.

    Prestasi itu dibuktikan dengan adanya apresiasi Presiden RI Prabowo Subianto dan Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo yang menyebut penanganan arus mudik Lebaran, HUT Bhayangkara, dan HUT RI ke-80 tahun 2025 sebagai yang paling aman dan lancar.

    Selain itu, jumlah kecelakaan menunjukkan penurunan di bawah kepemimpinan Irjen Pol. Agus Suryonugroho. Pada semester pertama 2025, jumlah kecelakaan lalu lintas menurun hampir 1.800 kasus atau 19,8 persen dengan lebih dari 2.500 korban berhasil ditekan.

    “Penurunan angka kecelakaan ini menjadi bukti konkret efektivitas strategi yang dijalankan Irjen Pol. Agus Suryonugroho bersama jajaran Korlantas Polri,” ujarnya.

    Berdasarkan fakta tersebut, Nasky pun menilai Kakorlantas layak dinobatkan sebagai Tokoh Perubahan Lalu Lintas atau Agent of Change Traffic.

    Kebijakan dan terobosan Kakorlantas, kata dia, telah membawa wajah baru kepolisian lalu lintas yang lebih modern, humanis, dan dekat dengan masyarakat.

    “Seluruh kebijakan beliau berangkat dari semangat Polri untuk masyarakat. Polantas kini tidak lagi sekadar penegak hukum, tetapi juga perpanjangan tangan Polri yang merangkul, mendengar, dan melayani rakyat. Publik melihat perubahan nyata itu dan ini menjadi modal penting membangun citra positif Polri,” katanya.

    Pewarta: Nadia Putri Rahmani
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ekonom: Rencana Ambil Alih Paksa BCA Narasi Berbahaya yang Tidak Waras

    Ekonom: Rencana Ambil Alih Paksa BCA Narasi Berbahaya yang Tidak Waras

    Bisnis.com, JAKARTA – Gagasan pengambilalihan paksa saham PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) atau BCA oleh negara yang digaungkan oleh oknum tertentu menuai kritik tajam dari kalangan akademisi hingga praktisi ekonomi.

    Ekonom senior Indef sekaligus Rektor Universitas Paramadina Didik J. Rachbini, menyebut narasi tersebut sebagai ide berbahaya, sesat, dan tidak rasional karena berpotensi merusak ekosistem perekonomian nasional.

    “Tidak ada angin, tidak ada sebab, tiba-tiba ada narasi dan usul yang datang dari partai politik [PKB] dan DPR agar pemerintah mengambil alih paksa saham BCA. Ide hostile take over seperti ini jika digiring ke politik dan kekuasaan sangat berbahaya,” kata Didik dalam keterangan tertulis, Jumat (22/8/2025).

    Menurutnya, Presiden Prabowo Subianto seharusnya tidak menanggapi ide tersebut, sebab dapat merusak tatanan perbankan yang sudah terbangun kuat pascareformasi.

    Dia mengingatkan Indonesia sudah melewati berbagai krisis mulai dari krisis moneter 1998, krisis keuangan global 2008, hingga pandemi Covid-19 tetapi sektor perbankan terbukti mampu bertahan karena sistem yang makin solid.

    “Jika ide sesat ini dilakukan, kepercayaan pasar akan runtuh. Bank tidak akan dipercaya, dan tidak bakal ada yang menyarankan investasi di BCA lagi,” ujarnya.

    Didik menilai kinerja BCA bersama bank-bank Himbara telah menjadi pilar perekonomian nasional. Kontribusi BCA sangat signifikan, baik dalam mendorong pertumbuhan kredit, menopang dunia usaha, hingga menyumbang pajak dalam jumlah besar.

    Karena itu, menurutnya, sektor perbankan tidak boleh diganggu oleh manuver politik apapun. 

    “Ide mengambil alih saham BCA tanpa sebab adalah tindakan anarki politik kebijakan. Ini alarm bahaya bagi iklim perekonomian nasional. Pasar bisa saja menilai ada bandit-bandit di dalam negara yang ingin memberangus pelaku ekonomi,” tegasnya.

    Meski demikian, dia mengapresiasi adanya kepastian dari sisi pemerintah yang bisa menenangkan pasar terkait isu ambil alih paksa saham BCA.

    Menteri Investasi/Kepala BKPM sekaligus Kepala Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) Rosan Perkasa Roeslani menegaskan tidak ada rencana Danantara maupun instruksi pemerintah untuk mengakuisisi 51% saham BCA.

    Didik menilai klarifikasi tersebut penting untuk meredam narasi liar yang berpotensi merusak kepercayaan pasar.

    “Negara harus menjaga dan membangun pasar yang sehat, mendorong pertumbuhan dunia usaha yang kuat, bukan malah masuk dan merusaknya,” pungkas Didik.

  • Calon Ketua DK LPS 2025-2030, Ada Bankir hingga Orang Dekat Luhut

    Calon Ketua DK LPS 2025-2030, Ada Bankir hingga Orang Dekat Luhut

    JAKARTA – Panitia Seleksi (Pansel) pemilihan calon Ketua Dewan Komisoner Lembaga Penjamin Simpanan (DK LPS) periode 2025-2030 telah menetapkan tiga nama kandidat yang akan melangkah ke tahap berikutnya.

    Pengumuman resmi disampaikan langsung oleh Ketua Pansel, Sri Mulyani Indrawati, yang juga menjabat sebagai Menteri Keuangan pada 1 Agustus yang lalu.

    Pengumuman tersebut disampaikan langsung oleh Ketua Panitia Seleksi yang juga Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

    Sri Mulyani menegaskan, proses seleksi calon anggota Dewan Komisioner LPS dilakukan secara ketat dan berintegritas.

    Dari proses seleksi yang berlangsung sebelumnya, Pansel telah meloloskan tiga calon ketua dan tiga calon anggota Dewan Komisioner .

    Berbagai profil mulai dari bankir hingga birokrat turut meramaikan bursa calon pejabat lembaga strategis ini. 

    Profil Calon Ketua DK LPS

    Agresius R. Kadiaman

    Bankir kawakan ini memiliki pengalaman luas di industri perbankan. Melansir laman resmi China Construction Bank Indonesia (CCB), Agresius sudah berkarier di dunia perbankan sejak tahun 1991 dan sempat bekerja di sejumlah bank besar seperti Citibank, Danamon, dan Bank Bali.

    Dia juga pernah menjabat sebagai Kepala Divisi Manajemen Risiko dan Kepatuhan di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada tahun 2000. 

    M. Iman NHB Pinuji

    Saat ini menjabat sebagai Anggota Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan, Iman memiliki jejak karier yang cukup matang di bidang pengawasan keuangan. Sebelumnya, ia pernah menjabat sebagai Direktur Grup Akuntansi dan Anggaran serta Direktur Grup Analisis Resolusi Bank di LPS. Awal kariernya diawali sebagai auditor di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

    Sementara itu, Purbaya Yudhi Sadewa menjadi sosok yang menarik perhatian karena latar belakangnya yang dekat dengan Luhut Binsar Pandjaitan.

    Sebelum menjabat sebagai Ketua Dewan Komisioner LPS saat ini, Purbaya pernah menjabat Deputi di Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi yang dipimpin Luhut. 

    Ia juga pernah menjadi Staf Khusus di Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan serta Deputi di Kantor Staf Presiden selama pemerintahan Presiden Joko Widodo.

    Kedekatannya dengan Luhut menjadi salah satu faktor yang cukup mencuri perhatian dalam proses seleksi ini.

    Nama Purbaya tidak asing lagi bagi lingkungan Istana di era Presiden Joko Widodo.

    Purbaya kerap dilibatkan dalam pengambilan keputusan beberapa kebijakan strategis bidang ekonomi di masa Presiden Joko Widodo kala itu.

    Setelah melalui berbagai tahapan seleksi yang ketat, Pansel DK LPS telah menetapkan total enam nama, terdiri dari tiga calon Ketua dan tiga calon Anggota DK bidang Penjaminan Simpanan dan Resolusi Bank, yang kemudian diserahkan kepada Presiden Prabowo Subianto. 

    Selanjutnya, nama-nama tersebut akan disaring dan dikirim ke DPR RI untuk menjalani proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test).

    Proses ini penting untuk memastikan bahwa calon yang terpilih memiliki kompetensi, integritas, dan kemampuan memimpin lembaga strategis yang bertugas menjaga kestabilan sistem keuangan nasional.

    Menanggapi proses seleksi anggota Dewan Komisioner LPS ini, Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti menekankan, proses pemilihan DK LPS harus mengedepankan asas independensi.

    “Proses rekrutmen dan asesmen para calon juga harus berdasarkan kompetensi dan integritas. Hal ini bisa dilihat dari latarbelakang pengetahuan dan pengalamannya.  Kompetensi bisa dilihat dari background knowledge dan experience-nya,” ungkap Esther.