NGO: INDEF

  • Pakar Ungkap Alasan Prabowo Reshuffle Menteri, Termasuk Sri Mulyani dan Budi Arie

    Pakar Ungkap Alasan Prabowo Reshuffle Menteri, Termasuk Sri Mulyani dan Budi Arie

    Bisnis.com, Jakarta — Presiden Prabowo Subianto telah melakukan perombakan atau reshuffle serta melantik menteri dan wakil menteri kabinet Merah Putih di Istana Kepresidenan, Senin (8/9/2025). 

    Pengamat Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno menilai bahwa selama ini beberapa menteri kerap membuat masalah yang telah mencoreng wajah Presiden Prabowo.

    “Misalnya ada menteri yang ketika dikait-kaitkan dengan kasus tertentu kan muncul desakan untuk diganti gitu ya, atau mundur,” tuturnya kepada Bisnis di Jakarta, Senin (8/9).

    Kemudian, kata Adi, ada juga pernyataan blunder dari Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Abdul Kadir Karding yang mendesak warga bekerja ke luar negeri untuk atas pengangguran di Indonesia.

    “Foto yang terbaru dia misalnya juga main domino viral, itu kan mengonfirmasi ada beberapa catatan-catatan kritis terkait dengan menteri tertentu dan itu akhirnya terkonfirmasi dengan reshuffle ini,” katanya.

    Sementara itu, dia menilai Menteri Pemuda dan Olahraga Dito Ariotedjo di-reshuffle oleh Presiden Prabowo Subianto karena dinilai tidak mampu mendorong atlet olahraga bulutangkis agar memiliki prestasi di dunia internasional.

    “Kalau Pak Dito misalnya kinerja di bidang olahraga kan dinilai tidak terlalu perform, misalnya ada olahraga unggulan seperti bulutangkis yang selama ini telah menjadi anggaran Indonesia di dunia internasional kan tidak bisa bicara banyak beberapa tahun belakangan ini,” ujarnya.

    Kemudian, Menteri Keuangan Sri Mulyani dicopot karena tidak memiliki solusi atas berbagai persoalan ekonomi nasional, di mana angka pengangguran, kemiskinan terus merangkak naik.

    Ditambah lagi ada pernyataan Sri Mulyani yang menyebut bahwa guru dianggap jadi beban negara selama ini. 

    “Sri Mulyani tidak punya mitigasi atau solusi di tengah struggle ekonomi di Indonesia untuk menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi, PHK, pengangguran, kemiskinan, dan dikaitkan dengan bagaimana kemarin misalnya ada pernyataan yang mengatakan bahwa guru itu dianggap sebagai beban negara, meski pernyataannya tidak eksplisit semacam itu,” tuturnya.

    Sementara itu, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman menilai pergantian atau reshuffle Menteri Keuangan di kabinet Presiden Prabowo Subianto bukan sekadar rotasi teknokrat, melainkan sarat dengan kepentingan politik.

    “Pasar membaca sinyal politik lebih kuat ketimbang figur personal. Kita lihat IHSG hanya terkoreksi tipis dan rupiah bergerak melemah terbatas, artinya investor tidak panik. Tetapi jelas menunggu bukti: apakah Purbaya mampu menjaga konsistensi fiskal atau justru menjadi eksekutor agenda belanja besar yang berisiko menggerus kredibilitas?” ujar Rizal kepada Bisnis, Senin (8/9/2025).

    Menurutnya, pasar saat ini sangat sensitif terhadap arah kebijakan fiskal, terutama di tengah beban bunga utang yang sudah menembus Rp550 triliun serta potensi pelebaran defisit. 

    Dia melanjutkan bahwa jika Menteri Keuangan baru dianggap hanya menjalankan kehendak politik tanpa memperhatikan kapasitas fiskal, maka risiko capital outflow bisa meningkat. 

    “Investor asing akan cepat menghukum, baik lewat pelepasan SBN maupun tekanan di pasar valas. Jadi, efek ke pasar pada tahap awal memang tenang, tetapi underlying risk-nya besar. Bila langkah Menkeu baru tidak segera memberi sinyal disiplin dan transparansi, koreksi pasar bisa berubah menjadi eksodus modal,” tegasnya.

    Rizal menambahkan, secara teknis tidak ada kondisi darurat fiskal yang menuntut pergantian Menkeu dilakukan mendesak. Defisit APBN masih terkendali, rasio utang relatif aman, dan stabilitas sistem keuangan tetap terjaga.

    Namun jika dari perspektif politik-ekonomi, langkah ini lebih untuk menyelaraskan strategi fiskal dengan visi politik Presiden Prabowo.

    “Bu Sri Mulyani dikenal ketat dalam disiplin anggaran, sementara Presiden menginginkan percepatan belanja negara untuk program prioritas. Dalam konteks inilah pergantian dilakukan, agar ada figur yang dianggap mampu menjalankan belanja ekspansif tanpa terlalu menghambat agenda politik pemerintah,” jelasnya. 

  • Menkeu Purbaya: Salah Besar jika Bilang Saya Tak Berpengalaman

    Menkeu Purbaya: Salah Besar jika Bilang Saya Tak Berpengalaman

    Bisnis.com, JAKARTA — Purbaya Yudhi Sadewa memamerkan sejumlah pengalamannya mengawal keuangan negara, usai dilantik menjadi menteri keuangan oleh Presiden Prabowo Subianto pada Senin (8/9/2025) sore.

    Purbaya melihat ada sejumlah pihak yang menanyakan keputusan Prabowo mengangkatnya sebagai bendahara negara. Dia pun mengaku sudah memiliki banyak pengalaman di pemerintahan terutama terkait pengelolaan fiskal.

    “Jadi, kalau anda bilang saya nggak punya pengalaman, salah besar,” ujar Purbaya di Kantor Kementerian Keuangan, Senin (8/9/2025).

    Dia merincikan bahwa dia menjadi think tank alias lembaga kajian untuk pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2008. Kemudian pada 2015, dia masuk ke Kantor Staf Presiden untuk membantu pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengangkat kembali perekonomian yang sedang lesu.

    Pada 2020—2021, sambungnya, dia kembali lagi ke pemerintah untuk kembali membantu perekonomian yang terhambat pandemi Covid-19.

    “Jadi saya udah kenal lama dengan fiskal, ini ahli fiskal kita Pak Suahasil [wakil menteri keuangan]. Jadi saya enggak perlu waktu untuk belajar lagi,” jelasnya.

    Sebelumnya, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Fadhil Hasan menyampaikan bahwa Purbaya memang ekonom yang baik dan paham persoalan.

    Kendati demikian, dia menanyakan keputusan Prabowo yang melantiknya sebagai menteri keuangan karena pengalamannya yang kurang dalam mengurus keuangan negara. Padahal, sambungnya, banyak kandidat lain yang pengalamannya lebih banyak.

    “Dia belum memiliki pengalaman secara langsung mengelola fiskal dan ekonomi secara keseluruhan. Jadi bisa dikatakan dia bukan pilihan terbaik, masih ada pilihan yang lebih baik, misalnya wamennya Suahasil,” ucap Fadhil, Senin (8/9/2025).

    Profil Purbaya Yudhi Sadewa

    Purbaya memamg bukan nama baru dalam jajaran pejabat publik. Pemilik nama lengkap Dr. Purbaya Yudhi Sadewa, Ph.D ini telah menjabat sebagai ketua dewan komisioner Lembaga Penjamin Simpanam (LPS) sejak 24 September 2020, setelah dilantik oleh Joko Widodo saat masih menjabat sebagai Presiden RI kala itu.

    Sebelum berlabuh di LPS, Purbaya menempati sejumlah posisi penting di pemerintahan. Dia pernah menjabat sebagai Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.

    Selain kiprahnya di pemerintahan, Purbaya juga memiliki pengalaman di dunia korporasi. Purbaya pernah dipercaya menjadi salah satu komisaris PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) atau MIND ID.

    Sebagaimana diketahui, Inalum merupakan holding BUMN pertambangan yang menaungi PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM), PT Timah Tbk. (TINS), PT Bukit Asam Tbk. (PTBA), dan PT Freeport Indonesia. Posisi itu memperkuat keterlibatannya dalam sektor strategis perekonomian nasional, khususnya di bidang energi dan pertambangan.

    Kiprah Purbaya di level korporasi tersebut tidak lepas dari fondasi akademik yang kuat. Dia menyelesaikan pendidikan sarjana di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada bidang Teknik Elektro.

    Namun demikian, ketertarikannya pada bidang ekonomi kemudian membawanya melanjutkan studi doktoral di Purdue University, Indiana, Amerika Serikat, hingga meraih gelar Ph.D.

  • Menkop baru diharapkan tumbuhkan proaktif anggota Kopdes Merah Putih

    Menkop baru diharapkan tumbuhkan proaktif anggota Kopdes Merah Putih

    Jadi bagaimana memastikan anggota Kopdes Merah Putih itu nanti bisa proaktif terhadap koperasinya itu yang harus dia tumbuhkan

    Jakarta (ANTARA) – Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan Menteri Koperasi (Menkop) baru Ferry Joko Juliantono diharapkan dapat menumbuhkan sikap proaktif anggota Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih.

    Menurut Eko, Ferry diharapkan dapat mengakselerasi ide-ide terkait Kopdes Merah Putih.

    “Jadi bagaimana memastikan anggota Kopdes Merah Putih itu nanti bisa proaktif terhadap koperasinya itu yang harus dia tumbuhkan begitu strategi-strateginya, itu nanti bisa dilaksanakan dari Kementerian Koperasi,” ujarnya kepada ANTARA di Jakarta, Senin.

    Ferry sendiri selama menjabat sebagai Wakil Menteri Koperasi merupakan sosok yang cukup aktif.

    Presiden Prabowo Subianto dalam acara pelantikan menteri dan wakil menteri baru Kabinet Merah Putih di Istana Negara Jakarta, Senin, melantik Ferry Joko Juliantono sebagai Menteri Koperasi (Menkop) menggantikan pejabat sebelumnya, Budi Arie Setiadi.

    Kebijakan itu ditetapkan oleh Presiden Prabowo dalam Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 86P Tahun 2025 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Menteri dan Wakil Menteri Negara Kabinet Merah Putih Periode 2024—2029 pada 8 September 2025.

    Dalam prosesi itu, yang berlangsung tepat pukul 16.00 WIB, Budi Arie, yang diberhentikan oleh Presiden Prabowo sebagai menteri, tidak terlihat hadir di Istana Negara.

    Presiden Prabowo dalam prosesi yang sama, juga melantik Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan (Menkeu) menggantikan Sri Mulyani Indrawati, kemudian melantik Mukhtarudin sebagai Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI)/Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI).

    Juga melantik Mochamad Irfan Yusuf Hasyim sebagai Menteri Haji dan Umrah berikut dengan Dahnil Anzar Simanjuntak sebagai Wakil Menteri Haji dan Umrah.

    Menteri Haji dan Umrah merupakan struktur baru dalam Kabinet Merah Putih, yang merupakan hasil transformasi dari Badan Penyelenggara Haji.

    Dalam Keppres yang sama, Presiden Prabowo juga memberhentikan Budi Gunawan sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, dan Ario Bimo Nandito Ariotedjo sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga.

    Presiden sejauh ini belum menetapkan pengganti Budi Gunawan dan Dito, sehingga dua kursi menteri itu pun kosong.

    Pewarta: Aji Cakti
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ekonom Nilai Penciptaan Lapangan Kerja Belum Sesuai Harapan

    Ekonom Nilai Penciptaan Lapangan Kerja Belum Sesuai Harapan

    Jakarta

    Penciptaan lapangan kerja baru di Indonesia belum optimal. Kondisi ini terlihat dari jumlah penciptaan lapangan kerja baru yang masih tergolong kecil, jumlah pekerja ter-PHK yang terus meningkat, dan jumlah pekerja sektor informal yang terlalu besar jika dibandingkan pekerja formal.

    Direktur Eksekutif Institute for Development Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad berpendapat untuk meningkatkan kualitas penciptaan lapangan kerja baru di Indonesia, salah satu langkah yang bisa dilakukan pemerintah adalah menurunkan nilai pajak yang dikenakan ke masyarakat.

    Sebagai contoh pemerintah bisa saja menurunkan pajak penambahan nilai (PPN) yang saat ini di 11%, untuk diturunkan kembali ke 10% atau bahkan kalau bisa lebih rendah dari itu. Dengan begitu harga barang dan jasa bisa turun, yang kemudian menjadi lebih terjangkau oleh masyarakat.

    “Misalnya PPN diturunkan dari 11% ke 10% atau lebih rendah dari 10 bahkan jauh lebih bagus lagi, akan lebih diapresiasi kalau beberapa tarif itu diturunkan untuk mendorong daya beli,” kata Tauhid kepada detikcom, Senin (8/9/2025).

    Tauhid berpendapat jika pajak, seperti PPN terlalu besar maka daya beli masyarakat akan menurun dan di saat yang bersamaan akan meningkatkan beban perusahaan. Di sisi lain, saat daya beli turun maka produk yang dibeli masyarakat akan ikut berkurang.

    Alhasil penjualan perusahaan akan ikut menurun yang menyebabkan pengurangan laba. Akhirnya untuk bisa bertahan, para pengusaha akan cenderung untuk menahan ekspansi yang secara langsung mengurangi pembukaan lapangan kerja baru. Belum lagi dalam kondisi terburuk, tak sedikit perusahaan harus melakukan efisiensi yang menambahkan jumlah PHK dalam negeri.

    “Perpajakan dan bea cukai itu kan bisa bermata dua ya. Kalau dia terlalu tinggi ya dia akan meningkatkan cost, itu berarti menurunkan pendapatan. Nah kalau terlalu rendah itu juga akhirnya mengurangi pendapatan negara,” ucapnya.

    “Nah katakanlah ketika PPN 11% turun ke 10% atau bahkan lebih rendah itu memang secara per individu, per perusahaan penerimaan pajak turun. Tapi itu akan meningkatkan aktivitas ekonomi yang pada akhirnya bisa meningkatkan pendapatan pajak juga, daya belinya naik, yang bayar lebih banyak. Kalau sekarang ya langsung turun saja,” terang Tauhid lagi.

    Begitu juga dengan cukai rokok yang menurutnya saat ini sudah sangat tinggi, membuat harga rokok jadi sangat mahal dan mengakibatkan peralihan konsumsi dari rokok legal ke ilegal.

    Tidak hanya membuat penerimaan negara dari cukai berkurang karena peralihan ke rokok ilegal, tapi juga merugikan perusahaan karena penurunan penjualan. Pada akhirnya saat perusahaan tidak bisa bertahan, mereka akan melakukan efisiensi.

    “Cukai rokok kan sekarang 10%. Memang kebijakannya 2 tahun sekali naik. Kemarin 10%, itu terlalu tinggi, sekarang ya harusnya bisa diturunin. Bahkan beberapa jenis golongan rokok bisa lebih rendah, supaya nggak seperti kemarin ada kabar PHK ramai sekali itu,” paparnya.

    Sementara itu, Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda mengatakan salah satu langkah yang bisa dilakukan pemerintah meningkatkan kualitas penciptaan lapangan kerja dalam negeri adalah dengan melanjutkan pemberian insentif untuk industri dan perusahaan.

    “Insentif fiskal dari sisi tax holiday dan sebagainya itu kan mesti diterapkan juga. Nah kita melihat mungkin bisa diterapkan di sektor-sektor tertentu, misalkan sektor padat karya. Tapi kalau itu sudah banyak insentif, sudah digelontorkan insentif dan sebagainya tapi tidak bergerak positif ya berarti otomatis salah perusahaannya,” kata Nailul.

    Selain pemberian insentif, ia menilai pemberian insentif langsung ke masyarakat juga bisa mendorong terciptanya lapangan kerja baru. Sebab jika daya beli masyarakat terbantu berkat adanya insentif, sektor industri dan dunia usaha akan ikut bergeliat yang kemudian bisa menambah lapangan kerja baru.

    “Kalau konsumsi yang naik kan otomatis itu juga akan main di kuantiti kan sebenarnya, dan itu mungkin akan membantu industri yang ujung-ujungnya juga akhirnya bisa ekspansi dan penambahan lapangan kerja kan,” jelasnya.

    Tonton juga video “Menaker Sebut Koperasi Merah Putih Mampu Ciptakan Lapangan Kerja” di sini:

    (igo/fdl)

  • Benarkah Pemerintahan Prabowo Sudah Ciptakan Banyak Lapangan Kerja?

    Benarkah Pemerintahan Prabowo Sudah Ciptakan Banyak Lapangan Kerja?

    Jakarta

    Presiden Prabowo Subianto mengklaim pemerintahan yang dipimpinnya sudah menciptakan banyak lapangan kerja. Ia juga mengatakan potensi pembukaan lapangan kerja ke depan akan sangat besar.

    “Kita mengerti masalah kesulitan mendapat lapangan kerja di tempat-tempat tertentu dan pada golongan-golongan tertentu. Tapi kita sudah buktikan pemerintah yang saya pimpin sudah ciptakan cukup banyak lapangan kerja dan potensi lapangan kerja ke depan sangat besar,” kata Prabowo di Hambalang akhir pekan ini.

    Direktur Eksekutif Institute for Development Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan pernyataan Prabowo ini secara umum memang benar. Menurut data BPS yang dilihatnya, jumlah penduduk bekerja pada Februari 2025 sebanyak 145,77 juta orang, naik 3,59 juta orang dibandingkan Februari 2024.

    Ia mengatakan data tersebut memang mengindikasikan adanya pembukaan dan penyerapan lapangan kerja baru. Namun jika dibandingkan dengan target lapangan kerja baru yang sebelumnya dijanjikan Prabowo, yakni sebesar 19 juta lapangan kerja, menurutnya angka ini masih terlalu kecil.

    “Menurut saya kalau lapangan kerja tercipta, iya. Cuma target 19 juta lapangan kerja kayaknya berat begitu ya, karena kan rata-rata lapangan kerja baru mungkin sekitar 1,5 juta per tahun begitu ya. Artinya kalau dalam 5 tahun itu hanya sekitar katakanlah 7,5 juta,” kata Tauhid kepada detikcom, Senin (8/9/2025).

    Belum lagi, ia memaparkan seiring penambahan lapangan kerja baru, banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor. Kondisi ini kemudian membuat angka pengangguran per Februari 2025 sebesar 7,28 juta orang, naik 0,08 juta orang dibandingkan periode sebelumnya.

    “Pada saat yang sama lapangan kerja tercipta, pengangguran yang PHK juga terjadi. Nah, penciptaan lapangan kerja biasanya buat yang fresh graduate, sementara yang PHK ini kan yang sudah lama dan sebagainya,” paparnya.

    Tidak hanya soal jumlah, menurut Tauhid saat ini kualitas penciptaan lapangan kerja di Indonesia juga masih sangat rendah. Hal ini terlihat dari tingginya persentase para pekerja informal dibandingkan pekerja formal.

    Masalahnya, penciptaan lapangan kerja yang kurang berkualitas ini membuat daya beli masyarakat kian tergerus. Sebab para pekerja informal secara umum memiliki upah atau penghasilan yang tidak sebesar pekerja formal. Ini membuat dana di kantong para pekerja sangat terbatas, apalagi untuk dibelanjakan.

    “Nah problem-nya adalah meskipun lapangan kerja tercipta, itu sebagian besar masuk ke sektor informal. Nah ini yang membuat ekonomi dan daya beli kita tidak kuat walaupun penciptaan lapangan kerja tercipta. Karena masuk ke sektor informal dengan penerimaan utama yang lebih rendah daripada mereka kerja di lapangan formal,” terangnya.

    Senada, Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda mengatakan sekarang ini pembukaan lapangan kerja baru memang masih ada. Namun secara jumlah terus mengecil tiap tahun.

    “Kalau kita lihat, menurut Bappenas ya, di awal 2010 itu 1% pertumbuhan ekonomi bisa menyerap tenaga kerja sampai 440 ribu tenaga kerja. Artinya pada saat itu kan pertumbuhan ekonomi 5-6%, ya katakanlah itu bisa membuka 2,4 juta tenaga kerja setiap tahunnya. Nah sekarang 1% pertumbuhan ekonomi itu hanya bisa membuka 110 ribu tenaga kerja saja. Artinya dengan pertumbuhan ekonomi yang sekitar 4-5% ini cukup kecil,” jelas Nailul.

    Kemudian ia juga menyoroti banyak PHK yang membuat jumlah pengangguran ikut meningkat seiring pembukaan lapangan kerja baru. Jumlah pekerja yang terkena PHK pada semester I ini tercatat sudah naik 32% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

    “Mengacu ke BPS itu memang menyebutkan untuk tingkat pengangguran terbuka ya itu turun, tapi pengangguran secara jumlah itu meningkat. Kemudian PHK itu juga masif sampai Juni 2025, kalau akumulasi dari Januari tumbuhnya sampai 32% dibandingkan dengan periode Januari-Juni di 2024. Artinya ini semakin banyak pengangguran,” terangnya.

    Pada akhirnya, mereka yang tidak mendapat pekerjaan di sektor formal berpindah ke sektor informal, membuat proporsi pekerja formal dan informal tidak sebanding. Padahal menurutnya jumlah pekerja sektor informal yang terlalu besar dapat mempengaruhi daya beli masyarakat secara keseluruhan.

    “Lebih dari 60% pekerja kita adalah sektor informal, sedangkan yang formal itu 40%. Begitu juga dengan setengah pengangguran yang dia hari ini bekerja besok tidak,” ucap Nailul.

    “Karena kalau kita diserap sama sektor industri, sektor formal, gaji setara minimal setara UMR, ada jaminan, Alhamdulillah kan orang juga daya belinya secara agregat jadi semakin meningkat. Dengan daya beli meningkat, artinya multiplier efeknya juga akan meningkat. Makanya ini yang tidak dimiliki ketika kita lebih banyak bertumpu pada sektor informal,” terangnya lagi.

    Tonton juga video “Prabowo: Pengangguran Turun, 3,6 Juta Lapangan Kerja Baru Diciptakan” di sini:

    (igo/fdl)

  • Benarkah Pemerintahan Prabowo Sudah Ciptakan Banyak Lapangan Kerja?

    Benarkah Pemerintahan Prabowo Sudah Ciptakan Banyak Lapangan Kerja?

    Jakarta

    Presiden Prabowo Subianto mengklaim pemerintahan yang dipimpinnya sudah menciptakan banyak lapangan kerja. Ia juga mengatakan potensi pembukaan lapangan kerja ke depan akan sangat besar.

    “Kita mengerti masalah kesulitan mendapat lapangan kerja di tempat-tempat tertentu dan pada golongan-golongan tertentu. Tapi kita sudah buktikan pemerintah yang saya pimpin sudah ciptakan cukup banyak lapangan kerja dan potensi lapangan kerja ke depan sangat besar,” kata Prabowo di Hambalang akhir pekan ini.

    Direktur Eksekutif Institute for Development Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan pernyataan Prabowo ini secara umum memang benar. Menurut data BPS yang dilihatnya, jumlah penduduk bekerja pada Februari 2025 sebanyak 145,77 juta orang, naik 3,59 juta orang dibandingkan Februari 2024.

    Ia mengatakan data tersebut memang mengindikasikan adanya pembukaan dan penyerapan lapangan kerja baru. Namun jika dibandingkan dengan target lapangan kerja baru yang sebelumnya dijanjikan Prabowo, yakni sebesar 19 juta lapangan kerja, menurutnya angka ini masih terlalu kecil.

    “Menurut saya kalau lapangan kerja tercipta, iya. Cuma target 19 juta lapangan kerja kayaknya berat begitu ya, karena kan rata-rata lapangan kerja baru mungkin sekitar 1,5 juta per tahun begitu ya. Artinya kalau dalam 5 tahun itu hanya sekitar katakanlah 7,5 juta,” kata Tauhid kepada detikcom, Senin (8/9/2025).

    Belum lagi, ia memaparkan seiring penambahan lapangan kerja baru, banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor. Kondisi ini kemudian membuat angka pengangguran per Februari 2025 sebesar 7,28 juta orang, naik 0,08 juta orang dibandingkan periode sebelumnya.

    “Pada saat yang sama lapangan kerja tercipta, pengangguran yang PHK juga terjadi. Nah, penciptaan lapangan kerja biasanya buat yang fresh graduate, sementara yang PHK ini kan yang sudah lama dan sebagainya,” paparnya.

    Tidak hanya soal jumlah, menurut Tauhid saat ini kualitas penciptaan lapangan kerja di Indonesia juga masih sangat rendah. Hal ini terlihat dari tingginya persentase para pekerja informal dibandingkan pekerja formal.

    Masalahnya, penciptaan lapangan kerja yang kurang berkualitas ini membuat daya beli masyarakat kian tergerus. Sebab para pekerja informal secara umum memiliki upah atau penghasilan yang tidak sebesar pekerja formal. Ini membuat dana di kantong para pekerja sangat terbatas, apalagi untuk dibelanjakan.

    “Nah problem-nya adalah meskipun lapangan kerja tercipta, itu sebagian besar masuk ke sektor informal. Nah ini yang membuat ekonomi dan daya beli kita tidak kuat walaupun penciptaan lapangan kerja tercipta. Karena masuk ke sektor informal dengan penerimaan utama yang lebih rendah daripada mereka kerja di lapangan formal,” terangnya.

    Senada, Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda mengatakan sekarang ini pembukaan lapangan kerja baru memang masih ada. Namun secara jumlah terus mengecil tiap tahun.

    “Kalau kita lihat, menurut Bappenas ya, di awal 2010 itu 1% pertumbuhan ekonomi bisa menyerap tenaga kerja sampai 440 ribu tenaga kerja. Artinya pada saat itu kan pertumbuhan ekonomi 5-6%, ya katakanlah itu bisa membuka 2,4 juta tenaga kerja setiap tahunnya. Nah sekarang 1% pertumbuhan ekonomi itu hanya bisa membuka 110 ribu tenaga kerja saja. Artinya dengan pertumbuhan ekonomi yang sekitar 4-5% ini cukup kecil,” jelas Nailul.

    Kemudian ia juga menyoroti banyak PHK yang membuat jumlah pengangguran ikut meningkat seiring pembukaan lapangan kerja baru. Jumlah pekerja yang terkena PHK pada semester I ini tercatat sudah naik 32% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

    “Mengacu ke BPS itu memang menyebutkan untuk tingkat pengangguran terbuka ya itu turun, tapi pengangguran secara jumlah itu meningkat. Kemudian PHK itu juga masif sampai Juni 2025, kalau akumulasi dari Januari tumbuhnya sampai 32% dibandingkan dengan periode Januari-Juni di 2024. Artinya ini semakin banyak pengangguran,” terangnya.

    Pada akhirnya, mereka yang tidak mendapat pekerjaan di sektor formal berpindah ke sektor informal, membuat proporsi pekerja formal dan informal tidak sebanding. Padahal menurutnya jumlah pekerja sektor informal yang terlalu besar dapat mempengaruhi daya beli masyarakat secara keseluruhan.

    “Lebih dari 60% pekerja kita adalah sektor informal, sedangkan yang formal itu 40%. Begitu juga dengan setengah pengangguran yang dia hari ini bekerja besok tidak,” ucap Nailul.

    “Karena kalau kita diserap sama sektor industri, sektor formal, gaji setara minimal setara UMR, ada jaminan, Alhamdulillah kan orang juga daya belinya secara agregat jadi semakin meningkat. Dengan daya beli meningkat, artinya multiplier efeknya juga akan meningkat. Makanya ini yang tidak dimiliki ketika kita lebih banyak bertumpu pada sektor informal,” terangnya lagi.

    Tonton juga video “Prabowo: Pengangguran Turun, 3,6 Juta Lapangan Kerja Baru Diciptakan” di sini:

    (igo/fdl)

  • Penjelasan Lengkap BI – Kemenkeu soal Burden Sharing Program Prabowo

    Penjelasan Lengkap BI – Kemenkeu soal Burden Sharing Program Prabowo

    Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Bank Indonesia (BI) buka suara mengenai keputusan melakukan burden sharing atau berbagi beban atas bunga pembelian surat berharga negara (SBN) untuk pembiayaan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.

    Dalam keterangan bersama, kedua lembaga negara itu berdalih bahwa skema burden sharing atau pembagian beban itu menjadi bagian sinergi fiskal–moneter dalam mendukung program pemerintah.

    Pembagian beban dilakukan dengan membagi rata biaya bunga setelah dikurangi imbal hasil dari penempatan dana pemerintah pada lembaga keuangan domestik. Skema ini berlaku sejak 2025 hingga program berakhir, dan dieksekusi melalui pemberian tambahan bunga ke rekening pemerintah di BI, sejalan dengan peran bank sentral sebagai pemegang kas negara.

    Hanya saja, tidak dijelaskan besaran tambahan bunga yang diberikan BI di rekening pemerintah itu. Kedua pihak hanya mengklaim kebijakan itu tetap menjaga disiplin moneter.

    “Besaran tambahan bunga oleh Bank Indonesia kepada pemerintah tetap konsisten dengan program moneter untuk menjaga stabilitas perekonomian serta bersinergi untuk memberikan ruang fiskal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan meringankan beban rakyat,” tulis keterangan bersama itu, Senin (8/9/2025).

    Dijelaskan, kebijakan itu sesuai dengan Pasal 52 UU No. 23/1999 sebagaimana terakhir diubah dengan UU No. 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan juncto Pasal 22 dan selaras dengan Pasal 23 UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara.

    Lebih lanjut, otoritas fiskal menyatakan belanja APBN tetap difokuskan ke sektor dengan dampak pengganda luas, termasuk program perumahan dan koperasi desa, dengan tetap menjaga defisit pada level rendah.

    Di sisi lain, BI menjelaskan kebijakan bauran moneter tetap diarahkan menjaga stabilitas rupiah, likuiditas perbankan, serta mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

    Kemenkeu dan BI berkomitmen melanjutkan koordinasi erat agar mekanisme pembagian beban bunga berjalan efektif, terukur, dan tidak menimbulkan distorsi pasar. “Sinergi kebijakan terkait pembagian beban bunga dengan pemerintah dilakukan dengan menerapkan kaidah kebijakan fiskal dan moneter yang berhati-hati,” tutup keterangan bersama itu.

    Was-was Burden Sharing

    Sebelumnya, dalam rapat kerja dengan Komite IV DPD pada pekan lalu, Gubernur BI Perry Warjiyo melaporkan bahwa bank sentral telah membeli SBN senilai Rp200 triliun hingga awal September 2025.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku bahwa beban fiskal semakin berkurang usai BI sepakat melakukan burden sharing tersebut.

    “Kayak Koperasi Merah Putih, itu bisa dananya menjadi murah kepada koperasi. Ini karena kami dengan BI melakukan semacam burden sharing,” ungkap Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komite IV DPD secara daring, Selasa (2/9/2025).

    Bendahara negara itu menampik burden sharing membuat independensi bank sentral menjadi terkikis. Menurutnya, burden sharing sejalan dengan salah satu peran BI untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.

    “Hal-hal seperti itu agar BI juga memiliki peranan yang tidak hanya stabilitas tapi growth [pertumbuhan], tetapi tetap proporsional, tetap Bank Indonesia memiliki independensi. Jadi, ini penting untuk beberapa program sosial, program perumahan,” jelas Sri Mulyani.

    Kendati demikian, sejumlah kalangan mengaku khawatir dengan semakin agresifnya bank sentral dalam membeli obligasi pemerintah. Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman misalnya.

    Rizal mengakui bahwa pembelian SBN oleh Bank Indonesia (BI) yang telah mencapai Rp200 triliun hingga awal September ini memang memberi ruang likuiditas bagi pemerintah untuk membiayai program-program besar.

    Hanya saja, dia menilai kebijakan itu juga mengandung sejumlah risiko. Pertama, pasar bisa menafsirkan intervensi BI sebagai bentuk fiscal dominance atau kebijakan moneter terlalu tersubordinasi pada kepentingan fiskal.

    “Hal ini dapat menimbulkan persepsi bahwa instrumen moneter tidak lagi independen, sehingga berpotensi menurunkan kepercayaan investor terhadap stabilitas jangka panjang,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (3/9/2025).

    Kedua, pembelian masif oleh BI memang menjaga yield (imbal hasil) obligasi tetap terkendali, tetapi mengurangi kedalaman pasar karena sebagian besar SBN terserap oleh bank sentral, bukan oleh investor swasta atau asing.

    Akibatnya, sambung Rizal, proses pembentukan harga menjadi kurang optimal sehingga meningkatkan volatilitas ketika ada guncangan eksternal. Bahkan, muncul potensi arus modal asing keluar yang lebih besar karena investor global khawatir pasar tidak likuid. 

    Ketiga, injeksi likuiditas melalui pembelian SBN dalam jumlah besar dapat memperlonggar kondisi moneter, terutama bila tidak diimbangi kebijakan sterilisasi yang memadai.

    Masalahnya, Rizal menilai jika fiskal terus ekspansif dan moneter terlalu akomodatif maka tekanan inflasi maupun depresiasi rupiah bisa lebih cepat muncul. 

    “Dengan kata lain, kebijakan ini memberi short-term gain [keuntungan jangka pendek] berupa ruang fiskal, tetapi membawa long-term risk [risiko jangka panjang] pada kredibilitas moneter, kedalaman pasar, dan stabilitas harga,” simpulnya.

  • Ekonom Ungkap Untung-Rugi Pendanaan Campuran untuk Proyek Giant Sea Wall

    Ekonom Ungkap Untung-Rugi Pendanaan Campuran untuk Proyek Giant Sea Wall

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom mengungkap sejumlah keuntungan dan risiko yang mesti dipertimbangkan dengan matang terkait skema pendanaan campuran (blended financing) untuk megaporyek Giant Sea Wall (GSW). 

    Proyek yang termasuk dalam National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) itu diproyeksi membutuhkan dana sekitar US$40-US$42 miliar atau setara Rp658-Rp691 triliun. 

    Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan skema pendanaan campuran dapat mendukung realisasi proyek tersebut di tengah keterbatasan fiskal saat ini. 

    Namun, lanjutnya, harus ada penegasan terkait tanggung jawab dan beban yang dipikul oleh para pelaku.

    “Namun harus dirumuskan dengan jelas sharing profit dan tanggung jawabnya seperti apa,” kata Esther kepada Bisnis, Minggu (7/9/2025). 

    Dalam hasil penelitian Universitas Sebelas Maret, UNS, Amentis Institute dan Adam Smith Business School-University of Glasgow, Anto mengungkap sejumlah skema pembiayaan Jakarta Great Sea Wall yang dapat diterapkan. 

    Beberapa skema campuran yang dimaksud yakni green sukuk, Asset Value Protection (AVP), Viability Gap Funding (VGF), Asset-Backed Securities (ABD), hingga Public-Private Partnership (PPP). 

    Terkait sejumlah usulan tersebut, Esther menilai tetap perlu pertimbangan yang lebih mendalam terkait bagi hasil dan keuntungan yang dapat dihasilkan. Di sisi lain, tak hanya aspek ekonomi, namun dari sisi sosial dan lingkungan juga perlu diperhatikan. 

    “Jadi tidak hanya soal pendanaan dan berapa profit yang bisa dihasilkan tetapi juga apakah berapa dampak ekonomi yang bisa dihasilkan proyek ini seperti produk domestik bruto daerah, income yang dihasilkan, penciptaan lapangan pekerjaan, mengurangi kriminalitas, ketimpangan ekonomi, kerusakan lingkungan,” tuturnya. 

    Senada, Ekonom Celios Zulfikar Rakhmat juga menilai skema pendanaan campuran relevan untuk megaproyek seperti Giant Sea Wall (GSW) yang membutuhkan biaya sangat besar. 

    “Skema ini memungkinkan adanya kombinasi antara dana pemerintah, swasta, maupun lembaga internasional,” jelasnya, dihubungi terpisah. 

    Dia meyakini, skema tersebut dapat membantu mengurangi tekanan pada APBN sekaligus meningkatkan kepercayaan investor, selama ada kepastian regulasi dan transparansi tata kelola proyek. 

    “Jadi, secara prinsip memungkinkan dan bisa mendukung pembangunan GSW, asalkan struktur pembiayaannya dirancang dengan jelas dan risiko dibagi secara proporsional,” tambahnya. 

    Di samping itu, dari sisi pendanaan, dia menyebutkan beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Pertama, kapasitas fiskal negara yang mesti dipastikan bahwa proyek ini tidak akan memperlebar defisit atau menekan belanja publik lainnya yang lebih prioritas. 

    Kedua, untuk menarik minat dan kepastian investor, pemerintah harus memastikan skema bagi hasil atau imbal hasil yang menarik namun tetap adil. 

    Ketiga, transparansi dan governance karena GSW merupakan proyek jangka panjang, risiko moral hazard, potensi biaya membengkak (cost overrun), dan ketidakpastian politik harus diminimalisir.

    Keempat, dari sisi aspek lingkungan dan sosial yang harus diperhatikan bahwa keberlanjutan pembiayaan akan lebih mudah jika proyek memenuhi standar ESG, sehingga bisa menarik pendanaan hijau dari lembaga internasional.

    “Dengan kata lain, pendanaan campuran bisa menjadi solusi, tapi desainnya harus hati-hati supaya manfaat ekonominya optimal dan bebannya tidak berlebihan bagi masyarakat maupun negara,” tuturnya.

  • Ekonom Senior Indef Kenang Kiprah Arif Budimanta di Perekonomian dan Politik

    Ekonom Senior Indef Kenang Kiprah Arif Budimanta di Perekonomian dan Politik

    JAKARTA – Ekonom senior Indef Didik J Rachbini mengenang kiprah mantan staf khusus Presiden ke-7 Bidang Ekonomi Arif Budimanta di bidang ekonomi, politik, Pancasila dan kebijakan publik.

    “Beberapa karyanya membahas bagaimana nilai-nilai Pancasila bisa menjadi landasan sistem ekonomi Indonesia yang adil, inklusif dan berdaulat,” kata Didik mengutip Antara.

    Karya-karya Arif yang menuai atensi Didik meliputi “Pancasilanomics: Ekonomi Pancasila dalam Gerak” (2019) dan buku tentang “Arsitektur Ekonomi Indonesia”. Didik menilai Arif mengkritisi arah pembangunan yang terlalu liberal melalui buku tersebut, serta mengusulkan desain ekonomi berbasis konstitusi (Pasal 33 UUD 1945).

    Didik mengatakan kepergian Arif harus dikenang sebagai hikmah dalam pelajaran hidup bagi generasi selanjutnya.

    “Arif banyak menulis buku dan artikel di media massa nasional dengan fokus pada isu ketimpangan, UMKM, investasi, dan keberlanjutan,” ujar dia.

    Ketika berkiprah di DPR pada periode 2009—2014, lanjut Didik, Arif dan rekan-rekannya aktif dalam gerakan sunyi, yakni menghidupkan ekonomi konstitusi.

    Bagi Arif, indikator kesejahteraan rakyat harus menjadi tujuan utama, bukan sekadar pertumbuhan ekonomi berbasis kebijakan yang liberal.

    “Arif dikenal karena menginisiasi kaukus ini, yang bertujuan memasukkan indikator kesejahteraan masyarakat ke dalam proses penyusunan APBN, bekerja sama dengan lintas fraksi,” kata dia.

    Didik juga mengatakan bahwa Arif Budimanta memiliki peran di dalam ranah sosial dan pendidikan, yakni sebagai pengurus Yayasan Wakaf Paramadina.

    Intelektual dan akademisi di yayasan dan kampus tersebut sangat aktif dalam diskursus publik dan memberikan kritik terhadap kebijakan publik dan ekonomi politik secara luas.

    “Kepergiannya terlalu cepat karena masih berusia muda, tetapi takdir tidak bisa kita tolak, sehingga kita ikhlas melepas kepergiannya,” kata Didik.

    Mantan Staf Khusus Presiden ke-7 Joko Widodo, Arif Budimanta yang saat ini merupakan Ketua Majelis Ekonomi, Bisnis dan Pariwisata PP Muhammadiyah, meninggal dunia pada Sabtu, pukul 00.06 WIB.

    Ketua PP Muhammadiyah Bidang Ekonomi dan Bisnis Muhadjir Effendy saat dihubungi membenarkan kabar meninggalnya Arif Budimanta.

  • Ini Warisan Pemikiran Arif Budimanta soal Kesejahteraan dan Ekonomi Berdaulat – Page 3

    Ini Warisan Pemikiran Arif Budimanta soal Kesejahteraan dan Ekonomi Berdaulat – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Kabar duka datang dari dunia ekonomi dan politik Indonesia. Ekonom senior dan mantan Staf Khusus Presiden, Arif Budimanta, meninggal dunia pada Sabtu, pukul 00.06 WIB. Saat ini, Arif menjabat sebagai Ketua Majelis Ekonomi, Bisnis dan Pariwisata PP Muhammadiyah. Kabar ini juga telah dibenarkan oleh Ketua PP Muhammadiyah Bidang Ekonomi dan Bisnis, Muhadjir Effendy.

    Kepergian Arif Budimanta yang begitu cepat meninggalkan duka mendalam bagi rekan-rekan dan para intelektual. Salah satunya adalah ekonom senior Indef, Didik J. Rachbini. Didik mengenang sosok Arif sebagai seorang yang mendedikasikan diri pada ekonomi, politik, Pancasila, dan kebijakan publik.

    “Kepergiannya terlalu cepat karena masih berusia muda, tetapi takdir tidak bisa kita tolak, sehingga kita ikhlas melepas kepergiannya,” kata Didik dikutip dari Antara, Sabtu (6/9/2025).

    Didik J. Rachbini menyoroti berbagai karya Arif, terutama yang membahas bagaimana nilai-nilai Pancasila dapat menjadi landasan sistem ekonomi Indonesia yang adil dan berdaulat.

    Karya-karya tersebut, seperti buku “Pancasilanomics: Ekonomi Pancasila dalam Gerak” (2019), menuai perhatiannya. Didik menilai, melalui buku-buku tersebut, Arif mengkritisi arah pembangunan yang cenderung liberal dan mengusulkan desain ekonomi yang berbasis pada konstitusi, khususnya Pasal 33 UUD 1945.

    “Beberapa karyanya membahas bagaimana nilai-nilai Pancasila bisa menjadi landasan sistem ekonomi Indonesia yang adil, inklusif dan berdaulat,” kata Didik.