NGO: INDEF

  • Beri Kesempatan Menteri Keuangan Baru

    Beri Kesempatan Menteri Keuangan Baru

    Jakarta

    Pergantian pucuk pimpinan di Kementerian Keuangan selalu menjadi sorotan publik. Dinamika perdebatan publik mengenai pergantian Menteri Keuangan ini langsung meningkat ketika hari pertama pengumuman adanya reshuffle Kabinet Merah Putih. Bahkan di hari pertama pengangkatan Menteri Keuangan yang baru, pasar sempat merespon negatif.

    Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat tertekan dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sempat melemah. Namun untungnya respon negatif ini hanya bersifat reaksioner sesaat karena di hari kedua IHSG dan nilai tukar rupiah sudah mulai mengalami “reborn”.

    Tantangan Menteri Keuangan Baru

    Dinamika perdebatan publik mengenai pergantian Menteri Keuangan ini cukup dapat dipahami. Menteri Keuangan bukan sekadar pejabat teknokratis, tetapi juga aktor politik-ekonomi yang menentukan arah kebijakan fiskal, stabilitas makro, dan persepsi pasar.

    Dalam waktu bersamaan, terdapat tantangan yang tidak ringan yang akan dihadapi Menteri Keuangan salah satunya adalah mengurangi anomali pertumbuhan ekonomi yang terjadi di era pemerintahan Prabowo-Gibran.

    Fenomena “anomali pertumbuhan” ini harus menjadi prioritas menteri keuangan baru. Pertumbuhan ekonomi yang sehat bukan sekadar angka statistik, melainkan harus mampu menciptakan lapangan kerja layak, meningkatkan kesejahteraan masyarakat menengah bawah, serta memperkuat daya tahan ekonomi domestik.

    Di satu sisi, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih terjaga relatif tinggi, di atas lima persen. Namun di sisi lain, berbagai anomali justru dirasa mulai muncul di lapangan, menimbulkan pertanyaan apakah pertumbuhan itu benar-benar berkualitas.

    Di tengah pertumbuhan ekonomi yang positif, gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) justru dirasa mulai meningkat. Banyak perusahaan, khususnya di sektor manufaktur dan tekstil, mengurangi kapasitas produksi karena melemahnya permintaan global maupun domestik yang disebabkan oleh membanjirnya impor pakaian bekas.

    Hal ini memunculkan pengangguran baru baik yang sifatnya pengangguran terbuka maupun yang terselubung (setengah menganggur).

    Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang terjadi di setengah tahun ini malah menggeser pekerja sektor formal ke sektor informal. Lebih dari separuh angkatan kerja Indonesia masih berada di sektor informal.

    Data ini memperlihatkan rapuhnya struktur ekonomi. Alih-alih menyerap tenaga kerja ke industri modern dengan produktivitas tinggi, pertumbuhan yang terjadi dalam enam bulan terakhir justru mendorong banyak orang ke sektor perdagangan kecil atau jasa informal yang rentan terhadap perubahan.

    Indikator lain yang harus diperhatikan oleh Menteri Keuangan yang baru adalah turunnya jumlah tabungan masyarakat kelas menengah bawah, khususnya dengan saldo di bawah Rp100 juta. Fenomena ini populer disebut “mantab” (makan tabungan).

    Artinya, pertumbuhan ekonomi belum benar-benar meningkatkan daya beli masyarakat terutama masyarakat menengah bawah. Pertumbuhan ekonomi lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat menengah atas yang menjadikan ketimpangan pendapatan di tengah masyarakat masih cenderung tinggi.

    Kredit perbankan, yang biasanya menjadi motor pertumbuhan dan penggerak roda industri, justru mulai memperlihatkan perlambatan. Penyaluran kredit bank di akhir pertengahan tahun 2025 hanya tumbuh di sekitaran tujuh persen.

    Penurunan ini bukan hanya karena kehati-hatian bank, tetapi lebih karena melemahnya permintaan kredit dari dunia usaha. Bahkan risiko dunia usaha juga meningkat yang diperlihatkan dengan naiknya angka Non-Performing Loan (NPL) kredit perbankan. Kondisi ini menjadikan bank lebih berhati-hati dalam menyalurkan kreditnya.

    Di waktu bersamaan, sektor UMKM juga mengalami tekanan. Kredit UMKM di beberapa sektor mengalami penurunan. Padahal selama ini UMKM menjadi penyedia lapangan kerja terbanyak. Kondisi ini menggambarkan naiknya risiko ekonomi dan menurunnya kepercayaan perbankan terhadap keberlanjutan usaha kecil dan menengah.

    Apa yang Harus Dilakukan Menteri Keuangan Baru?

    Menghadapi situasi ini, Menteri Keuangan baru tidak bisa hanya berfokus pada target angka pertumbuhan. Yang lebih penting adalah kualitas dari pertumbuhan itu sendiri.

    Menteri Keuangan yang baru harus mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas yaitu pertumbuhan ekonomi yang mampu menciptakan decent job (pekerjaan layak), mendorong UMKM naik kelas, memperluas kelas menengah, dan memperkuat struktur ekonomi daerah.

    Program mengguyur likuiditas perbankan dengan dana milik pemerintah yang mencapai RP200 triliun demi mendorong pertumbuhan ekonomi cukup dapat dipahami. Namun langkah ini adalah resep generik jangka pendek.

    Program ini juga harus dijalankan ekstra hati-hati. Jika likuiditas di lembaga perbankan terlalu berlebih maka hasilnya bisa kontraproduktif dengan tujuan semula, menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dengan mendorong UMKM dan industri padat karya.

    Saat ini likuditas di sektor perbankan sudah cukup ample. Lembaga perbankan memiliki dana yang sangat cukup untuk disalurkan menjadi kredit. Namun permasalahan utama yang dihadapi sektor perbankan saat ini adalah rendahnya permintaan (demand) kredit.

    Pertumbuhn kredit yang hanya sekitar tujuh persen bukan disebabkan karena rendahnya likuiditas, namun karena permintaan pasar tidak banyak. Sektor riil terutama industri pengolahan dan UMKM tidak bergerak cepat seperti yang diharapkan sehingga ekspansi usaha juga tidak berjalan cepat.

    Menambah likuiditas di tengah permintaan yang rendah dan risiko yang meningkat dikhawatirkan malah akan menjadi racun bagi lembaga perbankan.

    Apalagi lembaga perbankan tidak boleh menyalurkan dana berlebihnya ke portofolio keuangan seperti Surat Berharga Negara (SBN) dan juga Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

    Jika dipaksakan disalurkan ke dalam kredit maka besar kemungkinan akan terpilih kreditor-kreditor yang tidak berkualitas yang akan berpotensi meningkatkan NPL. Jika tetap dibiarkan mengendap maka bank akan mengalami kenaikan biaya modal karena menanggung biaya simpanan.

    Bisa saja bank mensiasati dengan mengganti dana yang disalurkan dimana dana yang disalurkan menjadi dana pemerintah dan dana yang mengendap menjadi dana milik umum.

    Namun hal itu tidak menyelesaikan masalah karena ibarat mengganti kantong, dari kantong kiri menjadi kantong kanan. Langkah ini hanya menyelesaikan permasalahan politis saja alih-alih masalah ekonomi dan tata kelola penyaluran kredit.

    Program Makan Bergizi Gratis (MBG)

    Oleh karena itu, kebijakan mengguyur likuiditas harus disertai dengan kebijakan lain yang dapat menciptakan permintaan di pasar kredit. Salah satunya adalah program Makan Bergizi Gratis (MBG).

    Program MBG dapat menjadi instrumen kebijakan fiskal yang tidak hanya berorientasi pada gizi anak sekolah, tetapi juga sebagai sumber permintaan bagi produk-produk berbasis kearifan lokal. Program MBG bisa diarahkan untuk menjadi faktor pendorong perekonomian daerah berbasis produk-produk pangan lokal.

    Agar program MBG dapat berfungsi sebagai penggerak ekonomi, dibutuhkan lembaga produksi dan distribusi yang kuat dalam hal ini program Koperasi Merah Putih yang ada di setiap desa bisa menjadi program pendukung yang sangat kuat.

    Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dari program Menteri Keuangan baru ini terletak pada integrasi kedua program ini. Program MBG menciptakan permintaan, sementara koperasi menjadi penyedia pasokan. Program MBG dan Koperasi Merah Putih harus menjadi satu kesatuan ekosistem yang utuh sehingga bisa saling menguatkan.

    Langkah Menteri Keuangan baru yang meminta laporan real time pelaksanaan dan realisasi anggaran dari Badan Gizi Nasional (BGN) merupakan langkah tepat yang bisa mendorong program MBG menjadi motor penggerak perekonomian.

    Jika program MBG bisa menjadi motor penggerak perekonomian maka konsep pertumbuhan ekonomi “desa mengepung kota” akan berhasil lebih cepat. Pertumbuhan ekonomi desa mengepung kota akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih merata dan lebih adil.

    Indonesia pernah mengenal program “desa mengepung kota” yang digagas salah satu bank BUMN di awal tahun 2000-an. Program ini menekankan pentingnya membangun ekonomi desa sebagai basis pertumbuhan.

    Program yang digagas bank milik pemerintah ini bisa dikatakan berhasil dan saat ini menjadikan bank plat merah tersebut sebagai salah satu bank dengan aset terbesar di Indonesia.

    Meski konsepnya menjanjikan, implementasi tentu penuh tantangan, mulai dari koordinasi antar kementerian, masalah tata kelola, kapasitas koperasi, hingga monitoring dan evaluasi. Belanja untuk MBG dan penguatan koperasi tentu membutuhkan dana besar. Namun, jika dirancang sebagai investasi sosial-ekonomi jangka panjang, program ini justru bisa memperkuat basis pajak di masa depan yang tentunya berujung pada penambahan pendapatan negara yang berkelanjutan.

    Penulis:

    Agus Herta Sumarto
    Ekonom INDEF dan Dosen FEB UMB

    (hns/hns)

  • Reshuffle Kabinet Prabowo: Netizen Skeptis, Menkeu Purbaya Jadi Sorotan

    Reshuffle Kabinet Prabowo: Netizen Skeptis, Menkeu Purbaya Jadi Sorotan

    Bisnis.com, JAKARTA — Reshuffle kabinet kedua yang dilakukan Presiden Prabowo Subianto pada 8 September 2025 menyulut perbincangan hangat di media sosial.

    Hasil analisis Continuum INDEF mencatat ada 44.404 percakapan yang muncul di berbagai platform digital sepanjang 8–9 September 2025, dengan TikTok sebagai kanal dominan, sementara Instagram paling rendah.

    Laporan itu menyebutkan, reshuffle kali ini mencopot lima menteri, menunjuk tiga pengganti, dan menambah satu kementerian baru. Mereka yang diganti antara lain Menko Polhukam Budi Gunawan, Menkeu Sri Mulyani, Menteri P2MI Abdul Kadir Karding, Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi, dan Menpora Dito Ariotedjo.

    Adapun, Purbaya Yudhi Sadewa ditunjuk sebagai Menkeu baru, Mukhtarudin sebagai Menteri P2MI, Ferry Juliantono sebagai Menteri Koperasi, serta Mochamad Irfan Yusuf (Gus Irfan) memimpin Kementerian Haji dan Umrah yang baru dibentuk. 

    Mayoritas warganet memandang reshuffle ini tidak akan membawa perubahan signifikan. Sebanyak 64,4% sentimen yang muncul bernuansa negatif, dengan alasan reshuffle dianggap lebih bermotif politik ketimbang perbaikan kinerja. Netizen juga mempertanyakan mengapa sejumlah posisi lain yang dinilai lemah, seperti Menteri HAM dan Kapolri, tidak ikut diganti.

    Meski begitu, ada apresiasi terhadap pencopotan menteri yang dikaitkan dengan kasus atau dianggap bermasalah, misalnya Budi Arie yang terseret isu judi online. Banyak netizen menilai langkah ini sebagai bagian dari upaya “bersih-bersih” dari pengaruh oligarki lama. 

    Di sisi lain, jabatan Menkeu menyedot perhatian paling besar dengan 23,7 ribu perbincangan. Publik melepas Sri Mulyani dengan penghormatan, meski tak sedikit yang menyinggung kebijakan pajak di era kepemimpinannya.

    Sementara itu, Purbaya Yudhi Sadewa dinilai kompeten secara rekam jejak, tetapi pernyataannya mengenai tuntutan rakyat menuai kontroversi. Bahkan muncul candaan bahwa “baru kali ini ada menteri baru dilantik sudah diprediksi bakal di-reshuffle lagi.”

    Selain Menkeu, posisi Menteri Koperasi juga ramai dibicarakan. Pencopotan Budi Arie dikaitkan dengan kasus judi online, sedangkan Ferry Juliantono disambut dengan harapan agar dapat amanah.

    Abdul Kadir Karding dari P2MI juga ditinggalkan publik setelah tersorot karena kedekatan dengan tersangka korupsi, sementara Mukhtarudin sebagai penggantinya dinilai membawa harapan baru.

    Nama Budi Gunawan (Menko Polkam) dan Dito Ariotedjo (Menpora) juga menjadi sorotan. Keduanya dianggap pantas dicopot karena dinilai gagal merespons persoalan keamanan dan minimnya capaian kerja. Netizen bahkan mendesak kelanjutan penyelidikan kasus dugaan korupsi BTS yang menyeret nama Dito. 

    Lalu, pembentukan Kementerian Haji dan Umrah yang dipimpin Gus Irfan turut memunculkan pro-kontra. Di satu sisi, publik mengapresiasi langkah strategis ini untuk meningkatkan layanan haji. Namun, di sisi lain, muncul kritik bahwa kementerian baru hanya ajang bagi-bagi kursi politik dan memperkuat dominasi Gerindra.

    Tak hanya itu, perbincangan netizen juga menyinggung soal “Geng Solo”. Reshuffle ini dinilai sebagai upaya mengurangi pengaruh kelompok tersebut dalam pemerintahan. Nama-nama lain seperti Menteri Kehutanan Raja Juli, Menteri HAM Natalius Pigai, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, Menko Pangan Zulkifli Hasan, hingga Menko Perekonomian Airlangga Hartarto ikut dipertanyakan publik mengapa tidak ikut diganti.

  • Indef sebut deindustrialisasi ubah struktur ketenagakerjaan Indonesia

    Indef sebut deindustrialisasi ubah struktur ketenagakerjaan Indonesia

    peran industri manufaktur menurun, mereka yang bekerja di sektor industri ini beralih ke sektor lain, di sektor jasa dan banyak yang di sektor informal

    Jakarta (ANTARA) – Direktur Program Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Eisha Maghfiruha Rachbini mengatakan deindustrialisasi menyebabkan perubahan struktural pada ketenagakerjaan Indonesia, yang banyak beralih sebagai pekerja informal atau pekerja gig economy.

    “Kebijakan yang tidak sinkron dan tidak adanya strategi khusus untuk menumbuhkan industri manufaktur, menyebabkan kontribusinya (terhadap produk domestik bruto/PDB) terus menurun. Ini menyebabkan adanya perubahan struktural dari tenaga kerja Indonesia,” kata Eisha dalam diskusi yang digelar secara daring di Jakarta, Rabu.

    “Ketika adanya penurunan kontribusi dan peran industri manufaktur yang menurun, mereka yang bekerja di sektor industri ini beralih ke sektor lain, di sektor jasa dan banyak yang bekerja di sektor informal,” imbuhnya.

    Ia menambahkan deindustrialisasi juga menjadi penyebab dari tidak meningkatnya upah riil, mengingat industrialisasi atau sektor manufaktur merupakan penopang di negara-negara terutama negara maju.

    Eisha mengatakan pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada industrialisasi dapat memberikan nilai tambah yang tinggi terhadap produk jadi (output) yang dihasilkan.

    Namun, berdasarkan data Indef, kontribusi industri manufaktur terhadap PDB Indonesia hanya 18,98 persen. Kontribusi penyerapan tenaga kerja pada industri pengolahan pun menurun dari 13,83 persen di tahun 2014, menjadi 13,63 persen tahun lalu.

    Dengan beralihnya tenaga kerja Indonesia dari sektor industri ke sektor informal, Eisha menilai hal ini memberikan ketidakstabilan atas jaminan penghidupan atau pekerjaan yang layak bagi pekerja.

    “Sektor informal juga memberikan pendapatan, tapi secara jaminan kesejahteraan, ini sangat tidak stabil karena sewaktu-waktu mereka bisa bekerja, sewaktu-waktu mereka tidak bekerja, tidak mendapatkan pendapatan. Ini akan memberikan dampak terhadap daya beli masyarakat,” ujar Eisha.

    Untuk itu, ia meminta pemerintah agar fokus untuk membuka seluas-luasnya lapangan kerja. Terlebih, masyarakat juga menuntut hal tersebut melalui “17+8” dan pemerintah merespons dengan reshuffle atau penyegaran kabinet.

    “Membuka lapangan kerja yang luas itu juga perlu, sangat urgent untuk dilakukan oleh pemerintah,” kata Eisha.

    “Refreshment di dalam kabinet ini harusnya bisa mendorong program-program yang bisa mendorong kepada daya beli masyarakat dan peningkatan income masyarakat,” imbuhnya.

    Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Indef sebut deindustrialisasi ubah struktur ketenagakerjaan Indonesia

    Indef: Reshuffle kabinet tekankan kredibilitas untuk kebijakan fiskal

    yang harus diperhatikan mendorong kredibilitas, mengembalikan kepercayaan publik dan pasar agar kebijakan fiskal dapat mendorong pertumbuhan ekonomi

    Jakarta (ANTARA) – Direktur Program Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Eisha Maghfiruha Rachbini menilai reshuffle atau perombakan kabinet perlu diarahkan untuk mendorong kredibilitas agar kebijakan fiskal yang dihasilkan dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional.

    “Reshuffle diharapkan dapat memberikan dampak pada kinerja ekonomi, dengan menjalankan program-program prioritas dengan efektif dan tepat sasaran,” kata Eisha dalam diskusi secara daring di Jakarta, Rabu.

    “Namun, PR yang harus diperhatikan adalah mendorong kredibilitas, mengembalikan kepercayaan publik dan pasar agar kebijakan fiskal dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjaga stabilitas makro ekonomi di tengah gejolak eksternal dan ketidakpastian yang tinggi,” imbuhnya.

    Lebih lanjut, Eisha mengatakan Menteri Keuangan (Menkeu) yang baru, Purbaya Yudhi Sadewa, dapat meninjau kembali feasibilitas dan kapasitas fiskal dalam menjalankan program-program prioritas di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

    Beberapa langkah yang perlu disorot antara lain evaluasi pada struktur belanja pemerintah dan mendorong keadilan fiskal antara pusat dan daerah, hingga memenuhi alokasi dana pendidikan 20 persen yang diperuntukkan pada peningkatan infrastruktur fasilitas, kualitas pendidikan, serta kesejahteraan guru.

    Selain itu, Eisha juga meminta pemerintah agar memiliki strategi kebijakan dalam meningkatkan rasio pajak (tax ratio) dan mengurangi beban utang.

    “Ini melalui upaya mendorong produktivitas terutama di sektor riil yang memiliki magnitude dan dampak berganda yang luas dan meningkatkan daya beli masyarakat,” ujar Eisha.

    Ia juga mengingatkan prioritas kebijakan fiskal harus ditujukan pada program dapat memberikan stimulus pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan pekerjaan dan mendorong sektor produktif agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

    “Diharapkan memang pengelolaan anggaran ini harus dievaluasi lagi, bagaimana kebijakan fiskal ini bisa memberikan stimulus kepada lapangan pekerjaan yang lebih luas,” kata Eisha.

    “Selain itu, juga melihat lagi feasible dari program-program prioritas. Kalau misalnya memang tidak visibel secara anggaran, kenapa mesti dijalankan dan dipaksakan?” imbuhnya.

    Sementara itu, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengusulkan Menkeu Purbaya untuk berani menerapkan disiplin fiskal dan refocusing anggaran untuk tahun 2026, memperbaiki manajemen utang negara, mendorong pemberantasan underground economy, serta menjunjung kehati-hatian dalam memberikan keterangan publik.

    “Karena apa yang terucap, dicatat oleh investor. Jangan overpromise, overconfidenct, oversimplify, karena market bakal mempertanyakan kredibilitasnya. Selain itu, Menkeu bersama para Wamenkeu juga perlu di-deploy dan bergerak sebagai team player (dalam penyusunan kebijakan fiskal),” ujar Wijayanto.

    Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ekonom ingatkan kehati-hatian dalam penerapan skema burden sharing

    Ekonom ingatkan kehati-hatian dalam penerapan skema burden sharing

    Ini (risiko) adalah sesuatu yang saya rasa pemerintah harus antisipasi. Apakah burden sharing ini harus diakhiri? Tidak. Kita jalankan, tapi dengan hati-hati. Gradual.

    Jakarta (ANTARA) – Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam penerapan skema burden sharing oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Bank Indonesia (BI), guna mendukung program-program prioritas Presiden Prabowo Subianto.

    “Ini (risiko) adalah sesuatu yang saya rasa pemerintah harus antisipasi. Apakah burden sharing ini harus diakhiri? Tidak. Kita jalankan, tapi dengan hati-hati. Gradual,” kata Wijayanto dalam diskusi yang digelar secara daring di Jakarta, Rabu.

    Adapun kesepakatan antara Kemenkeu dan BI tersebut bertujuan menekan beban fiskal pemerintah, agar pendanaan program perumahan rakyat dan Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih dapat terealisasi.

    Skema tersebut sebagai bagian dari kebijakan moneter ekspansif, dengan BI membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. Dana dari pembelian itu kemudian dialokasikan Kemenkeu untuk mendanai program ekonomi kerakyatan.

    Beban bunga SBN ditanggung bersama oleh BI dan Kemenkeu melalui mekanisme burden sharing, masing-masing separuh.

    Lebih lanjut, Wijayanto mengatakan pemerintah juga harus melihat apakah skema burden sharing ini merupakan langkah strategis yang sudah dipikirkan sejak lama atau karena “terpojok” untuk mencari solusi tercepat.

    Untuk itu, melakukannya secara bertahap pada program strategis perlu dilakukan perlahan dan tidak terburu-buru.

    “Program 3 Juta Rumah juga dilakukan gradual, mulai dari kecil dulu nanti ramp up naik. Kemudian Koperasi Desa Merah Putih juga begitu,” ujar dia lagi.

    Sependapat, Direktur Program Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Eisha Maghfiruha Rachbini juga menekankan independensi dan mencermati risiko dalam penerapan skema burden sharing.

    “Selain memegang independensi, juga harus mencermati beberapa risiko terkait stimulus dari kebijakan moneter ini,” kata Eisha.

    Eisha menilai, kebijakan moneter modern ini memang dapat membantu dalam percepatan target pertumbuhan ekonomi, tapi juga ada sejumlah risiko seperti potensi inflasi hingga antisipasi jika ada program yang tidak berhasil implementasinya.

    “Risiko yang perlu dicermati, apakah stimulus dari kebijakan moneter ini bisa mendorong produktivitas pada Kopdes Merah Putih dan perumahan rakyat. Kalau programnya berjalan dan targetnya tepat sasaran, idealnya sesuai dengan yang tadi diharapkan bahwa kebijakan moneter bisa mendorong pertumbuhan ekonomi,” kata Eisha pula.

    “Namun, jika pada pelaksanaannya, misalnya risiko kegagalan seperti proyek mangkrak di perumahan rakyat, itu (dampak buruk) tidak dapat dihindari. Jika pengelolaannya tidak baik, maka ini bisa menimbulkan efek yang berlawanan,” katanya lagi.

    Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
    Editor: Budisantoso Budiman
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Soal Reshuffle Menkeu, Ekonom Pastikan Fundamental Ekonomi RI Sehat

    Soal Reshuffle Menkeu, Ekonom Pastikan Fundamental Ekonomi RI Sehat

    Jakarta, CNBC Indonesia – Purbaya Yudhi Sadewa telah resmi dilantik menjadi Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani Indrawati pada Senin (8/9/2025). Serah terima jabatan antara keduanya pun juga telah dilakukan pada Selasa (9/9/2025).

    Pergantian yang terjadi di tengah situasi global yang penuh ketidakpastian dan tekanan pasar keuangan, sejumlah ekonom menilai fondasi makroekonomi Indonesia masih cukup kuat. Namun para ekonom mengingatkan bahwa momen reshuffle dapat menimbulkan risiko baru, terutama terkait kredibilitas fiskal dan kepercayaan investor.

    Kepala Departemen Makroekonomi Indef, Muhammad Rizal Taufikurrahman menilai kondisi fundamental Indonesia relatif sehat. Pertumbuhan moderat, inflasi terkendali, dan sistem perbankan solid. Namun dirinya menyoroti kenaikan risk premium akibat ketidakpastian arah kebijakan pasca pergantian Menteri Keuangan.

    “Artinya, keseimbangan risiko saat ini lebih ditentukan oleh kredibilitas jangkar kebijakan yakni disiplin defisit kurang dari 3% terhadap PDB, konsistensi APBN, dan koordinatif fiskal-moneter ketimbang sekadar narasi optimism,” ujar Rizal kepada CNBC Indonesia, Rabu (10/9/2025).

    Rizal mengatakan, bila respons kebijakan cepat, terukur, dan berbasis aturan akan menurunkan persepsi risiko. Tetapi jika sinyal pemerintah tidak jelas arahnya, volatilitas rupiah maupun yield obligasi akan cepat menekan ruang fiskal.

    Maka dari itu, menurutnya, dari sudut stabilitas pasar, pergantian Menteri Keuangan ini tidak ideal. Pasalnya menambah ketidakpastian kebijakan saat volatilitas tinggi.

    “Namun dampaknya bisa dinetralisir apabila dalam hitungan hari Menkeu baru menegaskan 3% sebagai hard ceiling, mempublikasikan peta jalan pembiayaan program yang kredibel, dan memperlihatkan rencana eksekusi APBN yang sequenced dan doable. Dengan demikian, penting kiranya, bahwa kredibilitas ditentukan oleh aturan dan eksekusi, bukan figur semata,” ujarnya.

    Namun Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai tren fiskal Indonesia justru mengkhawatirkan. Penerimaan negara terbatas, sementara belanja terus melejit karena program prioritas dan pembayaran bunga utang yang membengkak.

    “Burden sharing SBN memperburuk situasi dengan meningkatkan ketergantungan kita terhadap utang,” ujar Wijayanto kepada CNBC Indonesia, Rabu (10/9/2025).

    Wijayanto menilai pergantian Menteri Keuangan di periode krusial ini justru memperbesar risiko. Menurutnya, kinerja Sri Mulyani sebenarnya relatif memuaskan, sehingga pergantian seharusnya dilakukan setelah 2026, bukan saat memasuki masa berat pembiayaan.

    “Tahun 2026 adalah tahun terberat dimana kita perlu refinancing utang dan menerbitkan utang baru senilai Rp 1.400 T; investor confidence sangat diperlukan. Jika memang harus mengganti, idealnya pasca 2026. Saya pribadi menilai sesungguhnya kinerja bu Sri Mulyani relatif memuaskan,” ujarnya.

    Di sisi lain Ekonom Center for strategic and international Studies (CSIS), Riandy Laksono menilai masalah ekonomi Indonesia tidak hanya soal stabilitas makro, tetapi juga lemahnya sektor riil dan ketenagakerjaan. Industri manufaktur belum kompetitif dibandingkan negara pesaing, sehingga penciptaan lapangan kerja tidak maksimal.

    “Dampaknya sektor industri yang lemah adalah penciptaan lapangan kerja juga jadinya tidak bisa terlalu masif, apalagi pekerjaan yang berkualitas. Sekarang ini masyarakat banyak bekerja di sektor jasa yang tidak terlalu produktif, termasuk gig economy seperti ojol. Ini yang harus menjadi concern,” ujar Riandy kepada CNBC Indonesia, Rabu (10/9/2025).

    Terkait pergantian Menteri Keuangan, Riandy melihat faktor politik ikut berperan. Dirinya menyebut langkah Presiden sebagai bagian dari meredam protes publik, sekaligus momentum berpisahnya jalan Presiden Prabowo Subianto dengan Sri Mulyani.

    “Tidak ada waktu yang benar-benar tepat, saya melihat ini sebagai upaya presiden meredam protes yang beredar termasuk untuk statement yang dirasa oleh publik tone deaf yang juga sempat dilontarkan oleh menteri keuangan, walau dengan level yang jauh lebih mild daripada statement anggota DPR yang bermasalah,” ujarnya.

    Sementara itu, Chief Economist Permata Bank Josua Pardede menjelaskan meskipun fundamental ekonomi masih stabil, pasar finansial sangat sensitif terhadap sinyal kebijakan. Seperti pelemahan rupiah pasca pengumuman reshuffle, kenaikan imbal hasil SBN, serta koreksi IHSG menunjukkan bahwa transmisi dari sisi kepercayaan pasar dapat cepat menekan variabel makro keuangan bila komunikasi kebijakan tidak solid.

    “Dengan kata lain, fondasi makro masih memadai, tetapi penyangga kepercayaan pasar harus segera diperkuat agar volatilitas jangka pendek tidak berubah menjadi pelemahan yang berkepanjangan,” ujar Josua kepada CNBC Indonesia, Rabu (10/9/2025).

    Menurutnya, langkah kunci pemerintah adalah mempercepat komunikasi kebijakan. Kejelasan outlook defisit fiskal, rencana pembiayaan utang, serta pola komunikasi yang konsisten akan menentukan apakah pasar kembali percaya atau justru semakin meragukan stabilitas ekonomi.

    “Jika sinyal ini cepat keluar, dampak negatif dari penentuan waktu dapat ditekan dan kepercayaan segera pulih,” ujarnya.

    (haa/haa)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Aliansi Ekonom desak penyederhanaan birokrasi dukung iklim investasi

    Aliansi Ekonom desak penyederhanaan birokrasi dukung iklim investasi

    Jakarta (ANTARA) – Aliansi Ekonom Indonesia mendesak penyederhanaan birokrasi dalam rangka mendukung terciptanya iklim usaha serta investasi yang kondusif.

    “Deregulasi kebijakan, perizinan, lisensi dan penyederhanaan birokrasi yang menghambat terciptanya iklim usaha dan investasi yang kondusif,” ujar Rizki Nauli Siregar dari Aliansi Ekonom Indonesia yang juga seorang Asisten Profesor bidang ekonomi di Universitas Indonesia dalam diskusi daring di Jakarta, Selasa.

    Desakan tersebut, lanjutnya, meliputi reformasi menyeluruh proses perizinan, penyederhanaan prosedur, memangkas rantai birokrasi, dan memastikan transparansi dan akuntabilitas.

    Di samping itu, pemberlakuan secara konsisten pemberian izin yang tertib dan transparan, kemudian berantas seluruh bentuk usaha ilegal di sektor ekstraktif, termasuk pertambangan maupun perkebunan, dalam rangka menegakkan amanat konstitusi.

    Amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat (4) menekankan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, namun kerap diabaikan dalam praktik penyelenggaraan ekonomi nasional.

    Aliansi Ekonom Indonesia juga menyampaikan agar adanya pelonggaran Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) di sektor yang belum memiliki pemasok lokal berkualitas dan bina industri lokal yang perlu diperkuat melalui investasi sumber daya manusia (SDM), transfer teknologi, dan pembangunan infrastruktur.

    Desakan terkait deregulasi kebijakan dan penyederhanaan birokrasi tersebut merupakan salah satu dari beberapa desakan ekonomi yang disampaikan oleh Aliansi Ekonom Indonesia.

    Aliansi Ekonom Indonesia, yang terdiri dari para ekonom dan akademisi menyampaikan pernyataan bersama berisi sejumlah poin desakan kepada penyelenggara negara untuk segera mengambil langkah-langkah konkret dalam mengatasi tantangan ekonomi, sosial, dan kemasyarakatan yang dihadapi saat ini.

    Pernyataan bersama ini adalah bentuk tanggung jawab moral dan berdasarkan kapasitas profesional untuk memberikan masukan konstruktif demi perbaikan ekonomi Indonesia.

    Adapun beberapa ekonom yang terlibat di Aliansi Ekonom Indonesia di antaranya pengamat ekonomi Andry Satrio Nugroho dari INDEF, Yose Rizal Damuri dari CSIS, dan ekonom senior Lili Yan Ing dari Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA).

    Daftar individu yang terlibat dalam menandatangani pernyataan bersama ini tidak mewakili institusi dimana ia terafiliasi.

    Pewarta: Aji Cakti
    Editor: Zaenal Abidin
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Belanja Bulanan Sama, Tapi Gaji Cepat Ludes? Ini Biang Keroknya

    Belanja Bulanan Sama, Tapi Gaji Cepat Ludes? Ini Biang Keroknya

    Jakarta

    Banyak orang menantikan tanggal gajian seolah menjadi penyelamat untuk belanja kebutuhan bulanan. Sayangnya, baru beberapa hari uang masuk, saldo di rekening sudah menipis seakan-akan gaji hanya ‘numpang lewat’.

    Fenomena ini ternyata tidak hanya dialami segelintir orang, tetapi menjadi salah satu masalah umum saat ini. Direktur Eksekutif Institute for Development Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menyebut kondisi ini terlihat dari berbagai data ekonomi.

    Salah satu tandanya adalah pertumbuhan jumlah tabungan masyarakat atau individu dengan saldo kurang dari Rp 100 juta yang mengalami perlambatan. Hal ini menunjukkan banyak orang, khususnya kelas menengah, lebih cepat kehabisan dana sehingga kurang bisa menabung.

    Selain itu, ada juga peningkatan utang pinjaman online (pinjol) atau Peer to Peer (P2P) Lending warga Indonesia yang tembus Rp 84,66 triliun per Juli 2025. Jumlah ini meningkat 22,01% secara tahunan (year-on-year/YoY) dibandingkan sebelumnya Rp 69,39 triliun.

    “Trennya jumlah pinjaman online semakin banyak, dan itu kebanyakan di menengah ke bawah. Cuma dari pinjol itu masalahnya tidak ada survei yang membuktikan kelas menengah ke bawah. Tapi saya yakin itu kelas menengah ke bawah paling banyak pakai,” katanya kepada detikcom.

    Ia menjelaskan ada sejumlah faktor yang membuat isi dompet masyarakat kian menipis meski belanja bulanannya sama saja. Salah satunya adalah kenaikan harga barang dalam beberapa waktu terakhir.

    Masalahnya, kenaikan harga ini tidak diiringi dengan kenaikan upah. Tauhid mengatakan laju kenaikan pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari jauh lebih cepat daripada laju pertumbuhan gaji pekerja.

    “Harga barang itu inflasi itu sulit ditahan, sementara pendapatan relatif kenaikannya tidak secepat kenaikan harga-harga. Bagi kelas menengah justru kenaikan harga ini banyak yang bukan makanan. Misalnya kosmetik, kemudian transportasi dan sebagainya, itu kadang lebih cepat naiknya ketimbang pendapatan,” terangnya.

    Belum lagi gaya hidup masyarakat saat ini. Menurut Tauhid, banyak orang yang ‘sesekali’ membeli barang di luar kebutuhan pokok. Namun tanpa sadar, barang-barang ini menjadi pengeluaran tambahan yang cicilannya mungkin baru terasa di bulan-bulan berikutnya.

    Senada, perencana keuangan Eko Endarto juga melihat sekarang ini banyak orang semakin sulit mengatur pengeluaran, yang menunjukkan gaji atau pendapatannya sudah habis untuk konsumsi sehari-hari.

    Menurutnya, salah satu biang kerok yang membuat gaji terasa lebih cepat habis adalah kenaikan harga barang. Baik karena inflasi, maupun kelangkaan produk yang membuat harga melonjak tinggi.

    “Pertama pastinya karena inflasi, walaupun pemerintah bilang inflasi kita nggak tinggi, tapi secara real kita bisa melihat bahwa beberapa barang itu makin sulit ditemui. Atau misalnya memang tidak inflasi, tapi beberapa barang itu tidak ada sehingga harganya tinggi sekali,” jelas Eko.

    “Sehingga kita harus berkorban untuk suatu barang yang itu pokok. Pada akhirnya dana yang habis lebih besar dari biasanya,” sambungnya.

    Masalahnya, kenaikan harga ini terjadi pada produk yang biasa dibeli masyarakat. Sehingga mau tak mau mereka harus tetap membeli dengan harga lebih tinggi, tanpa sadar menghabiskan lebih banyak uang. Inilah yang membuat gaji bulanan terasa lebih cepat habis dari biasanya.

    “Karena kan kadang-kadang karena itu rutin kita merasa itu biasa-biasa saja. Kita beli-beli, tapi ternyata harganya naik, kita nggak kerasa. Apalagi kalau misalnya kita belinya dalam jumlah sedikit, misalnya per hari atau tiap hari beli. Dia naik seratus rupiah, tapi kalau beli tiap hari, tiga puluh hari sudah berapa kan? Itu baru satu barang. Misalnya yang lain naik seribu rupiah, beli tiap hari itu ditotal sudah Rp 30 ribu kelebihannya,” jelas Eko.

    (igo/fdl)

  • Perjalanan Sri Mulyani Kawal Kebijakan Fiskal SBY, Jokowi, hingga Prabowo

    Perjalanan Sri Mulyani Kawal Kebijakan Fiskal SBY, Jokowi, hingga Prabowo

    Bisnis.com, JAKARTA — Sri Mulyani Indrawati akhirnya menyelesaikan jabatan sebagai Menteri Keuangan (Menkeu). Dia resmi digeser dari posisi yang dipegangnya secara berturut-turut sejak Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2016.

    Sejatinya ekonom senior perempuan lulusan Indonesia hingga Amerika Serikat (AS) itu sudah mengemban tugas sebagai Menkeu pada tiga rezim presiden dan lima kabinet. Perempuan akrab disapa Ani itu pertama kali mengemban amanah sebagai Menkeu pada 2005 atau Kabinet Indonesia Bersatu pada pemerintahan periode pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). 

    Saat itu, dia menggantikan Jusuf Anwar. Sebelumnya, dia lebih dulu dilantik sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 

    Sri Mulyani lalu melanjutkan kiprahnya sebagai Bendahara Negara pada 2009 ketika SBY kembali menjadi presiden untuk memimpin Kabinet Indonesia Bersatu II. Namun, jabatan itu tidak lama dipegangnya. Umur jabatan itu hanya sampai pertengahan 2010 ketika akhirnya dia memilih untuk mengambil pekerjaan sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia. 

    Jabatan Menkeu lalu diduduki oleh tiga orang ekonom pria, yaitu Agus Martowardojo dan Chatib Basri pada sisa periode pemerintahan SBY, kemudian Bambang Brodjonegoro. Bambang menjadi Menkeu pertama yang ditunjuk Presiden Jokowi pada 2014.

    Namun, hanya sampai sekitar 2016, jabatan Menkeu kembali ke pangkuan Sri Mulyani. Jokowi memanggilnya untuk kembali ke Indonesia dan menjadi Bendahara Negara pada sisa periode Kabinet Kerja yakni 2016-2019, kemudian lanjut ke Kabinet Indonesia Maju 2019-2024. 

    Isu terkait dengan rencana mundurnya Sri Mulyani dari jabatan itu mulai berembus di akhir pemerintahan Jokowi. Isu penyaluran bantuan sosial (bansos) besar-besaran di era Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 turut menyeretnya. 

    Bahkan, pada April 2024, dia dan tiga orang lainnya termasuk Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dihadirkan pada sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), yang mana akhirnya pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming secara berkekuatan hukum tetap dinyatakan memenangkan kontestasi. 

    Akan tetapi, pada akhirnya dia tetap menuntaskan jabatannya sebagai Menkeu dalam satu periode penuh. Apabila ditarik mundur, baru pada Kabinet Indonesia Maju Sri Mulyani tuntas menjabat Menkeu dari awal sampai akhir periode. 

    “Hari ini adalah titik di mana saya mengakhiri tugas, dari kabinet di bawah pimpinan Pak Jokowi dan wakil Ma’ruf Amin,” lanjutnya dengan suara bergetar saat membacakan ucapan perpisahan di DPR ketika pengesahan APBN 2025, September 2024 lalu. 

    Saat hampir diyakini tak akan melanjutkan jabatannya, Sri Mulyani ternyata menjadi salah satu tokoh yang dipanggil Prabowo, saat itu masih Presiden Terpilih, ke Kertanegara IV untuk ditawarkan menjadi Menkeu yakni 14 Oktober 2024. 

    Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani saat melayat ke rumah duka Kwik Kian Gie, di RSPAD Jakarta, Selasa (29/7/2025)/BISNIS-Annisa Nurul Amara

    Enam hari setelahnya, Sri Mulyani diumumkan sebagai Menkeu Kabinet Merah Putih pada malam hari setelah Prabowo mengucapkan sumpah jabatan di DPR pada 20 Oktober 2024. Dia kemudian kembali dilantik memimpin Kemenkeu pada 21 Oktober 2024. 

    Seperti halnya periode jabatannya di Kabinet Indonesia Bersatu II, posisi itu tak lama dipegang oleh Sri Mulyani. Dia akhirnya digeser oleh Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa, rekannya di Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). 

    Tantangan Ekonomi

    Selama di pemerintahan, Sri Mulyani pernah juga memegang jabatan sebagai Menteri PPN/Kepala Bappenas, Plt. Menko Perekonomian serta Ketua KSSK. 

    Doktor lulusan AS itu turut menghadapi berbagai tantangan perekonomian, utamanya krisis akibat bencana alam. Saat menjadi menteri, dia ikut menangani bencana alam yakni tsunami di Aceh 2004 (sebagai Menteri PPN/Bappenas), gempa Yogyakarta 2006 hingga likuifaksi di Palu pada 2018. 

    Bencana terbesar yang pernah dihadapinya sebagai Menkeu adalah pandemi Covid-19. Tingkat penyebaran dan kematian akibat virus tersebut utamanya tinggi pada 2020, dan lanjut saat merebaknya virus Corona varian Delta pada 2021. 

    Hal itu turut berdampak pada pengelolaan fiskal. Dampak terdalam adalah pada tahun pertama pagebluk yakni 2020. Dengan melonjaknya kebutuhan belanja pemerintah untuk penanggulangan pandemi, pemerintah memutuskan untuk melakukan kebijakan fiskal ekspansif dan menetapkan defisit APBN 2020 melampaui batas UU yakni 3% terhadap PDB. 

    Realisasinya, pada 2020 APBN mengalami defisit sampai 6,09% terhadap PDB. Belanja diutamakan untuk penanganan Covid-19, bansos hingga pemulihan ekonomi nasional. 

    Pada saat itu juga Sri Mulyani atas restu Presiden Jokowi menggaet Bank Indonesia (BI) untuk bersama-sama menanggung beban biaya fiskal atau burden sharing. Bank sentral saat itu berperan untuk membeli SBN pemerintah pada pasar primer. Kebijakan itu pun dilanjutkan setidaknya melalui pasar sekunder sampai dengan pemerintahan Prabowo saat ini. 

    Defisit pun menyusut menjadi 4,65% terhadap PDB pada 2021. Setelahnya, sampai dengan outlook 2025 sebesar 2,78%, defisit kini terjaga pada level di bawah 3% PDB.  

    Perempuan yang pernah menjabat di Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (IMF) itu juga pernah menghadapi krisis keuangan global pada 2008, yang dipicu oleh subprime mortgage crisis di AS. 

    Kenaikan Pajak

    Kendati kerap menorehkan prestasi dan pengakuan di level internasional, kebijakan-kebijakan Sri Mulyani tak selalu disambut positif. Beberapa yang disambut positif yakni saat program pengampunan pajak atau tax amnesty pada periode pertama dan kedua pemerintahan Jokowi. 

    Tax amnesty ditujukan untuk mengincar pajak konglomerat yang memiliki tunggakan besar. Kebijakan itu lalu dilanjutkan kedua kalinya usai pandemi melandai yakni 2022, dengan Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Hal itu berbarengan dengan pengesahan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). 

    Spanduk iklan program pengampunan pajak atau tax amnesty pada 2016. / dok. Kominfo

    Namun demikian, dalam catatan Bisnis, realisasinya masih jauh panggang dari api. Dari tingkat partisipasi, wajib pajak (WP) yang ikut tax amnesty jilid pertama hanya kurang dari 1 juta WP. Jumlah tersebut hanya 2,4% dari wajib pajak yang terdaftar pada tahun 2017 yakni pada angka 39,1 juta. 

    Sementara itu untuk uang tebusan, dengan realisasi Rp114,5 triliun jumlah tersebut masih di luar ekspektasi pemerintah yang sebelumnya berada pada angka Rp165 triliun. Realisasi repatriasi juga sama, dari janji yang dalam pembahasan di DPR sebesar Rp1.000 triliun, otoritas pajak ternyata hanya bisa merealisasikan sebesar Rp146,7 triliun.

    Kenaikan pajak pun turut membayangi kiprah Sri Mulyani sebagai pemegang kuasa otoritas fiskal. Pada 2023, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) resmi dikerek dari 10% menjadi 11%. Kenaikan itu awalnya ingin dilanjutkan menjadi 12% pada awal 2025, tetapi batal usai masyarakat ramai-ramai menolaknya. 

    Pemerintah kemudian mengakalinya dengan menerapkan tarif PPN 12% hanya pada barang terkategorikan mewah atau dalam daftar kena Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). 

    Tidak hanya pajak yang dipungut oleh pusat, kenaikan pajak di daerah juga terjadi utamanya Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PPB-P2) oleh pemda.

    Dalam catatan Kemendagri, penaikan tarif PBB-P2 adalah cara pemda untuk mengerek pendapatan asli daerah (PAD), yang wewenangnya diatur dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU HKPD). UU itu juga menjadi warisan Sri Mulyani yang disahkan pada 2022 lalu 

    Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebut ada lima daerah yang menerapkan kebijakan kenaikan PBB-P2 pada 2025, di antaranya Pati dan Jepara yang kini sudah dibatalkan. Namun, dia juga mengungkap ada 15 pemda lain yang mengerek tarif PBB-P2 di atas 100% kendati pada periode 2022-2024, atau sebelum kebijakan efisiensi. 

    “Artinya tidak ada hubungannya, 15 daerah, tidak ada hubungannya dengan efisiensi yang terjadi di tahun 2024. Nah jadi sekali lagi inilah inisiatif baru dari teman-teman daerah, hanya lima daerah yang melakukan kenaikan NJOP dan PBB di tahun 2025. Yang lainnya 2022-2024,” terang Tito di kantor Ditjen Pajak Kemenkeu, Jakarta, Jumat (15/8/2025).

    Kenaikan pajak ini pun menjadi salah satu hal yang disoroti publik terhadap Sri Mulyani belakangan ini. Ditambah lagi dengan kejadian penjarahan di rumahnya di Bintaro, Tangerang Selatan, 31 Agustus dini hari lalu, hal itu semakin memicu berembusnya kabar Sri Mulyani ingin mengundurkan diri dari jabatannya. 

    Tanggapan Ahli

    Para ekonom maupun analis memberikan respons beragam. Center of Law and Economic Studies (Celios) blak-blakan menyebut berita penggantian kursi Menkeu dari Sri Mulyani adalah berita positif bagi ekonomi. 

    “Tuntutan untuk mengganti Sri Mulyani sudah lama diserukan oleh berbagai organisasi think tank dan masyarakat sipil sebagai bentuk kritik atas ketidakmampuan Menteri Keuangan dalam mendorong kebijakan pajak yang berkeadilan, pengelolaan belanja yang hati-hati, dan naiknya beban utang yang kian mempersempit ruang fiskal,” terang Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, Senin (9/9/2025). 

    Sementara itu, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan memandang bahwa figur Sri Mulyani selama ini diakui dan dipercaya terutama oleh dunia usaha dan lembaga internasional sebagai pejabat yang berhasil menjaga kebijakan fiskal secara stabil, prudent, dan sustainable. 

    Dengan demikian, terangnya, Indonesia masih merupakan salah satu dari negara yang dipercaya mengelola ekonominya dengan baik dan masih menarik untuk investasi. 

    “Walau dalam beberapa tahun terakhir terutama di masa kedua Jokowi banyak melakukan akomodasi terhadap keinginan Presiden sehingga mengakibatkan semakin meningkatnya utang publik dan menurunnya kredibilitas kebijakan fiskal sendiri,” paparnya. 

  • Pakar Ungkap Alasan Prabowo Reshuffle Menteri, Termasuk Sri Mulyani dan Budi Arie

    Pakar Ungkap Alasan Prabowo Reshuffle Menteri, Termasuk Sri Mulyani dan Budi Arie

    Bisnis.com, Jakarta — Presiden Prabowo Subianto telah melakukan perombakan atau reshuffle serta melantik menteri dan wakil menteri kabinet Merah Putih di Istana Kepresidenan, Senin (8/9/2025). 

    Pengamat Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno menilai bahwa selama ini beberapa menteri kerap membuat masalah yang telah mencoreng wajah Presiden Prabowo.

    “Misalnya ada menteri yang ketika dikait-kaitkan dengan kasus tertentu kan muncul desakan untuk diganti gitu ya, atau mundur,” tuturnya kepada Bisnis di Jakarta, Senin (8/9).

    Kemudian, kata Adi, ada juga pernyataan blunder dari Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Abdul Kadir Karding yang mendesak warga bekerja ke luar negeri untuk atas pengangguran di Indonesia.

    “Foto yang terbaru dia misalnya juga main domino viral, itu kan mengonfirmasi ada beberapa catatan-catatan kritis terkait dengan menteri tertentu dan itu akhirnya terkonfirmasi dengan reshuffle ini,” katanya.

    Sementara itu, dia menilai Menteri Pemuda dan Olahraga Dito Ariotedjo di-reshuffle oleh Presiden Prabowo Subianto karena dinilai tidak mampu mendorong atlet olahraga bulutangkis agar memiliki prestasi di dunia internasional.

    “Kalau Pak Dito misalnya kinerja di bidang olahraga kan dinilai tidak terlalu perform, misalnya ada olahraga unggulan seperti bulutangkis yang selama ini telah menjadi anggaran Indonesia di dunia internasional kan tidak bisa bicara banyak beberapa tahun belakangan ini,” ujarnya.

    Kemudian, Menteri Keuangan Sri Mulyani dicopot karena tidak memiliki solusi atas berbagai persoalan ekonomi nasional, di mana angka pengangguran, kemiskinan terus merangkak naik.

    Ditambah lagi ada pernyataan Sri Mulyani yang menyebut bahwa guru dianggap jadi beban negara selama ini. 

    “Sri Mulyani tidak punya mitigasi atau solusi di tengah struggle ekonomi di Indonesia untuk menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi, PHK, pengangguran, kemiskinan, dan dikaitkan dengan bagaimana kemarin misalnya ada pernyataan yang mengatakan bahwa guru itu dianggap sebagai beban negara, meski pernyataannya tidak eksplisit semacam itu,” tuturnya.

    Sementara itu, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman menilai pergantian atau reshuffle Menteri Keuangan di kabinet Presiden Prabowo Subianto bukan sekadar rotasi teknokrat, melainkan sarat dengan kepentingan politik.

    “Pasar membaca sinyal politik lebih kuat ketimbang figur personal. Kita lihat IHSG hanya terkoreksi tipis dan rupiah bergerak melemah terbatas, artinya investor tidak panik. Tetapi jelas menunggu bukti: apakah Purbaya mampu menjaga konsistensi fiskal atau justru menjadi eksekutor agenda belanja besar yang berisiko menggerus kredibilitas?” ujar Rizal kepada Bisnis, Senin (8/9/2025).

    Menurutnya, pasar saat ini sangat sensitif terhadap arah kebijakan fiskal, terutama di tengah beban bunga utang yang sudah menembus Rp550 triliun serta potensi pelebaran defisit. 

    Dia melanjutkan bahwa jika Menteri Keuangan baru dianggap hanya menjalankan kehendak politik tanpa memperhatikan kapasitas fiskal, maka risiko capital outflow bisa meningkat. 

    “Investor asing akan cepat menghukum, baik lewat pelepasan SBN maupun tekanan di pasar valas. Jadi, efek ke pasar pada tahap awal memang tenang, tetapi underlying risk-nya besar. Bila langkah Menkeu baru tidak segera memberi sinyal disiplin dan transparansi, koreksi pasar bisa berubah menjadi eksodus modal,” tegasnya.

    Rizal menambahkan, secara teknis tidak ada kondisi darurat fiskal yang menuntut pergantian Menkeu dilakukan mendesak. Defisit APBN masih terkendali, rasio utang relatif aman, dan stabilitas sistem keuangan tetap terjaga.

    Namun jika dari perspektif politik-ekonomi, langkah ini lebih untuk menyelaraskan strategi fiskal dengan visi politik Presiden Prabowo.

    “Bu Sri Mulyani dikenal ketat dalam disiplin anggaran, sementara Presiden menginginkan percepatan belanja negara untuk program prioritas. Dalam konteks inilah pergantian dilakukan, agar ada figur yang dianggap mampu menjalankan belanja ekspansif tanpa terlalu menghambat agenda politik pemerintah,” jelasnya.