NGO: INDEF

  • Elektronik-HP Impor Bakal Kena Tarif Tambahan, Indef Ungkap Plus Minusnya

    Elektronik-HP Impor Bakal Kena Tarif Tambahan, Indef Ungkap Plus Minusnya

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom menilai rencana intensifikasi tarif bea masuk produk elektronik dan handphone demi mengejar target penerimaan negara tahun depan dapat berisiko pada harga jual ke konsumen. 

    Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengatakan, meski begitu, intensifikasi tarif ini juga dapat memberi efek ganda bagi industri, pasar, dan investasi di dalam negeri.

    “Tentunya menurut saya ini akan menjadi insentif bagi investor asing yang ingin berinvestasi di Indonesia karena Indonesia dalam hal ini pasar yang cukup besar khususnya untuk produk-produk elektronik rumah tangga,” ujar Andry kepada Bisnis, Selasa (14/10/2025). 

    Menurut dia, langkah itu dapat memperkuat posisi Indonesia sebagai pasar strategis. Namun, dia menyebut pemerintah juga harus memperhatikan dampaknya terhadap industri dalam negeri. 

    Kebijakan intensifikasi tersebut harus diiringi dengan penguatan industri elektronik dan handphone domestik, serta memberikan peluang bagi investor yang sudah masuk untuk memiliki prioritas dalam mengakses pasar domestik.

    Tak dipungkiri rencana penerapan tarif masuk tambahan ini juga dapat mengurangi banjir impor. Pasalnya, Andry menyoroti bahwa lonjakan produk impor murah, khususnya dari China, turut menekan industri elektronik lokal dan menyebabkan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK). 

    “Kita tahu bahwa terkait dengan maraknya PHK di industri elektronik, ini memang karena gempuran dari produk-produk impor murah yang berasal dari Tiongkok,” ujarnya.

    Dia menambahkan, kebijakan bea masuk perlu disertai peningkatan kapasitas industri nasional agar tidak merugikan konsumen. Dengan kenaikan tarif maka akan berdampak pada harga jual produk elektronik rumah tangga dan handphone. 

    “Kalau hal tersebut tidak terjadi maka dari sisi konsumen yang akan menanggung karena konsumen pada akhirnya tidak memiliki pilihan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya,” ucapnya. 

    Lebih lanjut, Andry menilai kebijakan serupa untuk handphone perlu diarahkan agar Indonesia bisa masuk dalam rantai pasok global. 

    “Kalau dari sisi handphone harapannya sih kita bisa masuk dalam supply chain industri handphone. Tentunya apakah itu dari sisi perakitan yang memang pada akhirnya bisa dipasarkan di Indonesia dan juga kita ingin mendorong bahwa industri-industri domestik atau investasi asing yang masuk ke Indonesia juga memproduksi parts atau komponen dari handphone,” jelasnya.

    Menurut Andry, kebijakan ini penting untuk dikaitkan dengan kebijakan tarif dengan penerapan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) agar kebijakan bea masuk tidak hanya menambah pendapatan negara, tetapi juga memperkuat basis industri lokal. 

    “Harapannya insentif TKDN itu juga terefleksikan dari tarif biaya masuk untuk barang impor. Jadi bagaimana kalau misalnya kita bisa menggabungkan antara kedua kebijakan ini, di mana silakan saja untuk mengimpor produk dari Thailand asal parts atau komponennya juga dibuat di Indonesia,” pungkasnya.

    Diberitakan sebelumnya, pemerintah akan melakukan intensifikasi tarif bea masuk untuk barang impor tertentu seperti handphone maupun elektronik sejalan dengan naiknya target penerimaan kepabeanan dan cukai pada APBN 2026. 

    Untuk diketahui, APBN 2026 yang telah disahkan menjadi undang-undang (UU) menargetkan penerimaan negara tahun depan dari kepabeanan dan cukai sebesar Rp336 triliun. Target itu naik 11,4% dari outlook APBN 2025 sebesar Rp301,6 triliun. 

    Meski demikian, target penerimaan dari pos bea masuk dan cukai turun dari outlook 2025, masing-masing sebesar 5,7% dan 0,3%. Sebab, penerimaan bea masuk diperkirakan terdampak tarif resiprokal AS dan IEU CEPA, sedangkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau rokok yang berkontribusi besar terhadap penerimaan bea cukai diputuskan bertahan pada level yang sama. 

    Untuk mengimbangi naiknya target penerimaan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bakal melakukan intensifikasi maupun ekstensifikasi. Intensifikasi dalam hal ini dilakukan salah satunya kepada tarif bea masuk kepada barang-barang seperti HP dan alat elektronik. 

    “Intensifikasi tarif bea masuk komoditas tertentu seperti handphone, elektronik, ini sedang kita proses untuk intensifikasinya,” ungkap Direktur Penerimaan dan Perencanaan Strategis Bea Cukai Kemenkeu, Muhammad Aflah Farobi pada Media Gathering APBN 2026 di Bogor, Jawa Barat, Jumat (10/10/2025).

  • Bukti Nyata Cari Kerja Kantoran Makin Langka di Indonesia

    Bukti Nyata Cari Kerja Kantoran Makin Langka di Indonesia

    Jakarta

    Penciptaan lapangan kerja baru masih jadi persoalan klasik di Indonesia. Penambahan lapangan kerja formal yang tersedia selalu kalah dari pertumbuhan angkatan kerja baru, membuat banyak orang mau tak mau mengadu nasib di sektor informal.

    Padahal pekerjaan-pekerjaan di sektor formal seperti menjadi pegawai kantoran ataupun buruh tetap inilah yang biasanya mampu memberikan kestabilan pendapatan hingga jaminan sosial bagi para pekerjanya.

    Ekonom senior Institute for Development Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, mengatakan secara umum jumlah pekerja formal di Indonesia terus meningkat seiring penambahan jumlah penduduk bekerja tiap tahunnya. Hal ini menunjukkan pembukaan lapangan kerja sektor formal masih terjadi.

    Meski begitu, menurutnya pertumbuhan tenaga kerja sektor formal ini tidak setinggi pertumbuhan tenaga kerja sektor informal maupun pertumbuhan angkatan kerja baru Indonesia secara keseluruhan. Membuat pada akhirnya proporsi penduduk yang bekerja pada kegiatan formal mengalami penurunan.

    Menurutnya hal ini tercermin dalam data proporsi pekerja formal dan informal dalam negeri periode Februari 2023-Februari 2025 yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 5 Mei 2025 kemarin.

    Dalam data tersebut terlihat proporsi jumlah pekerja formal pada Februari 2023 hanya 39,88% dari jumlah penduduk bekerja dan sisanya sebanyak 60,12% diisi oleh sektor informal. Angka pekerja sektor formal ini kemudian naik menjadi 40,83% pada Februari 2024.

    Namun pada Februari 2025, jumlah pekerja formal ini mengalami penurunan sebanyak 0,23% menjadi 40,60%, dan 59,40% sisanya diisi oleh sektor informal. Berdasarkan informasi ringkasan data BPS itu, penurunan proporsi pekerja formal periode Februari 2024-Februari 2025 didorong oleh penambahan penduduk yang berusaha dibantu buruh tidak tetap.

    “Jumlah pekerja formal memang naik cuma nggak terlalu signifikan dibandingkan sektor informal,” kata Tauhid kepada detikcom.

    Mayoritas Penduduk Bekerja Sebagai Buruh

    Sementara itu, dari sisi distribusi status pekerjaan, mayoritas penduduk Indonesia masih bekerja sebagai buruh, karyawan, dan pegawai. Di mana jumlah penduduk berstatus buruh/karyawan ini mencapai 37,08%.

    Kemudian sisanya diisi oleh mereka yang berusaha sendiri sebanyak 20,58%, disusul kelompok berusaha dibantu buruh tidak tetap sebanyak 16,04%. Lebih lanjut, ada juga kelompok pekerja keluarga/tak dibayar sebesar 13,83%, kelompok pekerja bebas di nonpertanian sebesar 5,21%, kelompok pekerja bebas di pertanian sebesar 3,74%, dan terakhir kelompok berusaha dibantu buruh tetap sebesar 3,52%.

    Dalam laporan tersebut, BPS turut mendefinisikan pekerja formal sebagai buruh/karyawan/pegawai serta tenaga kerja dengan status berusaha dibantu buruh tetap dan dibayar. Sementara pekerja di luar kategori tersebut dikategorikan ke dalam pekerja informal.

    Namun Tauhid mengingatkan bagaimana status pekerja formal saat ini belum tentu memberikan jaminan kesejahteraan bagi para pekerjanya. Sebab banyak pekerja formal saat ini yang masuk perusahaan hanya sebagai pekerja kontrak alias PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu).

    “Undang-Undang Cipta Kerja justru melemahkan untuk pengangkatan pegawai baru. Karena dia ada PKWT dan sebagainya, itu membuat status mereka akhirnya menjadi pegawai kontrak. Jadi susah untuk menerima pegawai yang lebih tetap atau berkelanjutan,” paparnya.

    “Walaupun bekerja formal di sektor industri, 6 bulan atau 1 tahun sudah habis masa kontrak, nggak diperpanjang. Sehingga ya mereka rentan dan mereka akhirnya karena sudah begitu ya lari lagi ke sektor informal jadi UMKM, jadi jasa transportasi ojek online dan sebagainya. Karena kan nggak mudah untuk bertahan di sektor formal,” sambung Tauhid.

  • Indef Ragu Family Office di Bali Mampu Tarik Investasi Jumbo

    Indef Ragu Family Office di Bali Mampu Tarik Investasi Jumbo

    Bisnis.com, JAKARTA — Rencana pemerintah menarik investasi jumbo lewat pembentukan family office di Bali dinilai belum memiliki fondasi yang cukup kuat, apalagi ada persaingan yang ketat dengan Singapura.

    Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menilai bahwa upaya menarik keluarga super kaya ke Indonesia tidak bisa hanya bertumpu pada insentif pajak dan daya tarik geografis.

    Andry menjelaskan bahwa pemerintah perlu belajar dari Singapura, yang telah menjadi magnet bagi ribuan family office di kawasan Asia Tenggara. Negara tersebut, menurutnya, unggul karena memiliki ekosistem keuangan berkelas internasional, didukung infrastruktur dan pasar modal yang maju

    Tak hanya itu, dia menjelaskan bahwa Singapura memiliki rezim pajaknya yang kompetitif seperti tidak ada pajak warisan, tidak ada pajak keuntungan modal (capital gain), dan sistemnya konsisten dalam jangka panjang. Akibatnya, keluarga ultra kaya merasa nyaman untuk menempatkan asetnya di Singapura.

    “Jadi keberlanjutan dari sistem perpajakannya juga cukup baik dan ini menurut saya tidak bisa ditawarkan pada hari ini oleh Indonesia ya, karena memiliki tax regime [rezim pajak] yang cukup jelimet,” jelas Andry kepada Bisnis, Senin (13/10/2025).

    Selain aspek fiskal, Andry menilai stabilitas politik, hukum, dan keamanan menjadi faktor penentu utama bagi investor kaya dalam memilih tempat pengelolaan asetnya. Stabilitas itu, sambungnya, juga dimiliki Singapura yang konsistensi menjaga risiko politik dan hukum pada level yang sangat rendah.

    Oleh sebab itu, Andry mengingatkan agar pemerintah tidak menempatkan family office hanya sebagai proyek branding ekonomi Bali. Dia mengakui bahwa pariwisata Bali sudah sangat terkenal, tapi itu hanya nilai tambah kecil bagi keluarga super kaya.

    Lebih dari itu, para investor kakap lebih mencari ekosistem finansial dan stabilitas politik-hukum. Andry pun mendorong pemerintah sebaiknya memperkuat fondasi kelembagaan dan regulasi investasi dan perlindungan aset terlebih dahulu.

    “Jadi jangan membuat mereka itu seolah-olah hanya orang kaya saja yang ingin liburan gitu. Jadi mereka harus disiapkan beberapa hal tadi [eksosistem keuangan yang baik dan kepastian politik-hukum],” tutupnya.

    Family Office & Pusat Keuangan Baru di Bali

    Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan ingin merealisasikan pembentukan family office alias perusahaan surga pajak bagi konglomerat di Bali.

    Diketahui, Dewan Ekonomi Nasional (DEN) dan Kementerian Keuangan sedang merancang program transformasi Bali menjadi pusat keuangan baru di Indonesia. Juru Bicara DEN Jodi Mahardi mengungkapkan program transformasi tersebut sama dengan wacana pembentukan family office di Bali yang sudah disampaikan Luhut pada sejumlah kesempatan.

    Pemerintah ingin menarik bank internasional, manajer aset, serta firma ekuitas swasta dengan menawarkan berbagai insentif pajak hingga regulasi ramah bisnis guna mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional.

    “Pemerintah ingin menciptakan pusat keuangan yang modern, transparan, dan berpihak pada pembangunan ekonomi nasional. Nantinya diharapkan menjadi platform yang menghubungkan investasi global dengan peluang nyata di sektor riil Indonesia,” ujar Jodi kepada Bisnis, Senin (13/10/2025).

    Dia tidak menampik bahwa ada sejumlah kekhawatiran atas rencana tersebut. Kendati demikian, Jodi hanya menekankan bahwa transformasi Bali menjadi pusat keuangan baru akan membawa keuntungan besar bagi Indonesia.

    “Pendekatan yang kami ambil sangat hati-hati — memastikan kepastian hukum, integritas sistem, dan manfaat langsung bagi perekonomian Indonesia,” jelasnya.

  • Investasi Tak Cepat Serap Tenaga Kerja, PHK Tembus 40.000, 1 Juta Sarjana Nganggur

    Investasi Tak Cepat Serap Tenaga Kerja, PHK Tembus 40.000, 1 Juta Sarjana Nganggur

    Bisnis.com, JAKARTA — Aktivitas investasi yang selalu diklaim naik setiap tahun ternyata tidak sebanding dengan penyerapan tenaga kerja.

    Berdasarkan data Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi mencapai Rp942,9 triliun pada semester I/2025. Dari realisasi itu, penyerapan tenaga kerjanya mencapai 1.259.868 orang.

    Dengan demikian, setiap 1 tenaga kerja yang terserap memerlukan investasi sekitar Rp748 juta. Apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu atau pada semester I/2024, realisasi investasi ‘hanya’ mencapai Rp829,9 triliun (lebih rendah Rp113 triliun atau 13,6% dibandingkan realisasi tahun ini). Kendati demikian, penyerapan tenaga kerjanya mencapai 1.225.042 orang.

    Dengan demikian, setiap 1 orang tenaga kerja yang terserap ‘hanya’ memerlukan investasi sekitar Rp677 juta (lebih rendah Rp71 juta dibandingkan tahun ini).

    Data itu mengonfirmasi terjadi penurunan rasio penyerapan tenaga kerja terhadap realisasi investasi: serapan tenaga kerja malah memburuk ketika nilai investasi langsung tumbuh positif.

    PHK Per Agustus Tembus 4.333

    Di sisi lain, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat jumlah pekerja yang terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK) bertambah 830 orang sehingga totalnya menjadi 44.333 orang sepanjang Januari-Agustus 2025.

    Kemenaker melaporkan jumlah pekerja yang kena PHK pada Agustus 2025 tercatat menurun dibandingkan Juli 2025 sebanyak 1.118 orang. Namun demikian, apabila ditotal, Kemnaker mencatat jumlah PHK sepanjang tahun ini mencapai 44.333 orang.

    Mengutip Satu Data Kemnaker, Jawa Barat tercatat sebagai provinsi penyumbang angka PHK terbanyak pada bulan kedelapan tahun ini, yakni 261 pekerja.

    “Tenaga kerja ter-PHK paling banyak terdapat di Provinsi Jawa Barat yaitu sekitar 29,07% dari total tenaga kerja ter-PHK yang dilaporkan,” demikian penjelasan dalam data tersebut, dikutip pada Rabu (10/9/2025).

    Lebih lanjut, Sumatra Selatan juga mencatatkan 113 tenaga kerja ter-PHK, diikuti Kalimantan Timur sebanyak 100 orang, serta Jawa Timur sebanyak 51 pekerja.

    Sejumlah provinsi lain yang menyumbang jumlah PHK terbanyak di antaranya DKI Jakarta sebesar 48 orang, Sulawesi Selatan 38 orang, Banten 36 orang, Sumatra Barat 33 orang, dan Jawa Tengah 32 orang.

    Terdapat pula Sulawesi Tenggara yang mencatat 25 pekerja terkena PHK, Sulawesi Tengah 15 orang, Riau 11 orang, dan sejumlah provinsi yang mencatat pekerja ter-PHK pada rentang 1 hingga 9 orang.

    Sementara itu, Kemnaker tidak melaporkan adanya PHK di empat provinsi, yakni Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB), serta Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Agustus tahun ini.

    7 Juta Pengangguran, 1 Juta Sarjana 

    Adapun, pada Juli 2025 lalu, Kemnaker mencatat sebanyak 7,28 juta orang pengangguran pada 2025. Terungkap pula lulusan universitas yang masih menganggur mencapai 1 juta orang.

    Berdasarkan tampilan layar yang dibagikan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli dalam acara Seminar Nasional Kajian Tengah Tahun Indef 2025 di Jakarta, terlihat sebanyak 1,01 juta lulusan universitas menganggur pada 2025.

    Adapun, jumlah lulusan universitas yang menganggur itu setara 6,2% dari total pengangguran yang mencapai 7,28 juta orang di Indonesia.

    Selain dari universitas, data Kemnaker juga mengungkap sebanyak 177.399 lulusan diploma merupakan pengangguran.

    Sementara itu, lulusan dengan angka pengangguran terbanyak berasal dari tingkat SD dan SMP yang mencapai 2,42 juta orang atau setara 3% dari total pengangguran di Indonesia. Kemudian, sebanyak 2,03 juta lulusan SMA dan 1,63 juta lulusan SMK juga berstatus pengangguran.

    Secara keseluruhan, jumlah angkatan kerja mencapai 145,77 juta orang, sedangkan 7,28 juta orang adalah pengangguran.

    Dominasi Pekerja SMA-SMK

    Yassierli menyebut kualitas tenaga kerja di Indonesia masih didominasi lulusan SMA/SMK. “Unfortunately kualitas tenaga kerja kita ini juga problem. 85% itu adalah lulusan SMA, SMK maksimum. Nah ini menjadi tantangan kita. Ya kalau pengangguran standar lah ya,” kata Yassierli di Jakarta, Rabu (2/7/2025).

    Di sisi lain, Yassierli juga mengungkap status angkatan kerja di Indonesia masih didominasi sektor informal yang mencapai 60%. Bahkan, dia menyebut angka tenaga kerja di sektor ini bisa terus menggulung.

    Merujuk data Kemnaker, sebanyak 56,57% angkatan kerja bekerja di sektor informal (termasuk setengah pengangguran), 38,67% pekerja sektor formal, dan 4,76% merupakan pengangguran.

    “Sektor informal itu sekarang 60% dan ini bisa bertambah gitu ya. Ini juga tergantung definisi sektor informalnya. Dan sepertinya memang tren akan semakin besar,” ujarnya.

    Menurutnya, pekerja dari sektor informal menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah, termasuk dalam hal perlindungan sosial. Dia juga menyoroti angka produktivitas Indonesia yang rendah. Padahal, ungkap dia, beberapa studi mengatakan total produktivitas berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi.

    “Kalau produktivitas kita bicara long term. Nggak bisa kita ingin meningkatkan produktivitas 10% langsung kemudian dalam 2 tahun—3 tahun. Itu panjang,” jelasnya.

  • Cukai Rokok 2026 Tak Naik, Ekonom: Penerimaan Negara Bisa Stagnan

    Cukai Rokok 2026 Tak Naik, Ekonom: Penerimaan Negara Bisa Stagnan

    Bisnis.com, JAKARTA — Keputusan pemerintah untuk menahan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok dinilai dapat memicu stagnasi penerimaan negara. Apalagi, kontribusi cukai dari rokok terbilang besar dalam beberapa tahun terakhir. 

    Ekonom Center Of Reform On Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan, keputusan ini memang memberikan ruang bernapas bagi pelaku industri. Sebab, utilitas produksi industri hasil tembakau tengah mengalami efisiensi produksi imbas permintaan yang melemah. 

    “Namun, tanpa kenaikan cukai, potensi penerimaan negara dari sektor ini akan stagnan sehingga manfaat fiskal yang diterima pemerintah menjadi terbatas,” kata Yusuf kepada Bisnis, Senin (6/10/2025). 

    Merujuk data Kementerian Keuangan, penerimaan cukai hasil tembakau pada 2024 mencapai Rp216,9 triliun atau naik dari tahun sebelumnya Rp213,49 triliun. Namun, angka tersebut lebih rendah dibandingkan tahun 2022 lalu yang mencapai Rp218,62 triliun. 

    Sementara itu, dalam catatan Bisnis, realisasi penerimaan CHT pada periode Januari-Juli 2025 mencapai Rp121,98 triliun atau naik dari realisasi pada periode yang sama tahun lalu Rp111,23 triliun. 

    Kendati demikian, Yusuf menilai kebijakan cukai rokok bukan merupakan instrumen utama pemerintah dalam mendongkrak penerimaan negara, melainkan juga berfungsi sebagai alat pengendali konsumsi, khususnya bagi kelompok usia rentan seperti anak muda. 

    “Karena itu, jika tidak ada kenaikan cukai dan tidak diiringi dengan langkah pengendalian konsumsi, kebijakan ini dapat bertolak belakang dengan semangat yang telah dibangun pemerintah sebelumnya dalam menekan prevalensi perokok,” tuturnya. 

    Namun, dia tak menampik langkah menahan kenaikan cukai juga dapat menjaga stabilitas harga sehingga menjaga daya saing dan menyerap tenaga kerja di sektor padat karya. 

    Hanya saja, kebijakan menahan kenaikan cukai juga tidak serta-merta akan menekan peredaran rokok ilegal. Menurut Yusuf, potensi rokok ilegal akan selalu ada karena konsumen cenderung mencari harga yang lebih murah. 

    Dia menilai efektivitas pengendalian rokok ilegal sangat bergantung pada pengawasan dan penegakan hukum oleh Bea dan Cukai di lapangan, bukan semata pada besaran tarif cukai.

    “Ke depan, pemerintah perlu memastikan keseimbangan antara kepentingan penerimaan negara, keberlanjutan industri, dan perlindungan kesehatan masyarakat,” jelasnya. 

    Lebih lanjut, dia juga mendorong evaluasi terhadap desain kebijakan cukai harus terus dilakukan, termasuk memperkuat edukasi publik, pengawasan peredaran rokok ilegal, serta sinkronisasi lintas kementerian agar tujuan fiskal dan kesehatan dapat tercapai secara beriringan.

    Senada, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengatakan, tidak adanya kenaikan cukai rokok tahun depan menjadi terobosan yang menarik. Namun, tidak cukup untuk mendukung kinerja industri. 

    “Tetapi hal tersebut tidak cukup, harusnya juga didorong dengan tidak adanya kenaikan HJE. Jadi tidak adanya kenaikan cukai maupun tidak adanya kenaikan HJE,” tuturnya, dihubungi terpisah. 

    Untuk itu, pihaknya menilai keputusan untuk tidak menaikkan Harga Jual Eceran (HJE) lokal juga penting, sekaligus dengan melakukan pemberantasan secara menyeluruh untuk rokok ilegal. 

    “Dalam hal ini, saya ingin mengingatkan bahwa dirjen bea cukai tidak hanya melakukan razia di lingkup retail saja. Menteri Keuangan harus mengerti dalam hal ini bahwa peredaran dari rokok ilegal itu sudah cukup masif,” jelasnya. 

    Bahkan, dia menilai peredaran rokok ilegal membuat potensi kerugian ke penerimaan negara cukup tinggi. Menurut Andry, pemberantasan rokok ilegal tidak hanya dari sisi hilir seperti dari sisi retail atau toko, tetapi juga harus dari sisi hulunya. 

    “Di mana keterlibatan dari industri dan juga para oknum, aparat penegak hukum terkait yang berusaha untuk melindungi industri rokok ilegal tersebut,” tambahnya. 

    Dalam hal ini, dia menekankan urgensi moratorium kenaikan cukai dan HJE yang juga diiringi dengan pemberantasan rokok ilegal yang dilakukan secara komprehensif. 

    “Jadi jika kita melakukan itu ya tentu saja kita menambal setidaknya kebocoran anggaran yang terjadi akibat excess tax avoidance dan juga tax avoidance yang dilakukan oleh para pelaku rokok ilegal tersebut,” pungkasnya. 

  • Gaji Cuma Numpang Lewat, Kelas Menengah RI Dihajar Utang, Inflasi, dan Pajak

    Gaji Cuma Numpang Lewat, Kelas Menengah RI Dihajar Utang, Inflasi, dan Pajak

    Jakarta

    Kelompok kelas menengah di Indonesia terengah-engah menghadapi tekanan ekonomi yang semakin berat. Gaji yang mereka terima seketika habis hanya untuk membayar utang dan cicilan.

    Ekonom senior Institute for Development Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menjelaskan kondisi ini disebabkan oleh sejumlah faktor. Mulai dari faktor kondisi ekonomi nasional, regulasi perpajakan, hingga gaya hidup masyarakat itu sendiri.

    Dari faktor kondisi ekonomi, Tauhid mengatakan saat ini inflasi atau kenaikan harga barang dan jasa secara nasional per September 2025 sudah naik di atas 2%. Di mana menurut data BPS secara year-on-year inflasi nasional bulan kemarin sebesar 2,65% dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 108,74.

    Sayang, kenaikan inflasi ini tidak diiringi dengan kenaikan pendapatan masyarakat. Artinya harga barang dan jasa merangkak makin mahal, sementara pendapatan masih ‘jalan di tempat’.

    “Pertama, kalau kita lihat inflasi mulai naik lagi ya, mendekatkan di atas 2%. Nah, inflasi yang terjadi ini tidak diimbangi dengan kenaikan gaji dan pendapatan mereka. Saya kira ini fenomenanya itu penyebab pertama,” kata Tauhid kepada detikcom, Senin (6/10/2025).

    Kemudian secara regulasi, menurut Tauhid kehidupan kelas menengah saat ini sangat terbebani oleh pajak seperti PPN (pajak penambahan nilai). Hal ini dinilai membuat harga barang/jasa yang sudah naik imbas inflasi akan semakin mahal. Sehingga biaya hidup semakin tinggi.

    “PPN naik, kemudian beberapa kenaikan di komponen biaya hidup juga naik, terutama di transportasi dan komunikasi. Pajak, transportasi dan komunikasi ini sudah mulai bergerak naik lah,” ucapnya.

    “Kalau pajak kan jelas, tapi kalau transportasi dan komunikasi ini kan nggak sengaja. Biaya telekomunikasi itu makan komponen besar tuh, orang internet dan sebagainya. Termasuk transportasi, ojol dan sebagainya itu makan banget tuh kelas menengah,” sambung Tauhid.

    Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah kelas menengah di Indonesia tahun ini tahun ini sebanyak 46,85 juta jiwa. Foto: Pradita Utama

    Terakhir ada faktor dari kelas menengah sendiri yang kini dinilai semakin konsumtif. Di mana menurutnya tak sedikit orang yang kini banyak membeli barang atau jasa yang sebetulnya tidak terlalu mereka butuhkan.

    Padahal besaran gaji masih pas-pasan, membuat mereka mau tak mau mengambil pinjaman. Hal inilah yang membuat cicilan bulanan mereka semakin besar. Akibatnya gaji yang diterima hanya habis untuk bayar utang, dan sisanya hanya cukup untuk konsumsi makanan.

    “Memang sekarang kelas menengah di tengah digitalisasi, itu budaya konsumsinya semakin tinggi juga begitu ya. Misalnya dengan digitalisasi mereka gampang mengakses pembiayaan, belanja, dan sebagainya dengan digital. Sehingga budaya konsumstifnya akhirnya lebih tinggi dibandingkan sebelum-sebelumnya,” papar Tauhid.

    Sementara itu, Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan salah satu faktor utama yang membuat kelompok kelas menengah kian terimpit utang adalah sulitnya mencari pekerjaan layak. Kondisi ini membuat pendapatan mereka jadi sangat terbatas, bahkan cenderung kurang yang kemudian mendorong mereka untuk ajukan pinjaman.

    “Kelas menengah tertekan sulitnya mencari pekerjaan yang stabil, dan upah layak. Pekerjaan ada tapi sebagian besar informal, basisnya kontrak tidak pasti,” jelas Bhima.

    Kemudian sama seperti Tauhid, dirinya juga turut menyoroti gaya hidup kelas menengah yang kerap kali tidak sesuai dengan besaran gaji atau pendapatan yang dimilikinya. Pada akhirnya membuat mereka rela berutang hanya karena keinginan sesaat.

    “Sebagian terjebak pada gaya hidup yang tidak sesuai kemampuan, FOMO lihat iklan sosial media lalu beli barang via paylater,” ucapnya.

    Lihat juga Video: Cara Sederhana Biar Gaji Tidak Habis di Tengah Jalan

    (igo/fdl)

  • INDEF: Program diskon tarif listrik layak diulang dorong daya beli

    INDEF: Program diskon tarif listrik layak diulang dorong daya beli

    Jakarta (ANTARA) – Kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattov menilai penerapan diskon tarif listrik sebesar 50 persen bisa dilaksanakan kembali agar mendongkrak konsumsi masyarakat.

    “Untuk itu, pemerintah perlu menimbang kebijakan tersebut agar dilaksanakan kembali seperti pada periode Januari-Februari 2025 lalu. Kebijakan pemerintah berupa diskon tarif listrik dapat dinikmati secara merata oleh masyarakat ke seluruh Indonesia,” kata dia dalam keterangannya di Jakarta, Minggu.

    Menurut dia, dengan berkurangnya beban tagihan listrik, masyarakat dapat mengalokasikan pengeluaran mereka ke kebutuhan lain seperti bahan pokok dan layanan esensial yang pada akhirnya dapat meredam tekanan inflasi domestik.

    Selama dua bulan pelaksanaan, program pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tersebut, lanjutnya, diperkirakan mendorong tambahan konsumsi masyarakat.

    Subsidi tarif listrik meningkatkan pendapatan riil masyarakat dengan mengurangi beban biaya, yang kemudian dapat meningkatkan daya beli dan memicu kenaikan konsumsi, efek dari peningkatan marginal propensity to consume (MPC) di mana sebagian besar porsi pendapatan dibelanjakan untuk konsumsi.

    “Jadi, subsidi listrik menciptakan ruang bagi masyarakat untuk meningkatkan pengeluaran pada barang dan jasa lain,” ujarnya.

    Pada gilirannya, tambahan konsumsi masyarakat pasca pemberian diskon tarif listrik tersebut akhirnya berkontribusi terhadap peningkatan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) serta pertumbuhan PDB.

    Abra menegaskan tidak bisa dipungkiri, diskon tarif listrik tersebut menjadi opsi kebijakan yang relevan dalam memberikan stimulus ekonomi yang langsung dirasakan masyarakat sekaligus menjaga stabilitas ekonomi nasional.

    “Konsumsi rumah tangga merupakan komponen terbesar dalam PDB Indonesia, yaitu sekitar 54,6 persen pada 2024. Dengan adanya penghematan biaya listrik, masyarakat akan mengalihkan pengeluaran ke sektor riil, sehingga menjaga momentum pertumbuhan ekonomi di awal tahun,” katanya.

    Pewarta: Subagyo
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ekonom Sarankan Pemerintah Kembali Terapkan Diskon Tarif Listrik

    Ekonom Sarankan Pemerintah Kembali Terapkan Diskon Tarif Listrik

    Jakarta

    Kebijakan diskon tarif listrik dinilai dapat menjadi instrumen efektif untuk menjaga daya beli masyarakat sekaligus memperkuat pertumbuhan ekonomi nasional. Langkah ini, menurut pengamat, layak dipertimbangkan kembali oleh pemerintah di tengah upaya menjaga momentum konsumsi domestik.

    Kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattov menilai kebijakan potongan tarif listrik sebesar 50% seperti yang diterapkan pada Januari-Februari 2025 lalu terbukti memberikan dampak positif bagi ekonomi.

    “Pemerintah perlu menimbang agar kebijakan tersebut bisa kembali dilaksanakan. Diskon tarif listrik dapat dinikmati secara merata oleh masyarakat di seluruh Indonesia,” ujar Abra, Minggu (5/10/2025).

    Menurutnya, penurunan beban tagihan listrik membuat masyarakat memiliki ruang lebih untuk mengalokasikan pengeluaran ke kebutuhan lain seperti bahan pokok dan layanan esensial. “Pada akhirnya hal ini bisa membantu meredam tekanan inflasi domestik,” tambahnya.

    Abra menjelaskan, selama program berlangsung, subsidi tarif listrik diperkirakan mendorong tambahan konsumsi masyarakat. Kebijakan ini secara tidak langsung meningkatkan pendapatan riil dengan mengurangi beban biaya rumah tangga, yang kemudian memicu kenaikan daya beli.

    Abra menambahkan, selama dua bulan pelaksanaan, program Pemerintah melalui Kementerian ESDM ini diperkirakan mendorong tambahan konsumsi masyarakat. Subsidi tarif listrik meningkatkan pendapatan riil masyarakat dengan mengurangi beban biaya, yang kemudian dapat meningkatkan daya beli dan memicu kenaikan konsumsi, efek dari peningkatan marginal propensity to consume (MPC) di mana sebagian besar porsi pendapatan dibelanjakan untuk konsumsi. Jadi, subsidi listrik menciptakan ruang bagi masyarakat untuk meningkatkan pengeluaran pada barang dan jasa lain

    “Subsidi listrik menciptakan ruang bagi masyarakat untuk meningkatkan pengeluaran pada barang dan jasa lain. Efeknya terlihat melalui peningkatan marginal propensity to consume atau kecenderungan masyarakat membelanjakan pendapatan tambahan untuk konsumsi,” jelasnya.

    Secara makro, tambahan konsumsi rumah tangga akibat penghematan biaya listrik tersebut akan berdampak pada peningkatan nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Konsumsi rumah tangga sendiri menjadi komponen terbesar dalam PDB Indonesia, mencapai sekitar 54,6% pada 2024.

    “Dengan adanya penghematan biaya listrik, masyarakat akan mengalihkan pengeluaran ke sektor riil, sehingga menjaga momentum pertumbuhan ekonomi di awal tahun,” pungkas Abra.

    (rrd/rir)

  • Catat keuntungan sejak 2013, Indef: Kinerja keuangan PLN berarti baik

    Catat keuntungan sejak 2013, Indef: Kinerja keuangan PLN berarti baik

    Jakarta (ANTARA) – Kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Indef Abra Talattov menilai kinerja keuangan PT PLN (Persero) baik dalam beberapa tahun terakhir dengan selalu mencatat keuntungan sejak 2013.

    “PLN mengalami rugi terakhir pada 2013. Bahkan, pada periode sebelum dan selanjutnya selalu untung signifikan. Hal ini menjadi bukti bahwa (PLN) itu menjalankan fungsi badan usaha maupun pelayanan publik dengan sangat baik,” kata dia dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

    Mengutip laporan keuangan semester I 2025 yang dipublikasikan melalui Bursa Efek Indonesia (BEI), Abra menyebutkan pendapatan BUMN listrik tersebut sebesar Rp281 triliun meningkat dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar Rp262 triliun.

    Penjualan tenaga listrik menjadi penyumbang utama dengan nilai Rp179,58 triliun, naik 4,53 persen dibanding semester I 2024.

    Sementara itu, tambahnya, rasio utang terhadap aset perusahaan tercatat masih di bawah 50 persen, sementara rasio utang terhadap ekuitas sebesar 69,1 persen, sehingga masih berada dalam batas wajar untuk perusahaan berskala besar.

    “Hal ini membuktikan pengelolaan keuangan sudah relatif bagus dengan menjaga beberapa rasio indikator yang tetap terkendali,” katanya.

    Sebagai perusahaan milik negara yang memegang mandat pelayanan publik, menurut dia, keberlangsungan keuangan PLN sangat bergantung pada dukungan pemerintah, terutama dalam mengelola utang.

    Selanjutnya, lanjut dia, PLN sangat aktif mencari sumber pendapatan baru di luar penjualan listrik untuk menjaga profitabilitas.

    “Profit yang besar itu sangat berguna untuk memenuhi kebutuhan investasi besar untuk energi terbarukan dan digitalisasi jaringan,” kata Abra.

    Pewarta: Subagyo
    Editor: Kelik Dewanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • DJP: Timeline Penerapan Pajak Minimum Global hingga 2028

    DJP: Timeline Penerapan Pajak Minimum Global hingga 2028

    Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengungkapkan lini masa penerapan atau timeline penerapan pajak minimum global 15% yang akan mulai berlaku secara bertahap pada 2025 hingga 2028.

    Lini masa itu terungkap dalam paparan Direktur Perpajakan Internasional DJP Mekar Satria Utama dalam acara 15th Tax Intercollegiate Forum pada Rabu (24/9/2025).

    Adapun, Indonesia sudah resmi menerapkan pajak minimum global sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 136/2024. Dalam beleid itu dijelaskan bahwa Indonesia telah menerapkan skema Domestic Minimum Top-up Tax (DMTT) dan Income Inclusion Rules (IIR) sejak 1 Januari 2025, sementara Undertaxed Payment Rule (UTPR) akan mulai diberlakukan pada 1 Januari 2026.

    Dalam paparan Mekar dijelaskan bahwa tahun fiskal pertama yang terutang adalah periode Januari–Desember 2025. Selanjutnya, pembayaran top-up tax akan jatuh tempo pada 31 Desember 2026.

    Sementara itu, kewajiban pelaporan mencakup GloBE Information Return (GIR), notifikasi, serta Annual Income Tax Return untuk skema GloBE, DMTT, dan UTPR. Tenggat pelaporan tersebut dijadwalkan pada 30 April 2027, dengan opsi perpanjangan hingga 30 Juni 2027.

    “UPE dan/atau constituent entity bisa memperpanjang periode penyampaian annual income tax return selama dua bulan,” demikian tertulis dalam paparan tersebut.

    Adapun untuk periode fiskal 2026, jatuh tempo pembayaran top-up tax ditetapkan 31 Desember 2027. Kewajiban pelaporan GIR dan notifikasi dilakukan pada 31 Maret 2028, disusul pelaporan Annual Income Tax Return GloBE/DMTT/UTPR paling lambat 30 April 2028.

    “Nah itu dari ketentuan kita pelaporannya itu nanti di tahun 2027. Jadi itu masih cukup waktu,” ujar Mekar saat ditemui Bisnis usai acara Policy Dialogue The PRAKARSA & Indef di Jakarta, Kamis (25/9/2025).

    Sebagai informasi, pajak minimum global mengharuskan penerapan pajak sebesar 15% bagi perusahaan multinasional dengan pendapatan global tahunan di atas 750 juta euro. Dengan demikian, persaingan antarnegara untuk menetapkan tarif pajak rendah (race to the bottom) demi menarik investasi bisa ditekan. 

    Pajak minimum global 15% termasuk dalam Pilar 2 Pajak Global yang diinisiasi Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Belakangan, sudah ada puluhan negara yang menerapkan pajak minimum global dalam peraturan perpajakannya.