NGO: INDEF

  • Donald Trump Siap Perang Dagang, Investor Perlu Antisipasi Diversifikasi Aset – Page 3

    Donald Trump Siap Perang Dagang, Investor Perlu Antisipasi Diversifikasi Aset – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Donald Trump menang dalam pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) yang berlangsung di awal bulan ini. Oleh sebab itu, Donald Trump telah menjadi Presiden Terpilih AS hingga resmi diangkat pada Januari 2025.

    Terpilihnya Donald Trump ini berpotensi membawa dampak signifikan bagi ekonomi global. Apalagi Donald Trump disebut akan menetapkan kebijakan tarif impor tinggi terhadap China yang dianggap sebagai bentuk proteksionisme. 

    Dampak kebijakan Trump disebut bakal mempengaruhi Indonesia sebagai pemain besar di Asia Tenggara. Trump disinyalir akan melakukan perang dagang baru yang dapat mengganggu rantai pasok global, memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia, dan menciptakan ketidakpastian di pasar.

    Hal tersebut dapat menekan arus investasi lintas negara, yang pada akhirnya mempengaruhi inovasi dan pertumbuhan ekonomi di berbagai kawasan, termasuk Indonesia.

    Perlambatan Ekonomi Global

    Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto, berpendapat bahwa kebijakan proteksionisme yang akan dilakukan oleh Trump, termasuk di dalamnya dengan menaikan tarif impor tinggi terhadap China, bisa menekan perdagangan global dan memicu perlambatan ekonomi dunia.

    “Proteksionisme cenderung menurunkan volume perdagangan global. Ketika ekonomi global melambat, semua indikator akan terdampak, termasuk nilai tukar dan optimisme pelaku ekonomi,” ujar Eko dalam keterangan tertulis, Sabtu (30/11/2024).

    Eko membeberkan lebih lanjut skenario dampak kebijakan yang memiliki dampak bagi AS dan China. Inflasi di AS diperkirakan akan meningkat seiring kenaikan tarif, sementara China diprediksi akan mengalihkan pasar ekspornya ke kawasan lain.

    Dampak Langsung ke Indonesia

    “Untuk dampak ke Indonesia langsung saya rasa masih kecil, karena Indonesia belum dianggap mitra strategis. Namun kita menganggap memang porsi AS itu nomor dua terbesar berdasarkan mitra dagang Indonesia dan Amerika, setelah China.” jelas Eko.

    Namun, Eko menilai terdapat risiko lain yang perlu diantisipasi, yaitu pengalihan produk China ke Asia Tenggara, termasuk ke Indonesia yang dapat menekan impor lokal.

    “Produk-produk China yang tidak bisa masuk ke AS kemungkinan akan membanjiri wilayah Asia Tenggara, termasuk ke Indonesia. Ini menjadi tantangan untuk memperkuat ekonomi domestik kita agar tetap kompetitif,” katanya.

     

  • Trump Effect, Indef: Ada Potensi Perlambatan Ekonomi Global

    Trump Effect, Indef: Ada Potensi Perlambatan Ekonomi Global

    Bisnis.com, JAKARTA — Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyebut pengaruh kemenangan Donald Trump sebagai Presiden Terpilih di Amerika Serikat (AS) berpotensi membawa dampak signifikan bagi ekonomi global.

    Apalagi Trump disebut akan menetapkan kebijakan tarif impor tinggi terhadap China yang dianggap sebagai bentuk proteksionisme. Kenaikan tarif tersebut dinilai dapat memaksa perusahaan multinasional untuk merelokasi rantai pasoknya, meningkatkan biaya produksi, dan mengurangi keuntungan. 

    Dampak kebijakan Trump disebut bakal mempengaruhi Indonesia sebagai pemain besar di Asia Tenggara. Trump disinyalir akan melakukan perang dagang baru yang dapat mengganggu rantai pasok global, memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia, dan menciptakan ketidakpastian di pasar.

    Hal tersebut dapat menekan arus investasi lintas negara, yang pada akhirnya mempengaruhi inovasi dan pertumbuhan ekonomi di berbagai kawasan, termasuk Indonesia. 

    Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto, berpendapat bahwa kebijakan proteksionisme yang akan dilakukan oleh Trump, termasuk di dalamnya dengan menaikan tarif impor tinggi terhadap China, bisa menekan perdagangan global dan memicu perlambatan ekonomi dunia. 

    “Proteksionisme cenderung menurunkan volume perdagangan global. Ketika ekonomi global melambat, semua indikator akan terdampak, termasuk nilai tukar dan optimisme pelaku ekonomi,” ujarnya melalui keterangan resmi, Jumat(29/11/2024).

    Eko membeberkan lebih lanjut skenario dampak kebijakan yang memiliki dampak bagi AS dan China. Inflasi di AS diperkirakan akan meningkat seiring kenaikan tarif, sementara China diprediksi akan mengalihkan pasar ekspornya ke kawasan lain. 

    “Untuk dampak ke Indonesia langsung kami rasa masih kecil, karena Indonesia belum dianggap mitra strategis. Namun kami menganggap memang porsi AS itu nomor dua terbesar berdasarkan mitra dagang Indonesia dan Amerika, setelah China,” imbuhnya.

    Namun, Eko menilai terdapat risiko lain yang perlu diantisipasi, yaitu pengalihan produk China ke Asia Tenggara, termasuk ke Indonesia yang dapat menekan impor lokal. 

    “Produk-produk China yang tidak bisa masuk ke AS kemungkinan akan membanjiri wilayah Asia Tenggara, termasuk ke Indonesia. Ini menjadi tantangan untuk memperkuat ekonomi domestik kita agar tetap kompetitif,” katanya.

    Meski begitu, Eko optimistis bahwa dampak tersebut dapat diminimalisir bila Indonesia memperkuat kemampuan ekonomi domestiknya. Pasalnya pda perang dagang pertama, Indonesia tetap mampu tumbuh di kisaran 5 %.

    Dia menilai Indonesia memiliki peluang besar di sektor investasi. Menurutnya, perang dagang ini menyebabkan investor asing mulai mencari alternatif selain China, dan Indonesia bisa menjadi tujuan mereka.

    Menurutnya ketika Trump terpilih, investor mulai khawatir dengan stabilitas di China. Ini peluang Indonesia sebagai negara besar. Korea Selatan, misalnya, adalah salah satu negara dengan investasi besar di China yang kini mulai mengalihkan investasi ke negara lain, seperti ke Vietnam.

    Namun, Indonesia harus bersaing ketat dengan negara-negara Asean seperti Vietnam, yang infrastrukturnya lebih siap. 

    “Tapi sistem demokrasi kita punya daya tawar. Vietnam tidak demokratis, sehingga politiknya berpotensi berubah secara drastis. Investasi di Indonesia lebih menjanjikan dalam jangka panjang karena stabilitas ini,” jelas Eko.

  • Kadin Indonesia Punya Kisi-Kisi Kejar Target Pertumbuhan Ekonomi 8% – Page 3

    Kadin Indonesia Punya Kisi-Kisi Kejar Target Pertumbuhan Ekonomi 8% – Page 3

    White Paper Kadin disusun melalui kolaborasi dengan delapan organisasi mitra, termasuk Boston Consulting Group, INDEF, McKinsey & Company, dan Universitas Gadjah Mada.

    Prosesnya melibatkan survei terhadap 1.618 responden, 48 Focus Group Discussion (FGD), serta partisipasi 180 pengurus Kadin pusat, 125 anggota luar biasa, dan 24 Kadin provinsi.

    Fokus Program Kerja Kadin 2025Beberapa fokus utama Program Kerja Kadin Indonesia 2025 meliputi:

    Peningkatan keanggotaan, termasuk anggota luar biasa (ALB).
    Penguatan investasi daerah.
    Advokasi hukum bagi pelaku usaha.
    Dukungan terhadap keamanan siber.
    Peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) untuk memperkuat ekosistem dunia usaha.

    Kesimpulan

    Peluncuran White Paper ini menjadi tonggak penting bagi Kadin dalam menyelaraskan langkah dunia usaha dengan kebijakan pemerintah.

    Dengan target ambisius dan program strategis, Kadin berharap dapat berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang inklusif dan berkelanjutan.

  • Ekonom Sebut Indonesia Bisa Manfaatkan Perang Dagang AS-China

    Ekonom Sebut Indonesia Bisa Manfaatkan Perang Dagang AS-China

    Jakarta, Beritasatu.com – Indonesia memiliki peluang besar untuk memanfaatkan dampak potensi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. Hal ini diungkap Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti.

    Esther menilai, rencana Donald Trump untuk menerapkan tarif tambahan sebesar 10 persen pada produk-produk China setelah ia dilantik sebagai Presiden AS pada Januari 2025, akan menimbulkan kekhawatiran. Kekhawatiran itu terkait akan terjadinya perang dagang baru antara kedua negara ekonomi terbesar di dunia tersebut.

    Ia menyebut, Indonesia memiliki kesempatan untuk mengisi celah yang ditinggalkan China di pasar AS, terutama di sektor elektronik. Namun, menurutnya, hal ini hanya dapat terwujud jika Indonesia mampu meningkatkan daya saing produk-produknya.

    “Indonesia perlu menekan biaya produksi dan menawarkan harga yang lebih kompetitif agar dapat bersaing di pasar global,” ujarnya dikutip dari Antara, Rabu (27/11/2025).

    Selain itu, ia menegaskan pentingnya memperluas jaringan perdagangan internasional melalui perjanjian multilateral. Jika langkah ini tidak diambil, Indonesia hanya akan menjadi penonton dalam dinamika ekonomi global.

    Esther juga mengingatkan, pada perang dagang AS-China pada 2019, Vietnam muncul sebagai negara yang paling diuntungkan. Dengan memanfaatkan lokasi strategis dan jaringan perjanjian dagang yang luas, Vietnam menjadi jalur transit bagi produk-produk China yang diekspor ke AS.

    “Produk-produk China dikirim terlebih dahulu ke Vietnam, kemudian diekspor ke AS dengan label Made in Vietnam,” jelasnya.

    Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengingatkan, kebijakan tarif impor yang direncanakan Trump tidak hanya berdampak pada China, tetapi juga negara-negara ASEAN.

    Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI pada 13 November 2024, ia menyatakan bahwa pemerintah akan mengambil langkah antisipasi terhadap kebijakan tersebut.

    “Negara-negara ASEAN, termasuk Vietnam dan lainnya, kemungkinan juga akan menjadi target tarif impor ini,” kata Sri Mulyani.

    Indonesia diharapkan dapat segera menyesuaikan strategi untuk menghadapi perubahan kebijakan dagang global ini dan memanfaatkan peluang yang muncul di tengah ketegangan ekonomi dan perang dagang antara AS dan China.

  • Video: Rakyat Kecil Dihantam PPN 12%, Orang Kaya Dapat Tax Amnesty

    Video: Rakyat Kecil Dihantam PPN 12%, Orang Kaya Dapat Tax Amnesty

    Jakarta, CNBC Indonesia- Kampanye gaya hidup superhemat atau frugal living menggema di tengah rencana pemerintah merealisasikan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada 1 Januari 2025.

    Wakil Direktur INDEF, Eko Listiyanto mengungkapkan adanya dampak negatif penerapan PPN 12% di 2025 terhadap daya beli masyarakat. Dimana kenaikan PPN saat daya beli bermasalah bisa menekan laju konsumsi rumah tangga hingga 0,26%.

    Saat ini, tanpa kenaikan PPN, konsumsi rumah tangga sudah lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi RI, oleh karena itu INDEF menyarankan penundanaan PPN 12% di 2025. Di sisi lain INDEF menyoroti rencana Tax Amnesty Jilid III yang kontraproduktif dengan PPN 12% mengingat orang-orang kaya diberi pengampunan pajak sementara masyarakat bawah dihantam dengan kenaikan pajak

    Selengkapnya simak dialog Safrina Nasution dengan Ketua Dewan Pertimbangan Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI), Suryani Motik dan Wakil Direktur INDEF, Eko Listiyanto dalam Closing Bell,CNBCIndonesia (Senin, 25/11/2024)

  • Pengamat: Pemerintah Perlu Kaji Bentuk Bansos untuk Kelas Menengah

    Pengamat: Pemerintah Perlu Kaji Bentuk Bansos untuk Kelas Menengah

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat menilai pemerintah perlu menentukan bentuk bantuan sosial atau bansos bila akan memberikan kepada kalangan kelas menengah.

    Bansos berupa kebutuhan pokok, seperti beras, dinilai tak efektif dalam membantu daya beli kelas menengah.

    Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute Wahyu Nuryanto menyampaikan pemerintah perlu mengkaji apakah bantuan yang diberikan cukup untuk menjaga daya beli, ketika terjadi kenaikan harga sebagai dampak penerapan PPN 12%.

    “Saya pikir, bantuan sosial belum tentu bisa mendongkrak daya beli kelas menengah bila nanti bentuknya berupa kebutuhan pokok,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (27/11/2024).

    Menurutnya, keperluan kelas menengah lebih kepada uang tunai untuk meningkatkan konsumsi. Meski demikian, efektivitas bansos tersebut akan bergantung pada nilai bantuannya.

    Pemerintah perlu menentukan barang atau jasa yang memang jadi kebutuhan sehari-hari masyarakat menengah ke bawah.

    Wahyu melihat usulan pemberian bantuan berupa insentif internet berupa pulsa maupun internet gratis dapat menjadi pilihan karena sudah menjadi kebutuhan harian.

    Di sisi lain, pemerintah juga perlu memperhatikan penerima bansos. Apakah benar penerima bantuan merupakan kelas menengah atau bukan, agar tepat sasaran.

    Permasalahan yang saat ini terjadi, bansos untuk masyarakat kelas bawah pun nyatanya tidak tepat sasaran. Terlebih belum ada kriteria kelas menengah seperti apa yang mungkin mendapatkan bansos penguatan daya beli.

    Pasalnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat fenomena penurunan jumlah kelas menengah hingga 9,48 juta orang ke kelas menuju kelas menengah dan rentan miskin.

    Direktur Pengembangan Big Data Indef Eko Listiyanto menjelaskan kelas menengah tidak bisa diberi bantuan sosial (bansos) yang bersifat sembako karena ditujukan untuk kelas bawah.

    Oleh sebab itu, dia menyarankan agar kompensasi untuk kelas menengah berupa insentif sektor transportasi, internet, hingga pendidikan.

    “Misal tarif angkutan umum tidak naik dulu, itu sudah insentif bagus. Agak lebih advance, misalnya pulsa atau memperbanyak wifi gratis, itu bagian dari insentif bisa hemat pulsa,” jelas Eko usai acara Seminar Nasional Proyeksi Ekonomi Indonesia 2025 di Jakarta Pusat, Kamis (21/11/2024).

    Selain itu, sambungnya, sektor pendidikan juga perlu insentif berupa penurunan biaya pendidikan karena kerap menjadi salah satu kelompok pengeluaran terbesar kelas menengah. Lagi pula, Eko menekankan pentingnya investasi ke sumber daya manusia.

    Sementara Kementerian Keuangan justru ingin menghindari pemberian insentif yang bersifat bantuan sosial alias bansos kepada kelas menengah. Pemerintah pun mendorong agar kelas menengah menjadi peserta BPJS.

  • Genjot Daya Beli, Ditjen Pajak Bantah Tak Beri Insentif ke Kelas Menengah

    Genjot Daya Beli, Ditjen Pajak Bantah Tak Beri Insentif ke Kelas Menengah

    Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal Pajak alias Ditjen Pajak Kementerian Keuangan menegaskan bahwa pemerintah telah memberikan sederet insentif bagi masyarakat kelas menengah untuk mendukung daya beli. 

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Dwi Astuti menuturkan saat ini terdapat beberapa insentif sebagai skema penguatan daya beli, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Ditanggung Pemerintah (DTP). 

    Seperti halnya PPN DTP Perumahan untuk pembelian rumah tapak dengan harga sampai dengan Rp5 miliar. Bukan hanya itu, pemerintah juga menanggung PPN untuk pembelian mobil listrik.

    “Apakah benar masyarakat yang golongan menengah ini tidak diberi insentif? Ada skema penguatan daya beli masyarakat, misalnya PPN DTP. Ini skema insentif kepada masyarakat dengan penghasilan menengah ke atas,” ujarnya dalam kanal YouTube Direktorat Jenderal Pajak, Selasa (26/11/2024). 

    Kedua industri properti dan otomotif dinilai menjadi sektor yang plaing berdampak karena memiliki jumlah tenaga kerja yang besar. 

    Alhasil, pemberian insentif diharapkan dapat mendorong permintaan barang—dalam hal ini rumah dan kendaraan—dan memberikan efek berganda kepada industri yang mendukung sektor tersebut.

    Sebut saja dengan meningkatnya permintaan rumah akan mendorong permintaan rumah baru dan membuat permintaan pasir, batu bata, kaca, hingga perabotan rumah ikut meningkat.

    Insentif lainnya yang pemerintah berikan bagi kelas menengah, yakni beragam subsidi mulai dari listrik, solar, minyak tanah, LPG, hingga Bahan Bakar Minyak (BBM). Per 2023 saja, pemerintah mengeluarkan Rp68,7 triliun untuk subsidi listrik. 

    “Pertalite yang juga masih disubsidi oleh pemerintah. Yang punya motor pasti golongan menengah ke atas. Ini adalah belanja-belanja subsidi yang memang disiapkan,” tutur Dwi Astuti. 

    Selain itu, sebelumnya Dwi Astuti juga menyebutkan bahwa pemerintah telah memberikan kelonggaran perpajakan terhadap Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi (OP) Waupun Badan. Seperti Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari sebelumnya Rp50 juta per tahun, menjadi Rp60 juta. Kemudian juga PPh Badan yang turun dari 25% menjadi 22%.

    Meski demikian, suntikan yang pemerintah berikan tersebut dinilai kurang dalam menopang daya beli masyarakat kelas menengah, terlebih dengan adanya kenaikan PPN menjadi 12%.

    Direktur Pengembangan Big Data Indef Eko Listiyanto menyebutkan bahwa pemerintah perlu memberi tambahan berbagai insentif untuk kelompok masyarakat kelas menengah sebagai kompensasi apabila PPN naik jadi 12% pada tahun depan. 

    Pasalnya, kelas menengah tidak cukup miskin untuk menadapat bantuan sosial (bansos) yang bersifat sembako. Oleh sebab itu, dia menyarankan agar kompensasi untuk kelas menengah berupa insentif sektor transportasi, internet, hingga pendidikan. 

    Sementara sebelumnya, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie Othniel Frederic Palit meminta pemerintah untuk memberikan dukungan yang lebih seimbang terhadap berbagai kelas ekonomi.

    Dolfie mengatakan bahwa pemberian insentif fiskal selama ini lebih banyak difokuskan pada masyarakat kelas bawah dan atas. Padahal, kondisi kelas menengah turut mempengaruhi kondisi perekonomian domestik. 

    “Selama ini [intervensi] yang paling banyak adalah [untuk masyarakat] miskin, rentan miskin. Kelas menengah, menuju kelas menengah mungkin tergantung dari tetesan dari kelas atas,” katanya dalam siaran pers, Kamis (29/8/2024).

  • Kadin luncurkan White Paper untuk dukung pertumbuhan ekonomi 8%

    Kadin luncurkan White Paper untuk dukung pertumbuhan ekonomi 8%

    White Paper ini merupakan dokumen strategis yang disusun oleh Kadin Indonesia sebagai panduan serta rekomendasi kebijakan terkait arah pembangunan ekonomi Indonesia. (foto: ist)

    Kadin luncurkan White Paper untuk dukung pertumbuhan ekonomi 8%
    Dalam Negeri   
    Editor: Widodo   
    Rabu, 27 November 2024 – 06:39 WIB

    Elshinta.com – Jakarta – Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia segera meluncurkan White Paper Usulan Strategi/ Arah Pembangunan Bidang Ekonomi Tahun 2024-2029.

    White Paper ini merupakan dokumen strategis yang disusun oleh Kadin Indonesia sebagai panduan serta rekomendasi kebijakan terkait arah pembangunan ekonomi Indonesia untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8% sebagaimana dicanangkan Presiden Prabowo Subianto.

    Ketua Umum Kadin Indonesia, Arsjad Rasjid mengatakan, “Kadin Indonesia terus mengatakan komitmen sebagai mitra strategis pemerintah untuk membangun ekonomi Indonesia lima tahun ke depan. Dunia usaha nasional optimis dengan target pertumbuhan ekonomi, kuncinya adalah kolaborasi dan alignment antara pemerintah dan dunia usaha, di mana Kadin Indonesia memainkan peran sebagai enabler yang menjembatani kedua belah pihak,” Selasa (26/11/2024) di Jakarta.

    Jelas Arsajad lagi, White Paper menjelaskan tantangan isu terkini. “Dokumen White Paper secara rinci menjelaskan tantangan/isu terkini disertai dengan inisiatif utama (bold moves) yang dapat menyelesaikan permasalahan tersebut, sehingga White Paper relevan dengan kondisi Indonesia untuk lima tahun ke depan,” kata Arsjad.

    Menurut Arsjad, White Paper ini menjadi panduan sinergi dunia usaha dan pemerintah untuk membangun perekonomian yang inklusif dan berkelanjutan. Dokumen ini menerjemahkan visi Asta Cita Presiden Prabowo ke dalam langkah konkret dan memberi fokus lebih mendetail pada sektor kunci pertumbuhan, seperti digitalisasi, industri, energi, dan UMKM.

    “Pelaksanaan beberapa program ekonomi, seperti pengembangan industri dan digitalisasi, masih butuh pendekatan lebih konkret. White Paper ini menawarkan panduan implementasi yang konkret,” tutur Arsjad.

    Dalam White Paper ini, Kadin Indonesia merumuskan 4 pilar strategis, yaitu meningkatkan ketahanan, mendorong kesejahteraan, memperkuat inklusivitas, dan memajukan keberlanjutan, yang diturunkan dalam inisiatif utama sebagai panduan mencapai pertumbuhan ekonomi 8%. Inisiatif utama tersebut berpotensi meningkatkan PDB hingga 7-8% per tahun.

    Kadin juga melakukan proyeksi PDB berdasarkan tambahan kumulatif US$450-500 miliar dari seluruh inisiatif utama selama 2024-2029. Dari proyeksi itu, terdapat tujuh tema pertumbuhan teratas yang berpotensi memberikan kontribusi lebih dari 80% dari estimasi total dampak PDB di rentang 2024-2029.

    Tujuh prioritas tersebut berasal dari bidang infrastruktur kesehatan, ketahanan energi, UMKM, manufaktur, bisnis hijau dan berkelanjutan, serta Ketahanan pangan.

    Penulisan White Paper ini disusun dengan kolaborasi bersama delapan mitra, yaitu 5P Global Movement, Boston Consulting Group, DayaLima, Hukum Online, Indonesian Business Council, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), McKinsey & Company, dan Universitas Gadjah Mada.

    White Paper ini menghimpun masukan melalui survei yang melibatkan 1.618 pengurus Kadin pusat dan daerah serta 48 Focus Group Discussion (FGD) yang melibatkan 180 lebih pengurus Kadin pusat, 125 lebih Anggota Luar Biasa Kadin, dan 24 Kadin provinsi.

    Director Policy and Program Indonesian Business Council, Prayoga Wiradisturi, menyampaikan tema yang disebutkan dalam White Paper terkait membangun pusat pengembangan bisnis hijau terbesar di dunia, menjadi usulan tema pertumbuhan strategis yang sejalan dengan pemikiran IBC yang mana salah satu langkahnya membuka perdagangan karbon untuk mendanai dekarbonisasi.

    “Pembentukan Carbon Market Knowledge Center (CMKC) adalah langkah strategis yang diperlukan untuk merealisasikannya. “Inisiatif ini bertujuan mendukung pertumbuhan inklusif dan keberlanjutan energi terbarukan untuk masa depan Indonesia yang lebih hijau,” kata Prayoga.

    Chairperson 5P Global Movement Indonesia, William Sabandar, mengatakan bahwa penguatan inklusivitas penting untuk mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan melalui pendekatan di beberapa aspek, mulai sosial, politik dan tata kelola, ekonomi, ekologi dan keberlanjutan, budaya dan sosial, serta keamanan dan stabilitas. “Inklusivitas mendorong peran masyarakat segala lapisan, penting untuk pertumbuhan ekonomi,” kata Wiliam.

    Sementara, Adrian Dimitri dari Boston Consulting Group mengatakan, Indonesia sebagai salah satu ekonomi terbesar perlu memprioritaskan sektor strategis untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. “Pemetaan prioritas mencakup 20 subsektor dengan fokus pada penguatan pasar domestik, peningkatan ekspor, dan dukungan pemerintah melalui insentif serta infrastruktur,” tutur Dimitri.

    Tentang Kadin Indonesia
    Berdiri pada tahun 1968 dan ditetapkan berdasarkan hukum pada 1987, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia merupakan organisasi payung bagi seluruh kamar dagang dan serikat bisnis Indonesia, termasuk kamar dagang yang berasal dari luar negeri di Indonesia. Kadin Indonesia bertindak selaku suara sektor swasta dan menjalin hubungan erat dengan pejabat pemerintahan. Misi Kadin Indonesia adalah untuk mendukung perkembangan pertumbuhan ekonomi di Indonesia secara vital, berkelanjutan, dan adil. Jaringan Kadin Indonesia yang mencakup 35 Kadin Provinsi dan 544 cabang distrik mewakili suara seluruh serikat bisnis meliputi semua sektor relevan dari ekonomi Indonesia. Bermitra dengan lembaga pemerintahan kunci, Kadin Indonesia merupakan mitra aktif dalam reformasi bisnis dan ekonomi. Kadin Indonesia adalah titik kontak pertama bagi perusahaan asing dan membuka pintu menuju sektor swasta di Indonesia yang dinamis. (Dd)

    Sumber : Sumber Lain

  • Akademisi: Peningkatan kualitas guru PAUD jadi investasi di bidang SDM

    Akademisi: Peningkatan kualitas guru PAUD jadi investasi di bidang SDM

    Keberhasilan di jenjang pendidikan yang lebih tinggi itu sangat ditentukan oleh kesiapan mereka (anak-anak) bersekolah dan itu dibangun di usia dini

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Early Childhood Education and Development (ECED) Council Fasli Jalal menekankan bahwa peningkatan kualitas guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan investasi jangka panjang yang penting bagi pembangunan sumber daya manusia (SDM) Indonesia.

    Menurutnya, kualitas guru PAUD memiliki peran kunci dalam mempersiapkan anak-anak untuk jenjang pendidikan berikutnya dan membangun fondasi karakter mereka.

    “Keberhasilan di jenjang pendidikan yang lebih tinggi itu sangat ditentukan oleh kesiapan mereka (anak-anak) bersekolah dan itu dibangun di usia dini, baik kesiapan sosial-emosionalnya, kesiapan kemampuan kognitif dan bahasanya, kesiapan kekuatan motorik dan gerak, karena itu perlu dilatih,” kata Fasli dalam acara Diskusi Publik Indef yang bertajuk ‘Kupas Tuntas Kebijakan Pendidikan dan SDM’ di Jakarta, Senin.

    Namun, Fasli menyoroti tantangan besar terkait kualifikasi dan kesejahteraan guru PAUD. Saat ini, sebagian besar guru PAUD belum memenuhi kualifikasi akademik minimal Strata-1 (S1). Lebih dari itu, tingkat kesejahteraan guru PAUD, khususnya yang bekerja di kelompok bermain dan lembaga PAUD sejenis, masih sangat rendah.

    “Itu rata-rata (gaji) Rp50.000 sampai dengan Rp200.000 sebulan. Dengan full time dia mengajar pada jenjang yang paling dasar, yang sebenarnya pembelajaran yang paling sulit. Membutuhkan orang yang punya kemampuan pedagogik yang canggih juga kemampuan psikologisnya untuk membuat anak itu bisa jadi anak yang sehat, cerdas, ceria dan di dalam kontennya berakhlak,” jelasnya.

    Hal ini menjadi penting karena Fasli mengingatkan bahwa periode usia dini merupakan masa pembelajaran paling kritis. Di masa inilah, anak-anak membutuhkan pendampingan berkualitas agar dapat tumbuh menjadi individu yang berkualitas.

    Fasli yang juga menjabat sebagai Rektor Universitas YARSI itu juga menyoroti rendahnya akses pendidikan PAUD di Indonesia. Berdasarkan data, cakupan pendidikan PAUD untuk anak usia 0-6 tahun baru mencapai 26 persen. Sementara itu, untuk anak usia 3-6 tahun, angka partisipasinya berada di kisaran 37 persen.

    Pemerintah, menurut Fasli, telah menunjukkan komitmen untuk memperbaiki kondisi ini. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, pemerintah menargetkan wajib belajar 13 tahun, dengan tambahan satu tahun pendidikan wajib di tingkat PAUD.

    “Tinggal mencari umur berapa nanti, bakal umur 5 (tahun) atau umur 6, karena di umur 6 (tahun) ini sudah cukup banyak anak-anak kita yang sudah masuk SD,” terangnya.

    Lebih lanjut, dalam sesi diskusi Indef, Fasli juga menyoroti perlunya perencanaan yang matang dalam regenerasi guru di Indonesia. Dirinya mencatat bahwa sekitar 50.000 hingga 60.000 guru pensiun setiap tahun, tetapi proses penggantian guru masih belum terkoordinasi dengan baik.

    Seharusnya guru baru sudah disiapkan dua tahun sebelum guru lama pensiun. Dengan demikian, ada waktu transisi untuk pembinaan. Namun, saat ini, sektor pendidikan masih banyak bergantung pada guru honorer.

    Ia menambahkan bahwa meskipun program studi pendidikan menjadi yang terbesar di Indonesia, dengan 1,25 juta mahasiswa, hanya sebagian kecil lulusan yang benar-benar berkualitas dan mampu memenuhi kebutuhan pendidikan PAUD.

    “Sekarang kita masih berlepotan dalam mengganti guru ini. Makanya datang guru-guru honorer yang banyak tadi. Nah mudah-mudahan guru honorer ini, sekarang tertinggi di semua prodi (program studi) di Indonesia adalah pendidikan, mencapai 1,25 juta (mahasiswa), 250.000 lulusannya, sementara kebutuhannya hanya 50.000-60.000,” jelasnya.

    Fasli menekankan bahwa investasi pada kualitas guru PAUD bukan hanya tentang meningkatkan kualifikasi akademik, tetapi juga kesejahteraan dan pelatihan berkelanjutan. Oleh karena itu, pendidikan PAUD menjadi kunci untuk membangun SDM yang berkualitas.

    Pewarta: Bayu Saputra
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2024

  • Inikah Penyebab Pemerintah ‘Ngebet’ Naikan PPN Jadi 12%?

    Inikah Penyebab Pemerintah ‘Ngebet’ Naikan PPN Jadi 12%?

    Jakarta, CNBC Indonesia – Ekonom senior sekaligus mantan Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati mengungkapkan dugaannya mengapa pemerintah terkesan ngotot ingin menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% di tengah tekanan daya beli masyarakat.

    Anny menduga pemerintah butuh tambahan penerimaan untuk membiayai program-program pemerintah baru.

    “Kita memang tahu pemerintah sekarang butuh kenaikan penerimaan negara, ada program-program baru yang harus didanai,” kata Anny dalam program Tax Time di CNBC Indonesia, Senin, (25/11/2024).

    Selain membiayai program, Anny menduga pemerintah butuh banyak uang untuk kebutuhan lainnya, yakni membayar utang yang jatuh tempo dan bunga utang. Dia mengatakan seperti diketahui, pemerintah akan menghadapi utang jatuh tempo dan bunga utang yang menumpuk pada 2025 dan 2026.

    “Kita pada 2025 dan 2026 harus membayar utang dan bunga utang dalam jumlah besar, sementara APBN yang kita memiliki keterbatasan.. jadi itu urgensi kenapa PPN menjadi 12%,” kata dia.

    Meski mengetahui kebutuhan pemerintah, Anny menilai kenaikan PPN menjadi 12% dirasa kurang tepat dan akan sangat menekan daya beli masyarakat. Terlebih, kata dia, masyarakat juga akan menghadapi berbagai kenaikan iuran, seperti BPJS Kesehatan, iuran perumahan hingga rencana peralihan subsidi BBM.

    “Jadi isu-isu itu yang membuat kita bertanya-tanya tentang kemampuan daya beli, utamanya masyarakat kelas menengah kita,” kata dia.

    Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto juga mengkritik keras rencana pemerintah yang bersikeras menaikkan tarif PPN menjadi 12% pada 2025 di tengah tertekannya daya beli masyarakat.

    “Kalau PPN naik 12%, maka kemungkinan besar konsumsi rumah tangga turun 0,26%. Maka, kalau kuartal III-2024 tumbuh 4,91%, kurangi saja minus 0,26%,” kata Eko.

    Eko memprediksi kebijakan pemerintah menaikan PPN ini akan berimplikasi ke pertumbuhan ekonomi yang akan terus bergerak di bawah 5%. Sebab, kata dia, kenaikan PPN akan menekan konsumsi rumah tangga yang mendominasi struktur PDB dengan porsinya mencapai 53,08%.

    “Itu signifikan ke pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ekonomi juga bisa turun 0,17%. Jadi ibaratnya kalau nekat naikkan PPN 12%, kita mulai bicara pertumbuhan ekonomi di bawah 5%,” kata dia.

    (haa/haa)