NGO: INDEF

  • Bukan Cuma di Hilir, Dukungan pada Industri Sawit Perlu Diberikan di Hulu untuk Dorong Produktivitas – Halaman all

    Bukan Cuma di Hilir, Dukungan pada Industri Sawit Perlu Diberikan di Hulu untuk Dorong Produktivitas – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Industri sawit harus terus mendapatkan perhatian serius dari semua kalangan agar dapat optimal dalam mendukung kemajuan perekonomian nasional. 

    Tidak saja di hilir, dukungan pada industri sawit perlu diberikan di sektor hulu terutama dalam meningkatkan produktivitasnya yang selama ini cederung menurun. 

    Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengungkapkan meski sudah cukup baik, huluisasi pada industri sawit belum berjalan optimal. Alasannya, produktivitas sawit terus mengalami penurunan. 

    ‘’Hulu ini kan menyangkut aspek produksi. Hulu itu sangat tergantung seberapa jauh kebutuhan demand untuk industrialisasi maupun kebutuhan yang lain. Kalau kita lihat demand itu sawit pertama kan untuk pangan, domestiknya untuk kebutuhan industri termasuk biodiesel, sisanya untuk ekspor,’’ ungkap Tauhid Ahmad dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (5/12/2024). 

    Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyebut sampai Agustus 2024 produksi sawit mencapai 34,7 juta ton. Dalam periode yang sama, ekspor termasuk biodiesel dan oleokimia, mencapai lebih dari 20,1 juta ton. Ekspor ini menyumbangkan devisa sekitar 17,349 juta dollar AS bagi Indonesia. Sedangkan, konsumsi domestik tercatat pada 15,6 juta ton. 

    Dibanding periode sebelumnya, produktivitas sawit mengalami penurunan. Selama periode yang sama tahun lalu, produksi sawit mencapai 36,2 juta ton, ekspor 21,9 juta ton, dan nilainya melebihi 20,597 juta dollar AS. 

    Lebih jauh, Tauhid menyebut ada sejumlah faktor yang membuat produktivitas sawit menurun. Pertama, usia pohon sawit yang sudah tidak produktif. Kedua, program replanting atau peremajaan kebon sawit yang bersumber dari dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) tidak cukup untuk membiayai replanting termasuk yang untuk petani mandiri. Ketiga, masalah perubahan iklim yang mempengaruhi produktivitas sawit. Terakhir, permintaan kebutuhan biodiesel yang meningkat. 

    ‘’Tak cukup kalau kita ingin menambah biodiesel menjadi B 40, pasti ekspornya akan dikurangi. Ekspor berkurang, devisa berkurang. Karena itu hulunya memang harus ditambah produksinya,’’ papar mantan Direktur Eksekutif INDEF ini. 

    Sebagai salah satu solusinya adalah mempercepat replanting ketimbang menambah biodiesel. Kemudian, ekstensifikasi sawit melalui optimalisasi lahan-lahan terlantar yang dibenarkan perundangan. ‘’Jangan lahan lindung. Ada lahan-lahan terlantar sah secara perundangan yang belum dimanfaatkan untuk ekstensifikasi sawit. Mungkin tidak banyak. Tapi itu paling tidak, dioptimalkanlah,’’ paparnya. 

    Selain itu, optimalisasi terhadap lahan yang ada dengan melakukan perbaikan secara teknis. Mulai pembibitan, pemupukan, hingga pengairan yang baik sehingga meningkatkan produktivitas sawit termasuk di tingkat petani mandiri. 

    Yang tak kalah penting dilakukan adalah perbaikan berbagai regulasi yang tumpang tindih. Kejelasan status lahan yang penting untuk memenuhi standar sistem sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) maupun standar Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). ‘’Di sini perbaikan tata kelola kelembagaan menjadi penting,’’ jelasnya.

    Tauhid sepakat bahwa penegakan aturan di industri sawit sangat penting termasuk penertiban para pengusaha sawit yang nakal. Namun, hal tersebut harus dilihat kasus per kasus. Tidak bisa disamaratakan secara industri. Sebab, kata dia, banyak petani maupun pengusaha sawit yang bagus mulai menerapkan teknologi hijau hingga taat membayar pajak. 

    Tauhid melihat perhatian pemerintah terhadap industri sudah baik, hanya  perlu dioptimalkan lagi. ‘’Karena sawit kan jadi backbone-nya ekonomi, pendapatan negara, devisa, banyak menyerap tenaga kerja dan sebagainya, itu harus dioptimalkan lagi,’’ paparnya. 

    Salah satu yang bisa dilakukan pemerintah adalah perbaikan pada bidang pendanaan. 

    ‘’Saya kira mau tidak mau harus dilakukan relaokasi dana BPDPKS. Kembalikan ke sektor produksi bukan subsidi,’’ paparnya. 

    Selain itu, diperlukan dukungan pemerintah melalui supervisi dan monitoring untuk akses lahan termasuk bagaimana kepemilikan petani plasma juga diperhatikan. Di samping itu, perlu dilakukan perbaikan regulasi, kelembagaan serta perbaikan ekosistem investasi. 

    ‘’Usahakan petani plasma jauh lebih banyak untuk kemakmuran rakyat,’’ tandas Tauhid.   

    Senada, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono mengatakan yang harus mendapat perhatian utama di sektor hulu adalah peningkatan produktivitas. ‘’Sebab produksi 5 tahun terakhir stagnan dan konsumsi terus meningkat,’’ jelas Eddy 

    Dalam kesempatan itu, Eddy juga menyoroti agar tata kelola sawit segera diperbaiki. Alasannya, saat ini ada 37 kementerian dan lembaga yang terlibat dalam industri sawit. Hal ini meyebabkan adanya tumpang tindih kebijakan. 

    ‘’Untuk perbaikan ini sebaiknya dibentuk badan khusus sawit yang langsung di bawah Presiden,’’ ungkap Eddy. 

    Dia sepakat jika ada perusahaan atau pengusaha yang tidak taat aturan agar ditindak tegas. Tetapi jangan semuanya dianggap nakal, sehingga industrinya yang dikorbankan. ‘’Kembali lagi harus ada perbaikan tata kelola agar industri sawit ini bisa berkelanjutan. Kalau di hulu bermasalah sudah pasti di hilir akan bermasalah,’’ tegasnya.

  • Ekonom: Pembentukan Satgas jadi Sinyal Hilirisasi Belum Optimal

    Ekonom: Pembentukan Satgas jadi Sinyal Hilirisasi Belum Optimal

    Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom menilai wacana pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Hilirisasi merupakan sinyal bahwa program penciptaan nilai tambah dalam negeri itu belum maksimal.

    Adapun, rencana pembentukan Satgas Hilirisasi disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia. Bahlil mengatakan, Satgas Hilirisasi dibentuk demi merespons berbagai keluhan dan keinginan dari para dunia usaha. Satgas ini akan diketuai oleh Bahlil selaku menteri ESDM. 

    Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai pemerintah telah mengaku bahwa produk hilirisasi juga belum optimal. Hal ini salah satunya terlihat dari produk hilirisasi nikel yang masih didominasi oleh feronikel dan nickel pig iron (NPI).

    Sementara itu, hilirisasi nikel sampai menjadi baterai kendaraan listrik di dalam negeri belum maksimal. Bahkan, kata Bhima, menarik investasi di sektor pengolahan nikel sampai menjadi baterai atau kendaran listrik cukup berat.

    “Jadi Satgas Hilirisasi merupakan respons terhadap upaya hilirisasi yang memang belum maksimal,” ucap Bhima kepada Bisnis, Kamis (5/12/2024).

    Selain itu, sinyal hilirisasi belum maksimal juga terlihat dari proyek bauksit di Kalimantan yang mangkrak. Menurut Bhima, hal ini juga menunjukan bahwa hilirisasi tambang memiliki pekerjaan rumah atau PR dari sisi investasi.

    Lebih lanjut, Bhiman berpendapat Satgas Hilirisasi bakal bekerja keras mendorong hilirisasi di semua sektor, tak hanya mineral. Dia mengatakan, sejumlah sektor yang potensial seperti pertanian, perikanan, hingga kelautan.

    Bhima menyebut hilirisasi perlu ditingkatkan pada sektor yang berdampak pada ketahanan pangan dan energi.

    “Itu harapannya bisa jadi tugas Pak Bahlil ke depan gimana caranya produk hilirisasi ini semakin terdiversifikasi, tak terbatas tambang,” jelas Bhima.

    Selain itu, Bhima juga berpendapat Satgas Hilirisasi perlu mengevaluasi insentif-insentif fiskal seperti tax holiday hingga tax allowance yang diberikan untuk mendukung hilirisasi. Pasalnya, insentif fiskal tersebut dinilai belum terlalu efektif dalam menciptakan investasi yang punya nilai tambah.

    Di sisi lain, Bhima menyebut investasi smelter lebih banyak berupa smelter dengan teknologi rotary klin electric furnace (RKEF) yang memproduksi bahan baku baja tahan karat atau stainless steel. Sementara itu, untuk smelter high pressure acid leach (HPAL) yang memproduksi bahan baku baterai masih minim.

    “Jadi nggak imbang, jadi banyak smelter yang dapat insentif fiskal tapi produk-produknya tak banyak membantu untuk proses transisi energi,” kata Bhima.

    Sementara itu, Kepala Center of Industry Trade and Investment di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menilai pembentukan Satgas Hilirisasi karena persoalan hilirisasi tak terbatas di satu kementerian saja.

    Namun, dia mempertanyakan apa alasan menunjuk Bahlil sebagai ketua. Sebab, saat ini sudah ada Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

    Oleh karena itu, Andry mempertanyakan mengapa ketua Satgas Investasi tak berasal dari kementerian tersebut.

    “Itu [ketua satgas] seharusnya ada di kementerian tersebut gitu ya, jadi untuk apa kemarin kita menambahkan atau memperkuat kata-kata hilirisasi di kementerian tersebut, tapi Satgas yang dibentuk itu bukan berasal dari Kementerian Investasi dan Hilirisasi,” ucap Andry.

    Andry pun mengatakan dalam memandang hilirisasi juga perlu dilihat dari konteks investasi. Dia menilai saat ini program hilirisasi belum terlalu menarik minat investor. Pasalnya, investor mengingatkan jaminan akses pasar baik domestik maupun ekspor tatkala berinvestasi. Sementara itu, di sisi domestik, terkait dengan produk-produk impor yang saat ini cukup besar masuk ke RI.

    Menurut Andry, hal itu juga memberikan disinsentif bagi produk yang akan RI hilirisasi. Oleh karena itu, dia menilai selama belum ada penguatan pasar domestik, investor pasti akan sulit atau mungkin tidak tertarik.

    Adapun, wewenang terkait penguatan pasar domestik berada di Kementerian Perdagangan. Kementerian tersebut perlu mengeluarkan kebijakan larangan terbatas alias lartas, antidumping, dan juga safeguard.

    Di sisi lain, Andry melihat sinkronisasi antara kementerian untuk menggenjot hilirisasi itu masih minim.

    “Harusnya memang ada di Kemenko Ekonomi untuk mengkoordinasikan semua ini. Cuma saya melihat ternyata Kemenko juga absen dalam mengkoordinasikan antara satu kementerian dengan kementerian yang lain, maka usulan terkait dengan Satgas Hilirisasi tersebut menjadi jalan tengah,” jelas Andry.

  • Pemerintah bayarkan dana kompensasi Pertamina kuartal II-2024

    Pemerintah bayarkan dana kompensasi Pertamina kuartal II-2024

    Pertamina menyampaikan apresiasi kepada pemerintah atas penerimaan pembayaran kompensasi iniJakarta (ANTARA) – PT Pertamina (Persero) kembali menerima pembayaran dana kompensasi dari pemerintah untuk penyaluran Jenis BBM Tertentu (JBT) Solar dan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) Pertalite periode kuartal II- 2024.

    Pembayaran itu tercatat senilai Rp38,03 triliun (termasuk pajak) atau senilai Rp34,26 triliun (tidak termasuk pajak).

    “Pertamina menyampaikan apresiasi kepada pemerintah atas penerimaan pembayaran kompensasi ini,” ujar Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Simon Aloysius Mantiri di Jakarta, Rabu.

    Simon mengungkapkan Pertamina telah menerima total dana kompensasi dari pemerintah senilai Rp111,43 triliun (termasuk pajak) hingga akhir November 2024.

    Dana kompensasi ini mencakup selisih harga formula dengan harga eceran di SPBU untuk penyaluran JBT Solar dan JBKP Pertalite periode kuartal IV- 2023, periode kuartal I- 2024 dan periode kuartal II- 2024.

    Simon menyebut penerimaan ini merupakan wujud nyata dukungan pemerintah terhadap Pertamina dalam menjalankan perannya sebagai penyedia energi di seluruh pelosok negeri.

    “Kami sangat mengapresiasi dan berterima kasih kepada pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara, dan Kementerian ESDM, atas dukungannya kepada perusahaan dengan mempercepat pencairan dana kompensasi BBM hingga kuartal II- 2024,” ujar Simon.

    Simon menyampaikan bahwa Pertamina akan terus mendukung program pemerintah untuk mewujudkan kemandirian energi dengan mengutamakan ketahanan, ketersediaan, dan keberlanjutan energi, serta menyediakan energi melalui solusi inovatif yang memberikan nilai tambah bagi masyarakat.

    “Kami memfokuskan bisnis kami melalui strategi pertumbuhan ganda yang dirancang untuk memperkuat ketahanan energi Indonesia sekaligus mengembangkan bisnis rendah karbon untuk transisi energi,” ujar Simon.

    Ia melanjutkan, Pertamina juga terus berupaya untuk mengoptimalkan distribusi BBM bersubsidi dan memastikan bahwa BBM bersubsidi diterima oleh masyarakat yang berhak melalui program Pertamina Subsidi Tepat Sasaran.

    “Pertamina juga terus mendorong penyaluran volume BBM non-subsidi melalui perluasan outlet BBM non-subsidi,” ucap Simon.

    Baca juga: Pertamina apresiasi pembayaran dana kompensasi BBM oleh pemerintah

    Baca juga: Pemerintah segera bayar dana kompensasi kepada PLN dan Pertamina

    Baca juga: Indef: Dana kompensasi wajib dibayarkan kepada Pertamina

    Atas upaya ini, hingga kuartal III- 2024, Pertamina berhasil meningkatkan volume penjualan BBM non-subsidi sebesar 13 persen year on year (yoy) atau sebesar 31 juta kilo liter.

    Lebih lanjut, Simon menjelaskan bahwa berbagai langkah untuk mendukung program subsidi tepat sasaran telah dijalankan, di antaranya adalah implementasi pembelian Solar subsidi dan Pertalite subsidi untuk kendaraan roda empat melalui QR Code MyPertamina.

    Selain itu, lanjutnya, Pertamina telah melakukan pengendalian distribusi LPG 3 kg bersubsidi dengan menggunakan Merchant Apps Pangkalan (MAP) Pertamina, serta melakukan penguatan sarana dan fasilitas digitalisasi di lebih dari 8.000 SPBU seluruh Indonesia.

    “Diharapkan proses digitalisasi ini dapat memantau proses implementasi program subsidi tepat sasaran secara realtime dan juga memastikan akses BBM serta LPG bersubsidi bagi masyarakat yang berhak,” imbuh Simon.

    Ia menyebut, pencapaian ini merupakan salah satu wujud komitmen Pertamina dalam mengoptimalkan penyaluran BBM bersubsidi dan dukungan terhadap pemerintah untuk mengurangi beban anggaran negara.

    Dalam mendukung target Net Zero Emission 2060, Pertamina terus mendorong program-program yang berdampak langsung terhadap capaian Sustainable Development Goals (SDGs), sejalan dengan penerapan Environmental, Social & Governance (ESG) di seluruh lini bisnis dan operasi perseroan.

    Pewarta: Muhammad Heriyanto
    Editor: Chandra Hamdani Noor
    Copyright © ANTARA 2024

  • Ekonom nilai industri pelayaran penting dalam diversifikasi energi

    Ekonom nilai industri pelayaran penting dalam diversifikasi energi

    keberadaan industri pelayaran yang mumpuni dapat menjamin kelancaran pengangkutan komoditas energi dari sumber-sumber lokal yang terdiversifikasi, seperti gas alam, bioenergi dan energi terbarukan lainnya

    Jakarta (ANTARA) – Kepala Center of Food, Energy and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov mengatakan bahwa sektor logistik, terutama industri pelayaran, penting untuk meningkatkan diversifikasi dan menjaga ketersediaan energi nasional.

    “Saya melihat peran strategis industri pelayaran dalam mendukung diversifikasi energi nasional, terutama dalam hal pendistribusian energi dari sumber-sumber yang berbeda,” kata Abra Talattov di Jakarta, Rabu.

    Ia menuturkan bahwa keberadaan industri pelayaran yang mumpuni dapat menjamin kelancaran pengangkutan komoditas energi dari sumber-sumber lokal yang terdiversifikasi, seperti gas alam, bioenergi dan energi terbarukan lainnya.

    Dalam jangka panjang, ia menyatakan bahwa hal tersebut dapat membantu Indonesia dalam mengurangi ketergantungan pada satu sumber energi sehingga meningkatkan ketahanan energi nasional.

    Sebagai negara maritim dengan lebih dari 17 ribu pulau, Abra mengatakan bahwa penyaluran logistik energi di Indonesia menghadapi berbagai tantangan geografis.

    Sistem logistik yang kuat pun menjadi tulang punggung untuk memastikan bahwa energi dapat mencapai wilayah-wilayah terpencil.

    Baca juga: Ekonom optimis kinerja Pertamina meningkat di pemerintahan baru

    Baca juga: Indef: Masuk RUU EBET power wheeling bebani APBN

    Ia menyatakan bahwa tidak berkembangnya industri pelayaran dapat menimbulkan sejumlah risiko yang berdampak langsung pada stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, mulai dari aktivitas masyarakat yang terganggu hingga terhentinya aktivitas industri.

    Abra pun mengapresiasi kinerja PT Pertamina International Shipping (PIS) yang dalam menjaga kelancaran distribusi serta ketersediaan komoditas energi nasional di tengah disrupsi rantai pasok energi global akibat konflik geopolitik di Eropa dan Timur Tengah.

    “Di tengah risiko disrupsi terhadap pasokan energi global akibat masih tingginya tensi eskalasi geopolitik dunia saat ini, kita patut bersyukur bahwa Pertamina melalui PT Pertamina International Shipping mampu memainkan peran strategisnya dalam menjaga kelancaran distribusi energi serta mendukung ketahanan energi nasional,” ujarnya.

    Dengan armada yang terdiri tas 302 kapal tanker dan 402 kapal pendukung, PIS mendistribusikan lebih dari 160 miliar liter energi setiap tahun ke berbagai wilayah di Indonesia.

    Anak usaha BUMN tersebut juga mengelola LPG Terminal Tanjung Sekong, yang menyuplai 40 persen kebutuhan LPG nasional.

    “Kehadiran PIS dalam ekosistem industri pelayaran nasional tentunya merupakan bukti nyata bahwa bangsa Indonesia memiliki armada kapal pengangkut energi yang mumpuni serta infrastruktur maritim yang mendukung ketahanan energi nasional,” kata Abra.

    Ia pun berharap bahwa peran PIS dapat semakin meningkat dalam mendukung visi ketahanan energi Indonesia, sejalan dengan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang memiliki komitmen kuat dalam melanjutkan agenda pembangunan industri pelayaran dalam mendukung ketahanan energi nasional.

    Pewarta: Uyu Septiyati Liman
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2024

  • Indef Ungkap Dampak ‘Ngeri’ PPN 12%: Gaji Buruh Turun hingga Rawan Penghindaran Pajak

    Indef Ungkap Dampak ‘Ngeri’ PPN 12%: Gaji Buruh Turun hingga Rawan Penghindaran Pajak

    Bisnis.com, JAKARTA — Kalangan ekonom terus mengingatkan pemerintah soal dampak serius pemberlakuan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi 12%, dari risiko penurunan pertumbuhan ekonomi hingga kemungkinan membesarnya penghindaran pajak.

    Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman menjelaskan bahwa kondisi ekonomi global yang penuh ketidakpastian memengaruhi ekonomi Indonesia, yang mencatatkan kenaikan utang. Pemerintah pun memutar otak untuk mencari tambahan penerimaan negara.

    Menurut Rizal, perkembangan kenaikan utang yang memiliki konsekuensi membesarnya cicilan pokok dan bunga utang pada 2025 menjadi persoalan serius. Kondisi itu berhadapan dengan realita rasio pajak (tax ratio) Indonesia yang turun, sehingga pemerintah akan menaikkan PPN menjadi 12% tahun depan demi ketersediaan dana.

    Kebijakan menaikkan PPN itu menurutnya akan berdampak negatif bagi perekonomian. Produk domestik bruto (PDB) Indonesia bisa turun 0,17% saat PPN 12% karena konsumsi rumah tangga turun dan penyerapan jumlah tenaga kerja juga berkurang.

    “Pengaruh kenaikan PPN 12% terhadap perekonomian nasional jelas akan menambah beban rakyat miskin, juga mengurangi daya saing ekspor karena kenaikan overhead dan harga produk, barang dan jasa domestik juga akan naik, terutama yang berkaitan dengan pajak penghasilan,” ujar Rizal dalam diskusi PPN 12%: Solusi atau Beban Baru, Senin (2/12/2024).

    Naiknya PPN akan berimplikasi pada turunnya gaji karyawan/buruh karena beban pengeluaran yang lebih tinggi. Rizal menjelaskan bahwa hal itu bisa terjadi karena kenaikan PPN akan turut meningkatkan harga pokok penjualan (HPP) barang-barang.

    Dia juga mengkhawatirkan risiko naiknya penghindaran pajak (tax avoidance), terutama karena sektor informal yang tinggi di Indonesia.

    Rizal menilai bahwa kebijakan menaikkan PPN menjadi upaya menambah penerimaan dari ceruk yang telah terkena pajak, tetapi tidak menjawab masalah sulitnya menarik pajak dari sektor informal.

    “[Dampak kenaikan PPN 12%] pengeluaran lebih banyak akan dialami oleh kelas menengah yang sudah terjepit,” ujar Rizal.

  • Video: 100 Ekonom RI Bahas Peluang & Tantangan Ekonomi Era Prabowo

    Video: 100 Ekonom RI Bahas Peluang & Tantangan Ekonomi Era Prabowo

    Jakarta, CNBC Indonesia- CNBC Indonesia Bersama Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Kembali menyelenggarakan Sarasehan 100 Ekonom Indonesia dengan tema “Estafet Kepemimpinan Baru Menuju Akselerasi Ekonomi”. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan sumbangsih pemikiran, Ide, dan gagasan terbaru yang disampaikan oleh para ekonom kepada pemerintah baru sebagai strategi atas perbaikan kondisi perekonomian saat ini dan yang akan datang.

    Seperti apa penyelenggaraan Sarasehan 100 Ekonom RI tahun 2024 ini? Selengkapnya simak sambutan Steering Committee, Eisha Maghfiruha Rachbini dalam Sarasehan 100 Ekonom Indonesia, CNBC Indonesia (Selasa, 03/12/2024)

  • Target Pertumbuhan Ekonomi 8% Sulit Kalau Daya Beli Lemah

    Target Pertumbuhan Ekonomi 8% Sulit Kalau Daya Beli Lemah

    Jakarta, CNBC Indonesia – The Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai ambisi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga mencapai 8% sulit untuk dicapai jika hanya mengandalkan mesin konsumsi rumah tangga semata.

    Hal ini diungkapkan oleh Direktur Eksekutif The Institute for Development of Economics and Finance Esther Sri Astuti dalam Sarahsehan 100 Ekonom dengan tema ‘Estafet Kepemimpinan Baru Menuju Akselerasi Ekonomi’, Selasa (3/12/2024).

    “Prabowo menetapkan target pertumbuhan ekonomi 8%, agar target pertumbuhan itu tidak hanya target, tidak hanya omongan, maka diperlukan orkestrasi pemerintahan yang smart untuk menyelesaikan segera berbagai tantangan dan pekerjaan rumah yang ada,” ujar Esther.

    Saat ini, jika melihat struktur pertumbuhan ekonomi, konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi 51%. Indef, kata Eshter, menilai untuk mencapai target 8%, tidak mungkin hanya mengandalkan konsumsi semata.

    “Tetapi harus mengaktifkan mesin ekonomi dari investasi, ekspor dan pengeluaran pemerintah,” tegasnya.

    Namun, saat ini, masalah yang harus diatasi pemerintah terlebih dahulu adalah daya beli masyarakat yang melemah. Pelemahan daya beli ini dinilai berisiko menghambat pertumbuhan ekonomi.

    “Oleh karena itu, daya beli masyarakat yang lemah ini juga harus menjadi pertimbangan pemerintah, tidak hanya dengan mencapai target pertumbuhan ekonomi, tapi daya beli melemah,” ujar Esther.

    Sebagai catatan, pelemahan daya beli terlihat dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang di bawah 5% pada kuartal III-2024. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) mengalami penurunan yakni menjadi 121,1 pada Oktober 2024 atau terendah sejak Desember 2022 (hampir dua tahun terakhir).

    Daya beli yang paling tertekan adalah kelas menengah ke bawah. Bagi kelompok menengah ke atas kondisinya sangat berbeda, sebab pertumbuhannya masih sangat tinggi.

    (haa/haa)

  • PPN Naik Jadi 12% Dinilai Bikin Beban Hidup Rakyat Makin Berat

    PPN Naik Jadi 12% Dinilai Bikin Beban Hidup Rakyat Makin Berat

    Jakarta

    Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bakal naik menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Kebijakan itu merupakan amanah Undang-Undang No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

    Namun, kebijakan itu dinilai akan membuat beban masyarakat semakin berat. Apalagi perekonomian Indonesia diproyeksi masih melambat dan daya beli masyarakat masih menurun.

    “Kondisi fiskal Indonesia 2024 sangat menantang dan berpotensi berlanjut di 2025-2026. Pada saat yang sama daya beli masyarakat menurun. Pertumbuhan melambat dan dunia usaha alami kesulitan,” kata Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin, dalam keterangannya di Webinar Universitas Paramadina dan INDEF, Senin (2/12/2024).

    Sementara Ketua Prodi Manajemen Universitas Paramadina mengatakan kenaikan PPN 12% merupakan kabar buruk bagi gen Z dan milenial. Generasi tersebut disebut telah mengalami tekanan internal, untuk bisa mandiri secara ekonomi/finansial, dan tekanan sosial lainnya.

    “Tekanan eksternal berupa ketidakpastian ekonomi global dan persaingan kerja, tekanan sektor perbankan, dan kebijakan pemerintah,” terangnya.

    Saat ini, harga barang dan jasa juga telah naik karena beban pajak meningkat. Kondisi ini akan menyebabkan gen Z dan milenial menekan pengeluaran. Artinya tingkat konsumsi yang juga akan terkena dampaknya.

    “Kecenderungan ke depan gen z/milenial akan banyak menabung untuk biaya pendidikan, properti dan investasi. Dari sisi financial behaviour berkenaan kenaikan PPN 12% itu juga berpengaruh terhadap perilaku konsumsi dan pilihan-pilihan strategi keuangan gen Z/milenial ke depan,” lanjutnya.

    Kemudian, Kepala Pusat Makro Ekonomi dan Keuangan INDEF M.Rizal Taufikurahman berpendapat pengaruh kenaikan PPN 12% terhadap perekonomian nasional akan menambah beban rakyat miskin.

    Selain itu juga akan mengurangi daya saing ekspor karena kenaikan overhead. Efek lainnya harga produk, barang dan jasa domestik juga akan naik, terutama yang berkaitan dengan pajak penghasilan.

    “Akibat lanjut, maka akan terjadi inflasi yang dari sisi konsumsi akan membuat daya beli semakin turun. Akan terjadi juga kenaikan tax avoidance. Pengaruh juga terjadi di sektor keuangan dan daya saing di sektor industri riil padat karya,” terangnya.

    Kenaikan PPN juga diperkirakan akan menurunkan Produk Domestik Bruto (PDB). Pengeluaran lebih banyak akan dialami oleh kelas menengah yang sudah terjepit.

    Menurutnya, PDB diperkirakan akan turun 0,17%, hal itu disebabkan oleh konsumsi rumah tangga yang turun, dan penyerapan jumlah tenaga kerja yang turun.

    “Ekspor kita juga diperkirakan akan turun. Penurunan-penurunan itu yang meski diikuti oleh indeks harga konsumen/inflasi naik, indeks harga/biaya investasi juga akan ikut naik atau yang biasa disebut ICOR yang akan semakin tinggi,” pungkasnya.

    (ada/hns)

  • Ekonom Proyeksi Inflasi 1,3%-1,6% Akhir 2024, Terendah Sepanjang Masa?

    Ekonom Proyeksi Inflasi 1,3%-1,6% Akhir 2024, Terendah Sepanjang Masa?

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom memproyeksikan tingkat inflasi pada akhir 2024 akan menjadi yang terendah sepanjang masa Republik Indonesia.

    Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal memproyeksikan inflasi pada akhir 2024 akan berada di kisaran 1,3%-1,5% year on year (YoY).

    “Yang artinya lebih rendah dibanding inflasi pada masa pandemi 2020 dan 2021,” jelas Faisal kepada Bisnis.com, Minggu (1/11/2024).

    Sejalan, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) David Sumual memproyeksikan tingkat inflasi pada akhir 2024 berada di angka 1,6% YoY.

    Berdasarkan catatan Bank Dunia (World Bank), selain masa pandemi Covid-19 pada 2020 dan 2021, tingkat inflasi Indonesia selalu berada di atas 2% sejak 1960—data sebelum itu tidak tersedia.

    Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat inflasi berada di angka 1,68% (YoY) pada akhir 2020. Sementara itu pada akhir 2021, tingkat inflasi di angka 1,87% YoY.

    Artinya, jika inflasi pada akhir 2024 berada di kisaran 1,3%—1,6% YoY maka kemungkinan besar akan menjadi yang terendah sepanjang sejarah Republik Indonesia.

    Sebagai catatan, sempat terjadi deflasi selama lima bulan berurut-urut sepanjang tahun ini yaitu pada Mei (-0,03%), Juni (-0,08%), Juli (-0,18%), Agustus (-0,03%), dan September (-0,12%).

    Sejumlah ekonom menilai deflasi berbulan-bulan tersebut terjadi karena pelemahan daya beli masyarakat. Direktur Pengembangan Big Data Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto misalnya, yang melihat penurunan daya beli masyarakat terlihat dari data konsumsi rumah tangga.

    Sejak Kuartal IV/2023, sambungnya, pertumbuhan konsumsi rumah tangga selalu lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi.

    Perinciannya pada Kuartal IV/2023: pertumbuhan ekonomi mencapai 5,04% YoY, sementara pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,46% YoY.

    Pada Kuartal I/2024: pertumbuhan ekonomi mencapai 5,11% YoY, sementara pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,91% YoY.

    Pada Kuartal II/2024: pertumbuhan ekonomi mencapai 5,05% YoY, sementara pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,93% YoY.

    Terakhir pada Kuartal III/2024: pertumbuhan ekonomi mencapai 4,95% YoY, sementara pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,91% YoY.

  • Alternatif PPN 12%: Pajak Orang Kaya hingga Tarif Cukai Rokok Naik

    Alternatif PPN 12%: Pajak Orang Kaya hingga Tarif Cukai Rokok Naik

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah berencana menaikkan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN dari 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025. Di tengah kondisi pelemahanan daya beli masyarakat, banyak pihak yang mendorong pemerintah mencari alternatif kebijakan lain.

    Belakangan para ekonom, pengusaha, hingga masyarakat awam ramai-ramai menyatakan keresahan terkait rencana kenaikan PPN pada tahun depan. Kenaikan PPN yang akan meningkat harga barang/jasa ditakutkan malah membuat daya beli masyarakat semakin menurun.

    Konsumsi rumah tangga sendiri merupakan komponen utama penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Berdasarkan data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga mendistribusikan 53,08% dari produk domestik bruto (PDB) pada Kuartal III/2024.

    Artinya, jika daya beli masyarakat menurun maka kondisi perekonomian secara keseluruhan juga akan terganggu. Oleh sebab itu, banyak yang meminta pemerintah menunda wacana kenaikan tarif PPN menjadi 12%—setidaknya sampai daya beli masyarakat kembali meningkat.

    Di samping itu, tidak dimungkiri bahwa pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto perlu menggenjot penerimaan negara untuk membiayai berbagai program-program unggulan.

    Sejumlah alternatif kebijakan di luar PPN 12% pun bermunculan dari berbagai pihak. Diyakini, berbagai alternatif tersebut dapat menggenjot penerimaan negara tanpa membebani kelas menengah-bawah.

    Pajak Orang Super Kaya

    Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Fadhil Hasan menyarankan pemerintah memajaki kelompok masyarakat tertentu, ketimbang penerapan kenaikan tarif PPN yang berdampak ke perekonomian secara keseluruhan.

    Dalam konteks saat ini, kelompok masyarakat paling cocok dipajaki tanpa berdampak luas ke perekonomian adalah orang-orang super kaya.

    “Yang super rich [super kaya] itu, itu harus ditingkatkan [pajaknya] karena ada masalah keadilan juga di sini. Juga kalau misalnya kalau super rich ini ditingkatkan pajaknya, itu tidak akan memberikan dampak [negatif] ke perekonomian secara keseluruhan,” katanya dalam Seminar Nasional Proyeksi Ekonomi Indonesia 2025 di Jakarta Pusat, Kamis (21/11/2024).

    Sementara dalam studi bertajuk Laporan Ketimpangan Ekonomi Indonesia 2024: Pesawat Jet untuk Si Kata, Sepeda untuk Si Miskin, Center of Economic and Law Studies (Celios) sempat mengungkapkan penerimaan negara bisa meningkatkan tajam apabila pemerintah serius memajaki para orang super kaya di Indonesia.

    Perhitungan Celios, jika pemerintah mengenakan pajak 2% saja terhadap akumulasi kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia yang mencapai US$251,73 miliar atau Rp4.078 triliun maka negara akan menerima Rp81,6 triliun dalam setahun.

    Selain itu, Fadhil Hasan juga menyarankan penerapan pajak anomali keuntungan komoditas (windfall profit tax). Secara sederhana, Fadhil mengibaratkan windfall profit tax sebagai pajak ‘rezeki nomplok’.

    Dia menjelaskan windfall profit tax sebagai pajak yang dikenakan kepada industri yang mendapat keuntungan yang berlebih tanpa mereka melakukan usaha-usaha tertentu.

    Contohnya, ketika secara mendadak harga komoditas minyak bumi atau baru bara meningkatkan karena gejolak geopolitik. Otomatis, sambungnya, profit industri dalam negerinya yang terkait sektor minyak atau batu bara akan meningkat.