NGO: INDEF

  • Bank Indonesia Turunkan Suku Bunga BI Rate 5,75%, Indef Dorong Pebisnis Ekspansi Terukur

    Bank Indonesia Turunkan Suku Bunga BI Rate 5,75%, Indef Dorong Pebisnis Ekspansi Terukur

    Bisnis.com, JAKARTA — Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mendorong dunia usaha mulai melakukan ekspansi usai Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan alias BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 5,75%.

    Direktur Pengembangan Big Data Indef Eko Listiyanto meyakini relaksasi moneter dengan penurunan BI Rate menggambarkan bahwa ke depan kebijakan bank sentral akan cenderung ekspansif yaitu pro terhadap pertumbuhan ekonomi.

    “Ini seharusnya disambut positif oleh dunia usaha untuk mulai, katakanlah, meningkatkan ekspansinya. Tentu ekspansi yang terukur,” ujar Eko kepada Bisnis, Kamis (16/1/2025).

    Penurunan BI Rate, sambungnya, diharapkan segera disambut sektor perbankan dengan penurunan suku bunga kredit. Dengan demikian, laju kredit untuk sektor riil turut meningkat.

    Eko mencatat indikator-indikator konsumsi rumah tangga masih menunjukkan pelemahan secara umum meski ada perbaikan akibat faktor musiman yaitu momen Natal dan Tahun Baru 2025. Menurutnya, pemangkasan BI Rate merupakan ‘stimulus’ untuk meningkatkan daya beli masyarakat pada kuartal I/2025, terutama jelang momen Ramadan dan Idulfitri.

    “Penurunan suku bunga acuan ini menurut saya dampaknya akan cukup positif ya bagi mendongkrak sektor riil dan harapannya nanti bisa meningkatkan daya beli,” jelasnya.

    Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyampaikan pihaknya memangkas suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 5,75%, usai ditahan 6% sejak Oktober 2024, berdasarkan pertimbangan kondisi dinamika global maupun dalam negeri.

    Setidaknya terdapat tiga hal yang menjadi pertimbangan, yakni rupiah yang stabil, survei sejumlah indikator ekonomi yang menunjukkan pelemahan konsumsi, serta sudah lebih jelasnya arah kebijakan AS dan The Fed.

    “Oleh karena itu, ini adalah waktu untuk menurunkan suku bunga supaya bisa mendorong ekonomi untuk menciptakan pertumbuhan,” tuturnya dalam konferensi pers, Rabu (15/1/2025).

    Lebih lanjut, Perry memaparkan pertimbangan pertama yakni kondisi rupiah yang saat ini tertahan di level Rp16.200-an per dolar AS dianggap cukup stabil. Inflasi terpantau rendah di batas bawah target 2,5±1%. Selain itu, konsumsi masyarakat yang melemah juga menjadi perhatian Bank Indonesia.

    “[Bank Indonesia] menurunkan BI Rate supaya mendorong pertumbuhan [ekonomi], dari sisi permintaan [demand],” ujar Perry.

    Pertimbangan kedua, penurunan suku bunga sekarang memang masih di tengah ketidakpastian kebijakan AS dan The Fed terhadap Fed Fund Rate, tetapi sudah lebih jelas.

    Bahkan BI telah melakukan sejumlah perhitungan terhadap arah kebijakan pemerintah AS seperti dampak kenaikan yield akibat defisit fiskal APBN AS sebesar 7,7%. Termasuk arah pemangkasan Fed Fund Rate pada 2025.

    “Sekarang kami sudah mulai paham, kemungkinan Fed Fund Rate hanya sekali 25 bps, itu sudah kami hitung. Dua dampak ini juga kami sudah bisa memperkirakan arah pergerakan dollar index-nya,” jelasnya.

    Ke depan, bank sentral masih akan terus mencermati ruang penurunan suku bunga BI Rate yang akan mempertimbangkan dinamika yang terjadi di global dan nasional.

  • Pemerintah Perlu Berpihak ke Startup Lokal Agar Mampu Bersaing

    Pemerintah Perlu Berpihak ke Startup Lokal Agar Mampu Bersaing

    Jakarta

    PT Bukalapak.com Tbk resmi menutup penjualan produk fisik di platform e-commerce pada Selasa 7 Januari 2025. Saat ini, Bukalapak hanya fokus pada produk-produk digital.

    Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance atau INDEF Izzudin Al Farras mengatakan peta persaingan e-commerce saat ini memang sangat kompetitif dan membutuhkan strategi yang lebih agresif untuk tetap bertahan. Untuk itu, pemerintah harus melakukan langkah-langkah yang tepat untuk mendorong pelaku startup lokal menjadi raja di tanahnya sendiri.

    “Pemerintah sangat perlu untuk menunjukkan keberpihakan kepada pelaku startup lokal agar para pengusaha rintisan dalam negeri dapat menjadi raja di tanahnya sendiri,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (15/1/2025).

    Farras menegaskan salah satu cara pemerintah untuk mendorong startup lokal lebih maju adalah mendorong perusahaan modal ventura memberikan pendanaan kepada startup lokal. Sehingga, pelaku startup lokal bisa bersaing dengan startup asing yang kemampuan modalnya lebih besar.

    “Sehingga pemain lokal tersebut dapat bersaing dengan lebih kuat dengan pemain asing di industri digital,” tegasnya.

    Seiring waktu, lanjutnya, persaingan ini semakin memperlihatkan ketidakseimbangan, di mana para pemain besar menguasai pasar dengan modal yang sangat besar. Sedangkan, startup lokal yang berada di posisi tengah kesulitan mempertahankan keberlanjutan bisnisnya.

    Untuk itu, Farras meminta pemerintah untuk mengkaji berbagai kebijakan ekosistem digital nasional. Salah satu yang perlu dikaji adalah kebijakan restriksi dan insentif untuk pelaku startup lokal.

    “Dengan begitu, pemain startup lokal dapat bersaing dengan para pemain asing. Tidak hanya berjaya di dalam negeri tetapi juga di luar negeri,” pungkasnya.

    (rrd/rrd)

  • Ekonom prediksi dampak PPN 12 persen kecil bagi inflasi dan BI rate

    Ekonom prediksi dampak PPN 12 persen kecil bagi inflasi dan BI rate

    Sumber foto: Antara/elshinta.com

    Ekonom prediksi dampak PPN 12 persen kecil bagi inflasi dan BI rate
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Senin, 06 Januari 2025 – 20:08 WIB

    Elshinta.com – Kepala Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman memproyeksikan kenaikan PPN menjadi 12 persen untuk barang mewah berdampak kecil terhadap kenaikan inflasi maupun BI rate.

    “Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen untuk barang mewah dapat berdampak terbatas pada inflasi secara keseluruhan, mengingat kontribusi barang mewah dalam keranjang Indeks Harga Konsumen (IHK) relatif kecil,” kata M Rizal Taufikurahman saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Senin.

    Namun, ia menyatakan bahwa kenaikan PPN pada barang mewah berpotensi menekan konsumsi di segmen pasar tersebut, sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan sektor terkait.

    Selain berpengaruh kecil terhadap inflasi, ia menuturkan bahwa pengenaan PPN 12 persen terhadap barang mewah juga berdampak minimal terhadap BI rate atau suku bunga acuan Bank Indonesia.

    Rizal mengatakan bahwa hal tersebut karena penentuan suku bunga acuan lebih dipengaruhi oleh inflasi inti dan ekspektasi inflasi secara umum.

    “Selama inflasi inti dan ekspektasi inflasi tetap terkendali dalam sasaran yang ditetapkan, kenaikan PPN pada barang mewah tidak akan menjadi faktor utama dalam penentuan BI rate,” ujarnya.

    Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kenaikan Indeks Harga Konsumen (IHK) Desember 2024 sebesar 0,44 persen month-to-month (mtm), sehingga secara tahunan inflasi IHK 2024 menjadi 1,57 persen year-on-year (yoy). Angka tersebut masih dalam kisaran target pemerintah 2,5 persen plus minus 1 persen.

    Sementara Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada 17-18 Desember 2024 memutuskan untuk tetap mempertahankan BI rate di level 6 persen.

    Mempertimbangkan situasi perekonomian nasional tersebut, pemerintah pun membatalkan kenaikan PPN menjadi 12 persen untuk semua komoditas dan hanya mengenakan nominal PPN baru tersebut terhadap barang mewah.

    Barang dan jasa yang dikenakan tarif PPN 12 persen di antaranya adalah hunian mewah, balon udara dan balon udara yang dapat dikemudikan, pesawat udara, peluru dan senjata api, serta kapal pesiar mewah.

    Sumber : Antara

  • Ekonom: Alarm Bahaya Manufaktur Masih Berdering Meski PMI Kembali Ekspansif

    Ekonom: Alarm Bahaya Manufaktur Masih Berdering Meski PMI Kembali Ekspansif

    Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom menilai kondisi manufaktur nasional masih perlu diwaspadai meskipun Purchasing Managers Index (PMI) Indonesia berhasil masuk kembali ke zona ekspansi pada Desember 2024 setelah 5 bulan sebelumnya kontraksi berturut-turut. 

    Berdasarkan laporan S&P Global, Kamis (2/1/2025), PMI manufaktur Indonesia menguat ke posisi 51,2 pada Desember 2024, lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya yang terkontraksi di level 49,6. Angka indeks ini juga tertinggi sejak Mei 2024. 

    Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef, Andry Satrio Nugroho mengatakan, industri pengolahan nonmigas masih mengkhawatirkan dengan masifnya pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah sektor industri yang tertekan. 

    “PHK periode Januari-November ini kalau dibandingkan periode yang sama tahun lalu kurang lebih menurut saya sudah ada kenaikan 12%, ini angka yang besar dan menurut saya sudah harus pemerintah cari jalan untuk menguatkan industri manufaktur,” kata Andry kepada Bisnis, Kamis (2/1/2025). 

    Sementara itu, jika merujuk pada Satu Data Kementerian Ketenagakerjaan, pekerja yang menjadi korban PHK periode Januari-Desember 2023 sebanyak 64.885 orang. Sementara itu, data sementara periode Januari-Desember 2024, sebanyak 80.000 pekerja ter-PHK. 

    Melihat kondisi tersebut, Andry menyebutkan pentingnya paket kebijakan stimulus yang terarah dan tepat sasaran. Dalam hal ini, kebijakan insentif fokus untuk penurunan biaya produksi melalui insentif fiskal maupun nonfiskal yang terstruktur dalam jangka waktu 1-2 tahun ke depan. 

    “Yang kita tekankan dua hal, dari sisi supply dan demand. Dari sisi supply itu produksi, bagaimana kita bisa menurunkan biaya produksi, energi dan bahan baku, kita juga bicara untuk menurunkan biaya distribusi, biaya yang pada akhirnya memberikan tekanan kepada industri itu juga harus diperhatikan,” ujarnya. 

    Tak hanya itu, dia melihat adanya beberapa shadow cost atau biaya yang tak terlihat lantaran banyaknya oknum yang bermain di lapangan usaha industri sehingga memberatkan kondisi tersebut. 

    Sedangkan dari sisi permintaan, Andry menyoroti kebijakan proteksi pasar yang mesti diperkuat karena saat ini produk impor legal dan ilegal telah menekan daya saing produk industri lokal karena terlampau murah. 

    “Kedua hal ini butuh intervensi pemerintah, pertama bagaimana pemerintah bisa melindungi pasar dalam negeri dari gempuran produk murah yang pada akhirnya terindikasi dumping, kedua produk murah karena masuk secara ilegal, dua hal ini harus segera diberantas,” tuturnya. 

    Oleh karena itu, perlindungan larangan dan pembatasa (lartas) impor serta instrumen trade remedies masih diperlukan bagi pelaku usaha agar produk yang dihasilkan dapat berkompetisi dengan level playing field yang adil dan sehat. 

    Di samping itu, pihaknya juga melihat penting untuk memberikan insentif tambahan berupa diskon atau subsidi bagi perusahaan asing yang mau berinvestasi di Indonesia dengan menggandeng industri lokal. 

    “Tanpa ada paket kebijakan stimulus, pemerintah segaja mematikan idnustri dalam negeri, jika tidak ada paket kebijakan yang tidak komprehensif maka menurut saya omong kosong pertumbuhan ekonomi 8%,” pungkasnya. 

  • Perlu legalisasi UMKM agar insentif kenaikan PPN efektif

    Perlu legalisasi UMKM agar insentif kenaikan PPN efektif

    Ilustrasi UMKM dalam negeri. ANTARA/HO-Kementerian UMKM

    Ekonom: Perlu legalisasi UMKM agar insentif kenaikan PPN efektif
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Kamis, 02 Januari 2025 – 06:00 WIB

    Elshinta.com – Kepala Pusat Ekonomi Digital dan UKM Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eisha Maghfiruha Rachbini menyatakan pemerintah perlu menggencarkan legalisasi UMKM agar pemberian insentif terkait kenaikan PPN menjadi 12 persen berjalan efektif.

    Pemerintah memberikan insentif berupa perpanjangan masa berlaku PPh final 0,5 persen sepanjang 2025 sebagai upaya perlindungan kepada UMKM dan industri padat karya. Sementara UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun sepenuhnya dibebaskan dari pengenaan PPh tersebut.

    Saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Rabu, ia menyampaikan bahwa sebenarnya kedua insentif tersebut membantu UMKM untuk mengurangi potensi dampak yang diakibatkan oleh kenaikan PPN menjadi 12 persen di tengah daya beli masyarakat yang menurun saat ini.

    “Namun, yang paling banyak usaha mikro kecil itu kan masih informal ya, mereka tidak akan terdampak (insentif PPh) di situ, tidak akan menikmati kemudahan (insentif) tersebut karena mereka kan tidak masuk ke dalam sistem (perpajakan),” kata Eisha Maghfiruha Rachbini.

    Meskipun para pelaku usaha informal tidak terjangkau oleh insentif PPh final tersebut, ia menyatakan bahwa UMKM masih dapat menikmati penghapusan PPN terhadap sejumlah komoditas yang menjadi bahan baku produksi, seperti beras, kedelai, buah, sayur, jagung, gula, susu, ikan, udang, serta hasil ternak dan perikanan lainnya.

    “Ini sebenarnya sebagai penolong juga buat UMKM bahwa bahan baku dari UMKM, terutama mereka industri kecil menengah di bidang pengolahan makanan dan minuman, harganya tidak naik,” ujarnya.

    Eisha menuturkan bahwa UMKM yang bergerak di sektor perdagangan dan retail akan menjadi yang paling terdampak akibat kenaikan PPN tersebut, terutama yang menjual barang-barang kena pajak.

    Untuk meredam dampak tersebut, ia pun meminta pemerintah untuk terus mendorong UMKM agar dapat meningkatkan kapasitas mereka melalui berbagai pelatihan. Ia juga mengatakan bahwa para pelaku usaha kecil tersebut memerlukan dukungan akses yang lebih luas terhadap pasar, bahan baku, dan pembiayaan.

    “Terutama juga formalitas dari UMKM ini, legalitasnya juga harus didorong untuk mereka supaya mereka dapat akses,” kata Eisha.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani meneken Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 131 Tahun 2024 tentang pengenaan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen pada 31 Desember 2024 yang mulai berlaku per 1 Januari 2025. Pasal 2 Ayat 2 dan 3 aturan tersebut menetapkan tarif PPN 12 persen dikenakan terhadap barang yang tergolong mewah, berupa kendaraan bermotor dan selain kendaraan bermotor yang dikenai pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).

    Sementara untuk barang dan jasa di luar kelompok tersebut, PPN yang dikenakan adalah tarif efektif 11 persen, yang diperoleh melalui mekanisme dasar pengenaan pajak (DPP) nilai lain. Nilai lain yang dimaksud yaitu 11/12 dari nilai impor, harga jual, atau penggantian. Nilai lain kemudian dikalikan dengan tarif PPN 12 persen.

    Selama periode 1–31 Januari 2025, pengenaan tarif PPN terhadap barang mewah menggunakan DPP nilai lain. Artinya, selama kurun waktu itu, tarif PPN terhadap barang mewah tetap 11 persen. Sedangkan per 1 Februari 2025, tarif PPN 12 persen dikenakan secara penuh terhadap harga jual atau nilai impor barang mewah.

    Sumber : Antara

  • Ekonom: Perlu legalisasi UMKM agar insentif kenaikan PPN efektif

    Ekonom: Perlu legalisasi UMKM agar insentif kenaikan PPN efektif

    Jakarta (ANTARA) – Kepala Pusat Ekonomi Digital dan UKM Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eisha Maghfiruha Rachbini menyatakan pemerintah perlu menggencarkan legalisasi UMKM agar pemberian insentif terkait kenaikan PPN menjadi 12 persen berjalan efektif.

    Pemerintah memberikan insentif berupa perpanjangan masa berlaku PPh final 0,5 persen sepanjang 2025 sebagai upaya perlindungan kepada UMKM dan industri padat karya. Sementara UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun sepenuhnya dibebaskan dari pengenaan PPh tersebut.

    Saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Rabu, ia menyampaikan bahwa sebenarnya kedua insentif tersebut membantu UMKM untuk mengurangi potensi dampak yang diakibatkan oleh kenaikan PPN menjadi 12 persen di tengah daya beli masyarakat yang menurun saat ini.

    “Namun, yang paling banyak usaha mikro kecil itu kan masih informal ya, mereka tidak akan terdampak (insentif PPh) di situ, tidak akan menikmati kemudahan (insentif) tersebut karena mereka kan tidak masuk ke dalam sistem (perpajakan),” kata Eisha Maghfiruha Rachbini.

    Meskipun para pelaku usaha informal tidak terjangkau oleh insentif PPh final tersebut, ia menyatakan bahwa UMKM masih dapat menikmati penghapusan PPN terhadap sejumlah komoditas yang menjadi bahan baku produksi, seperti beras, kedelai, buah, sayur, jagung, gula, susu, ikan, udang, serta hasil ternak dan perikanan lainnya.

    “Ini sebenarnya sebagai penolong juga buat UMKM bahwa bahan baku dari UMKM, terutama mereka industri kecil menengah di bidang pengolahan makanan dan minuman, harganya tidak naik,” ujarnya.

    Eisha menuturkan bahwa UMKM yang bergerak di sektor perdagangan dan retail akan menjadi yang paling terdampak akibat kenaikan PPN tersebut, terutama yang menjual barang-barang kena pajak.

    Untuk meredam dampak tersebut, ia pun meminta pemerintah untuk terus mendorong UMKM agar dapat meningkatkan kapasitas mereka melalui berbagai pelatihan.

    Ia juga mengatakan bahwa para pelaku usaha kecil tersebut memerlukan dukungan akses yang lebih luas terhadap pasar, bahan baku, dan pembiayaan.

    “Terutama juga formalitas dari UMKM ini, legalitasnya juga harus didorong untuk mereka supaya mereka dapat akses,” kata Eisha.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani meneken Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 131 Tahun 2024 tentang pengenaan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen pada 31 Desember 2024 yang mulai berlaku per 1 Januari 2025.

    Pasal 2 Ayat 2 dan 3 aturan tersebut menetapkan tarif PPN 12 persen dikenakan terhadap barang yang tergolong mewah, berupa kendaraan bermotor dan selain kendaraan bermotor yang dikenai pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).

    Sementara untuk barang dan jasa di luar kelompok tersebut, PPN yang dikenakan adalah tarif efektif 11 persen, yang diperoleh melalui mekanisme dasar pengenaan pajak (DPP) nilai lain.

    Nilai lain yang dimaksud yaitu 11/12 dari nilai impor, harga jual, atau penggantian. Nilai lain kemudian dikalikan dengan tarif PPN 12 persen.

    Selama periode 1–31 Januari 2025, pengenaan tarif PPN terhadap barang mewah menggunakan DPP nilai lain. Artinya, selama kurun waktu itu, tarif PPN terhadap barang mewah tetap 11 persen.

    Sedangkan per 1 Februari 2025, tarif PPN 12 persen dikenakan secara penuh terhadap harga jual atau nilai impor barang mewah.

    Pewarta: Uyu Septiyati Liman
    Editor: Bambang Sutopo Hadi
    Copyright © ANTARA 2025

  • Prospek Industri Berpotensi Muram di 2025

    Prospek Industri Berpotensi Muram di 2025

    Daftar Isi

    Jakarta, CNN Indonesia

    Sejumlah industri diproyeksi muram pada 2025 seperti otomotif, manufaktur dan ritel.

    Pengamat menyebut masih melemahnya daya beli masyarakat serta faktor-faktor lainnya menjadi penyebabnya.

    Berikut industri berpotensi muram pada 2025:

    1. Otomotif

    Senior Business Consultant & Pengamat Bisnis DK Consulting Djoko Kurniawan mengatakan industri otomotif akan cenderung stagnan dan sulit berkembang pada tahun depan. Pasalnya terjadi penambahan pajak kendaraan yang semakin membuat masyarakat berpikir untuk membeli kendaraan.

    Sebagaimana diketahui, pemerintah akan memungut tambahan pajak untuk kendaraan baru yang dinamakan opsen mulai 5 Januari 2025.

    “Selain itu, faktor yang mempengaruhi adalah turunnya daya beli masyarakat karena pertumbuhan ekonomi yang rendah,” katanya kepada CNNIndonesia.com, Jumat (27/12).

    Selain itu, sambung Djoko, masyarakat mulai berpikir untuk beralih ke mobil listrik. Namun, mobil listrik harganya masih tergolong mahal.

    2. Manufaktur

    Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF Andry Satrio Nugroho mengatakan industri manufaktur masih akan diselimuti awan gelap tahun depan. Menurutnya, masih belum ada sinyal perbaikan dari melemahnya sektor manufaktur yang dilanda bada PHK saat ini.

    Dari sisi domestik, sambung Andry, belum ada stimulus dari pemerintah yang bisa kembali menggairahkan industri manufaktur.

    “Lalu masih belum ada regulasi yang diubah yang bisa mendukung industri domestik. Misalnya terkait aturan lartas impor yang masih belum berubah,” katanya.

    3.Industri Ritel

    Djoko mengatakan secara umum semua bisnis ritel akan cenderung muram lantaran menurunnya daya beli masyarakat kelas menengah. Karena itu, pemerintah perlu membuat kebijakan yang bisa meningkatkan daya beli masyarakat kelas menengah.

    “Di tengah analisa industri yang stagnan dan mengalami sedikit kendala, yang terpenting semua pemain yang terlibat di dalamnya harus berjuang sekuat tenaga dan membuat terobosan-terobosan baru yang kreatif dan inovatif agar tetap bisa bertahan,” katanya.

    (fby/agt)

  • Sektor Industri Berpeluang Cuan pada 2025

    Sektor Industri Berpeluang Cuan pada 2025

    Daftar Isi

    Jakarta, CNN Indonesia

    Sejumlah industri diproyeksi cuan pada 2025 seperti kimia dan farmasi, kecantikan, serta industri logam dasar.

    Pengamat memperkirakan industri tersebut masih kebanjiran permintaan baik dari domestik maupun luar negeri.

    Berikut industri berpeluang cuan pada 2025:

    1. Industri Kimia

    Senior Business Consultant & Pengamat Bisnis DK Consulting Djoko Kurniawan mengatakan industri kimia makin berkembang karena adanya tuntutan inovasi produk yang memerlukan bahan kimia.

    Apalagi, produk berbahan kimia digunakan dalam kehidupan sehari-hari sejak bangun pagi bahkan sampai tidur lagi. Produk itu antara lain; pasta gigi, sabun mandi, deterjen pakaian, cairan pel lantai, dan lainnya.

    “Industri ini akan berkembang terus seiring dengan perkembangan bahan kimia untuk rumah tangga maupun kategori produk lain,” katanya kepada CNNIndonesia.com, Jumat (2712).

    Selain itu, industri kimia juga berpotensi cemerlang sejalan dengan program swasembada pangan yang digaungkan Presiden Prabowo Subianto.

    “Program swasembada pangan akan banyak memerlukan pupuk dan pestisida. Hal ini yang menyebabkan industri kimia akan makin bertumbuh di 2025,” imbuhnya.

    2. Industri Farmasi

    Djoko mengatakan industri farmasi masih berpeluang cuan lantaran kebutuhan masyarakat terhadap obat baik modern maupun traditional masih tinggi. Hal itu tak terlepas karena masyarakat makin sadar akan pentingnya menjaga kesehatan.

    “Bahkan saat pandemi, industri farmasi yang paling berkembang karena semua orang butuh obat. Masyarakat sekarang juga tidak mau ambil risiko, ketika sakit langsung membeli obat agar sakitnya tidak menjadi makin parah,” katanya.

    3. Industi Tekstil

    Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF Andry Satrio Nugroho mengatakan industri tekstil juga berpeluang cuan dengan adanya perang dagang Amerika Serikat (AS) – China.

    Pasalnya perang dagang antara kedua negara itu telah menyebabkan ketidakpastian pasar serta iklim investasi. Sehingga investor akan mencari negara lain yang mampu memberikan iklim investasi dan perekonomian yang lebih stabil.

    Peluang ini lah yang bisa diambil Indonesia.

    “Kalau misalnya Indonesia bisa mengambil momentum, kemungkinan besar investasi dari China aka datang terutama di sektor yang kita kuat di pasar AS seperti tekstil dan pakaian jadi,” katanya.

    Andry mengatakan investasi asing yang masuk ke industri tekstil Tanah Air akan menggantikan para pengusaha domestik yang bertumbangan beberapa waktu terakhir.

    4. Industri Logam Dasar

    Andry mengatakan industri logam dasar juga berpeluang cuan seiring dengan program hilirisasi yang dicanangkan pemerintah. Hal itu katanya sudah terlihat dari pertumbuhan industri logam dasar sebesar dua digit dalam beberapa tahun terakhir.

    Namun, Andry menyarankan agar hilirisasi tidak hanya dilakukan di tahap awal. Misalnya hilirisasi nikel yang saat ini masih di tahap pemurnian atau smelter.

    “Kita harap ke depannya bisa dilanjutkan menjadi stainless steel dan battery pack,” kata Andry.

    (agt/agt)

  • PPN 12 Persen Berlaku 1 Januari 2025, Siapa yang Mengesahkan?

    PPN 12 Persen Berlaku 1 Januari 2025, Siapa yang Mengesahkan?

    Jakarta, Beritasatu.com – Pemerintah Indonesia telah menetapkan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen, yang akan berlaku paling lambat 1 Januari 2025. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

    Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara hingga 6,4 persen pada 2025, dengan target total pendapatan sebesar Rp 2.996 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp 2.490 triliun direncanakan berasal dari penerimaan pajak. Sebagai salah satu sumber utama pendapatan negara, PPN memiliki peran penting dalam mendukung berbagai program pemerintah.

    Apa Itu PPN?

    PPN adalah jenis pajak konsumsi yang wajib dibayarkan dalam transaksi barang dan jasa yang termasuk dalam Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP). Sebagai pajak tidak langsung, PPN disetor oleh pihak lain (misalnya, pedagang) atas nama konsumen yang menjadi penanggung pajak.

    Sejak 1 April 2022, tarif PPN di Indonesia ditetapkan sebesar 11 persen. Namun, kenaikan menjadi 12 persen pada 2025 diperkirakan akan berdampak pada daya beli masyarakat dan kondisi ekonomi secara umum.

    Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Agus Herta Sumarto, mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati agar kebijakan ini tidak menggerus daya beli masyarakat.

    “Untuk menaikkan tax ratio kita salah satunya adalah dengan menaikkan tarif pajak, walaupun masih ada cara lain. Namun, pemerintah juga harus hati-hati jangan sampai kenaikan pajak ini malah menggerus daya beli,” kata Agus, dikutip dari Antara pada Senin (30/12/2024).

    Siapa yang Mengusulkan Kenaikan PPN 12 Persen?

    Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, keputusan untuk menaikkan tarif PPN sebesar 12 persen pada 2025 diambil melalui banyak pertimbangan berat dan bukan tanpa alasan oleh pemerintah. Kenaikan PPN menjadi 12 persen didasarkan pada sejumlah pertimbangan berikut:

    Meningkatkan pendapatan negara: Dengan peran strategis PPN, peningkatan tarif ini diharapkan membantu memperbaiki kondisi fiskal yang terdampak pandemi Covid-19.Mengurangi ketergantungan pada utang: Pendapatan pajak yang lebih tinggi akan membantu menekan defisit anggaran dan mengurangi ketergantungan Indonesia pada utang luar negeri.Penyesuaian standar internasional: Dengan tarif baru ini, Indonesia mendekati rata-rata PPN global yang mencapai 15 persen, termasuk di negara-negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

    Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyebutkan bahwa kenaikan ini juga bertujuan untuk memastikan Indonesia tetap kompetitif di tingkat internasional.

    Siapa yang Mengesahkan PPN 12 Persen 2025?

    Rencana kenaikan tarif PPN telah disepakati pemerintah bersama DPR RI melalui pengesahan RUU HPP menjadi UU pada 7 Oktober 2021. Keputusan tersebut diambil dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2022. Wakil Ketua DPR RI, Muhaimin Iskandar, memimpin sidang pengesahan tersebut.

    Sebanyak delapan fraksi DPR RI menyetujui pengesahan UU HPP, yaitu PDIP, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, Demokrat, PAN, dan PPP. Sementara itu, Fraksi PKS menolak dengan alasan rencana kenaikan PPN berpotensi kontraproduktif terhadap pemulihan ekonomi nasional. PKS juga menyoroti kemungkinan penerapan pajak pada kebutuhan pokok, jasa kesehatan, pendidikan, pelayanan sosial, dan keagamaan, meskipun saat ini tarifnya masih 0 persen.

    Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada 2025 merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk memperkuat ekonomi nasional melalui peningkatan penerimaan negara, mengurangi ketergantungan pada utang, dan menyesuaikan dengan standar internasional. Meski demikian, pemerintah diingatkan untuk memastikan kebijakan ini tidak membebani masyarakat, terutama kelompok rentan, demi menjaga stabilitas ekonomi secara menyeluruh.

  • Kenaikan PPN 12 Persen Tak Signifikan bagi Penerimaan Negara dan Jadikan Dunia Usaha Kolaps, Benarkah? – Page 3

    Kenaikan PPN 12 Persen Tak Signifikan bagi Penerimaan Negara dan Jadikan Dunia Usaha Kolaps, Benarkah? – Page 3

    Terlepas segala dampak positif yang tercipta dari kenaikan PPN 12 persen, Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ariyo Irhamna membeberkan, terdapat beberapa cara yang dilakukan untuk meningkatkan penerimaan negara selain “membebani” masyarakat secara luas.

    “Pemerintah perlu memperluas basis pajak terlebih dahulu yang dapat dilakukan dengan mengintegrasikan sektor informal ke dalam sistem perpajakan, terutama dari sektor UMKM,” ujar Ariyo.

    “Saat ini, banyak UMKM yang belum terdata secara baik, meskipun sudah ada upaya digitalisasi dan pemerintah seharusnya bisa memanfaatkan data ini untuk memperluas basis pajak tanpa harus menaikkan tarif pajak (PPN),” jelasnya.

    Ariyo juga meminta pemerintah untuk meningkatkan efisiensi dan pengawasan pajak. Menurutnya, pendekatan terhadap penghindaran pajak dan praktik lainnya, terutama oleh perusahaan multinasional, harus diperketat. 

    “Perjanjian pajak internasional yang ada juga perlu dimanfaatkan dengan baik untuk menghindari kebocoran basis pajak,” ucanya.

    Ariyo pun mengungkapkan, restrukturisasi subsidi berupa penghematan dari efisiensi subsidi seperti subsidi listrik dan BBM, bisa dialihkan untuk menutup sebagian defisit tanpa mengurangi layanan kepada masyarakat. 

    “Subsidi yang lebih terarah, misalnya BLT, BBM melalui mekanisme voucher, dapat menjadi solusi agar bantuan lebih tepat sasaran dan tidak disalahgunakan,” ungkapnya.

    Selain itu, Ariyo mengusulkan agar pemerintah memperluas pajak barang mewah (PPnBM).

    “Barang-barang mewah seperti rumah dengan luas tertentu atau properti di lokasi premium bisa dikenakan PPnBM yang lebih tinggi,” ujarnya.

    “Namun, perlu diingat bahwa kenaikan tarif PPN yang baru ini dan PPnBM ini berbeda, sehingga pemerintah harus memastikan sosialisasi kebijakan tersebut dilakukan dengan jelas agar masyarakat memahami perbedaannya,” imbuh Ariyo.

     

    (*)