NGO: INDEF

  • Daya Beli Masyarakat RI Masih Rendah, Pemerintah Perlu Genjot Sektor Riil

    Daya Beli Masyarakat RI Masih Rendah, Pemerintah Perlu Genjot Sektor Riil

    Jakarta

    Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi sebesar 54,04% terhadap pertumbuhan ekonomi 2024 dan tumbuh 4,94%. Pertumbuhan ini lebih baik jika dibandingkan 2023 yang tumbuh 4,82%. Namun konsumsi rumah tangga RI ini dinilai masih rendah.

    Ekonom senior INDEF Tauhid Ahmad berpendapat, pertumbuhan konsumsi rumah tangga di bawah 5% ini mencerminkan daya beli masyarakat Indonesia masih lemah.

    “Kalau kita lihat, mengacu ke laporannya BPS, konsumsi rumah tangga kita belum bisa tembus di atas 5%” kata Tauhid dalam acara Outlook Ekonomi DPR dipersembahkan oleh Komisi XI DPR RI bersama detikcom dan didukung oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, PT Pertamina (Persero), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Jakarta, Rabu (5/2/2024).

    Tauhid berpendapat untuk bisa menaikkan konsumsi masyarakat ini, pemerintah harus menggenjot sektor-sektor riil. Sebab sektor inilah yang bisa secara langsung meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga daya beli bisa ikut meningkat.

    “Saya kira ini yang kemudian menjadi poin bagaimana pendekatan lain yang kemudian bisa meningkatkan daya beli. Daya beli ini yang perlu tadi mungkin disampaikan Pak CT (Chairul Tanjung), sektor riil ini yang seharusnya bisa bekerja,” terangnya.

    “Kita bersyukur memang ini ada upaya efisiensi (anggaran K/L), cuma kan alokasi ke sektor riil-nya ini belum disampaikan. Baru kita efisiensi ya. Memang sudah ada buat makan berisi gratis, tapi kalau nilainya hanya segitu, rasanya buat sektor riil belum tumbuh lebih besar,” sambung Tauhid.

    Tauhid mencontohkan pemerintah bisa memberikan bantuan atau tambahan insentif untuk sektor industri dalam negeri yang saat ini masih dalam tekanan. Contohnya industri tekstil dan alas kaki ataupun sektor padat karya lainnya.

    “Misalnya apa, untuk industri atau untuk apa yang kemudian bisa menumbuhkan lapangan pekerjaan baru atau pendapatan. Ini yang kemudian mungkin bisa dikeluarkan kebijakan-kebijakan baru dari yang sudah ada,” terang Tauhid.

    “Memang kemarin sudah ada paket insentif, tapi rasanya masih kurang untuk mendorong daya beli masyarakat tumbuh, terutama di menengah bawah. Apalagi bagi beberapa industri yang sekarang ini layoff. Tekstil kemudian alas kaki dan sebagainya,” jelasnya lagi.

    Belum lagi sejumlah sektor padat karya ini diperkirakan akan semakin tertekan imbas perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan sejumlah negara seperti Kanada, Meksiko, dan China. Membuat dorongan di sektor riil ini menjadi semakin penting untuk dilakukan.

    “Ini harus dibangkitkan lagi yang kemudian bisa (daya beli) tumbuh begitu. Jadi saya kira itu yang perlu dilakukan ya. Mungkin melalui mitra kerjanya, Komisi XI dengan pemerintah bagaimana ini bisa memperkuat pertumbuhan ya,” jelas Tauhid.

    Secara terpisah, sebelumnya Founder & Chairman CT Corp Chairul Tanjung menilai sektor riil perlu lebih diikutsertakan dalam bauran kebijakan ekonomi nasional. Terutama jika pemerintah saat ini benar-benar ingin mengejar target Indonesia Emas 2045.

    “Akan bagus kalau bauran kebijakan itu juga mengikutsertakan sektor riil. Jadi bauran kebijakan antara fiskal, moneter dan sektor riil inilah yang bisa membuat orkestrasi Indonesia menuju era emas 2045,” ujar CT.

    Pria yang akrab disapa CT ini mengungkapkan bahwa keikutsertaan sektor riil tersebut perlu dilakukan lantaran selama ini pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih banyak didorong oleh sektor rill dan investasi. Sementara itu, Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2025 hanya berkontribusi sebanyak 6-8%.

    (fdl/fdl)

  • Bahaya Perang Dagang AS-China, RI Bisa Kena Getahnya

    Bahaya Perang Dagang AS-China, RI Bisa Kena Getahnya

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menandatangani perintah kenaikan tarif impor terhadap Kanada, Meksiko, dan China. Kondisi ini dinilai akan memberikan dampak secara tidak langsung terhadap ekonomi Indonesia. Apa dampaknya?

    Ekonom senior INDEF Tauhid Ahmad menjelaskan, imbas perang dagang ini komoditas ekspor China berpotensi tidak akan diterima di sejumlah negara maju, termasuk AS. Akibatnya, Negeri Tirai Bambu itu harus mencari pasar baru di negara-negara berkembang.

    Menurutnya salah satu negara yang paling berpotensi menjadi sasaran pasar ekspor produk China adalah Indonesia. Jika itu benar terjadi, Tauhid mengatakan Indonesia bisa kebanjiran sejumlah komoditas impor.

    Parahnya, menurut Tauhid, China tidak akan segan-segan menjual produksi mereka dengan harga yang sangat murah. Akibatnya produksi dalam negeri akan kalah saing.

    “Ketika trade war, tentu terutama China yang akan banyak korban, itu dia akan mengeksplorasi banyak negara-negara berkembang yang produknya itu akan kalah punya daya saing,” kata Tauhid dalam acara Outlook Ekonomi DPR dipersembahkan oleh Komisi XI DPR RI bersama detikcom dan didukung oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, PT Pertamina (Persero), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Jakarta, Rabu (5/2/2024).

    “Bayangkan misalnya dia punya 100 juta ton besi baja, itu kalau di Amerika ditolak, di Meksiko ditolak, larinya ke kita dengan harga yang sangat murah,” sambungnya.

    Menurutnya, untuk mengatasi permasalahan ini pemerintah bisa memperkuat kebijakan anti-dumping. Begitu juga dengan upaya pengetatan impor ilegal oleh lembaga terkait seperti Bea Cukai.

    “Nah apakah kita siap memperkuat kebijakan anti-dumping atau produk lain? Saya kira sisi itu yang kemudian kita perkuat ya, dari sisi perdagangan,” ucapnya.

    “Bagaimana kemudian Bea Cukai juga berperan yang kemudian, ya semi-semi katakan legal ataupun ilegal ini, seringkali masuk dalam arus jasa atau rangkai nilai yang masuk dalam kehidupan sosial,” tambah Tauhid lagi.

    (fdl/fdl)

  • Indef Ungkap Alasan Perbedaan Gaji TKA Tinggi Dibandingkan Pekerja Indonesia

    Indef Ungkap Alasan Perbedaan Gaji TKA Tinggi Dibandingkan Pekerja Indonesia

    Jakarta, Beritasatu.com – Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menyebutkan alasan gaji tenaga kerja asing (TKA) yang lebih tinggi dibandingkan pekerja Indonesia di perusahaan lokal.

    Esther menyebutkan, perbedaan upah tersebut rata-rata disebabkan oleh skill pekerja yang belum bersaing. Adanya ketimpangan skill dan kompetensi antara tenaga kerja tersebut beriringan dengan pendapatan yang diterima.

    “Kalau itu karena standarnya sih. Jika memang mau, kita harus upgrade skill ya, sehingga kemampuan dan kompetensi kita sama dengan kemampuan TKA,” jelas Esther di Jakarta, Selasa (4/2/2025).

    Apabila skill dan kompetensi pekerja Indonesia sudah dapat bersaing dengan TKA, Esther menyebut negosiasi kontrak kerja bisa berlangsung selayaknya standar pasar ketenagakerjaan internasional.

    “Dari situ kita kan bisa argumentasi, soalnya orang Indonesia itu nerimo-nerimo (menerima) saja. Kalau saya suka argue gitu, kalau tidak benar (adil), saya akan argue gitu,” terang Esther dalam menanggapi gaji TKA yang tinggi.

    Sebelumnya, Direktur The Reform Initiative Wildan Syafitri membeberkan pengaruh kebijakan hilirisasi industri mineral terhadap perkembangan ekonomi lokal di Indonesia.

    Dalam risetnya, Wildan menuturkan masih terdapat kesenjangan upah yang diterima antara tenaga kerja asing dengan tenaga kerja Indonesia.

    Wildan mengatakan, melalui risetnya di dua wilayah berbeda yakni di Batam dan Konawe. Dalam temuan risetnya, Wildan menjelaskan kesenjangan upah yang terjadi dapat berbeda tujuh kali hingga 10 kali lipat antara TKA dengan pekerja Indonesia.

    “Jadi saya pernah menghitung itu hampir 10 kali lipat ya,” ujar Wildan dalam diskusi hasil riset bersama Indef di Jakarta Selatan, Senin (3/2/2025).

    Wildan bahkan mengatakan, ketimpangan upah ini juga terjadi apabila TKA bekerja di Indonesia berpendapatan lebih besar dibandingkan tenaga lokal.

    Sementara jika TKI bekerja di luar negeri pun akan mengalami hal yang sama bila dibandingkan dengan tenaga kerja domestik di negara tujuan.

    “Kalau misalnya orang Indonesia yang bekerja di luar negeri, di luar negeri pun ya dengan orang luar negeri yang bekerja di Indonesia itu sekitar 10 kali lipat,” ucapnya dalam menanggapi gaji TKA yang tinggi.

  • Gas 3 Kg Langka, DPR Sebut Ada Ketidaktepatan Distribusi LPG

    Gas 3 Kg Langka, DPR Sebut Ada Ketidaktepatan Distribusi LPG

    Bisnis.com, JAKARTA – Wakil Ketua Komisi XII DPR RI Sugeng Suparwoto menyebutkan soal distribusi gas LPG 3 Kg yang kurang tepat sasaran dan menjadi dilema kelas menengah saat ini. 

    Awalnya, Sugeng menyarankan agar sub pangkalan yang menyalurkan gas LPG ke pengecer perlu mengidentifikasi lebih jelas mengenai siapa saja yang membeli LPG tersebut. 

    “Jangan lagi sampai tingkat sub pangkalan, pengecer menjadi barang bebas. Ingat ini adalah barang subsidi, harus sampai ke alamat yang disyaratkan,” tutur Sugeng kepada wartawan, ketika ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (4/1/2025). 

    Sugeng kemudian mengutip data LPEM Ul yang menunjukkan tingkat kebocoran kurang lebih 57%. Pihaknya juga terkejut kala INDEF mengolah dengan BPS, dan menunjukkan ketidaktepatan sasaran hingga 62%. 

    “Artinya yang menikmati subsidi LPG 3 kg itu kelas menengah, tetapi begini, situasi menengah hari ini bukan kita tidak empati, kelas menengah hari ini sedang mengalami problem juga sampai turun di Bulan Desember yang lalu,” jelas Sugeng. 

    Pasalnya pada Desember lalu, 11 juta kelas menengah Tanah Air menurun ke kelas bawah. Namun, lagi-lagi menegaskan bahwa hal ini juga tidak bisa dibenarkan secara Undang-Undang. 

    Di lain sisi, dalam konferensi pers Komisi XII DPR RI tersebut, diungkapkan bahwa Komisi XII DPR RI mengapresiasi kebijakan Presiden Prabowo Subianto untuk tetap mengaktifkan kembali pengecer LPG 3 kg bersubsidi per hari ini dalam rangka tetap menjaga rantai distribusi ke masyarakat. 

    Terlebih, pihaknya juga mendukung langkah Pemerintah untuk melakukan perbaikan sistem tata kelola pendistribusian gas 3 kg agar lebih tepat sasaran. Namun hal tersebut juga dilakukan dengan tetap memperhatikan rantai pasok dan distribusi tetap stabil untuk masyarakat.

  • Pakar hingga DPR Bakal Kupas Tuntas Outlook Ekonomi dan Peran APBN 2025

    Pakar hingga DPR Bakal Kupas Tuntas Outlook Ekonomi dan Peran APBN 2025

    Jakarta

    Situasi ekonomi global dan domestik pada 2025 diperkirakan akan menghadapi tantangan besar. Ketidakpastian ekonomi global akibat konflik geopolitik, ketegangan dagang, dan perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia akan mempengaruhi stabilitas ekonomi Indonesia.

    Melihat kondisi tersebut, Direktur & Founder Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan tahun 2025 pertumbuhan ekonomi cukup menantang jadi proyeksinya hanya mencapai 4,7% year on year.

    “Kalau ingin capai 5,2% maka kunci nya pulihkan konsumsi rumah tangga khususnya kelompok menengah, porsi sektor industri manufaktur terhadap PDB harus di atas 21%, lindungi UMKM dari banjir impor terutama saat perang dagang AS China, pangkas anggaran harus terarah dan efektif tidak kontra produktif karena belanja pemerintah dibutuhkan untuk dorong pertumbuhan,” kata Bhima kepada detikcom, Selasa (4/2/2025).

    Untuk memperkuat ikat pinggang ekonomi dalam negeri, peran APBN juga dibutuhkan. Di sisi lain, terdapat kebijakan pemangkasan APBN untuk berbagai keperluan. Lantas, apakah kondisi itu akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia?

    Bhima mengatakan efisiensi anggaran pemerintah terkait belanja seremonial maupun ATK hingga sewa kendaraan merupakan langkah positif untuk tingkatkan ruang fiskal. Misalnya soal belanja rapat dan seminar memang bisa digantikan dengan rapat online, jauh lebih murah dan efektif.

    “ATK juga bisa digantikan dengan tanda tangan dokumen secara digital dan ramah lingkungan juga tidak boros kertas. Selama ini beban belanja birokrasi cukup disorot karena menyumbang pelebaran defisit APBN dan tambahan utang pemerintah,” ucapnya.

    Di sisi lain efek negatif ke bisnis, Meeting, Incentives, Convention and Exhibition juga signifikan. Menurutnya sebagian besar pelaku usaha MICE andalkan pendapatan dari event pemerintah. Bahkan paska pandemi kondisi pendapatan dari sektor MICE belum sepenuhnya pulih.

    “Khawatir ada risiko phk di sektor jasa akomodasi dan makan minum imbas efisiensi belanja pemerintah. Dampak ekonomi dari berkurangnya pendapatan sektor MICE mencakup potensi kehilangan lapangan kerja 104.000 orang. Sementara dari sisi PDB setidaknya potensi MICE terancam hingga Rp 103,9 triliun,” jelasnya.

    Dihubungi terpisah, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2025 diproyeksikan berada di kisaran 4,8% – 5%, lebih rendah dari target pemerintah yang sebesar 5,2%.

    “Hal ini mencerminkan tantangan besar yang dihadapi perekonomian Indonesia, baik dari sisi eksternal, seperti kebijakan proteksionisme AS dan pelemahan permintaan dari negara tujuan ekspor utama, maupun domestik, di mana pelemahan konsumsi kelas menengah dan kebijakan fiskal yang berpotensi menekan daya beli turut menambah beban,” ungkapnya.

    Untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, Yusuf mengatakan pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis, salah satunya dengan mereformulasi kebijakan fiskal agar lebih pro-pertumbuhan dan mendukung daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah.

    “Penyesuaian kebijakan pajak, seperti peninjauan kembali kenaikan PPN, perlu dipertimbangkan agar tidak semakin menekan daya beli. Selain itu, pengembangan infrastruktur harus difokuskan pada penciptaan efek pengganda ekonomi, dengan meningkatkan konektivitas dan efisiensi distribusi barang untuk menurunkan biaya produksi dan meningkatkan daya saing,” terangnya.

    Yusuf mengatakan pemerintah juga perlu mendorong sinergi antara BUMN, swasta, dan UMKM untuk menciptakan ekonomi inklusif yang memperkuat daya tahan ekonomi domestik, mengurangi ketergantungan pada impor, dan memperluas pasar domestik.

    “Untuk mendukung ini, kebijakan moneter yang cenderung ketat harus ditinjau agar memberikan ruang bagi konsumsi dan investasi, dengan langkah-langkah seperti penurunan suku bunga,”pungkasnya.

    Kondisi ekonomi dan peran APBN 2025 akan dikupas tuntas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hingga pakar nasional. Pembahasan oulook ekonomi akan dilakukan bersama Chairman CT Corp Chairul Tanjung dan Ketua Komisi XI Mukhamad Misbakhun dalam acara “OUTLOOK EKONOMI DPR : Bedah APBN 2025 Membangun Kepercayaan Pasar “.

    Dimoderatori Pemimpin Redaksi detikcom, Alfito Deannova, pada Panel Discussion bertema “Program Pemerintah Pro Pasar”, Chairul Tanjung atau akrab disapa CT akan membahas bagaimana kebijakan APBN 2025 dapat mendorong pertumbuhan sektor swasta dan meningkatkan investasi domestik.

    CT juga akan berbagi insight tentang seberapa penting insentif pajak dan penyederhanaan regulasi untuk meningkatkan daya tarik investasi hingga pentingnya kolaborasi pemerintah dan sektor swasta untuk memastikan kebijakan pro pasar berjalan efektif.

    Di tengah tren inflasi, CT akan membagikan tips bagaimana pengusaha menyikapi tren agar tidak mengurangi daya beli masyarakat. CT juga akan membahas seputar faktor dan kunci apa saja yang diperlukan dalam membangun kepercayaan investor terhadap ekonomi Indonesia di tengah tantangan global.

    Sementara itu Mukhamad Misbakhun akan berbicara seputar peran PPN dan Pajak Progresif, Evaluasi kebijakan PPN, dampaknya pada daya beli masyarakat, dan upaya meringankan beban kelas menengah ke bawah.

    Misbakhun juga akan membeberkan subsidi tepat sasaran sebagai strategi mengoptimalkan subsidi energi, pupuk, dan pangan agar lebih efektif membantu masyarakat rentan. Kemudian, langkah-langkah DPR dalam mendukung pemerintah menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok melalui inflasi.

    Tak hanya itu, Misbakhun juga akan membahas stabilitas nilai tukar dan dampaknya pada harga barang di mana DPR mendorong kebijakan moneter yang dapat meredam pelemahan Rupiah terhadap dolar AS. Selanjutnya, akan dibahas mengenai PPN dan Penerimaan Negara yang membahas sejauh mana kenaikan PPN bisa berkontribusi terhadap APBN tanpa menekan konsumsi masyarakat.

    Seluruh pembahasan menarik ini dapat disaksikan melalui “OUTLOOK EKONOMI DPR : Bedah APBN 2025 Membangun Kepercayaan Pasar”, yang akan digelar pada 5 Februari 2025 di Astor Ballroom St. Regis Jakarta pukul 12:00 – 15:00 WIB.

    Acara tersebut juga bakal diisi dengan sejumlah pakar yang berkompeten lainnya, yakni Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Mohamad Hekal Bawazier dan Senior Ekonom INDEF Tauhid Ahmad.

    Outlook Ekonomi DPR dipersembahkan oleh Komisi XI DPR RI bersama detikcom dan didukung oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, PT Pertamina (Persero), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.

    (ada/rrd)

  • Pakar hingga DPR Bakal Kupas Tuntas Outlook Ekonomi dan Peran APBN 2025

    Tantangan Besar Genjot Ekonomi RI Tumbuh 5% Tahun Ini

    Jakarta

    Pemerintah berusaha menjaga sekaligus menggenjot pertumbuhan ekonomi di tengah kondisi ekonomi dunia yang tidak menentu. Lantas, bisakah ekonomi Indonesia 2025 tumbuh melampaui level 5%, atau justru masih tetap di kisaran yang sama?

    Beberapa ekonom pun memberikan pandangannya. Menurut perkiraan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad, pertumbuhan ekonomi masih tetap di level 5%

    Alasannya, pertama, kondisi eksternal dari berbagai kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump juga ikut mempengaruhi.

    “Karena kan pemerintah menentukan Oktober, pada waktu itu kan ya kebijakan Trump mungkin masih ragu-ragu. Tapi kan saat ini Trump sudah mengenakan tarif kepada Meksiko, Kanada, China. Apa lagi ada ancam dengan BRICS, berarti saya kira itu salah satu faktor yang membuat ekonomi kita 5% aja sudah bagus sekali,” ujar Tauhid kepada detikcom, Senin (3/2/2025)

    Kedua, Tauhid menilai program pemerintah belum bisa berjalan efektif mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, dari sisi anggaran saja, pemerintah melakukan penyesuaian APBN yang berujung pada pemotongan.

    “Ada penyesuaian dan sebagainya, pasti di tahun-tahun awal ya jalannya nggak begitu cepat lah. Itu nggak bisa langsung gaspol, sehingga peranan dari government expenditure itu pasti relatif turun di 2025. Jadi, saya kira paling tinggi sih 5% lah bisa dicapai, tapi kalau 5,1% atau 5,2% kayaknya agak berat ya,” papar Tauhid.

    Sementara itu menurut Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira pertumbuhan ekonomi 2025 justru di bawah 5%. Prediksi Bhima adalah 4,7%

    “Outlook ekonomi 2025 pertumbuhan ekonomi hanya 4,7% YoY dibawah target pemerintah 5,2%,” kata Bhima.

    Pemicunya beban utang pemerintah, rasio pajak rendah, daya beli turun dan gagal menarik investasi di era perang dagang. Selain itu, program Makan Bergizi Gratis (MBG) dinilai meningkatkan beban belanja pemerintah.

    “Soal beban utang terkait dengan utang warisan era Jokowi yang membuat Prabowo harus membayar Rp 552 triliun untuk belanja pembayaran bunga utang. Selain itu utang jatuh tempo Rp 800 triliun. Sejauh ini Menteri Keuangan tidak memiliki senses of urgency untuk menyelesaikan masalah utang,” tutur Bhima.

    “MBG juga sebabkan peningkatan beban belanja pemerintah. Sementara sistem tata kelolanya sentralisasi dengan pelibatan dapur umum militer. Awalnya MBG berguna untuk dorong pelaku UMKM tapi sejauh ini belum efektif,” sambung Bhima.

    Di sisi lain Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah memprediksi pertumbuhan ekonomi pada 2025 nanti masih bisa mencapai angka di atas 5% atau lebih. Namun, trgantung pada bagaimana pemerintah menjalankan berbagai program unggulannya.

    Cuma, menurut Piter program pemerintah yang sudah berjalan saat ini belum menunjukkan hasil yang cukup memuaskan.

    “Jangankan segitu, 6% saja bisa tercapai. Tapi hingga saat ini belum kelihatan ada program-program yang bisa mendobrak pertumbuhan ekonomi ini,” kata Piter.

    “Jadi pertumbuhan pertumbuhan ekonomi ini bergantung pada bagaimana pemerintah ke depan apakah bisa membuat gebrakan,” tegasnya lagi.

    Tonton juga Video: Januari 2025, BI Rate Turun 5,75%

    (hns/hns)

  • Anak Buah BahlilWaspada Ketimpangan Hilirisasi, Apa Saja? – Page 3

    Anak Buah BahlilWaspada Ketimpangan Hilirisasi, Apa Saja? – Page 3

    Sebelumnya, Institute for Development of Economic and Finance (Indef) mencatat keuntungan yang bisa didapat Indonesia dari proses hilirisasi tembaga. Bahkan, Indonesia bisa untung 39 kali lipat jika tembaga diekspor tak cuma sebagai bahan mentah.

    Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti mengungkapkan peluang tersebut. Menurutnya, Indonesia bisa mengambil peran dalam ekspor produk turunan tembaga yang jadi buruan pasar internasional.

    “Sehingga ini merupakan peluang Indonesia untuk tidak mengekspor hanya dalam bentuk tembaga mentah, tapi bisa diolah dulu, bisa diolah jadi katoda, CU Rod, kemudian wire CU, dan electric wire,” kata Esther dalam Diskusi Hasil Riset: Tantangan dan Implikasi Hilirisasi Mineral di Indonesia, di Jakarta, Senin (3/2/2025).

    Dia menjelaskan, pengolahan temabaga mentah menjadi produk turunannya bisa meningkatkan nilai tambah. Bukan hanya ke kas negara, tapi juga terhadap dampak ekonomi lainnya.

    Esther mencoba menghitung nilai tambah dari sisi harga jual antara tembaga sebagai barang mentah dan setelah diolah. Misalnya, jika tembaga diolah jadi katoda, harganya bisa naik 3,9 kali lipat.

    Peningkatan Nilai Tambah

    Angka lebih besar bisa didapat jika diolah lagi menjadi produk lainnya. Seperti CU Rod, CU wire, hingga produk jadi electric wire. Untuk produk paling hilir, electric wire, nilai tambahnya bisa meningkat hingga 39 kali lipat.

    Disini kalau kita lihat, ada manfaatnyavjuga ketika hanya dijual dalam bahan mentah ya tembaga yang mentah maka ini nilainya biasa saja.

    “Ketika diolah menjadi CU Katoda ini nilainya menjadi berlipat ganda 3,9 kali artinya hampir 4 kali lipat dari sisi harga. Kemudian kalau diolah menjadi CU Rod menjadi CU wire ini sekitar 24 kali lipat, apalagi kalau diolah electric wire itu sekitar 39 kali lipat,” terang dia.

    “Jadi sangat menguntungkan ketika tembaga itu diekspor tak sebagai bahan mentah, tetapi diolah dulu,” sambungnya.

     

  • Indonesia Bisa Cuan dari Hilirisasi Tembaga, Nilai Tambah Capai 39 Kali Lipat – Page 3

    Indonesia Bisa Cuan dari Hilirisasi Tembaga, Nilai Tambah Capai 39 Kali Lipat – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Institute for Development of Economic and Finance (Indef) mencatat keuntungan yang bisa didapat Indonesia dari proses hilirisasi tembaga. Bahkan, Indonesia bisa untung 39 kali lipat jika tembaga diekspor tak cuma sebagai bahan mentah.

    Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti mengungkapkan peluang tersebut. Menurutnya, Indonesia bisa mengambil peran dalam ekspor produk turunan tembaga yang jadi buruan pasar internasional.

    “Sehingga ini merupakan peluang Indonesia untuk tidak mengekspor hanya dalam bentuk tembaga mentah, tapi bisa diolah dulu, bisa diolah jadi katoda, CU Rod, kemudian wire CU, dan electric wire,” kata Esther dalam Diskusi Hasil Riset: Tantangan dan Implikasi Hilirisasi Mineral di Indonesia, di Jakarta, Senin (3/2/2025).

    Dia menjelaskan, pengolahan temabaga mentah menjadi produk turunannya bisa meningkatkan nilai tambah. Bukan hanya ke kas negara, tapi juga terhadap dampak ekonomi lainnya.

    Esther mencoba menghitung nilai tambah dari sisi harga jual antara tembaga sebagai barang mentah dan setelah diolah. Misalnya, jika tembaga diolah jadi katoda, harganya bisa naik 3,9 kali lipat.

    Angka lebih besar bisa didapat jika diolah lagi menjadi produk lainnya. Seperti CU Rod, CU wire, hingga produk jadi electric wire. Untuk produk paling hilir, electric wire, nilai tambahnya bisa meningkat hingga 39 kali lipat.

    Disini kalau kita lihat, ada manfaatnyavjuga ketika hanya dijual dalam bahan mentah ya tembaga yang mentah maka ini nilainya biasa saja.

    “Ketika diolah menjadi CU Katoda ini nilainya menjadi berlipat ganda 3,9 kali artinya hampir 4 kali lipat dari sisi harga. Kemudian kalau diolah menjadi CU Rod menjadi CU wire ini sekitar 24 kali lipat, apalagi kalau diolah electric wire itu sekitar 39 kali lipat,” terang dia.

    “Jadi sangat menguntungkan ketika tembaga itu diekspor tak sebagai bahan mentah, tetapi diolah dulu,” sambungnya.

     

  • Prabowo Pangkas Anggaran Infrastruktur, Ini Dampak yang Bisa Terjadi

    Prabowo Pangkas Anggaran Infrastruktur, Ini Dampak yang Bisa Terjadi

    JAKARTA – Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyampaikan, sederet dampak yang bakal terjadi dari kebijakan pemangkasan anggaran infrastruktur di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

    Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti menyayangkan langkah pemerintah melakukan pemangkasan anggaran infrastruktur. Mengingat, belanja infrastruktur sendiri dinilai mampu mendorong belanja modal negara hingga menggerakkan roda perekonomian nasional.

    Selain itu, pembangunan infrastruktur juga memberikan dampak positif terhadap kemajuan industri di berbagai sektor lainnya.

    “Kalau menurut saya, pemotongan anggaran infrastruktur seharusnya disayangkan karena belanja infrastruktur bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang,” ujar Esther kepada VOI, Senin, 3 Februari.

    Terlebih, kata Esther, pembangunan infrastruktur juga dapat mendorong investasi masuk ke Indonesia.

    Menurut dia, apabila sektor ini terabaikan, nantinya berisiko terjadi pelemahan daya saing hingga menyulitkan Indonesia untuk menarik minat para investor baik dalam maupun luar negeri.

    “Infrastruktur ini juga bisa mendorong investasi masuk ke Indonesia, seperti infrastruktur penyediaan air, listrik dan energi,” ucapnya.

    Dia tak menampik bahwa tujuan utama dari pemangkasan anggaran di sektor infrastruktur ini bertujuan untuk menyokong anggaran makan bergizi gratis (MBG) yang merupakan program andalan Presiden Prabowo Subianto.

    “Sepertinya fokus pemerintah saat ini ke program MBG,” imbuhnya.

    Sekadar informasi, sejumlah kementerian dan lembaga (k/l) di bawah Kemenko Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (IPK) tercatat terdampak pemangkasan anggaran yang cukup signifikan.

    Kementerian Pekerjaan Umum (PU) yang fokus membangun proyek-proyek infrastruktur dilaporkan terimbas pemangkasan anggaran hingga 80 persen atau sekitar Rp81 triliun dari total pagu Rp110,95 triliun. Dengan demikian alokasi anggaran Kementerian PU hanya tersisa Rp29,95 triliun.

    Lalu, Kementerian ATR/BPN juga terdampak efisiensi anggaran sebesar Rp2,6 triliun dari pagu anggaran 2025 yang sebesar Rp6,4 triliun. Adapun pemangkasan anggaran Kementerian ATR/BPN sendiri mencapai 35 persen dari total pagu.

    Selain itu, Badan Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) juga mengalami efisiensi anggaran sebesar Rp4,8 triliun atau sekitar 75 persen dari anggaran semula Rp6,3 triliun.

  • Prabowo Pangkas Anggaran Infrastruktur, Ekonom Wanti-Wanti Dampaknya

    Prabowo Pangkas Anggaran Infrastruktur, Ekonom Wanti-Wanti Dampaknya

    Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengungkap sederet dampak yang bakal terjadi dari kebijakan pemangkasan anggaran infrastruktur yang dilakukan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

    Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti menyayangkan langkah pemerintah melakukan pemangkasan anggaran infrastruktur. Pasalnya, belanja infrastruktur sendiri dinilai mampu mendorong belanja modal negara hingga menggerakkan roda perekonomian nasional.

    Selain itu, pembangunan infrastruktur juga memberikan dampak positif terhadap kemajuan industri di berbagai sektor lainnya.

    “Kalau menurut saya pemotongan anggaran infrastruktur seharusnya disayangkan karena belanja infrastruktur bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang,” kata Esther kepada Bisnis, Minggu (2/2/2025).

    Terlebih, tambah Esther, pembangunan infrastruktur juga dapat mendorong investasi untuk dapat masuk ke Indonesia. 

    Menurutnya, apabila sektor ini terabaikan, maka berisiko terjadi pelemahan daya saing hingga menyulitkan Indonesia untuk menarik minat para investor baik dalam maupun luar negeri.

    “Infrastruktur ini juga bisa mendorong investasi masuk ke Indonesia. Seperti infrastruktur penyediaan air, listrik dan energi,” pungkasnya.

    Untuk diketahui, sejumlah Kementerian dan Lembaga (K/L) di bawah Kemenko bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (IPK) tercatat terdampak pemangkasan anggaran yang cukup signifikan.

    Kementerian Pekerjaan Umum (PU) yang fokus membangun proyek-proyek infrastruktur dilaporkan terimbas pemangkasan anggaran hingga 80% atau sekitar Rp81 triliun dari total pagu Rp110,95 triliun. Dengan demikian alokasi anggaran Kementerian PU hanya tersisa Rp29,95 triliun.

    Kemudian, Kementerian ATR/BPN juga terdampak efisiensi anggaran sebesar Rp2,6 triliun dari pagu anggaran 2025 yang berada diangka Rp6,4 triliun. Di mana, pemangkasan anggaran Kementerian ATR/BPN sendiri mencapai 35% dari total pagu.

    Tidak hanya itu, Badan Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) juga mengalami efisiensi anggaran sebesar Rp4,8 triliun atau sekitar 75% dari anggaran semula Rp6,3 triliun.