NGO: INDEF

  • Industri Rokok jadi Tulang Punggung Capai Target Pertumbuhan Ekonomi 8% – Page 3

    Industri Rokok jadi Tulang Punggung Capai Target Pertumbuhan Ekonomi 8% – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Industri Hasil Tembakau (IHT) telah lama menjadi salah satu pilar penting perekonomian Indonesia. Tidak hanya berkontribusi besar terhadap penerimaan negara melalui cukai, IHT juga memberikan dampak positif dalam penyerapan tenaga kerja. Kalangan praktisi menilai bahwa IHT dapat berperan sebagai sektor strategis nasional yang dapat mendukung target pertumbuhan ekonomi 8%.

    Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti mengatakan bahwa IHT telah lama menjadi salah satu tulang punggung penerimaan negara. Esther secara khusus menyebut bahwa IHT selama ini menjadi kontributor utama dalam penerimaan cukai secara nasional.

    “Karena IHT jadi backbone penerimaan cukai, jadi menurut saya memang sudah jelas kontribusi IHT bagi pertumbuhan ekonomi,” ungkapnya.

    Menurut Esther, pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan yang tepat agar IHT dapat berperan optimal di tengah ketidakpastian ekonomi dan mendukung pertumbuhan ekonomi.

    Kenaikan tarif cukai yang terus-menerus, pada batasan tertentu, tidak akan menaikkan penerimaan negara, tetapi justru menurunkan penerimaan. “Di mana kondisi penjualan sulit, kalau cukai naik, malah mereka melakukan efisiensi (layoff) tenaga kerja, malah ada pengangguran, malah mengurangi pertumbuhan ekonomi,” tambah Esther.

    Esther berharap sektor padat karya seperti IHT bisa mendapatkan perlindungan dari pemerintah melalui kebijakan yang seimbang guna memastikan keberlanjutannya serta kontribusinya bagi perekonomian. Ia menekankan bahwa sektor ini setidaknya dapat menyerap tenaga kerja lebih maksimal.

    “Perekonomian kan lagi lesu. Paling tidak, IHT ini bisa menampung tenaga kerja lebih banyak,” ujarnya.

     

  • Elpiji Selalu Jadi Beban Subsidi, Ekonom Sarankan Pemerintah Perluas Infrastruktur Jargas – Halaman all

    Elpiji Selalu Jadi Beban Subsidi, Ekonom Sarankan Pemerintah Perluas Infrastruktur Jargas – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA  – Upaya mempercepat perluasan dan pembangunan jaringan distribusi gas bumi untuk rumah tangga (Jargas) perlu segera diwujudkan. Dalam jangka pendek, langkah ini akan membantu perekonomian negara akibat terus membengkaknya beban keuangan akibat ketergantungan elpiji impor yang konsumsinya terus bertambah.

    ”Secara policy, setuju untuk Jargas ini segera diakselerasi, terutama di kota-kota besar yang secara penduduknya banyak dan beragam tingkat ekonominya,” ucap Ekonom Universitas Indonesia (UI) Berly Martawardaya dikutip dari keterangan pers tertulis, Kamis, 13 Februari 2025.

    Secara realistis, Berly yang juga ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengatakan Jargas tidak akan langsung menggantikan eksistensi elpiji. Akan tetapi penting untuk segera dijalankan peningkatan infrastrukturnya sehingga mengurangi ketergantungan terhadap elpiji yang bersumber dari impor.

    Jargas bisa mengoptimalkan sumber energi gas bumi di dalam negeri sehingga positif secara jangka panjang. Sekalipun biaya investasi di awal untuk pembangunan infrastrukturnya tidak murah.

    ”Investasi awal mahal artinya sebagai Capex (Capital expenditure/belanja modal) tapi nanti Opex (Operational expenditure/belanja operasional)nya rendah. Menghemat secara jangka panjang. Dalam 5 tahun sudah terlihat penghematannya,” jelasnya.

    Komitmen penuh dari pemerintah sangat dibutuhkan untuk memperluas pemanfaatan Jargas supaya terjadi kesepahaman dan keselerasan dengan pemerintah daerah (Pemda). Perbedaan kebijakan di Pemda, menurutnya, kerap menjadi hambatan pembangun infrastruktur termasuk untuk energi.

    ”Yang belum saya lihat ini memang pemda atau pemerintah kota juga harus support. Ini yang seringkali jadi tantangan. Jadi planning-nya ini harus matang,” ucapnya.

    Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, mengungkapkan bahwa ketergantungan terhadap elpiji impor merupakan salah satu permasalahan utama di sektor energi. Sebab kemampuan produksi elpiji di dalam negeri hanya 1,4 juta ton sedangkan konsumsinya mencapai 8 juta per ton per tahun. 

    Selisih yang jumlahnya sangat besar itu kemudian diatasi melalui impor. ”Impor kita sekitar 6 sampai 7 juta ton per tahun,” ujarnya di Kementerian ESDM, baru-baru ini.

    Program Jargas, lanjut Bahlil, akan dioptimalkan untuk menutupi gap antara kemampuan produksi dengan konsumsi elpiji itu. ”Setidaknya kita akan dorong pada gasifikasi untuk jargas. Jaringan gas kepada rumah rakyat,” tegasnya.

    Hal itu sejalan dengan upaya sebelumnya dimana Pemerintah berupaya meningkatkan pemanfaatan gas untuk dalam negeri sehingga pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2020-2024, pembangunan Jargas termasuk salah satu proyek strategis nasional. 

    Jargas nantinya juga bermanfaat mengurangi defisit neraca perdagangan migas mencapai Rp2,64 triliun per tahun.

    Hingga akhir 2024, menurut data ESDM, total Jargas telah mendekati 1 juta Sambungan Rumahtangga (SR).

    Dari angka tersebut, sebanyak lebih dari 820 ribu atau setara 84 ribu metrik ton LPG di antaranya dikelola oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) sebagai badan usaha yang mendapatkan penugasan pembangunan Jargas ke rumah tangga.

    Selain itu, Bahlil menyebut Presiden Prabowo Subianto juga telah memberi arahan untuk mengurangi impor elpiji melalui pengembangan propana (C3) dan butana atau C4.(tribunnews/fin)

  • Serap Banyak Tenaga Kerja, Industri Tembakau Harus Dilindungi – Page 3

    Serap Banyak Tenaga Kerja, Industri Tembakau Harus Dilindungi – Page 3

    Sebelumnya, peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024, serta wacana kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek yang tertera pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) terus mendapat kritikan tajam. Menyusul adanya ancaman perlambatan pertumbuhan ekonomi, hingga potensi kehilangan penerimaan negara hingga ratusan triliun rupiah.

    Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho, mengatakan bahwa dampak ekonomi yang hilang atas rencana kebijakan penyeragaman kemasan rokok polos tanpa identitas merek dapat mencapai Rp 308 triliun.

    Menurut dia, rencana aturan tersebut juga akan meningkatkan peredaran rokok ilegal di masyarakat. Tanpa merek dan identitas yang jelas, produk ilegal akan lebih mudah menyerupai produk legal di pasaran.

    “Produsen rokok ilegal tidak perlu lagi repot memikirkan desain kemasan yang kompleks. Dengan aturan kemasan tanpa identitas merek, mereka bisa langsung memasukkan produknya ke pasar, dan pemerintah akan kesulitan dalam pengawasan serta identifikasi produk,” ujarnya, Kamis (7/11/2024).

    Dari sisi penerimaan negara, Andry melanjutkan, ada potensi hilangnya Rp 160,6 triliun, atau sekitar 7 persen dari penerimaan pajak jika aturan itu disahkan. Jika regulasi ini diterapkan, target penerimaan negara sebesar Rp 218,7 triliun untuk tahun ini kemungkinan besar tidak akan tercapai.

    Pasalnya, lanjut Andry, industri hasil tembakau merupakan salah satu penyumbang signifikan bagi Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Sebelum pandemi Covid-19, industri ini menyumbang hingga 6,9 persen terhadap PDB, namun angka ini terus menurun setiap tahunnya.

     

  • Proyek IKN Terancam Mangkrak usai Pemblokiran Anggaran, Indef Usulkan Jadi Ibukota Provinsi Kaltim

    Proyek IKN Terancam Mangkrak usai Pemblokiran Anggaran, Indef Usulkan Jadi Ibukota Provinsi Kaltim

    FAJAR.CO.ID — Proyek mercusuar mantan Presiden Jokowi yakni Ibu Kota Nusantara atau IKN terancam mangkrak setelah pemblokiran anggaran di Kementerian Pekerjaan Umum. Proyek IKN ini memerlukan anggaran jumbo, tetapi investor asing maupun lokal yang digadang-gadang membiayai tak kunjung datang.

    Pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Prof Didin S Damanhuri menilai proyek pembangunan IKN untuk kepentingan yang sangat sempit tanpa studi kelayakan memadai. Proyek IKN dengan investasi Rp466 triliun yang kini hanya mengharap APBN sekadar personal legacy Jokowi.

    “Saya selaku akademisi sudah menentang IKN sejak awal. Itu karena tak ada studi kelayakan dan perencanaan matang. Saya juga salah satu yang menggugat UU IKN ke Mahkamah Konstitusi (MK),” kata Prof Didin dalam Diskusi Publik dan Peresmian Ruang baca Faisal Basri bertajuk Merekam Gagasan Faisal Basri di Jakarta, Jumat (7/2/2025).

    Alasannya IKN bakal bernasib mangkrak di masa depan, karena butuh anggaran yang sangat besar. Di sisi lain, investor asing yang disebut antre untuk masuk di proyek IKN justru tak kunjung terealisasi.

    Awalnya, Presiden Jokowi menyebut Softbank akan mendanai proyek IKN, namun nyatanya hengkang.

    “Mereka punya intelijen ekonomi yang melihat proyek IKN tak punya potensi cuan yang menggiurkan. Kalau investor lokal yang kabarnya masuk ke IKN, karena ada tawaran lain,” ungkapnya.

    Prof Didin memprediksi anggaran kelanjutan pembangunan IKN bakal tersendat, bahkan besar peluang disetop. Banyak sarana dan prasarana IKN yang juga bakal tak terbangun.

  • IKN Terancam Mangkrak, Pendiri Indef Usulkan Jadi Tempat ‘Leyeh-leyeh’ Presiden

    IKN Terancam Mangkrak, Pendiri Indef Usulkan Jadi Tempat ‘Leyeh-leyeh’ Presiden

    GELORA.CO – Pemblokiran anggaran untuk pembangunan megaproyek Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur (Kaltim), semakin memojokkan proyek mercusuar dari mantan Presiden Jokowi itu. Sejumlah ekonom senior menilai, potensi mangkrak membesar.

    Pendiri Indef (Institute for Development of Economics and Finance), Prof Didin S Damanhuri menyebut proyek IKN yang investasinya mencapai Rp466 triliun adalah personal legacy dari Jokowi. Jadi kepentingannya sangat sempit.

    “Dan sejak awal saya selaku akademisi yang menentang IKN. Karena tak ada studi kelayakan dan perencanaan matang. Saya juga salah satu gugat UU IKN ke Mahkamah Konstitusi (MK),” ungkap Prof Didin dalam Diskusi Publik dan Peresmian Ruang baca Faisal Basri bertajuk Merekam Gagasan Faisal Basri di Jakarta, Jumat (7/2/2025).

    Dia pun meyakini besarnya potensi IKN menjadi proyek mangkrak di masa depan. Alasannya, konsep pembangunan IKN memerlukan anggaran jumbo. Sayangnya, investor yang digadang-gadang, tak kunjung datang.

    “Ingat Softbank hengkang dari IKN. Karena mereka punya intelijen ekonomi yang melihat proyek IKN tak punya potensi cuan yang menggiurkan. Kalau investor lokal yang kabarnya masuk ke IKN, karena ada tawaran lain,” ungkapnya.

    Dia menduga, anggaran untuk melanjutkan pembangunan IKN, bakal tersendat-sendat. Bisa jadi malah disetop. Artinya, banyak sarana dan prasarana IKN yang tak terbangun. Karena istananya sudah jadi, IKN bisa menjadi tempat istirahat atau ‘leyeh-leyeh’ kepala negara, atau menjadi ibu kota Provinsi Kaltim.

    Ekonom senior Fadhil Hasan yang juga pendiri Indef, punya pandangan senada. Maklumlah, Fadhil termasuk yang menggugat judicial review (JR) UU IKN ke Mahkamah Konstitusi (MK).

    “Saya termasuk yang mengajukan judicial review UU IKN. Saya juga saksi ahli di sidang MK. Pernah jadi narasumber di Komisi II DPR saat Menyusun UU IKN.  Kala itu saya sampaikan penolakan,” kata Fadhil.

    Sejak awal, Fadhil menilai, proyek IKN tidak visible dan jauh dari suistanable. Tiap tahun selalu mengganggu APBN. Membabat hutan tanpa upaya pembenahan. “Tidak memiliki kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), Dan, masyarakat adat termarjinalkan gara-gara proyek ini,” imbuhnya.

    Dari catatan Fadhil, duit negara yang digelontorkan untuk pembangunan IKN diputuskan 20 persen dari total investasi Rp466 triliun. Atau setara Rp93,2 triliun. Namun realisasinya justru lebih gede dari kesepakatan itu.

    “Selama 2 atau 3 tahun, APBN digelontorkan Rp75,6 triliun untuk IKN. Janji semula 20 persen dari Rp466 triliun, sekitar Rp90 triliun. Sekarang dianggarkan Rp48 triliun dalam 5 tahun. Kalau ditotal lebih dari 20 persen. Melanggar kesepakatan itu,” kata Fadhil.

    Dia mendorong Presiden Prabowo Subianto membuat suatu keputusan politik terkait IKN. Sangat berat jika mengandalkan APBN untuk merampungkan pembangunan IKN.

    “Misalnya IKN jadi ibu kota Kaltim atau istana kepresidenan, atau dijadikan kawasan ekonomi khusus (KEK). Yang jelas bukan sebagai ibu kota negara baru dengan berbagai atribut yang disematkan Pak Jokowi,” kata Fadhil.

    Staf Khusus Kepala Otorita IKN, sekaligus Juru Bicara OIKN, Troy Pantouw membantah kabar  pembangunan IKN dihentikan mulai bulan depan yang ramai di media sosial (medsos).  “Ini tidak benar,” kata Troy, Jumat (7/2/2025).

    Sebelumnya, Kepala OIKN Basuki Hadimuljono menyebut, Presiden Prabowo Subianto telah menyetujui tambahan anggaran pembangunan IKN tahun ini untuk mendukung konstruksi kawasan legislatif dan yudikatif.

    Basuki menekankan, anggaran OIKN tak akan dipangkas efisiensi. Hal itu sebagaimana keputusan dalam rapat terbatas (ratas) yang dilakukannya bersama Presiden Prabowo beberapa waktu lalu.

    “Kami diminta untuk berkirim surat kepada Menteri Keuangan untuk menyesuaikan anggaran sesuai yang disetujui oleh Bapak Presiden, yaitu Rp6,3 triliun ditambah Rp8,1 triliun,” jelas Basuki.

  • Bukan Pemangkasan tetapi Realokasi Anggaran

    Bukan Pemangkasan tetapi Realokasi Anggaran

    Jakarta, Beritasatu.com – Sejumlah ekonom mendukung langkah pemerintah dalam melakukan efisiensi anggaran, dengan catatan kebijakan tersebut harus didasarkan pada kajian dan perhitungan yang matang.

    Ekonom senior Mohammad Fadhil Hasan menjelaskan kebijakan Presiden Prabowo Subianto bukanlah pemangkasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), melainkan realokasi anggaran dari satu pos ke pos lainnya yang dianggap lebih prioritas dan berdampak positif.

    “Yang dilakukan itu adalah pengurangan anggaran di berbagai kementerian dan lembaga, serta transfer ke daerah. Anggaran tersebut kemudian dialihkan untuk program Makan Bergizi Gratis dan program prioritas lainnya,” ujar Fadhil Hasan saat ditemui di kantor Indef, Jakarta, Jumat (7/2/2025).

    Diketahui, sejumlah kementerian mengaku mengalami pemangkasan anggaran pada 2025. Akibatnya, beberapa kegiatan dinas hingga penggunaan listrik untuk operasional kantor turut mengalami efisiensi.

    Anggaran yang terkena kebijakan efisiensi ini akan dialokasikan untuk mendukung program-program prioritas, salah satunya adalah Makan Bergizi Gratis (MBG).

    Fadhil Hasan menilai langkah pemerintah ini sudah tepat. Menurutnya, program MBG memiliki multiplier effect yang lebih besar dibandingkan belanja kementerian yang tidak terlalu esensial.

    “Ada pergeseran anggaran untuk kegiatan lain yang memberikan dampak lebih besar, bahkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional,” jelasnya.

    Ia juga menambahkan program MBG tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan asupan gizi anak-anak, tetapi juga berkontribusi dalam perputaran uang yang berdampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat.

    Sebagai informasi, efisiensi anggaran ini merupakan bagian dari kebijakan pengelolaan keuangan negara berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025.

  • Penerima Manfaat MBG Prabowo Baru 0,8% per 6 Februari 2025, Target 82,9 Juta

    Penerima Manfaat MBG Prabowo Baru 0,8% per 6 Februari 2025, Target 82,9 Juta

    Bisnis.com, JAKARTA — Badan Gizi Nasional (BGN) menyatakan percepatan program Makan Bergizi Gratis (MBG) memerlukan dana tambahan. Saat ini, penerima manfaat baru 0,8% dari target 82,9 juta pada 2025. 

    Kepala BGN Dadan Hindayana mengatakan bahwa jika Presiden Prabowo Subianto meminta akan adanya percepatan, maka dipastikan juga ada tambahan anggaran.

    Terlebih, Presiden Prabowo juga menginginkan agar semua penerima manfaat menerima program MBG hingga akhir 2025.

    “Jika percepatan [program MBG] harus dilakukan, pasti akan ada dana tambahan tergantung kapan dilaksanakan,” kata Dadan kepada Bisnis, Kamis (6/2/2025).

    Namun, Dadan menyampaikan bahwa Presiden dan Menteri Keuangan yang memiliki pemahaman mendalam terkait sumber pendanaan untuk MBG.

    “Sumber dana [MBG], Pak Presiden [Prabowo Subianto] cq [dalam hal ini] Ibu Menkeu [Sri Mulyani] yang lebih paham,” ujarnya.

    Meski begitu, Dadan mengungkap bahwa hingga saat ini penerima manfaat MBG baru mencapai 0,8% dari target 82,9 juta orang. 

    Adapun, BGN menargetkan penerima manfaat akan naik menjadi 1,5% pada pertengahan Februari 2025.

    Dihubungi terpisah, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto memandang pemerintah perlu merogoh anggaran jumbo untuk bisa menjangkau 82,9 juta penerima MBG.

    “Jika penambahan anggaran tidak sepadan ya tidak realistis [semua peserta menerima manfaat MBG pada 2025],” kata Eko kepada Bisnis.

    Dia juga menyebut tambahan anggaran senilai Rp100 triliun belum bisa menjangkau semua penerima manfaat MBG. Hal ini mengingat pada 17 Januari 2025, BGN sempat mengungkap bahwa MBG membutuhkan tambahan anggaran Rp100 triliun agar bisa mencakup 82,9 juta penerima.

    Maka dari itu, menurut Eko, lama waktu pelaksanaan MBG sangat berkaitan erat dengan anggaran dana yang tersedia dan kesiapan dapur mitra pemerintah di program ini.

    “Anggaran yang sudah jelas kan baru Rp71 triliun sehingga jangkauannya ya masih sebatas target dengan Rp71 triliun tersebut,” tuturnya.

    Di samping itu, Eko menyebut semestinya penerima manfaat dari program MBG harus dilakukan secara selektif. Hal ini seiring dengan anggaran yang terbatas.

    Menurut Eko, sekolah yang diprioritaskan seharusnya adalah sekolah yang didominasi siswa dari keluarga miskin, sekolah di daerah tertinggal, serta daerah masyarakat miskin di perkotaan.

    “Siswa dari keluarga miskin memiliki probabilitas tinggi untuk kurang gizi, tidak sarapan, dan kurang akses fasilitas belajar sehingga perlu diutamakan,” tandasnya.

  • Mimpi Prabowo Mau Ekonomi Tumbuh 8 Persen, Realistis atau Utopis?

    Mimpi Prabowo Mau Ekonomi Tumbuh 8 Persen, Realistis atau Utopis?

    PIKIRAN RAKYAT – Presiden Prabowo Subianto memiliki ambisi besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 8 persen. Namun, realitas ekonomi saat ini menunjukkan bahwa target tersebut tampaknya sulit dicapai tanpa perubahan kebijakan yang signifikan.

    Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2024 hanya mencapai 5,03 persen, yang mengindikasikan stagnasi dibanding tahun sebelumnya.

    Tantangan Struktural yang Menghambat Pertumbuhan

    Kepala Center of Industry, Trade, and Investment (CITI) INDEF, Andry Satrio Nugroho menilai tantangan utama yang dihadapi Indonesia adalah daya beli masyarakat yang terus melemah dan pelemahan sektor industri.

    “Indonesia saat ini mengalami tantangan struktural yang serius di mana dapat dilihat dari sisi daya beli masyarakat terus tergerus dan pelemahan industri yang cukup serius, sehingga dibutuhkan paket kebijakan stimulus untuk membangkitkan kedua hal tersebut,” tuturnya dalam keterangan tertulis yang diterima Pikiran-Rakyat.com pada Kamis 6 Februari 2025.

    Data menunjukkan bahwa Purchasing Managers’ Index (PMI) terus mengalami pelemahan sepanjang triwulan IV-2024, yang menandakan menurunnya aktivitas industri. Tren deflasi yang terjadi secara berturut-turut juga mengindikasikan lemahnya permintaan domestik.

    Cukupkah Strategi Stimulus?

    Pemerintah dinilai perlu mengeluarkan kebijakan stimulus untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, di antaranya:

    Menurunkan biaya energi bagi industri guna meningkatkan daya saing. Menekan biaya logistik dengan menurunkan tarif tol bagi kendaraan logistik. Mengkaji ulang kebijakan larangan dan pembatasan (lartas) terhadap produk impor guna melindungi pasar domestik. Menekan pungutan dan iuran yang membebani perusahaan serta memberantas pungutan liar. Mendorong penyaluran kredit ke sektor manufaktur dan membentuk lembaga penjaminan investasi khusus untuk proyek hilirisasi.

    Meski investasi mengalami peningkatan sebesar 23,8 persen (y-on-y) pada triwulan IV-2024 dengan total realisasi Rp452,8 triliun, sebagian besar dana tersebut belum terserap ke sektor produktif yang menciptakan lapangan kerja.

    Ini menunjukkan bahwa investasi belum optimal dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.

    Peran Swasta dan Belanja Pemerintah

    Ekonom CITI INDEF, Dzulfian Syafrian menyoroti pentingnya peran sektor swasta dalam menopang pertumbuhan ekonomi. Namun, dia mempertanyakan kesiapan kebijakan untuk mendukung iklim bisnis.

    “Dengan adanya kebijakan efisiensi belanja pemerintah hari ini, maka beban untuk menjaga pertumbuhan ekonomi harus dialihkan ke sektor swasta,” ucapnya.

    “Masalahnya, apakah kemudahan berusaha, situasi industri, iklim investasi, dan kebijakan insentif sudah cukup mendorong swasta untuk berperan lebih besar? Tanpa kebijakan yang lebih progresif dan konkret, pertumbuhan di atas 5 persen apalagi cita-cita 8 persen ini bisa jadi utopis,” ujar Dzulfian Syafrian menambahkan.

    Mimpi 8 Persen: Bisa atau Tidak?

    Sejumlah ekonom menilai bahwa pertumbuhan ekonomi 8 persen bukan hal yang mustahil, tetapi membutuhkan reformasi struktural yang mendalam. Tanpa perbaikan daya beli, penguatan sektor industri, dan insentif bagi dunia usaha, target ini akan sulit tercapai.

    Kebijakan yang hanya mengejar angka pertumbuhan tanpa memperhatikan kualitasnya bisa menjadi bumerang di masa depan. Oleh karena itu, langkah konkret yang lebih strategis harus segera diambil jika Indonesia ingin keluar dari jebakan stagnasi ekonomi.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Ekonom: Target Prabowo Layani Seluruh Peserta MBG pada 2025 Kurang Realistis

    Ekonom: Target Prabowo Layani Seluruh Peserta MBG pada 2025 Kurang Realistis

    Bisnis.com, JAKARTA — Cita-cita Presiden Prabowo Subianto yang menginginkan semua peserta menerima manfaat dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) hingga akhir 2025 dinilai tidak realistis.

    Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai diperlukan anggaran jumbo untuk bisa menjangkau 82,9 juta penerima.

    “Jika penambahan anggaran tidak sepadan, ya, tidak realistis [semua peserta menerima manfaat MBG hingga akhir 2025],” kata Eko kepada Bisnis, Kamis (6/2/2025).

    Bahkan, dia menyebut tambahan anggaran senilai Rp100 triliun juga belum bisa menjangkau semua penerima manfaat MBG.

    Sebagai pengingat, pada 17 Januari 2025, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana mengatakan bahwa MBG membutuhkan tambahan anggaran Rp100 triliun agar bisa mencakup 82,9 juta penerima.

    Maka dari itu, menurut Eko, lama waktu pelaksanaan MBG sangat berkaitan erat dengan anggaran dana yang tersedia dan kesiapan dapur mitra pemerintah di program ini.

    “Anggaran yang sudah jelas kan baru Rp71 triliun sehingga jangkauannya ya masih sebatas target dengan Rp71 triliun tersebut,” tuturnya.

    Lebih lanjut, Eko menyebut semestinya penerima manfaat dari program MBG harus dilakukan secara selektif. Hal ini seiring dengan anggaran yang terbatas.

    Dia mengatakan bahwa sekolah yang diprioritaskan seharusnya adalah sekolah yang didominasi siswa dari keluarga miskin, sekolah di daerah tertinggal, serta daerah masyarakat miskin di perkotaan.

    “Siswa dari keluarga miskin memiliki probabilitas tinggi untuk kurang gizi, tidak sarapan, dan kurang akses fasilitas belajar sehingga perlu diutamakan,” jelasnya.

    Pangkas Anggaran

    Di sisi lain, Eko juga menyinggung pemangkasan anggaran di beberapa kementerian/lembaga yang diperuntukkan untuk mendukung program MBG. Menurutnya, realokasi anggaran ini semestinya tidak hanya untuk menambah program MBG saja.

    “Salah satunya adalah mengalokasikan tambahan anggaran untuk MBG, namun seharusnya jangan semuanya ke MBG, mengingat penciptaan lapangan kerja juga penting,” ujarnya.

    Seperti diketahui, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati melalui surat nomor S-37/MK.02/2025 tentang Efisiensi Belanja Kementerian/Lembaga dalam Pelaksanaan APBN 2025 mencantumkan 16 item yang sekurang-kurangnya perlu dipangkas anggarannya per kemetrian/lembaga.

    Adapun, alat tulis kantor (ATK) menjadi item belanja yang mengalami efisiensi paling besar atau 90%, diikuti percetakan dan souvenir 75,9% hingga kegiatan seremonial dipangkas 56,9%.

    Alhasil, setiap k/l harus melakukan revisi anggarannya sesuai persentase pemangkasan yang ditentukan Kemenkeu dalam lampiran surat nomor S-37/MK.02/2025 itu.

    Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto menginginkan semua penerima mendapatkan manfaat dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) hingga akhir 2025.

    Asal tahu saja, sudah satu bulan MBG —yang menjadi program prioritas Presiden Prabowo— digulirkan sejak 6 Januari 2025 silam. Adapun, penerima MBG bukan hanya untuk siswa di sekolah, melainkan juga untuk santri, ibu hamil, ibu menyusui, hingga anak balita.

    Selama 1 bulan berjalan, belum seluruh sekolah mendapat manfaat dari MBG. 

    “Pak Presiden ingin semua mendapat manfaat [program Makan Bergizi Gratis] akhir 2025,” kata Kepala BGN Dadan Hindayana kepada Bisnis, Kamis (6/2/2025).

    Dadan menyampaikan bahwa terdapat tiga faktor kunci dalam pelaksanaan program prioritas Prabowo, antara lain anggaran, sumber daya manusia (SDM), dan infrastruktur.

    Dari ketiga kunci tersebut, Dadan mengeklaim bahwa anggaran untuk pelaksanaan MBG sudah selesai. Kini, SDM hingga infrastruktur tengah dalam proses pendidikan dan percepatan.

    Lebih lanjut, Dadan juga meminta agar sekolah yang belum mendapatkan MBG untuk bersabar. “Sekolah yang belum dapat [program MBG] hanya masalah waktu saja,” katanya.

  • Pertumbuhan Ekonomi RI Melambat, Imbas Kelas Menengah Tertekan?

    Pertumbuhan Ekonomi RI Melambat, Imbas Kelas Menengah Tertekan?

    Bisnis.com, JAKARTA — Pertumbuhan ekonomi tercatat terus melambat dalam dua tahun terakhir. Para ekonom meyakini ketidakberpihakan pemerintah terhadap kelas menengah menjadi penyebab utamanya.

    Sebagai informasi, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 tercatat sebesar 5,31%, sedangkan pada 2023 sebesar 5,05%. Lalu, pada tahun lalu, meski masih berada pada level 5%, tetapi melambat ke 5,03%.

    Selama ini, konsumsi rumah tangga kerap menjadi komponen terbesar pembentuk produk domestik bruto (PDB). Misalnya pada 2024, distribusi konsumsi rumah tangga mencapai 54,04% terhadap pertumbuhan ekonomi.

    Secara historis, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan konsumsi rumah tangga tidak pernah lebih dari 5% sejak 2020. Selama itu juga, pertumbuhan konsumsi rumah tangga kerap di bawah pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

    Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto meyakini belakangan beban hidup masyarakat kelas menengah semakin besar.

    Perbesar

    Sumber: BPS

    Masalahnya, kelas menengah merupakan kelompok masyarakat yang paling berkontribusi atas pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Misalnya selama 2024, Eko melihat banyak barang/jasa kebutuhan kelas menengah yang terus naik harganya seperti transportasi untuk liburan hingga pulsa/paket data.

    Dia melihat pemerintah selama ini seakan hanya fokus mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada kelas bawah seperti lewat bantuan sosial (bansos). Sementara itu, kelas menengah malah terbebani dengan berbagai pungutan pajak dan sejenisnya.

    Oleh sebab itu, Eko tidak heran apabila konsumsi rumah tangga tidak bisa tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

    “Itu tanda-tanda perlambatan daya beli. Jelas sekali karena dulu-dulunya itu kita pertumbuhan konsumsinya lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi atau setidaknya setara,” kata Eko kepada Bisnis, Kamis (6/2/2025).

    Senada, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal menjelaskan sejak pandemi Covid-19, daya beli kelas menengah belum pulih. Padahal, menurutnya, kelas menengah berkontribusi lebih dari 60% dari total konsumsi rumah tangga.

    Sementara itu, dia mencatat daya beli kelas bawah sudah setara seperti masa pra-pandemi dan daya beli kelas atas sudah pulih sejak lama.

    “Karena ternyata setelah pandemi intervensi kebijakan yang kaitannya memengaruhi income [upah] dan juga biaya hidup ini tidak cukup, bahkan bertambah bebannya misalkan pungutan-pungutan perpajakan dan lain-lain,” ujar Faisal kepada Bisnis, Rabu (5/2/2025).

    Akibatnya, terjadi tren perlambatan pertumbuhan ekonomi dalam dua tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,31% pada 2022, kemudian melemah ke 5,05% pada 2023, dan terakhir kembali melemah menjadi 5,03% pada 2024.

    Waswas Target Pertumbuhan

    Pernyataan kini, dengan pelemahan daya beli kelas menengah, mungkinkah target pertumbuhan ekonomi 5,2% pada 2025 bisa tercapai? Apalagi, Presiden Prabowo menargetkan pertumbuhan ekonomi 8% dalam lima tahun.

    Eko melihat target tersebut masih realistis tercapai, tetapi pemerintah harus mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada kelas menengah.

    Mantan analisis Badan Supervisi Bank Indonesia ini pun mengapresiasi langkah Presiden Prabowo Subianto yang melakukan penghematan belanja pemerintah hingga Rp306,69 triliun untuk tahun anggaran 2025.

    Kendati demikian, Eko menekankan agar hasil penghematan anggaran tersebut harus dialokasikan untuk pembiayaan sektor produktif. Dia mencontohkan, pemerintah harus mendorong produktivitas industri. “Sektor yang menaungi kelas menengah kan rata-rata ya industri,” ujar Eko.

    Selain itu, dia menegaskan pentingnya agar UMKM sebagai penyerap tenaga kerja terbanyak naik level. Menurutnya, UMKM didominasi oleh usaha mikro sehingga usaha menengahnya harus diperbanyak.

    Oleh sebab itu, Eko mendorong agar pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bisa mendorong agar UMKM menerima bunga yang lebih terjangkau.

    Lebih lanjut, dia meyakini perlunya pemerintah mengoptimalkan kerja sama internasional yang sudah dibangun sehingga bisa menarik investasi yang lebih besar dan menjangkau pasar ekspor yang lebih luas bagi Indonesia. “Kalau itu bisa dilakukan sih, saya rasa 5,2% itu bisa tercapai bahkan lebih,” titip Eko.

    Sementara itu, Faisal meyakini nasib kelas menengah harus menjadi perhatian utama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto ke depan. Dia menyarankan tiga langkah yang perlu diikuti pemerintah untuk memulihkan daya beli masyarakat.

    Pertama, pemerintah tidak boleh menambah beban kelas menengah dari sisi biaya hidup. Menurutnya, pemerintah pusat maupun daerah tidak menambah beban pajak, cukai, hingga retribusi kelas menengah.

    Kedua, pemerintah memberikan insentif dari sisi biaya. Dia mengapresiasi insentif potongan tarif listrik 50% yang diberikan pemerintah.

    Hanya saja, dia menyayangkan insentif tersebut hanya berlaku selama dua bulan. Padahal, menurutnya, pemulihan daya beli masyarakat perlu berbulan-bulan.

    “Jadi, tidak bisa intervensi hanya dua bulan atau enam bulan. Memang perlu lebih banyak dan lebih panjang,” katanya.

    Ketiga, perlunya kebijakan yang mendorong peningkatan upah masyarakat kelas menengah. Faisal mencontohkan, perlunya insentif lebih banyak untuk mendukung usaha mikro dan kecil, memberikan akses pasar melalui kebijakan perdagangan.

    “Kemudian yang kaitannya untuk supaya menghindari misalkan terjadinya PHK, deal-deal-an dengan perusahaan di sektor yang rentan,” tutupnya.