NGO: INDEF

  • Pemberian diskon tarif tol bantu pemudik Lebaran

    Pemberian diskon tarif tol bantu pemudik Lebaran

    Arsip foto – Sejumlah kendaraan melaju di jalan tol layang Jakarta – Cikampek (Japek) KM 47, Karawang, Jawa Barat. ANTARA FOTO/M Ibnu Chazar/hp/aa

    Ekonom: Pemberian diskon tarif tol bantu pemudik Lebaran
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Selasa, 25 Februari 2025 – 14:55 WIB

    Elshinta.com – Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengungkapkan, rencana pemberian diskon tarif tol sebesar 20 persen dapat membantu pemudik pada Lebaran tahun ini, terutama dari masyarakat menengah ke bawah.

    “Saya rasa itu memang perlu diskon untuk tarif tol saat Lebaran. Pertama, diskon tarif tol itu membantu masyarakat karena dengan tarif tol yang lebih murah tentu pemudik sebagai pengguna jalan tol akan diuntungkan,” ujar Eko saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Selasa.

    Selain itu, dia juga menambahkan bahwa diskon tarif tol pada Lebaran juga merupakan kompensasi kepada pengguna jalan tol atas kemacetan yang terjadi, karena memang arus lalu lintas pada masa mudik Lebaran tidak selancar pada waktu normal.

    “Tapi secara umum memang perlu diskon untuk tarif tol dan itu bisa membuat simulasi atau rekayasa pengaturan dari mudiknya juga bisa lebih lancar. Jadi misalkan diskon tarif tol bisa ditaruh di waktu-waktu yang misalkan agak lama dari waktu-waktu menjelang puncak arus mudik dan arus balik. Dengan demikian hal ini bisa menstimulasi para pemudik terutama untuk masyarakat menengah ke bawah,” katanya.

    Pemberian diskon tarif tol dapat membantu masyarakat menengah ke bawah seperti para perantau di Jakarta yang bekerja di sektor informal seperti pedagang bakso dan sebagainya untuk bisa mudik lebih awal ke kampung halaman melalui jalan tol.

    “Diskon tarif tol akan bisa mendorong para pemudik, terutama pekerja informal untuk bisa mudik ke kampung halaman lebih awal,” kata Eko.

    Kendati demikian, pemberian diskon tarif tol saat mudik Lebaran terutama mengenai besarannya perlu dibahas antara pemerintah dengan Badan Usaha Jalan Tol.

    Kementerian Pekerjaan Umum (PU) bersama dengan Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan (Kemenko Polkam) dan Kementerian/ Lembaga (K/L) terkait melakukan Rapat Koordinasi Pembahasan Kesiapan Menyambut Ibadah Ramadan dan Idul Fitri 1446 H.

    Wakil Menko (Wamen) Polkam Lodewijk F. Paulus yang memimpin pertemuan mengatakan, koordinasi dilakukan untuk memastikan implementasi kebijakan Presiden Prabowo dalam rangka pelaksanaan ibadah Ramadan dan Idul Fitri 1446 H telah dilaksanakan oleh K/L terkait, termasuk salah satunya mengenai kebijakan arus mudik dan adanya diskon tarif tol.

    “Pemerintah RI menjamin keamanan pelaksanaan ibadah Ramadan dan Idul FItri 1446 H, termasuk dengan arus mudik dan arus balik. Termasuk sejauh mana diskon untuk tiket pesawat, yang tentunya masih dikomunikasikan seberapa besar penurunannya. Kalau pada Natal-Tahun Baru kemarin turun 10 persen, kita harapkan (untuk Ramadan dan Idul Fitri 1446 H) lebih dari 10 persen. Dan yang sudah pasti, jalan tol mendapatkan diskon sebesar 20 persen. Sehingga diharapkan semuanya dapat memberikan kelancaran terhadap proses ini,” kata Lodewijk.

     

    Sumber : Antara

  • Terungkap! Bikin 1 Kapal di RI Biayanya Lebih Besar Dibanding Korsel

    Terungkap! Bikin 1 Kapal di RI Biayanya Lebih Besar Dibanding Korsel

    Jakarta, CNBC Indonesia – Industri galangan kapal di Indonesia tengah menghadapi tantangan besar. Banyak perusahaan di sektor ini terpaksa gulung tikar akibat tingginya biaya produksi yang membuat daya saing mereka melemah. Salah satu faktor utama yang menjadi biang keroknya adalah tingginya Incremental Capital Output Ratio (ICOR) di Indonesia.

    Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus mengungkapkan bahwa ICOR Indonesia masih berada di angka 6,2%. Angka ini menunjukkan, untuk memproduksi satu unit barang, termasuk kapal, Indonesia membutuhkan modal yang lebih besar dibandingkan negara lain, seperti Korea Selatan.

    “Jadi kalau kita mau membuat satu kapal, itu biayanya lebih besar daripada kapal yang sama dibuat di Korea Selatan. ICOR kita mencerminkan ekonomi biaya tinggi, dan ini masih sulit turun dari 6%. Semakin besar ICOR, semakin tidak baik,” jelas Heri di Indonesia Maritime Talk 2025 di Hotel The Ritz-Carlton, Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (25/2/2025).

    Menurutnya, ada beberapa faktor yang menyebabkan ICOR di Indonesia tinggi, yakni biaya tenaga kerja, transportasi, kebijakan fiskal, hingga suku bunga yang tinggi menjadi tantangan utama dalam industri galangan kapal.

    Foto: Heri Firdaus (INDEF) dalam acara Indonesia Maritime Talk 2025 di Ritz Carlton, Jakarta, Selasa (25/2/2025). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
    Heri Firdaus (INDEF) dalam acara Indonesia Maritime Talk 2025 di Ritz Carlton, Jakarta, Selasa (25/2/2025). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

    “Tantangan kita adalah bagaimana mengurangi ICOR ini. ICOR ini komponennya apa? Ada biaya upah tenaga kerja, ada biaya transportasi, ada fiskal, ada suku bunga yang tinggi, dan segala macam lainnya. Jadi ICOR ini tinggi,” ujarnya.

    Agar industri galangan kapal bisa bertahan dan berkembang, Ahmad menekankan pentingnya daya dukung yang kuat dari berbagai aspek. Infrastruktur yang memadai, investasi yang cukup, serta regulasi yang mendukung sangat diperlukan agar daya saing industri ini bisa meningkat.

    “Kalau daya dukung dari infrastruktur kurang, dari investasi kurang, dari regulasi kurang, maka akan sulit untuk akselerasi daya saing,” pungkas dia.

    (wur)

  • Diskon Tarif Tol Bantu Pemudik Saat Lebaran

    Diskon Tarif Tol Bantu Pemudik Saat Lebaran

    Jakarta, Beritasatu.com – Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menyatakan bahwa rencana pemberian diskon tarif tol sebesar 20% bisa menjadi bantuan bagi pemudik Lebaran, khususnya bagi masyarakat dari kalangan menengah ke bawah.

    “Saya melihat diskon tarif tol saat Lebaran memang diperlukan. Dengan biaya tol yang lebih rendah, tentu para pemudik sebagai pengguna jalan tol akan lebih terbantu,” ujar Eko dikutip dari Antara, Selasa (25/2/2025).

    Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa diskon tarif tol saat musim mudik juga bisa menjadi bentuk kompensasi bagi pengguna jalan tol yang harus menghadapi kepadatan lalu lintas. Pasalnya, saat arus mudik dan arus balik Lebaran, kondisi lalu lintas cenderung lebih padat dibandingkan hari biasa.

    “Dengan adanya diskon, bisa juga dilakukan rekayasa lalu lintas agar perjalanan mudik lebih lancar. Misalnya, potongan tarif tol diterapkan di luar puncak arus mudik dan arus balik, sehingga bisa mendorong pemudik, terutama dari kalangan menengah ke bawah, untuk berangkat lebih awal,” tambahnya.

    Menurut Eko, kebijakan ini akan sangat membantu pekerja di sektor informal, seperti pedagang bakso atau pekerja harian di Jakarta, agar dapat pulang ke kampung halaman lebih cepat dengan biaya yang lebih ringan.

    “Diskon tarif tol ini akan memberi dorongan bagi para pemudik, terutama pekerja informal, untuk melakukan perjalanan lebih awal,” ujarnya.

    Meski demikian, besaran diskon tarif tol selama mudik Lebaran perlu dibahas lebih lanjut antara pemerintah dan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) agar pelaksanaannya optimal.

    Dalam rapat koordinasi terkait kesiapan menyambut Ramadan dan Idulfitri 1446 H, Kementerian Pekerjaan Umum (PU) bersama Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) serta kementerian dan lembaga terkait membahas berbagai kebijakan, termasuk kelancaran arus mudik dan penerapan diskon tarif tol.

    Wakil Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Lodewijk F Paulus, yang memimpin pertemuan tersebut menegaskan, pemerintah menjamin kelancaran ibadah Ramadan dan Idulfitri, termasuk terkait arus mudik dan kepastian pemberian diskon tarif tol sebesar 20%.

    “Pemerintah memastikan keamanan dan kelancaran selama Ramadan dan Idulfitri 1446 H, termasuk dalam hal arus mudik dan arus balik. Selain diskon tiket pesawat yang masih dibahas dan diskon tarif tol sudah dipastikan mendapat potongan sebesar 20%. Diharapkan kebijakan ini dapat memberikan manfaat bagi masyarakat yang melakukan perjalanan mudik,” ujar Lodewijk.

  • Risiko Jumbo di Balik Ambisi Besar Danantara

    Risiko Jumbo di Balik Ambisi Besar Danantara

    Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pengelola Investasi alias BPI Danantara resmi diluncurkan. Badan baru ini akan mengelola uang ribuan triliun. Tahap pertama ada sekitar US$20 miliar. Namun ke depan, total aset pengelolaan Danantara cukup fantastis, bisa mencapai US$900 miliar atau lebih dari Rp14.000 triliun.

    Presiden Prabowo Subianto telah meluncurkan secara langsung BPI Danantara. Ada harapan besar. Dia ingin, Danantara bisa berkontribusi terhadap perekonomian Indonesia. Bisa menjadi instrumen pembangunan untuk mengelola kekayaan nasional. Pada akhirnya bisa menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia.

    “Karena ini sekali lagi adalah milik anak dan cucu kita, milik generasi penerus bangsa Indonesia,” katanya, Senin (25/2/2025).

    Danantara lahir dengan berbagai macam keistimewaan. Badan ini langsung di bawah presiden. Selain itu, Danantara juga akan mengelola 7 BUMN jumbo, yang selama ini menjadi mesin uang bagi negara. Ketujuh BUMN itu antara lain, Pertamina, Mind ID, PLN, Telkom, Bank Mandiri (BMRI), BRI (BBRI), dan BNI (BBNI).

    Menariknya, kendati mengelola aset yang cukup besar, Undang-undang No.1/2025 tentang BUMN, telah memberikan sejumlah pagar pengaman bagi Danantara. Salah satunya adalah penegasan bahwa keuntungan dan kerugian Badan bukanlah kerugian negara. 

    Artinya, jika Danantara mengalami memperoleh laba, maka labanya akan dianggap sebagai keuntungan Danantara. Sementara itu, negara tetap akan memperoleh bagian dari laba Danantara, hanya saja mekanismenya, laba akan disetor ke kas negara setelah dilakukan pencadangan untuk menutup atau menanggung risiko dalam kerugian berinvestasi.

    Danantara juga mengambil alih tugas Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam pengelolaan dividen. Selama ini, pengelolaan dividen BUMN disetor ke Kemenkeu dan akan dicatat sebagai penerimaan negara bukan pajak alias PNBP yang berasal dari kekayaan negara dipisahkan.

    Setoran Dividen BUMN 2021-2025

    Tahun
    Jumlah (Triliun)
    Tumbuh (%)

    2021
    30,5
     -53,8

    2022
    40,6
    33,1

    2023
    82,1
    102,1

    2024
    85,8
    4,6

    2025
    90
    4,8

    Sumber: Nota Keuangan APBN 2025. (2024 outlook, 2025 target APBN)

    Namun demikian, dalam beleid yang baru, terjadi pergeseran dalam pengelolaan modal BUMN. Modal yang disuntik oleh negara akan dianggap sebagai modal perseroan, sehingga keuntungannya, akan dianggap sebagai keuntungan BUMN.

    Sementara itu, dividen BUMN juga tidak langsung disetor ke negara, tetapi akan dikelola oleh Danantara. Badan juga memiliki kewenangan untuk menentukan penambahan dan pengurangan pernyataan modal negara alias PMN yang bersumber dari dividen BUMN. Sayangnya, pihak otoritas fiskal belum bersedia menanggapi perubahan pengelolaan dividen tersebut.

    Kewenangan yang begitu besar Danantara bukannya tanpa risiko. Apalagi, saat ini indeks perspesi korupsi atau corruption perception index, masih di angka 37 naik tipis dan di peringkat 99 global. Indonesia masih jauh di bawah saingan terdekatnya, Vietnam. Ada masalah dari sisi governance. Di sisi lain, pengelola Danantara juga perlu belajar dari 1Malaysia Development Berhad alias 1MDB yang justru memunculkan skandal korupsi terbesar di negeri jiran.

    Adapun Prabowo sendiri telah menunjuk Menteri Investasi Rosan Perkasa Roeslani, Dony Oskaria, dan Pandu Patria Sjahrir untuk mengelola Danantara. Sementara itu, Erick Thohir, Muliaman Hadad, hingga Sri Mulyani Indrawati bertindak untuk mengawasi pengelolaan Danantara.

    Kepala negara juga melibatkan Presiden ke 6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden ke 7 Joko Widodo beserta organisasi agama mulai dari PBNU, Muhammadiyah, hingga Konferensi Wali Gereja untuk bertindak sebagai dewan penasihat.

    Tak hanya itu, Prabowo menegaskan, pengelolaan investasi oleh BPI Danantara harus dilaksanakan dengan transparan dan sangat hati-hati. Oleh sebab itu, menurutnya Danantara bisa diaudit oleh siapa pun. Kalau merujuk kepada UU No.1/2025, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diberikan mandat untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Danantara.  

    “Danantara harus dikelola dengan sebaik-baiknya, dengan sangat hati-hati, dengan sangat transparan, dengan saling mengawasi, harus bisa diaudit setiap saat oleh siapa pun,” tegas Prabowo.

    Diawasi Ketat BPK hingga Presiden

    Sementara itu, Chief Executive Officer (CEO) Danantara Rosan Perkasa Roeslani mengatakan entitas yang dipimpinnya tak terlepas dari tata kelola audit dan pengawasan yang akan sangat ketat dan transparan. 

    Apalagi, kata Rosan, Danantara adalah badan yang akan diawasi secara intensif karena laporan pertanggungjawabannya langsung kepada Presiden Indonesia.

    “Menurut saya, Danantara adalah badan yang paling banyak diawasi. Semua pihak terlibat dalam pengawasan ini karena kita langsung melapor kepada Bapak Presiden, dan itu tidak ada yang lebih tinggi lagi. Jadi, pertanggungjawaban kita akan langsung ke Presiden,” katanya kemarin.

    BPI Danantara./IlustrasiPerbesar

    Di sisi lain, Presiden ke 6 Susilo Bambang Bambang Yudhoyono (SBY) mengemukakan bahwa menegaskan pihaknya akan mengawal Danantara.  “Kita juga perlu memastikan dalam konteks pengawalan tadi agar semua agenda pemerintah, termasuk keberadaan Danantara yang hari ini telah diluncurkan oleh presiden kita,” ujarnya.

    SBY ingin Danantara tersebut bisa benar-benar bermanfaat untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya untuk segelintir rakyat. “Kita kawal, kita pastikan semua benar-benar untuk kepentingan rakyat, for the people, kepentingan seluruh rakyat, bukan kepentingan sebagian rakyat,” tutur Presiden RI ke-6 tersebut.

    Sorotan Ekonom

    Adapun Kepala Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman menyoroti sejumlah tantangan utama yang harus diantisipasi oleh pemerintah sebelum Danantara resmi beroperasi.

    Salah satu pekerjaan rumah utama yang harus segera diselesaikan dalam jangka pendek, katanya, yaitu integrasi antar-BUMN, tata kelola, pengawasan, dan manajemen.  Dia mengingatkan bahwa jika tidak dikelola dengan presisi dan ketegasan, skema ini berpotensi menjadi jebakan birokrasi baru yang justru memperlambat kinerja BUMN.

    “Alih-alih menciptakan sinergi, tanpa strategi yang solid, penggabungan ini bisa melahirkan konglomerasi kompleks yang lamban dalam pengambilan keputusan dan sarat dengan kepentingan politik,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (24/2/2025).

    Lebih lanjut, dia menekankan bahwa jika tata kelola tidak profesional dan transparan, maka Danantara bisa berubah menjadi alat sentralisasi kekuasaan atas aset strategis negara yang hanya menguntungkan segelintir elite, bukan kepentingan nasional secara luas.

    Secara konseptual, Danantara menjanjikan efisiensi dan daya saing BUMN serta aset negara yang strategis. Namun, Rizal mengingatkan bahwa dampak negatifnya bisa jauh lebih berbahaya jika tidak dikendalikan dengan disiplin manajerial yang ekstrem.

    “Kehilangan otonomi masing-masing BUMN bisa menjadi bumerang, menyebabkan perusahaan-perusahaan strategis justru kehilangan fleksibilitas dalam pengambilan keputusan bisnis,” imbuh.

  • Indef: Investor Asing Bakal Kabur dari Pasar Modal, Jika Danantara Diisi Sosok yang Terlibat Politik – Page 3

    Indef: Investor Asing Bakal Kabur dari Pasar Modal, Jika Danantara Diisi Sosok yang Terlibat Politik – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Presiden Prabowo Subianto meluncurkan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, 24 Februari 2025.

    Kepala Center of Industry, Trade, and Investment dari Investment Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menuturkan, jika Danantara harus diisi dari kalangan profesional, bukan politik.

    “Kepala Badan serta Jajaran Direksi Danantara harus diisi oleh profesional yang tidak terlibat pada kepentingan politik praktis,” ujarnya saat dikonfirmasi Merdeka.com di Jakarta, Senin (24/2/2025)

    Andry menuturkan, sejumlah risiko yang terjadi jika pemerintah salah memilih Kepala Badan serta Jajaran Direksi Danantara. Risiko pertama ialah potensi kaburnya investasi asing dari pasar modal Indonesia.

    “Akan terjadi capital outflow terjadi di IHSG. Aliran keluar dana asing juga akan pasar Surat Berharga Negara (SBN) sehingga semakin memperkecil kepemilikan asing pada instrumen investasi ini,” kata.

    Apalagi, tujuh perusahaan BUMN anggota Danantara memiliki pasar saham yang besar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Menurut Andry, saham milik perusahaan bank BUMN paling rentan terdampak kebijakan Danantara.

    “7 perusahaan BUMN di bawah Danantara yang melantai di bursa akan mengalami koreksi nilai sahamnya besar-besaran di hari pertama pengumuman. Saham Himbara menjadi yang paling terdampak besar,” kata dia.

    Andry berharap pemegang kendali Danantara adalah sosok profesional yang sudah teruji dalam pengelolaan dana investasi. Dia mengingatkan pengalaman  dalam mengelola bisnis korporasi akan diuji untuk menghindari dampak kerugian Dananya dalam jangka pendek dan jangka panjang yang akan terjadi. 

    “Saya melihat bahwa jika mereka yang mengelola ini justru punya afiliasi politik, merupakan keluarga dari pejabat publik, pimpinan kementerian saat ini, maka sudah dipastikan bahwa moral hazard terjadi dan akuntabilitas badan ini akan semakin dipertanyakan,” tutur dia.

     

    Reporter: Sulaeman

    Sumber: Merdeka.com

  • Peluang Investasi atau Beban Baru bagi Negara?

    Peluang Investasi atau Beban Baru bagi Negara?

    PIKIRAN RAKYAT – Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara atau Danantara menjadi topik hangat di tengah masyarakat. Banyak pihak mempertanyakan transparansi, tata kelola, dan potensi dampaknya terhadap ekonomi nasional.

    Meski menuai kecaman, sejumlah pakar menilai Danantara dapat memberikan manfaat besar jika dikelola dengan baik.

    Pentingnya Tata Kelola dan Transparansi

    Guru Besar Universitas Indonesia (UI) sekaligus pengamat pasar modal Budi Frensidy menyoroti tantangan utama dalam pengelolaan Danantara, yaitu tata kelola, pengawasan, dan manajemen risiko.

    Menurutnya, Danantara dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia jika dikelola secara profesional, kompeten, dan transparan.

    “Jika dia mampu dikelola secara profesional, kompeten, dan transparan hingga mampu memberikan return besar untuk pemegang sahamnya,” ucap Budi Frensidy, Jumat 21 Februari 2025.

    Dia juga menekankan bahwa pengelolaan Danantara harus berada di tangan profesional yang berintegritas tinggi dan tidak terafiliasi dengan kepentingan politik.

    “Sepenuhnya serahkan ke para profesional yang berintegritas dan berkomitmen tinggi, serta tidak terafiliasi dengan partai politik dan kelompok tertentu,” ujar Budi Frensidy.

    Kunci Keberhasilan: Transparansi dan Independensi

    Kepala Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman menggarisbawahi pentingnya transparansi dalam pengelolaan Danantara agar daya saingnya meningkat.

    “Dengan kepemilikan 99 persen pada holding operasional dan investasi, Danantara bisa mengkonsolidasikan aset BUMN secara lebih efektif, meningkatkan efisiensi, dan mengurangi beban fiskal negara dalam pengelolaan perusahaan pelat merah,” tuturnya.

    Akan tetapi, M. Rizal Taufikurahman juga mengingatkan bahwa potensi benturan kepentingan dan intervensi politik bisa menjadi tantangan besar.

    “Tantangan utama yang harus dihadapi adalah potensi benturan kepentingan, intervensi politik, dan moral hazard dalam pengelolaan BUMN. Tanpa transparansi, Danantara bisa berubah menjadi beban negara, bukan solusi,” katanya.

    M. Rizal Taufikurahman menambahkan bahwa kompleksitas birokrasi yang berlebihan dapat meredam daya saing Danantara di pasar global.

    Manfaat Holding Company bagi Tata Kelola BUMN

    Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Eddy Junarsin menilai bahwa konsep holding company seperti Danantara dapat meningkatkan koordinasi dan pengawasan terhadap BUMN yang selama ini dikelola secara terpisah.

    “Dengan adanya Danantara, monitoring dari parent company akan lebih transparan dan efektif,” ucapnya dalam keterangan di Yogyakarta, Minggu 24 Februari 2025.

     Eddy Junarsin menekankan bahwa keberhasilan Danantara tidak cukup hanya pada pembentukan holding company, tetapi juga memerlukan langkah strategis seperti merger dan akuisisi agar lebih efisien.

    “Perlu ada langkah lanjutan agar Danantara tidak sekadar menjadi entitas administratif tanpa daya tarik strategis bagi investor global,” ujarnya.

    Standar ESG dalam Menarik Investor Asing

    Rizal Taufikurahman menegaskan bahwa Danantara harus menerapkan standar Environmental, Social, and Governance (ESG) agar menarik bagi investasi asing.

    “Untuk menarik investor luar negeri, pemerintah harus memastikan bahwa Danantara dikelola secara profesional, bebas dari intervensi politik, dan menerapkan standar tata kelola berbasis ESG,” tuturnya.

    Rizal juga mengingatkan bahwa regulasi yang transparan dan kepastian hukum sangat diperlukan untuk meningkatkan kepercayaan investor.

    “Tanpa fondasi ini, investor global akan ragu menanamkan modalnya di Danantara,” katanya.

    Dampak Ekonomi Berkelanjutan dan Lapangan Kerja

    Kepala Ekonom Permata Bank, Josua Pardede menilai bahwa kehadiran Danantara dapat mendorong ekspansi ekonomi yang berkelanjutan dan penciptaan lapangan kerja.

    “Dengan strategi diversifikasi portfolio yang mencakup greenfield, brownfield, dan akuisisi strategis, Danantara mampu mendorong ekspansi ekonomi yang berkelanjutan dan penciptaan lapangan kerja,” ujarnya.

    Josua Pardede menjelaskan bahwa melalui co-investment dengan investor global, Danantara dapat memperkuat pasar modal Indonesia serta meningkatkan produksi dan ekspor nasional.

    “Danantara diharapkan dapat berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi melalui investasi strategis di sektor prioritas, seperti energi terbarukan, ketahanan pangan, hilirisasi nikel, dan industri berorientasi ekspor,” ucapnya.

    Katalisator Peningkatan Investasi Nasional

    Pengamat BUMN dan Direktur NEXT Indonesia, Herry Gunawan melihat Danantara sebagai katalisator peningkatan investasi nasional. Menurutnya, Danantara dapat menjadi instrumen strategis dalam menjaga stabilitas ekonomi dan mendukung program pembangunan nasional.

    “Saat ini, rasio investasi terhadap PDB kita sekitar 29 persen, dan tentu berpeluang ditingkatkan. Danantara bisa berperan besar di sini,” tuturnya.

    Akan tetapi, Herry Gunawan mengingatkan pentingnya penerapan tata kelola perusahaan dan manajemen risiko yang memadai.

    “Jangan sampai keputusan dibuat oleh satu pihak tanpa mekanisme kontrol yang baik,” katanya.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Wanti-wanti Ekonom ke Prabowo soal Tata Kelola hingga Calon Bos Danantara

    Wanti-wanti Ekonom ke Prabowo soal Tata Kelola hingga Calon Bos Danantara

    Bisnis.com, JAKARTA – Mimpi lama Sumitro Djojohadikusumo agar Indonesia memiliki Super Holding BUMN sebentar lagi jadi kenyataan saat anaknya, yaitu Presiden Prabowo Subianto, meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau Danantara di Istana Merdeka, pada Senin (24/2/2025) pukul 10.00 WIB.

    Dalam forum internasional bergengsi World Government Summit 2025, Prabowo mengumumkan kesiapan Indonesia meluncurkan Danantara. Dia mengungkapkan bahwa Danantara akan memiliki aset kelolaan lebih dari US$900 miliar atau setara dengan Rp14.725 triliun. 

    Dana tersebut akan digunakan untuk mengembangkan proyek berkelanjutan di sektor energi terbarukan, manufaktur canggih, industri hilir, produksi pangan, dan lainnya.

    “Danantara, yang akan diluncurkan pada 24 Februari ini, akan menginvestasikan sumber daya alam dan aset negara kami ke dalam proyek yang berkelanjutan dan berdampak tinggi di berbagai sektor seperti energi terbarukan, manufaktur canggih, industri hilir, produksi pangan, dan lain-lain,” ujarnya dalam forum itu.

    Prabowo mengatakan bahwa semua proyek tersebut diharapkan akan berkontribusi pada pencapaian target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8%. 

    “Kami tengah mempersiapkan peluncuran Danantara Indonesia, sovereign wealth fund terbaru kami, yang menurut evaluasi awal kami akan mengelola lebih dari US$900 miliar aset dalam pengelolaan (AUM),” katanya.

    Lebih lanjut, orang nomor satu di Indonesia itu pun mengungkapkan bahwa initial funding atau pendanaan awal Danantara diproyeksi mencapai US$20 miliar.

    “Kami berencana untuk memulai sekitar 15 hingga 20 proyek bernilai miliaran dolar, yang akan menciptakan nilai tambah yang signifikan bagi negara kami. Saya sangat yakin, saya sangat optimistis. Indonesia akan maju dengan kecepatan penuh,” pungkas Prabowo.

    Di balik ambisi besar Prabowo, masih banyak pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan agar Danantara tidak menjadi bumerang bagi perekonomian nasional. 

    Kepala Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman menyoroti sejumlah tantangan utama yang harus diantisipasi oleh pemerintah sebelum Danantara resmi beroperasi.

    Salah satu pekerjaan rumah utama yang harus segera diselesaikan dalam jangka pendek, katanya, yaitu integrasi antar-BUMN, tata kelola, pengawasan, dan manajemen.  Dia mengingatkan bahwa jika tidak dikelola dengan presisi dan ketegasan, skema ini berpotensi menjadi jebakan birokrasi baru yang justru memperlambat kinerja BUMN.

    “Alih-alih menciptakan sinergi, tanpa strategi yang solid, penggabungan ini bisa melahirkan konglomerasi kompleks yang lamban dalam pengambilan keputusan dan sarat dengan kepentingan politik,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (24/2/2025).

    Lebih lanjut, dia menekankan bahwa jika tata kelola tidak profesional dan transparan, maka Danantara bisa berubah menjadi alat sentralisasi kekuasaan atas aset strategis negara yang hanya menguntungkan segelintir elite, bukan kepentingan nasional secara luas.

    Secara konseptual, Danantara menjanjikan efisiensi dan daya saing BUMN serta aset negara yang strategis. Namun, Rizal mengingatkan bahwa dampak negatifnya bisa jauh lebih berbahaya jika tidak dikendalikan dengan disiplin manajerial yang ekstrem.

    “Kehilangan otonomi masing-masing BUMN bisa menjadi bumerang, menyebabkan perusahaan-perusahaan strategis justru kehilangan fleksibilitas dalam pengambilan keputusan bisnis,” imbuhnya.

    Selain itu, resistensi internal terhadap kebijakan super holding juga menjadi tantangan besar. Perusahaan yang selama ini sudah memiliki ekosistem bisnis yang mapan bisa mengalami friksi internal yang dapat merusak stabilitas sektor BUMN secara keseluruhan. 

    Tak hanya itu, Rizal juga memperingatkan bahwa tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, Danantara bisa menjadi monopoli yang menekan kompetisi pasar, membunuh inovasi, dan menghambat pertumbuhan sektor swasta. Hal ini akan bertentangan dengan visi awal pembentukannya yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing.

    “Beberapa hal yang dapat menjadi penghambat utama dalam mencapai visi-misi Danantara adalah aspek regulasi dan birokrasi yang masih berbelit. Penggabungan banyak entitas ke dalam satu super holding memerlukan harmonisasi kebijakan yang kompleks, yang jika tidak diselesaikan dengan cepat, justru akan memperlambat efektivitasnya,” tuturnya.

    Belum lagi, kata Rizal, faktor kepemimpinan dan tata kelola menjadi aspek krusial yang tidak boleh diabaikan. Tanpa pemimpin yang memiliki kompetensi tinggi serta pemahaman mendalam terhadap tantangan bisnis global, Danantara bisa gagal mencapai tujuan utamanya.

    Salah satu hal yang juga perlu diperhatikan adalah pengawasan terhadap alokasi anggaran. Jika tidak ditangani dengan baik, alih-alih meningkatkan daya saing, Danantara justru bisa menjadi beban baru bagi kinerja ekonomi nasional.

    “Mekanisme transparansi dan akuntabilitas juga harus diperkuat agar holding ini tidak menjadi alat bagi kelompok tertentu untuk mengonsolidasikan kekuasaan ekonomi tanpa memberikan manfaat nyata bagi negara dan masyarakat,” pungkas Rizal.

    Perbesar

    Hati-Hati Pilih Pimpinan Danantara 

    Di sisi lain, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adhinegara melihat bahwa jelang peluncuran Danantara sebagai super investment vehicle, berbagai tantangan tata kelola dan independensi manajemen menjadi sorotan utama.

    Dia menekankan bahwa tata kelola (governance) yang baik harus menjadi prioritas utama agar Danantara dapat menarik kerja sama investasi internasional dan menghindari risiko politik serta korupsi. 

    “Danantara ini sebagai super investment vehicle untuk menarik kerja sama internasional. Pembelajaran dari pengalaman Indonesia Investment Authority (INA-SWF) sebelumnya menunjukkan bahwa tata kelola menjadi hal yang sangat penting. Good Corporate Governance [GCG] dan standar investasi berkelanjutan (ISG) harus dijunjung tinggi agar dapat menarik investasi,” ujarnya kepada Bisnis.

    Bhima menyoroti pentingnya pemilihan board yang lebih didominasi oleh profesional ketimbang figur politik yang ditunjuk oleh pemerintah.

    Menurutnya, proporsi yang tidak seimbang dalam dewan direksi dan komisaris dapat menimbulkan konflik kepentingan dan menurunkan reputasi Danantara di mata investor global.

    “Kami sudah sarankan sejak awal bahwa proporsi board yang berasal dari profesional harus lebih dominan, bukan dari penunjukan pemerintah. Jika board diisi oleh politisi atau mantan pejabat, ini bisa menimbulkan konflik kepentingan yang besar,” tegasnya.

    Lebih lanjut, Bhima mengingatkan bahwa Indonesia sedang dalam proses aksesi ke Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), yang mensyaratkan standar tata kelola perusahaan yang lebih tinggi, termasuk bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan entitas seperti Danantara.

    “Kalau kita ingin menarik investasi dari negara maju, termasuk Sovereign Wealth Fund dari Timur Tengah maupun Norwegia, maka standar tata kelola Danantara harus sesuai dengan standar OECD. Ini adalah peluang sekaligus tantangan bagi pemerintah,” imbuhnya.

    Bhima juga mengingatkan risiko trust issue atau hilangnya kepercayaan investor jika tata kelola Danantara tidak dijaga dengan baik. Hal ini berisiko menurunkan minat kerja sama dari investor strategis, meningkatkan potensi korupsi, dan bahkan merugikan BUMN yang asetnya dikonsolidasikan dalam Danantara.

    “Kalau ada trust issue dalam Danantara, pertama, investor yang tertarik bekerja sama bisa berkurang. Kedua, potensi korupsinya tinggi, apalagi kerugian Danantara tidak dianggap sebagai kerugian negara. Ketiga, ini bisa berdampak langsung pada BUMN yang asetnya masuk ke dalam Danantara,” katanya.

    Selain itu, Bhima menyoroti risiko finansial bagi Danantara jika governance risk tidak dikelola dengan baik. Jika Danantara nantinya menerbitkan surat utang dengan jaminan aset BUMN yang dikelolanya, maka persepsi risiko yang buruk akan berdampak pada imbal hasil yang lebih tinggi bagi investor.

    “Artinya, Danantara harus membayar bunga jauh lebih mahal karena adanya risiko tata kelola. Ini harusnya jadi perhatian utama, bukan malah fokus menjadikan Danantara sebagai alat politik,” ujarnya.

    Bhima menekankan bahwa konsep Danantara sebagai investment vehicle yang lebih baik dari INA-SWF sebenarnya adalah langkah positif. Namun, jika tidak dikawal dengan tata kelola yang ketat dan transparan, ada risiko besar bahwa Danantara justru menjadi mesin politik alih-alih instrumen investasi yang kredibel.

    Dengan potensi besar yang dimiliki, keberhasilan Danantara sangat bergantung pada seberapa baik pemerintah dapat menjaga independensi, transparansi, dan profesionalisme dalam pengelolaannya.

    “Ekspektasi investor terhadap Danantara itu tinggi. Jangan sampai blunder dalam governance membuat kita kehilangan peluang besar untuk menarik investasi global,” pungkas Bhima.

    Calon petinggi BPI Danantara, (dari kiri) Dony Oskaria, Rosan Roeslani, dan Pandu Sjahrir. JIBI/Maria Y. BenyaminPerbesar

    Tata Kelola Danantara Harus Jelas

    Setali tiga uang, Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy dalam waktu dekat, Danantara akan menghadapi sejumlah tugas mendesak yang sangat krusial untuk menentukan fondasi keberhasilannya.  

    Salah satu langkah pertama yang harus diambil adalah membangun kerangka hukum dan tata kelola yang jelas, terutama mengingat peran Danantara yang masih ambigu dalam ekosistem BUMN.  

    Tanpa adanya mandat yang tegas, transparansi yang memadai, serta mekanisme pengawasan yang kuat, risiko tumpang tindih wewenang atau bahkan penyalahgunaan kekuasaan dapat muncul, yang tentu saja akan sangat merugikan.

    “Danantara harus segera memiliki landasan hukum yang kokoh dan tata kelola yang jelas, agar tidak ada celah untuk penyalahgunaan wewenang atau korupsi. Tanpa itu, sulit bagi Danantara untuk mewujudkan tujuan utamanya, yaitu meningkatkan efisiensi dan daya saing BUMN,” ujarnya kepada Bisnis.

    Selain itu, menurut Yusuf, penilaian terhadap kesehatan finansial BUMN yang menjadi bagian dari portofolio Danantara juga sangat penting. Hal ini melibatkan identifikasi perusahaan-perusahaan yang membutuhkan restrukturisasi atau bahkan penutupan.  

    Tanpa langkah-langkah ini, kata Yusuf negara berisiko menanggung beban yang semakin berat dan bisa menggangu kelancaran operasional BUMN yang sudah berjalan dengan stabil.  

    “Danantara perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kondisi keuangan BUMN yang dikelolanya. Beberapa di antaranya mungkin perlu restrukturisasi, sementara yang lainnya mungkin harus ditutup agar tidak menambah beban fiskal negara,” imbuhnya.

    Menurutnya, keberhasilan Danantara juga sangat bergantung pada bagaimana entitas ini menyeimbangkan potensi keuntungan dan risiko dari konsolidasi superholding BUMN. Dengan total aset mencapai Rp9.400 triliun, Danantara memiliki potensi besar untuk meningkatkan efisiensi, menarik investasi asing, dan mendukung proyek-proyek strategis nasional.

    Namun, di sisi lain, skala besar ini juga membawa tantangan tersendiri, seperti risiko inefisiensi, korupsi, dan campur tangan politik yang bisa mengalihkan fokus dari tujuan utamanya.

    “Skala besar Danantara memang menawarkan peluang, tetapi juga membawa potensi risiko yang tinggi. Tanpa pengawasan yang ketat dan tata kelola yang transparan, Danantara berisiko menjadi alat patronase atau bahkan birokrasi tambahan yang menghambat tujuan ekonomi yang lebih luas,” jelasnya.

    Tidak hanya tantangan manajerial dan finansial, Yusuf pun menyoroti bahwa Danantara juga harus siap menghadapi resistensi dari birokrasi dan BUMN yang sudah memiliki kepentingan politik dan ekonomi yang mengakar. Selain itu, ketidakjelasan hukum bisa memicu konflik dalam hal kewenangan antar lembaga, yang pada akhirnya akan memperlambat implementasi kebijakan.

    “Birokrasi yang sudah memiliki vested interest tentu akan menantang model ini, karena akan ada perubahan dalam pengelolaan dan pengawasan. Jika Danantara tidak mampu menanggapi resistensi ini dengan baik, proses konsolidasi bisa terhambat,” ungkapnya.

    Meski model seperti Temasek yang sukses di Singapura bisa menjadi inspirasi, Yusuf menekankan bahwa Indonesia memiliki lanskap politik dan ekonomi yang jauh lebih kompleks.

    Tanpa adanya komitmen yang kuat terhadap transparansi dan akuntabilitas, Danantara berisiko hanya menjadi instrumen politik atau bahkan lapisan birokrasi tambahan yang hanya menyimpang dari misi awalnya.

    “Dalam konteks Indonesia yang penuh dinamika politik, jika tidak ada pengawasan yang ketat, Danantara bisa saja kehilangan arah dan tujuan. Di sinilah pentingnya peran masyarakat sipil, media, dan lembaga pengawasan untuk memastikan bahwa Danantara tetap pada jalur yang benar,” pungkas Yusuf.

  • Industri Tekstil RI Pecah Jadi Dua, Saling Sikut Agar Tak Mati

    Industri Tekstil RI Pecah Jadi Dua, Saling Sikut Agar Tak Mati

    Jakarta

    Pengusaha hulu tekstil nasional menghadapi masalah baru. Para pengusaha pecah jadi dua kubu akibat perbedaan kepentingan terkait kebijakan impor bahan baku untuk produksi benang poliester dan serat sintetis.

    Kepala Center of Industry, Trade, and Investment, Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio mengungkapkan ada dua kelompok di tengah hulu tekstil.

    Di satu sisi, ada kelompok yang mendukung kebijakan anti-dumping untuk membatasi impor dan mendorong industri lokal berkembang.

    Namun, di sisi lain, ada yang merasa bahwa proteksi berlebihan akan menyebabkan kelangkaan bahan baku yang berujung pada lesunya sektor hilir.

    Di lapangan, saat ini beberapa produsen besar mulai menghentikan produksi poliester mereka dan beralih ke impor bahan baku. Beberapa perusahaan besar yang sebelumnya beroperasi penuh dalam rantai produksi dari bahan mentah hingga produk jadi, kini memilih menghentikan lini produksi mereka dan membeli chip impor.

    “Industri tidak hanya sulit untuk menjual produknya di pasar domestik, tetapi yang terjadi juga pada akhirnya perang di antara sesama para pelaku domestik. Ini terjadi karena kebijakan importasi kita, kebijakan importasi yang dibiarkan begitu saja,” ujar Andry dalam keterangannya, Minggu (23/2/2025).

    Masalah ini telah menimbulkan dilema bagi industri tekstil. Bila impor dibiarkan tanpa proteksi, maka produsen lokal akan semakin terpinggirkan. Akan tetapi jika impor dibatasi, akan terjadi kekurangan bahan baku di dalam negeri akibat banyaknya pabrik yang berhenti produksi.

    Menurutnya, kebijakan impor yang tidak berpihak pada industri tekstil dalam negeri ini merupakan konsekuensi dari regulasi yang tidak mengalami perubahan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Oleh karena itu, pemerintah dinilai perlu menghilangkan mindset yang hanya mendukung salah satu sektor dalam industri tekstil, baik itu hulu maupun hilir.

    “Untuk mencapai hilirisasi diperlukan sektor hulu yang kuat. Kalau misalnya sektor hulunya tidak kuat, hilirisasinya malah ditopang oleh produk-produk impor. Dan itu menurut saya bukan mencerminkan ketahanan industri yang diharapkan oleh Presiden Prabowo,” tutur Andry.

    Lebih lanjut, Andry juga menyoroti ketidaksepahaman antara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) dalam merumuskan kebijakan yang mendukung industri tekstil nasional.

    Perbedaan fokus di antara kedua kementerian tersebut selama ini justru menciptakan persaingan internal yang menghambat pertumbuhan industri.

    Hal ini tercermin dari ketidakjelasan Revisi Permendag Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Padahal regulasi terkait larangan terbatas ini dinantikan oleh pelaku industri agar mendapatkan perlindungan dan kepastian keberlangsungan usaha.

    “Berkali-kali rapat dilakukan antara Kemendag dan Kemenperin, tapi sampai sekarang belum ada aturan baru yang jelas. Padahal para pelaku industri sudah lama menunggu kepastian,” kata Andry.

    Menurutnya para pengusaha meminta kebijakan yang diambil dapat lebih berpihak pada industri domestik secara menyeluruh. Pemerintah diharapkan tidak hanya memberikan wacana terkait hilirisasi, tetapi juga memastikan bahwa kebijakan yang dibuat benar-benar mendukung ketahanan industri nasional.

    “Tentu harapannya adalah industri ini tetap solid. Perusahaan-perusahaan yang ada di dalamnya, para pelaku usaha di dalamnya harus tetap solid,” tegas Andry.

    (hal/kil)

  • Buruh Sebut Aturan Kemasan Rokok Tanpa Identitas Bisa Picu PHK

    Buruh Sebut Aturan Kemasan Rokok Tanpa Identitas Bisa Picu PHK

    Jakarta

    Pemerintah berencana mengetatkan aturan tembakau. Salah satunya adalah wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek.

    Aturan ini dinilai mengancam nasib pekerja industri tembakau nasional. Dampak kebijakan ini bertentangan dengan prinsip peningkatan lapangan pekerjaan yang didorong oleh Presiden Prabowo Subianto.

    Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI), Sudarto AS, menegaskan bahwa ekosistem industri tembakau menjadi tumpuan penyerapan kerja dalam jumlah besar dari hulu hingga hilir. Kebijakan yang tidak tepat terhadap industri tembakau dapat berdampak pada banyak pihak, dengan jutaan nyawa bergantung pada industri ini.

    “Industri tembakau dari hulu sampai hilir melibatkan pekerja yang sangat besar. Setiap kebijakan yang menekan industri tembakau dipastikan dapat berdampak besar terhadap keberlangsungan pekerja di dalamnya,” ujar dia dalam keterangannya ditulis Minggu (23/2/2025).

    Sudarto menambahkan bahwa dampak pandemi masih terasa hingga kini, dengan PHK besar-besaran di berbagai industri dan daya beli masyarakat yang menurun, menunjukkan bahwa kondisi industri secara umum belum pulih sepenuhnya. Oleh karena itu, kebijakan yang menekan industri, termasuk industri tembakau, tidak hanya tidak sejalan tetapi juga bertentangan dengan visi Presiden Prabowo untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

    “Jika kebijakan penyeragaman kemasan rokok (tanpa identitas merek) ini dipaksakan, maka kondisi (industri) akan semakin parah dan berdampak pada PHK,” ujarnya.

    Sudarto mendesak pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap industri tembakau yang telah menyerap tenaga kerja secara signifkan dan meningkatkan taraf hidup bagi masyarakat Indonesia. Industri tembakau juga berkontribusi besar dalam penerimaan negara.

    Menurut Sudarto, pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang dapat mempertahankan serta mengembangkan industri hingga menciptakan lapangan kerja baru. Kebijakan yang menekan industri dapat menghambat target pertumbuhan ekonomi yang menjadi fokus pemerintahan Presiden Prabowo Subianto hingga 2029.

    Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nasional, Tino Rahardian, menjelaskan bahwa penerapan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek di beberapa negara terbukti gagal menurunkan angka perokok dan malah merugikan negara. “Ini tidak ada dampak signifikan terhadap literasi masyarakat. Kebijakan ini sudah dilakukan negara lain dan tidak berhasil,” ujarnya.

    Tino merujuk hasil studi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) pada 2024 yang menilai kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek akan membuat pemerintah mengalami kerugian ekonomi hingga Rp182,2 triliun. Kebijakan Kemenkes dinilai menimbulkan masalah baru, seperti PHK.

    Tino mengatakan, kebijakan Kemenkes tidak dilakukan secara hati-hati dan terkesan berjalan sendiri. Kebijakan seharusnya ditetapkan dengan semangat kolaboratif dan merangkul kementerian lain yang terkait.
    Kemenkes juga diminta untuk mengevaluasi kebijakannya, terutama karena penyusunan kebijakan ini dapat melawan keinginan Presiden Prabowo Subianto. Arah kebijakan pemerintahan saat ini mengharuskan industri memiliki manfaat dan dampak besar terhadap masyarakat.

    (kil/kil)

  • Seberapa urgen Danantara bagi Indonesia?

    Seberapa urgen Danantara bagi Indonesia?

    Kantor Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) di Jl.RP. Soeroso, Menteng, Jakarta. ANTARA/Muhammad Heriyanto/am.

    Seberapa urgen Danantara bagi Indonesia?
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Minggu, 23 Februari 2025 – 10:39 WIB

    Elshinta.com – Pertanyaan tentang urgensi menjadi semakin relevan bagi Danantara mengingat posisinya yang kian menjadi perhatian publik.

    Pemerintahan Prabowo sendiri telah menegaskan bahwa Danantara merupakan jawaban dan langkah konkret bagi Indonesia untuk bisa mewujudkan pertumbuhan ekonomi 8 persen dan membumihanguskan kemiskinan ekstrem hingga nol persen.

    Kajian Kantor Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO) meneguhkan pendapat bahwa dengan Danantara, program hilirisasi yang sebelumya sangat bergantung pada realisasi investasi asing, nantinya tidak lagi bergantung pada investasi asing.

    Sebagaimana data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang dilansir CEIC bahwa saat ini sektor hilirisasi menjadi kontributor utama dalam peningkatan investasi asing.

    Selain memang di balik nama Danantara (Daya Anagata Nusantara) tersimpan ambisi besar untuk dapat mengelola investasi dan aset negara dengan lebih efektif, entitas ini pun digadang-gadang sebagai kunci utama transformasi ekonomi, mengurangi ketergantungan pada utang dan menjadikan kekayaan nasional bekerja lebih cerdas.

    Namun, dari pertama kali wacana ini beredar hingga menjelang peresmian, sorotan publik tak surut. Masyarakat bertanya-tanya, benarkah ini solusi? Ataukah hanya kemasan baru dari model lama yang berpotensi gagal di tangan para penguasa?

    Indonesia sudah lama mengandalkan ekspor bahan mentah sebagai tulang punggung ekonomi. Akibatnya, ketika harga komoditas global turun, neraca transaksi berjalan ikut terpuruk.

    Data BPS dan BI menunjukkan pada 2013, defisit transaksi berjalan mencapai -3,2 persen dari PDB, lebih buruk dibandingkan India (-1,7 persen) dan hampir setara dengan Brasil (-3,6 persen). Tekanan semacam ini bukan hal baru, tapi pemerintah kini berusaha membalikkan keadaan melalui hilirisasi.

    Konsepnya sederhana, jangan sekadar mengekspor bijih nikel, tapi olah dulu jadi baterai litium dan kendaraan listrik. Jangan jual mentah bauksit, tapi kembangkan hingga jadi panel surya dan komponen otomotif.

    Langkah ini mulai menunjukkan hasil. Sejak 2001 hingga 2022, ekspor produk nikel Indonesia meningkat dari 2 persen menjadi 12 persen dari total ekspor nasional. Ini bukan sekadar angka, tapi bukti bahwa nilai tambah memberikan dampak konkret.

    Morowali, misalnya, yang dulunya hanya dikenal lewat deretan kapal pengangkut bijih nikel, kini mencatat pertumbuhan ekonomi hingga 38,63 persen setelah industri pengolahan tumbuh.

    Halmahera Tengah mengalami lonjakan lebih drastis, dari 5,18 persen (2004-2018) menjadi 75,61 persen dalam kurun waktu 2019-2022.

    Di sinilah Danantara masuk sebagai pemain utama. Badan ini dibentuk untuk mengelola aset dan investasi negara sehingga proses hilirisasi tidak lagi bergantung pada modal asing.

    Idealnya, ia akan menjadi katalis bagi industri bernilai tambah tinggi, membuka lapangan kerja baru, serta mendorong inovasi teknologi di dalam negeri.

    Jika berhasil, Indonesia bisa keluar dari jebakan ekonomi berbasis komoditas dan benar-benar menjadi pemain global dalam sektor manufaktur.

    Soal Pengawasan

    Namun, ada alasan mengapa publik untuk skeptis. Salah satu kekhawatiran terbesar adalah soal pengawasan.

    Siapa yang akan memastikan Danantara tidak terseret dalam pusaran korupsi? Kasus 1Malaysia Development Berhad (1MDB) di Malaysia menjadi pengingat betapa rentannya dana investasi negara terhadap penyalahgunaan.

    Awalnya dimaksudkan sebagai motor pembangunan, 1MDB justru menjadi skandal keuangan terbesar di dunia, menggerus kepercayaan publik dan mengguncang ekonomi negeri jiran. Indonesia, dengan rekam jejak yang tak kalah berliku, jelas harus belajar dari kegagalan tersebut.

    Masalah lainnya ada di struktur kepengurusan. Beberapa nama yang dikaitkan dengan Danantara menimbulkan pertanyaan besar tentang kredibilitas lembaga ini.

    Bahkan ada pernyataan dari Presiden Prabowo sendiri bahwa para mantan presiden dan pemimpin ormas keagamaan akan dilibatkan dalam pengawasannya. Jika benar, ini bisa menjadi preseden yang mengkhawatirkan terkait netralitas dan independensi badan tersebut.

    Guru Besar Universitas Indonesia (UI) sekaligus pengamat pasar modal Budi Frensidy menyarankan untuk menyerahkan pengelolaan Danantara sepenuhnya kepada para profesional yang berintegritas dan berkomitmen tinggi, serta tidak terafiliasi dengan kepentingan politik ataupun kelompok tertentu.

    “Sepenuhnya serahkan ke para profesional yang berintegritas dan berkomitmen tinggi, serta tidak terafiliasi dengan partai politik dan kelompok tertentu,” ujar Budi.

    Sebagaimana harapan dari Sekretaris Jenderal Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Anggawira yang menginginkan Danantara pengelolaannya harus profesional dan transparan dengan pengurus di dalamnya harus bebas dari intervensi politik maupun kepentingan bisnis tertentu.

    Kepemimpinan Danantara harus dipegang oleh individu yang memiliki rekam jejak bersih dan profesionalisme tinggi, tidak memiliki konflik kepentingan, serta benar-benar berdedikasi untuk kepentingan nasional.

    Anggawira pun menyatakan pengelolaan aset negara dalam skala besar seperti yang akan dilakukan Danantara memerlukan pengurus yang memiliki keahlian luas di bidang investasi dan manajemen aset.

    Belum usai polemik soal pengurus, perspektif lain soal sumber pendanaan muncul. Pemerintah dikabarkan akan mengalokasikan dana hasil efisiensi anggaran tahun ini untuk membiayai Danantara.

    Angka yang beredar mencapai ratusan triliun rupiah, dana yang bisa saja digunakan untuk memperbaiki layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan. Apakah langkah ini bijak?

    Beberapa ekonom berpendapat bahwa sebelum menggelontorkan dana sebesar itu, pemerintah seharusnya lebih dulu menutup defisit APBN atau setidaknya memastikan skema investasi Danantara tidak mengorbankan kepentingan publik.

    Peluang Berhasil

    Meski begitu, Danantara tetap punya peluang untuk sukses, asalkan dikelola dengan prinsip yang benar.

    Pemerintah perlu menetapkan mekanisme pengawasan yang ketat dan independen. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus diberi akses penuh untuk mengaudit seluruh transaksi dan melaporkan temuan mereka kepada publik.

    Selain itu, audit oleh lembaga independen internasional bisa menjadi langkah tambahan untuk memastikan standar pengelolaan dana tetap transparan.

    Keberhasilan juga bergantung pada siapa yang diberi tanggung jawab menjalankan Danantara. Penempatan orang-orang yang punya rekam jejak buruk dalam pengelolaan keuangan negara hanya akan mengundang skeptisisme dan meruntuhkan kepercayaan sejak awal.

    Pemerintah seharusnya menggandeng profesional berintegritas dari sektor swasta yang memiliki pengalaman dalam mengelola dana investasi dalam skala besar, baik di dalam maupun luar negeri.

    Selain itu, transparansi dalam pengambilan keputusan menjadi mutlak. Setiap investasi yang dilakukan Danantara harus diumumkan secara terbuka dan berbasis kajian ekonomi yang kuat.

    Kepala Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman menekankan pentingnya menjaga transparansi untuk meningkatkan daya saing Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).

    Tantangan utama yang harus dihadapi adalah potensi benturan kepentingan, intervensi politik, dan moral hazard dalam pengelolaan. Tanpa transparansi, Danantara bisa berubah menjadi beban negara, bukan solusi.

    Tanpa transparansi, Danantara justru bisa menjadi alat monopoli atau rent-seeking yang akan merugikan BUMN baik jangka pendek maupun dalam jangka panjang,

    Investasi harus difokuskan pada sektor-sektor strategis yang benar-benar berkontribusi pada perekonomian nasional, bukan sekadar menguntungkan kelompok tertentu.

    Kemudian, keterlibatan masyarakat dan media dalam mengawasi kebijakan Danantara harus diperkuat.

    Dengan akses informasi yang luas, publik dapat mengawasi potensi penyimpangan dan memastikan kebijakan investasi yang diambil benar-benar menguntungkan negara, bukan segelintir elite.

    Jika ini bisa dilakukan, maka Danantara bukan hanya menjadi lembaga investasi negara, tetapi juga simbol transparansi dan keberlanjutan ekonomi Indonesia.

    Proyeksi ke depan menunjukkan bahwa Danantara bisa menjadi salah satu instrumen keuangan paling berpengaruh di Indonesia. Namun, semua tergantung pada eksekusi.

    Jika pengawasannya lemah, tidak mustahil Danantara hanya akan menjadi 1MDB versi Indonesia, sebuah lubang hitam bagi uang negara.

    Namun, jika dikelola dengan benar, ia bisa menjadi pilar utama ekonomi nasional, membawa Indonesia menuju kemandirian finansial dan daya saing global yang lebih kuat.

    Sumber : Antara